Proses islamisasi di Bali dimulai sejak abad ke-14 melalui pengaruh dari kerajaan-kerajaan di Jawa dan komunitas Muslim lainnya. Islam berakulturasi dengan budaya Bali sehingga tradisi-tradisi seperti tahlilan dan ziarah menggabungkan unsur-unsur Islam dan budaya lokal. Kerukunan antar umat beragama diwariskan secara turun temurun.
4. Proses Masuknya Islam di Pulau
Bali
1. Menurut teori faktual : Sejarah masuknya agama Islam ke
Bali dimulai sejak jaman kerajaan pada abad XIV berasal dari
sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan satu-kesatuan
yang utuh. “Sejarah masuknya Islam ke Pulau Dewata dengan
latarbelakang sendiri dari masing-masing komunitas Islam
yang kini ada di Bali, Penyebaran agama Islam ke Bali antara
lain berasal dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya
Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan
jaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong yang berpusat di
Klungkung pada abad ke XIV.
Raja Dalem Waturenggong berkuasa selama kurun waktu
1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa
Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang
beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan
menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti
halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa
kejayaan Majapahit.
5. Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam
kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun
sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini
merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Pulau Dewata.
2. Teori politis :
Yang menyebarkan Islam di Pulau Bali adalah para nelayan yang
terdampar di Bali. Ketika terjadi perang antara Kerajaan Badung
dengan Mengwi, mereka dijadikan prajurit. Setelah mendapat
kemenangan, kemudian diberi tanah oleh sang Raja.
6. Pengaruh Budaya
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam
pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di
Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun
daerah lainnya di Indonesia. Kehidupan di sana tak ubahnya
seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan
hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena
letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua
simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara
dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka, Wayan,
Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan
yang khas Bali.
Penduduk kampung ini konon berasal dari para prajurit Jawa
atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa
oleh para Raja Buleleng, Badung dan Karangasem pada zaman
kerajaan Bali.
7. Orang-orang muslim di Kepaon adalah keturunan para prajurit asal
Bugis. Kampung yang mereka tempati sekarang merupakan hadiah
raja Pemecutan. Bahkan, hubungan warga muslim Kepaon dengan
lingkungan puri (istana) hingga sekarang masih terjalin baik.
Di Denpasar, komunitas muslim dapat dijumpai di Kampung
Islam Kepaon, Pulau Serangan dan Kampung Jawa. mayoritas
Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis.
Konon, nenek moyang mereka adalah para nelayan yang
terdampar di Bali. Ketika terjadi perang antara Kerajaan
Badung dengan Mengwi, mereka dijadikan prajurit. Setelah
mendapat kemenangan, kemudian diberi tanah oleh sang Raja.
Keberadaan ummat islam yang sudah ratusan tahun di bali
sedikit banyak memberikan ciri khas tersendiri, misalnya
sebagian warga muslim menambahkan nama khas Bali pada
anak-anak mereka seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut,
jadi tidaklah sesuatu yang ganjil apabila kita menemukan nama
seperti Wayan Abdullah, atau Ketut Muhammad misalnya.
8. Tetapi ini hanya dalam tataran budaya. Untuk idiom-idiom
yang menyangkut agama, mereka tidak mau kompromi.
mereka tetap menjaga nilai-nilai syari'at islam secara utuh.
9. Contoh Hasil Budaya di Bali yang
terpengaruh Proses Islamisasi
1. Pengendalian Diri
Jika menurut sejarah, akulturasi dan kerukunan antar
umat beragama di Bali sangat mesra dan harmonis
serta tidak pernah terjadi benturan, sesungguhnya
sudah diwarisi secara turun temurun sejak abad ke-15
lalu. Terciptanya kerukunan hidup beragama demikian
itu, berkat adanya saling pengertian serta saling
hormat-menghormati antar warga berlainan suku
maupun agama di Bali.
Kerujunan antar umat beragama yang hidup
berdampingan satu sama lainnya itu, diharapkan dapat
terus dipelihara dan dipupuk dalam mengembangkan
kerukunan yang dinamis, sekaligus terhindar pengaruh
luar yang negatif.
10. 2. Tahlilan
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama
tujuh hari berturut-turut. Lalu setelah itu, diadakan
pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga
1.000 hari kemtian almarhum/almarhumah. Peringatan
7, 14, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-
Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan
tradisi Hindu-Budha. Pada zaman Majapahit,
penghoramtan terhadap orang yang meninggal
dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang
bersangkutan meninggalkan, 3 hari kemudian, 7 hari
kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2
tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian.
11. 3. Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni
berkunjung kepadan makam atau kuburan untuk
mendoakan almarhum/alamrhumah agar iman Islamnya
diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala
dosa yang pernah dilakukan selama hidupnya. Namun,
pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini
disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada
hubungannya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampu padu dengan tradisi
pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dewa-dewa
Hindu-Budha, dan hasilnya adalah sang penziarah
bukannya mendoakan arwah yang meninggal akan tetapi
memilki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan
gaib kepada roh nenek moyang atau arwah tokoh-
tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para
wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang
memintai “petunjuknya” kepada roh sang wali yang
telah meninggal.