SlideShare a Scribd company logo
1 of 140
ETIKA BERBUSANA (Studi Kasus
Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN
Walisongo Semarang)
T E S I S
Diajukan Sebagai Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
HATIM BADU PAKUNA
NIM 5202020
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2005
HALAMAN PENGESAHAN
2
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa tesis ini
tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga tesis ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 2 Juni 2005
Deklarator
HATIM BADU PAKUNA
NIM 5202020
3
ABSTRAKSI
Etika Islam merupakan aturan baik dan buruk perbuatan manusia yang
disandarkan pada ajaran-ajaran Islam. Etika Islam mencakup cara bergaul, duduk,
berjalan, makan-minum, tidur, dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan
yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-
Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam
berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang
bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis
menerawang, tidak menyerupai pakaian lelaki, dan tidak berwarna menyolok.
Namun patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat
ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan,
sebagai penutup aurat rambut dan leher, atau hanya sebatas identitas wanita
muslimah. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama
yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan
hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian, berkabung, bahkan saat
menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai pada berbagai aktivitas
kesehariannya. Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu
dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan
kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya
pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup
keuntungan material dengan penampakan spiritual dan eksploitasi agama.
Begitu pula mahasiswi IAIN Walisongo Semarang yang notabene
memakai jilbab sebagai salah satu simbol identitas perguruan tinggi yang berbasis
ilmu-ilmu keislaman. Setelah dilakukan penelitian terhadap mahasiswi yang
tergabung dengan KAMMI, HMI, IMM, PMII, UKM Music, Teater dan Mawapala,
ternyata banyak keragaman pola berbusana yang mereka dipakai, seberagaman
corak pemahaman keagamaan mereka. Mahasiswi yang bergabung dengan KAMMI
memahami bahwa pola busana yang dipakai oleh seorang muslimah (termasuk
mahasiswi) seharusnya yang longgar sehingga dapat menutup aurat rapat-rapat,
tidak boleh transparan/ketat, sebab dengan pola berbusana seperti itu diharapkan
membawa pemakainya pada perilaku yang mencerminkan etika Islam. Mahasiswa
yang bergabung dengan HMI, IMM dan PMII memahami bahwa pola berbusana
muslimah yang penting dapat menutup aurat, bentuknya tidak harus longgar, yang
penting masih kelihatan sopan. Sebaliknya, mahasiswi yang bergabung dengan
UKM Music, Teater dan Mawapala, lebih memahami bahwa busana yang
seharusnya dipakai mahasiswi harus mengikuti mode, sehingga mengesankan
mahasiswi IAIN tidak ketinggalan zaman dalam berbusana. Merekapun
merefleksikan pemahamannya tentang pola berbusana dengan berbusana yang
mereka pakai. Selanjutnya, manakah pemahaman keagamaan dan pola berbusana
mahasiswi IAIN yang sesuai dengan etika Islam, inilah yang dikaji dalam tesis ini.
4
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, berkat ketekunan dan usaha
maksimal penulis, penyusunan tesis yang berjudul “ETIKA BERBUSANA (Studi
Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang)” dapat
terselesaikan.
Penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak
yang kepadanya patut diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana
IAIN Walisongo.
3. Dr. Abdul Muhayya, M.A., selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan
arahan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.
4. Dr. Ahmad Gunaryo, M.Soc.Sc. dan Drs. Darori Amin, M.A., selaku Asisten
Direktur I dan Asisten Direktur II Program Pascarjana IAIN Walisongo.
5. Segenap dosen Pascasarjana IAIN Walisongo yang telah memberikan bekal
pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan jejang studi S-2.
6. Segenap pegawai administrasi dan karyawan Pascasarjana yang telah banyak
memberikan layanan akademik selama study di Pascasarjana.
7. Segenap pegawai Perpustakaan IAIN, Perpustakaan Pascasarjana, dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan layanan dalam
peminjaman buku-buku referensi.
5
8. Segenap keluarga penulis yang banyak memberikan dorongan baik materiil
maupun moriil dalam menempuh studi.
9. Teman-teman penulis yang ikut memberikan dorongan dan membantu dalam
menyelesaikan tesis ini, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu.
Semoga Allah S.W.T. membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis. Penulis menyadari
bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari aspek materi, metodologi dan
analisisnya. Karenanya, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan untuk karya yang lebih baik di masa mendatang. Akhirnya hanya kepada
Allah S.W.T. penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
Semarang, 2 Juni 2005
Penulis,
HATIM BADU PAKUNA
NIM 5202020
6
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin
1 a c> dl
- b ± th
* t Ji zh
* ts & ‘
e j £ gh
c h ^ f
t kh ci q
* d cd k
i dz J l
j
r P m
j z u n
u- s J w
US sy . h
u- sh * ’
,f y
7
Untuk Mâd dan Diftong
â = a panjang î = i
panjang û = u
panjang
Jl = aw
Jl = uw
tf' = ay
tf' = iy
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah atau qamariyah, yakni ‘al’
ditulis sama. Contoh:
Jljill = al-Qur’ân
i*A = al-Sayidah
rljJl = al-‘Awâm
^j^l = al-Syarî’ah
8
DAFTAR SINGKATAN
S.W.T. : Suhanahu Wa Ta’ala
S.a.w. : Shalalllahu ‘alaihi wasalam
R.a. : Radiyalllahu anhu
H.R. : Hadits Riwayat
H. : Hijriyah
M. : Masehi
Q.S. : Al-Qur’ân Surat
NU : Nahdlatul Ulama
PMII : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
IMM : Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
MAWAPALA : Mahasiswa Walisongo Pecinta Alam
UKM : Unit Kegiatan Mahasiswa
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
Ibid. : Ibidem (pada tempat yang sama)
Op.cit. : Opere cicato (dalam karangan yang telah disebut)
Loc.cit. : Loco cicato (pada tempat yang telah dikutip)
Hlm. : Halaman
T.th. : Tanpa tahun
Dkk. : Dan kawan-kawan
9
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang)
popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian
kehinaan pada hari kemudian, lalu dikobarkan pada pakaiannya
itu api”. (H.R. Abu Daud).
Tesis Ini Penulis Persembahkan Kepada:
- Mama “Monira Datau” dan Papa “Badu Pakuna”
- Kakak-kakaku tersayang; “Kak Wahid, Kak Amran, Tata Rama, Aci
Hasna dan Daci Wati”.
- Teman-temanku terkasih terutama “Mamang” thanks for everything
10
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAKSI .......................................................................... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................ vi
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................. viii
HALAMAN DAFTAR SINGKATAN .......................................................... x
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... xi
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 10
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................... 10
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 11
E. Metode Penelitian ............................................................. 15
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 18
BAB II DISKURSUS-DISKURSUS ETIKA
A. Istilah Etika ........................................................................ 20
B. Norma Dasar Etika ............................................................ 24
C. Etika Islam dan Norma-normanya ...................................... 27
D. Etika Berbusana ............................................................... 34
E. Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi .................................... 38
F. Kontroversi Jilbab ............................................................ 54
11
BAB III ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO
SEMARANG
A. Dinamika dan Ragam Corak Pemikiran Keagamaan
Mahasiswa IAIN Walisongo .............................................. 61
B. Pemahaman Keagamaan dan Pola Berbusana Mahasiswi
IAIN Walisongo ................................................................ 73
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Berbusana
Mahasiswi IAIN Walisongo ................................................ 79
BAB IV ANALISIS TERHADAP ETIKA BERBUSANA
MAHASISWI IAIN WALISONGO SEMARANG
A. Analisis Terhadap Pemahaman Mahasiswi IAIN
Walisongo tentang Pola Berbusana dan Implikasinya ........ 84
B. Analisis terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola
Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo ............................ 100
C. Pola Ideal Etika Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo . 108
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 113
B. Saran-saran ........................................................................ 116
C. Kata Penutup .................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika merupakan problem asasi yang dihadapi setiap manusia baik
secara inidividu maupun kolektif. Batasan etika sendiri menurut para pakar,
termasuk pakar pendidikan sulit dicari parameternya, sehingga memunculkan
ragam perspektif. Perpedaan persepsi inilah yang semestinya dipandang sebagai
aset yang perlu dihargai dan didiskusikan. Jika suatu etika telah tertanam, maka
problem selanjutnya yaitu pemeliharaannya yang jauh lebih sulit dibanding
mengumpulkan informasinya. Sebab erat kaitannya dengan suasana batin
(naluri batin manusia).
Naluri manusia sendiri masih menjadi sumber vital bagi setiap
aktivitas hidup. Idealnya naluri bisa ditundukkan di bawah kendali akal. Jika
sampai menyimpang dari kendali akal, dapat menghalangi cara pandang
manusia. Kemudian membatasi pengaruhnya supaya orang yang tidak berpikir
dipaksa untuk mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan
dengan logikanya. Di sinilah disadari peran penting menyelaraskan komponen
naluri dan akal sehingga diperoleh pola kehidupan yang beretika yang didasari
prinsip-prinsip moral.1
Praktek prinsip-prinsip moral atau etika akan melibatkan sejumlah
kesulitan dan tidak jarang melahirkan kontradiksi. Oleh karena itu,
1
Lihat Sayid Mujtaba Musawi Lari, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf
”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama, 2001, hlm. xi.
13
pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis spiritualitas tidak dapat menolak
naluri yang melemahkan. Orang yang tidak mempunyai pengamanan
spiritualitas akan segera terpengaruh oleh hawa nafsu. Karena, pendidikan
semacam itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan dominasi hawa nafsu.
Akibatnya, etikanya pun menyimpang dari prinsip-prinsip moral.
Oleh karena itu, keyakinan religius merupakan jaminan yang cukup
penting bagi pelaksanaan prinsip-prinsip manusiawi dan sebagai dukungan yang
paling besar bagi nilai-nilai etika dalam melawan hawa nafsu. Manusia dapat
membebaskan dirinya dari cengkraman dorongan-dorongan dan motif-motif
yang merugikan melalui keimanan kepada Sang Pencipta, adanya hari balasan,
pahala dan dosa.
Tujuan para Nabi, terutama Nabi Muhammad s.a.w. ialah mendidik
etika manusia untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi, dan
membersihkan pikiran mereka dari pencemaran dan kotoran. Penyebaran etika
Islam, yang dilancarkan oleh Nabi merupakan gerakan unik, tanpa tandingan,
dari sisi pandang etos tentang kedalaman dan keasliannya yang konstruktif.
Etika Islam menjadi unik dalam pengertian bahwa ia meliputi semua kehalusan
rohani manusia dan perhatian khusus kepada setiap gerak pikiran dan yang
berasal dari batin. Dampak yang belum pernah ada sebelumnya yang dilakukan
pada jiwa manusia dan realitas dari kehidupan ialah mengangkat suatu umat
yang rusak menuju ketinggian martabat.2
2
Ketika masyarakat yang bobrok itu diberi keimanan dan bimbingan, ia meletakkan fondasi dari
tatanan baru di dunia dan maju sehingga ia menjadi suatu model moralitas dan keutamaan manusia,
suatu model yang sepertinya belum pernah dilihat sejarah. Bahkan sekarang, ketika kekosongan ruhani
menandai watak dan ruh Barat abad ke-20, ketika orang-orang yang dibesarkan
14
Abad modern3
, yang ditandai dengan perkembangan berbagai bidang
seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, juga bisa meninggalkan
problem serius. Sekadar contoh, dengan semakin majunya teknologi informasi,
orang bukan saja dapat menikmati beberapa stasiun televisi di dalam negeri,
tetapi juga bisa menikmati siaran lain dari luar negeri. Apa yang diperbuat dan
dilakukan oleh bangsa-bangsa yang berbudaya dan berperadaban lain, bisa
ditonton. Mereka yang silau oleh kemajuan peradaban bangsa lain, berusaha
menirunya tanpa selektif. Dengan peniruan yang tidak mempertimbangkan
apakah hal itu sesuai dengan norma-norma agama serta adat istiadat yang
berlaku di tempatnya dan apa pula akibatnya bagi dirinya dan generasi
sesudahnya, akhirnya patokan-patokan moral yang tadinya diagungkan mulai
memudar. Nilai-nilai lama yang sakral, dengan sendirinya terkikis oleh nilai-
nilai baru.
Kalau dahulu kaum wanita merasa malu karena terlihat betis kakinya,
sekarang justru sebagian dari mereka bangga untuk mempertontonkan semua
bagian tubuhnya kepada siapa saja. Pembicaraan tentang seks, yang dahulu
merupakan suatu hal yang tabu, sekarang menjadi pembicaraan di mana saja
dengan tidak rasa pekewuh sedikitpun. Bahkan dengan alasan untuk seni, orang
tidak malu mempertunjukkan gerakan apa
dalam lingkungannya datang berlindung di tangan Islam, terjadi suatu perubahan total dalam rohani
dan etosnya. Para ilmuwan Amerika telah mengakui bahwa ketika orang-orang Amerika-Afrika masuk
Islam, semua aspek kehidupan mereka mengalami perubahan mendalam. Lihat Muhammad Yusuf
Musa, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963, hlm. 45
3
Biasa disebut era globalisasi. Disebut demikian, karena perkembangan informasi maju dengan
sedemikian pesatnya, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia, bisa diikuti dan
disaksikan di tempat lain pada waktu yang sama. Dunia seakan menjadi semakin sempit tanpa batas-
batas teritorial.
15
saja, termasuk gerakan yang paling pribadi kepada khalayak umum.4
Kasus
goyang “ngebor” yang dipertontonkan Inul Daratista beberapa waktu yang lalu
sebagai salah satu contohnya. Di samping masih banyak lagi contoh yang lebih
seronok, yang menunjukkan betapa patokan-patokan etika telah mengalami
pergeseran. Yang jelas, budaya malu, yang menjadi benteng pertahanan
manusia dari perbuatan-perbuatan amoral, sekarang telah runtuh.
Otoritas moral yang berupa adat kebiasaan, kode moral, pernyataan
tentang suatu kaidah, lembaga-lembaga keagamaan, karya sastra yang
disakralkan, hukum alam, kekuasaan negara yang dianggap mempunyai
pengaruh dalam menegakkan moral, sekarang sudah ditinggalkan dan
dianggapnya sebagai masa lalu. Anggapannya, suatu kemajuan hanya bisa
dicapai dengan cara memberontak terhadap nilai-nilai yang sudah mapan.
Sesudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap otoritas moral yang
sudah mapan, timbulah relatifisme yang memandang benar atau salah itu
berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Suatu hal yang dianggap benar, pada
suatu tempat dan waktu, belum tentu benar menurut tempat yang sama, tetapi
waktunya berlainan. Apalagi pada tempat dan waktu yang berbeda. Benar dan
salah adalah relatif.
Ada pula yang memandang bahwa moral itu subyektif, juga relatif.
Moral itu berubah dan berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Para
penganjur etika ini menghormati kaidah-kaidah etika dan kebijaksanaan yang
telah ada. Tetapi, kaidah dan kebijaksanaan itu dianggap sebagai pedoman
4
Lihat M. Darori Amin, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Teologia, Volume 12, Nomor 3,
Oktober, 2001, hlm. 319.
16
yang dapat dikesampingkan jika situasinya demikian. Joseph Fletcher
mengatakan bahwa segala tindakan atau perbuatan apa saja adalah benar atau
salah tergantung kepada situasi yang ada.5
Perbedaan sandaran moralitas ini
membuahkan persepsi etika yang berbeda-beda. Pada akhirnya, perbuatan
baik dan buruk, patokannya berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana ia
dipandang.
Islam sendiri telah memberikan sandaran etika. Bahkan, etika islam
dipandang bisa memberikan kepastian dan kemantapan dalam menentukan
baik buruknya suatu perbuatan, karena bersumber dari wahyu yang mutlak
dan obyektif. Meski mutlak dan obyektif, etika Islam itu juga mengakui
adanya kemubahan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi,
sepanjang tidak bertentangan dengan wahyu itu sendiri. Salah satu kaidah
dalam ushul fiqh mengatakan bahwa hukum berjalan sesuai dengan illat yang
menyertainya.6
Bagi umat Islam, permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari
keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, mutlak
dan transenden, serta syari’ahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga terdapat
pada agama lain.7
Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak hanya
5
Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm.
141-162.
6
Lihat misalnya Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986,
hlm. 755.
7
Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius.
Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun televisi,
karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang bayi. Hati nurani
adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering hanya dapat didengar
kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi perlu menyepi di Gua Hira,
melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat
17
sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau petunjuk
bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam semesta.
Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb (pembimbing,
pendidik) bagi seluruh alam.
Teori etika merupakan gambaran rasional mengenai hakikat dan
dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang
menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral
diperintahkan atau dilarang. Oleh karena itu bahasan etika selalu
menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika,
justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan
antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk. Sistem etika harus
berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek moral yang bermakna dan
koheren.8
mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun melakukan
metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan. Lihat Ahmadun
Yosi Herfanda, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam Http://www.republika.co.id. Tgl.
1 Agustus, 2004.
8
Al-Qur'an melibatkan pembahasan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim,
tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan ethos Islam.
Jadi bagaimana cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga
hal yang menjanjikan arah di mana penelitian tentang etika dapat membuahkan hasil, yang kesemuanya
itu kembali kepada teks al-Qur'an itu sendiri; tafsir, fiqh dan kalam. Para sufi dan filosof, yang sering
menggali otoritas al-Qur'an untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat
dikatakan telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia. Mereka
telah berhutang budi kepada pengaruh-pengaruh luar seperti India, Yunani, Kristen dan lainnya telah
membentuk pemikiran mereka. Oleh karena itu, teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas
yang tinggi yang menyusunnya sebagian berasal dari teori-teori umum yang berakar dari al-Qur'an dan
sunnah. Teori-teori tersebut mungkin dibentuk sebagai teori skriptual atau teologis yang bergantung
kepada keluasan mereka bertumpu kepada teks kitab suci atau kesepakatan terhadap teks yang dapat
diterima ketika menghadapi nilai atau intepretasi secara dialektik. Lihat Majid Fakhry, Ethical
Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm.
xv-xvi.
18
Selanjutnya etika menjadi suatu ilmu yang normatif,9
dengan
sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Titik berat penilaian etika ialah perbuatan baik atau jahat, susila
atau tidak susila. Manusia dalam semua perbuatannya, bagaimanapun juga
mengejar sesuatu yang baik. Berbuat baik merupakan tanggung jawab moral
bagi semua manusia, dan pelaksanaan dari tanggung jawab ini sebagai
pencerminan dari jiwa yang berpribadi. Bertanggung jawab berarti pula
memfungsionalkan sifat-sifat manusia untuk mempertahankan nilai-nilai pribadi
yang luhur, serta dapat mendudukkan nilai harga diri manusia sebagai manusia.
Kemudian manusia selalu memikirkan prinsip-prinsip tentang masalah mana
yang benar dan mana yang salah. Persoalannya, ukuran norma baik-buruk
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana dalam pandangan
relatifisme di atas. Suatu hal yang baik dan benar di suatu tempat, mungkin
akan dianggap salah atau jahat di tempat yang lain.
Pola hubungan dan perbuatan apapun sangat diperhatikan oleh Islam.
Karena Islam memperhatikan etika, dikenalah apa yang disebut “etika Islami”
seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, pola berbusana, dll.
Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola
berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam
9
Karena dikatakan sebagai ilmu, maka penjelasan makna baik, buruk, hak dan kewajiban moral
tidak dapat dipisahkan dari proses aktivitas rasional (akal manusia). Artinya, etika bukanlah sebagai
ajaran/doktrin yang harus diikuti begitu saja (taklid buta) oleh manusia, tetapi ia merupakan “metode”
atau “filsafat moral” untuk memahami benar atau salahnya suatu doktrin/ajaran moral itu sendiri. Lihat
Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 3.
19
bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana
hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan
aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih
menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang
sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak
berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.10
Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini
masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan
atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai pola
busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam. Jilbab sendiri masih sarat
makna. Jilbab tidak hanya dipakai oleh orang tua, tapi juga para remaja, pekerja
di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur
sekalipun. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama
yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim
dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian,
berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai
pada berbagai aktivitas kesehariannya. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi
simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas
lainnya (abangan dan non-muslim). Kalangan selebritis sibuk menutupi
kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas
pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan
beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun
10
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130
20
dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk
meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual. Begitu pula para
pelacur di Nangroe Aceh Darusalam (NAD) misalnya. Mereka
menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab.11
Mengingat posisinya
sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan
moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan
memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan
dihormati di tengah-tengah masyarakat. Jadi, tidaklah layak jika
menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh.
Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai
perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.
Proporsi di atas menjadi menarik jika dikaitkan dengan pola
berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, yang memiliki simbol identitas
tersendiri seakan menunjukkan sebagai perguruan tinggi yang berbasis
ilmu-ilmu keislaman dan difokuskan mengakaji ilmu-ilmu keislaman pula.
Kemudian apakah pola berbusana demikian, utamanya memakai jilbab
bagi mahasiswi IAIN Walisongo hanya sebatas simbol kultural yang
membedakan dengan perguruan tinggi umum, atau memang sebagai etika
religius berbusana yang dijunjung tinggi? Jika benar, lalu bagaimana
femonema banyaknya busana yang dipakai mahasiswi IAIN yang masih
kelihatan seronok, misalnya walaupun memakai jilbab, tapi dipadukan
dengan baju, celana yang super ketat, tansparan, sehingga kelihatan lekuk-
lekuk tubuhnya. Hal inilah yang menarik untuk dilakukan penelitian.
11
Lihat Sri Rahayu Arman, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam
Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.
21
B. Rumuan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas maka permasalahan yang akan diteliti dan dicari
jawabannya adalah:
1. Bagaimanakah pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal etika
berbusana?
2. Bagaimanakah implikasi dari pemahaman etika berbusana mahasiswi IAIN
Walisongo tersebut?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola berbusana mahasiswi IAIN
Walisongo?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat pula, maka
penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk mendeskripsikan pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal
etika berbusana.
2. Untuk mengevaluasi implikasi dari pemahaman etika berbusana
mahasiswi IAIN Walisongo.
3. Untuk mengungkap faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola
berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.
Setelah dikemukakannya tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini
mempunyai signifikansi yang jelas dan dapat dijadikan rujukan. Minimal
dijadikan bahan diskusi bagi civitas akademika IAIN Walisongo pada
khususnya dan praktisi pendidikan keagamaan pada umumnya, agar dapat
22
membimbing, mengarahkan dan memberikan stressing tertentu terhadap
mahasiswi, agar etika religius berbusana terarah pada kondisi yang
diharapkan.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang masalah etika banyak ditemukan dalam buku-buku
maupun dalam bentuk penelitian-penelitian lapangan. Selanjutnya untuk
membahas persoalan-persoalan di atas, berikut penulis ilustrasikan beberapa
buku yang dipandang terkait.
Fadwa El Guindi dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia; Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawaran
mengemukakan bahwa berjilbab lebih merupakan identitas serta kerahasiaan
pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Wacana publik tentang jilbab seringkali
berputar-putar pada pertanyaan: apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab
ataukah substansi ajaran agama; apakah ia sebuah simbol kesalehan dan
ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan
pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat
memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda
keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Pada titik
ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi—sebuah permainan makna
dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan
normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat,
kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan
23
(ruang gerak, persamaan dll). Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi
simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya,
pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai
tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan
individu dalam komunitasnya.12
Majid Fakhry dalam bukunya Etika dalam Islam, melakukan kajian
yang intens mengenai akhlak, dengan melakukan teoritisasi etika dalam Islam.
Sehingga norma-norma akhlak Islam yang diformulasikan dalam teori-teori itu,
kemudian dapat dijabarkan dalam langkah-langkah nyata yang lebih konstektual
serta menyentuh persoalan umat, namun tetap di atas prinsip-prinsip Islam, yang
bersumber pada al-Qur'an dan sunnah. Fakhry rupanya banyak menggunakan
metode horizontal dalam kajiannya yang semata-mata mengikuti garis
perkembangan kronologis, dan metode analitis atau skematis yang berkaitan
dengan tema-tema besar etika yang vertikal. Tipologi resultan teori-teori besar
etika di dalam kerangka definisi yang jelas, di mana tipe skriptual dan tipe
filosofis adalah dua hal yang bertentangan. Selanjutnya, buku ini
mengemukakan tentang moralitas skriptual, etika teologis, etika filosofis dan
moralitas religius.13
W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral; Kesusilaan dalam
Teori dan Praktek, berargumen bahwa moral itu adalah sesuatu yang benar-
benar ada dan tidak dapat dipungkiri. Adanya keyakinan tentang moral dan
12
Fadwa El Guindi, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman “Jilbab: Antara
Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi, 2003.
13
Majid Fakhry, loc.cit.
24
keharusannya itu bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, walaupun hal-hal itu
kadang kurang nampak dan kurang jelas. Pelanggaran moral bukanlah
kesalahan biasa, seperti salah pukul dalam badminton atau salah tendang dalam
sepak bola, melainkan sesuatu yang menyangkut manusia sampai sedalam-
dalamnya. Jika demikian, maka yang sebaiknya jugalah yang benar, yakni
bahwa perbuatan yang baik secara moral itu berupa kebaikan yang sedalam-
dalamnya pula. Seperti pelanggaran moral dipandang sebagai sesuatu yang anti
perikemanusiaan, demikian juga penataan terhadap moral dilihat sebagai
sesuatu yang sesuai sepenuhnya dengan perikemanusiaan yang sejati. Hal inilah
yang termuat dalam bahasa dan gagasan sehari-hari. Hampir tidak ada orang
yang mau disebut binatang meskipun kelakuannya melebihi binatang.14
Ahmad Amin dalam bukunya, al-Akhlak menyajikan berbagai
persoalan etika, mulai dari definisi, aspek-aspek kejiwaan sebagai dasar
perilaku (behavior), teori etika dan sejarahnya, dan etika praktis. Ahmad Amin
menyebutkan dasar-dasar perilaku secara luas yang meliputi instink, adat
kebiasaan, turunan dan lingkungan, kehendak, motif, akhlak, suara hati dan cita-
cita. Sayangnya, perilaku yang menjiwai perjuangan Rasulullah dan Khulafa’
al-Rasyidun tidak banyak dikaji, sehingga dasar perilaku hakiki yang menjiwai
semangat mereka tidak terlihat.15
14
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka
Grafika, 1999.
15
Ahmad Amin, Al-Akhlak, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.
25
Sayid Mujtaba Musawi Lari dalam bukunya Etika dan Pertumbuhan
Spiritual, banyak mengemukakan bahwa etika erat kaitannya dengan
pertumbuhan spiritual. Sebab manusia berbeda dengan binatang, manusia
dituntut untuk hidup sesuai dengan asas perilaku yang disepakati secara umum
dan harus tahu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan
kewajiban moral, sedangkan binatang tidak. Jika manusia mampu menjalaninya,
maka itulah yang disebut manusia yang beretika. Jika tidak, maka jangan heran
jika manusia akan bertingkah laku seperti binatang. Banyak fakta membuktikan
bahwa dunia ini sudah begitu ramai dengan tingkah-polah binatang berwujud
manusia. Mereka tidak memberi kesempatan benih spiritualisme untuk tumbuh
dan berkembang, karena yang mereka sirami justru benih-benih hasrat hewaniah
yang membunuh spiritualisme dan kemanusiaan.16
Adapun penelitian yang ada kaitannya dengan karakteristik
mahasiswa IAIN Waslingo, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Shodiq
Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo”. Dalam
penelitiannya, Shoqid menyimpulkan bahwa sistem pendidikan di IAIN
Walisongo agaknya belum mampu membentuk dan menciptakan pribadi
mahasiswa yang cenderung berpikir realistik secara maksimal; yaitu pola
berpikir yang bersifat faktual, real, logis atau rasional sebagai suatu pendapat
yang dapat diterima atau diyakini kebenarannya. Kebanyakan mahasiswa masih
berpikir secara autistik, artinya, ersifat mistis atau fatalistik sebagai
16
Sayid Mujtaba Musawi Lari, loc.cit.
26
suatu yang dapat diterima atau diyakini keabsahannya. Padahal IAIN
merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang diharapkan bukan saja
mampu mengembangkan diri sebagai lembaga keagamaan tetapi juga mampu
memfungsikan diri sebagai lembaga keilmuan. Perbedaan kurikulum di masing-
masing fakultas agaknya sangat mempengaruhi corak pemikiran keagamaan
mahasiswa.17
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka topik yang penulis angkat berbeda
dengan lainnya, yang bersifat kasuistik. Oleh karenanya, permasalahan yang
penulis angkat mengenai etika religius berbusana mahasiswi layak untuk
diangkat. Tanpa sikap a priori, penulis berkesimpulan belum ada penelitian
yang secara khusus membahas topik ini.
E. Metode Penelitian
Penulis akan menitikberatkan pada pengolahan data secara kualitatif.
Teknik ini penulis gunakan dengan pertimbangan; pertama, menyesuaikan
metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda.
Kedua, metode ini mendekatkan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dengan responden. Ketiga, kualitatif lebih peka dan dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yag dihadapi.18
Sehinga pola ini lebih tepat dalam penelitian
17
Shodiq Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang”
dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2 Nopember 2003.
18
Lexy J. Muleong, Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995,
hlm. 5.
27
ini, karena untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian jika diharapkan pada
persoalan-persoalan tersebut.
Secara metodologis, langkah-langkah yang akan penulis tempuh
adalah:
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yaitu pencarian dan pengumpulan data
yang dipergunakan untuk membahas masalah atau problematika dalam
penelitiani ini. Dalam pengumpulan data ini menggunakan penulis terjun
langsung ke obyek yang akan diteliti. Jenis penelitian semacam ini lazim
disebut field research (penelitian lapangan).19
Obyek penelitian ini adalah
mahasiswi IAIN Walisongo secara umum, yang kemudian dengan
pertimbangan efesiensi, penulis akan melakukan pengacakan pada
mahasiswi atau diambil sampelnya saja. Adapun sampel yang diambil
adalah mahasiswi yang aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan baik di
ekstra maupun intra kampus. Berdasarkan tiga pokok permasalahan yang
penulis angkat, maka sampel mahasiswi yang diambil ialah mereka yang
aktif di organisasi ekstra seperti KAMMI, IMM, HMI dan PMII dan
organisasi intra kampus seperti UKM Mawapala, UKM Musik dan UKM
Teater.
Langkah-langkah yang ditempuh melalui; pertama, observasi,
yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-
19
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983, hlm.
22.
28
fenomena yang diselidiki,20
dalam hal ini mahasiswi IAIN Walisongo
seperti yang disebutkan di atas. Kedua, wawancara atau interview.
Wawancara adalah mencakup cara yang diperlukan seseorang untuk suatu
tugas tertentu untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang
responden dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.21
Metode ini digunakan dalam bentuk pertanyaan kepada responden yang
bersangkutan. Ketiga, metode angket terskturktur, yaitu sejumlah
pertanyaan tertulis yang pilihan jawabannya telah disediakan.22
Metode
angket ini sebagai data pendukung saja untuk membantu responden dalam
memberikan jawaban.
2. Metode Analisis Data
Analisa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif. Dalam mendeskripsikan juga mencakup upaya klarifikasi
kriteria-kriteria tertentu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
data yang telah terkumpul. Kemudian penulis kembangkan untuk membuat
prediksi.23
Langkah terakhir dalam penelitian, dalam upaya untuk
memperoleh suatu kesimpulan yang akurat, penulis akan menggunakan dua
alur pemikiran yaitu induktif dan reflektif. Induktif adalah suatu pola
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
1997, hlm. 234.
21
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 129.
22
Suharsimi Arikunto, op.cit., hlm. 236.
23
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989, hlm. 68-
69.
29
pemahaman yang dimulai dengan mangambil kaidah-kaidah yang bersifat
khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan
reflektif adalah suatu proses berfikir yang mondar-mandir dari data yang
satu ke data yang lain.24
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang utuh dan terpadu atas hasil
penelitian ini, maka sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab.
Adapun rinciannya sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar
belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian yang sekaligus berfungsi
sebagai argumentasi. Selain itu dikemukakan kajian pustaka, kerangka teoritik,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan memaparkan kajian-kajian mengenai diskursus-
diskursus etika sebagai landasan teori. Pada bab ini memuat; istilah etika, norma
dasar etika, etika Islam dan norma-normanya, etika berbusana, etika berbusana
dilhat dari fungsinya dan seputar kontroversi jilbab.
Bab ketiga akan menyajikan etika religius berbusana mahasiswi IAIN
Walisongo. Bab ini memuat; potret mahasiswa IAIN Walisongo dan corak
keagamaannya, pemahaman etika religius berbusana mahasiswi, sekaligus
faktor-faktor apa yang mempengaruhi.
24
Ibid., hlm. 92-93.
30
Bab keempat merupakan analisis. Point-point yang akan dianalisis
adalah; analisis terhadap pemahaman etika religius berbusana mahasiswi,
analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi etika religius berbusana dan
pola ideal etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.
Bab kelima adalah penutup. Hasil pembahasan dalam penelitian ini
akan dipaparkan dalam bagian kesimpulan yang merupakan penegasan jawaban
pokok problematika yang diangkat dan asumsi-asumsi yang pernah diutarakan
sebelumnya.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Shodiq, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang” dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2
Nopember 2003.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002.
Al-Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.
Amin, Ahmad, Al-Akhlak, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.
Amin, M. Darori, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Teologia, Volume 12, Nomor
3, Oktober, 2001.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Arman, Sri Rahayu, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam
Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.
El Guindi, Fadwa, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman
“Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi,
2003.
Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam
Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996.
Herfanda, Ahmadun Yosi, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam
Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.
Koenjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf
”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1989.
Muleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya,
1995.
32
Musa, Muhammad Yusuf, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-
Khanji, 1963.
Poespoprodjo, W., Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Salam, Burhanuddin, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1983.
Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
33
BAB II
DISKURSUS-DISKURSUS ETIKA
A. Istilah Etika
Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin ethic yang dalam
terjemahan bahasa Inggris kata ethic diartikan dengan “tata susila”.25
Sedangkan
secara terminologi, istilah etika menurut Ahmad Amin adalah yang dalam
bahasa Gerik disebut ethikos; yaitu a body of moral principles or values, atau
kebiasaan, habitat, custom.26
Dengan demikian, dalam pengertian aslinya apa
yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat
(dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti pengertian
sekarang. Etika ialah pengertian yang membicarakan masalah perbuatan atau
tingkah laku manusia, seperti mana yang dapat dinilai baik dan mana yang
jahat.27
Kronologis penggunaan istilah etika itu dimulai oleh Montaigne (1533-
1592), seorang penyair Perancis dalam syair-syairnya yang terkenal pada tahun
1580.28
Istilah lain yang berdekatan etika ialah moral, dan akhlak yang sama-
sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia, bahkan
terkadang ketiganya berjalan seiring. Menurut Yunahar Ilyas, perbedaan etika,
25
Lihat Markus Willy, dkk., Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris,
Surabaya: Arloka, 1997, hlm. 172.
26
Lihat Ahmad Amin, Al-Akhlak, terj. Farid Ma’ruf, “Etika”, Bandung: Bulan Bintang, 1975,
hlm. 1-3.
27
Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka
Cipta, 2000, hlm. 3.
28
Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 5.
34
akhlak dan moral terletak pada standar masing-masing. Etika standarnya
pertimbangan akal dan pikiran; akhlak standarnya al-Qur’ân dan sunnah, dan
moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.29
Sedangkan menurut Harold Titus, dkk., perbedaanya hanya dari sudut bahasa,
moral berasal dari kata Latin “moralis”, etika berasal dari kata “ethos”, dan
akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti. Ketiganya berarti “kebiasaan” atau “cara hidup”.30
Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi
norma (aturan) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Dari segi inilah didapati pemakaian dengan nilai-nilainya yang filosofis.
Sementara ilmu yang mempelajari pelaksanaan atau realisasi etika dalam
praktek kehidupan sehar-hari itu disebut casuistic; orang yang mempelajarinya
disebut casuist.31
Titik tekan penilaian etika sebagai suatu ilmu ialah pada perbuatan baik
atau jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah
menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak
atau budi-pekerti. Budi sendiri tumbuhnya dalam jiwa. Apabila telah dilahirkan
dalam bentuk perbuatan namanya pekerti.32
Jadi suatu budi
29
Lihat Yunayar Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
(LPII), 2004, hlm. 3.
30
Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm.
141.
31
Lihat Somon Blackburn, Being Good; Pengantar Etika Praktis, terj. Hari Kusharyono,
Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 7. Lihat pula Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2004, hlm. 16.
32
Lihat Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 7. Lihat pula M. Amin Abdullah, Filsafat Etika
Islam; Antara al-Ghazâlî dan Kant, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 67.
35
pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa, semasih menjadi angan,
imajinasi, cita, niat hati, sampai ia lahir ke luar berupa perbuatan nyata.
Sebenarnya, setiap perbuatan dapat dinilai pada tiga tingkat. Tingkat
pertama, semasih belum lahir jadi perbuatan atau masih berupa rencana dalam
kata hati, niat. Tingkat kedua, sesudahnya, yaitu sudah berupa perbuatan nyata
atau pekerti. Tingkat ketiga, akibat atau hasil dari perbuatan itu; baik atau tidak
baik.33
Apa yang masih berupa kata hati atau niat itu, dalam bahasa filsafat
ataupun psikologi, biasa disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Isi dari
karsa atau kemauan itulah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Langkah-
langkah yang ditempuh oleh perbuatan itulah yang dinilai, karenanya dapat
digunakan empat variabel; Pertama, tujuannya baik, tetapi cara pencapaiannya
tidak baik. Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan.
Masalah tujuan tidak perlu dibicarakan lagi, karena sudah jelas baik, yang
dinilai sekarang ialah cara mencapainya.34
Kedua, tujuannya tidak baik, tetapi
cara mencapainya (kelihatannya) baik, atau tujuannya jahat, tetapi
memperolehnya kelihatan baik. Ini menggambarkan bahwa cara yang ditempuh
itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik, diliputi oleh kepalsuan, penipuan. Cara
kerja seperti ini terkenal dalam sejarah sebagai suatu sistem kerja/taktik yang
pernah dipakai oleh orang komunis yang menghalalkan
33
Lihat Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 4-5.
34
Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan; misalnya seorang pedagang, untuk menyekolahkan
anaknya, supaya anak tersebut dapat diterima, ia telah betindak menyuap beberapa orang panitia
penguji. Menyekolahkan anak, adalah suatu perbuatan baik. Tetapi jalan yang ditempuhnya itu tidak
terpuji. Yang tidak terpuji di sini tentulah kedua belah pihak; yang memberi suap dan yang menerima
suap. Lihat Ibid., hlm. 5-6.
36
berbagai cara.35
Ketiga, tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak
baik. Ini menggambarkan bahwa untuk memcapai tujuan yang jahat dan dapat
merugikan orang lain, cara apapun ditempuh, misalnya harus menipu,
memperdaya atau bahkan sampai membunuh.36
Keempat, tujuannya baik, cara
mencapainya juga baik. Cara inilah yang diajarkan oleh etika. Suatu tujuan baik,
hendaknya diusahakan pula cara yang baik untuk mencapainya.37
Semenjak zaman Yunani kuno hingga kini, manusia selalu memikirkan
prinsip-prinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Mereka
mempunyai ukuran-ukuran dan norma-norma yang berbeda. Suatu tindakan
mungkin akan dianggap terpuji di sauatu tempat, akan tetapi di tempat lain dianggap
salah atau jahat. Begitu pula suatu perbuatan mungkin dianggap baik di suatu waktu,
tetapi dengan berubahnya zaman, perbuatan yang dianggap baik pada masa lampau
dianggap jelek pada masa kini. Sebaliknya, suatu perbuatan jahat dan jelek mungkin
dianggap baik dan benar pada tempat dan waktu yang berbeda. Hubungan badani
sebelum menikah akan dianggap wajar oleh bangsa-bangsa Barat. Tetapi, bagi
orang-orang Timur, khususnya muslim, hal tersebut merupakan perbuatan tercela.
Dahulu seorang wanita berpantang keluar dan
35
Sebagai contoh misalnya strategi untuk dapat merebut pemerintahan, mula-mula ditempuhnya
taktik kerjasama dengan semua pihak, kelihatannya fair, simpatik. Tetapi suatu saat ia telah merasa
dirinya kuat, semua kawan sekerjanya tadi yang tidak seasas dengannya, diterkam. Kasus seperti ini
dari segi politik komunis hukumnya biasanya, wajar, tetapi dari segi etiks hukumnya jahat. Lihat Ibid.,
hlm. 7.
36
Dapat dicontohkan misalnya seorang penjahat, untuk mendapatkan yang tersimpan di bank
atau yang merupakan harta kekayaan seseorang, sang perampok tadi tidak akan sayang membunuh
jiwa bebrapa orang yang tidak berdosa, yang menghalangi jalannya. Ibid., hlm. 8.
37
Inilah yang ideal, misalnya mau lulus ujian syaratnya harus; belajar bersungguh-sungguh,
teliti, disiplin diri, jadi bukan dengan jalan menyogok. Mau membantu mahasiswa untuk lulus,
syaratnya ialah memberikan bimbingan secara intensif, aktifkan belajar dengan sungguh hati. Jadi
tidak dengan cara menerima sogokan. Itu berarti meracuni jiwa seseorang dan memberikan contoh
yang sungguh tidak terpuji bagi seorang pendidik. Ibid.
37
bekerja pada malam hari. Tetapi pada masa industrialisasi sekarang ini, untuk
sebagian orang hal tersebut sudah dianggap sebagai hal yang lumrah.38
Dengan demikian dapat ditegaskan lagi bahwa etika ialah suatu yang
menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Etika sering pula
disinonimkan dengan akhlak dan moral. Perbedaannya terletak pada standar masing-
masing, namun maksudnya sama, yaitu menentukan nilai baik dan buruk perbuatan
manusia.
B. Norma Dasar Etika
Norma-norma etika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu norma
ekstern dan norma intern. Norma ekstern terdiri atas beberapa paham; pertama,
paham pragmatisme. Paham ini menimbang kebaikan dan keburukan suatu
perbuatan dari manfaat yang dapat dihasilkan, baik ditinjau dari segi rohani maupun
materi dan individu maupun kelompok. Dengan demikian perbuatan yang dianggap
baik adalah yang bermanfaat. Semakin besar manfaat suatu perbuatan, semakin
tinggi pula nilai kebenarannya.39
Kedua, paham yang mengambil jalan tengah antara dua perbuatan jelek.
Norma ini dicetuskan oleh Aristoteles. Menurut paham ini, perbuatan baik adalah
yang menjadi jalan tengah antara dua perbuatan yang jelek. Sebagai contoh
38
Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islami; al-‘Aqliyyun
wa al-Dzauqiyyun aw al-Nadzar wa al-Amal, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-Arabiyah, 1992, hlm. 34.
Lihat pula Majid Fakhri, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam Islam”,
Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. 24.
39
Lihat M. Darori Amin, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Jurnal Teologia, Volume 12,
Nomor 3, Oktober 2001, hlm. 321.
38
kedermawanan adalah baik, karena merupakan jalan tengah antara kikir dan
boros. Kesabaran adalah terpuji, karena jalan tengah antara kekerasan dan
kelemahan.40
Ketiga, paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan. Bagi
paham ini, suatu perbuatan diangap baik apabila sesuai dengan lingkungannya.
Kesesuaian dengan lingkungan menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan,
sedengkan ketidak-sesuaian dengan lingkungan menyebabkan penyakit dan
kesengsaraan.41
Keempat, paham yang memandang kepada kenyataan dan percobaan.
Norma akhlak bagi paham ini merupakan percobaan, yang dengannya akan
diketahui baik buruknya suatu perbuatan. Apabila dalam percobaan tersebut dapat
dipetik manfaat material maupun spiritual, perbuatan tersebut dapat dikatakan baik.
Tetapi apabila tidak, perbuatan itu jelek atau buruk.42
Sedangkan norma intern, dapat didefinisikan sebagai suatu daya yang
berasal dari manusia sendiri, yang dengannya manusia bisa membedakan antara
perbuatan yang baik dan buruk. Para pengikut paham ini bersepakat tentang adanya
kekuatan bathiniyah di dalam diri manusia untuk membedakan antara yang benar
dan yang salah. Daya tersebut dinamakan concience atau dhamir (hati nurani), yang
merupakan cermin bagi perbuatan manusia. Dari padanya akan
40
Akan tetapi setelah dilakukan penelitian, banyak yang menganggap bahwa norma ini
mengandung kelemahan, karena banyak perbuatan jelek yang tidak ada jalan tengahnya, seperti pree
sex, berbohong, menciri dan sebagainya. Lihat Ibid.
41
Lihat Ibid.
42
Lihat Ibid., hlm. 322.
39
terpantul apakah perbuatan tersebut baik atau buruk. Suara hati, bukan saja
memberikan informasi tentang baik atau buruknya suatu perbuatan, tetapi
memberikan ganjaran kegembiraan bagi yang melakukan baik, dan penyesalan bagi
yang melakukan perbuatan jahat.43
Menurut paham rasionalisme, rasio merupakan satu-satunya daya yang
dimiliki manusia untuk mengetahui antara yang baik dan yang buruk. Pencetus
pendapat ini adalah Socrates dan Plato, yang kemudian dilanjutkan dengan paham
Mu’tazilah dalam Islam, dan selanjutnya oleh Imanuel Kant dari Jerman. Paham ini
telah menggAbûngkan antara akal dan kehendak baik. Perbuatan baik merupakan
perbuatan yang keluar dari kehendak yang baik. Untuk itu, paham ini membuat tiga
prinsip bagi seseorang dalam melakukan perbuatan,: pertama, prinisip umum. Jika
seseorang akan melakukan suatu perbuatan, hendaknya melakukan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip yang bisa diterima publik dan telah menjadi undang-undang.
Kedua, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan tidak menjadikannya
sebagai alat. Jika seseorang akan melakukan suatu tindakan, hendaknya ia dapat
memperlakukan dengan baik kemanusiaan yang ada pada dirinya dan orang lain.
Ketiga, kebebasan betindak dari interes dan hasil-hasil dari perbuatan tadi, serta
tidak akan tunduk kecuali kepada akal.44
Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan bahwa norma-norma etika dapat
dikelompokkan pada norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern dibagi pada
paham pragmatisme, paham jalan tengah antara dua perbuatan baik dan jelek,
43
Lihat Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm.
90.
44
Ibid., hlm. 93.
40
paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan dan paham yang memandang
kepada kenyataan dan percobaan. Sedangkan norma intern ialah suatu daya yang
berasal dari manusia sendiri yang menggunakan beberapa prinsip; prinsip umum,
prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan prinsip kebebasan betindak.
C. Etika Islam dan Norma-normanya
Kalau di atas telah disebutkan pengertian etika secara umum, perlu pula
disebutkan di sini pengertian etika Islam. Pengertian etika Islam ialah; “prinsip-
prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan-perbuatan manusia yang
telah digariskan oleh wahyu, untuk mengatur kehidupan mereka dan mencapai
tujuan dari keberadaan mereka di dunia ini dengan cara yang sebaik-baiknya”.45
Artinya, prinsip-prinsip atau aturan yang mengaturan perbuatan baik dan buruk
yang menurut Toshihiko Izutzu disebut oleh al-Qur’ân dengan shalih dan tidak
shalih, dalam bahasa Inggrisnya disebut righteous (sepantasnya). Kata shalih ini
selalu berdekatan penyebutannya dengan kata iman, karenanya memiliki hubungan
semantik yang mengikat.46
Perbedaan pokok etika Islam dan etika yang lainnya terletak pada sumber.
Sumber utama dari etika secara umum ialah penilaian manusia, karenanya bersifat
relatif. Sedangkan sumber utama dari etika Islam adalah wahyu
45
Lihat Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji,
1963, hlm. 54.
46
Lihat Toshihiko Izutzu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, terj. Agus Fahri Husein “
Konsep Etika Religius dalam al-Qur’ân, Yogyakarta: Tiara Wacana, 3003, hlm. 246.
41
yang datang dari Allah S.W.T. dan Nabi Muhamamd s.a.w. Karena sumbernya
wahyu, maka sumber etika Islam bersifat mutlak.
Wahyu merupakan sumber utama etika Islam. Sumber utama ini kemudian
dikembangkan menjadi tiga; al-Qur’ân dan al-Sunnah, kemauan yang baik dan
tujuan, akal dan hati nurani. Kesemuanya saling melengkapi dan terkait,
sebagaimana dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Al-Qur’ân dan al-Sunnah
Al-Qur’ân yang diturunkan kepada umat manusia antara lain untuk
dijadikan petunjuk dan pembeda antara yang baik dan yang salah. Dalam al-
Qur’ân dijumpai petunjuk-petunjuk bagaimana seorang muslim itu harus
berhubungan dengan sesama manusia serta bagaimana pula cara-cara
mereka memperlakukan alam ini dan manfaatnya.
Ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu mengikuti
petunjuk-petunjuk al-Qur’ân antara lain terdapat dalam surat al-Nisâ’ ayat
59 yang berbunyi:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
42
berlainan pendapat tentnag sesuatu, maka kembalilah ia
kepada Allah (al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. al-Nisâ’ (4): 59).47
Kemudian pada ayat 105 disebutkan:
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang kianat”. (Q.S.
al-Nisâ’ (4): 105). 48
Surat al-Isra’ ayat 9 menyebutkan:
47
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Terjemahnya, Madinah:
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 128.
48
Ibid., hlm. 139.
43
^i ^ ^ ar* jsj Cy X !> c*fi 'c» ^ ^
Artinya : “Sesunguhnya al-Qur’ân it u memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lurus dan memberi kabar gembira keapda orang-orang
mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar”. (Q.S. al-Isra’ (17): 9)49
.
Sedangkan perintah untuk mengikuti al-Sunnah, karena salah satu
misi diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyermpurnakan akhlak” (hadîts diriwayatkan oleh Imam Malik).50
Akhlak
Nabi sendiri merupakan aktualisasi dari akhlak al-Qur’ân. Aisyah r.a.
berkata: “Akhlak Nabi adalah al-Qur’ân”. (H.R. Muslim).51
Oleh karenanya,
Nabi Muhammad itu menjadi teladan dan panutan bagi semua muslim
Secara umum, akhlak yang digariskan al-Qur’ân dapat dirinci
menjadi: iman kepada Allah, ikhlas, kejujuran, melaksanakan amanat dan
menepati janji, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
49
Ibid., hlm. 425-426.
50
Lihat Muhammad al-Ghazâlî, Khuluq al-Muslim, Cairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsash, 1974,
hlm. 7.
51
Muslim ibn Hajaj, Shahîh Muslim, Juz I, Beirut: Dâr al-Ilm, t.th., hlm. 47.
44
Kemudian berusaha mencapai hal yang baik dan mulia, tolong-menolong
dalam kebaikan, tekun dalam melakukan sesuatu, lurus dan moderat,
mengikuti perbuatan-perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan-
perbuatan jahat dan sebaginya.52
Ibadat-ibadat yang disyari’atkan dalam Islam, bukan hanya
peribadatan-peribadatan yang tidak bisa dipahami, tetapi menjadi ikatan
antara manusia dengan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahuinya. Selain itu
berfungsi sebagai latihan dalam membiasakan manusia untuk hidup secara
rasional, konsisten dalam setiap kondisi.53
2. Kemauan Baik dan Tujuan
Sebetulnya norma ini sudah tercakup dalam norma al-Qur’ân dan
al-Sunnah, yakni semua perbuatan itu haruslah didasarkan pada keikhlasan,
yaitu hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Tetapi karena
pentingnya norma ini, maka perlu ada bahasan tersendiri.
Kemauan seseorang dapat menentukan baik buruknya suatu
perbuatan. Kalau wujud perbuatan itu jelak tetapi niatnya baik, dianggaplah
suatu perbuatan yang baik. Tetapi sebaliknya, apabila niatnya tidak baik,
perbuatan itu dianggap jelek. Begitu pula dalam etika Islam.
52
Lihat Muhammad al-Ghazâlî, op.cit., hlm. 90. Lihat pula Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an, terj. Mansuruddin Djoely “Etika Beragama dalam Qur’an”, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993, hlm. 26, dst.
53
Lihat Miqdad Yalchan, al-Ittijah al-Akhlaqi fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1973,
hlm. 273-277.
45
Islam tidak sekadar melihat baik buruknya wujud suatu perbuatan, tetapi
juga melihat dari niat yang menyebabkan timbulnya perbuatan itu. Rasul
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh, dan bentuk-
bentukmu, tetapi kepada hatimu” (H.R. Bukhari).54
Di dalam hadîts yang
lain Rasûlullâh bersabda: “Mata manusia itu ibarat petunjuk, telinga dan
lidahnya penerjemah, kedua tangannya sayap, kedua kakinya utusan dan
hatinya adalah raja. Apabila raja itu baik, tentara-tentaranya baik. Kalau
demikian peranan hati, wajib diawasi untuk dicuci dari hal-hal yang
mengotorinya” (H.R. Muslim).55
Karena persoalan niat, Allah mencela orang yang melakukan shalat
tetapi disertai riya, yakni orang yang berniat dalam shalatnya itu agar dilihat
orang lain (Q.S. al-Ma’un (107): 4-6).56
Begitu pula Rasûlullâh pernah
mengecam orang yang hijrah ke Yatsrib, karena hijrahnya bukan memenuhi
perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi karena melaksanakan permintaan calon
isteri yang akan dinikahinya. Walaupun hijrah merupakan perbuatan yang
mulia dan baik, tetapi karena niatnya yang salah, rasul mengecam hijrah
tersebut dengan sabdanya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung
kepada niatnya dan sesungguhya setiap orang akan mendapat balasan sesuai
niatnya”. (H.R. Bukhari).57
54
Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh Bukhari, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 67.
55
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 14.
56
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 1108.
57
Lihat al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 57.
46
Bagi orang muslim, sebelum melakukan perbuatan diperintahkan
untuk membaca basmalah. Perintah ini bukan berarti perintah untuk
meminta berkah dan pertolongan melalui bacaan ini, tetapi merupakan
perintah dan petunjuk bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah karena
Allah S.W.T. dan hanya diperuntukkan kepada-Nya. Setelah perbuatan
tersebut didasari dengan niat yang baik, sebagai pengabdian kepada Allah
S.W.T., maka perbuatan orang tersebut mempunyai tujuan utama, meraih
kebahagiaan ukhrawi.58
3. Hati Nurani
Norma ini merupakan daya asli manusia yang membuat seseorang
itu merasa lega apabila melakukan perbuatan baik, dan menyesal apabila
melakukan perbuatan jahat. Oleh karenanya, Islam mengakui norma ini, dan
menetapkannya sebagai salah satu norma-norma etika Islam. Di dalam jiwa
manusia itu terdapat dua kekuatan yang saling tarik menarik dalam berbuat.
Yang menarik kebaikan adalah hati nurani, dan yang menarik kepada
kejahatan adalah hawa nafsu.
Terkait dengan persoalan hati nurani, Allah S.W.T. berfirman:
58
Abû Hamid al-Ghazâlî, al-Munqidh min al-Dhalal, Istambul: Hakikat Kitabevi, 1984, hlm. 9.
47
*j uirj ;> yjt a uisr u^ «ti uiiL. ^ ^ ...
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya” (Q.S. al-Syams: (91): 7-10).59
Karenanya, hati nurani menepati posisi penting dalam etika Islam.
Rasûlullâh s.a.w. bersabda dalam mempertegas posisi hati nurani:
“Kebaikan itu ialah yang memberikan ketenangan kepada jiwa dan hatimu,
dan kejahatan itu adalah yang terbetik di dalam hatimu dan yang
menimbulkan gejolak di dalamnya, walaupun banyak orang yang
memberitahuan kepadamu” (H.R. Muslim).60
Sabdanya pula: “Tinggalah apa
yang meragukanmu dan ambillah apa yang tidak merugikanmu” (H.R. Abû
Dawud).61
Hati nurani ini ada pada setiap manusia, baik tua, muda, dewasa
atau anak terpelajar sampai anak yang kurang ajar sekalipun. Apabila ada
59
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 1064.
60
Muslim Ibn Hajaj, op.cit, Juz I, hlm. 89.
61
Abû Dawud, Sunan Abû Dawud, Juz III, Beirut Libanon: Dâr al-Ilmiah, t.th., hlm. 16.
48
anak kecil berbuat suatu kesalahan, ia akan merasa malu, gelisah dan
perasaan-persaaan tidak enak lainnya. Perasaan ini ada pada setiap orang
dan berjenjang menurut pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin tinggi pula tingkat suara hatinya. Oleh karenanya suara
ini perlu dididik dengan pendidikan moral yang baik.62
Karena hidup manusia sangat tergantung dan selalu dipengeruhi
oleh ruang dan waktu, tidaklah aneh bahwa suara hati masing-masing
pribadi kadang-kadang berbeda antara satu pribadi dengan lainnya.
Perbedaan itu pula saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Oleh
karena diperlukan kekokohan nurani yang tidak mudah terpengaruh oleh
suasana lingkungan.63
Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan lagi bahwa yang dimaksud etika
Islam ialah prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan-
perbuatan manusia yang telah digariskan oleh wahyu. Perbedaan etika Islam dengan
etika lainnya ialah terletak pada sumber yang digunakan. Jika etika secara umum
sumbernya penilaian manusia sendiri, maka etika Islam bersumber dari wahyu atau
al-Qur’ân dan hadîts.
D. Etika Berbusana
62
Miqdad Yalchan menandaskan bahwa dengan pendidikan moral yang baik, akan tercipta
pribadi-pribadi muslim yang baik, kalau tercipa pribadi-pribadi muslim yang baik, maka akan tercipta
masyarakat muslim yang baik, dan dengan demikian akan tercipta kebudayaan Islam yang baik pula.
Lihat Miqdad Yalchan, op.cit., hlm. 43.
63
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka
Grafika, 1999, hlm. 153, dst.
49
Sebelumnya perlu dikemukanan terlebih dahulu apa yang dimaksud
busana. Kata busana biasa disinonimkan dengan kata pakaian, yaitu sesuatu
yang dipakai untuk menutup tubuh.64
Fungsi busana ialah tergantung si
pemakainya, karenanya ada yang cukup menggunakan busana atau pakaian
untuk menutup badannya, ada pula yang memerlukan pelengkap seperti tas,
topi, kaos kaki, selendang, dan masih banyak lagi yang menambah keindahan
dalam berbusana.65
Menurut kamus bahasa Arab, busana atau pakaian mempunyai banyak
muradlif (sinonim) seperti libas bentuk jamak dari lubs yang berasal dari fi’il
madhi: labisa-yalbasu yang artinya memakai, atau tsiyabûn jamak dari tsaub
yang artinya pakaian, juga disebut sirbalun yang jamaknya saraabiil, artinya
juga baju atau pakaian.66
Saraabiil dapat pula diartikan gamis atau baju kurung
(jubah).67
Di atas telah disebutkan bahwa Islam memberikan sandaran etika
kepada wahyu, karenanya permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari
keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, yang
mutlak dan transenden, serta syari’ahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga
terdapat pada agama lain.68
Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak
64
Lihat Tim Penyusun Kamus Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jaakarta: Balai
Pustaka, 1990, hlm. 637.
65
Lihat Lisyani Affandi, Tata Busana 3, Bandung: Ganeka Exact, 1996, hlm. 69.
66
Lihat Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Mesir: Dâr al-Ma’arif, t.th., hlm. 1983.
67
Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawir Krapyak, 1984, hlm. 665.
68
Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius.
Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun
50
hanya sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau
petunjuk bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam
semesta. Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb
(pembimbing, pendidik) bagi seluruh alam.
Karena tekanan etika perbuatan manusia, etika Islam juga
memperhatikan pola hubungan dan perbuatan. Dikenalah apa yang disebut
“etika Islami”. Seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, dan
pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam
pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam bukunya, Fiqh
Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya
memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu
wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan
bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit
masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak berwarna menyolok
sehingga menarik perhatian orang.69
Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini
masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan
televisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang bayi.
Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering hanya
dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi perlu
menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat mendengarkan
suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun melakukan metode serupa
untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan. Lihat Ahmadun Yosi Herfanda,
“Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus,
2004.
69
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130
51
atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai pola
busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam dan bahasan khusus.
Menurut M. Quraisy Shihab, al-Qur’ân sendiri sebagai sandaran etika
Islam, paling tidak menggunakan tiga istilah untuk busana (pakaian), yaitu
libas, tsiyab, dan sarabil. Libas pada mulanya berarti penutup-apa pun yang
ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, tidak harus berarti
“menutup aurat”, karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas,
dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya. Kata libas
digunakan oleh al-Qur’ân untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin,
sedangkan kata tsyiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini
terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada
keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya. 70
Selain kata tersebut ada istilah lain yang lebih mendekati pada
makna pakaian muslimah yaitu jilbab dan hijab. Kebanyakan para ulama
memilih jilbab untuk istilah busana muslimah, dan sedikit yang menggunakan
istilah hijab.71
Ungkapan yang menyatakan bahwa ide dan akhirnya adalah kenyataan,
mungkin dapat membantu memahami pengertian kebehasaan tersebut.
Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena
kenyataan adalah cerminan dari ide asal. Ide dasar tentang pakaian
70
Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 155-156..
71
Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Surabaya: Dimas, t.th.,
hlm. 163-164.
52
menurut al-Raghib al-Isfahani menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau
tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada
hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.72
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karena etika Islam
mencakup segala perbuatan dan tingkah laku manusia, maka diatur pula pola
berbusana. Karenanya, ada patokan-patokan yang harus diikuti dalam memakai
busana menutupi, yaitu menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis dan menerawang.
E. Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi
Mengenai fungsi busana (pakaian), menurut M. Quraisy Shihab
setidaknya ada empat fungsi jika merujuk pada al-Qur’ân, yaitu sebagai
penutup aurat, sebagai perhiasan, sebagai perlindungan atau ketakwaan, dan
sebagai identitas. Misalnya yang disebutkan dalam surat al-A’raf (7): ayat 26:
<JL m ^jffli M ^ m * J« ^ '& srjst a ^ ^u
Artinya : “Wahai putra-putri Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
72
Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradat Alfadz al-Qur’ân, disunting oleh Nadim
Mars’ashli, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 70.
53
juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian
takwa itulah yang paling baik” (Q.S. al-A’raf (7): 26).73
Menurut M. Quraisy Shihab ayat ini setidaknya menjelaskan dua
fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan. Sebagian ulama bahkan
menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu
fungsi takwa dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke
dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.74
Ada pula ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni
pemelihara dari sengatan panas dan dingin. Di dalam al-Qur’ân disebutkan:
Artinya : “Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang memelihara kamu
dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju besi) yang
memelihara kamu dalam peperangan …” (Q.S. al-Nahl (16): 81).75
Fungsi pakaian selanjutnya diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Ahzâb
(33) 59 yang menugaskan Nabi s.a.w. agar menyampaikan kepada
73
Tim Penyelnggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 224.
74
Lihat M. Quraish Shihab, op.cit, hlm. 160.
75
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 414.
54
isteri-isterinya, anak-anak perempuannya serta wanita-wanita mukmin agar
mereka mengulurkan jilbab mereka:
Artinya : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin; “hendaklah mereka
mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”. Yang
demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga
mereka tidak diganggu (oleh lidah/tangan usil)” (Q.S. al-Ahzâb
(33): 59).76
Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi
ilustrasi berikut:
1. Busana Sebagai Penutup Aurat
Aurat dalam al-Qur’ân disebut sau’at yang terambil dari kata sa’a,
yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya
dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela.
Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya
buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang
76
Ibid., hlm. 678.
55
mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk
karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat
orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.77
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang
dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya
aurat atau sau’at. Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat
menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh
badanya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama,
aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat
kecuali oleh orang-orang tertentu.78
Bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak
“senang” bila aurat, khususnya aurat besar (kemaluan) dilihat oleh
siapapun, seperti yang telah disebutkan bahwa ide dasar aurat adalah
“tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri”.79
Dalam sebuah hadîts disebutkan: “Hindarilah telanjang, karena ada
(malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah terpisah
denganmu kecuali ketika ke kamar belakang dan ketika seseorang
berhubungan seks dengan isterinya. Maka malulah kepada mereka dan
hormatilah mereka”. (H. R. al-Turmudzî).80
Dalam sebuah hadîts yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah disebutkan: “Apabila seseorang di antara
77
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu
dan Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 35, dst.
78
Lihat M. Qurasih Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 163.
79
Al-Raghib al-Isfahani, loc.cit.
80
Al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 57.
56
kamu berhubungan seks dengan pasangannya, jangan sekali-kali keduanya
telanjang bagaikan telanjangnya binatang”. (H.R. Ibn Majah).81
Tampak jelas bahwa yang dikemukakan di atas merupakan tuntutan
moral. Sedangkan tuntutan hukumnya tentunya lebih longgar. Dari segi
hukum, tidak terlarang bagi seseorang bila sendirian atau bersama isterinya
untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik
aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada
seseorang selain pasangannya yang mungkin melihat. Ulama sepakat
menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja
mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh
manusia yang harus selalu ditutup.
Imam Malik, Syafi’î, dan Abû Hanifah berpendapat bahwa lelaki
wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada
juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki
hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
Sedangkan mengenai aurat wanita, terjadi perbedaan pendapat. Menurut
ulama klasik sendiri, secara garis besar pendapatnya mengenai aurat wanita
terbagi pada dua kelompok besar. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh
tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sehingga harus diutupi. Kelompok
kedua mengecualikan wajiah dan tepapak tangan. Ada
81
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut: Dâr al-Firk, t.th., hlm. 69.
57
juga yang menambahkan dengan sedikit longgar, seperti Abû Hanifah yang
menambahkan kaki wanita juga boleh terbuka.82
Adapun pandangan ulama kontemporer dalam menyikapi aurat
wanita, sudah beragam. Ada yang masih berpadangan seperti ulama klasik
bahwa busana wanita harus menutup seluruh badan karena seluruh badan
wanita adalah aurat, atau ada yang mengecualikan muka dan telapak kaki.
Kemudian pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada satu ketetapan
agama (syari’at) yang mengatur batas-batas aurat wanita. Qasim Amin
adalah salah satu cendikiawan kontemporer yang berpendapat demikian.
Menurut, wanita tidak perlu memakai pakaian khusus seperti jilbab.
Kemudian Muhammad Shahrur yang berpendapat bahwa “pakaian tertutup
yang kini dinamai jilbab (hijab) bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah
satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan
lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarkat. Sebab, pada
zaman Nabi dan sesudahnya, pola berbusana muslimah juga sangat beragam.
Pola berbusana wanita merdeka seperti Khadijah, isteri Nabi berbeda dengan
lainnya. Atau pakaian para wanita yang menjadi budak juga beragam. Status
sosial juga sangat mempengaruhi pola berbusana wanita ketika itu. 83
82
Salah satu sebab perbedaan pendapat ini adalah perbedaan penafsiran terhadap maksud firman
Allah dalam surat al-Nûr (24) yang artinya: “Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali
yang tampak darinya”. Lihat Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dâr
al-Fikr, t.th., hlm. 60. Lihat pula M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 52.
83
Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq,
2004, hlm. 485-487.
58
Karena fungsinya sebagai penutup aurat, maka dalam berbusana
menurut M. Quraish Shihab ada yang harus diperhatikan agar pola
berbusana tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika ajaran Islam.
Pertama, tidak boleh tabarruj. Maksudnya, tidak boleh menampakkan
“perhiasan” dalam pengertian yang umum yang biasanya tidak dinampakkan
oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai.
Seperti ber-make up secara berlebihan, berbicara secara tidak sopan atau
berjalan dengan berlenggak-lenggok dan segala macam sikap yang
mengundang perhatian laki-laki. Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak
dinampakkan kecuali kepada suami dapat mengundang decak kagum laki-
laki lain yang dapa gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau
mengakibatkan gangguan dari yang usil.84
Di dalam al-Qur’ân disebutkan:
Artinya : “ … Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali
apa yang nampak darinya …” (Q.S. al-Nûr (24) : 31).85
Kedua, tidak boleh mengundang perhatian laki-laki. Segala bentuk
pakaian, gerak-gerik dan ucapan, serta aroma yang bertujuan atau dapat
mengundang rangsangan birahi serta perhatian berlebihan adalah terlarang.
Ada sebuah hadîts yan menyebutkan: “Siapa yang memakai
84
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit, hlm. 167.
85
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 548.
59
pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan
mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, lalu
dikobarkan pada pakainnya itu api”. (H.R. Abû Daud).86
Yang dimaksud
di sini adalah bila tujuan memakainya mengundang perhatian dari laki-laki
dan bertujuan memperoleh popularitas. Pemilihan mode busana tertentu
juga tercakup di sini, akan tetapi bukan berarti seseorang dilarang
memakai pakaian yang indah dan bersih, karena itu itulah justru yang
dianjurkan.87
Ketiga, tidak boleh memakai pakaian yang transparan atau ketat.
Maksudnya, pakain yang masih menampakkan kulit, atau pakaian ketat yang
masih memperlihatkan lekuk-lekuk badan. Sebab, model pakaian semacam
itu, pasti akan mengundang perhatian dan rangsangan. Ada sebuah hadîts
yang menyebutkan: “Dua kelompok dari penghuni nereka yang merupakan
umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana (tetapi)
telanjang serta berlenggak-lenggok dan melanggak-lenggokkan (orang lain)
di atas kepala mereka (sesuatu) seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak
akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Dan (yang kedua
adalah) laki-laki yang memiliki cemeti-cemti seperti seekor sapi. Dengannya
mereka menyiksa hamba-hamba Allah”. (H.R. Muslim).88
Berbusana tetapi
telanjang, dapat dipahami sebagai memakai pakaian tembus pandang, atau
memakai pakaian yang demikian
86
Abû Daud, op.cit., Juz III, hlm. 64.
87
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 168.
88
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 102.
60
ketat, sehingga nampak dengan jelas lekuk-lekuk badannya. Sedang
berlenggak-lenggok dan melenggak-lenggokkan dalam arti gerak-geriknya
berlenggak-lenggok antara lain dengan menari atau dalam arti jiwanya mirik
tidak lurus atau dan memiringkan pula hati atau melenggak-lenggokan pula
badan orang lain. Adapun yang diamaksud punuk-punuk unta itu adalah
sanggul-sanggul mereka yang dibuat sedemikian rupa sehingga menonjol ke
atas bagaikan punuk unta.89
Keempat, tidak boleh memakai pakaian yang meyerupai pakaian
laki-laki. Nabi s.a.w. telah bersabda: “Allah mengutuk lelaki yang memakai
pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai pakaian
lelaki”. (H.R. al-Hakim melalui Abû Hurairah).90
Yang perlu diperhatikan,
bahwa peranan adat kebiasaan dan niat sangat menentukan. Karena, boleh
jadi ada model pakaian yang dalam suatu masyarakat dinilai sebagai pakaian
pria sedang dalam masyarakat lain ia menyerupai pakaian wanita. Seperti
halnya model pakaian Jallabiyah di Mesir dan Arab Saudi Arabia yang
digunakan oleh pria dan wanita, sedang model pakaian ini mirip dengan
long dress yang dipakai wanita di bagian dunia lain. Bisa jadi juga satu
model pakaian tadinya dinilai sebagai menyerupai pakaian laki-laki, lalu
karena perkembangan masa, ia menjadi pakaian perempuan. Ketiak yang
memakainya tidak disentuh oleh ancaman ini, lebih-lebih jika tujuan
pemakaiannya bukan untuk meniru lawan jenisnya.91
89
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 170.
90
Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 70.
91
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 171.
61
2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan
Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok
(memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu
menganggap bahwa perhiasan92
tersebut indah, kendati orang lain tidak
menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’ân tidak
menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang
“elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang
menghasilkan kebebasan dan keserasian.
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan
membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang
memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang
mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang keluar dari
tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan
92
Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para ulama adalah emas dan
sutera sebagai pakaian laki-laki. Dalam al-Qur’ân persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian banyak
hadîts Nabi s.a.w. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai oleh kaum lelaki. Misalnya hadîts: “Ali
bin Abi Thalib berkata: “saya melihat Rasûlullâh s.a.w. mengambil sutera lalu beliau meletakkan di
sebelah kanannya dan emas diletakkan di sebelah kirinya, kemudian Nabi bersabda: “Kedua hal ini
haram bagi lelaki umatku”. (H.R. Abû Dawud dan Nasa’I). Pendapat ulama berbeda-beda tentang
diharamkannya kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa keduanya menjadi simbol
kemewahan dan perhiasan yang berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi kaum
wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau karena menyerupai pakaian pakaian kaum
musyrik. Menurut Muhammad bin Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta mufti Tunisia yang
telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam; menulis dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah,
bahwa ucapakan dan sikap Rasûlullâh s.a.w. tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum.
Ada dua belas macam tujuan ucapan dan sikap Rasûlullâh walaupun diakuinya bahwa yang terpenting
dan terbanyak adalah dalam bidang syari’at hukum. Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah
al-hadyu wa al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Menurutnya, boleh jadi Nabi Muhammad s.a.w.
memerintah atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya
adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik. Lihat Muhammad bin Asyur, Maqashid al-Syri’ah al-
Islamiyah, Kairo: Dâr al-Katib, 1967, hlm. 32.
62
semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat
oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang
elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakaianya untuk bergerak.
93
Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan
harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja
pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan
merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan
sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai.
Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.94
Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang
mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul
antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan
kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4).95
Memang salah satu
unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi
Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna
ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga
karena warna putih segera menampakkan
93
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 166.
94
Ibid., hlm. 167.
95
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 988.
63
kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan
pakaian lain yang bersih.96
Al-Qur’ân setelah memerintahkan agar memakai busana yang
indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang mengharamkan
perhiasan yang telah diciptakan Allah S.W.T. untuk manusia. Firman-Nya:
Artinya : “Katakanlah!” Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya …” (Q.S. al-
A’raf (7): 32).97
Karena berhias merupakan naluri manusi, maka ada sebuah hadîts
yang mengisahkan seorang sahabat bertanya dalam kasus ini. “Seseorang
yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk
keangkuhan?) Nabi menjawab: “Sesunggunya Allah indah, senang kepada
keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang
lain” (H.R. Turmudzî).98
Terdapat sekian hadîts yang menginformasikan bahwa Rasûlullâh
s.a.w. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Isteri
Nabi s.a.w. Aisyah, meriwayatkan sebuah hadîts bahwa: “Seseorang
96
M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 168.
97
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 225.
98
Al-Turmudzî, op.cit, Juz I, hlm. 89.
64
wanita menyodorkan dengan tangannya sepucuk surat kepada Nabi dari
belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda:
“Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau
perempuan. Aisyah berkata: “tangan perempuan”. Nabi kemudian berkata
kepada wanita itu: “Seandainya Anda wanita, niscaya Anda akan
memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar) (H.R. Bukhari).”99
Demikian Nabi menganjurkan agar wanita berhias. Al-Qur’ân memang
tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik
digunakan.
Perlu diperhatikan, bahwa salah satu yang harus dihindari dalam
berhias adalah timbulnya rangsangan birahi dari yang melihatnya (kecuali
suami isteri) dan atau sikap tidak sopan dari siapapun. Hal-hal tersebut
dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan
sebagainya.100
Berhias tidak dilarang oleh ajaran Islam, karena ia adalah naluri
manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-hailiyah, salah satu istilah
yang digunakan al-Qur’ân (surat al-Ahzâb (33): 33)101
mencakup segala
macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain
suami isteri. Termasuk dalam cakupan maksud kata tabarruj menggunakan
wang-wangian yang baunya menusuk hidung. Dalam sebuah hadîts
Rasûlullâh s.a.w. bersabda: “Wanita yang memapakai
99
Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 79.
100
Muhammad Shahrur, op.cit., hlm. 515.
101
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 672.
65
farfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria), maka
sesungguhnya dia “begini” (yakni bezina)”. (H.R. al-Turmudzî).102
Al-Qur’ân mempersilahkan perempuan berjalan di hadapan lelaki,
tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai mengundang
perhatian. Al-Qur’ân juga tidak melarang seseorang berbicara dengan lawan
jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi pembicaraan mengundang
rangsangan dan godaan.
3. Fungsi Perlindungan atau Ketakwaan
Telah disebutkan bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang
dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas. Hal ini
bukanlah hal yang perlu dibuktika, karena yang demikian ini adalah
perlindungan secara fisik. Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis
bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian
militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kamal Ataturk di
Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis penutup kepala bagi pria), dan
memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy
dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambangan
keterbelakangan.103
Pengaruh psikologis dari pakaian dapat dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya jika pergi ke pesta, apabila mengenakan pakaian
buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan
102
Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 85.
103
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 169.
66
merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun
demikian. Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar
dapat menghasikan pengaruh positif dalam jiwa mereka.104
Harus diakui bahwa memang pakaian tidak menciptakan muslimah,
tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku sebagai muslimah
yang baik, atau sebaliknya, tergantung dari cara dan model pakaiannya.
Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku serta
mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-
tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang
dimaksud al-Qur’ân dengan memerintahkan wanita-wanita memakai
jilbab.105
Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk
pakaian ruhani. Libats al-taqwa. Setiap orang dituntut untuk merajut sendiri
pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur, qana’ah,
ridha, dan sebagainya. Sebuah hadîts menyebutkan: “Iman itu telanjang,
pakaiannya adalah takwa” (H.R. Muslim).106
4. Fungsi Penunjuk Identitas
Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan
eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau
keberadaan seseorang ada yang bersifat material dan ada juga yang
104
Ibid., hlm. 170.
105
Ibid., hlm. 171.
106
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 65.
67
imateral. Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian
yang dikenakannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân:
Artinya : “… Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal
…”. (Q.S. al-Ahzâb (33): 59).107
Dapat dibedakan antara murid SD, SMP atau SMA. Bisa juga
dibedakan antara Tentara Angkatan Laut, Angkatan Darat, Kopral atau
Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat disangkal bahwa
pakaian antara lain berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan
seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial
seseorang.
Rasûlullâh s.a.w. sendiri sangat menekankan pentingnya identitas
muslim, antara lain melalui busana. Karenanya, Rasûlullâh s.a.w. melarang
laki-laki yang yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang
memakai pakaian laki-laki (H.R. Abû Dawud).108
Kepribadian umat juga
harus ada. Ketika Rasûlullâh s.a.w. membicarakan bagaimana cara yang
paling tepat untuk menyampaikan/mengundang kaum muslimin
melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya yang mengusulkan
menancapkan tanda sehingga yang melihatnya segera
107
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 678.
108
Lihat Abû Dawud, op.cit., Juz III, hlm. 52.
68
datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan untuk menggunakan
terompet, dan komentar Nabi: “Itu cara Yahudi”. Ada juga yang
mengusulkan membunyikan lonceng. Nabi berkata: “Itu cara Nasrani”.
Sabda Nabi selanjutnya. Akhirnya yang disetujui Nabi adalah adzan yang
deperti yang dikenal sekarang setelah Abdullah bin Zaid al-Anshari dan
Umar bin Khatab bermimpi tentang cara tersebut. Demikian diriwayatkan
oleh Abû Dawud. Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul
menekankan pentingnya menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda
dengan yang lain. Dari sini dapat dimengerti dari sabdanya: “Barang siapa
meniru suatu kaum, maka ia termasuk kelompok kaum itu” (H.R.
Bukhari).109
Mengenai kepribadian ruhani (immateri) bahkan ditekankan oleh
al-Qur’ân melalui surat al-Hadid (57): 16 yang berbunyi:
Artinya : “Belumlah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka seperti
orang-orang sebelumnya yang telah diberikan al-Kitab (orang
Yahudi dan Nasrani). Berlalulah masa yang panjang bagi
mereka sehingga hati mereka menjadi keras.
109
Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 80.
69
Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik”.
(Q.S. al-Hadid (57): 16).110
Seorang muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan
jasmani yang menggambarkan identitasnya.111
Disadari sepenuhnya bahwa
Islam tidak datang menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap
masyarakat dan periode, bisa saja menentukan mode yang sesuai dengan
seleranya. Namun demikian, agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar
dalam berpakaian tercermin identitas itu.112
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ditnjau dari fungsinya, maka busana memiliki empat fungsi, yaitu fungsi busana
sebagai sebagai penutup aurat, fungsi busana sebagai perhiasan, fungsi busana sebagai perlindungan dan ketakwaan, dan fungsi
busana sebagai identitas. Terkait fungsi busana sebagai penutup aurat, maka ada patokan-patokan yang harus diperhatikan
dalam berbusana.
F. Kontroversi Jilbab
Di atas digambaran bahwa salah satu fungsi pakaian adalah sebagai
penunjuk identitas, dan dapat pula sebagai penutup aurat. Karenanya, maka
tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi seorang wanita merupakan gambaran
identitas seorang muslimah, di samping sebagai penutup aurat, yaitu rambut dan
leher wanita. Namun persoalan jilbab ini kemudian terjadi debatable mengingat
batasan aurat wanita yang harus ditutupi beragam pendapat. Jilbab bisa
difungsikan sebagai penutup aurat yaitu rambut dan leher yang menganggap
bahwa keduanya merupakan aurat wanita yang harus ditutupi.
110
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 902.
111
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 171. 112
M.
Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 67.
70
Sebaliknya, hannya sebagai penampakkan identitas muslihmah saja bagi yang
menganggap bahwa rambut dan leher wanita bukan aurat, karenanya tidak harus
ditutupi dengan jilbab. Bahkan jilbab juga bisa hanya sebatas asesoris
(pelengkap), dan dipakai pada moment-moment tertentu seperti waktu shalat,
pengajian, berkAbûng dan menghadiri pernikahan, bahkan dipakai musiman
sebagaimana yang dilakukan oleh para artis ketika bulan Ramadhan.
Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada
pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran
agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap
otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang?
Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur
patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap
perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi
penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik. Tapi di sisi
lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.113
Menurut penelitian Stern Nabi Muhammad tidak memperkenalkan
kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat “pemingitan dan jilbab
merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa
Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan
1980-an. Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah
113
Fatima Marnisi, Pemberontakan Wanita, terj. Yogyakarta: LKiS, 1996, hlm. 56. Pada titik
ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi—sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa
bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama
kepentingan norma (tAbû, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang
gerak, persamaan dll).
71
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana
Etika berbusana

More Related Content

What's hot

Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Marhamah Saleh
 
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnyaRuang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
sholihiyyah
 
Makalah Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga
Makalah Kehidupan Beragama di Lingkungan KeluargaMakalah Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga
Makalah Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga
Parningotan Panggabean
 
Leadership, kepemimpinan islam
Leadership, kepemimpinan  islamLeadership, kepemimpinan  islam
Leadership, kepemimpinan islam
Aziz Abdul
 
Remaja dan cinta
Remaja dan cintaRemaja dan cinta
Remaja dan cinta
rofieq
 

What's hot (20)

Islam, kebangsaan dan moderasi beragama dalam pendidikan
Islam, kebangsaan dan moderasi beragama dalam pendidikanIslam, kebangsaan dan moderasi beragama dalam pendidikan
Islam, kebangsaan dan moderasi beragama dalam pendidikan
 
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
 
Akhlakul Karimah
Akhlakul KarimahAkhlakul Karimah
Akhlakul Karimah
 
Telaah Kurikulum PAI - Silabus Telaah Kurikulum PAI SMP dan SMA
Telaah Kurikulum PAI - Silabus Telaah Kurikulum PAI SMP dan SMATelaah Kurikulum PAI - Silabus Telaah Kurikulum PAI SMP dan SMA
Telaah Kurikulum PAI - Silabus Telaah Kurikulum PAI SMP dan SMA
 
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnyaRuang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
Ruang lingkup pembahasan ilmu hadist dan dancabang cabangnya
 
Ppt aqidah islam
Ppt aqidah islamPpt aqidah islam
Ppt aqidah islam
 
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Sejarah Berdirinya MuhammadiyahSejarah Berdirinya Muhammadiyah
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
 
Makalah Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga
Makalah Kehidupan Beragama di Lingkungan KeluargaMakalah Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga
Makalah Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga
 
Makalah qurban
Makalah qurbanMakalah qurban
Makalah qurban
 
Leadership, kepemimpinan islam
Leadership, kepemimpinan  islamLeadership, kepemimpinan  islam
Leadership, kepemimpinan islam
 
Pesantren dalam era globalisasi
Pesantren dalam era globalisasiPesantren dalam era globalisasi
Pesantren dalam era globalisasi
 
PPT Ilmu Shorof Tasrif Istilah Fiil Bina sahih
PPT Ilmu Shorof Tasrif Istilah Fiil Bina sahihPPT Ilmu Shorof Tasrif Istilah Fiil Bina sahih
PPT Ilmu Shorof Tasrif Istilah Fiil Bina sahih
 
Remaja dan cinta
Remaja dan cintaRemaja dan cinta
Remaja dan cinta
 
Silabus mata kuliah_pengantar_studi_islam
Silabus mata kuliah_pengantar_studi_islamSilabus mata kuliah_pengantar_studi_islam
Silabus mata kuliah_pengantar_studi_islam
 
Karakter Pemuda Islam
Karakter Pemuda IslamKarakter Pemuda Islam
Karakter Pemuda Islam
 
Makalah fiqih thaharoh
Makalah  fiqih thaharohMakalah  fiqih thaharoh
Makalah fiqih thaharoh
 
KOMPETISI DALAM KEBAIKAN DAN ETOS KERJA.pptx
KOMPETISI DALAM KEBAIKAN DAN ETOS KERJA.pptxKOMPETISI DALAM KEBAIKAN DAN ETOS KERJA.pptx
KOMPETISI DALAM KEBAIKAN DAN ETOS KERJA.pptx
 
contoh mhq tahfidz alquran
contoh mhq tahfidz alqurancontoh mhq tahfidz alquran
contoh mhq tahfidz alquran
 
Makalah isim
Makalah isimMakalah isim
Makalah isim
 
moderasi beragama.ppt
moderasi beragama.pptmoderasi beragama.ppt
moderasi beragama.ppt
 

Viewers also liked

penghayatan agama membawa kepada perubahan sosial
penghayatan agama membawa kepada perubahan sosialpenghayatan agama membawa kepada perubahan sosial
penghayatan agama membawa kepada perubahan sosial
Ct Adibah
 
Makalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiah
Makalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiahMakalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiah
Makalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiah
Anindya Zulatsari
 
Etika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya Dasar
Etika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya DasarEtika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya Dasar
Etika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya Dasar
Asida Gumara
 
lingerie (long torso/breast up)
lingerie (long torso/breast up)lingerie (long torso/breast up)
lingerie (long torso/breast up)
Tie Ariwibowo
 
Ppt etiket berpenampilan di kantor
Ppt etiket berpenampilan di kantorPpt etiket berpenampilan di kantor
Ppt etiket berpenampilan di kantor
Rini Rianti
 

Viewers also liked (19)

Etika dan estetika berbusana
Etika dan estetika berbusanaEtika dan estetika berbusana
Etika dan estetika berbusana
 
Presentation on grooming
Presentation on groomingPresentation on grooming
Presentation on grooming
 
penghayatan agama membawa kepada perubahan sosial
penghayatan agama membawa kepada perubahan sosialpenghayatan agama membawa kepada perubahan sosial
penghayatan agama membawa kepada perubahan sosial
 
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINBANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
 
Planning kegiatan Seminar "Peluang dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia"
Planning kegiatan Seminar "Peluang dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia"Planning kegiatan Seminar "Peluang dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia"
Planning kegiatan Seminar "Peluang dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia"
 
Makalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiah
Makalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiahMakalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiah
Makalah bahasa indonesia etika berbahasa dalam forum ilmiah
 
Pertemuan Ilmiah
Pertemuan IlmiahPertemuan Ilmiah
Pertemuan Ilmiah
 
Etika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya Dasar
Etika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya DasarEtika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya Dasar
Etika & Estetika Budaya - Ilmu Seni Budaya Dasar
 
Contoh susunan acara seminar
Contoh susunan acara seminarContoh susunan acara seminar
Contoh susunan acara seminar
 
lingerie (long torso/breast up)
lingerie (long torso/breast up)lingerie (long torso/breast up)
lingerie (long torso/breast up)
 
Rundown acara pendidikan karakter psp 2012
Rundown acara pendidikan karakter psp 2012Rundown acara pendidikan karakter psp 2012
Rundown acara pendidikan karakter psp 2012
 
Ppt etiket berpenampilan di kantor
Ppt etiket berpenampilan di kantorPpt etiket berpenampilan di kantor
Ppt etiket berpenampilan di kantor
 
Decorate clothing
Decorate clothingDecorate clothing
Decorate clothing
 
BMP MKDU4112
BMP MKDU4112BMP MKDU4112
BMP MKDU4112
 
Konsep penampilan
Konsep penampilanKonsep penampilan
Konsep penampilan
 
Kunci dan Perangkat Seni Budaya SMP kelas 9
Kunci dan Perangkat Seni Budaya SMP kelas 9Kunci dan Perangkat Seni Budaya SMP kelas 9
Kunci dan Perangkat Seni Budaya SMP kelas 9
 
Presentasi Penampilan Sekretaris yang Baik
Presentasi Penampilan Sekretaris yang BaikPresentasi Penampilan Sekretaris yang Baik
Presentasi Penampilan Sekretaris yang Baik
 
Upaya Peningkatan Keserasian Berbusana Pada Wanita Dewasa
Upaya Peningkatan Keserasian Berbusana Pada Wanita DewasaUpaya Peningkatan Keserasian Berbusana Pada Wanita Dewasa
Upaya Peningkatan Keserasian Berbusana Pada Wanita Dewasa
 
Arti dan fungsi busana
Arti dan fungsi busanaArti dan fungsi busana
Arti dan fungsi busana
 

Similar to Etika berbusana

Konsep pendidikan islam
Konsep pendidikan islamKonsep pendidikan islam
Konsep pendidikan islam
Cak Mujib
 
ArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdf
ArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdfArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdf
ArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdf
gipgp21295187
 
1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf
1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf
1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf
zulkiplikamal
 
Musawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdf
Musawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdfMusawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdf
Musawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdf
tfmvbty2mz
 
MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...
MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...
MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...
Candra Waskito
 
Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030
kipanji
 
Buku akidah akhlak_mi_1_siswa
Buku akidah akhlak_mi_1_siswaBuku akidah akhlak_mi_1_siswa
Buku akidah akhlak_mi_1_siswa
dwi_rahmamosa
 

Similar to Etika berbusana (20)

MEISYA DWI PUTRI-FSH.pdf
MEISYA DWI PUTRI-FSH.pdfMEISYA DWI PUTRI-FSH.pdf
MEISYA DWI PUTRI-FSH.pdf
 
BUKU_PROFESI_KEPENDIDIKAN.pdf
BUKU_PROFESI_KEPENDIDIKAN.pdfBUKU_PROFESI_KEPENDIDIKAN.pdf
BUKU_PROFESI_KEPENDIDIKAN.pdf
 
BUKU-PEDOMAN-SKRIPSI-MANAJEMEN.pdf
BUKU-PEDOMAN-SKRIPSI-MANAJEMEN.pdfBUKU-PEDOMAN-SKRIPSI-MANAJEMEN.pdf
BUKU-PEDOMAN-SKRIPSI-MANAJEMEN.pdf
 
Konsep pendidikan islam
Konsep pendidikan islamKonsep pendidikan islam
Konsep pendidikan islam
 
Contoh_Laporan_Kegiatan_Keagamaan.docx
Contoh_Laporan_Kegiatan_Keagamaan.docxContoh_Laporan_Kegiatan_Keagamaan.docx
Contoh_Laporan_Kegiatan_Keagamaan.docx
 
ArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdf
ArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdfArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdf
ArtikelJurnalQuranSunnahEducationAndSpecialNeedJQSS2020.pdf
 
Akad 4
Akad 4Akad 4
Akad 4
 
1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf
1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf
1657011663507_Hizib Islam Nusantara-HIPZON PUTRA AZMA.pdf
 
Filsafat Ilmu dan Metode Riset Normal
Filsafat Ilmu dan Metode Riset NormalFilsafat Ilmu dan Metode Riset Normal
Filsafat Ilmu dan Metode Riset Normal
 
5 modul pai bab 5 busana muslim
5 modul pai bab 5 busana muslim5 modul pai bab 5 busana muslim
5 modul pai bab 5 busana muslim
 
1. COVER.pdf
1. COVER.pdf1. COVER.pdf
1. COVER.pdf
 
04110012
0411001204110012
04110012
 
Musawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdf
Musawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdfMusawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdf
Musawar-Belajar%20Mudah%20Ilmu%20Sharaf.pdf
 
MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...
MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...
MAKALAH PERIODE 4 pemahaman etika berbusana dikampus citra pribadi mahasiswa ...
 
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
 
Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030
 
Rahmatul Hijrati, 160402057, FDK, BKI, 085262610576 Ayat ayat taawun.pdf
Rahmatul Hijrati, 160402057, FDK, BKI, 085262610576 Ayat ayat taawun.pdfRahmatul Hijrati, 160402057, FDK, BKI, 085262610576 Ayat ayat taawun.pdf
Rahmatul Hijrati, 160402057, FDK, BKI, 085262610576 Ayat ayat taawun.pdf
 
Makala
MakalaMakala
Makala
 
Makala
MakalaMakala
Makala
 
Buku akidah akhlak_mi_1_siswa
Buku akidah akhlak_mi_1_siswaBuku akidah akhlak_mi_1_siswa
Buku akidah akhlak_mi_1_siswa
 

Recently uploaded

Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
luqmanhakimkhairudin
 
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxKISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
DewiUmbar
 
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
subki124
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
MaskuratulMunawaroh
 
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 20241. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
DessyArliani
 

Recently uploaded (20)

Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptxPPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
 
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxKISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
 
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASARPPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
 
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi TrigonometriSudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXAKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
 
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
 
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
 
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 20241. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMASBAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
 
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOMSISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
 
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMPBioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 

Etika berbusana

  • 1. ETIKA BERBUSANA (Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang) T E S I S Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam Oleh: HATIM BADU PAKUNA NIM 5202020 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2005
  • 3. DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa tesis ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga tesis ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Semarang, 2 Juni 2005 Deklarator HATIM BADU PAKUNA NIM 5202020 3
  • 4. ABSTRAKSI Etika Islam merupakan aturan baik dan buruk perbuatan manusia yang disandarkan pada ajaran-ajaran Islam. Etika Islam mencakup cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al- Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis menerawang, tidak menyerupai pakaian lelaki, dan tidak berwarna menyolok. Namun patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan, sebagai penutup aurat rambut dan leher, atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya. Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual dan eksploitasi agama. Begitu pula mahasiswi IAIN Walisongo Semarang yang notabene memakai jilbab sebagai salah satu simbol identitas perguruan tinggi yang berbasis ilmu-ilmu keislaman. Setelah dilakukan penelitian terhadap mahasiswi yang tergabung dengan KAMMI, HMI, IMM, PMII, UKM Music, Teater dan Mawapala, ternyata banyak keragaman pola berbusana yang mereka dipakai, seberagaman corak pemahaman keagamaan mereka. Mahasiswi yang bergabung dengan KAMMI memahami bahwa pola busana yang dipakai oleh seorang muslimah (termasuk mahasiswi) seharusnya yang longgar sehingga dapat menutup aurat rapat-rapat, tidak boleh transparan/ketat, sebab dengan pola berbusana seperti itu diharapkan membawa pemakainya pada perilaku yang mencerminkan etika Islam. Mahasiswa yang bergabung dengan HMI, IMM dan PMII memahami bahwa pola berbusana muslimah yang penting dapat menutup aurat, bentuknya tidak harus longgar, yang penting masih kelihatan sopan. Sebaliknya, mahasiswi yang bergabung dengan UKM Music, Teater dan Mawapala, lebih memahami bahwa busana yang seharusnya dipakai mahasiswi harus mengikuti mode, sehingga mengesankan mahasiswi IAIN tidak ketinggalan zaman dalam berbusana. Merekapun merefleksikan pemahamannya tentang pola berbusana dengan berbusana yang mereka pakai. Selanjutnya, manakah pemahaman keagamaan dan pola berbusana mahasiswi IAIN yang sesuai dengan etika Islam, inilah yang dikaji dalam tesis ini. 4
  • 5. KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, berkat ketekunan dan usaha maksimal penulis, penyusunan tesis yang berjudul “ETIKA BERBUSANA (Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang)” dapat terselesaikan. Penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak yang kepadanya patut diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana IAIN Walisongo. 3. Dr. Abdul Muhayya, M.A., selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini. 4. Dr. Ahmad Gunaryo, M.Soc.Sc. dan Drs. Darori Amin, M.A., selaku Asisten Direktur I dan Asisten Direktur II Program Pascarjana IAIN Walisongo. 5. Segenap dosen Pascasarjana IAIN Walisongo yang telah memberikan bekal pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan jejang studi S-2. 6. Segenap pegawai administrasi dan karyawan Pascasarjana yang telah banyak memberikan layanan akademik selama study di Pascasarjana. 7. Segenap pegawai Perpustakaan IAIN, Perpustakaan Pascasarjana, dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan layanan dalam peminjaman buku-buku referensi. 5
  • 6. 8. Segenap keluarga penulis yang banyak memberikan dorongan baik materiil maupun moriil dalam menempuh studi. 9. Teman-teman penulis yang ikut memberikan dorongan dan membantu dalam menyelesaikan tesis ini, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu- persatu. Semoga Allah S.W.T. membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari aspek materi, metodologi dan analisisnya. Karenanya, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk karya yang lebih baik di masa mendatang. Akhirnya hanya kepada Allah S.W.T. penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya. Semarang, 2 Juni 2005 Penulis, HATIM BADU PAKUNA NIM 5202020 6
  • 7. PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi Arab-Latin 1 a c> dl - b ± th * t Ji zh * ts & ‘ e j £ gh c h ^ f t kh ci q * d cd k i dz J l j r P m j z u n u- s J w US sy . h u- sh * ’ ,f y 7
  • 8. Untuk Mâd dan Diftong â = a panjang î = i panjang û = u panjang Jl = aw Jl = uw tf' = ay tf' = iy Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah atau qamariyah, yakni ‘al’ ditulis sama. Contoh: Jljill = al-Qur’ân i*A = al-Sayidah rljJl = al-‘Awâm ^j^l = al-Syarî’ah 8
  • 9. DAFTAR SINGKATAN S.W.T. : Suhanahu Wa Ta’ala S.a.w. : Shalalllahu ‘alaihi wasalam R.a. : Radiyalllahu anhu H.R. : Hadits Riwayat H. : Hijriyah M. : Masehi Q.S. : Al-Qur’ân Surat NU : Nahdlatul Ulama PMII : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia HMI : Himpunan Mahasiswa Islam IMM : Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia MAWAPALA : Mahasiswa Walisongo Pecinta Alam UKM : Unit Kegiatan Mahasiswa PKS : Partai Keadilan Sejahtera Ibid. : Ibidem (pada tempat yang sama) Op.cit. : Opere cicato (dalam karangan yang telah disebut) Loc.cit. : Loco cicato (pada tempat yang telah dikutip) Hlm. : Halaman T.th. : Tanpa tahun Dkk. : Dan kawan-kawan 9
  • 10. MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto: “Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, lalu dikobarkan pada pakaiannya itu api”. (H.R. Abu Daud). Tesis Ini Penulis Persembahkan Kepada: - Mama “Monira Datau” dan Papa “Badu Pakuna” - Kakak-kakaku tersayang; “Kak Wahid, Kak Amran, Tata Rama, Aci Hasna dan Daci Wati”. - Teman-temanku terkasih terutama “Mamang” thanks for everything 10
  • 11. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING .......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... iv HALAMAN ABSTRAKSI .......................................................................... v HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................ vi HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................. viii HALAMAN DAFTAR SINGKATAN .......................................................... x HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... xi HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................ xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................. 10 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................... 10 D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 11 E. Metode Penelitian ............................................................. 15 F. Sistematika Penulisan ....................................................... 18 BAB II DISKURSUS-DISKURSUS ETIKA A. Istilah Etika ........................................................................ 20 B. Norma Dasar Etika ............................................................ 24 C. Etika Islam dan Norma-normanya ...................................... 27 D. Etika Berbusana ............................................................... 34 E. Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi .................................... 38 F. Kontroversi Jilbab ............................................................ 54 11
  • 12. BAB III ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO SEMARANG A. Dinamika dan Ragam Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo .............................................. 61 B. Pemahaman Keagamaan dan Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo ................................................................ 73 C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo ................................................ 79 BAB IV ANALISIS TERHADAP ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO SEMARANG A. Analisis Terhadap Pemahaman Mahasiswi IAIN Walisongo tentang Pola Berbusana dan Implikasinya ........ 84 B. Analisis terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo ............................ 100 C. Pola Ideal Etika Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo . 108 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 113 B. Saran-saran ........................................................................ 116 C. Kata Penutup .................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA 12
  • 13. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika merupakan problem asasi yang dihadapi setiap manusia baik secara inidividu maupun kolektif. Batasan etika sendiri menurut para pakar, termasuk pakar pendidikan sulit dicari parameternya, sehingga memunculkan ragam perspektif. Perpedaan persepsi inilah yang semestinya dipandang sebagai aset yang perlu dihargai dan didiskusikan. Jika suatu etika telah tertanam, maka problem selanjutnya yaitu pemeliharaannya yang jauh lebih sulit dibanding mengumpulkan informasinya. Sebab erat kaitannya dengan suasana batin (naluri batin manusia). Naluri manusia sendiri masih menjadi sumber vital bagi setiap aktivitas hidup. Idealnya naluri bisa ditundukkan di bawah kendali akal. Jika sampai menyimpang dari kendali akal, dapat menghalangi cara pandang manusia. Kemudian membatasi pengaruhnya supaya orang yang tidak berpikir dipaksa untuk mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan dengan logikanya. Di sinilah disadari peran penting menyelaraskan komponen naluri dan akal sehingga diperoleh pola kehidupan yang beretika yang didasari prinsip-prinsip moral.1 Praktek prinsip-prinsip moral atau etika akan melibatkan sejumlah kesulitan dan tidak jarang melahirkan kontradiksi. Oleh karena itu, 1 Lihat Sayid Mujtaba Musawi Lari, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf ”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama, 2001, hlm. xi. 13
  • 14. pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis spiritualitas tidak dapat menolak naluri yang melemahkan. Orang yang tidak mempunyai pengamanan spiritualitas akan segera terpengaruh oleh hawa nafsu. Karena, pendidikan semacam itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan dominasi hawa nafsu. Akibatnya, etikanya pun menyimpang dari prinsip-prinsip moral. Oleh karena itu, keyakinan religius merupakan jaminan yang cukup penting bagi pelaksanaan prinsip-prinsip manusiawi dan sebagai dukungan yang paling besar bagi nilai-nilai etika dalam melawan hawa nafsu. Manusia dapat membebaskan dirinya dari cengkraman dorongan-dorongan dan motif-motif yang merugikan melalui keimanan kepada Sang Pencipta, adanya hari balasan, pahala dan dosa. Tujuan para Nabi, terutama Nabi Muhammad s.a.w. ialah mendidik etika manusia untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi, dan membersihkan pikiran mereka dari pencemaran dan kotoran. Penyebaran etika Islam, yang dilancarkan oleh Nabi merupakan gerakan unik, tanpa tandingan, dari sisi pandang etos tentang kedalaman dan keasliannya yang konstruktif. Etika Islam menjadi unik dalam pengertian bahwa ia meliputi semua kehalusan rohani manusia dan perhatian khusus kepada setiap gerak pikiran dan yang berasal dari batin. Dampak yang belum pernah ada sebelumnya yang dilakukan pada jiwa manusia dan realitas dari kehidupan ialah mengangkat suatu umat yang rusak menuju ketinggian martabat.2 2 Ketika masyarakat yang bobrok itu diberi keimanan dan bimbingan, ia meletakkan fondasi dari tatanan baru di dunia dan maju sehingga ia menjadi suatu model moralitas dan keutamaan manusia, suatu model yang sepertinya belum pernah dilihat sejarah. Bahkan sekarang, ketika kekosongan ruhani menandai watak dan ruh Barat abad ke-20, ketika orang-orang yang dibesarkan 14
  • 15. Abad modern3 , yang ditandai dengan perkembangan berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, juga bisa meninggalkan problem serius. Sekadar contoh, dengan semakin majunya teknologi informasi, orang bukan saja dapat menikmati beberapa stasiun televisi di dalam negeri, tetapi juga bisa menikmati siaran lain dari luar negeri. Apa yang diperbuat dan dilakukan oleh bangsa-bangsa yang berbudaya dan berperadaban lain, bisa ditonton. Mereka yang silau oleh kemajuan peradaban bangsa lain, berusaha menirunya tanpa selektif. Dengan peniruan yang tidak mempertimbangkan apakah hal itu sesuai dengan norma-norma agama serta adat istiadat yang berlaku di tempatnya dan apa pula akibatnya bagi dirinya dan generasi sesudahnya, akhirnya patokan-patokan moral yang tadinya diagungkan mulai memudar. Nilai-nilai lama yang sakral, dengan sendirinya terkikis oleh nilai- nilai baru. Kalau dahulu kaum wanita merasa malu karena terlihat betis kakinya, sekarang justru sebagian dari mereka bangga untuk mempertontonkan semua bagian tubuhnya kepada siapa saja. Pembicaraan tentang seks, yang dahulu merupakan suatu hal yang tabu, sekarang menjadi pembicaraan di mana saja dengan tidak rasa pekewuh sedikitpun. Bahkan dengan alasan untuk seni, orang tidak malu mempertunjukkan gerakan apa dalam lingkungannya datang berlindung di tangan Islam, terjadi suatu perubahan total dalam rohani dan etosnya. Para ilmuwan Amerika telah mengakui bahwa ketika orang-orang Amerika-Afrika masuk Islam, semua aspek kehidupan mereka mengalami perubahan mendalam. Lihat Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963, hlm. 45 3 Biasa disebut era globalisasi. Disebut demikian, karena perkembangan informasi maju dengan sedemikian pesatnya, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia, bisa diikuti dan disaksikan di tempat lain pada waktu yang sama. Dunia seakan menjadi semakin sempit tanpa batas- batas teritorial. 15
  • 16. saja, termasuk gerakan yang paling pribadi kepada khalayak umum.4 Kasus goyang “ngebor” yang dipertontonkan Inul Daratista beberapa waktu yang lalu sebagai salah satu contohnya. Di samping masih banyak lagi contoh yang lebih seronok, yang menunjukkan betapa patokan-patokan etika telah mengalami pergeseran. Yang jelas, budaya malu, yang menjadi benteng pertahanan manusia dari perbuatan-perbuatan amoral, sekarang telah runtuh. Otoritas moral yang berupa adat kebiasaan, kode moral, pernyataan tentang suatu kaidah, lembaga-lembaga keagamaan, karya sastra yang disakralkan, hukum alam, kekuasaan negara yang dianggap mempunyai pengaruh dalam menegakkan moral, sekarang sudah ditinggalkan dan dianggapnya sebagai masa lalu. Anggapannya, suatu kemajuan hanya bisa dicapai dengan cara memberontak terhadap nilai-nilai yang sudah mapan. Sesudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap otoritas moral yang sudah mapan, timbulah relatifisme yang memandang benar atau salah itu berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Suatu hal yang dianggap benar, pada suatu tempat dan waktu, belum tentu benar menurut tempat yang sama, tetapi waktunya berlainan. Apalagi pada tempat dan waktu yang berbeda. Benar dan salah adalah relatif. Ada pula yang memandang bahwa moral itu subyektif, juga relatif. Moral itu berubah dan berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Para penganjur etika ini menghormati kaidah-kaidah etika dan kebijaksanaan yang telah ada. Tetapi, kaidah dan kebijaksanaan itu dianggap sebagai pedoman 4 Lihat M. Darori Amin, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Teologia, Volume 12, Nomor 3, Oktober, 2001, hlm. 319. 16
  • 17. yang dapat dikesampingkan jika situasinya demikian. Joseph Fletcher mengatakan bahwa segala tindakan atau perbuatan apa saja adalah benar atau salah tergantung kepada situasi yang ada.5 Perbedaan sandaran moralitas ini membuahkan persepsi etika yang berbeda-beda. Pada akhirnya, perbuatan baik dan buruk, patokannya berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana ia dipandang. Islam sendiri telah memberikan sandaran etika. Bahkan, etika islam dipandang bisa memberikan kepastian dan kemantapan dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan, karena bersumber dari wahyu yang mutlak dan obyektif. Meski mutlak dan obyektif, etika Islam itu juga mengakui adanya kemubahan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi, sepanjang tidak bertentangan dengan wahyu itu sendiri. Salah satu kaidah dalam ushul fiqh mengatakan bahwa hukum berjalan sesuai dengan illat yang menyertainya.6 Bagi umat Islam, permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, mutlak dan transenden, serta syari’ahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga terdapat pada agama lain.7 Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak hanya 5 Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 141-162. 6 Lihat misalnya Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986, hlm. 755. 7 Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius. Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun televisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang bayi. Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering hanya dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi perlu menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat 17
  • 18. sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau petunjuk bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam semesta. Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb (pembimbing, pendidik) bagi seluruh alam. Teori etika merupakan gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang. Oleh karena itu bahasan etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk. Sistem etika harus berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek moral yang bermakna dan koheren.8 mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun melakukan metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan. Lihat Ahmadun Yosi Herfanda, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004. 8 Al-Qur'an melibatkan pembahasan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian tentang etika dapat membuahkan hasil, yang kesemuanya itu kembali kepada teks al-Qur'an itu sendiri; tafsir, fiqh dan kalam. Para sufi dan filosof, yang sering menggali otoritas al-Qur'an untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat dikatakan telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia. Mereka telah berhutang budi kepada pengaruh-pengaruh luar seperti India, Yunani, Kristen dan lainnya telah membentuk pemikiran mereka. Oleh karena itu, teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi yang menyusunnya sebagian berasal dari teori-teori umum yang berakar dari al-Qur'an dan sunnah. Teori-teori tersebut mungkin dibentuk sebagai teori skriptual atau teologis yang bergantung kepada keluasan mereka bertumpu kepada teks kitab suci atau kesepakatan terhadap teks yang dapat diterima ketika menghadapi nilai atau intepretasi secara dialektik. Lihat Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. xv-xvi. 18
  • 19. Selanjutnya etika menjadi suatu ilmu yang normatif,9 dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat penilaian etika ialah perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. Manusia dalam semua perbuatannya, bagaimanapun juga mengejar sesuatu yang baik. Berbuat baik merupakan tanggung jawab moral bagi semua manusia, dan pelaksanaan dari tanggung jawab ini sebagai pencerminan dari jiwa yang berpribadi. Bertanggung jawab berarti pula memfungsionalkan sifat-sifat manusia untuk mempertahankan nilai-nilai pribadi yang luhur, serta dapat mendudukkan nilai harga diri manusia sebagai manusia. Kemudian manusia selalu memikirkan prinsip-prinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Persoalannya, ukuran norma baik-buruk berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana dalam pandangan relatifisme di atas. Suatu hal yang baik dan benar di suatu tempat, mungkin akan dianggap salah atau jahat di tempat yang lain. Pola hubungan dan perbuatan apapun sangat diperhatikan oleh Islam. Karena Islam memperhatikan etika, dikenalah apa yang disebut “etika Islami” seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, pola berbusana, dll. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam 9 Karena dikatakan sebagai ilmu, maka penjelasan makna baik, buruk, hak dan kewajiban moral tidak dapat dipisahkan dari proses aktivitas rasional (akal manusia). Artinya, etika bukanlah sebagai ajaran/doktrin yang harus diikuti begitu saja (taklid buta) oleh manusia, tetapi ia merupakan “metode” atau “filsafat moral” untuk memahami benar atau salahnya suatu doktrin/ajaran moral itu sendiri. Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 3. 19
  • 20. bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.10 Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai pola busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam. Jilbab sendiri masih sarat makna. Jilbab tidak hanya dipakai oleh orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim). Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun 10 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130 20
  • 21. dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual. Begitu pula para pelacur di Nangroe Aceh Darusalam (NAD) misalnya. Mereka menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab.11 Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. Jadi, tidaklah layak jika menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama. Proporsi di atas menjadi menarik jika dikaitkan dengan pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, yang memiliki simbol identitas tersendiri seakan menunjukkan sebagai perguruan tinggi yang berbasis ilmu-ilmu keislaman dan difokuskan mengakaji ilmu-ilmu keislaman pula. Kemudian apakah pola berbusana demikian, utamanya memakai jilbab bagi mahasiswi IAIN Walisongo hanya sebatas simbol kultural yang membedakan dengan perguruan tinggi umum, atau memang sebagai etika religius berbusana yang dijunjung tinggi? Jika benar, lalu bagaimana femonema banyaknya busana yang dipakai mahasiswi IAIN yang masih kelihatan seronok, misalnya walaupun memakai jilbab, tapi dipadukan dengan baju, celana yang super ketat, tansparan, sehingga kelihatan lekuk- lekuk tubuhnya. Hal inilah yang menarik untuk dilakukan penelitian. 11 Lihat Sri Rahayu Arman, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003. 21
  • 22. B. Rumuan Masalah Berdasarkan deskripsi di atas maka permasalahan yang akan diteliti dan dicari jawabannya adalah: 1. Bagaimanakah pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal etika berbusana? 2. Bagaimanakah implikasi dari pemahaman etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo tersebut? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo? C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat pula, maka penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Untuk mendeskripsikan pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal etika berbusana. 2. Untuk mengevaluasi implikasi dari pemahaman etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo. 3. Untuk mengungkap faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo. Setelah dikemukakannya tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini mempunyai signifikansi yang jelas dan dapat dijadikan rujukan. Minimal dijadikan bahan diskusi bagi civitas akademika IAIN Walisongo pada khususnya dan praktisi pendidikan keagamaan pada umumnya, agar dapat 22
  • 23. membimbing, mengarahkan dan memberikan stressing tertentu terhadap mahasiswi, agar etika religius berbusana terarah pada kondisi yang diharapkan. D. Tinjauan Pustaka Kajian tentang masalah etika banyak ditemukan dalam buku-buku maupun dalam bentuk penelitian-penelitian lapangan. Selanjutnya untuk membahas persoalan-persoalan di atas, berikut penulis ilustrasikan beberapa buku yang dipandang terkait. Fadwa El Guindi dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawaran mengemukakan bahwa berjilbab lebih merupakan identitas serta kerahasiaan pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi—sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan 23
  • 24. (ruang gerak, persamaan dll). Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya.12 Majid Fakhry dalam bukunya Etika dalam Islam, melakukan kajian yang intens mengenai akhlak, dengan melakukan teoritisasi etika dalam Islam. Sehingga norma-norma akhlak Islam yang diformulasikan dalam teori-teori itu, kemudian dapat dijabarkan dalam langkah-langkah nyata yang lebih konstektual serta menyentuh persoalan umat, namun tetap di atas prinsip-prinsip Islam, yang bersumber pada al-Qur'an dan sunnah. Fakhry rupanya banyak menggunakan metode horizontal dalam kajiannya yang semata-mata mengikuti garis perkembangan kronologis, dan metode analitis atau skematis yang berkaitan dengan tema-tema besar etika yang vertikal. Tipologi resultan teori-teori besar etika di dalam kerangka definisi yang jelas, di mana tipe skriptual dan tipe filosofis adalah dua hal yang bertentangan. Selanjutnya, buku ini mengemukakan tentang moralitas skriptual, etika teologis, etika filosofis dan moralitas religius.13 W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, berargumen bahwa moral itu adalah sesuatu yang benar- benar ada dan tidak dapat dipungkiri. Adanya keyakinan tentang moral dan 12 Fadwa El Guindi, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman “Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi, 2003. 13 Majid Fakhry, loc.cit. 24
  • 25. keharusannya itu bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, walaupun hal-hal itu kadang kurang nampak dan kurang jelas. Pelanggaran moral bukanlah kesalahan biasa, seperti salah pukul dalam badminton atau salah tendang dalam sepak bola, melainkan sesuatu yang menyangkut manusia sampai sedalam- dalamnya. Jika demikian, maka yang sebaiknya jugalah yang benar, yakni bahwa perbuatan yang baik secara moral itu berupa kebaikan yang sedalam- dalamnya pula. Seperti pelanggaran moral dipandang sebagai sesuatu yang anti perikemanusiaan, demikian juga penataan terhadap moral dilihat sebagai sesuatu yang sesuai sepenuhnya dengan perikemanusiaan yang sejati. Hal inilah yang termuat dalam bahasa dan gagasan sehari-hari. Hampir tidak ada orang yang mau disebut binatang meskipun kelakuannya melebihi binatang.14 Ahmad Amin dalam bukunya, al-Akhlak menyajikan berbagai persoalan etika, mulai dari definisi, aspek-aspek kejiwaan sebagai dasar perilaku (behavior), teori etika dan sejarahnya, dan etika praktis. Ahmad Amin menyebutkan dasar-dasar perilaku secara luas yang meliputi instink, adat kebiasaan, turunan dan lingkungan, kehendak, motif, akhlak, suara hati dan cita- cita. Sayangnya, perilaku yang menjiwai perjuangan Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidun tidak banyak dikaji, sehingga dasar perilaku hakiki yang menjiwai semangat mereka tidak terlihat.15 14 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999. 15 Ahmad Amin, Al-Akhlak, Bandung: Al-Ma’arif, 1996. 25
  • 26. Sayid Mujtaba Musawi Lari dalam bukunya Etika dan Pertumbuhan Spiritual, banyak mengemukakan bahwa etika erat kaitannya dengan pertumbuhan spiritual. Sebab manusia berbeda dengan binatang, manusia dituntut untuk hidup sesuai dengan asas perilaku yang disepakati secara umum dan harus tahu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral, sedangkan binatang tidak. Jika manusia mampu menjalaninya, maka itulah yang disebut manusia yang beretika. Jika tidak, maka jangan heran jika manusia akan bertingkah laku seperti binatang. Banyak fakta membuktikan bahwa dunia ini sudah begitu ramai dengan tingkah-polah binatang berwujud manusia. Mereka tidak memberi kesempatan benih spiritualisme untuk tumbuh dan berkembang, karena yang mereka sirami justru benih-benih hasrat hewaniah yang membunuh spiritualisme dan kemanusiaan.16 Adapun penelitian yang ada kaitannya dengan karakteristik mahasiswa IAIN Waslingo, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Shodiq Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo”. Dalam penelitiannya, Shoqid menyimpulkan bahwa sistem pendidikan di IAIN Walisongo agaknya belum mampu membentuk dan menciptakan pribadi mahasiswa yang cenderung berpikir realistik secara maksimal; yaitu pola berpikir yang bersifat faktual, real, logis atau rasional sebagai suatu pendapat yang dapat diterima atau diyakini kebenarannya. Kebanyakan mahasiswa masih berpikir secara autistik, artinya, ersifat mistis atau fatalistik sebagai 16 Sayid Mujtaba Musawi Lari, loc.cit. 26
  • 27. suatu yang dapat diterima atau diyakini keabsahannya. Padahal IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang diharapkan bukan saja mampu mengembangkan diri sebagai lembaga keagamaan tetapi juga mampu memfungsikan diri sebagai lembaga keilmuan. Perbedaan kurikulum di masing- masing fakultas agaknya sangat mempengaruhi corak pemikiran keagamaan mahasiswa.17 Berdasarkan ilustrasi di atas, maka topik yang penulis angkat berbeda dengan lainnya, yang bersifat kasuistik. Oleh karenanya, permasalahan yang penulis angkat mengenai etika religius berbusana mahasiswi layak untuk diangkat. Tanpa sikap a priori, penulis berkesimpulan belum ada penelitian yang secara khusus membahas topik ini. E. Metode Penelitian Penulis akan menitikberatkan pada pengolahan data secara kualitatif. Teknik ini penulis gunakan dengan pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini mendekatkan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden. Ketiga, kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yag dihadapi.18 Sehinga pola ini lebih tepat dalam penelitian 17 Shodiq Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang” dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2 Nopember 2003. 18 Lexy J. Muleong, Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995, hlm. 5. 27
  • 28. ini, karena untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian jika diharapkan pada persoalan-persoalan tersebut. Secara metodologis, langkah-langkah yang akan penulis tempuh adalah: 1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yaitu pencarian dan pengumpulan data yang dipergunakan untuk membahas masalah atau problematika dalam penelitiani ini. Dalam pengumpulan data ini menggunakan penulis terjun langsung ke obyek yang akan diteliti. Jenis penelitian semacam ini lazim disebut field research (penelitian lapangan).19 Obyek penelitian ini adalah mahasiswi IAIN Walisongo secara umum, yang kemudian dengan pertimbangan efesiensi, penulis akan melakukan pengacakan pada mahasiswi atau diambil sampelnya saja. Adapun sampel yang diambil adalah mahasiswi yang aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan baik di ekstra maupun intra kampus. Berdasarkan tiga pokok permasalahan yang penulis angkat, maka sampel mahasiswi yang diambil ialah mereka yang aktif di organisasi ekstra seperti KAMMI, IMM, HMI dan PMII dan organisasi intra kampus seperti UKM Mawapala, UKM Musik dan UKM Teater. Langkah-langkah yang ditempuh melalui; pertama, observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena- 19 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983, hlm. 22. 28
  • 29. fenomena yang diselidiki,20 dalam hal ini mahasiswi IAIN Walisongo seperti yang disebutkan di atas. Kedua, wawancara atau interview. Wawancara adalah mencakup cara yang diperlukan seseorang untuk suatu tugas tertentu untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.21 Metode ini digunakan dalam bentuk pertanyaan kepada responden yang bersangkutan. Ketiga, metode angket terskturktur, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang pilihan jawabannya telah disediakan.22 Metode angket ini sebagai data pendukung saja untuk membantu responden dalam memberikan jawaban. 2. Metode Analisis Data Analisa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Dalam mendeskripsikan juga mencakup upaya klarifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam data yang telah terkumpul. Kemudian penulis kembangkan untuk membuat prediksi.23 Langkah terakhir dalam penelitian, dalam upaya untuk memperoleh suatu kesimpulan yang akurat, penulis akan menggunakan dua alur pemikiran yaitu induktif dan reflektif. Induktif adalah suatu pola 20 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 234. 21 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 129. 22 Suharsimi Arikunto, op.cit., hlm. 236. 23 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989, hlm. 68- 69. 29
  • 30. pemahaman yang dimulai dengan mangambil kaidah-kaidah yang bersifat khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan reflektif adalah suatu proses berfikir yang mondar-mandir dari data yang satu ke data yang lain.24 F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang utuh dan terpadu atas hasil penelitian ini, maka sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab. Adapun rinciannya sebagai berikut: Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian yang sekaligus berfungsi sebagai argumentasi. Selain itu dikemukakan kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua akan memaparkan kajian-kajian mengenai diskursus- diskursus etika sebagai landasan teori. Pada bab ini memuat; istilah etika, norma dasar etika, etika Islam dan norma-normanya, etika berbusana, etika berbusana dilhat dari fungsinya dan seputar kontroversi jilbab. Bab ketiga akan menyajikan etika religius berbusana mahasiswi IAIN Walisongo. Bab ini memuat; potret mahasiswa IAIN Walisongo dan corak keagamaannya, pemahaman etika religius berbusana mahasiswi, sekaligus faktor-faktor apa yang mempengaruhi. 24 Ibid., hlm. 92-93. 30
  • 31. Bab keempat merupakan analisis. Point-point yang akan dianalisis adalah; analisis terhadap pemahaman etika religius berbusana mahasiswi, analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi etika religius berbusana dan pola ideal etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo. Bab kelima adalah penutup. Hasil pembahasan dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bagian kesimpulan yang merupakan penegasan jawaban pokok problematika yang diangkat dan asumsi-asumsi yang pernah diutarakan sebelumnya. 31
  • 32. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Shodiq, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang” dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2 Nopember 2003. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002. Al-Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986. Amin, Ahmad, Al-Akhlak, Bandung: Al-Ma’arif, 1996. Amin, M. Darori, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Teologia, Volume 12, Nomor 3, Oktober, 2001. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Arman, Sri Rahayu, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003. El Guindi, Fadwa, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman “Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi, 2003. Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004. Koenjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983. Lari, Sayid Mujtaba Musawi, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf ”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama, 2001. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989. Muleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995. 32
  • 33. Musa, Muhammad Yusuf, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al- Khanji, 1963. Poespoprodjo, W., Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999. Salam, Burhanuddin, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983. Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. 33
  • 34. BAB II DISKURSUS-DISKURSUS ETIKA A. Istilah Etika Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin ethic yang dalam terjemahan bahasa Inggris kata ethic diartikan dengan “tata susila”.25 Sedangkan secara terminologi, istilah etika menurut Ahmad Amin adalah yang dalam bahasa Gerik disebut ethikos; yaitu a body of moral principles or values, atau kebiasaan, habitat, custom.26 Dengan demikian, dalam pengertian aslinya apa yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti pengertian sekarang. Etika ialah pengertian yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, seperti mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.27 Kronologis penggunaan istilah etika itu dimulai oleh Montaigne (1533- 1592), seorang penyair Perancis dalam syair-syairnya yang terkenal pada tahun 1580.28 Istilah lain yang berdekatan etika ialah moral, dan akhlak yang sama- sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia, bahkan terkadang ketiganya berjalan seiring. Menurut Yunahar Ilyas, perbedaan etika, 25 Lihat Markus Willy, dkk., Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Surabaya: Arloka, 1997, hlm. 172. 26 Lihat Ahmad Amin, Al-Akhlak, terj. Farid Ma’ruf, “Etika”, Bandung: Bulan Bintang, 1975, hlm. 1-3. 27 Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 3. 28 Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 5. 34
  • 35. akhlak dan moral terletak pada standar masing-masing. Etika standarnya pertimbangan akal dan pikiran; akhlak standarnya al-Qur’ân dan sunnah, dan moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.29 Sedangkan menurut Harold Titus, dkk., perbedaanya hanya dari sudut bahasa, moral berasal dari kata Latin “moralis”, etika berasal dari kata “ethos”, dan akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti. Ketiganya berarti “kebiasaan” atau “cara hidup”.30 Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma (aturan) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari- hari. Dari segi inilah didapati pemakaian dengan nilai-nilainya yang filosofis. Sementara ilmu yang mempelajari pelaksanaan atau realisasi etika dalam praktek kehidupan sehar-hari itu disebut casuistic; orang yang mempelajarinya disebut casuist.31 Titik tekan penilaian etika sebagai suatu ilmu ialah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi-pekerti. Budi sendiri tumbuhnya dalam jiwa. Apabila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti.32 Jadi suatu budi 29 Lihat Yunayar Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPII), 2004, hlm. 3. 30 Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 141. 31 Lihat Somon Blackburn, Being Good; Pengantar Etika Praktis, terj. Hari Kusharyono, Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 7. Lihat pula Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, hlm. 16. 32 Lihat Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 7. Lihat pula M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam; Antara al-Ghazâlî dan Kant, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 67. 35
  • 36. pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa, semasih menjadi angan, imajinasi, cita, niat hati, sampai ia lahir ke luar berupa perbuatan nyata. Sebenarnya, setiap perbuatan dapat dinilai pada tiga tingkat. Tingkat pertama, semasih belum lahir jadi perbuatan atau masih berupa rencana dalam kata hati, niat. Tingkat kedua, sesudahnya, yaitu sudah berupa perbuatan nyata atau pekerti. Tingkat ketiga, akibat atau hasil dari perbuatan itu; baik atau tidak baik.33 Apa yang masih berupa kata hati atau niat itu, dalam bahasa filsafat ataupun psikologi, biasa disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Isi dari karsa atau kemauan itulah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Langkah- langkah yang ditempuh oleh perbuatan itulah yang dinilai, karenanya dapat digunakan empat variabel; Pertama, tujuannya baik, tetapi cara pencapaiannya tidak baik. Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan. Masalah tujuan tidak perlu dibicarakan lagi, karena sudah jelas baik, yang dinilai sekarang ialah cara mencapainya.34 Kedua, tujuannya tidak baik, tetapi cara mencapainya (kelihatannya) baik, atau tujuannya jahat, tetapi memperolehnya kelihatan baik. Ini menggambarkan bahwa cara yang ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik, diliputi oleh kepalsuan, penipuan. Cara kerja seperti ini terkenal dalam sejarah sebagai suatu sistem kerja/taktik yang pernah dipakai oleh orang komunis yang menghalalkan 33 Lihat Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 4-5. 34 Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan; misalnya seorang pedagang, untuk menyekolahkan anaknya, supaya anak tersebut dapat diterima, ia telah betindak menyuap beberapa orang panitia penguji. Menyekolahkan anak, adalah suatu perbuatan baik. Tetapi jalan yang ditempuhnya itu tidak terpuji. Yang tidak terpuji di sini tentulah kedua belah pihak; yang memberi suap dan yang menerima suap. Lihat Ibid., hlm. 5-6. 36
  • 37. berbagai cara.35 Ketiga, tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik. Ini menggambarkan bahwa untuk memcapai tujuan yang jahat dan dapat merugikan orang lain, cara apapun ditempuh, misalnya harus menipu, memperdaya atau bahkan sampai membunuh.36 Keempat, tujuannya baik, cara mencapainya juga baik. Cara inilah yang diajarkan oleh etika. Suatu tujuan baik, hendaknya diusahakan pula cara yang baik untuk mencapainya.37 Semenjak zaman Yunani kuno hingga kini, manusia selalu memikirkan prinsip-prinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Mereka mempunyai ukuran-ukuran dan norma-norma yang berbeda. Suatu tindakan mungkin akan dianggap terpuji di sauatu tempat, akan tetapi di tempat lain dianggap salah atau jahat. Begitu pula suatu perbuatan mungkin dianggap baik di suatu waktu, tetapi dengan berubahnya zaman, perbuatan yang dianggap baik pada masa lampau dianggap jelek pada masa kini. Sebaliknya, suatu perbuatan jahat dan jelek mungkin dianggap baik dan benar pada tempat dan waktu yang berbeda. Hubungan badani sebelum menikah akan dianggap wajar oleh bangsa-bangsa Barat. Tetapi, bagi orang-orang Timur, khususnya muslim, hal tersebut merupakan perbuatan tercela. Dahulu seorang wanita berpantang keluar dan 35 Sebagai contoh misalnya strategi untuk dapat merebut pemerintahan, mula-mula ditempuhnya taktik kerjasama dengan semua pihak, kelihatannya fair, simpatik. Tetapi suatu saat ia telah merasa dirinya kuat, semua kawan sekerjanya tadi yang tidak seasas dengannya, diterkam. Kasus seperti ini dari segi politik komunis hukumnya biasanya, wajar, tetapi dari segi etiks hukumnya jahat. Lihat Ibid., hlm. 7. 36 Dapat dicontohkan misalnya seorang penjahat, untuk mendapatkan yang tersimpan di bank atau yang merupakan harta kekayaan seseorang, sang perampok tadi tidak akan sayang membunuh jiwa bebrapa orang yang tidak berdosa, yang menghalangi jalannya. Ibid., hlm. 8. 37 Inilah yang ideal, misalnya mau lulus ujian syaratnya harus; belajar bersungguh-sungguh, teliti, disiplin diri, jadi bukan dengan jalan menyogok. Mau membantu mahasiswa untuk lulus, syaratnya ialah memberikan bimbingan secara intensif, aktifkan belajar dengan sungguh hati. Jadi tidak dengan cara menerima sogokan. Itu berarti meracuni jiwa seseorang dan memberikan contoh yang sungguh tidak terpuji bagi seorang pendidik. Ibid. 37
  • 38. bekerja pada malam hari. Tetapi pada masa industrialisasi sekarang ini, untuk sebagian orang hal tersebut sudah dianggap sebagai hal yang lumrah.38 Dengan demikian dapat ditegaskan lagi bahwa etika ialah suatu yang menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Etika sering pula disinonimkan dengan akhlak dan moral. Perbedaannya terletak pada standar masing- masing, namun maksudnya sama, yaitu menentukan nilai baik dan buruk perbuatan manusia. B. Norma Dasar Etika Norma-norma etika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern terdiri atas beberapa paham; pertama, paham pragmatisme. Paham ini menimbang kebaikan dan keburukan suatu perbuatan dari manfaat yang dapat dihasilkan, baik ditinjau dari segi rohani maupun materi dan individu maupun kelompok. Dengan demikian perbuatan yang dianggap baik adalah yang bermanfaat. Semakin besar manfaat suatu perbuatan, semakin tinggi pula nilai kebenarannya.39 Kedua, paham yang mengambil jalan tengah antara dua perbuatan jelek. Norma ini dicetuskan oleh Aristoteles. Menurut paham ini, perbuatan baik adalah yang menjadi jalan tengah antara dua perbuatan yang jelek. Sebagai contoh 38 Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islami; al-‘Aqliyyun wa al-Dzauqiyyun aw al-Nadzar wa al-Amal, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-Arabiyah, 1992, hlm. 34. Lihat pula Majid Fakhri, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. 24. 39 Lihat M. Darori Amin, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Jurnal Teologia, Volume 12, Nomor 3, Oktober 2001, hlm. 321. 38
  • 39. kedermawanan adalah baik, karena merupakan jalan tengah antara kikir dan boros. Kesabaran adalah terpuji, karena jalan tengah antara kekerasan dan kelemahan.40 Ketiga, paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan. Bagi paham ini, suatu perbuatan diangap baik apabila sesuai dengan lingkungannya. Kesesuaian dengan lingkungan menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan, sedengkan ketidak-sesuaian dengan lingkungan menyebabkan penyakit dan kesengsaraan.41 Keempat, paham yang memandang kepada kenyataan dan percobaan. Norma akhlak bagi paham ini merupakan percobaan, yang dengannya akan diketahui baik buruknya suatu perbuatan. Apabila dalam percobaan tersebut dapat dipetik manfaat material maupun spiritual, perbuatan tersebut dapat dikatakan baik. Tetapi apabila tidak, perbuatan itu jelek atau buruk.42 Sedangkan norma intern, dapat didefinisikan sebagai suatu daya yang berasal dari manusia sendiri, yang dengannya manusia bisa membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Para pengikut paham ini bersepakat tentang adanya kekuatan bathiniyah di dalam diri manusia untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Daya tersebut dinamakan concience atau dhamir (hati nurani), yang merupakan cermin bagi perbuatan manusia. Dari padanya akan 40 Akan tetapi setelah dilakukan penelitian, banyak yang menganggap bahwa norma ini mengandung kelemahan, karena banyak perbuatan jelek yang tidak ada jalan tengahnya, seperti pree sex, berbohong, menciri dan sebagainya. Lihat Ibid. 41 Lihat Ibid. 42 Lihat Ibid., hlm. 322. 39
  • 40. terpantul apakah perbuatan tersebut baik atau buruk. Suara hati, bukan saja memberikan informasi tentang baik atau buruknya suatu perbuatan, tetapi memberikan ganjaran kegembiraan bagi yang melakukan baik, dan penyesalan bagi yang melakukan perbuatan jahat.43 Menurut paham rasionalisme, rasio merupakan satu-satunya daya yang dimiliki manusia untuk mengetahui antara yang baik dan yang buruk. Pencetus pendapat ini adalah Socrates dan Plato, yang kemudian dilanjutkan dengan paham Mu’tazilah dalam Islam, dan selanjutnya oleh Imanuel Kant dari Jerman. Paham ini telah menggAbûngkan antara akal dan kehendak baik. Perbuatan baik merupakan perbuatan yang keluar dari kehendak yang baik. Untuk itu, paham ini membuat tiga prinsip bagi seseorang dalam melakukan perbuatan,: pertama, prinisip umum. Jika seseorang akan melakukan suatu perbuatan, hendaknya melakukan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang bisa diterima publik dan telah menjadi undang-undang. Kedua, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan tidak menjadikannya sebagai alat. Jika seseorang akan melakukan suatu tindakan, hendaknya ia dapat memperlakukan dengan baik kemanusiaan yang ada pada dirinya dan orang lain. Ketiga, kebebasan betindak dari interes dan hasil-hasil dari perbuatan tadi, serta tidak akan tunduk kecuali kepada akal.44 Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan bahwa norma-norma etika dapat dikelompokkan pada norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern dibagi pada paham pragmatisme, paham jalan tengah antara dua perbuatan baik dan jelek, 43 Lihat Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 90. 44 Ibid., hlm. 93. 40
  • 41. paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan dan paham yang memandang kepada kenyataan dan percobaan. Sedangkan norma intern ialah suatu daya yang berasal dari manusia sendiri yang menggunakan beberapa prinsip; prinsip umum, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan prinsip kebebasan betindak. C. Etika Islam dan Norma-normanya Kalau di atas telah disebutkan pengertian etika secara umum, perlu pula disebutkan di sini pengertian etika Islam. Pengertian etika Islam ialah; “prinsip- prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh wahyu, untuk mengatur kehidupan mereka dan mencapai tujuan dari keberadaan mereka di dunia ini dengan cara yang sebaik-baiknya”.45 Artinya, prinsip-prinsip atau aturan yang mengaturan perbuatan baik dan buruk yang menurut Toshihiko Izutzu disebut oleh al-Qur’ân dengan shalih dan tidak shalih, dalam bahasa Inggrisnya disebut righteous (sepantasnya). Kata shalih ini selalu berdekatan penyebutannya dengan kata iman, karenanya memiliki hubungan semantik yang mengikat.46 Perbedaan pokok etika Islam dan etika yang lainnya terletak pada sumber. Sumber utama dari etika secara umum ialah penilaian manusia, karenanya bersifat relatif. Sedangkan sumber utama dari etika Islam adalah wahyu 45 Lihat Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963, hlm. 54. 46 Lihat Toshihiko Izutzu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, terj. Agus Fahri Husein “ Konsep Etika Religius dalam al-Qur’ân, Yogyakarta: Tiara Wacana, 3003, hlm. 246. 41
  • 42. yang datang dari Allah S.W.T. dan Nabi Muhamamd s.a.w. Karena sumbernya wahyu, maka sumber etika Islam bersifat mutlak. Wahyu merupakan sumber utama etika Islam. Sumber utama ini kemudian dikembangkan menjadi tiga; al-Qur’ân dan al-Sunnah, kemauan yang baik dan tujuan, akal dan hati nurani. Kesemuanya saling melengkapi dan terkait, sebagaimana dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Al-Qur’ân dan al-Sunnah Al-Qur’ân yang diturunkan kepada umat manusia antara lain untuk dijadikan petunjuk dan pembeda antara yang baik dan yang salah. Dalam al- Qur’ân dijumpai petunjuk-petunjuk bagaimana seorang muslim itu harus berhubungan dengan sesama manusia serta bagaimana pula cara-cara mereka memperlakukan alam ini dan manfaatnya. Ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu mengikuti petunjuk-petunjuk al-Qur’ân antara lain terdapat dalam surat al-Nisâ’ ayat 59 yang berbunyi: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu 42
  • 43. berlainan pendapat tentnag sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisâ’ (4): 59).47 Kemudian pada ayat 105 disebutkan: Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang kianat”. (Q.S. al-Nisâ’ (4): 105). 48 Surat al-Isra’ ayat 9 menyebutkan: 47 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 128. 48 Ibid., hlm. 139. 43
  • 44. ^i ^ ^ ar* jsj Cy X !> c*fi 'c» ^ ^ Artinya : “Sesunguhnya al-Qur’ân it u memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira keapda orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. al-Isra’ (17): 9)49 . Sedangkan perintah untuk mengikuti al-Sunnah, karena salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyermpurnakan akhlak” (hadîts diriwayatkan oleh Imam Malik).50 Akhlak Nabi sendiri merupakan aktualisasi dari akhlak al-Qur’ân. Aisyah r.a. berkata: “Akhlak Nabi adalah al-Qur’ân”. (H.R. Muslim).51 Oleh karenanya, Nabi Muhammad itu menjadi teladan dan panutan bagi semua muslim Secara umum, akhlak yang digariskan al-Qur’ân dapat dirinci menjadi: iman kepada Allah, ikhlas, kejujuran, melaksanakan amanat dan menepati janji, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. 49 Ibid., hlm. 425-426. 50 Lihat Muhammad al-Ghazâlî, Khuluq al-Muslim, Cairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsash, 1974, hlm. 7. 51 Muslim ibn Hajaj, Shahîh Muslim, Juz I, Beirut: Dâr al-Ilm, t.th., hlm. 47. 44
  • 45. Kemudian berusaha mencapai hal yang baik dan mulia, tolong-menolong dalam kebaikan, tekun dalam melakukan sesuatu, lurus dan moderat, mengikuti perbuatan-perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan- perbuatan jahat dan sebaginya.52 Ibadat-ibadat yang disyari’atkan dalam Islam, bukan hanya peribadatan-peribadatan yang tidak bisa dipahami, tetapi menjadi ikatan antara manusia dengan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahuinya. Selain itu berfungsi sebagai latihan dalam membiasakan manusia untuk hidup secara rasional, konsisten dalam setiap kondisi.53 2. Kemauan Baik dan Tujuan Sebetulnya norma ini sudah tercakup dalam norma al-Qur’ân dan al-Sunnah, yakni semua perbuatan itu haruslah didasarkan pada keikhlasan, yaitu hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Tetapi karena pentingnya norma ini, maka perlu ada bahasan tersendiri. Kemauan seseorang dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Kalau wujud perbuatan itu jelak tetapi niatnya baik, dianggaplah suatu perbuatan yang baik. Tetapi sebaliknya, apabila niatnya tidak baik, perbuatan itu dianggap jelek. Begitu pula dalam etika Islam. 52 Lihat Muhammad al-Ghazâlî, op.cit., hlm. 90. Lihat pula Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, terj. Mansuruddin Djoely “Etika Beragama dalam Qur’an”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26, dst. 53 Lihat Miqdad Yalchan, al-Ittijah al-Akhlaqi fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1973, hlm. 273-277. 45
  • 46. Islam tidak sekadar melihat baik buruknya wujud suatu perbuatan, tetapi juga melihat dari niat yang menyebabkan timbulnya perbuatan itu. Rasul bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh, dan bentuk- bentukmu, tetapi kepada hatimu” (H.R. Bukhari).54 Di dalam hadîts yang lain Rasûlullâh bersabda: “Mata manusia itu ibarat petunjuk, telinga dan lidahnya penerjemah, kedua tangannya sayap, kedua kakinya utusan dan hatinya adalah raja. Apabila raja itu baik, tentara-tentaranya baik. Kalau demikian peranan hati, wajib diawasi untuk dicuci dari hal-hal yang mengotorinya” (H.R. Muslim).55 Karena persoalan niat, Allah mencela orang yang melakukan shalat tetapi disertai riya, yakni orang yang berniat dalam shalatnya itu agar dilihat orang lain (Q.S. al-Ma’un (107): 4-6).56 Begitu pula Rasûlullâh pernah mengecam orang yang hijrah ke Yatsrib, karena hijrahnya bukan memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi karena melaksanakan permintaan calon isteri yang akan dinikahinya. Walaupun hijrah merupakan perbuatan yang mulia dan baik, tetapi karena niatnya yang salah, rasul mengecam hijrah tersebut dengan sabdanya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhya setiap orang akan mendapat balasan sesuai niatnya”. (H.R. Bukhari).57 54 Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh Bukhari, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 67. 55 Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 14. 56 Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 1108. 57 Lihat al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 57. 46
  • 47. Bagi orang muslim, sebelum melakukan perbuatan diperintahkan untuk membaca basmalah. Perintah ini bukan berarti perintah untuk meminta berkah dan pertolongan melalui bacaan ini, tetapi merupakan perintah dan petunjuk bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah karena Allah S.W.T. dan hanya diperuntukkan kepada-Nya. Setelah perbuatan tersebut didasari dengan niat yang baik, sebagai pengabdian kepada Allah S.W.T., maka perbuatan orang tersebut mempunyai tujuan utama, meraih kebahagiaan ukhrawi.58 3. Hati Nurani Norma ini merupakan daya asli manusia yang membuat seseorang itu merasa lega apabila melakukan perbuatan baik, dan menyesal apabila melakukan perbuatan jahat. Oleh karenanya, Islam mengakui norma ini, dan menetapkannya sebagai salah satu norma-norma etika Islam. Di dalam jiwa manusia itu terdapat dua kekuatan yang saling tarik menarik dalam berbuat. Yang menarik kebaikan adalah hati nurani, dan yang menarik kepada kejahatan adalah hawa nafsu. Terkait dengan persoalan hati nurani, Allah S.W.T. berfirman: 58 Abû Hamid al-Ghazâlî, al-Munqidh min al-Dhalal, Istambul: Hakikat Kitabevi, 1984, hlm. 9. 47
  • 48. *j uirj ;> yjt a uisr u^ «ti uiiL. ^ ^ ... Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Q.S. al-Syams: (91): 7-10).59 Karenanya, hati nurani menepati posisi penting dalam etika Islam. Rasûlullâh s.a.w. bersabda dalam mempertegas posisi hati nurani: “Kebaikan itu ialah yang memberikan ketenangan kepada jiwa dan hatimu, dan kejahatan itu adalah yang terbetik di dalam hatimu dan yang menimbulkan gejolak di dalamnya, walaupun banyak orang yang memberitahuan kepadamu” (H.R. Muslim).60 Sabdanya pula: “Tinggalah apa yang meragukanmu dan ambillah apa yang tidak merugikanmu” (H.R. Abû Dawud).61 Hati nurani ini ada pada setiap manusia, baik tua, muda, dewasa atau anak terpelajar sampai anak yang kurang ajar sekalipun. Apabila ada 59 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 1064. 60 Muslim Ibn Hajaj, op.cit, Juz I, hlm. 89. 61 Abû Dawud, Sunan Abû Dawud, Juz III, Beirut Libanon: Dâr al-Ilmiah, t.th., hlm. 16. 48
  • 49. anak kecil berbuat suatu kesalahan, ia akan merasa malu, gelisah dan perasaan-persaaan tidak enak lainnya. Perasaan ini ada pada setiap orang dan berjenjang menurut pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat suara hatinya. Oleh karenanya suara ini perlu dididik dengan pendidikan moral yang baik.62 Karena hidup manusia sangat tergantung dan selalu dipengeruhi oleh ruang dan waktu, tidaklah aneh bahwa suara hati masing-masing pribadi kadang-kadang berbeda antara satu pribadi dengan lainnya. Perbedaan itu pula saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena diperlukan kekokohan nurani yang tidak mudah terpengaruh oleh suasana lingkungan.63 Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan lagi bahwa yang dimaksud etika Islam ialah prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan- perbuatan manusia yang telah digariskan oleh wahyu. Perbedaan etika Islam dengan etika lainnya ialah terletak pada sumber yang digunakan. Jika etika secara umum sumbernya penilaian manusia sendiri, maka etika Islam bersumber dari wahyu atau al-Qur’ân dan hadîts. D. Etika Berbusana 62 Miqdad Yalchan menandaskan bahwa dengan pendidikan moral yang baik, akan tercipta pribadi-pribadi muslim yang baik, kalau tercipa pribadi-pribadi muslim yang baik, maka akan tercipta masyarakat muslim yang baik, dan dengan demikian akan tercipta kebudayaan Islam yang baik pula. Lihat Miqdad Yalchan, op.cit., hlm. 43. 63 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999, hlm. 153, dst. 49
  • 50. Sebelumnya perlu dikemukanan terlebih dahulu apa yang dimaksud busana. Kata busana biasa disinonimkan dengan kata pakaian, yaitu sesuatu yang dipakai untuk menutup tubuh.64 Fungsi busana ialah tergantung si pemakainya, karenanya ada yang cukup menggunakan busana atau pakaian untuk menutup badannya, ada pula yang memerlukan pelengkap seperti tas, topi, kaos kaki, selendang, dan masih banyak lagi yang menambah keindahan dalam berbusana.65 Menurut kamus bahasa Arab, busana atau pakaian mempunyai banyak muradlif (sinonim) seperti libas bentuk jamak dari lubs yang berasal dari fi’il madhi: labisa-yalbasu yang artinya memakai, atau tsiyabûn jamak dari tsaub yang artinya pakaian, juga disebut sirbalun yang jamaknya saraabiil, artinya juga baju atau pakaian.66 Saraabiil dapat pula diartikan gamis atau baju kurung (jubah).67 Di atas telah disebutkan bahwa Islam memberikan sandaran etika kepada wahyu, karenanya permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, yang mutlak dan transenden, serta syari’ahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga terdapat pada agama lain.68 Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak 64 Lihat Tim Penyusun Kamus Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jaakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 637. 65 Lihat Lisyani Affandi, Tata Busana 3, Bandung: Ganeka Exact, 1996, hlm. 69. 66 Lihat Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Mesir: Dâr al-Ma’arif, t.th., hlm. 1983. 67 Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, 1984, hlm. 665. 68 Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius. Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun 50
  • 51. hanya sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau petunjuk bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam semesta. Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb (pembimbing, pendidik) bagi seluruh alam. Karena tekanan etika perbuatan manusia, etika Islam juga memperhatikan pola hubungan dan perbuatan. Dikenalah apa yang disebut “etika Islami”. Seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.69 Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan televisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang bayi. Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering hanya dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi perlu menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun melakukan metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan. Lihat Ahmadun Yosi Herfanda, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004. 69 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130 51
  • 52. atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai pola busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam dan bahasan khusus. Menurut M. Quraisy Shihab, al-Qur’ân sendiri sebagai sandaran etika Islam, paling tidak menggunakan tiga istilah untuk busana (pakaian), yaitu libas, tsiyab, dan sarabil. Libas pada mulanya berarti penutup-apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, tidak harus berarti “menutup aurat”, karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya. Kata libas digunakan oleh al-Qur’ân untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsyiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya. 70 Selain kata tersebut ada istilah lain yang lebih mendekati pada makna pakaian muslimah yaitu jilbab dan hijab. Kebanyakan para ulama memilih jilbab untuk istilah busana muslimah, dan sedikit yang menggunakan istilah hijab.71 Ungkapan yang menyatakan bahwa ide dan akhirnya adalah kenyataan, mungkin dapat membantu memahami pengertian kebehasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal. Ide dasar tentang pakaian 70 Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 155-156.. 71 Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Surabaya: Dimas, t.th., hlm. 163-164. 52
  • 53. menurut al-Raghib al-Isfahani menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.72 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karena etika Islam mencakup segala perbuatan dan tingkah laku manusia, maka diatur pula pola berbusana. Karenanya, ada patokan-patokan yang harus diikuti dalam memakai busana menutupi, yaitu menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis dan menerawang. E. Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi Mengenai fungsi busana (pakaian), menurut M. Quraisy Shihab setidaknya ada empat fungsi jika merujuk pada al-Qur’ân, yaitu sebagai penutup aurat, sebagai perhiasan, sebagai perlindungan atau ketakwaan, dan sebagai identitas. Misalnya yang disebutkan dalam surat al-A’raf (7): ayat 26: <JL m ^jffli M ^ m * J« ^ '& srjst a ^ ^u Artinya : “Wahai putra-putri Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan 72 Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradat Alfadz al-Qur’ân, disunting oleh Nadim Mars’ashli, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 70. 53
  • 54. juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling baik” (Q.S. al-A’raf (7): 26).73 Menurut M. Quraisy Shihab ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan. Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.74 Ada pula ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni pemelihara dari sengatan panas dan dingin. Di dalam al-Qur’ân disebutkan: Artinya : “Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan …” (Q.S. al-Nahl (16): 81).75 Fungsi pakaian selanjutnya diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Ahzâb (33) 59 yang menugaskan Nabi s.a.w. agar menyampaikan kepada 73 Tim Penyelnggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 224. 74 Lihat M. Quraish Shihab, op.cit, hlm. 160. 75 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 414. 54
  • 55. isteri-isterinya, anak-anak perempuannya serta wanita-wanita mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka: Artinya : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin; “hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh lidah/tangan usil)” (Q.S. al-Ahzâb (33): 59).76 Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi ilustrasi berikut: 1. Busana Sebagai Penutup Aurat Aurat dalam al-Qur’ân disebut sau’at yang terambil dari kata sa’a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang 76 Ibid., hlm. 678. 55
  • 56. mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.77 Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya aurat atau sau’at. Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badanya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.78 Bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak “senang” bila aurat, khususnya aurat besar (kemaluan) dilihat oleh siapapun, seperti yang telah disebutkan bahwa ide dasar aurat adalah “tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri”.79 Dalam sebuah hadîts disebutkan: “Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah terpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang dan ketika seseorang berhubungan seks dengan isterinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka”. (H. R. al-Turmudzî).80 Dalam sebuah hadîts yang diriwayatkan oleh Ibn Majah disebutkan: “Apabila seseorang di antara 77 Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 35, dst. 78 Lihat M. Qurasih Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 163. 79 Al-Raghib al-Isfahani, loc.cit. 80 Al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 57. 56
  • 57. kamu berhubungan seks dengan pasangannya, jangan sekali-kali keduanya telanjang bagaikan telanjangnya binatang”. (H.R. Ibn Majah).81 Tampak jelas bahwa yang dikemukakan di atas merupakan tuntutan moral. Sedangkan tuntutan hukumnya tentunya lebih longgar. Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang bila sendirian atau bersama isterinya untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada seseorang selain pasangannya yang mungkin melihat. Ulama sepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup. Imam Malik, Syafi’î, dan Abû Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat. Sedangkan mengenai aurat wanita, terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama klasik sendiri, secara garis besar pendapatnya mengenai aurat wanita terbagi pada dua kelompok besar. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sehingga harus diutupi. Kelompok kedua mengecualikan wajiah dan tepapak tangan. Ada 81 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut: Dâr al-Firk, t.th., hlm. 69. 57
  • 58. juga yang menambahkan dengan sedikit longgar, seperti Abû Hanifah yang menambahkan kaki wanita juga boleh terbuka.82 Adapun pandangan ulama kontemporer dalam menyikapi aurat wanita, sudah beragam. Ada yang masih berpadangan seperti ulama klasik bahwa busana wanita harus menutup seluruh badan karena seluruh badan wanita adalah aurat, atau ada yang mengecualikan muka dan telapak kaki. Kemudian pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada satu ketetapan agama (syari’at) yang mengatur batas-batas aurat wanita. Qasim Amin adalah salah satu cendikiawan kontemporer yang berpendapat demikian. Menurut, wanita tidak perlu memakai pakaian khusus seperti jilbab. Kemudian Muhammad Shahrur yang berpendapat bahwa “pakaian tertutup yang kini dinamai jilbab (hijab) bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarkat. Sebab, pada zaman Nabi dan sesudahnya, pola berbusana muslimah juga sangat beragam. Pola berbusana wanita merdeka seperti Khadijah, isteri Nabi berbeda dengan lainnya. Atau pakaian para wanita yang menjadi budak juga beragam. Status sosial juga sangat mempengaruhi pola berbusana wanita ketika itu. 83 82 Salah satu sebab perbedaan pendapat ini adalah perbedaan penafsiran terhadap maksud firman Allah dalam surat al-Nûr (24) yang artinya: “Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang tampak darinya”. Lihat Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 60. Lihat pula M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 52. 83 Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq, 2004, hlm. 485-487. 58
  • 59. Karena fungsinya sebagai penutup aurat, maka dalam berbusana menurut M. Quraish Shihab ada yang harus diperhatikan agar pola berbusana tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika ajaran Islam. Pertama, tidak boleh tabarruj. Maksudnya, tidak boleh menampakkan “perhiasan” dalam pengertian yang umum yang biasanya tidak dinampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai. Seperti ber-make up secara berlebihan, berbicara secara tidak sopan atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan segala macam sikap yang mengundang perhatian laki-laki. Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak dinampakkan kecuali kepada suami dapat mengundang decak kagum laki- laki lain yang dapa gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.84 Di dalam al-Qur’ân disebutkan: Artinya : “ … Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya …” (Q.S. al-Nûr (24) : 31).85 Kedua, tidak boleh mengundang perhatian laki-laki. Segala bentuk pakaian, gerak-gerik dan ucapan, serta aroma yang bertujuan atau dapat mengundang rangsangan birahi serta perhatian berlebihan adalah terlarang. Ada sebuah hadîts yan menyebutkan: “Siapa yang memakai 84 M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit, hlm. 167. 85 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 548. 59
  • 60. pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, lalu dikobarkan pada pakainnya itu api”. (H.R. Abû Daud).86 Yang dimaksud di sini adalah bila tujuan memakainya mengundang perhatian dari laki-laki dan bertujuan memperoleh popularitas. Pemilihan mode busana tertentu juga tercakup di sini, akan tetapi bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang indah dan bersih, karena itu itulah justru yang dianjurkan.87 Ketiga, tidak boleh memakai pakaian yang transparan atau ketat. Maksudnya, pakain yang masih menampakkan kulit, atau pakaian ketat yang masih memperlihatkan lekuk-lekuk badan. Sebab, model pakaian semacam itu, pasti akan mengundang perhatian dan rangsangan. Ada sebuah hadîts yang menyebutkan: “Dua kelompok dari penghuni nereka yang merupakan umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana (tetapi) telanjang serta berlenggak-lenggok dan melanggak-lenggokkan (orang lain) di atas kepala mereka (sesuatu) seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Dan (yang kedua adalah) laki-laki yang memiliki cemeti-cemti seperti seekor sapi. Dengannya mereka menyiksa hamba-hamba Allah”. (H.R. Muslim).88 Berbusana tetapi telanjang, dapat dipahami sebagai memakai pakaian tembus pandang, atau memakai pakaian yang demikian 86 Abû Daud, op.cit., Juz III, hlm. 64. 87 M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 168. 88 Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 102. 60
  • 61. ketat, sehingga nampak dengan jelas lekuk-lekuk badannya. Sedang berlenggak-lenggok dan melenggak-lenggokkan dalam arti gerak-geriknya berlenggak-lenggok antara lain dengan menari atau dalam arti jiwanya mirik tidak lurus atau dan memiringkan pula hati atau melenggak-lenggokan pula badan orang lain. Adapun yang diamaksud punuk-punuk unta itu adalah sanggul-sanggul mereka yang dibuat sedemikian rupa sehingga menonjol ke atas bagaikan punuk unta.89 Keempat, tidak boleh memakai pakaian yang meyerupai pakaian laki-laki. Nabi s.a.w. telah bersabda: “Allah mengutuk lelaki yang memakai pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai pakaian lelaki”. (H.R. al-Hakim melalui Abû Hurairah).90 Yang perlu diperhatikan, bahwa peranan adat kebiasaan dan niat sangat menentukan. Karena, boleh jadi ada model pakaian yang dalam suatu masyarakat dinilai sebagai pakaian pria sedang dalam masyarakat lain ia menyerupai pakaian wanita. Seperti halnya model pakaian Jallabiyah di Mesir dan Arab Saudi Arabia yang digunakan oleh pria dan wanita, sedang model pakaian ini mirip dengan long dress yang dipakai wanita di bagian dunia lain. Bisa jadi juga satu model pakaian tadinya dinilai sebagai menyerupai pakaian laki-laki, lalu karena perkembangan masa, ia menjadi pakaian perempuan. Ketiak yang memakainya tidak disentuh oleh ancaman ini, lebih-lebih jika tujuan pemakaiannya bukan untuk meniru lawan jenisnya.91 89 M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 170. 90 Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 70. 91 M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 171. 61
  • 62. 2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan92 tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’ân tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan 92 Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian laki-laki. Dalam al-Qur’ân persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian banyak hadîts Nabi s.a.w. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai oleh kaum lelaki. Misalnya hadîts: “Ali bin Abi Thalib berkata: “saya melihat Rasûlullâh s.a.w. mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah kanannya dan emas diletakkan di sebelah kirinya, kemudian Nabi bersabda: “Kedua hal ini haram bagi lelaki umatku”. (H.R. Abû Dawud dan Nasa’I). Pendapat ulama berbeda-beda tentang diharamkannya kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa keduanya menjadi simbol kemewahan dan perhiasan yang berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau karena menyerupai pakaian pakaian kaum musyrik. Menurut Muhammad bin Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam; menulis dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, bahwa ucapakan dan sikap Rasûlullâh s.a.w. tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan ucapan dan sikap Rasûlullâh walaupun diakuinya bahwa yang terpenting dan terbanyak adalah dalam bidang syari’at hukum. Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Menurutnya, boleh jadi Nabi Muhammad s.a.w. memerintah atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik. Lihat Muhammad bin Asyur, Maqashid al-Syri’ah al- Islamiyah, Kairo: Dâr al-Katib, 1967, hlm. 32. 62
  • 63. semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakaianya untuk bergerak. 93 Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.94 Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4).95 Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan 93 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 166. 94 Ibid., hlm. 167. 95 Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 988. 63
  • 64. kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih.96 Al-Qur’ân setelah memerintahkan agar memakai busana yang indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah S.W.T. untuk manusia. Firman-Nya: Artinya : “Katakanlah!” Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya …” (Q.S. al- A’raf (7): 32).97 Karena berhias merupakan naluri manusi, maka ada sebuah hadîts yang mengisahkan seorang sahabat bertanya dalam kasus ini. “Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?) Nabi menjawab: “Sesunggunya Allah indah, senang kepada keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain” (H.R. Turmudzî).98 Terdapat sekian hadîts yang menginformasikan bahwa Rasûlullâh s.a.w. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Isteri Nabi s.a.w. Aisyah, meriwayatkan sebuah hadîts bahwa: “Seseorang 96 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 168. 97 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit, hlm. 225. 98 Al-Turmudzî, op.cit, Juz I, hlm. 89. 64
  • 65. wanita menyodorkan dengan tangannya sepucuk surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda: “Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau perempuan. Aisyah berkata: “tangan perempuan”. Nabi kemudian berkata kepada wanita itu: “Seandainya Anda wanita, niscaya Anda akan memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar) (H.R. Bukhari).”99 Demikian Nabi menganjurkan agar wanita berhias. Al-Qur’ân memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik digunakan. Perlu diperhatikan, bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan birahi dari yang melihatnya (kecuali suami isteri) dan atau sikap tidak sopan dari siapapun. Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan sebagainya.100 Berhias tidak dilarang oleh ajaran Islam, karena ia adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-hailiyah, salah satu istilah yang digunakan al-Qur’ân (surat al-Ahzâb (33): 33)101 mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami isteri. Termasuk dalam cakupan maksud kata tabarruj menggunakan wang-wangian yang baunya menusuk hidung. Dalam sebuah hadîts Rasûlullâh s.a.w. bersabda: “Wanita yang memapakai 99 Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 79. 100 Muhammad Shahrur, op.cit., hlm. 515. 101 Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 672. 65
  • 66. farfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia “begini” (yakni bezina)”. (H.R. al-Turmudzî).102 Al-Qur’ân mempersilahkan perempuan berjalan di hadapan lelaki, tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai mengundang perhatian. Al-Qur’ân juga tidak melarang seseorang berbicara dengan lawan jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi pembicaraan mengundang rangsangan dan godaan. 3. Fungsi Perlindungan atau Ketakwaan Telah disebutkan bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas. Hal ini bukanlah hal yang perlu dibuktika, karena yang demikian ini adalah perlindungan secara fisik. Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kamal Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis penutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambangan keterbelakangan.103 Pengaruh psikologis dari pakaian dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya jika pergi ke pesta, apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan 102 Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 85. 103 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 169. 66
  • 67. merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian. Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasikan pengaruh positif dalam jiwa mereka.104 Harus diakui bahwa memang pakaian tidak menciptakan muslimah, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku sebagai muslimah yang baik, atau sebaliknya, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat- tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang dimaksud al-Qur’ân dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.105 Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk pakaian ruhani. Libats al-taqwa. Setiap orang dituntut untuk merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur, qana’ah, ridha, dan sebagainya. Sebuah hadîts menyebutkan: “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa” (H.R. Muslim).106 4. Fungsi Penunjuk Identitas Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat material dan ada juga yang 104 Ibid., hlm. 170. 105 Ibid., hlm. 171. 106 Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 65. 67
  • 68. imateral. Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang dikenakannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân: Artinya : “… Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal …”. (Q.S. al-Ahzâb (33): 59).107 Dapat dibedakan antara murid SD, SMP atau SMA. Bisa juga dibedakan antara Tentara Angkatan Laut, Angkatan Darat, Kopral atau Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat disangkal bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang. Rasûlullâh s.a.w. sendiri sangat menekankan pentingnya identitas muslim, antara lain melalui busana. Karenanya, Rasûlullâh s.a.w. melarang laki-laki yang yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki (H.R. Abû Dawud).108 Kepribadian umat juga harus ada. Ketika Rasûlullâh s.a.w. membicarakan bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang kaum muslimin melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya yang mengusulkan menancapkan tanda sehingga yang melihatnya segera 107 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 678. 108 Lihat Abû Dawud, op.cit., Juz III, hlm. 52. 68
  • 69. datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan untuk menggunakan terompet, dan komentar Nabi: “Itu cara Yahudi”. Ada juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. Nabi berkata: “Itu cara Nasrani”. Sabda Nabi selanjutnya. Akhirnya yang disetujui Nabi adalah adzan yang deperti yang dikenal sekarang setelah Abdullah bin Zaid al-Anshari dan Umar bin Khatab bermimpi tentang cara tersebut. Demikian diriwayatkan oleh Abû Dawud. Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang lain. Dari sini dapat dimengerti dari sabdanya: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kelompok kaum itu” (H.R. Bukhari).109 Mengenai kepribadian ruhani (immateri) bahkan ditekankan oleh al-Qur’ân melalui surat al-Hadid (57): 16 yang berbunyi: Artinya : “Belumlah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan al-Kitab (orang Yahudi dan Nasrani). Berlalulah masa yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi keras. 109 Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 80. 69
  • 70. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik”. (Q.S. al-Hadid (57): 16).110 Seorang muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan jasmani yang menggambarkan identitasnya.111 Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun demikian, agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam berpakaian tercermin identitas itu.112 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ditnjau dari fungsinya, maka busana memiliki empat fungsi, yaitu fungsi busana sebagai sebagai penutup aurat, fungsi busana sebagai perhiasan, fungsi busana sebagai perlindungan dan ketakwaan, dan fungsi busana sebagai identitas. Terkait fungsi busana sebagai penutup aurat, maka ada patokan-patokan yang harus diperhatikan dalam berbusana. F. Kontroversi Jilbab Di atas digambaran bahwa salah satu fungsi pakaian adalah sebagai penunjuk identitas, dan dapat pula sebagai penutup aurat. Karenanya, maka tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi seorang wanita merupakan gambaran identitas seorang muslimah, di samping sebagai penutup aurat, yaitu rambut dan leher wanita. Namun persoalan jilbab ini kemudian terjadi debatable mengingat batasan aurat wanita yang harus ditutupi beragam pendapat. Jilbab bisa difungsikan sebagai penutup aurat yaitu rambut dan leher yang menganggap bahwa keduanya merupakan aurat wanita yang harus ditutupi. 110 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 902. 111 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 171. 112 M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 67. 70
  • 71. Sebaliknya, hannya sebagai penampakkan identitas muslihmah saja bagi yang menganggap bahwa rambut dan leher wanita bukan aurat, karenanya tidak harus ditutupi dengan jilbab. Bahkan jilbab juga bisa hanya sebatas asesoris (pelengkap), dan dipakai pada moment-moment tertentu seperti waktu shalat, pengajian, berkAbûng dan menghadiri pernikahan, bahkan dipakai musiman sebagaimana yang dilakukan oleh para artis ketika bulan Ramadhan. Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik. Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.113 Menurut penelitian Stern Nabi Muhammad tidak memperkenalkan kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah 113 Fatima Marnisi, Pemberontakan Wanita, terj. Yogyakarta: LKiS, 1996, hlm. 56. Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi—sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tAbû, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll). 71