Dokumen tersebut membahas tentang pengertian shalat jama' dan shalat qashar. Shalat jama' adalah menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu, misalnya dzuhur dan ashar, atau maghrib dan isya', karena alasan-alasan tertentu seperti perjalanan, hujan, atau sakit. Shalat qashar adalah mengurangi empat rakaat menjadi dua rakaat bagi orang yang sedang bepergian dan memenuhi
1. I. PENGERTIAN SHOLAT JAMA'
Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang
dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada
waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya‟ dilaksanakan pada
waktu Maghrib atau pada waktu Isya‟.
Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan
shalat lain. Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan)
berikut ini :
a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
b. Apabila turun hujan lebat
c. Karena sakit dan takut
d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang
disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-
Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba‟ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab
Maliki, Syafi‟i dan Hambali).
Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu
sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam
belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama‟ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik
musafir atau bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi
dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan
Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya
disebabkan oleh safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak
safar. Adapun jama‟ shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang
membutuhkannya (adanya suatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan
jama‟ shalat dalam suatu perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama‟
shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit
atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah
mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu‟ al Fatawa juz XXII hal 293).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama‟ shalatnya
adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat
tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan
2. orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin
Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat
bahwa seorang yang mukim boleh menjama‟ shalatnya apabila diperlukan asalkan
tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan
Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu „Alaihi Wassalam menjama‟ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara
Maghrib dengan Isya‟ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain;
tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau
menjawab : ”Bahwa Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam tidak ingin
memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami‟ 1070).
Shalat Jama' Dapat Dilaksanakan dengan 2 (dua) Cara :
1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan
melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar
dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya‟ dilaksanakan pada waktu
Maghrib.
Syarat Sah Jama' Taqdim :
a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk,
iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya
Dhuhur.
2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan
melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar
dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya‟ dilaksanakan pada
waktu shalat Isya‟.
Syarat Sah Jama' Ta‟khir :
3. a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta‟khirkan shalat Dzuhurku diwaktu
Ashar.”
b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk,
iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.
Catatan :
Dalam Jama' ta‟khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau shalat kedua.
Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau
sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan bahwasanya Nabi SAW dipeperangan
Tabuk, apabila telah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara
Dzuhur dan Ashar dan apabila beliau ta‟khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu
juga, jika terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi SAW mengumpulkan Maghrib dengan
Isya‟ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau ta‟khirkan Maghrib sehingga
beliau singgah (berhenti) untuk Isya‟ kemudian beliau menjama'kan antara keduanya.
HUKUM MENJAMA’ SHOLAT JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama‟ antara shalat Jum‟at dengan shalat Ashar dengan alasan
apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan lain. Walaupun dia adalah
orang yang diperbolehkan menjama‟ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama‟ antara Jum‟at dan Ashar, dan yang
ada adalah menjama‟ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya‟. Jum‟at tidak
bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah
harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia
menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu
dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa membuat perkara baru
dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami
(tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
4. Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing
kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama‟ dengan shalat lain.(Lihat
Majmu‟ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378).
HUKUM MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama‟ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir
shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu 4
raka‟at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua
raka‟at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma.
Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas,
lalu aku bertanya :”Kami melakukan shalat 4 raka‟at apabila bersama kamu (penduduk
Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami
shalat dua raka‟at?” Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya
Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dengan
sanad shahih. Lihat Irwa‟ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
HUKUM MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia meng-qashar shalatnya
maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (4
raka‟at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu
makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim)
meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam)
salam dari dua raka‟at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam
ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu
„Alaihi Wassalam berkata : “Sempurnakanlah shalatmu (4 raka‟at) wahai penduduk Makkah!
Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassalam
shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka‟at setelah beliau
salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu‟ Fatawa Syaikh Utsaimin
15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat 4
raka‟at (tidak meng-qashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah
mu‟akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman
Al Bassam 2/294-295).
5. HUKUM SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum‟at bagi musafir, namun apabila
musafir tersebut tinggal disuatu daerah yang diadakan shalat Jum‟at maka wajib atasnya
untuk mengikuti shalat Jum‟at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam
Syafi‟i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al
Majmu‟ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu‟ Fatawa Syaikh
Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat
jum‟at dalam safarnya, juga ketika haji wada‟, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum‟at
dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama‟ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi
SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal
73). Demikian pula para Khulafaur Rasyidin (4 khalifah) Radhiallahu Anhum dan para
sahabat lainnya serta orang-orang yang setelah mereka, apabila safar tidak shalat Jum‟at dan
menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata : “Aku tinggal bersama dia
(Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun meng-qashar shalat dan tidak shalat Jum‟at.”
Sahabat Anas Radhiallahu Anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak
melaksanakan shalat Jum‟at.
Ibnul Mundzir Rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma‟ (kesepakatan para
ulama) yang berdasar hadist shahih dalam hal ini sehingga tidak diperbolehkan
menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
II. PENGERTIAN SHOLAT QASHAR
Shalat yang diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya‟)
dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya. Sebagaimana
menjamak shalat, meng-qashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini
merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-orang yang memenuhi
persyaratan tertentu.
6. Syarat Meng-qashar :
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km
3. Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.
4. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).
Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua raka‟at saja sehingga
beliau kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau telah bermukim di Mekkah di masa
Fathul Mekkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan para
Jama‟ah dua raka‟at kecuali shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW : ”Wahai
penduduk Mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka‟at lagi, kami adalah orang-orang
yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud).
Sedangkan Cara Melaksanakan Shalat Qashar :
1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian salam.
Firman Allah SWT :
”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu
memendekkan shalat...” (QS. An-Nisa: 101).
Nabi SAW bersabda :
”Dari Ibnu Abbas R.A. ia berkata : ”Shalat itu difardhu-kan atau diwajibkan atas lidah
Nabimu didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua rakaat dan
didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim).
JARAK DIPERBOLEHKAN MENG-QASHAR SHOLAT
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir baik safar dekat atau safar jauh, karena
tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian
boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian
umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 km agar
tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih
yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma‟ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua
7. Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al
Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan
diperbolehkannya meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang
menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km, karena pendapat ini juga
merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak ber-ijtihad. (lihat Majmu‟ Fatawa
Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan meng-qashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung
halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul „Adhim Al Khalafi
138).
Berkata Ibnu Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu dalil-pun) bahwa Rasulullah Shalallahu
„Alaihi Wassalam meng-qashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan)
kota Madinah.”
Berkata Anas Radhiallahu „Anhu : “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu „Alaihi
Wassalam di kota Madinah 4 raka‟at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua
raka‟at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
III. SYARAT DAN KETENTUAN SHOLAT JAMAK QOSHOR
Salah satu rukhsah/keringanan yang Allah berikan kepada umat muslim adalah
adanya kebolehan mengqashar (meringkas) shalat yang terdiri dari empat rakaat menjadi dua
rakaat serta menjamak shalat dalam dua waktu dikerjkan dalam satu waktu.
Beberapa Ketentuan Sholat Qashar :
1. Kebolehan qashar shalat hanya berlaku bagi musafir/orang dalam perjalanan yang jarak
perjalanan yang ditempuh dipastikan mencapai 2 marhalah; 16 parsakh atau 48 mil.
Dalam menentukan berapa kadar 2 marhalah terjadi perbedaan pendapat yang tajam
dikalangan para ulama. Sebagian kalangan berkesimpulan bahwa 2 marhalah adalah 138,24
km (ini berdasarkan analisa atas pendapat bahwa 1 mil 6.000 zira` san satu zira` 48 cm)
8. Pendapat lain berkesimpulan bahwa 2 marhalah adalah 86,4 km, pendapat ini berdasarkan
kepada pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar bahwa kadar 1 mil adalah 3.500 zira`. 1
Zira` 48 cm. Selain itu ada juga beberapa pandangan yang lain.
Shafar/perjalanan yang dibolehkan qashar shalat adalah
Safar/perjalanan yang hukumnya mubah, sedangkan safar dengan tujuan untuk berbuat
maksiat (ma`shiah bis safr) misalnya perjalanan dengan tujuan merampok, berjudi dll)
tidak dibolehkan untuk mengqashar shalat. Baru dikatakan safar maksiat (ma`shiah bis
safr) bila tujuan dari perjalanannya memang untuk berbuat maksiat, sedangkan bila tujuan
dasar perjalanannya adalah hal yang mubah namun dalam perjalanan ia melakukan
maksiat (ma`shiat fis safr) maka safar yang demikian tidak dinamakan safar maksiat
sehingga tetap berlaku baginya rukhsah qashar shalat dan rukhsah yag lain selama dalam
perjalanan tersebut.
Perjalanannya tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga seorang yang
berjalan tanpa arah tujuan yang jelas tidak dibolehkan qashar shalat.
Perjalanan tersebut memiliki maksud yang saheh dalam agama seperti berniaga dll.
2. Telah melewati batasan daerahnya. Sedangkan apabila ia belum keluar dari kampungnya
sendiri maka tidak dibolehkan baginya untuk jamak.
3. Mengetahui boleh qashar
Seseorang yang melaksanakan qashar shalat sedangkan ia tidak mengetahui hal tersebut
boleh maka shalatnya tidak sah.
Ketiga ketentuan diatas juga berlaku pada jamak shalat dalam safar/perjalanan.
4. Shalat yang boleh diqashar hanya shalat 4 rakaat yang wajib pada asalnya. Adapun shalat
sunat atau shalat yang wajib dengan sebab nazar tidak boleh diqashar. Sedangkan shalat luput
boleh diqashar bila shalat tersebut tertinggal dalam safar/perjalanan yang membolehkan
qashar, sedangkan shalat yang luput sebelum safar bila diqadha dalam masa safar maka tidak
boleh diqashar. Demikian juga sebaliknya shalat yang luput dalam masa safar bila diqadha
dalam masa telah habis safar maka tidak boleh diqashar.[1]
9. 5. Wajib berniat qashar ketika takbiratul ihram. Contoh lafadh niatnya adalah:
مقصورة الظهر فرض اصلى
“saya shalat fardhu dhuhur yang diqasharkan”
Bila ia berniat qashar setelah takbiratul iharam maka tidak dibolehkan untuk qashar shalat.
6. Tidak mengikuti orang yang mengerjakan shalat secara sempurna (4 rakaat) walaupun
hanya sebentar. Bila ia sempat mengikuti imam yang mengerjkan shalat secara sempurna
maka shalatnya mesti dilakukan secara sempurna pula (4 rakaat).
7. Tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan niatnya mengqashar shalat, misalnya
timbul niat dalam hatinya untuk mengerjkan shalat secara sempurna( 4 rakaat) atau timbul
keragu-raguan dalam hatinya setelah ia berniat qashar apakah sebaiknya ia mengerjakan
shalat secara sempurna atau ia qashar saja. Bila timbul hal demikian maka shalatnya wajib
disempurnakan (4 rakaat). Demikian juga wajib mengerjakan shalat secara sempurna bila
timbul karagu-raguan dalam hatinya tentang niatnya apakah qashar ataupun shalat sempurna,
walaupun dalam waktu cepat ia segera teringat bahwa niatnya adalah qashar.
8. Selama dalam shalat ia harus masih berstatus sebagai musafir.
Apabila dalam shalatnya hilang statusnya sebagai musafir misalnya karena kendaraan yang ia
tumpangi telah sampai ke daerah tujuannya, atau ia berniat bermukim didaerah tersebut maka
shalatnya tersebut wajib disempurnakan.
Shalat Jamak
Ada dua macam shalat jamak, jamak taqdim dan jamak ta`khir. Jamak taqdim adalah
mengerjakan kedua shalat dalam waktu pertama, misalnya shalat ashar dikerjakan dalam
waktu dhuhur, atau shalat isya dikerjakan dalam waktu maghrib. Sedangkan Jamak ta`khir
adalah sebaliknya yaitu mengerjakan kedua shalat yang dijamak dalam waktu kedua,
misalnya shalat dhuhur dikerjakan bersamaan dengan Ashar dalam waktu Ashar dan shalat
maghrib dikerjakan bersamaan dengan Isya dalam waktu Isya.
Dari beberapa syarat dan ketentuan shalat jamak ada ketentuan umum yang berlaku bagi
jamak taqdim dan takhir dan ada pula beberapa ketentuan khusus bagi jamak taqdim saja atau
bagi jamak takhir saja.
Ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku umum baik kepada jamak takhir dan kepada jamak
taqdim adalah:
10. 1. Jamak bagi musafir dibolehkan apabila jarak perjalanannya mencapai dua marhalah
dengan ketentuan sebagaimana pada pembahasan masalah qashar shalat (ketentuan
no. 1, no. 2 dan no. 3 pada qashar juga berlaku pada jamak)
2. Shalat yang boleh dijamak adalah shalat dhuhur dengan ashar dan shalat maghrib
dengan Isya, kedua shalat tersebut juga boleh diqashar beserta jamak.
Adapun Beberapa Ketentuan Khusus Bagi Jamak Taqdim :
1. Niat jamak pada shalat pertama.Dalam shalat jamak taqdim, misalnya mengerjakan
shalat dhuhur bersama ashar, ketika dalam shalat dhuhur wajib meniatkan bahwa
shalat ashar dijamak dengan shalat dhuhur. Niat ini tidak diwajibkan harus dalam
takbiratul ihram, tetapi boleh kapan saja selama masih dalam shalat bahkan boleh
bersamaan dengan salam shalat dhuhur tersebut.
2. Tertib, dalam mengerjakan shalat jamak taqdim harus terlebih dahulu dikerjakan
shalat yang awal, misalnya dalam jamak dhuhur dengan Ashar harus terlebih dahulu
dikerjakan dhuhur.
3. Masih berstatus sebagai musafir hingga memulai shalat yang kedua
4. Meyakini sah shalat yang pertama.
5. Beriringan, antara kedua shalat tersebut harus dikerjakan secara beriringan. Kadar
yang menjadi pemisah antara dua shalat tersebut adalah minimal kadar dua rakaat
shalat yang ringan. Bila setelah shalat pertama diselangi waktu yang lebih dari kadar
dua rakaat shalat ringan maka tidak dibolehkan lagi untuk menjamak shalat tersebut
tetapi shalat kedua harus dikerjakan pada waktunya yang asli.
Bila ingin melaksakan shalat sunat rawatib maka terlebih dahulu shalat sunat qabliah dhuhur
(misalnya menjamak maghrib dengan Isya) selanjutnya shalat fardhu Maghrib dan Isya
kemudian shalat sunat ba`diyah Maghrib kemudian Qabliah Isya dan Ba`diyah Isya.
Ketentuan Khusus pada Jamak Ta'khir :
1. Niat jamak takhir dalam waktu shalat yang pertama. Dalam jamak takhir ketika kita
amsih berada dalam waktu shalat pertama kita harus mengkasadkan bahwa shalat
waktu tersebut akan kita jamak ke waktu selanjutnya. Batasan waktu shalat pertama
yang dibolehkan untuk diqasadkan jamak adalah selama masih ada waktu kadar satu
rakaat shalat.
11. 2. Masih berstatus sebagai musafir hingga akhir shalat yang kedua.
Pada jamak takhir tidak disyaratkan harus tertib (boleh mengerjakan shalat dhuhur dulu atau
ashar dulu pada masalah menjamak dhuhur dalam waktu ashar) serta tidak wajib
beriringan/wila`, sehingga setelah mengerjakan shalat pertama boleh saja diselangi beberapa
waktu kemudian baru shalat yang kedua.
Referensi :
Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 98-104 Cet. Tohaputra
Tanwir Qulub hal 172-175 cet. Hidayah
Sayyid Bakry Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin, jilid 2 hal 99 Cet. Toha putra
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENJAMAK QASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan
sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar)
ulama yang termasuk didalamnya imam empat : Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali
Rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.
Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah (3 Hari)
Dalil yang digunakan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya
bahwa Nabi saw menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari untuk rukhshoh setelah mereka
menunaikan hajinya.
َه َّص َه ِل ِلرَه َّصصال َه ْل َه ٍث َه َه ُم َهم َه ِل ِلر ِلا َههُم ْللِلل
"Untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)"
(HR Muslim)
Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau
katakan:
"mukimnya Muhajir di Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka jika melebihi itu,
ia telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak bisa dapat rukhshoh)"
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa istinbath
hukum dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir jika berniat singgah/tinggal di
kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih berstatus sebagai musafir yang boleh jama' dan
qashar sholat. Akan tetapi jika melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.
12. IV. NIAT DAN TATA CARA SHOLAT JAMA’ QHASAR
Adakalanya kita mengadakan perjalanan jauh atau berpergian yang membutuhkan waktu
perjalanan yang panjang, misalnya naik pesawat terbang, kapal laut, karyawisata,
mengunjungi kakek dan nenek di kampung halaman atau keperluan lainnya. Hal itu
menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk melakukan ibadah sholat. Padahal
sholat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan
apapun juga. Kasih sayang Allah SWT kepada umat Islam sedemikian besar dengan cara
memberikan rukhsah dalam melaksanakan sholat dengan cara jamak dan qasar dengan syarat-
syarat tertentu. Apa sajakah itu? Mari kita pelajari materi berikut ini.
Orang yang sedang bepergian itu dibolehkan memendekkan shalat atau meringkas shalat
yang jumlah shalatnya empat raka‟at menjadi dua raka‟at (shalat qashar). Dibolehkan pula
mengumpulkan shalat dalam satu waktu, shalat Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan
Isya‟ (shalat jama‟). Sedangkan shalat Subuh tidak bisa diqoshor maupun dijama‟ tapi untuk
shalat Maghrib bisa dijama‟ dan tidak bisa diqoshor.
Men-jama' shalat ada 2. Bila dilakukan waktu shalat yang awal (misalnya Dhuhur dan Ashar
dilakukan pada waktu Dhuhur), maka dinamakan jama' takdim dan bila dilakukan pada waktu
yang kedua (seperti Dhuhur dan Ashar dilakukan pada waktu ashar) maka disebut jama'
ta'khir.