1. Menjamurnya Industri di Purbalingga: Bagaimana dengan Sungai Kita?
Beberapa tahun ke belakang, Kabupaten Purbalingga dikenal dengan produksi bulu
matanya yang sudah mulai mendunia, untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah pun Purbalingga
menduduki posisi pertama sebagai produsen rambut palsu dan bulu mata terbesar. Hal ini
tentunya menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Purbalingga. Namun peluang
ini juga menjadikan konsep industrialisasi makin berkembang, semakin banyak indutstri yang
dibangun di kota ini, tidak hanya bulu mata dan rambut palsu, namun juga pabrik knalpot,
minyak goreng, dsb. Sampai saat ini saja sudah lebih dari 40.000 unit industri yang ada di
Kabupaten Purbalingga yang berasal dari perusahaan besar, menengah maupun kecil. Dari segi
ekonomi, hal ini tentu sangat menguntungkan baik bagi pemerintah maupun masyarakat,
karena setidaknya kehadiran industri – industri ini dapat meningkatkan perekonomian dengan
penyediaan lapangan pekerjaan. Namun bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan?
Segala sesuatu memang memiliki dua sisi, di mana di satu sisi dapat menguntungkan,
namun di sisi lainnya dapat merugikan. Meskipun alam di sekitar kita terlihat baik – baik saja,
namun tidak berarti ekosistem yang ada bebas dari pencemaran. Pencemaran yang dihasilkan
dari proses produksi bisa saja tidak terlihat dengan mudah, namun hal ini dapat dirasakan oleh
warga sekitar seiring dengan berjalannya waktu. Kerusakan lingkungan semacam ini tidak
dapat dibiarkan begitu saja karena pasti akan mengganggu kehidupan manusia maupun
organisme lainnya. Salah satu yang paling terdampak adalah sungai yang dijadikan tempat
pembuangan limbah pabrik.
Di Purbalingga sendiri ada beberapa sungai seperti Sungai Pekacangan, Sungai
Klawing, dan beberapa anak sungai yang mengalir baik di perkotaan maupun daerah pedesaan.
Ketidaktegasan pemerintah dan kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh pihak industri
dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang akhirnya juga dapat merugikan
berbagai pihak. Seperti kita ketahui bahwa setiap proses produksi menghasilkan limbah, baik
yang berbahaya maupun tidak. Untuk pengolahan dan pembuangan limbah itu sendiri sudah
diatur dalam regulasi baik pusat maupun daerah, seperti pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 5 Tahun 2012 yang mengatur tentang baku mutu air limbah, disitu sudah
dijelaskan kriteria yang harus dipenuhi agar air limbah tidak membahayakan saat dibuang ke
lingkungan, seperti standar BOD, COD, TSS, pH, debit maksimum bahkan kadar maksimum
logam berat seperti sianida (Cn), krom (Cr), cadmium (Cd), timbal (Pb), dsb.
Regulasi semacam ini dibuat dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan,
sebagai contoh industri knalpot yang melakukan aktivitas pelapisan logam akan menghasilkan
limbah dengan logam berat timbal yang terakumulasi pada air sungai yang dapat berdampak
buruk bagi organisme di dalamnya maupun kesehatan masyarakat yang memanfaatkan air
tersebut. Untuk mencapai baku mutu air limbah yang baik maka idealnya setiap industri
memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), namun pada kenyataannya belum semua
industri di Kabupaten Purbalingga memiliki IPAL masing – masing. Hal ini tentu yang menjadi
alasan meningkatnya angka pencemaran di Purbalingga. Industri yang menghasilkan limbah
cair, khususnya industri – industri besar seringkali membuang limbahnya ke sungai saat malam
hari atau saat hujan turun, hal ini sering dijumpai oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik
2. - pabrik tersebut, tujuannya adalah untuk menghemat biaya pengolahan limbah karena saat
malam hari atau saat hujan limbah cair yang dibuang akan susah untuk dimonitoring. Di sisi
lain, aliran sungai tersebut juga digunakan untuk keperluan masyarakat seperti pengairan pada
lahan pertanian, budidaya ikan, bahkan juga mandi cuci kakus.
Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran sungai akibat
pembuangan limbah cair industri di Purbalingga masih termasuk minim, terlihat dari
banyaknya industri yang belum memiliki IPAL dan banyaknya keluhan warga atas perubahan
yang terjadi pada air sungai pasca dibangunnya industri di daerah tersebut. Di sisi lain masih
banyak warga yang bergantung pada aliran air sungai, baik sungai – sungai besar seperti
Pekacangan dan Klawing maupun sungai – sungai kecil lainnya. Dampak langsung yang dapat
dilihat adalah seperti mulai tidak terpenuhinya syarat air bersih yaitu tidak berwarna, tidak
berasa, dan tidak berbau, perubahan warna air sungai yang bisa berubah – ubah menjadi merah
atau keunguan akibat tercemar air limbah menjadi awal mula kecurigaan warga sekitar.
Perubahan – perubahan fisik seperti itu mengindikasikan adanya perubahan kualitas air.
Ada satu kasus dimana ikan – ikan yang dibudidayakan dengan memanfaatkan air sungai dekat
pabrik bulu mata mati secara mendadak, hal ini tentunya meresahkan warga karena
menyebabkan kerugian. Selain itu, air tercemar yang dimanfaatkan sebagai sarana MCK juga
dapat menyebabkan penyakit kulit seperti gatal dan iritasi, atau bahkan pula timbul masalah
kesehatan serius akibat akumulasi logam berat dalam tubuh. Akumulasi logam berat juga dapat
terjadi akibat bahan pangan yang dikonsumsi juga berasal dari tanaman pertanian yang
memanfaatkan air tercemar tersebut. Logam berat memiliki dampak buruk bagi tubuh, seperti
kadmium (Cd) yang dapat menyebabkan gangguan pada paru – paru, merkuri (Hg) yang dapat
menyebabkan penyakit syaraf, krom (Cr) yang bersifat korosif dan iritan, timbal (Pb) yang
menyebabkan gangguan otak, dan bahaya – bahaya lainnya sampai pada kematian.
Walaupun belum banyak kasus serius terkait dampak pencemaran air di Purbalingga,
melihat banyaknya akibat buruk yang dapat ditimbulkan, pencemaran seperti ini tidak dapat
dibiarkan begitu saja karena efek yang ditimbulkan ke depannya akan jauh lebih
mengerikan.mPengawasan pemerintah dan masyarakat terhadap permasalahan ini sangat
dibutuhkan. Selain mengandalkan regulasi yang ada, pemerintah juga perlu melakukan kontrol
tegas khususnya terhadap pengelola – pengelola industri. Proses pengolahan dan pembuangan
air limbah harus sesuai dengan baku mutu, dan bagi yang melanggar perlu dilakukan hukuman
tegas sesuai aturan yang berlaku. Masing – masing industri juga harus memiliki IPAL sesuai
dengan kapasitas produksi masing – masing, pembangunan IPAL pun tidak selamanya
berbiaya besar karena menyesuaikan dengan kondisi industri itu sendiri. Selain itu, pihak
pemerintah juga mengusullkan agar pihak industri yang belum memiliki IPAL dapat
bekerjasama dengan pihak ketiga dalam pengolahan limbah agar aman dibuang ke lingkungan.
Selanjutnya pemerintah juga sebaiknya melakukan monitoring rutin terhadap kualitas
air khususnya yang berada di area industri. Monitoring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
secara tradisional dan dengan bioindikator. Monitoring tradisional adalah cara yang selama ini
digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan yaitu dengan mengukur kualitas air dengan
parameter fisik-kimia seperti pH, suhu, warna, BOD, COD, TSS, dsb. Cara ini cukup mudah,
murah dan dapat menunjukkan kualitas lingkungan jika dilakukan secara rutin, namun
3. kekurangannya adalah hasil yang kurang akurat karena hanya menggambarkan kondisi
lingkungan saat pengambilan sampel bukan keadaan air sebenarnya, seperti saat hujan air akan
menjadi lebih encer sehingga hasil yang didapatkan akan berbeda. Teknik lain yang dapat
diterapkan adalah dengan bioindikator, monitoring ini dilakukan dengan meneliti organisme
yang hidup di ekosistem tersebut.
Biondikator yang digunakan dapat berupa mikroorganisme, hewan, ataupun tumbuhan
yang melimpah pada ekosistem tersebut, toleran terhadap polutan, dan siklus hidupnya yang
relatif panjang agar mudah diamati. Sebagai contoh penggunaan makrozoobentos seperti
Annelida (cacing cincin) atau Sulcospira sp. (siput air tawar) yang hidupnya melekat di dasar
sungai, batuan, batang kayu dan ekosistem dekat perairan lainnya, organisme ini umumnya
mampu menghancurkan material besar menjadi lebih kecil yang kemudian oleh bakteri
dijadikan sebagai medium pertumbuhan.
Proses monitoring dilakukan dengan pemodelan pertumbuhan organisme tersebut
sehingga dapat menunjukkan kondisi ekologis perairan secara efektif, lokal, dan jangka
pendek. Dengan adanya kerjasama antar seluruh pihak baik pemerintah, pengelola industri
maupun masyarakat, kelestarian lingkungan dapat terus terjaga sehingga peningkatan ekonomi
yang diperoleh dari industri dapat berjalan beriringan dengan peningkatan kualitas lingkungan
yang baik pula.
Sumber :
https://www.kompasiana.com/florenchia74277/5ef16102097f3639ef223d92/menjamurnya-
industri-di-purbalingga-bagaimana-dengan-sungai-kita?page=all#section1