Berdasarkan dokumen tersebut:
1. Laknat Allah berarti dijauhkan dari rahmat-Nya, salah satu manifestasinya adalah hati yang mengeras bahkan berpotensi membunuh orang lain termasuk ulama.
2. Tidak ada pengecualian dalam kasus suap menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani dan Imam Syaukani, baik besar atau kecil keduanya dilarang.
3. Hadis tentang Rasulullah memberi orang yang
2. • “Pengertian laknat, mungkin sedikit saya jelaskan, yang disebut laknat itu adalah dijauhkan dari rahmat Allah,” ucapnya sembari menukil hadits,
bahwa Allah SWT hanya menurunkan satu kepada seluruh makhluk di dunia, di antara 100 rahmat, yang 99 ditahan dan akan diberikan kepada
penghuni surga.
• Maka, kata Shiddiq, salah satu wujud seseorang yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya, hatinya mengeras. Bahkan ketika menjadi penguasa, akan
sangat berpotensi tega membunuh rakyatnya sendiri.
• Apalagi yang dibunuh adalah ulama atau aktivis dakwah Islam. “Itu pemimpin yang terkutuk, pemimpin yang terlaknat. Dia dijauhkan oleh Allah
dari rasa kasih sayang. Rasa belas kasih kepada sesama orang Islam dicabut,” urainya.
• Sementara, bentuk rahmat yang ia maksud, telah dijelaskan di dalam hadits Nabi SAW yang mengatakan, termasuk seekor induk kuda yang
seakan berhati-hati ketika melangkah ketika di sampingnya terdapat anak kuda dimaksud.
• Begitu juga ketika diterangkan di dalam sebuah hadits lainnya, ada seorang laki-laki yang memiliki lima anak dan tidak pernah diciumnya. Ketika
melihat Rasulullah mencium Hasan dan Husein, laki-laki itu heran dan bertanya mengapa beliau mencium kedua cucunya. “Rasul mengatakan
itulah rahmat Allah yang diberikan kepada aku,” jelas Shiddiq.
• Sehingga terkait laknat Allah SWT atas penyuap dan yang disuap, Rasulullah SAW juga melaknat keduanya. Bahkan dijelaskan dalam sebuah
hadits riwayat Imam Ahmad dari Sahabat Tsauban yang mengatakan, tidak hanya keduanya, tetapi yang menjadi perantara di antaranya pun
dilaknat.
• “Mereka yang menjadi perantara, jangan mengatakan, loh saya enggak berdosa karena saya hanya mengantarkan amplop dari pejabat a kepada
si b atau dari b kepada c, saya enggak mengambil apa-apa dan enggak mau dapat duit, itu tidak bisa (haram),” ucapnya memisalkan.
3. Tidak ada Pengecualian
• “Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani dan juga menurut Imam Syaukani itu sama, bahwa
yang namanya suap itu tidak ada perkecualian. semua bentuk suap itu haram baik besar
atau kecil, baik yang menyuap maupun yang disuap itu sama-sama berdosa,” terangnya.
• Kalaupun ada sebagian ulama yang membolehkan suap sebagai pengecualian karena
sekadar untuk mendapatkan hak sebagaimana ketika Rasulullah memberikan harta
kepada salah seorang yang terus meminta, kata Shiddiq itu sebenarnya tidak dalam
konteks suap.
• Hadits dimaksud adalah, “Sesungguhnya salah seorang dari mereka ada yang meminta-
minta harta kepadaku, kemudian aku memberinya. Lalu dia keluar dengan mengapit harta
itu di bawah ketiaknya, padahal harta itu tidak lain akan menjadi api neraka baginya” (HR
Ahmad).
4. • “Nabi mengatakan, sesungguhnya mereka tidak menginginkan kecuali meminta kepadaku.
Sedangkan Allah tidak menginginkan aku bersifat bakhil,” jelas Shiddiq mengutip hadits
riwayat Imam Ahmad nomor 10.739 yang merupakan jawaban ketika ditanya Umar perihal
Rasulullah yang tetap memberi mereka.
• Hal tidak ada pengecualian yang demikian, lanjut Shiddiq, dipertegas dengan
kaidah ushuliyah atau kaidah dalam ilmu ushul fiqih yang dirumuskan Imam Taqiyuddin an-
Nabhani dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah, juz 3 halaman 242, yang berbunyi,
• ‘Keumuman lafal, suatu ayat atau hadits dalam sebab yang khusus, itu adalah umum tapi
umum dalam topiknya.’
• Apalagi di dalam faktanya, posisi sosial dari peminta ketika itu tidak lebih tinggi daripada
Rasulullah SAW. “Tidak bisa topik tentang meminta-minta ini dibawa kepada topik suap-
menyuap,” tandasnya.
5. • Sementara, dalil berikutnya yang dijadikan sandaran pengecualian suap adalah
pendapat atau ijtihad Ibnu Mas’ud, seorang tabiin yang memang menurut Shiddiq,
tidak bisa dijadikan sumber hukum selain Al-Qu’ran, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas.
• “Ketika Ibnu Mas’ud itu datang ke negeri Habasyah, dia membawa sesuatu. Lalu dia
itu ditahan karena sesuatu itu. Tetapi ada orang-orang yang menahan dia. Lalu Ibnu
Mas’ud memberikan uang 2 dinar sehingga beliau dibebaskan,” demikian
keterangan di dalam Sunan al-Kubra juz 10 halaman 139.
• “Ini bukan dalil syar’i yang kuat, bukan sumber hukum yang kuat atau yang
muktabar istilah bahasa Arabnya,” tegas Shiddiq.