1. Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Sebuah cerminan pendidikan kita.
Sudah bukan hal uang aneh di Negara kita saat ini, banyak sekali fenomena
pendidikan yang mendapatkan sorotan. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan,
gedung sekolah yang terbatas, tenaga guru yang kurang, bahkan sampai hal yang
sering “terlupakan”, adalah kesejahteraan guru yang sangat minim. Memang kita
tidak memunngkiri pemerintah melalui berbagai programnya mencoba untuk
memberikan harapan melalui berbagai bantuan, yang sayangnya harus melalui
berbagai tahapan yang nyata-nyata sudah “menyiksa” guru. Pemerintah memberikan
bantuan bersyarat. Mereka harus memenuhi ini-itu, mereka harus mengikuti tes ini-
itu, dan bahkan akibatnya tidak pernah mereka pikirkan akan sangat berdampak
dalam aktivitas pembelajaran di sekolah. Lalu siapa yang menjadi korban? Peserta
didik.
Mereka menjadi korban “keganasan” bantuan yang pemerintah berikan
kepada guru mereka. Kesejahteraan guru yang seharusnya menjadikan guru bisa lebih
fokus untuk mengembangkan potensi peserta didiknya, bukan malah semata hanya
memikirkan bagaimana bisa menghidupi dia dan keluarganya. Kesejahteraan guru
yang bisa menjadikannya mengeluarkan kemampuan maksimalnya, bukan malah
memikirkan dari mana biaya hidupnya. Kesejahteraan guru yang semestinya
menjadikannya pribadi yang paling dihargai, namun nyatanya teraniaya.
Kesejahteraan yang seharusnya menjadikannya tenang tanpa harus berpikir lagi,
“Dari mana aku membiayai hidup?”, bukan malah menjadikannya harus mencari
berbagai “peluang” mencari tambahan. Kesejahteraan yang seharusnya
menjadikannya kewajiban sebagai fokus utama. Kewajiban telah ditunaikan, tapi hak
mereka terabaikan.
Pemerintah lebih sibuk dengan menaikan gaji para wakil rakyat, yang nyata-
nyata kerja mereka dipertanyakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Mereka lupa dengan
nasib pahlawan yang harusnya memiliki tanda jasa, bukan hanya dikenang sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa. Guru adalah ujung tombak pembangunan sebuah Negara,
2. namun Negara tak pernah menghargai jasa para guru. Berbanding terbalik dengan
Negara-negara maju saat ini. Jepang contohnya. Tatkala Hiroshima dan Nagasaki
dibombardir oleh pasukan Amerika, yang pertama kali ditanyaka oleh pemerintah
mereka adalah berapa jumlah guru yang tersisa. Betapa mereka sangat menghargai
jasa para guru, dan menjadikan guru sebagai aset bangsa yang utama.
Sampai kini kita masih sering melihat, bagaimana kondisi pendidikan di
Negara kita tercinta ini. Seharusya pemerintah kita malu dengan keadaan saat ini.
Siapa yang membangun sekolah untuk orang-orang yang tak mampu? Apakah mereka
yang memiliki uang? Bukan. Sampai saat ini kita sering mendengar, bahwa yang
lebih peduli terhadap nasib pendidikan kaum kecil ialah mereka juga yang bernasib
“kecil”. Kita mungkin pernah mendengar seorang juru parkir yang membuat sekolah
gratis untuk dhuafa. Atau ada seorang guru ngaji yang memiliki kekurangan namun
tetap mengajar ngaji, tanpa ada perhatian atau bahkan gaji dan fasilitas yang
mumpuni.
Tidak malukah mereka terhadap keadaan pendidikan kita saat ini? Mereka
lebih sibuk memperkaya diri, tanpa memerhatikan nasib gedung sekolah yang hampir
roboh, akses jalan ke sekolah yang terputus, atau bahkan para pengajar yang harus
berjuang keras untuk sekadar bertahan dari kerasnya kehidupan. Pemerintah seakan
tutup mata untuk semua itu. Mereka bahkan dengan bangga menyebutkan bahwa
“Kita telah berhasil meningkatkan mutu pendidikan di Negara ini. Semakin tahun
anak yang putus sekolah telah berkurang.” Berkurang memang. Tapi pernahkah kita
menilai kualitas output yang kini ada semakin hari semakin berkurang kualitasnya?
Lantas pernahkah mereka melihat penyebab semua itu? Dengan alasan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan mereka mengambil kesimpulan bahwa guru harus
diberikan pendidikan dan pelatihan oleh pemerintah. Selama ini guru dianggap tidak
memiliki keterampilan yang cukup dalam mengajar. Mereka lupa, bahwasannya
ketika kewajiban mengikuti pelatihan dan berbagai macam tes itu, ada sebuah
kewajiban yang akhirnya harus terabaikan. Guru akan lebih disibukkan dengan
mempersiapkan diri untuk mengikuti latihan, dibandingkan dengan mempersiapkan
3. diri untuk mengajar. Beban guru akan dipusatkan pada hasil setelah tes dan pelatihan
karena akan memengaruhi pendapatan para guru, yang akhirnya kesejahteraan para
guru pun kembali terancam.
Jika memang pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan, berikan
para guru akses yang mudah dalam menjalankan roda pendidikan. Biarkan mereka
focus pada tugas utamanya, MENGAJAR. Bukan disibukkan dengan urusan duniawi
lainnya. Biarakan para guru mendapatkan kemudahan akses belajar dan upgrade ilmu,
bukan malah sibuk melihat hasil akhir dari setiap proses pembelajaran. Nilai hanyalah
deretan angka, tak kan sebanding dengan deretan pengalaman dilapangan yang telah
para guru lalui. Dengan cucuran keringat, dengan derai air mata, bahkan dengan
tetesan darah.
Tiada kekuatan yang lebih abadi dari pada ilmu pengetahuan, yang tak pernah
berat ketika dibawa, dan tak lekang dimakan waktu. Tiada bakti yang abadi selain
bakti kita dalam mengamalkan ilmu pengetahuan. Biarlah apa yang telah saudara kita
lakukan dalam membangun pendidikan di negeri ini, menjadi pelecut semangat untuk
pengabdian yang lebih hakiki. Biarlah keterbatasan yang kita dapatkan menjadi
sebuah harapan untuk terciptanya generasi muda yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan menjadi para pemimpin bangsa yang mampu mengeluarkan kita dari
keterpurukan dunia pendidikan saat ini.
4. BIODATA PENULIS
Irfan Rosyidin adalah nama yang diberikan oleh kedua orang tua saya saat saya lahir
30 tahun yang lalu. Saya lahir pada tanggal 08 Juli 1987. Masa kecil saya sampai
sekarang dihabiskan di rumah saya daerah Kampung Muara Ciwidey , Desa
Pameuntasan, RT 01/04, Nomor 5 Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung.
Saat ini saya bekerja di SD AL Azhar Syifa Budi Parahyangan, Jalan Cimareme
No.340, Padalarang-Bandung Barat, 40552.
Telepon (022)6864008-76778008
Kontak
Telepon/WA (0896-5395-7110)
Email (royz_87@yahoo.com)