Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai perencanaan geometri runway bandara menurut metode ICAO. Metode ini mempertimbangkan faktor-faktor seperti temperatur, elevasi, kemiringan, dan angin permukaan untuk menentukan panjang minimum runway agar operasi pesawat berlangsung aman. Panjang runway dihitung dengan rumus yang memperhitungkan faktor koreksi dari kondisi lokal bandara.
Presentation Bisnis Teknologi Modern Biru & Ungu_20240429_074226_0000.pptx
Airport
1. PERENCANAAN GEOMETRIS RUNWAY METODA ICAO
Minggu, November 18, 2012 Adi Atmadilaga 1 comment
Dalam dunia penerbangan, perlu adanya pengaturan pesawat, baik itu take off,
landing maupun pada saat masuk ke taxi way dan apron. Runway (r/w): Bagian
memanjang dari sisi darat aerodrom yang disiapkan untuk tinggal landas dan
mendarat pesawat terbang. Untuk menjamin keselamatan pesawat maka
dikeluarkan persyaratan-persyaratan untuk menentukan panjang runway.
Peraturan tersebut dikeluarkan oleh FAR (Federal Aviation Regulation) dan
I.C.A.O. Panjang landasan pacu bergantung pada suhu, kecepatan dan arah angin
serta tekanan udara di sekitarnya, juga kemampuan pesawat yang melintas di
atasnya. Di daerah gurun dan di dataran tinggi, umumnya landas pacu yang
digunakan lebih panjang daripada yang umum digunakan di bandara-bandara
bahkan bandara internasional karena tekanan udara yang lebih rendah. Jumlah
landasan tergantung pada volume lalu lintas, dan orientasi landasan
tergantung kepada arah angin dominan yang bertiup, tetapi kadang – kadang
juga luas tanah yang tersedia bagi pengembangan ada pengaruhnya.
Pengaruh Kemampuan Pesawat Terhadap Panjang Landas Pacu Dalam Perencanaan
Geometrik
Beberapa definisi berkenaan dengan topik ini:
Kecepatan awal mendaki - Initial Climb Out Speed (V2) : Kecepatan minimum
yang diperkenankan untuk mendaki sesudah mencapai ketinggian 10,5 m (35 Ft)
Kecepatan putusan – Decision Speed (V1) : Kecepatan yang ditentukan dimana
bila mesin mengalami kegagalan saat kecepatan V1 belum tercapai pilot harus
menghentikan pesawat, namun apabila sudah melewati V1 maka pesawat harus
terus lepas landas dan tidak boleh mengurangi kecepatan
Kecepatan Rotasi - Rotation Speed (Vr) : Kecepatan pada saat pilot mulai
mengangkat hidung pesawat.
Kecepatan Angkat – Lift Off Speed (V lot) : Kecepatan dari kemampuan pesawat,
di saat itu badan pesawat mulai terangkat dari landasan.
Jarak Landasan Pacu – Take Off Distance : Jarak horizontal yang diperlukan
untuk lepas landas dengan mesin tidak berkerja tetapi pesawat telah mencapai
ketinggian 10,5 m
Take off Run :
2. 1. Jarak dari awal take off ke titik V lof + ½ kali jarak pesawat mencapai
ketinggian 10,5 m dari V lof, pada keadaan mesin tidak berkerja.
2. Jarak dari awal take off ke titik V lof dikalikan 115% + ½ kali jarak
pesawat mencapai ketinggian 10,5 m dari titik V lof x 115% tadi, pada
keadaan mesin pesawat berkerja.
Jarak terbesarnya merupakan take off run
Accelerate Stop Distance : Jarak yang digunakan untuk mencapai kecepatan
V1 + jarak untuk berhenti dari titik V1
lStop way : Perpanjangan landasan, digunakan untuk menahan pesawat pada
waktu gagal lepas landas.
Clearway : Area di luar akhir landasan lebarnya paling sedikit 500 feet.
As Clearway merupakan perpanjangan as landasan, panjangnya tidak boleh
melebihi ½ panjang take off run.
Untuk pesawat terbang bermesin turbin dalam menentukan panjang runway harus
mempertimbangkan tiga keadaan umum agar pengoperasian pesawat aman.
Ketiga keadaan tersebut adalah:
Lepas landas normal
Suatu keadaan dimana seluruh mesin dapat dipakai dan runway yang cukup
dibutuhkan untuk menampung variasi-variasi dalam teknik pengangkatan dan
karakteristik khusus dari pesawat terbang tersebut.
Lepas landas dengan suatu kegagalan mesin
Merupakan keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan
pesawat terbang lepas landas walaupun kehilangan daya atau bahkan direm untuk
berhenti.
Pendaratan
Merupakan suatu keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk
memungkinkan variasi normal dari teknik pendaratan, pendaratan yang melebihi
jarak yang ditentukan (overshoots), pendekatan yang kurang sempurna (poor
3. aproaches) dan lain-lain. Panjang runway yang dibutuhkan diambil yang
terpanjang dari ketiga analisa di atas
Keadaan pendaratan
Peraturan menyebutkan bahwa jarak pendaratan (landing distance = LD) yang
dibutuhkan oleh setiap pesawat terbang yang menggunakan bandara, harus cukup
untuk memungkinkan pesawat terbang benar-benar berhenti pada jarak
pemberhentian (stop distance = SD), yaitu 60 persen dari jarak pendaratan,
dengan menganggap bahwa penerbang membuat pendekatan pada kepesatan yang
semestinya dan melewati ambang runway pada ketinggian 50 ft.
1. Keadaan Normal
Semua mesin bekerja memberikan definisi jarak lepas landas (take off distance
= TOD) yang untuk bobot pesawat terbang harus 115 persen dan jarak sebenarnya
yang ditempuh pesawat terbang untuk mencapai ketinggian 35 ft (D35). Tidak
seluruh jarak ini harus dengan perkerasan kekuatan penuh. Bagian yang tidak
diberi perkerasan dikenal dengan daerah bebas (clearway = CW). Separuh dari
selisih antara 115 persen dari jarak untuk mencapai titik pengangkatan, jarak
pengangkatan (lift off distance = LOD) dan jarak lepas landas dapat digunakan
sebagai daerah bebas (clearway). Bagian selebihnya dari jarak lepas landas
harus berupa perkerasan kekuatan penuh dan dinyatakan sebagai pacuan lepas
landas (take off run = TOR).
2. Keadaan dengan kegagalan mesin
peraturan menetapkan bahwa jarak lepas landas yang dibutuhkan adalah jarak
sebenarnya untuk mencapai ketinggian 35 ft (D35) tanpa digunakan persentase,
seperti pada keadaan lepas landas dengan seluruh mesin bekerja. Keadaan ini
memerlukan jarak yang cukup untuk menghentikan pesawat terbang dan bukan
untuk melanjutkan gerakan lepas landas. Jarak ini disebut jarak percepatan
berhenti (accelerate stop distance = ASD). Untuk pesawat terbang yang
digerakkan turbin karena jarang mengalami lepas landas yang gagal maka
4. peraturan mengizinkan penggunaan perkerasan dengan kekuatan yang lebih kecil,
dikenal dengan daerah henti (stopway = SW), untuk bagian jarak percepatan
berhenti diluar pacuan lepas landas (take off run).
Panjang lapangan (field length = FL) yang dibutuhkan pada umumnya terdiri
dari tiga bagian yaitu perkerasan kekuatan penuh (FS), perkerasan dengan
kekuatan parsial atau daerah henti (SW) dan daerah bebas (CW). Untuk
peraturan-peraturan diatas dalam setiap keadaan diringkas dalam bentuk
persamaan – persamaan berikut :
Keadaan lepas landas normal:
5. Keadaan lepas landas dengan kegagalan mesin dan pendaratan :
Untuk menentukan panjang lapangan yang dibutuhkan dan berbagai komponennya
yang terdiri dari perkerasan kekuatan penuh, daerah henti dan daerah bebas,
setiap persamaan diatas harus diselesaikan untuk rancangan kritis pesawat
terbang di bandara. Hal ini akan mendapatkan setiap nilai-nilai berikut:
1. FL = (TOD, ASD, LD)/ maks (1.5)
6. 2. FS = (TOR, LD)/ maks (1.6)
3. SW = ASD – (TOR, LD)/ maks (1.7)
4. CW = (FL – ASD, CW)/ min (1.8)
Dimana nilai CW minimum yang diizinkan adalah 0. Apabila pada runway
dilakukan operasi pada kedua arah, seperti yang umum terjadi,
komponen-komponen panjang runway harus ada dalam setiap arah.
Table 1.2. Klasifikasi Airport, Disain GroupPesawat dan Jenis Pesawat
7.
8. Sumber ; Manual of Standards Part 139—Aerodromes Chapter 2: Application of
Standards toAerodromes, Civil Aviation Safety Authority, Australian
Government.
Perhitungan Panjang Runway Akibat Pengaruh Kondisi Lokal Bandara.
Lingkungan bandara yang berpengaruh terhadap panjang runway adalah:
Temperatur,
angin permukaan (surface wind)
Kemiringan runway (effective gradient)
Elevasi runway dari permukaan laut (altitude)
Kondisi permukaan runway.
Sesuai dengan rekomendasi dari International Civil Aviation Organization (ICAO)
bahwa perhitungan panjang runway harus disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi
bandara. Metoda ini dikenal dengan metoda Aeroplane Reference Field Length
(ARFL).
Menurut ICAO, ARFL adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk lepas
landas pada maximum sertificated take off weight, elevasi muka laut, kondisi
atmosfir standar, keadaan tanpa angin bertiup, runway tanpa kemiringan
(kemiringan = 0).
Perencanaan persyaratan-persyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan
koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal
Koreksi elevasi
Menurut ICAO bahwa panjang runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300
m (1000 ft) dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut. Maka rumusnya
adalah:
Dengan Fe : faktor koreksi elevasi
h : elevasi di atas permukaan laut, m
9. Koreksi temperatur
Pada temperatur yang tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang sebab
temperatur tinggi akan menyebabkan density udara yang rendah.
Sebagai temperatur standar adalah 15 oC
Menurut ICAO panjang runway harus dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1%
untuk setiap kenaikan 1 oC. Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari
permukaaan laut rata-rata temperatur turun 6.5 oC
Rumus : Ft = 1 + 0.01 (T –(15 - 0.0065h)) (1.10)
Dengan
Ft : faktor koreksi temperatur
T : temperatur dibandara, oC
Koreksi kemiringan runway
Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Fs = 1 + 0.1 S .................... (1.11)
Dengan Fs : faktor koreksi kemiringan
S : kemiringan runway, %
Koreksi angin permukaan (surface wind)
Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan (head
wind) dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka runway yang
diperlukan lebih panjang. Angin haluan maksimum yang diizinkan bertiup
dengan kekuatan 10 knots, dan menurut Basuki (1990) kekuatan maksimum angin
buritan yang diperhitungkan adalah 5 knots. Tabel berikut memberikan
perkiraan pengaruh angin terhadap panjang runway.
10. Tabel 1. Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway
Sumber: Basuki (1990) Untuk perencanaan bandara diinginkan tanpa tiupan
angin tetapi tiupan angin lemah masih baik
Kondisi permukaan runway
Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya genangan
tipis air (standing water) karena membahayakan operasi pesawat. Genangan air
mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat yang membuat daya
pengereman menjadi jelek dan yang paling berbahaya lagi adalah terhadap
kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas. Menurut hasil penelitian
NASA dan FAA tinggi maksimum genangan air adalah 1.27 cm. Oleh karena itu
drainase bandara harus baik untuk membuang air permukaan secepat mungkin
Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung dengan persamaan
berikut:
ARFL = (Lro x Ft x Fe x Fs) + Fw (1.12)
Dengan
Lro : Panjang runway rencana, m
Ft : faktor koreksi temperatur
Fe : faktor koreksi elevasi
Fs : faktor koreksi kemiringan
Fw : faktor koreksi angin permukaan
Kontrol dengan ARC dapat dilakukan berdasarkan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2 Aerodrome Reference Code (ARC)
11. Sumber: Horonjeff (1994)
a. Lebar, Kemiringan dan Jarak Pandang Runway
Dari ketentuan pada Tabel 2 apabila dihubungkan dengan Tabel 3 berikut maka
dapat ditentukan lebar runway rencana minimum.
Tabel 3 Lebar Runway
a = lebar landasan presisi harus tidak kurang dari 30 m untuk kode angka 1
atau 2
catatan : apabila landasan dilengkapi dengan bahu landasan lebar total
landasan dan bahu landasannya paling kurang 60 m.
Sumber: Basuki (1990)
b.Kemiringan memanjang (longitudinal) runway
Kemiringan memanjang landasan dapat ditentukan dengan Tabel 5 dengan tetap
mengacu pada kode angka pada Tabel 4. Tabel 4 Kemiringan Memanjang
(Longitudinal) Landasan
12. Catatan :
1. semua kemiringan yang diberikan dalam persen.
2. untuk landasan dengan kode angka 4 kemiringan memanjang pada seperempat
pertama dan seperempat terakhir dari panjang landasan tidak boleh lebih 0.8 %.
3. untuk landasan dengan kode angka 3 kemiringan memanjang pada seperempat
pertama dan seperempat terakhir dari panjang landasan precision aproach
category II and III tidak boleh lebih 0.8 %.
Sumber : Basuki (1990)
c. Kemiringan melintang (transversal)
Untuk menjamin pengaliran air permukaan yang berada di atas landasan perlu
kemiringan melintang dengan ketentuan sebagai berikut:
a) 1.5 % pada landasan dengan kode huruf C, D atau E.
b) 2 % pada landasan dengan kode huruf A atau B.
d. Jarak pandang (sight distance)
Apabila perubahan kemiringan tidak bisa dihindari maka perubahan harus
sedemikian hingga garis pandangan tidak terhalang dari :
a) Suatu titik setinggi 3 m (10 ft) dari permukaan landasan ke titik lain
sejauh paling kurang setengah panjang landasan yang tingginya 3 m (10 ft)
dari permukaan landasan bagi landasan-landasan berkode huruf C, D atau E.
b) Suatu titik setinggi 2 m (7 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh
paling kurang setengah panjang landasan yang tingginya 2 m (7 ft) dari
permukaan landasan bagi landasan-landasan berkode huruf B.50
13. c) Suatu titik setinggi 1.5 m (5 ft) dari permukaan landasan ke titik lain
sejauh paling kurang setengah panjang landasan yang tingginya 1.5 m (5 ft)
dari permukaan landasan bagi landasan-landasan berkode huruf A.
Panjang, Lebar, Kemiringan dan Perataan Strip Landasan.
Tabel 5 Panjang, Lebar, Kemiringan dan Perataan Strip Landasan
Catatan:
a. 60 m bila landasan berinstrumen 30 m bila landasan tidak berinstrumen
b. kemiringan transversal pada tiap bagian dari strip di luar diratakan
kemiringannya tidak boleh lebih dari 5 %
c. untuk membuat saluran air kemiringan 3m pertama arah ke luar landasan,
bahu landasan, stopway harus sebesar 5 %
suatu landasan terbang sedikitnya 6,000 ft ( 1,800 m) biasanya digunakan
untuk pesawat terbang di bawah 200,000 lb ( 91,000 kg). Pesawat terbang
lebih besar yang mencakup widebodies ( Boeing 747, 767, 777, dan 787
[Preproduction]); Bis udara A310, A330, A340, A350 dan A380; Mcdonnell
Douglas DC-10 atau MD-11; dan Ruangan pesawat untuk pilot L1011 pada umumnya
memerlukan sedikitnya 8,000 ft (2,400 m) untuk ketinggian level muka air laut
sedang pada ketinggian lebih tinggi dibutuhkan lebih. International
widebody flights mungkin juga mempunyai kebutuhan lahan 10,000 ft ( 3,000
m)) atau lebih dan kebutuhan takeoff 13,000 ft ( 4,000 m) atau lebih. Pada
14. ketinggian level muka air laut, panjang 10,000 ft ( 3,000 m) dapat
dipertimbangkan suatu panjang yang cukup untuk mengakomodasi hampir seluruh
kapal. Sebagai contoh, pada O'Hare Pelabuhan udara Internasional, ketika
landasan pendaratan secara serempak pada 22R dan 27L atau 27R paralel,
negara-negara Timur Jauh yang rutin berdatangan pada vector 22R 7,500 ft
( 2,300 m) atau 27R 8,000 ft ( 2,400 m) untuk meminta 27L ( 10,000 ft (3,000
m)). Adalah selalu mengakomodasi, walaupun adakalanya dengan suatu
keterlambatan.
Konfigurasi Runway
Pada dasarnya landasan dan penghubungnya taxiway diatur sedemikian
hingga :
Memenuhi persyaratan ”separation” pemisahan lalu lintas udara.
Gangguan operasi satu pesawat dangan lainnya serta penundaan di dalam
pendaratan, taxiway serta lepas landas, minimal.
Pembuatan taxiway dari bangunan terminal menuju ujung landasan untuk lepas
landas dipilih yang paling pendek.
Pembuatan taxiway memenuhi kebutuhan hingga pendaratan pesawat dapat
secepatnya mencapai bangunan terminal.
Ada 5 bentuk wujud landasan terbang basis dasar dengan sisanya menjadi
variasi pola teladan yang asli [itu].
Banyak macam konfigurasi landas pacu, sebagian konfigurasi adalah kombinasi
dari konfiguarasi dasar. Konfigurasi dasar adalah :
Landasan tunggal
Landasan paralel
Landasan dua jalur
Landasan berpotongan
Landasan terbuka V
Konfigurasi ini ditentukan oleh arah angin dominan yang berhembus
Penamaan Runway Berdasarkan Arah Runway
15. Ilmu penerbangan dikendalikan oleh suatu agen Pemerintah status Yang
dipersatukan sebagai Administrasi Ilmu penerbangan Yang pemerintah pusat atau
FAA.
Agen mengamanatkan standard identifikasi untuk tataruang bandara udara
Dari angka-angka landasan terbang dan strip dicat ke pelabuhan udara dan cahaya
landasan terbang dan tanda
Kompas Directionsin Ilmu pelayaran Dan survei, semua pengukuran arah
dilakukan dengan penggunaan angka-angka suatu kompas.
Suatu kompas adalah suatu 360° melingkar [di mana/jika] 0/360° adalah Utara, 90°
Timur, 180° Selatan, dan 270° Barat.
Landasan terbang dipersiapkan menurut angka-angka [itu] pada suatu kompas.
Suatu arah kompas landasan terbang ditandai oleh sejumlah besar mencat pada
ujung landasan terbang masing-masing. sebelum nomor;strip berjumlah 8 belang
putih.
Suatu nomor;jumlah landasan terbang tidaklah ditulis dalam derajat tingkat, tetapi
diberi suatu format stenografi.
Sebagai contoh, suatu landasan terbang dengan suatu tanda-tanda " 14"
benar-benar dekat dengan pun 140 derajat tingkat.
Suatu landasan terbang dengan suatu tanda-tanda " 31" mempunyai suatu kompas
[yang] memimpin 310 derajat tingkat, yang adalah arah barat laut.
Untuk kesederhanaan, FAA menyelesaikan judul yang tepat kepada yang paling
dekat sepuluh. Sebagai contoh, landasan terbang 7 kekuatan mempunyai suatu
tanda tepat 68 derajat tingkat, tetapi dibuat untuk 70 derajat tingkat.
Landasan tunggal (Open Single Runways)
16. Landasan tunggal ini adalah konfigurasi yang paling sederhana, sebagian
besar lapangan terbang di Indonesia adalah landasan tunggal. Telah diadakan
perhitungan bahwa kapasitas landasan tunggal dalam kondisi Visual Flight
Rule (VFR) antara 45 – 100 gerakan tiap jam, sedangkan dalam kondisi IFR
(Instrument Flight Rule) kapasitas berkurang menjadi 40 – 50 gerakan
tergantung kepada komposisi pesawat campuran dan tersedianya alat bantu
navigasi. Kondisi VFR (Visual Flight Rules) adalah kondisi penerbangan
dengan keadaan cuaca yang sedemikian rupa sehingga pesawat terbang dapat
mempertahankan jarak pisah yang aman dengan cara-cara visual. Kondisi IFR
(Instrument Flight Rules) adalah kondisi penerbangan apabila jarak
penglihatan atau batas penglihatan berada dibawah yang ditentukan oleh
VFR. Dalam kondisi-kondisi IFR jarak pisah yang aman di antara pesawat
merupakan tanggung jawab petugas pengendali lalu lintas udara, sementara
dalam kondisi VFR hal itu merupakan tanggung jawab penerbang. Dalam
kondisi-kondisi VFR, pengendalian lalu lintas udara adalah sangat kecil, dan
pesawat terbang diizinkan terbang atas dasar prinsip “melihat dan
dilihat”.
Landasan Paralel (Open Parallel Runways)
Kapasitas landasan sejajar
tergantung kepada jumlah landasan dan pemisahan/penjarakan antara dua
17. landasan. Yang biasa adalah dua landasan sejajar (Cengkareng) atau empat
landasan sejajar. Jarang ada landasan sejajar tiga. Sampai saat ini belum
ada landasan sejajar lebih dari empatPenjarakan antara dua landasan sejajar
sangat bermacam – macam.
Penjarakan landasan dibagi menjadi tiga :
Berdekatan / rapat (Close)
Menengah (Intermediate)
Jauh /renggang (far)
Tergantung kepada tingkat ”ketergantungan” antara dua landasan dalam
kondisi IFR. Landasan sejajar berdekatan (Close) mempunyai jarak sumbu
kesumbu 100 ft = 213 M (untuk lapangan terbang pesawat transport) sampai 3500
ft = 1067 M. Dalam kondisi IFR operasi penerbangan pada satu landasan
tergantung kepada operasi pada landasan lain. Landasan sejajar menengah
(Intermediate) mempunyai jarak sumbu kesumbu 3500 ft = 1067 M sampai 5000
ft = 1524 M. Dalam kondisi IFR kedatangan pada satu landasan tidak tergantung
kepada keberangkatan pada landasan lain. Landasan sejajar jauh (far)
mempunyai jarak sumbu kesumbu 4300ft = 1310 M atau lebih. Dalam kondisi IFR
dua landasan dapat dioperasikan tanpa tergantung kepada keberangkatan satu
sama lain .
Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang kapasitasnya per
jam dapat bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam kondisi-kondisi
VFR, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Dalam kondisi IFR
kapasitas per jam untuk yang berjarak rapat berkisar di antara 50 sampai 60
operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Untuk runway
sejajar yang berjarak menengah kapasitas per jam berkisar antara 60 sampai
75 operasi dan untuk yang berjarak renggang antara 100 sampai 125 operasi
per jam.
Untuk landasan sejajar empat, pasangan pasangan dibuat berdekatan. Dari dua
pasangan close dipisahkan jauh (far) untuk menempatkan bangunan terminal
diantaranya.
.
Landasan 2 jalur
18. Landasan dua jalur terdiri dari dua landasan yang sejajar dipisahkan
berdekatan (700 ft – 2499 ft) dengan exit taxiway secukupnya. Walaupun
kedua landasan dapat dipakai untuk operasi penerbangan campuran, tetapi
diinginkan operasinya diatur, landasan terdekat dengan terminal untuk
keberangkatan dan landasan jauh untuk kedatangan pesawat. Diperhitungkan
bahwa landasan dua jalur dapat melayani 70 % lalu lintas lebih banyak dari
pada landasan tunggal dalam kondisi VFR dan sekitar 60 % lebih banyak lalu
lintas pesawat daripada landasan tunggal dalam kondisi IFR. Didapat
kenyataan bahwa kapasitas landasan untuk pendaratan dan lepas landas tidak
begitu peka terhadap pemisahan sumbu landasan antara dua landasan bila
pemisahan antara 1000 – 2499 ft. dianjurkan untuk memisahkan dua landasan
dengan jarak tidak kurang dari 1000 ft, bila di situ akan dipakai melayani
pesawat – pesawat komersiil. Dengan jarak ini dimungkinkan juga
pemberhentian pesawat di taxiway antara dua landasan tanpa mengganggu
operasi gerakan pesawat di landasan. Untuk memperlancar bisa juga dibangun
Taxiway sejajar namun tidak terlalu pokok.
Keuntungan utama dari landasan dua jalur adalah bisa meningkatkan kapasitas
dalam kondisi IFR tanpa menambah luas tanah.
Landasan bersilangan (Intersection Runways)
Banyak lapangan terbang (di luar
negeri) mempunyai dua atau tiga landasan dengan arah (direction) berlainan,
19. berpotongan satu sama lain, landasan demikian mempunyai patron bersilangan.
Landasan bersilangan diperlukan jika angin yang bertiup keras lebih dari satu
arah, yang akan menghasilkan tiupan angin berlebihan bila landasan mengarah
ke satu mata angin. Pada suatu saat angin bertiup kencang satu arah maka hanya
satu landasan dari dua landasan yang bersilangan bisa digunakan Bila angin
bertiup lemah (kurang dari 20 knots atau 13 knots) maka kedua landasan, bisa
dipakai bersama – sama. Kapasitas dua landasan yang bersilangan tergantung
sepenuhnya di bagian mana landasan itu bersilangan (di tengah, di ujung),
serta cara operasi penerbangan yaitu strategi dari pendaratan dan lepas
landas. Kapasitas landasan ditentukan dari jarak persilangan terhadap titik
awal lepas landas. Semakin dekat jarak persilangan dengan titik awal lepas
landas maka semakin besar kapasitas yang dicapai.
Landasan V terbuka (Non-Intersection Divergen Runways)
Runway V terbuka merupakan runway
yang arahnya memencar (divergen) tetapi tidak berpotongan. Strategi yang
menghasilkan kapasitas tertinggi adalah apabila operasi penerbangan
dilakukan menjauhi V. Dalam kondisi IFR, kapasitas per jam untuk strategi
ini berkisar antara 50 sampai 80 operasi tergantung pada campuran pesawat
terbang, dan dalam kondisi VFR antara 60 sampai 180 operasi. Apabila operasi
penerbangan dilakukan menuju V kapasitasnya berkurang menjadi 50 atau 60
dalam kondisi IFR dan antara 50 sampai 100 dalam VFR. Sama halnya pada
landasan bersilangan, landasan V terbuka dibentuk karena arah angin keras
dari banyak arah sehingga harus membuat landasan dengan dua arah. Ketika
angin bertiup kencang dari satu arah, maka landasan hanya bisa dioperasikan
satu arah saja, sedangkan pada keadaan angin bertiup lembut, landasan dua
– duanya bisa dipakai bersama – sama.
20. Perbandingan Dari Berbagai Konfigurasi Landasan
Dilihat dari segi kapasitas dan pengaturan lalu lintas udara, konfigurasi landasan
tunggal aalah yang paling disenangi.
Operasi dari dua arah menghasilkan kapasitas sama serta pengaturan yang sama,
konfigurasi ini menghasilkan kapasitas terbanyak dibandingkan konfigurasi lain.
Bagi pengatur lalu lintasnya mengarahkan pesawat dengan arah tunggal jauh lebih
sederhana dibandingkan banyak arah.
Sekarang kita bandingkan konfigurasi divergen, landasan dengan V terbuka lebih
disukai daripada landasan dengan konfigurasi persilangan.
Pada V terbuka, strategi operasinya dengan rute pesawat membuka V
menghasilkan kapasitas lebih banyak daripada operasi sebaliknya. Bila tidak bisa
dihindari landasan berpotongan, diusahakan agar berpotongan dua landasan tadi
sedekat mungkin pada threshold – nya, dan mengoperasikan pesawat dengan arah
menjauhi perpotongan daripada sebaliknya.
Bagan alir perencanaan runway metoda ICAO
FORM PENGAJUAN JUDUL OUTLINE PROPOSAL PENELITIAN
(SKRIPSI)
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
21. NAMA : NUR ROHMAN EKO AGUSTIYANTO
NIM : 12510029
JURUSAN/KONSENTRASI : MANAJEMEN/PEMASARAN
BIDANG KAJIAN : PENERAPAN STRATEGI PEMASARAN
DALAM MENINGKATKAN KEUNGGULAN
KOMPETITIF PADA PT. COATS REJO
INDONESIA.
1. Judul
“Penerapan Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Keunggulan Kompetitif Pada PT.
Coats Rejo Indonesia.
2. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi, komunikasi, dan informasi mendorong
berlangsungnya globalisasi dunia dengan cepat dan dinamis. Globalisasi
tersebut membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang sosial,
ekonomi, dan budaya. Khususnya fenomena ekonomi yang mempunyai implikasi luar
biasa terhadap perubahan tatanan kerja sama dan persaingan bisnis serta
peranan pemerintah diberbagai penjuru dunia. Oleh karena itu hal ini telah menuntut
para pelaku usaha untuk terus berfikir kritis dalam menghadapi persaingan
yang semakin kompetitif, karena persaingan tidak hanya datang dari
persaingan usaha lokal tetapi telah merambah ke usaha global. Jika para
pelaku usaha tidak siap untuk menghadapi persaingan sekarang ini, berbagai
dampak dan efek dapat timbul dari persaingan tersebut. Tidak hanya mengakibatkan
volume penjualan produk yang menurun, kehilangan daerah pemasaran produk,
bahkan dapat mengancam kelangsungan
hidup perusahaan.
Dengan dunia persaingan yang semakin ketat dan tak bisa di hindari, maka
perusahaan harus merumuskan strategi perusahaan yang tepat dalam menghadapi
persaingan tersebut. Menurut Hunger dan Whelan (2001: 16) strategi adalah
22. rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai
misi dan tujuannya. Strategi akan memaksimalkan keunggulan kompetitif dan
memaksimalkan keterbatasan bersaing. Strategi yang diterapkan dalam sebuah
perusahaan yang sudah memasuki persaingan dalam pasar global harus berskala
besar, dan rencana strategi yang dibuat harus berorientasi pada masa depan
agar dapat berinteraksi dengan lingkungan yang kompetitif untuk mencapai
tujuan perusahaan.
Konsep inti pemasaran menurut pendapat di atas menjelaskan
bahwa ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam terjadinya proses
pemasaran. Dalam pemasaran terdapat produk sebagai kebutuhan dan keinginan orang
lain yang memiliki nilai sehingga diminta dan terjadinya proses permintaan karena ada
yang melakukan pemasaran. Menurut Philip Kotler (2005: 10) pemasaran adalah
proses sosial yang dengan mana individu dan kelompok mendapatkan apa
yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan
secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain.
Strategi pemasaran mempunyai peranan sangat penting dalam membantu
kesuksesan suatu perusahaan. Disamping itu strategi pemasaran yang diterapkan
harus ditinjau dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan pasar dan
lingkungan pasar tersebut. Dengan demikian strategi pemasaran harus dapat memberikan
gambaran yang jelas dan terarah tentang apa yang dilakukan perusahaan dalam
menggunakan setiap kesempatan atau paduan pada beberapa sasaran pasar.
PT. Coats Rejo Indonesia merupakan sebuah industri tekstil yang khusus bergerak
dalam bidang benang. Hasil produksi PT. Coats Rejo Indonesia adalah benang dengan
berbagai macam ukuran. Permintaan pasar terhadap produksi benang sangatlah tinggi,
sehingga PT. Coats Rejo Indonesia selalu berusaha menjaga kualitas dan mutu produk
dengan harapan dapat bersaing di pasar global, memperluas pasar dan memperbanyak
kapasitas ekspor.
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, peneliti mengangkat konsep tersebut
sebagai bahan penelitian skripsi dengan judul “Penerapan Strategi Pemasaran Untuk
Meningkatkan Keunggulan Kompetitif Pada PT. Coats Rejo Indonesia.”.
23. 3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis strategi pemasaran dalam meningkatkan keunggulan kompetitif pada
PT. Coats Rejo Indonesia?
2. Apa saja faktor-faktor internal dan eksternal yang dihadapi PT. Coats Rejo Indonesia
serta usaha apa yang harus dilakukan perusahaan untuk mengatasi hambatan tersebut?
Bagaimana implementasi strategi pemasaran dalam meningkatkan keunggulan
kompetitif pada PT. Coats Rejo Indonesia?
4. Penelitian Terdahulu
Skripsi: Analisis Strategi Pemasaran Usaha Jasa Pembuatan dan perbaikan Furniture
UD. Suryani Furniture, Bogor, Jawa barat. Oleh: Putri Ardhanareshwari
Hamardika Ningrum. Tahun: 2010.
Skripsi: Analisis Strategi Pemasaran Minyak Kelapa Sawit (Craude Palm Oil) Pada
PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara Jakarta. Oleh: Hamzah
Muhammad Ali. Tahun: 2011.
Tugas Akhir: Strategi Pemasaran Ekspor Dalam Memasuki Pasar Internasional Pada
Perusahaan Dian Mandala. Oleh: Diana Dewi Kusumaningrum. Tahun 2009.
Skripsi: Analisis Strategi Pemasaran Pada PT. Koko Jaya Prima Makassar. Oleh: Reny
Maulidia Rahmat. Tahun: 2012.
Tesis: Reformulasi Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Occupancy Room Rate
Di Hotel Four Seasons Resort Jimbaran Bali. Oleh: Kadek Dewi Fadmawati.
Tahun: 2011.
24. Tesis: Strategi Pemasaran Kampung Batik Laweyan Solo. Oleh: Diana Elma
Widyaningrum. Tahun: 2012.
5. Teori yang Dipakai dan Sub-sub Teori
a. Hitt, Michael A. dkk. 2012. Mendefinisikan manajemen Strategis: Daya Saing &
Globalisasi. Jakarta: Salemba Empat.
b. Hunger, J. D. and Wheelen, T. L,. 2001. Mendefinisikan Strategic Management.
c. Kotler, Philip. 2003. Mendefinisikan Manajemen Pemasaran.
d. Keegan. Warren J. 2007. Mendefinisikan Manajemen Pemasaran Global.
e. Porter, Michael E. 2008. Mendefinisikan ruang lingkup Competitive Advantage.
f. Porter, Michael E. 1980. Mendefinisikan Strategi Bersaing.
g. Tjiptono. 1997. Mendefinisikan Strategi Pemasaran.
6. Lokasi dan Obyek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi pada PT Coats Rejo Indonesia. Penelitian
dilakukan di perusahaan tersebut, menggunakan akses internet ke website resmi
perusahaan yang bersangkutan serta link-link lainnya yang dianggap relevan.
Sedangkan obyek penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2000. Periode
pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, yaitu pada tahun 2014.
7. Metode Analisis
Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode ini juga sering
disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan dalam
kondisi alamiah (natural setting).
8. Catatan (diisi oleh LPEI)