Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
REFRAT PUA.docx
1. i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI i
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2
A. Definisi 3
B. Epidemiologi 3
C. Fisiologi Haid 4
D. Jenis-jenis Gangguan Haid 10
E. Klasifikasi PUA 12
F. Diagnosa Perdarahan Uterus Abnormal 36
G. Pemeriksaan Umum 37
H. Pemeriksaan Ginekologi 37
I. Penilaian Endometrium 38
J. Penilaian Kavum Uteri 38
K. Penilaian Miometrium 38
L. Langkah-langkah Diagnostik Perdarahan Uterus Disfungsional 39
M. Komplikasi 54
N. Prognosis 54
BAB 3 KESIMPULAN 56
DAFTAR PUSTAKA 57
2. 1
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan perdarahan uterus abnormal merupakan suatu penyakit, dimana
salah satunya adalah Disfungsional Uterine Bleeding. Disfungsional uterine
bleeding merupakan suatu perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya
dengan sebab organik, dimana terjadi perdarahan abnormal di dalam atau diluar
siklus haid oleh karena gangguan mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-
ovarium-endometrium. Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur
antara menarche dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu
masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanita-wanita
yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur diatas 40
tahun, dan 3 % di bawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai pula
perdarahan disfungsional dalam masa pubertas, akan tetapi karena keadaan ini
biasanya dapat sembuh sendiri, jarang diperlukan perawatan di rumah sakit.
Klasifikasi jenis endometrium yaitu jenis sekresi atau nonsekresi sangat penting
dalam hal menentukan apakah perdarahan yang terjadi jenis ovulatoar atau
anovulatoar.1
Adapun gambaran terjadinya perdarahan uterus disfungsional antara lain
perdarahan sering terjadi setiap waktu dalam siklus haid. Perdarahan dapat bersifat
sedikit-sedikit, terus-menerus atau banyak dan berulang-ulang dan biasanya tidak
teratur. Penyebab perdarahan uterus disfungsional sulit diketahui dengan pasti tapi
biasanya dijumpai pada sindroma polikistik ovarii, obesitas, imaturitas dari poros
hipotalamik-hipofisis-ovarium, misalnya pada masa menarche, serta ganguan stres
bisa mengakibatkan manifestasi penyakit ini.2
Federation Internationale de Gynecologie et d'sistem Obstetrique onkologi
(FIGO) membuat klasifikasi praktis yang dapat diterima secara universal dan
membantu dokter dalam melakukan penelitian, pengobatan, dan prediksi
terjadinya kanker ginekologi. Ringkasnya klasifikasi FIGO ini menggunakan
istilah PALM-COEIN untuk mengelompokan penyebab Perdarahan Uterus
3. 2
Abnormal yang dikembangkan oleh kelompok kerja gangguan Haid dari FIGO.
Sistem ini dikembangkan dengan kontribusi dari grup internasional dari peneliti
klinis dan nonklinis dari 17 negara di enam benua. Sebuah sistem untuk tata-
nama dan gejala dikembangkan oleh FIGO tersebut merekomendasikan
nomenclatures standar serta ditinggalkannya istilah metrorrhagia, menorrhagia,
dan perdarahan uterus disfungsional. 3
Sistem klasifikasi oleh FIGO (Federal Internationale de Gynecologie et
d’sistem Obstetrique onkologi) dibagi secara bertingkat ke dalam sembilan kategori
dasar yang diatur menurut singkatan PALM-COEIN : polip, adenomiosis,
leiomyoma, keganasan dan hiperplasia, koagulopati, gangguan ovulasi,
endometrium, iatrogenik, dan tidak diklasifikasikan.3
4. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) meliputi semua kelainan haid baik
dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan
banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. 1,2,5
Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau
heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang
disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostatis lokal endometrium dan
gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam
perdarahan uterus disfungsional (PUD). 1,2,5
B. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed di Lady Willingdon
Hospital, Lahore, dari Agustus 2010 sampai juli 2011 didapatkan sebanyak 2.109
perempuan atau sekitar 19,6% dari total 10.712 wanita yang mengunjugngi klinik
pasien rawat jalan ginekologi klinik pasien rawat jalan ginekologi yang didagnosis
menderita perdarahan uterus abnormal. Kategori PALM-COEIN dilakukan pada
991 (47%) kasus yang menunjukkan 30 (0,3 %)menderita polip 15 (15%)
adenomyosis, 250 (25%), leiomyoma 66 (6,6%) keganasan dan hyperplasia, 3 (0,
3%) koagulopati, 236 (24%) disfungsi ovulsasi , 48 (5%) endometritis, dan 53 (6%)
iatrogenic. sisanya 155 (15%) kasus yang tak dikategorikan.4
5. 4
Gambar 1: Distribusi penyebab perdarahan uterus abnormal oleh Lady
Willingdom Hospital, Lahore.3
C. Fisiologi Haid
Pada pengertian klinik, haid dinilai berdasarkan tiga hal. Pertama, siklus
haid yaitu jarak antara hari pertama haid dengan hari pertama haid berikutnya.
Kedua, lama haid yaitu jarak dari hari pertama haid sampai perdarahan haid
berhenti, dan ketiga, jumlah darah yang keluar selama satu kali haid. Haid dikatakan
normal bila didapatkan siklus haid, tidak kurang dari 21 hari, tetapi tidak melebihi
35 hari, lama haid 3-7 hari, dengan jumlah darah selama haid berlangsung tidak
melebihi 80 ml (2-5 kali/hari ganti pembalut). Selama kehidupan seorang
perempuan, haid dialaminya mulai dari menarke sampai menopause. Haid pertama
kali yang dialami seorang perempuandisebut menarke, sedangkan haid terakhir
yang dikenal bila setelah haid terakhir tersebut minimal 1 tahun tidak mengalami
haid lagi disebut menopause. 4
Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi
diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi
dari satu folikel dominan, yang terjadi pada perengahan siklus. Kurang lebih 14 hari
pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid. Ovulasi yang
6. 5
terjadi teratur setiap bulan akan menghasilkan siklus haid yang teratur pula disebut
siklus ovulasi (ovulatory cycle), sedangkan siklus anovulasi adalah siklus haid
tanpa ovulasi sebelumnya. Prevalensi siklus anovulasi paling sering didapatkan
pada perempuanusia dibawah 20 tahun dan diatas usia 40 tahun. 4
Lamanya siklus haid yang normal atau yang dianggap sebagai siklus haid
klasik adalah 28 hari ditambah atau dikurangi 2-3 hari. Siklus ini dapat berbeda-
beda pada wanita yang normal dan sehat. 4
Pada tiap siklus dikenal tiga masa utama, ialah sebagai berikut: 4
a. Masa haid selama 3-7 hari. Pada waktu itu endometrium dilepas, sedangkan
pengeluaran hormon-hormon ovarium paling rendah.
b. Masa proliferasi sampai hari ke 14. Pada waktu itu endometrium tumbuh
kembali, disebut juga endometrium mengadakan proliferasi. Antara hari ke 12
dan 14 dapat terjadi pelepasan ovum dari ovarium yang disebut ovulasi.
Sesudahnya, dinamakan masa sekresi. Pada ketika itu korpus rubrum
menjadi korpus luteum yang mengeluarkan progesterone. Di bawah pengaruh
progesterone ini, kelenjar endometrium yang tumbuh berkeluk-keluk mulai
bersekresi dan mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak.
Pada akhir masa ini stroma endometrium berubah ke arah sel-sel desidua,
terutama yang berada di seputar pembuluh-pembuluh arterial. Keadaan ini
memudahkan adanya nidasi.4
Dinding uterus mulai dari sisi luar terdiri dari
perimetrium, miometrium di tengah dan lapisan paling dalam, dan
endometrium. Endometrium merupakan organ target dari sistem reproduksi.
Haid merupakan hasil kerja sama yang sangat rapi dan baku dari sumbu
hipotalamus-hipofisis-ovarium (sumbu H-H-O). pada awal siklus sekresi
gonadotropin (FSH,LH) meningkat perlahan, dengan sekresi follicle
stimulation hormone (FSH) lebih dominan dibanding luteinizing hormone
(LH). Sekresi gonadotropin yang meningkat memicu beberapa perubahan di
ovarium. Pada awal siklus didapatkan beberapa folikel kecil, folikel pada tahap
antral yang sedang tumbuh. Pada folikel didapatkan 2 macam sel yaitu sel theka
dan sel granulose yang melingkari sel telur, oosit. Pada awal fase folikuler
reseptor LH hanya dijumpai pada sel theka, sedangkan reseptor FSH hanya ada
7. 6
di sel granulose. LH memicu sel theka untuk menghasilkan hormone androgen,
selanjutnya hormone androgen memasuki sel granulose. FSH dengan bantuan
enzim aromatase mengubah androgen menjadi estrogen (estradiol) di sel
granulose (teori dua sel). 4
Siklus haid diatur oleh keduanya antara endokrin dan parakrin. Secara
endokrinologi, ada jalur feedback yang memodulasi pelepasan dari hormon
gonadotropin dari hipofisis dengan steroid ovarium sebagai jalur afferen.
Beberapa penelitian telah memulai untuk menguraikan rangkaian kompleks
dari proses parakrin yang berlangsung dalam jaringan ovarium dan uterus
untuk menentukan pengaturan lokal. 4
Siklus haid terdiri dari dua siklus, yaitu siklus ovarium dan siklus
endometrium.4
1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase :
a. Fase Folikular/ Preovulasi
Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada umumnya
berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses steroidogenesis,
folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling terkait. Selama fase folikular,
kadar estrogen meningkat pada pertumbuhan yang paralel dari folikel yang
dominan dan peningkatan jumlah dari sel granulosa. Sel granulosa tempat ekslusif
dari reseptor FSH. Peningkatan sirkulasi FSH selama fase luteal dari siklus
sebelumnya merangsang peingkatan dari reseptor FSH dan kemampuan untuk
mengaromatisasi sel theka untuk derivat androstenedion menjadi estradiol. FSH
menginduksi enzim aromatase dan pelebaran antrum dari folikel yang bertumbuh.
Folikel dengan kelompok sangat berespon terhadap FSH seperti untuk
memproduksi dan mengawali tanda dari reseptor LH. Setelah terlihat reseptor LH,
sel granulosa preovulasi mulai untuk mensekresi sejumlah progesteron. Sekresi
preovulasi progesteron, walaupun jumlahnya terbatas, dipercaya untuk
mengirimkan feedback positif pada estrogen utama hipofisis yang menyebabkan
atau membantu menambah pelepasan LH. Selama fase folikuler lambat, LH
menstimulasi produksi sel theka dari androgen. Terutama androstenedion, yang
kemudian dilanjutkan ke folikel dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol.
8. 7
Selama fase folikel awal, sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang
menghambat pelepasan FSH. Karena folikel dominan mulai berkembang, hasil dari
estradiol dan inhibin meningkat, menghasilkan penurunan FSH. Penurunan ini
bertanggung jawab untuk kegagalan dari folikel lain untuk mencapai preovulasi
tingkat folikel the Graaf selama satu siklus. Jadi, 95 persen dari estradiol plasma
diproduksi pada waktu itu disekresi oleh folikel dominan, yang dipersiapkan untuk
ovulasi. 4
b. Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon).
Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel. Folikel
primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum ovulasi, satu
sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan
estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih.
Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong
memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak
aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon estrogen
maupun progesteron. 4
c. Fase Luteal/Post-ovulasi
Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan atau
folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur dari folikel
mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi mengakibatkan
transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis pemisah dari sel granulosa
luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua postovulasi, pembuluh darah dan
kapiler menembus ke lapisan sel granulosa. Neovaskularisasi yang cepat pada
granulosa avaskuler dikarenakan variasi dari faktor angiogenik meliputi faktor
pertumbuhan endotel vaskuler dan produksi lain pada respon terhadap LH oleh sel
theka lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel itu mengalami hipertrofi
dan meningkat kapasitas mereka untuk mensintesis hormon. Pada wanita, masa
hidup dari korpus luteum tegantung pada LH atau Human Chorionic Gonadotropin
9. 8
(hCG). Pada siklus normal wanita, korpus luteum dipertahankan oleh frekuensi
rendah, amplitudo tinggi dari sekresi LH oleh gonadotropin pada hipofisis anterior.4
2. Siklus endometrium terbagi dalam beberapa fase, yaitu: 4
a Fase Menstruasi
Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari
setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum
yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar
estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai
darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional
terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai. Pada fase ini,
endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai pendarahan dan lapisan
yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini berlangsung selama lima
hari (rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi kadar estrogen, progesteron, LH
(Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya selama siklus dan
kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat. 4
b. Fase Proliferasi
Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung
sejak sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid, misalnya hari ke-10 siklus
24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan endometrium
secara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau menjelang perdarahan
berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal ± 3,5 mm atau
sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi
tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium. 4
c. Fase Sekresi
Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari sebelum
periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium sekretorius
yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan tertentu dan halus.
Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar. 4
Pasca ovarium memasuki fase luteal dan korpus luteum yang terbentuk
menghasilkan steroid seks diantaranya estrogen dan progesterone. Kemudian,
estrogen dan progesterone korpus luteum tersebut mempengaruhi pertumbuhan
10. 9
endometrium dari fase proliferasi menjadi fase sekresi. Proliferasi epitel berhenti 3
hari pascaovulasi, akibat dampak antiestrogen dari progesteron. 4
Sebagian komponen jaringan endometrium tetap tumbuh tetapi dengan
struktur dan tebal yang tetap, sehingga mengakibatkan kelenjar menjadi berliku dan
arteri spiral terpilin. Tampak aktivitas sekresi di dalam sel kelenjar, didapatkan
pergerakan vakuol dari intraselular menuju intraluminal. Aktivitas sekresi tersebut
dapat diamati dengan jelas dalam kurun waktu 7 hari pascaovulasi. Pada fase
sekresi, tampak kelenjar menjadi lebih berliku dan mengembung, epitel permukaan
tersusun seperti gigi, dengan stroma endometrium lebih edem dan arteri spiral lebih
terpilin lagi. Puncak sekresi terjadi 7 hari pascalonjakan gonadotropin bertepatan
dengan saat implantasi blastosis bila terjadi kehamilan. Pada fase ini kelenjar secara
aktif mengeluarkan glikoprotein dan peptide dalam kavum uteri/kavum
endometrium. Di dalam sekresi endometrium juga dijumpai transudasi plasma.
Imunoglobulin yang berada di peredaran darah dapat memasuki kavum uteri dalam
keadaan terikat oleh protein yang dihasilkan sel epitel. 4
Fase sekresi endometrium yang selaras dengan fase luteal ovarium
mempunyai durasi dengan variasi sempit. Durasi/panjang fase sekresi kurang lebih
tetap berkisar antara 12-14 hari. 4
11. 10
D. Jenis-Jenis Gangguan Haid
Jenis gangguan haid dapat dikategorikan sebagai berikut :4
1. Gangguan siklus haid (N=21-35hr): 4
a. Polimenore (sering) jika haid terjadi kurang 21 hari
b. Oligomenore (jarang) jika haid terjadi lebih dari 35 hari
c. Amenore (tidak haid) jika haid tidak terjadi selama 3 bln berturut – turut
IV.2. Gangguan jumlah darah haid (Normalnya darah haid = 40-80ml): 4
a. Hipermenore (banyak) jika darah haid lebih 80ml (> 5 pembalut/hari)
b. Hipomenore (sedikit) jika darah haid kurang dari 40ml (< 2 pembalut/hari)
IV.3. Gangguan lama haid (Normalnya lama haid 3 – 7 hari): 4
a. Menoragi (memanjang) jika lama haid lebih 7 hari
b. Brakimenore (memendek) jika lama haid kurang dari 3 hari
IV.4. Gangguan haid diluar siklus normal: 4
a. Metroragi
IV.5. Perdarahan bercak: 4
a. Premenstrual spotting
b. Postmenstrual spotting
IV.6. Perdarahan uterus disfungsional4
Adalah perdarahan abnormal dari uterus baik dalam jumlah, frekuensi
maupun lamanya, yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai wujud klinis
gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium,
endometrium tanpa kelainan organik alat reproduksi, seperti radang, tumor,
keganasan, kehamilan atau gangguan sistemik lain.
Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan
ovulasi, siklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya.
Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi
seperti table 1.
12. 11
Tabel 1. Latar belakang kelainaan perdarahan uterus disfungsional (PUD)
dan bentuk kelainannya.
Dasar kelainan Bentuk klinis
Ovulasi PUD ovulatorik
PUD anovulatorik
Siklus Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Amenorea
Jumlah perdarahan Menoragia
Perdarahan bercak prahaid
Perdarahan bercak paskahaid
Anemia PUD ringan
PUD sedang
PUD berat
Tiga kategori yang berhubungan dengan PUD yaitu estrogen breakthrogh
bleeding, estrogen wthdrawal bleeding dan progestin breakthrough bleeding.
Estrogen breakthrough bleeding timbul bila estrogen berlebihan
menstimulasi endometrium untuk berproliferasi. Dengan progesteron yang
kurang endometrium lepas dengan interval yang irreguler dan menyebabkan
vasokonstriksi tidak adekuat dan menyebabkan perdarahan. Bila kadar
estrogen tinggi maka perubahan yang terjadi berlangsung lama dan dalam
jumlah banyak.
Estrogen withdrawal bleeding disebabkan kadar estrogen yang tiba-tiba
rendah misal setelah ooforektomi bilateral, penghentian terapi estrogen
eksogen atau sebelum ovulasi pada siklus menstruasi yang normal. Hal ini
biasanya dapat sembuh dengan sendirinya dan cenderung tidak timbul bila
kadar estrogen tetap rendah. Perdarahan yang terjadi relatif sedikit.
Progestin breakthrough bleeding timbul bila rasio progesteron/estrogen
tinggi seperti pada pemberian kontrasepsi yang mengandung progesteron.
13. 12
Endometrium menjadi atrofi dan ulserasi oleh karena kekurangan estrogen
dan menyebabkan perdarahan irreguler.
IV.7. Gangguan lain berhubungan dengan haid : 4
a. Dismenore (nyeri bila haid)
b. Sindroma prahaid
E. Klasifikasi PUA
1. Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jenis pendarahan.1
a. Pendarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai pendarahan haid yang
banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk mencegah
kehilangan darah.1
b. Pendarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk
pendarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini
biasanya tidak memerlukan penanganan yang segera seperti perdarahan uterus
abnormal akut.1
c. Pendarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan pendarahan haid
yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Pendarahan dapat terjadi kapan saja
atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk
menggantikan terminologi metroragia.1
Gambar 3: Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jumlah
perdarahan.1
2. Klasifikasi Perdarahan Uterus Abnormmal Berdasarkan Penyebab :
14. 13
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO), terdapat sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan
akronim “PALM-COEIN” yakni; polip, adenomiosis, leiomioma,
malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenik dan not yet classified.4
Kelompok “PALM” merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai
dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi.
Kelompok COEIN merupakan kelainan non struktur yang tidak dapat dinilai
dengan teknik pencitraan atau histopatologi.4
Klasifikasi PUA berdasarkan FIGO.3
1) Polip (PUA-P)
Definisi: Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik
bertangkai maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan
kelenjar endometrium dan dilapisi oleh epitel endometrium. Biasanya terjadi
pada fundus dan dapat melekat dengan adanya tangkai yang ramping
(bertangkai) atau dasar yang lebar (tidak bertangkai). Kadang-kadang polip
prolaps melalui serviks.5,7
Gejala:
o Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula meyebabkan PUA,
15. 14
paling umum berupa perdarahan banyak dan di luar siklus atau perdarahan
bercak ringan pasca menopause.5,7
o Lesi umumnya jinak, namun sebagian atipik atau ganas.4
Diagnostik:
o Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi. 1
( Gambaran USG polip endometrium )
(gambaran histeroskopi polip endometrium)
16. 15
o Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma
endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh epitel
endometrium.1
Gambar Histopatologi polip endometrium
Terapi:
o Reksis secara Histeroskopi.
o Dilatasidankuretase
o kurethisap
o hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi
2) Adenomiosis (PUA-A)
Definisi: Dijumpainya jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik pada
lapisan miometrium.1
Gejala:
o Nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri
saat buang air besar, atau atau nyeri pelvik kronik.1
o Gejala nyeri tersebut di atas dapat disertai dengan perdarahan uterus
abnormal berupa perdarahan banyak yang terjadi dalam siklus.1,4
Diagnostik:
o Pemeriksaan Fisik:
Fundus uteri membesar secara difus.7
Adanya daerah adenomiosis yang melunak, dapat diamati tepat sebelum atau
selama permulaan menstruasi. 7
17. 16
o Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalam jaringan endometrium
pada hasil histopatologi. Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya
kelenjar dan stroma endometrium etopik pada jaringan miometrium.7
o Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan penelitian
MRI dan USG. Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG
cukup untuk mendiagnosis adenomiosis. Hasil USG menunjukkan jaringan
endometrium heteropik pada miometrium dan sebagian berhubungan dengan
adanya hipertrofi miometrium.4
Gambar Penebalan dinding uterus dan jaringan kelenjar endometrium pada
adenomiosis.
18. 17
Diagnosis banding
o Leiomioma submukosa.
o Hipertrofi uteri idiopatik.
o Karsinoma endometrium.7
Terapi:
o Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau
MRI
o Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan
o Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH +
add-back therapy atau LNG IUS selama 6 bulan
o Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternatif pada
pasien yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm)
o Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat
dilakukan. Histerektomi dilakukan pada kasus dengan gagal pengobatan.9
gambar alogaritma tatalaksana adenomiosis9
3) Leiomioma (PUA-L)
Definisi: pertumbuhan jinak otot polos uterus pada lapisan miometrium.1
Jenis berdasarkan lapisan uterus tempat tumbuhnya:
o Submukosa
19. 18
o Intramural
o Subserosa.
Gambar Subklasifikasi Leiomioma 3
Mioma submukosa dan subserosa ada yang bertangkai (pedunculated).
Mioma submukosa bertangkai seringkali sampai keluar melewati ostium uteri
eksternum yang disebut sebagai mioma lahir (myoom geburt).8
Gambar Jenis-jenis mioma berdasarkan lapisan tempat tumbuhnya di uterus
20. 19
Gejala:
o Perdarahan uterus abnormal berupa pemanjangan periode, ditandai oleh
perdarahan menstruasi yang banyak dan/atau menggumpal, dalam dan di
luar siklus.2,8,7
o Pembesaran rahim (bisa simetris ataupun berbenjol-benjol).7
o Seringkali membesar saat kehamilan.7
o Penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan pada dinding
abdomen.1,7
o Nyeri dan/atau tekanan di dalam atau sekitar daerah panggul.7
o Peningkatan frekuensi berkemih atau inkontinensia. 7
Diagnosis Banding:
o Kehamilan.
o Adenomiosis
o Karsinoma
o Karsinoma uteri7
Pemeriksaan Penunjang:
o Darah lengkap dan urine lengkap.
o Tes kehamilan.
o Dilatasi dan kuretase pada penderita yang disertai perdarahan untuk
menyingkirkan kemungkinan patologi lain pada rahim (hyperplasia atau
adenokarsinoma endometrium).
o USG. 7
Gambar Mioma subserosa: tampak gambaran massa hipoekhoik yang
menonjol ke luar dinding uterus.
21. 20
Gambar Mioma intramural: tampak gambaran massa hipoekhoik yang berada
di dalam dinding uterus.
Gambar Mioma submukosa: tampak gambaran massa hipoekhoik yang
menekan endometrial line.
22. 21
Terapi:
o Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG
o Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan
o Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila
pasien menginginkan kehamilan. Pilihan pertama untuk mioma uteri
submukosum berukuran < 4 cm
Mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1
o Mioma uteri submukosum derajat 2 Bila terdapat mioma uteri intra mural
atau subserosum dapat dilakukan penanganan sesuai PUA-E / O)
Pembedahan dilakukan bila respon pengobatan tidak adekuat
o Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan
untuk mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia Bila respon
pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan pembedahan. Embolisasi arteri
uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan.9
gambar alogaritma terapi Leiomioma uteri
23. 22
4) Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
Definisi: pertumbuhan hiperplastik atau pertumbuhan ganas dari
lapisan endometrium.
Gejala: perdarahan uterus abnormal.
Diagnostik:
o Meskipun jarang ditemukan, namun hyperplasia atipik dan keganasan
merupakan penyebab penting PUA.
o Klasifikasi keganasan dari hiperplasia menggunakan system klasifikasi
FIGO dan WHO.
o Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi.
Terapi :
o Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian
histopatologi
o Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan
o Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi
merupakan pilihan
o Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan
pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan
o Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir
bulan ke-6 pengobatan.9
24. 23
gambar alogaritma terapi Malignancy and Hyperplasia
5. Coagulopathy (PUA-C)
Definisi: gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan
uterus.
Gejala: perdarahan uterus abnormal
Diagnostik:
o Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostatik sistemik
yang terkait dengan PUA.
o 13% perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von
Willebrand
25. 24
Perdarahan uterus abnormal – koagulasi.3
Terapi:
o Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik
yang terkait dengan PUA
o Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini
o Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogen-
progestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi
o Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat
diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur
pasien (Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada
penyakit von Willebrand. 9
26. 25
gambar alogaritma terapi Coagulopaty9
2) Ovulatory Disfunction (PUA-O)
Definisi: kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus.
Gejala: perdarahan uterus abnormal.
Diagnostik:
o Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan
manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang
bervariasi.
o Dahulu termasuk dalam criteria perdarahan uterus disfungsional (PUD).
o Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga
perdarahan haid banyak.
o Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik
(SOPK), hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan,
anoreksia, atau olahraga berat yang berlebihan.
Terapi:
Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
klinik perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada
keadaan oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan
oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi
27. 26
Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan
endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan
pengambilan sampel endometrium
Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan
penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak.
Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata
laksana infertilitas
Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal
dengan menilai ada atau tidaknya kontra indikasi terhadap PKK
Bila tidak dijumpai kontra indikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan
Bila dijumpai kontra indikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat
progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3
bulan siklus
Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan
Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau distop
sesuai keinginan pasien
Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis
tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis
maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping
seperti sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau
SIS untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri. Pertimbangkan tindakan kuretase untuk menyingkirkan
keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa gagal, dapat
dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan histeroskopi atau
histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada perdarahan uterus yang
banyak dapat ditawarkan setelah memberikan informed consent yang jelas
pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10 minggu tindakan ablasi
endometrium merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan
histerektomi.9
28. 27
gambar alogaritma terapi Ovulatory Dysfunction9
3) Endometrial (PUA-E)
Definisi: Gangguan hemostatis local endometrium yang memiliki kaitan
erat dengan terjadinya perdarahan uterus.
Gejala: perdarahan uterus abnormal.
Diagnostik:
o Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid teratur.
o Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostatis local
endometrium.
o Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti
29. 28
endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta peningkatan aktivitas fibrinolisis.
o Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengaha atau perdarahan yang
berlanjut akibat gangguan hemostatis local endometrium.
o Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada
siklus haid yang berovulasi.
Terapi
o Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid yang teratur
o Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda
hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan USG transvaginal atau SIS terutama dapat dilakukan untuk
menilai kavum uteri
o Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan
ke D
o Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan
pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia
o Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi
o Jika respons pengobatan tidak adekuat, lanjutkan ke G
o Nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK
o PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan
pertumbuhan endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya
pada hari pertama siklus menstruasi
o Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan
preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat.
Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan LNG-
IUS
o Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan
penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri
o Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma
submukosum segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan
histeroskopi.
30. 29
o Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm,
lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan
hiperplasia.
o Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi
dengan progestin, LNG IUS, GnRHa atau histerektomi
o Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS menunjukkan hasil normal atau
terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka
dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya
o Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan
ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus
haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb9
31. 30
gambar alogaritma terapi endometrial.9
4) Iatrogenik (PUA-I)
Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis
seperti penggunaan estrogen, progesterin, atau AKDR.
Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau
progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough
bleeding (BTB).
32. 31
Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam
sirkulasi yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut:
o Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi’
o Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin
o Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan
ke dalam klasifikasi PUA-C.
Terapi
o Perdarahan karena efek samping PKK
a. Penanganan efek samping PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-E
b. Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama atau setelah 3 bulan penggunaan PKK
c. Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan PKK
dilanjutkan dengan mencatat siklus haid
d. Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3 bulan
lanjutkan ke E
e. Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila positif
berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien minum
PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis estrogen. Jika
usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi endometrium
f. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi
untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi
g. Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK,
lanjutkan ke E
h. Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke I
i. Singkirkan kehamilan
j. Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama
33. 32
o Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin
a. Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak, lanjutkan ke B
b. Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa
c. Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke D
d. Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan
endometrium, lanjutkan ke E, jika tidak lanjutkan ke F
e. Biopsi endometrium
f. Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke G. Jika
tidak lanjutkan ke I
34. 33
g. Berikan 3 alternatif sebagai berikut:
- Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama
- Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi)
- Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA)
h. Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan, lanjutkan ke I
o Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR
a. Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke B
35. 34
b. Berikan doksisiklin 2x100 mg sehari selama 10 hari karena perdarahan
pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak ada
perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR
c. Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan
pertama, lanjutkan ke D. Jika tidak, lanjutkan ke E
d. Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika
setelah 6 bulan perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati, lanjutkan
ke E
e. Berikan PKK untuk 1 siklus
f. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg / hari selama 7 hari)
yang dapat diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali.
Pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain.
g. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan pengangkatan AKDR. Bila
usia pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium9
36. 35
9. Not yet classified (PUA-N)
Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan
dalam klasifikasi.
Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik
atau malformasi arteri-vena.
Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan PUA.
37. 36
F. Diagnosis Perdarahan Uterus Abnormal
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya faktor risiko .
Perlu ditanyakan bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului siklus
yang pendek atau oleh oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak
atau sedikit-sedikit, sakit atau tidak), lama perdarahan, dan kelainan tiroid,
penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta riwayat kelainan
hemostasis pada pasien dan keluarganya. Perlu ditanyakan siklus haid
sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal.1
Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-
rata meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu
dilakukan pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von Willebrand. 1
Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat
kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi.1
Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan
hemostasis dengan sensitivitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif. 1
38. 37
Tabel Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena
kelainan hemostatis
Tabel Diagnosis banding PUA
G. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik.
Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan.
Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis),
purpura dan ekimosis wajib diperiksa.1
H. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan
pap smear.
Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip,
hiperplasia endometrium atau keganasan.1
Penilaian Ovulasi
Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.
Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.
39. 38
Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron
serum fase luteal atau USG transvaginal bila diperlukan. 1
I. Penilaian Endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua
pasien PUA. Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
o Perempuan umur > 45 tahun
o Terdapat faktor risiko genetik
USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks
yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker
endometrium
Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara
Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur
saat diagnosis antara 48-50 tahun
Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan
uterus abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan). 1
J. Penilaian Kavum Uteri
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri submukosum.
USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan
pada pemeriksaan awal PUA.
Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum
disarankan untuk melakukan Saline Infusion Sonography (SIS) atau
histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah
diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan.1
K. Penilaian Miometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau
adenomiosis.
Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan
40. 39
abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI.
Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul
dibandingkan USG transvaginal. 1
L. Langkah diagnostik perdarahan uterus disfungsional
a. Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang
terjadi dalam frekuensi,jumlah dan lama perdarahan menstruasi.
Perdarahan uterus abnormal meliputi PUD dan perdarahan lain yang
disebabkan oleh kelainan organik.
b. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk
menyingkirkan diagnosis diferensial perdarahan uterus abnormal.
c. Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang
harus disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat
disebabkan oleh Panduan Tata Laksana Perdarahan Uterus Disfungsional
abortus, kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas gestasional.
41. 40
d. Penyebab iatrogenik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus
abnormal antara lain penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan,
sitostatika, hormonal,anti psikotik, dan suplemen.
e. Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenik disingkirkan langkah
selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi
fungsi tiroid,fungsi hemostasis, dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormon tiroid
dan fungsi hemostasis perlu dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik didapatkan gejala dan tanda yang mendukung (rekomendasi C). Bila
terdapat galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap hormon
prolaktin untuk menyingkirkan kejadian hiperprolaktinemia.
f. Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran
reproduksi. Perlu ditanyakan adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear
yang abnormal atau riwayat operasi ginekologi sebelumnya. Kelainan pada
saluran reproduksi yang harus dipikirkan adalah servisitis, endometritis, polip,
mioma uteri, adenomiosis, keganasan serviks dan uterus serta hiperplasia
endometrium.
g. Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka
gangguan haid yang terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus
disfungsional (PUD).
h. Bila terdapat kelainan pada saluran reproduksi dilakukan pemeriksaan dan
penanganan Pada kelainan displasia serviks perlu dilakukan pemeriksaan
kolposkopi untuk menentukan tata laksana lebih lanjut.
i. Bila dijumpai polip endoserviks dapat dilakukan polipektomi.
j. Bila dijumpai massa di uterus dan adneksa perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut dengan USG transvaginal atau saline infusion sonography (SIS).
Ultrasonografi transvaginal merupakan lini pertama untuk mendeteksi
kelainan pada kavum uteri (rekomendasi A). Sedangkan tindakan SIS
diperlukan bila penilaian dengan USG transvaginal belum jelas
42. 41
k. Bila dijumpai massa di saluran reproduksi maka dilanjutkan dengan tata
laksana operatif.
l. Diagnosis infeksi ditegakkan bila pada pemeriksaan bimanual uterus
teraba kaku dan nyeri. Pada kondisi ini dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria. Pengobatan yang direkomendasikan
adalah doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari
Gambar Pemeriksaan fisik untuk untuk menyingkirkan kelainan
yang dapat menyebabkan PUA1
44. 43
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
Penunjang
Primer sekunder tertier
Laboratorium Hb
Tes
kehamilan
urin
Darah
lengkap
Hemostasis
(BTCT,
lainnya
sesuai
fasilitas)
Prolaktin
Tiroid (TSH,
FT4)
DHEAS,
Testosteron
Hemostasis
(PT, aPTT,
fibrinogen,
D-dimer)
USG USG
transabdomin
al USG
transvaginal
SIS
USG
transabdomin
al USG
transvaginal
SIS
Doppler
Penilaian
Endometrium
Mikrok
uret
D&K
Mikrokuret /
D&K
Histeroskopi
Endometrial
45. 44
6. Penatalaksanaan
A. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal
NON-HORMONAL
(A). Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin
menjadi fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi
sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang
memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian
trombosis. Perdarahan menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol
spiral endometrium, maka pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai
mekanisme penurunan jumlah darah mens. Efek samping : gangguan pencernaan,
diare dan sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang berat adalah 1g
(2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.
(B). Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan
menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin
mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon inflamasi, jalur
nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah
haid hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari
sampling
(hysteroscopy
guided)
Penilaian
serviks (bila ada
patologi
IVA Pap
smear
Pap smear
Kolposkopi
46. 45
pertama atau sebelumnya hingga hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek
samping : gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang
sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis.
Fibrin
Plasminogen
Plasmin
FDPs
Asam
Traneksamat
(A)
Diasil gliserol atau Fosfolipid
Fosfolipase A2 Fosfolipase C2
Asam arakidonat
Prostaglandin H2
Siklooksigenase
PGD2 PGE2 PGF2 PGI2 TXA2
OAINS (B)
47. 46
HORMONAL
(A). Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan
yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48
jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat
anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6 jam
sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas, kemungkinan
aktivitasnya tidak terkait langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja untuk
memicu vasospasme pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar
fibrinogen, faktor IV, faktor X , proses agregasi trombosit dan permeabilitas
pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor progesteron akan meningkat sehingga
diharapkan pengobatan selanjutnya dengan menggunakan progestin akan lebih
baik. Efek samping berupa gejala akibat efek estrogen yang berlebihan seperti
perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.
(B). PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut
adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari,
dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3
minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila
pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat
diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat
perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual,
retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan serangan jantung.
(C). Progesstin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta
akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel
48. 47
endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek
biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian
penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik yang
mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara
siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop
selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin, maka
dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi
sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14.
Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi apabila terdapat kontra-indikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan
pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark
miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning
akibat kolestasis, kanker hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain
MPA 1 x 10 mg, noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5
mg atau nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin
dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan
untuk 14 hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-
ganti. Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya
untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu :
- pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari
- Pemberian DMPA setiap 12 minggu
- Penggunaan LNG IUS
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara
tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi
(D). Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil
testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan
produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor
49. 48
estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg
atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual
hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah menstruasi kurang lebih 50%
bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif dibanding dengan
AINS atau progestogen oral. Dengan dosis lebih dari 400mg per hari dapat
menyebabkan amenorea. Efek sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni:
peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.
(E). Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca
reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon
gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan
kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi amenorea.
Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg intra muskular setiap 4 minggu, namun
pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan
demineralisasi tulang. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat
diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy).
Efek samping biasanya muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni: keluhan-
keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang bertambah,
kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila
penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).
51. 50
Daftar obat yang dapat digunakan untuk terapi PUD
No Nama Generik Dosis
Nama
Dagang
Anti fibrinolitik
1 Asam traneksamat 500 mg / tab
Anti prostaglandin
2 Asam mefenamat 500 mg / tab
Estrogen alamiah
1. 17-β Estradiol 1 & 2 mg / tab
2.
Estrogen ekuin
konjugasi
0,625 mg / tab
Progestin sintetik
1. Nomegestrol asetat 5 mg / tab Lutenyl
2.
Medroksiprogesteron
asetat
10 mg / tab
3. Norethisteron 5 mg
4. Didrogesteron 10 mg
5
Depomedroksi
progesteron asetat
150 mg / vial
Pil kontrasepsi kombinasi
1.
Etinil estradiol
Levonogestrel
30 mcg
150 mcg
2.
Etinil estradiol
Siproteron asetat
30 mcg
2 mg
3.
Etinil estradiol
Drospirenone
30 mcg
3 mg
4.
Etinil estradiol
Drospirenone
20 mcg
3 mg
“Progestin releasing IUS”
52. 51
1 Levonorgestrel IUS
20 cg /
hari
B. Perdarahan uterus abnormal akut
1. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik
dan atau Hb < 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap.
2. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan.
3. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan
transfusi darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik.
4. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin konyugasi (EEK) 2.5 mg per oral
setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg peroral atau injeksi IM setiap
4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3 x 1 gram atau anti
inflamasi non-steroid 3 x 500 mg diberikan bersama EEK. Untuk pasien
dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no. 10 ke dalam uterus dan
diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam.
5. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi dan
kuretase (D&K).
6. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral
kombinasi (KOK) 4 kali 1 tablet perhari (4 hari), 3 kali 1 tablet perhari (3
hari), 2 kali 1 tablet perhari (2 hari) dan 1 kali 1 tablet sehari (3 minggu),
kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu dengan jeda 1
minggu sebanyak 3 siklus atau Levonorgestrel Intrauterine System (LNG-
IUS).
7. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat
(MPA) 10 mg perhari (7 hari), siklik, selama 3 bulan.
8. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya, injeksi gonadotropin-
releasing hormone (GnRH) agonis dapat diberikan bersamaan dengan
pemberian KOK untuk stop perdarahan. GnRH diberikan 2-3 siklus dengan
interval 4 minggu.
9. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari
penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal
53. 52
(TV)/transrektal (TR), periksa darah perifer lengkap (DPL), hitung
trombosit, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time
(aPTT) dan thyroid stimulating hormone (TSH). Saline-infused
sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang terlihat
tebal, untuk melihat adanya polip endometrium atau mioma submukosum.
Jika perlu dapat dilakukan pemeriksaan histeroskopi “office”.
10. Jika terapi medikamentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka
dapat dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium,
miomektomi, polipektomi, histerektomi.1
Tabel Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Akut dan
Banyak
54. 53
C. Perdarahan uterus abnormal kronik
Jika dari anamnesis yang terstruktur ditemukan bahwa pasien
mengalami satu atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat
diramalkan dalam 3 bulan terakhir.
Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah
perifer lengkap wajib dilakukan.
Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut.
Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat
memicu PUA dan lakukan pula pemeriksaan penyakit koagulopati
bawaan jika terdapat indikasi.
Pastikan apakah pasien masih menginginkan keturunan.
Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan
penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan
pasien untuk memiliki keturunan dapat menentukan penanganan
selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah perifer
lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid,
prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis. 1
55. 54
Tabel Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Kronik
M. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi adalah infertilitas akibat tidak adanya ovulasi.
Anemia berat akibat perdarahan yang berlebihan dan lama. Pertumbuhan
endometrium yang berlebihan akibat ketidakseimbangan hormonal merupakan
faktor penyebab kanker endometrium.7
N. Prognosis
Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah
diprediksi. Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia
Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan
penanganan dengan hormon cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi).
56. 55
Tindakan terakhir melalui histerektomi, meskipun dapat mengatasi perdarahan
uterus abnormal namun mempunyai resiko dan komplikasi yang lebih besar.7,8
57. 56
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan uterus abnormal (PUA) meliputi semua kelainan haid baik
dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa
perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau
heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang
disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostatis lokal endometrium dan
gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam
perdarahan uterus disfungsional (PUD).
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO), terdapat sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan
akronim “PALM-COEIN” yakni; polip, adenomiosis, leiomioma,
malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenik dan not yet classified.
Kelompok “PALM” merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai
dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi.
Kelompok COEIN merupakan kelainan non struktur yang tidak dapat dinilai
dengan teknik pencitraan atau histopatologi. Penatalaksanaan dan diagnosis
tergantung dari masing masing klasifikasi tersebut. Tetapi ada penatalaksanaan
secara umum untuk mengatasi perdarahan dibagi atas penatalaksanaan uterus
abnormal akut dan kronik.
58. 57
DAFTAR PUSTAKA
1. Simanjuntak Pandapotan. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam :
Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan.
Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2005 : pp.
223-228
2. Badziad, A. Hestiantoro, A. Wiweko, B. Sumapradja, K. Panduan Tatalaksana
Perdarahan Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan
Fertilitas Indonesia dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Aceh,
2011.
3. Munro, Malcolm ; Hilary O.D. Critchley, Michael S Broder, Ian S Fraser.
FIGO Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine
Bleeding in Nongravid Women of Reproductive Age. American Society for
Reproductive Medicine. June, 2011
4. Quereshi F, Yusuf A. Distribution of causes of abnormal uterine bleeding using
the new FIGO classification system p1-3
5. Callahan, TL and Caughey, AB. Obstetric and Gynecology 5th
ed. Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia, 2009.
6. Benson, RC dan Pernoll, ML. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi Edisi 9.
McGraw-Hill Education Asia dan Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
1994.
7. Achadiat, CM. Prosedur Tepat Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 2003.
8. Karkata Kornia Made, et al, Perdarahan Uterus Disfungsional, dalam :
Pedoman Diagnosis-Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien, 2003 : pp 68 –
71
9. HIFERI POGI .Konsensus Perdarahan Uterus Abnormal 2011. Jakarta
Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia