Susunan pengurus Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) periode 2016-2018 terdiri dari Sekretaris Jendral, Board of Director, Pimpinan Umum, Sekretaris, Bendahara, Penyunting Ahli, Redaksi, Public Relation, dan Tata Letak dan Layout.
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
Bimabi vol-4-no-1
1.
2. SUSUNAN PENGURUS
Pelindung
Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa
Kebidanan Indonesia (IKAMABI)
Rizqotul Maghfiroh Rojuli
Universitas Airlangga
Board of Director
Winda Rinawan, S.Keb
Universitas Brawijaya
Pimpinan Umum
Bintang Dwita Dewantari
Universitas Airlangga
Sekretaris
Atika Nadia
Universitas Airlangga
Bendahara
Romadhinniar Febriana
Universitas Airlangga
Penyunting Ahli
Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd. M.Kes
Universitas Airlangga
Dwi Iz’zati, S.Keb., Bd. M. Sc
Universitas Airlangga
Yulizawati, SST, M.Keb
Universitas Andalas
Yuseva Sariati, SE, SST, M.Keb
Universitas Brawijaya
Redaksi
Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga
Zulfa Navila F.S.J Universitas Airlangga
Fajar Dwi P. Universitas Airlangga
Resti Zulhaijah Universitas Airlangga
Dian Rahma U.S Universitas Brawijaya
Public Relation
Puput Maulidah Universitas Brawijaya
Erni Rosita Dewi Universitas Airlangga
Siwi Arum Sari W. Poltekes Kemenkes Semarang
Yuniarti Arsitasari Universitas Negeri Sebelas Maret
Tata Letak dan Layout
Zukhaila Salma Universitas Airlangga
Wanda MardhotillahUniversitas Gajah Mada
Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya
Rizka Sriyouni Universitas Andalas
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
i
3. DAFTAR ISI ISSN : 2442 — 9171
Susunan Pengurus......................................................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................................................................ ii
Petunjuk Penulisan....................................................................................................................................... iv
Sambutan Pimpinan Umum...................................................................................................................... x
PENELITIAN
Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri Haid Di Asrama Mu’alimat
Surakarta
Miladiyah Rahmawati, Mujahidatul Musfiroh, Sri Anggarini P
....................................................................................................................................................................................................... 1
Hubungan Umur dengan Penilaian Cadangan Ovarium pada Pasien Infertil
Rita Defiyenti, Ashon Sa’adi K., Kasiati, Atika
....................................................................................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Partus Prematurus Imminens pada Usia Kehamilan Setelah 34 Minggu
Wafda Ardhian Latansyadiena
....................................................................................................................................................................................................... 12
PENYEGAR
Peran Suami dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Antenatal Care
Dewa Ayu Mirah Indrayani, Nofi Nurul Fadilla
....................................................................................................................................................................................................... 20
Percepatan Afirmasi Positif dalam Gelombang Alfa dengan Musik Relaksasi Guna Men-
stimulasi Hormon Oksitosin dalam Proses Pengeluaran ASI
Fanisa Mutiara Apriliani, Tesha Rosyida N.A.
....................................................................................................................................................................................................... 26
SMS BUNDA : Selamatkan Generasi Bangsa Sejak Awal Kehidupan
Yuni Irawati, Lulu Latifah
....................................................................................................................................................................................................... 28
ii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
4. LAPORAN KASUS
Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin dengan Preeklampsia Berat, Ketuban Pecah Preterm,
Anemia, dan Haemorrhage Post Partum Et Causa Atonia Uteri
Farida Fitriana, Ivon Diah Wittiarika, Lilik Hidayati
....................................................................................................................................................................................................... 31
DAFTAR ISI ISSN : 2442 — 9171
iii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
5. PETUNJUK PENULISAN
Pedoman Penulisan Artikel
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi)
Indonesian Midwifery Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang mengguna-
kan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh
peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima artikel penelitian asli yang ber-
hubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedok-
teran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan pla-
giat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan.
Petunjuk Bagi Penulis :
1. BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Mi-
crosoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah
menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi
(1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman
judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka.
3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimabi@bimkes.org dan bimabi_ikamabi@yahoo.com
dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai
berikut:
a. Judul
b. Nama penulis dan lembaga pengarang
c. Abstrak
d. Naskah (Text), yang terdiri atas:
Pendahuluan
Metode
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan
Saran
e. Daftar Rujukan
5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti
sistematika sebagai berikut :
iv
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
6. a. Judul
b. Nama penulis dan lembaga pengarang
c. Abstrak
d. Naskah (Text), yang terdiri atas:
Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
Pembahasan
Kesimpulan
Saran
e. Daftar Rujukan
6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengi-
kuti sistematika sebagai berikut:
a. Pendahuluan
b. Isi
c. Kesimpulan (Penutup)
7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai
berikut:
a. Judul
b. Nama penulis dan lembaga pengarang
c. Abstrak
d. Naskah (Text), yang terdiri atas:
Pendahuluan
Laporan kasus
Pembahasan
Kesimpulan
e. Daftar Rujukan
8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font
Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak
digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali
singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan
menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan title-
case, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.
9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-
kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari
pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari
terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis leng-
kap dengan nomor telepon dan email.
10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari
250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak.
Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan).
v
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
7. 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda
yang ditulis dari umum ke khusus.
12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic).
13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan.
14. Ucapan terima kasih
15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai
dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dili-
hat sebagai berikut:
Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :
Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan
nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran
dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku
[…]
Contoh penulisan sitasi :
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang
(invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini
adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1]
Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan
dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun
terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk
dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah
tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga
mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin
yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah
sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional
cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah,
menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2]
A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Penulis Tunggal
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.
Dengan dua atau tiga orang penulis
Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic).
Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday,
vi
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
8. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope,
the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.
Lebih dari tiga penulis
Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.
Editor sebagai penulis
Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.
Penulis dan editor
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun
terbit.
Contoh:
Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956.
Penulis berupa tim atau lembaga
Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.:
Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.
Karya multi jilid/buku berseri
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun ter-
bit.
Contoh:
Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.
Terjemahan
Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tem-
pat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun ter-
bit buku yang diterjemah.
Contoh:
Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London:
Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du
vii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
9. savoir, 1969.
Artikel atau bab dalam buku
Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tem-
pat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku.
Contoh:
Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical
Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78.
Brosur, pamflet dan sejenisnya
Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.
2. SERIAL
Artikel jurnal dengan volume dan edisi
Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): hala-
man
Contoh:
Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.”
Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.
3. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Buku Online
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan
tahun akses <link online buku>
Contoh:
Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://
www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.
Artikel jurnal online
Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan
tahun akses jurnal <link online jurnal>
Contoh:
Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.”
Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/
calax.htm>
Artikel di website
viii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
10. “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link
online artikel>
Contoh:
“Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue
University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/
r_mla.html>.
Publikasi lembaga
Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya.
Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>
Contoh:
United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National
Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29
June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.
ix
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
11. SAMBUTAN PIMPINAN UMUM
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami
dapat menerbitkan BIMABI Volume 4 nomor 1. Pada kesempatan ini juga
saya ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim penerbit, penulis,
dan mitra bebestari serta seluruh mahasiswa kebidanan di Indonesia yang
telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI di awal tahun 2016.
Selain itu saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia
(AIPKIND) serta Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia
(IKAMABI) yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam
menyelesaikan beberapa hambatan selama proses pembuatan jurnal.
Saya berharap dengan diterbitkannya BIMABI Volume 4 nomor 1 ini,
bisa meningkatkan minat menulis dan publikasi artikel ilmiah mahasiswa
kebidanan di Indonesia. Besar harapan saya pula BIMABI bisa berkontribusi
untuk kemajuan keilmuan kebidanan di Indonesia.
Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat ke-
kurangan pada BIMABI volume 4 nomor 1 ini. Semoga apa yang telah
dilakukan bisa bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh
Surabaya, 17 Januari 2016
Bintang Dwita Dewantari
(Pimpinan Umum)
x
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
12. Penelitian PENGARUH SENAM ANTI NYERI HAID
TERHADAP INTENSITAS NYERI HAID DI
ASRAMA MU’ALIMAT SURAKARTA
Miladiyah Rahmawati1
, Mujahidatul Musfiroh1
, Sri Anggarini
P2
1
Program Pendidikan DIV Bidan Pendidik, Fakultas Kedok-
teran UNS
2
Program Pendidikan DIII Kebidanan Fakultas Kedokteran
UNS
ABSTRAK
Pendahuluan : Nyeri haid merupakan rasa sakit yang menyertai haid sehingga menim-
bulkan gangguan aktivitas sehari-hari. Salah satu pencegahannya dengan melakukan
senam anti nyeri haid secara teratur. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh
senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta.
Metode : Desain praeksperimen dengan rancangan one group pretest posttest. Teknik
sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling dengan jumlah 37 respon-
den yang diberikan intervensi senam anti nyeri haid dan dilakukan antara 2 siklus haid.
Uji analisis menggunakan uji Wilcoxon dengan program SPSS versi 18 for windows.
Hasil : Seluruh responden mengalami penurunan intensitas nyeri haid dengan 91,9%
tidak nyeri dan 8,1% mengalami nyeri ringan dan nilai signifikansi p sebesar 0,000.
Kesimpulan : Ada pengaruh senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid pada
siswi di Asrama Mu’alimat Surakarta.
Kata kunci : Senam Anti Nyeri Haid, Nyeri Haid
ABSTRACT
Introduction. Menstrual pain is sickness that accompanies menstruation which can
cause disruption in work or daily activity. Prevention can be done by doing anti men-
strual pain gymnastics regularly. The objective of this study is to determine the effective-
ness of anti-menstrual pain gymnastics to menstrual pain intensity in Mu’alimat Dormi-
tory Surakarta.
Methods. Pre-experiment design in this study was one group pretest posttest design.
Sampling technique used purposive sampling technique,done by 37 respondents whom
given anti menstrual pain gymnastics intervention and carried out between 2 menstrual
cycles. Technique of Analyzing Data was using Wilcoxon test in SPSS version 18 for
Windows software.
Result. All respondents experienced the decrease in the intensity of painful
menstruation with 91,9 % did not pain and 8.1 % had been mild pain and p value
significance of 0.000.
Conclusion. There is an effectiveness of anti-menstrual pain gymnastics on menstrual
pain intensity of female students in Mu’alimat Dormitory Surakarta.
Keywords : Anti Menstrual Pain Gymnastics, Menstrual Pain
1. PENDAHULUAN
Nyeri haid yang dialami sebagian
besar wanita di Indonesia timbul akibat
kontraksi distrimik miometrium yang
menampilkan satu gejala atau lebih, mulai
dari nyeri ringan sampai berat di perut
bagianbawah, bokong dan nyeri spas-
modik di sisi medial paha [1]
.
1
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
13. Nyeri haid dibagi menjadi dua
bagian, yaitu nyeri haid primer dan nyeri
haid sekunder[2]
. Nyeri haid juga memer-
lukan penanganan seperti halnya dengan
rasa nyeri yang lain, sehingga aktivitas
sehari-hari tetap dilanjutkan. Cara men-
gantisipasi nyeri haid yang dapat dilakukan
salah satunya adalah olahraga teratur[1]
.
Olahraga secara teratur bermanfaat
untuk membantu mengurangi nyeri haid
karena akan memicu keluarnya hormon
endorfin yang dinilai sebagai pembunuh
alamiah untuk rasa nyeri. Hormon endorfin
adalah zat yang dihasilkan oleh otak yang
akan mengirimkan sinyal-sinyal ke sistem
saraf. Hormon endorfin berfungsi sebagai
obat penenang alami, sehingga menimbul-
kan rasa nyaman. Kadar endorfin ini dapat
ditingkatkan dengan aktivitas olahraga
[3,4,5]
.
Olahraga yang dapat dilakukan salah
satunya adalah senam. Senam anti nyeri
haid merupakan gerakan senam dilakukan
sebelum haid untuk membebaskan rasa
nyeri saat haid. Gerakan ini sangat seder-
hana, terdiri atas gerakan pelemasan dan
peregangan otot. Gerakan senam ini bu-
kanlah aerobik, sehingga dapat dilakukan
sendiri di rumah[6]
.
Berdasarkan studi pendahuluan
yang telah dilakukan pada siswi Asrama
Mu’alimat Surakarta diperoleh hasil dari 10
responden, 5 responden mengalami nyeri
ringan, 4 responden mengalami nyeri se-
dang dan 1 responden mengalami nyeri
berat. Upaya penanganan nyeri haid yang
dilakukan oleh sebagian siswi masih seba-
tas penanganan yang terbatas yaitu den-
gan membiarkannya, mengoleskan min-
yak kayu putih atau balsem pada
daerah yang nyeri, dan tiduran.
Berdasarkan hal tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti “Pengaruh Senam
Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri
Haid di Asrama Mu’alimat Surakarta”.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah pra
eksperimen dengan one-group pretest
posttest design. Penelitian dilakukan di
Asrama Mu’alimat Surakarta dari bulan
Desember 2014 sampai Juli 2015.
Objek penelitian yaitu siswi Asrama
Mu’alimat Surakarta yang mengalami nyeri
haid dan memiliki riwayat nyeri haid se-
jumlah 57 orang. Teknik sampling yang
digunakan adalah purposive sampling.
Jumlah sampel yang diambil oleh peneliti
adalah 37 responden.
Instrumen untuk mengukur skala
nyeri haid sebelum maupun setelah aku-
presur adalah lembar observasi Numerical
Rating Scale (NRS) yang sudah baku.
Penelitian terdiri dari pretest, intervensi,
dan posttest. Tahap pretest dilakukan
wawancara saat responden mengalami
nyeri haid dan mempunyai riwayat nyeri
haid. Lalu responden diberikan penjelasan
untuk menilai data secara subjektif. Sete-
lah responden selesai haid, responden
diberikan intervensi senam anti nyeri haid
dan dilakukan antara 2 siklus haid ( +3
minggu x 3 kali senam ) dengan dilakukan
observasi saat senam oleh peneliti. Pen-
gambilan data kedua atau posttest dilaku-
kan setelah senam anti nyeri haid diberi-
kan dan responden sudah mengalami
haid lagi.
Analisis data penelitian ini meng-
gunakan analisis univariat dan bivariat.
Analisis univariat meliputi distribusi fre-
kuensi dan persentase sebelum dan sesu-
dah senam anti nyeri haid. Analisis
bivariat untuk mengetahui pengaruh
senam anti nyeri haid terhadap intensitas
nyeri haid. Uji statistik menggunakan Wil-
coxon karena data berskala nominal ordi-
nal. Pada uji statistik Wilcoxon, hipotesis
alternatif diterima apabila nilai probabilitas
(p) < 0,05 dan ditolak jika nilai nilai prob-
abilitas (p) > 0,05.
3. HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
Grafik 1. Intensitas Nyeri Haid Sebe-
lum dan Setelah Senam Anti Nyeri
Haid
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
2
14. Berdasarkan grafik dapat diketahui
bahwa intensitas nyeri haid sebelum
dilakukan senam anti nyeri haid sebagian
besar responden mengalami intensitas
nyeri sedang yaitu sebanyak 16 responden
dengan persentase 43,2%. Sedangkan
intensitas nyeri haid setelah dilakukan
senam anti nyeri haid adalah responden
tidak mengalami nyeri yaitu sebanyak 34
responden dengan persentase 91,9 %.
B. Analisis Bivariat
Tabel 1. Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid
Terhadap Intensitas Nyeri Haid di
Asrama Mu’alimat Surakarta
Sumber: Data primer, 2015
Berdasarkan hasil Wilcoxon Signed
Rank pada tabel di atas menunjukkan
bahwa terdapat 37 responden dengan
hasil intensitas nyeri haid setelah dilakukan
senam anti nyeri haid menurun daripada
sebelum dilakukan senam anti nyeri haid, 0
responden tetap, dan 0 responden yang
mengalami peningkatan tingkat nyeri haid
setelah dilakukan senam anti nyeri haid.
Tabel 2. Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid
Terhadap Intensitas Nyeri Haid di
Asrama Mu’alimat Surakarta
Pada hasil perhitungan dengan
menggunakan uji statistik Wilcoxon dida-
patkan nilai significancy p-value 0,000
(p<0,05) dengan demikian dapat disimpul-
kan bahwa Ha diterima sehingga ada pen-
garuh yang bermakna antara senam anti
nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di
Asrama Mu’alimat Surakarta.
4. PEMBAHASAN
Hasil perhitungan dengan
menggunakan uji statistik Wilcoxon,
didapatkan nilai significancy p-value 0,000
(p<0,05) maka artinya Ha diterima yang
menyatakan ada pengaruh yang
bermakna antara senam anti nyeri haid
terhadap intensitas nyeri haid di Asrama
Mu’alimat Surakarta.
Senam anti nyeri haid merupakan
gerakan senam untuk membebaskan rasa
nyeri saat haid. Senam anti nyeri haid
dapat menghilangkan atau setidaknya
mengurangi rasa sakit saat haid[6]
.
Melakukan latihan secara teratur dan
konsisten dapat menghilangkan atau
setidaknya mengurangi rasa sakit saat
haid. Latihan atau pergerakan pada
senam dapat mengurangi sekresi hormon
prostaglandin, dan meningkatkan hormon
endorfin dan memintas darah menjauhi
uterus[7]
.
Nyeri haid disebabkan oleh
prostaglandin yang membuat otot-otot
rahim berkontraksi, sehingga
menyempitkan suplai darah ke
endometrium[8]
. Latihan atau pergerakan
pada senam yang dilakukan secara terus
menerusdapat meningkatkan hormon
endorfin. Endorfin bekerja sebagai
neurotransmiter di otak untuk mengurangi
penyaluran dan persepsi nyeri. Hipofisis
melepaskan endorfin sebagai respon
terhadap olahraga dan selama
pengalaman nyeri[9]
.
Saat nyeri haid terjadi, beberapa
otot mengalami ketegangan. Latihan
tubuh atau senam yang dilakukan dapat
menolong otot-otot yang mengalami
ketegangan untuk menjadi relaks. Otot-
otot uterus yang mengalami ketegangan
ketika diberikan latihan tubuh atau senam
yang terfokus pada bagian panggul,
menyebabkan otot-otot uterus yang
tegang mengalami relaksasi, menguat-
kan otot, tulang dan jaringan pengikat
tubuh serta dapat memperlancar aliran
darah di rongga panggul sehingga men-
gurangi kontraksi berlebih dari otot-otot
rahim dan nyeri pun berangsur-angsur
berkurang[10]
.
Pengaruh senam atau latihan fisik
akan memberikan perubahan fisiologi
yang hampir terjadi pada setiap sistem
tubuh. Latihan fisik akan memberikan
pengaruh yang baik terhadap berbagai
macam sistem yang bekerja di dalam
tubuh, salah satunya adalah sistem
N
sebelum -
setelah
Negative Ranks 0a
Positive Ranks 37b
Ties 0c
Total 37
Sebelum - Sesudah
Z -5.428a
Asymp. Sig.
(2-tailed)
,000
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
3
15. kardiovaskuler, di mana dengan latihan
fisik yang teratur akan terjadi membuat
jantung semakin kuat dan dapat memompa
memompa lebih banyak darah ke pembu-
luh darah yang menyalurkan darah keselu-
ruh tubuh terutama organ reproduksi.
Aliran darah lancar, maka nyeri haid tidak
begitu dirasakan[11]
.
Wanita yang berolahraga sekurang -
kurangnya satu kali seminggu dapat menu-
runkan intensitas rasa nyeri dan ketidakn-
yamanan pada bagian bawah abdominal.
Pada wanita yang aktif secara fisik dila-
porkan kurang terjadinya nyeri saat haid.
Olahraga yang dilakukan secara teratur
dapat memperlancar aliran darah pada otot
di sekitar rahim sehingga akan meredakan
rasa nyeri pada saat haid[1]
.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Penelitian yang
dilakukan oleh Suparto (2009) berjudul
Efektivitas Senam Dismenore dalam Men-
gurangi Dismenore pada Remaja Putri di
SMUN 2 Sumenep dengan metode one
group pretest post test design, diperoleh
hasil nilai signifikansi yaitu 0,000 yang
nilainya lebih kecil dari 0,05 yang berarti
pemberian senam dismenore sangat efektif
untuk mengurangi dismenore[12]
.
Nyeri haid dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain faktor kejiwaan,
faktor konstitusi, faktor obstruksi kanalis
servikallis, faktor endokrin atau hormonal
dan faktor alergi. Faktor lainnya yang da-
pat memperburuk Nyeri haid adalah rahim
yang menghadap ke belakang (retroversi),
kurang berolahraga, stres psikis atau stres
sosial[8]
.
Nyeri adalah bentuk suatu rasa
sensorik ketidaknyamanan yang bersifat
subjektif dan individual dan kemungkinan
nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang
yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri[13]
.
Berdasarkan hasil penelitian dan
didukung dengan penelitian lain, maka
dapat disimpulkan bahwa senam anti nyeri
haid memberikan efek yang nyata
pada penanganan nyeri haid atau ada
pengaruh yang bermakna antara senam
anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri
haid di Asrama Mu’alimat Surakarta
sehingga senam anti nyeri haid efektif
dalam mengurangi nyeri haid.
5. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Intensitas nyeri haid sebelum
dilakukan senam anti nyeri haid
sebagian besar responden
menga-lami tingkat nyeri sedang
yaitu sebanyak 16 responden
dengan persentase 43,2%, 14
responden mengalami nyeri
ringan (37,8%), dan 7 responden
mengalami nyeri berat (19%).
2. Intensitas nyeri haid setelah
dilakukan senam anti nyeri haid
adalah sebagian responden tidak
mengalami nyeri yaitu sebanyak
34 responden dengan persentase
91,9% dan 3 responden
mengalami nyeri ringan dengan
persentase 8,1%.
3. Ada pengaruh senam anti nyeri
haid terhadap intensitas nyeri
haid di Asrama Mu’alimat
Surakarta dengan hasil
signifikansi p=0,000.
B. Saran
1. Bagi Responden
Responden diharapkan dapat
melakukan senam anti nyeri haid
sebelum menstruasi secara man-
diri agar tingkat nyeri haid dapat
dikurangi.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan mampu mem-
berikan penyuluhan maupun se-
minar untuk menurunkan nyeri
haid secara non-farmakologis
bagi remaja putri yaitu dengan
senam anti nyeri haid.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya disarankan
untuk mem-perhatikan faktor yang
dapat mempengaruhi rasa nyeri
seperti kecemasan dan ling-
kungan.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
4
16. DAFTAR PUSTAKA
1. Anugoro, D dan Ari W. Cara Jitu Men-
gatasi Nyeri Haid. Yogyakarta: ANDI,
pp.49, 79, 2001
2. Manuaba, dkk. Buku Ajar Penuntun
Kuliah Ginekologi. Jakarta:TIM, pp.
631-6, 2010.
3. Haruyama, S. The Miracle Of Endor-
phin : Sehat Mudah dan Praktis den-
gan Hormon Kebahagiaan. Band-
ung:Qonita, pp.72-3, 2011.
4. Kumalasari, I dan Iwan A. Kesehatan
Reproduksi untuk Mahasiswa Ke-
bidanan dan Keperawatan. Ja-
karta:Salemba Medika, pp.72, 2013.
5. Wirakusumah, E.S.Tips Dan Diet Un-
tuk Tetap Sehat, Cantik dan Bahagia di
Masa Menopause. Jakarta:Gramedia,
pp.7, 2003.
6. Laila, N.N. Buku Pintar Haid. Yogya-
karta:Buku Biru, pp.25-6, 36, 114,
2011.
7. Sinclair, C. Buku Saku Kebidanan.
Jakarta:EGC, pp. 592-3, 2009.
8. Sukarni, I dan Wahyu P. Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. Yogya-
karta:Nuha Medika, pp. 46-8, 2013.
9. Corwin, E.J. Buku Saku Patofisiologi
Ed.3. Jakarta: EGC, pp.392, 2009.
10. Kingston, B. Mengatasi Nyeri Haid.
Jakarta:Arcan, 1991.
11. Syatria, A. Pengaruh Olahraga Ter-
program terhadap Tekanan Darah
pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro yang Mengi-
kuti Ekstrakurikuler Basket. Sema-
rang:Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2006.
12. Suparto, A. Efektivitas Senam Nyeri
haid dalam Mengurangi Nyeri haid
pada Remaja Putri. Phederal. 4: 1-8,
2011.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
5
17. Penelitian H U B U N G A N U M U R D E N G A N
PENILAIAN CADANGAN OVARIUM
PADA PASIEN INFETRIL
Rita Defiyenti1
, Ashon Sa’adi2
, K. Kasiati3
, Atika4
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga
2
Departemen SMF Obstetri Ginekologi RSUD Dr. Soetomo,
Surbaya
3
Politeknik Kesehatan Kemenkes, Surabaya
4
Departemen IKM Fakultas Kedokteran Universitas Air-
langga, Surabaya
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
ABSTRAK
Pendahuluan : Umur berperan penting dalam penangganan masalah infertilitas. Angka
kejadian infertilitas meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur wanita. Semakin
meningkatnya umur wanita, cadangan ovarium semakin berkurang. Indikator cadangan
ovarium dapat diketahui melalui pemeriksaan FSH basal pada hari ke-3 haid dan jumlah
folikel antral. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan umur dengan
penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil di klinik Fertilitas Graha Amerta tahun
2013.
Metode : penelitian observasi analitik dengan desain cross sectional. Populasinya
adalah semua wanita infertil yang mengikuti IVF di Klinik Fertilitas Graha Amerta pada
bulan Januari-Desember 2013 sejumlah 94 responden. Pengambilan sampel dengan
teknik total sampling. Variabel independen adalah umur, sedangkan variabel dependen
adalah cadangan ovarium yang dinilai dari kadar FSH basal dan jumlah folikel antral.
Instrumen yang digunakan lembar pengumpul data. Sumber data dari rekam medik.
Analisis data menggunakan uji korelasi pearson.
Hasil : menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p=0.005) antara variabel umur
dengan jumlah folikel antral dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0.285). Hasil uji
korelasi spearmen, terdapat hubungan yang signifikan (p=0.014) antara variabel umur
dengan FSH basal dengan kekuatan korelasi lemah (r=0.252), dan adanya hubungan
yang signifikan (p=0.004) antara variabel FSH basal dengan jumlah folikel antral
dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0.295).
Kesimpulan : terdapat hubungan antara umur dengan kadar FSH basal, umur dengan
jumlah folikel antral, kadar FSH basal dengan jumlah folikel antral dalam penilaian
cadangan ovarium pada pasien infertil.
Kata kunci : Umur, FSH basal, Jumlah folilkel antral, cadangan ovarium, infertil.
ABSTRACT
Background : Age has an important role in treatment of infertility. Increasing age
means decreasing the ovarian reserve. Indicator for ovarian reserve is using basal level
of FSH level check up in third day of menstruation and the antral folilicle count. The
objective of this study is to analyze the correlation between age and ovarium reserve
rating on infertile patient in Graha Amerta Fertility Clinic during 2013.
Method : This study applies analityc observational with a cross-sectional design.The
population was all of infertile women that followed the IVF in Graha Amerta Fertility
Clinic during January to December 2013 involves 94 respondent. The sample was
collected using total sampling method. The independent variable is age, and the
dependent variable is ovarian reserve from basal level of FSH basal and the antral
follicle count. The data source is medical record and collected by check sheet. Data
6
18. fanalysis use Pearson test.
Result : There is significant correlation (p=0,005) between age variable and the antral
ollicle count but the coefficient correlation is weak (r=0,285). Based on spearmans
correlation test’s result, there is a significant correlation (p=0,0014) between age varia-
ble and basal FSH but the coefficient correlation weak correlation (r=0,252), also there
is a significant correlation (p=0,004) between basal FSH and antral follicle count with
weak correlation (r=0,295).
Conclusion : There is a correlation between age and basal FSH level, age and antral
follicle count, basal FSH level and antral follicle count of ovarian reserve predict test in
infertile patient.
Keyword: age, basal FSH, antral follicle count, ovarian reserve, infertility
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa 8-10% pasangan di
dunia mempunyai riwayat sulit untuk
memperoleh anak. Angka kejadian
infertilitas di Indonesia berkisar 12-15%.[1]
.
Angka kejadian infertilitas ini meningkat
bersamaan dengan bertambahnya umur
wanita. Semakin meningkatnya umur
wanita, jumlah folikel di ovarium semakin
berkurang. Hal ini dikarenakan banyaknya
folikel atresia yang akhirnya habis pada
saat menopause dan berkurangnya respon
ovarium terhadap rangsangan
gonadotropin sehingga mengakibatkan
produksi estrogen menurun. Menurunnya
estrogen akan memberikan sinyal umpan
balik positif ke otak (hipotalamus) untuk
merangsang peningkatan produksi follicle
stimulating hormone (FSH).[2]
Menurut WHO, pemeriksaan
hormonal perlu dilakukan untuk
mengetahui fungsi ovarium dan fungsi
ovulasi. Pemeriksaan FSH serum basal
pada hari ke-3 haid merupakan
pemeriksaan yang paling sering dilakukan
untuk memeriksa cadangan ovarium.[3]
Kadar FSH basal sebenarnya tidak
langsung menunjukkan jumlah folikel di
ovarium, sedangkan hitung folikel antral
ovarium (Antral Folicle Count/AFC) lebih
mencerminkan cadangan ovarium secara
langsung.[4]
Masalah infertilitas tidak hanya
menyangkut kesehatan fisik saja tetapi
juga berdampak psikologis dan sosial bagi
pasangan yang mengalaminya. Oleh
karena itu diperlukan peran bidan sebagai
promotif dan preventif untuk mengurangi
kejadian infertilitas dan dampak dari
infertilitas tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah Menga-
nalisis hubungan umur dengan penilaian
cadangan ovarium pada pasien infertil di
klinik Infertil Graha Amerta infertil Rumah
Sakit Umum Dr.Soetomo Surabaya tahun
2013.
2. METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah obsevasional analitik dengan
desain cross sectional (potong lintang).
Populasi dalam penelitian ini adalah se-
mua wanita infertil yang sudah mengikuti
program bayi tabung di Klinik Fertilitas
Graha Amerta RS Soetomo Surabaya
pada tanggal 1 Januari - 31 Desember
2013 yang memenuhi kriteria inklusi.
Teknik pengambilan sampel
menggunakan total sampling, dengan
jumlah 94 responden. Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 12-22 Mei 2014.
Variabel bebas pada penelitian ini
adalah umur wanita infertil yang sudah
mengikuti program bayi tabung. Variabel
terikat pada penelitian ini adalah
cadangan ovarium yang dinilai dari kadar
hormon FSH basal hari ke-3 haid dan
jumlah folikel antral. Sumber data
penelitian ini didapatkan dari rekam medis
pasien yang dicatat pada lembar
pengumpul data. Analisa data
menggunakan uji korelasi Pearson
dengan derajat kemaknaan p < 0,005 dan
koefisien korelasi antara -1 sampai
dengan 1.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik responden
Responden dalam penelitian ini
adalah wanita infertil yang mengikuti pro-
gram bayi tabung di Klinik Fertilitas Graha
Amerta sebanyak sebanyak 94 pasien.
Berikut adalah gambaran karakteristik
responden di Klinik Fertilitas Graha
Amerta.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
7
19. B. Umur
Distribusi responden berdasarkan
umur akan disajikan dalam tabel 1 seba-
gai berikut :
Tabel 1. Distribusi Responden berdasar-
kan Umur di Klinik Fertilitas
Graha Amerta Surabaya Tahun
2013
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa
variasi umur responden yang mengikuti
program bayi tabung hampir merata
disetiap kelompok umur (22-44 tahun).
Sebagian responden berumur >35 tahun.
Rata-rata umur responden pada penelitian
ini adalah 33 tahun dengan Standar
devisiasi 4,884.
C. Hasil pemeriksaan FSH basal
Distribusi responden berdasarkan
hasil pemeriksaan FSH basal akan disaji-
kan dalam tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi Responden berdasar-
kan Hasil Pemeriksaan FSH
Basal di Klinik Fertilitas Graha
Amerta Surabaya Tahun 2013
Berdasarkan tabel 2 dari 94 respon-
den yang mengikuti program bayi tabung,
93,6% (88 orang) memiliki hasil pemerik-
saan FSH basal <10 IU/ml. Rata-rata hasil
pemeriksaan FSH Basal yaitu 7,25 IU/ml
dengan standar devisiasi 2,323.
D. Hasil USG jumlah folikel antral
Distribusi responden berdasarkan
hasil USG jumlah folikel antral akan disaji-
kan dalam tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Distribusi Responden berdasar-
kan Hasil USG Jumlah Folikel
Antral di Klinik Fertilitas Graha
Amerta Surabaya Tahun 2013
Berdasarkan tabel 3, dari 94
responden yang mengikuti program bayi
tabung, sebanyak 59,6% (56 orang)
memiliki jumlah folikel antral antara 5-10
pada kedua ovarium. Rata-rata jumlah
folikel antral responden yaitu 7,76 dengan
standar deviasi 3,729.
E. Hubungan umur dengan jumlah
folikel antral
Hasil uji korelasi pearson
didapatkan nilai signifikansi p=0,005 dan
nilai koefisien korelasi -0,285. Nilai
p=<0.05, berarti menunjukkan adanya
hubungan antara umur dengan jumlah
folikel antral. Sedangkan nilai koefisien
korelasi -0,285, berarti terdapat hubungan
antar variabel yang berbanding terbalik
yaitu semakin bertambah umur, maka
jumlah folikel antral semakin berkurang.
Hubungan ini memiliki kekuatan lemah
yang ditunjukan pada gambar 1.
Umur Frekuensi
Persentase
(%)
20-29
tahun
22 23,4
30-34
tahun
27 28,7
35-39
tahun
35 37,2
40-44
tahun
10 10,6
Total 94 100
Kadar
FSH
basal
Frekuensi Persen-
tase (%)
< 10 IU/
ml
88 93,6
10-15 IU/
ml
4 4,2
>15 IU/ml 2 2,1
Total 94 100
Jumlah
folikel
antral
Frekuensi Persen-
tase (%)
< 5 23 24,5
5-10 56 59,6
11-30 15 16,0
Total 94 100
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
8
20. BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Gambar 1. Grafik hubungan umur dengan
jumlah folikel antral
Hasil penelitian ini menguatkan hasil
penelitian sebelumnya oleh Mohammad Ali
dan Sedigheh Ghandi[4]
tentang umur dan
FSH basal sebagai prediktor hasil Assisted
Reproductive Technology (ART).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
umur merupakan faktor prognosis yang
paling penting terhadap hasil ART, namun
kadar FSH serum basal juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi wanita
yang berpotensi besar mengalami
kegagalan dalam ART, kemungkinan
disebabkan oleh berkurangnya cadangan
ovarium. Selain itu, hasil penelitian serupa
tentang umur kronologis vs umur biologis
ovarium menyimpulkan bahwa kadar antral
follicle count (AFC) dan anti mullerian
hormone (AMH) menurun seiring dengan
meningkatnya umur, sebaliknya kadar FSH
menunjukkan peningkatan seiring dengan
bertambahnya umur.[6]
Teori lain yang mendukung
penelitian ini diungkapkan oleh Halim[4]
,
bahwa peningkatan kadar FSH basal lebih
dari 10 IU/ml pada fase folikuler (siklus hari
ke-2 sampai hari ke-4 siklus haid) sudah
menunjukkan adanya penurunan
cadangan ovarium. Berkurangnya jumlah
folikel menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah hormon estrogen sehingga akan
terjadi umpan balik positif ke otak untuk
merangsang peningkatan produksi FSH.
Apabila ovarian reserve (cadangan
ovarium) telah menurun dratis, maka FSH
akan meningkat sampai 30-40 IU/ml.
Wanita yang memasuki umur menopause
mengalami penurunan jumlah folikel atau
cadangan ovarium sehingga terjadi
peningkatan FSH. Pada wanita yang telah
menopause didapatkan peningkatan
kadar FSH diatas 40 IU/ml.
Pada penelitian ini ditemukan
responden dengan umur muda maupun
umur tua yang memiliki kadar FSH basal
yang tinggi. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa pemeriksaan FSH dapat
memberikan nilai prognostik pada
keberhasilan program bayi tabung,
dengan meningkatnya usia terutama akan
mempengaruhi keberhasilan serta angka
implantasi. Pada kelompok usia muda
dengan kadar FSH yang tinggi akan
meningkatkan angka pembatalan siklus
dalam program bayi tabung, namun angka
implantasi relatif masih cukup baik.
Secara umum, wanita di atas 35
tahun dengan kadar FSH basal >15 mIU/
ml menunjukkan angka keberhasilan
kehamilan yang rendah dan angka
keguguran yang tinggi. Namun demikian,
pasien tidak bisa digeneralisasikan bahwa
semua yang mempunyai kadar FSH tinggi
mempunyai cadangan ovarium yang
rendah. Banyak penelitian melaporkan
wanita dengan kadar FSH tinggi dengan
umur di bawah 35 tahun dapat berhasil
hamil dengan ataupun tanpa teknik
bantuan reproduksi. Pada penelitian
kasus di atas, umur 40 tahun dengan
kadar FSH yang normal bahkan banyak
yang tidak hamil.[4]
F. Hubungan umur dengan jumlah
FSH basal
Pada penelitian ini, data FSH basal
tidak terdistribusi normal sehingga
digunakan uji korelasi sperman. Hasil uji
ini menunjukkan nilai signifikansi p =0,014
dan nilai koefisien korelasi 0,252. Nilai
p=<0,05 berarti terdapat hubungan antara
umur dengan FSH basal. Sedangkan nilai
koefisien korelasi 0,252 menunjukkan
adanya hubungan yang berbanding lurus,
artinya semakin bertambah umur wanita
maka semakin tinggi pula kadar FSH
basal. Hubungan ini memiliki kekuatan
lemah, hal ini ditunjukan pada gambar 2.
Umur (tahun)
JumlahFolikelAntral
9
21. Gambar 2. Grafik hubungan umur dengan
kadar FSH basal
Hasil penelitian ini menguatkan hasil
penelitian sebelumnya oleh IB Putra
Adnyana[7]
yang menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
jumlah folikel antral dengan respon
ovarium terhadap stimulasi ovulasi dan
didapatkan nilai titik potong sebesar 4,5,
sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 71,4%
untuk jumlah folikel antral sebagai
prediktor respons ovarium terhadap
stimulasi ovulasi.
Pada penelitian ini ditemukan
beberapa responden berumur 35 tahun
yang memiliki jumlah folikel antral yang
rendah. Hal ini disebabkan pada
responden didapatkan riwayat operasi
Salpingo oovarektomi sinistra (SOS),
endometrioma. Dalam tubuh seorang
wanita sehat terdapat dua buah
(sepasang) ovarium yang terletak di kanan
dan kiri uterus (rahim). Fungsi utama
ovarium ini adalah menghasilkan ovum (sel
telur) dan hormon reproduksi wanita
terutama estrogen. Apabila salah satu atau
kedua indung telur (ovarium) wanita
diangkat maka sel telur akan berkurang
dan akan mengalami penurunan kadar
hormon estrogen, progesteron, dan
testosteron. Operasi ini membuat seorang
wanita sulit untuk hamil lagi dan juga
mempercepat masa menopause walaupun
masih dalam umur reproduktif[4]
.
G. Hubungan FSH basal dengan jumlah
folikel antral
Hasil uji korelasi spearman didapat-
kan nilai signifikansi (p)=0,004 dan nilai
koefisien korelasi -0,295. Nilai p=<0,05
menunjukkan adanya hubungan antara
FSH basal dengan jumlah folikel antral.
Nilai koefisien korelasi -0,295, berarti
hubungan yang dihasilkan berbanding
terbalik, artinya semakin tinggi kadar FSH
basal maka semakin sedikit jumlah folikel
antral. Hubungan ini memiliki kekuatan
lemah sesuai dengan pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik hubungan kadar FSH
basal dengan jumlah folikel
antral
Hasil penelitian ini tidak jauh ber-
beda dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Zunaidi tentang hubungan umur ter-
hadap FSH basal dan jumlah folikel antral
ovarium dalam penilaian cadangan
ovarium pada pasien infertil yang
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan dengan kekuatan korelasi
lemah antara variabel FSH basal dengan
jumlah folikel antral ovarium (r= -0.35).
Hal ini disebabkan karena sampel pada
penelitian tersebut lebih sedikit (35
pasien) dan dengan umur responden
kurang dari 35 tahun.[8]
Dalam penelitian ini ditemukan satu
kasus ekstrim yaitu pada umur muda (29
tahun) terdapat kadar FSH basal yang
meningkat (14.81 IU/ml). Hal ini
dikarenakan responden memiliki riwayat
endometrioma dan gangguan ovulasi.
Kista ovarium yang berisi jaringan endo-
metriotik dapat tumbuh cukup besar. Kista
ini disebut juga dengan kista coklat
karena cairan coklat tua ditemukan
didalamnya. Kissta coklat atau kista
endometriosis ini lebih tepat disebut
endometrioma. Jika dibiarkan, maka
pertum buhan kista ini dapat
menghancurkan sebagian atau seluruh
jaringan ovarium normal, termasuk sel
telur. Endometrioma harus diangkat
dengan pembedahan, biasanya melalui
laparoskopi karena terapi medis tidak
efektif dalam pengobatan endometrioma.
[9]
Wanita yang pernah menjalani
pembedahan ovarium maupun dengan
satu ovarium sejak lama diketahui
mempunyai nilai kadar FSH yang lebih
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Jumlah Folikel Antral
FSHBasal
FSHBasal
Umur (tahun)
10
22. tinggi dibandingkan mereka yang
mempunyai dua ovarium karena cadangan
ovariumnya berkurang.[4]
Hitung folikel antral (AFC)
merupakan prediktor tunggal terbaik untuk
menilai respon ovarium dalam teknologi
IVF (in vitro fertilization). Terdapat dua
penelitian yang menyimpulkan bahwa AFC
merupakan parameter yang lebih baik
dibandingkan FSH basal. AFC
berhubungan dengan respons stimulasi
terhadap program superovulasi dalam
program bayi tabung sehingga AFC
merupakan faktor yang paling sensitif
untuk menilai ovarian reserve.[4]
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan pada penelitian ini
adalah terdapat hubungan antara umur
dengan kadar FSH basal, umur dengan
jumlah folkel antral, dan antara kadar FSH
basal dengan jumlah folikel antral (AFC)
dalam penilaian cadangan ovarium pada
pasien infertil.
Saran bagi bidan diharapkan dengan
adanya hasil penelitian ini dapat diman-
faatkan sebagai sarana untuk tambahan
informasi dalam memberikan berbagai
penyuluhan kepada remaja pranikah,
pasangan usia subur (PUS) mengenai
kejadian infertilitas terutama tentang faktor
risiko yang berhubungan dengan umur
wanita sehingga bidan dapat melakukan
rujukan secara tepat pada pasangan yang
infertil untuk mendapatkan pemeriksaan
dan pengobatan kepada tenaga kesehatan
yang lebih ahli.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauziah Y. Infertilitas dan Gangguan
Alat Reproduksi. Yogyakarta: Nuha
Medika, 2012.
2. Darmasetiawan, M. Sjarief, et al.
Fertilisasi Invitro dalam Praktek Klinik.
Jakarta: Puspa Swara, 2006.
3. Samsulhadi dan Hendarto Hendy.
Aplikasi Klinis Induksi Ovulasi dan
Stimulasi Ovarium: Buku Panduan
Praktis bagi Klinisi. Jakarta :
Sagung Seto, 2009.
4. Halim, Binarwan. Penilaian Fungsi
Ovarium. Jakarta : Puspa Swara
IKAPI, 2006.
5. Ali, Karimzadeh Mohammad dan
Sedigheh Ghandi.” Age and Basal
FSH as a Predictor of ART Outcome”.
Iranial Journal of Reproductive
Medicine 7:1(2009) :19-22.
6. Soebijanto Soegiharto. “Kadar anti
mularian hormon (AMH) serum seba-
gai predictor respon ovarium pada
perempuan yang mendapatkan stimu-
lasi ovarium pada fertilisasi
invitro (FIV)”,Majalah obstetric gineko-
logi Indonesia vol 33, no 4,
2009.
7. Adnyana IB, Putra.” Hubungan
Jumlah Folikel Antral dengan
Respons Ovarium terhadap Stimulasi
Ovulasi”. J Peny Dalam 7:3
(2006) :178-185.
8. Zunaidi, Alfian. “Hubungan Umur
terhadap FSH basal dan Jumlah
Folikel Antral Ovarium dalam
Penilaian Cadangan Ovarium pada
Pasien Infertil. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, 2011.
9. Indar, Anwar NC. Seleksi Pasien
Menuju Fertilisasi In Vitro. Jakarta :
Puspa Swara Anggota IKAPI.
2006.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
11
23. Tinjauan
Pustaka
PENATALAKSANAAN PARTUS PREMA-
TURUS IMMINENS PADA USIA KEHAMI-
LAN SETELAH 34 MINGGU
Wafda Ardhian Latansyadiena1
1
D4 Kebidanan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
ABSTRAK
Latar Belakang: Kehamilan prematur merupakan masalah terbesar dalam obstetri
modern dan didefinisikan sebagai kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan 37
minggu. Risiko morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat persalinan prematur ini
sangat besar. Namun, seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman
persalinan prematur (Partus Premature Imminens) dan persalinan prematur
sesungguhnya. Kurangnya metode yang efektif untuk memprediksi dan mencegah
persalinan prematur menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi persalinan
prematur. Penanganan sering dihadapkan dengan dilema penggunaan berbagai agen
farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya rendah, atau memiliki efek
samping yang serius pada ibu atau janin. Bukti ilmiah yang mendukung terhadap
penggunaan obat berikut ini tidak terlalu kuat. Penanganan yang paling sering
digunakan adalah obat tokolitik, kortikosteroid, dan antibiotik. Kondisi ini membuat
pasien harus mengalami perawatan di rumah sakit yang sebenarnya mungkin tidak
diperlukan dan menyebabkan efek samping.
Tujuan: Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada partus prematurus
imminens dengan umur kehamilan setelah 34 minggu.
Hasil: Pemberian terapi tokolitik dan kortikosteroid pada partus prematurus imminens
umur kehamilan setelah 34 minggu memiliki faktor risiko terjadi gawat janin akibat
adanya penurunan aliran darah uteroplasenta dan meningkatkan angka persalinan
prematur.
Kata Kunci: Partus Prematurus Imminens, Kortikosteroid, Tokolitik
ABSTRACT
Background: Premature labor, constitutent a major problem terms of obstetrics and
defined as delivery before 37 weeks of gestation. The higher risk mortality and morbidity
for premature labor delivery. But, the diagnostic partus prematurus imminens and partus
premature is difficult. Uneffective methods changed incidence premature labor. Dilemma
of management premature labor often occured as a unspesific pharmacology, low
effectiveness, and had the effect for mother or foetus. Scientific evidence told the
pharmacology management is low. The most management is tocolitic, corticosteroid,
and antibiotics. This condition made patients take treatment might was not necessary
and caused effect.
Goal: Find out the management partus prematurus imminens after 34 weeks of
gestation
Result: Tcolitic and corticosteroid management of partus prematurus imminens after 34
weeks of gestation have a risk fetal distress. It was happened because blood current for
foetus decreased and increased incidence of premature labor
Key words: Partus Prematurus Imminens, Corticosteroid, Tocolitic
1. PENDAHULUAN
Persalinan prematur yaitu kelahiran
bayi kurang dari 37 minggu. Persalinan
prematur merupakan masalah serius
karena dapat menyebabkan kematian dan
kesakitan neonatus. Risiko kelahiran
prematur antara lain kematian bayi,
kecacatan bayi, gawat nafas, perdarahan
12
24. otak, infeksi/sepsis dan gagal jantung.
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
persalinan preterm adalah usia ibu, paritas,
jarak persalinan, tingkat pendidikan,
pelayanan antenatal, anemia, merokok,
dan minum alkohol.
Risiko morniditas dan mortalitas
yang timbul akibat persalinan preterm ini
sangat besar. Namun, seringkali terjadi
kesulitan untuk menentukan diagnosis
ancaman persalinan prematur (Partus
Premature Imminens) dan persalinan
prematur sesungguhnya sehingga
intervensi yang dilakukan seringkali tidak
sesuai. Selama ini pengelolaan partus
prematurus imminens cenderung kuratif
dimana yang menjadi tujuan utama
pengelolaan adalah meningkatkan usia
hamil, meningkatkan berat lahir,
menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal yang keseluruhannya dilakukan
setelah diagnosis persalinan belum cukup
bulan ini ditegakkan. Kurangnya metode
yang efektif untuk memprediksi dan
mencegah persalinan prematur
menyebabkan sedikit perubahan pada
insidensi persalinan prem atur.
Penggunaan berbagai agen farmakologis
yang mungkin kurang spesifik, efikasinya
rendah, atau memiliki efek samping yang
serius pada ibu atau janin menjadi
penanganan dilematik.
P e m b e r i a n t o k o l i t i k d a n
kortikosteroid menjadi komponen utama
dalam penatalaksanaan partus prematurus
imminens karena berkaitan dengan
pematangan paru janin. Pematangan paru
janin terjadi pada usia kehamilan 34
minggu. Oleh karena itu, pemberian
tokolitik dan kortikosteroid pada usia
sebelum 34 minggu sangat penting karena
bertujuan menunda persalinan agar
mencapai usia kehamilan 34 minggu
sehingga paru-paru janin matang dan
mengurangi angka gangguan pernafasan
pada neonatal. Namun, bukti ilmiah yang
mendukung penggunaan obat ini pada usia
kehamilan setelah 34 minggu tidak terlalu
kuat. Usia kehamilan setelah 34 minggu
angka morbiditas dan mortalitas dianggap
sama dengan kehamilan aterm sehingga
tidak ada manfaat yang berati dalam
pemberian kedua terapi tersebut. Kondisi
ini membuat pasien harus mengalami
perawatan di rumah sakit yang sebenarnya
mungkin tidak diperlukan dan
menyebabkan efek samping. Selain itu, hal
ini menjadi beban keluarga karena
perawatan di rumah sakit memerlukan
biaya yang banyak.
2. PEMBAHASAN
Persalinan prematur merupakan
penyebab utama morbiditas dan
mortalitas neonatal di seluruh dunia[1]
.
Partus prematurus atau persalinan
prematur dapat diartikan sebagai
dimulainya kontraksi uterus yang disertai
pendataran dan/ atau dilatasi serviks
serta turunnya bayi pada wanita hamil
yang lama kehamilannya kurang dari 37
minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari
pertama haid terakhir[2]
. Persalinan
prematur berlangsung pada kehamilan 28
minggu sampai kurang dari 37 minggu[3]
.
Faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian persalinan prematur adalah usia
ibu, paritas, jarak persalinan, tingkat
pendidikan, pelayanan antenatal, anemia,
merokok, dan minum alkohol[4]
.
Secara umum, terjadinya persalinan
prematur sampai saat ini masih menjadi
teori-teori yang sangat kompleks.
Seringkali terjadi kesulitan untuk
menentukan diagnosis ancaman
persalinan prematur atau yang sering
disebut Partus Prematurus Imminent
(PPI) dan persalinan prematur yang
sesungguhnya [5,6]
. Persalinan prematur
dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme, yaitu melalui infeksi
maternal, hipoksia dan stress oksidatif.
Hal tersebut merupakan tiga mekanisme
biologis utama terjadinya persalinan
preterm. Kekurangan zat besi dapat
meningkatkan risiko infeksi ibu dan
hemoglobin yang rendah dapat
menyebabkan keadaan hipoksia kronis
yang dapat menginduksi stres ibu dan
janin. Sistem kekebalan tubuh akan
diaktifkan dengan adanya infeksi,
peradangan, atau kortisol yang dirilis
setelah respon stres, kemudian axis
hipotalamus-hipofisis-adrenal ibu atau
janin akan diaktifkan. Keadaan ini dapat
memicu terjadinya persalinan dan
akhirnya mengakibatkan persalinan
preterm.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
13
25. Pada akhirnya, kekurangan zat besi juga
dapat meningkatkan stres oksidatif yang
mengakibatkan kerusakan eritrosit dan unit
feto-plasenta[4]
.
Pada penelitian yang dilakukan
Leno, dkk. menunjukkan persalinan
prematur terbanyak berasal dari kelompok
usia 20 – 35 tahun[4]
.Persalinan prematur
lebih sering terjadi pada wanita multipara
dibandingkan wanita primipara. Hal ini
disebabkan adanya jaringan parut uterus
akibat kehamilan dan persalinan
sebelumnya. Jaringan parut ini
menyebabkan tidak adekuatnya
persediaan darah ke plasenta sehingga
plasenta menjadi lebih tipis dan mencakup
uterus yang luas. Plasenta yang melekat
tidak kuat mengakibatkan isoferitin, protein
hasil produksi sel limfosit T untuk
menghambat reaktifitas uterus dan
melindungi buah kehamilan, diproduksi
sedikit sehingga risiko untuk mengalami
persalinan prematur lebih besar[7]
.
Penelitian juga menemukan bahwa
keterpaparan asap rokok memberi risiko
3,9 kali secara signifikan terhadap
kelahiran prematur dibandingkan dengan
yang tidak terpapar asap rokok. Hal ini
menunjukkan bahwa rokok merupakan zat
yang berbahaya bagi kesehatan,
khususnya ibu hamil yang akan
berdampak buruk bagi ibu maupun janin.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang
terpapar asap rokok baik secara aktif
maupun pasif dapat menyebabkan bayi
terlahir dengan berat badan kurang. Racun
nikotin yang terkandung dalam rokok dapat
menghambat proses aliran darah dari ibu
ke janin, akibatnya perkembangan bayi
menjadi terlambat. Kondisi ini berjalan
terus hingga memasuki masa persalinan
dan menyebabkan bayi lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram. Selain itu,
bayi juga dapat lahir prematur atau lahir
dalam usia yang belum matang[8]
.
Dari faktor psiko-sosial pekerjaan
ditemukan bahwa kejadian persalinan
prematur lebih banyak pada ibu hamil yang
bekerja dibandingkan dengan ibu hamil
yang tidak bekerja. Ibu hamil yang bekerja
dapat meningkatkan kejadian persalinan
prematur baik melalui kelelahan fisik atau
stres yang timbul akibat pekerjaannya,
terutama bekerja terlalu lama[4,9]
. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Eiriksdottir di
Islandia juga menyebutkan pendapatan
keluarga dan stres merupakan faktor risiko
yang menyebabkan kelahiran prematur[10]
.
Menurut Dr Ali Khashan dari Univeritas
Manchester di Inggris, stres yang berat
sebelum atau sekitar waktu menjelang
kehamilan, dapat mengubah kadar stress
hormone cortisol dan corticotropin
releasing hormone (CRH) yang
berpengaruh pada penanaman embrio dan
pembentukan plasenta. Secara
keseluruhan, wanita yang pernah
mengalami stres enam bulan sebelum
hamil, sekitar 16% cenderung mengalami
persalinan prematur. Sementara itu, resiko
bayi meninggal atau sakit pada persalinan
prematur naik hingga 23%. Hal itu
dimungkinkan dampak dari sisi kejiwaan
sehingga mempengaruhi hormonal
kemudian mengakibatkan persalinan
prematur[11,12]
.
Ancaman persalinan prematur
memiliki kriteria yaitu sebagai berikut[5]
.
1. Adanya kontraksi adekuat minimal 2 -
3 kali dalam waktu 10 menit dengan
selang waktu relaksasi yang cukup.
2. Adanya perubahan dilatasi serviks
pada 2 pemeriksaan dengan selang
waktu 1 jam yang dilakukan oleh
pemeriksa yang sama disertai dengan
adanya kontraksi uterus.
3. Adanya kontraksi yang teratur disertai
dilatasi serviks 1-2 cm dan penipisan
serviks.
Secara teori, adapun parameter-
parameter yang digunakan untuk mem-
prediksi terjadinya persalinan prematur.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
14
26. Tabel 1. Skor Bishop
Sumber : Jenny, 2008
Skor Bishop merupakan parameter
yang baik untuk memprediksi terjadinya
persalinan prematur. Semakin besar nilai
Skor Bishop menunjukkan ancaman
persalinan prematur yang terjadi semakin
progresif sehingga semakin sulit untuk
dihambat. Pada beberapa penelitian
didapatkan angka kejadian persalinan
prematur berkisar 76% pada skor Bishop ≥
5.
Tabel 2. Skor Baumgarten
Sumber : Jenny, 2008
Skor Baumgarten juga merupakan
salah satu parameter yang baik untuk
memprediksi persalinan prematur dengan
atau tanpa adanya ketuban pecah dini.
Pada beberapa penelitian didapatkan
angka kejadian persalinan prematur
sebesar 10% pada skor tokolisis
Baumgarten < 3. Bila skor tokolisis
Baumgarten > 3 maka angka kejadian
persalinan prematur meningkat sebesar
85%[5]
.
Berdasarkan Buku Pengelolaan
Persalinan Preterm[13]
, penatalaksanaan
persalinan prematur adalah sebagai
berikut.
1. Tirah baring (bedrest)
Kepentingan istirahat disesuaikan
dengan kebutuhan ibu.
2. Rehidrasi
Rehidrasi oral maupun intravena
sering dilakukan untuk mencegah
persalinan preterm karena sering terjadi
hipovolemik pada ibu dengan kontraksi
prematur.
Tirah baring dan rehidrasi
merupakan salah satu upaya agar aliran
darah ke plasenta meningkat dan lancar
sehingga janin selalu dalam keadaan baik
[14]
.
3. Pemberian terapi konservatif
(ekspetan) tokolitik.
Menurut Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan
Rujukan 2013, jika ditemui salah satu dari
keadaan berikut ini, tokolitik tidak perlu
diberikan dan bayi dilahirkan secara
pervaginam atau perabdominam sesuai
kondisi kehamilan[15]
:
a. Usia kehamilan di bawah 24 dan
di atas 34 minggu
b. Ada tanda korioamnionitis (infeksi
intrauterine), preeklampsia, atau
perdarahan aktif
c. Ada gawat janin
d. Janin meningal atau adanya
kelainan kongenital yang
kemungkinan hidupnya kecil
Pemberian tokolitik dilakukan usia 24
-34 minggu karena tujuan utama
penggunaan tokolitik ini memberi
kesempatan bagi terapi kortikosteroid
untuk menstimulur surfaktan paru-paru
janin, sedangkan paru-paru janin matang
usia 34 minggu [15,16]
.
American College of Obstetricians
and Gynecologisis membuat pernyataan
berikut mengenai tokolitik: “sampai saat
ini, belum ada penelitian secara
meyakinkan membuktikan terjadinya
peningkatan kesintasan atau indeks
prognosis neonatus jangka panjang
lainnya pada pemberian terapi tokolitik. Di
pihak lain, kemungkinan gangguan akibat
Nilai 0 1 2 3
Dilatasi
serviks
0 1-2
cm
3-4
cm
>4c
m
Penipis
an
serviks
0-30% 40-
50%
60-
70%
>70
%
Station -3 -2 -1 0
Konsist
ensi
serviks
Kenyal Medi
um
Lunak
Posisi
serviks
Posteri
or
Medi
al
Anteri
or
Nilai 1 2 3 4
Kontrak
si
Tidak
teratur
Teratu
r
- -
Ketuba
n
Utuh Pecah
di
atas/
tidak
jelas
- Peca
h di
bawa
h
Perdar
ahan
Spotti
ng
Banya
k
Dilatasi
serviks
1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
15
27. BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
terapi tokolitik pada ibu dan neonatus
sudah terbukti. Pemberian kortikosteroid
sebelum 34 minggu gestasi jelas
bermanfaat, pemberian obat tokolitik untuk
perpanjangan kehamilan jangka pendek
dapat dibenarkan. Di luar itu, pertanyaan
apakah obat tokolitik perlu digunakan pada
usia gestasi berapapun tidak dapat dijawab
saat ini, terutama setelah 34 minggu
gestasi” [17]
.
Obat tokolitik yang memiliki fungsi
kerja untuk menghambat saluran kalsium
(antagonis kalsium). Aktifitas otot polos,
termasuk miometrium, secara langsung
berhubungan dengan kalsium bebas di
dalam sitoplasma dan penurunan
konsentrasi kalsium akan menghambat
kontraksi. Ion kalsium mencapai
sitoplasma melalui portal atau saluran
membran spesifik. Penyekat saluran
kalsium bekerja menghambat pemasukan
kalsium melalui membran sel dengan
berbagai mekanisme[18]
. Dengan demikian,
terjadi penurunan konsentrasi kalsium.
Meskipun beberapa fakta
memperlihatkan bahwa penyekat kanal
kalsium menjanjikan beberapa harapan
sebagai obat tokolitik terapi persalinan
prematur, beberapa penelitian juga
mengingatkan untuk mengklarifikasi
bahaya potensial pada ibu atau janin
sebab relaksasi otot polos tidak terbatas
pada uterus saja, melainkan juga
mengenai pembuluh darah sistemik dan
uterus. Resistensi vaskular yang menurun
karena nifedipin dapat menyebabkan
hipotensi pada ibu sehingga menurunkan
perfusi uteroplasenta[18]
.
Studi-studi hewan dengan berbagai
spesies yang dilaporkan telah
memperlihatkan adanya hiperkapnia,
asidosis, hipoksemia, dan kematian janin.
Pada pengamatan yang dilakukan Lirette
dkk. menunjukkan hasil terjadi penurunan
aliran darah uteroplasenta pada kelinci
[18,19]
.Hepatotoksisitas maternal yang
diinduksi oleh obat telah dilaporkan ketika
nifedipin digunakan untuk terapi persalinan
prematur sehingga mengakibatkan
dihentikannya pemberian obat ini[19]
. Oleh
karena itu, diperlukan prediktor diagnosis
yang baik agar menghindarkan pasien dari
terapi tokolitik dan efek sampingnya, serta
menurunkan angka perawatan rumah sakit
dan angka rujukan ke fasilitas perawatan
perinatologi.
4. Pemberian terapi kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikisteroid pada
perkembangan paru adalah meningkatkan
surfaktan paru. Kortikosteroid melibatkan
induksi protein yang mengatur sistem
biokimia dengan sel tipe II pada paru janin
yang memproduksi surfaktan. Pada sel-
sel paru janin manusia yang dikultur,
pemberian deksametason meningkatkan
kandungan protein surfaktan A, B, C, D,
sambil merangsang aktifitas semua enzim
penting untuk biosistesi fosfolipid. Karena
itu, konsentrasi fosfatidilkolin yang larut
meningkat. Pada gilirannya hal ini
merangsang perkembangan badan-badan
lamelar, yang kemudian disekresikan ke
dalam lumen ruang udara[14]
.
Pemberian kortikosteroid ini
mencegah morbiditas neonatal pada
penggunaan usia kehamilan 24-34
minggu. Semua kehamilan kurang dari 34
minggu yang akan diakhiri diberikan
kortikosteroid dalam bentuk
deksamethasone atau betamethasone[20]
.
Evaluasi dari beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pemberian
kortikosteroid pada usia kehamilan 24-34
minggu efektif memperbaiki outcome
neonatal. Pemakaian kortikosteroid pada
kehamilan setelah usia 34 minggu jarang
ditemukan penurunan angka morbiditas
dan tidak ada bukti yang kuat untuk
mendukung atau membantah.
Penggunaan kortikosteroid hanya
direkomendasikan jika terbukti adanya
immaturitas paru pada pemeriksaan
amnionsintesis[21,22,23]
. Kehamilan > 34
minggu hanya perlu dilakukan observasi
kemajuan persalinan serta kesejahteraan
janin intrauterine. Terdapat efek jangka
pendek pada ibu, antara lain oedem paru,
infeksi, dan pengendalian glukosa yang
lebih sulit pada ibu diabetik [18,23]
. Pada
penelitian Elliot dan Radin juga
melaporkan bahwa kortikosteroid
menginduksi uterus dan persalinan
preterm pada manusia. Dengan demikian,
pemberian kortikosteroid akan
meningkatkan angka persalinan prematur.
Pemberian kortikosteroid yang tidak
memiliki manfaat kuat pada pematangan
paru umur kehamilan setelah 34 minggu
justru dapat mempercepat angka
persalinan prematur dan hal ini akan
berpengaruh dengan outcome bayi lahir
16
28. preterm. Oleh karena itu, keputusan
pemberian kortikostreoid harus tepat
sesuai klasifikasi umur kehamilan.
5. Pemberian Antibiotik
Dalam Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan
Rujukan juga menjelaskan bahwa
pemberian antibiotika profilaksis pada
persalinan prematur digunakan untuk
mencegah infeksi streptococus grup B[15]
.
Perencanaan Persalinan.
Pengambilan keputusan untuk
melakukan persalinan merujuk pada
analisis skor bishop dan baumgarten.
Analisis kedua skor tersebut menguraikan
bahwa PPI susah untuk dihambat jika
terjadi pengeluaran darah bertambah
banyak dan konsistensi serviks lunak.
Umur kehamilan kurang dari 34 minggu
adalah syarat untuk penundaan persalinan
[24]
. Usia kehamilan > 34 minggu dapat
melahirkan di tingkat dasar/ primer,
mengingat prognosis relatif baik dan
morbiditas dianggap sama dengan
kehamilan aterm[14,16]
.
3. KESIMPULAN
Persalinan prematur merupakan
suatu keadaan disertai tanda-tanda
persalinan yang berlangsung pada usia
kehamilan sebelum 37 minggu. Partus
Prematurus Imminens (PPI) merupakan
ancaman persalinan prematur yang
kemungkinan dapat dilakukan penundaan
persalinan dengan kriteria tertentu. PPI
pada usia kehamilan 24-34 minggu dapat
dilakukan penundaan persalinan dengan
pemberian terapi tokolitik dan
kortikosteroid. Hal ini dilakukan untuk
menunggu pematangan paru yang akan
matang pada usia kehamilan 34 minggu
sehingga mengurangi angka gangguan
pernafasan neonatal. Pada usia kehamilan
setelah 34 minggu tidak direkomendasikan
pemberian tokolitik dan kortikosteroid
sesuai dengan pemaparan dalam guidline
RCOG (Royal College of Obstericians and
Gynaecologies) bahwa penanganan
persalinan preterm merekomendasikan
tidak perlu menggunakan agen tokolitik jika
tidak terdapat bukti yang jelas yang akan
meningkatkan outcome pada terjadinya
persalinan preterm. Pemberian terapi
tokolitik dan kortikosteroid pada partus
prematurus imminens umur kehamilan
setelah 34 minggu memiliki faktor risiko
terjadi gawat janin akibat adanya
penurunan aliran darah uteroplasenta dan
meningkatkan angka persalinan prematur.
DAFTAR RUJUKAN
1. Ariana, Dhina., Sayono, dan Erna
Kusumawati. Faktor Risiko Kejadian
Persalinan Prematur, Laporan
Penelitian, Semarang: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhammadiyah Semarang, 2011.
2. Agustiana, Tria. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Persalinan
Prematur di Indonesia Tahun 2010
(Analisis Data Riskesdas 2010),
Skripsi S-1, Jakarta: Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat Peminatan
Epidemiologi Universitas Indonesia,
2012.
3. Jannah, Miftahul. Hubungan Infeksi
Saluran Kemih pada Ibu
Hamilterhadap Partus Prematur di
RSUD Dr. Adjidarmo Lebak Banten
Periode Januari hingga Desember
2010, Riset, Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2011.
4. Jusuf, Jenny. Efektifitas dan Efek
Samping Ketorolac sebagai Tokolitik
pada Ancaman Persalinan Prematur,
Tesis S-2, Semarang: Program
Pascasarjana Universitas
Diponegoro, 2008.
5. Islam, Mutiara. Perbandingan Kadar
Interleukin 10 pada Partus
Prematurus Imminen dengan
Kehamilan Preterm Normal, Tesis S-
2, Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas, 2010.
6. Edrin, Verdani Leoni., Ariadi, dan Lili
Irawati. Gambaran Karakteristik Inu
Hamil pada Persalinan Preterm di
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun
2012, dalam Jurnal Kesehatan
Andalas, Padang: Pendidikan Dokter
Universitas Andalas, Volume 3,
Nomor 3, hlm. 1 – 7, 2014.
7. Mukibati, Titin., Tinuk Esti, dan
Rudiati. Gambaran Faktor Penyebab
Persalinan Prematur di Kamar
Bersalin RSUD dr. Soeroto Ngawi
tahun 2010, Jurnal Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, 3 (2): 116 –
123, 2012.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
17
29. BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
8. Koniyo, Mira., Buraerah H. Hakim, dan
A. Arsunan. Determinan Kejadian
Kelahiran Bayi Prematur di Rumah
Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo, Laporan
Penelitian, Makassar: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin, 2012.
9. Firdiyanti, Rita., Nusratuddin, dan Eddy
Tiro. Hubungan Kadar Progesteron
Induced Blocking Factor (PIBF) Serum
dengan Kejadian Persalinan Preterm,
Laporan Penelitian, Makassar: Bagian
Obstetri dan Ginekologi Universitas
Hasanuddin, 2013.
10. Paembonan, Novhita., Jumriani, dan
Dian Sidik. Faktor Risiko Kejadian
Kelahiran Prematur di Rumah Sakit Ibu
dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar,
Laporan Penelitian, Makassar: Bagian
Epidemiologi Universitas Hasanuddin,
2014.
11. Aden, Christine. Pengaruh Paket
Aman Terhadao Pengetahuan dan
Pelaksanaan Perawatan Kehamilan
oleh Ibu Risiko Persalinan Prematur
Serta Efetivitasnya Terhadap Maturitas
Kehamilan di Jakarta, Tesis S-2,
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, 2008.
12. Somadina, Iswara. Granulocyte Colony
Stimulating Factor (G-CSF) sebagai
Prediktor Persalinan Preterm, 2013. 8
Juni 2015 <http://ojs.unud.ac.id/
index.php/obgyn/article/
viewFile/13441/9141>
13. Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Indonesia. Panduan Pengelolaan
Persalinan Preterm Nasional,
Bandung: Persatuan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2011.
14. Ramayanti, Helen. Hubungan
Karakteristik Ibu Hamil dengan
Kejadian Persalinan Preterm di RSU
Bhakti Yudha Depok Periode Januari
2008-Desember 2010, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional Veteran,
2011.
15. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan, Jakarta:
Kemenkes RI, 2013.
16. Saifuddin, Abdul Bari., Trijatmo, dan
Winkjosastro. ed. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: PT.
Bina Pustaka, Cetakan ke-4, 2011.
17. Leveno, Kenneth., et al. Obstetri
Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21.
terj. Brahm U. Pendit: “William Manual
Of Obstetrics, 21st
Ed.”, Jakarta: EGC,
Cetakan Ke-1, 2009.
18. Cunninghan F. Gary., et al. Obstetri
Williams, Ed. 21, Vol 1. terj. Hartono,
Andry: “Williams Obstetrics, 21 Ed.”,
Jakarta: EGC, Cetakan Ke-1, 2006.
19. Kesuma, Hadrians. Obat-obat
Tokolitik di Bagian Kebidanan, 2007.
11 Juni 2015 <http://
www.usearchmedia.com/>.
20. Roosdhantia, Isnia. Perbedaan Skor
Apgar pada Ketuban Pecah dini Usia
Kurang dari 34 Minggu yang Diberi
dan Tidak Diberi Deksametason,
Laporan Hasil Penelitian, Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2012.
21. Manuaba, Ida Ayu, Fajar, dan Gde.
Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan KB untuk Pendidikan Bidan,
Ed.2., Jakarta: EGC, 2010.
22. Pratama, Rizky. Perbandingan Kadar
Serum Progesteron Pada Persalinan
Preterm dan Kehamilan Normal, Tesis
Spesialis, Medan: Departemen
Obstetri dan Ginekologi Universitas
Sumatera Utara, 2014.
23. Bonanno, Clarissa., and Ronald J.
Wapner. Antenatal Corticosteroid in
the Management of Preterm Birth: Are
We Back Where We Started?, New
York: Department of Obstetrics and
Gynecology Columbia University
College, 2012.
24. D. Chan, Paul., and Susan
M.Johnson. Current Clinical
Strategies Gynecology and
Obstetrics, USA: Laguna Hills
California, 2006.
18
30. 25. Mufaza, Uyun. Pengetahuan dan
Perilaku Orangtua dalam Pemberian
Obat Penurun Panas pada Anak
Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi,
Skripsi-S1, Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,
2009.
26. Subijanto, Achmad Arman. Review:
Keanekaragaman Genetik HLA-DR
dan Variasi Kerentanan terhadap
Penyakit Asma; Tinjauan Khusus
pada Asma dalam Kehamilan, dalam
Jurnal Biodiversitas, 9 (3): 237-243.,
Solo: Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2008.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
19
31. Penyegar PERAN SUAMI DALAM MENINGKAT-
KAN KUANTITAS DAN KUALITAS AN-
TENATAL CARE
Dewa Ayu Mirah Indrayani 1
, Nofi Nurul Fadilla1
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga, Surabaya
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Angka Kematian Ibu dan Bayi di
Inodesia
Wanita adalah makhluk dengan
berbagai risiko yang harus ditanggungnya.
Salah satu fase yang berisiko di dalam
kehidupan wanita adalah saat ia hamil.
Kehamilan yang seharusnya menjadi suatu
proses yang alamiah ternyata dapat
menyumbangkan angka kematian ibu dan
bayi. Ibu hamil dengan janin yang
dikandungnya adalah aset berharga yang
sudah sepantasnya mendapat perhatian
khusus. Namun ironisnya, Angka Kematian
Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator
kesehatan ibu, masih menunjukan angka
yang tinggi di Indonesia dan jauh berada
diatas AKI di negara ASEAN lainnya. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2012[1]
untuk AKI hasilnya
sangat mengejutkan. Kematian ibu
melonjak sangat signifikan menjadi 359 per
100.000 kelahiran hidup atau
mengembalikan pada kondisi tahun 1997.
Ini berarti kesehatan ibu justru mengalami
kemunduran selama 15 tahun. Pada tahun
2007, AKI di Indonesia sebenarnya telah
mencapai 228 per 100.000 kelahiran
hidup. AKI yang sangat tinggi itu artinya
Indonesia bahkan jauh lebih buruk dari
negara-negara paling miskin di Asia,
seperti Timor Leste, Myanmar, Bangladesh
dan Kamboja.
Indonesia kini telah berpredikat
terbelakang di Asia dalam melindungi
kesehatan ibu[2]
. Menurut World Health
Organization [3]
Indonesia menduduki
peringkat pertama dengan AKI tertinggi
dari 181 negara di dunia.
Perdarahan menempati persentase
tertinggi penyebab kematian ibu (28%),
anemia dan kurang energi kronik pada ibu
hamil menjadi penyebab utama terjadinya
perdarahan dan infeksi[4]
.
Tidak hanya AKI yang menjadi fokus
Pembangunan Millenium atau Millenium
Development Goals (MDGs) pada tahun
2015 sebagai upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia, khusus
untuk bidang kesehatan berfokus pula
melalui percepatan penurunan Angka
Kematian Anak (AKA) untuk Bayi dan
Balita. Target MDGs untuk Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah
sebesar 23 per 1000 KH pada tahun 2015
dari kondisi saat ini yaitu sebesar 34 per
1000 KH[5]
.
Apabila kondisi ini dibiarkan begitu
saja tanpa ada upaya dari pihak terkait,
tidak menutup kemungkinan Indonesia
akan mengalami kemunduran dari segi
kuantitas dan kualitas SDM hanya karena
kasus kematian ibu dan bayi yang
seharusnya dapat dicegah. Salah satu
upaya preventif yang dapat dilakukan
adalah melalui Antenatal Care (ANC)
sebagai deteksi dini komplikasi kehamilan
pada ibu dan janin.
Kunjungan ANC adalah kunjungan
ibu hamil ke bidan atau dokter sedini
mungkin semenjak ia merasa dirinya
hamil untuk mendapatkan pelayanan atau
asuhan antenatal. ANC dilakukan secara
rutin minimal 4 kali kunjungan (K4)
selama hamil[6]
.
Tujuan dari ANC dapat tercapai
apabila ada komitmen dari berbagai pihak
yang terkait baik itu pemerintah, nakes
(dokter, bidan, perawat), ibu hamil
maupun keluarga (termasuk suami) untuk
menyukseskannya. Sesuai dengan
pernyataan Kepmenkes RI dalam
Pedoman ANC Terpadu[7]
, salah satu
konsep pelayanan antenatal terpadu dan
berkualitas adalah melibatkan ibu dan
keluarganya terutama suami dalam
menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil,
menyiapkan persalinan dan kesiagaan
bila terjadi penyulit atau komplikasi.
Jika suami tidak menginginkan
suatu kehamilan, hal ini dapat membuat
permasalahan pada istrinya dalam
menerima kehamilannya[8]
.
20
32. Jika dukungan suami didapat seorang ibu,
ibu akan merasa ada pengharapan besar
dari orang-orang terdekatnya untuk
mempertahankan kehamilannya. Hal inilah
yang mempengaruhi intensitas ibu
melakukan ANC menuju persiapan
kehamilan lanjut, persalinan dan nifas.
Menurunkan AKI dan AKB melalui ANC
Menurut Kebijakan Departemen
Kesehatan[9]
dalam upaya mempercepat
penurunan AKI dan AKB pada dasarnya
dapat mengacu kepada intervensi strategis
“Empat Pilar Safe Motherhood” yang salah
satu diantaranya adalah melalui pelayanan
ANC. Meskipun ANC tidak dapat diklaim
sebagai satu-satunya solusi atas tingginya
kematian ibu dan bayi di negara
berkembang, namun ANC yang berkualitas
dapat membantu untuk pencapaian
Milenium Development Goals dalam
penurunan AKI dan AKB[10]
. ANC
merupakan pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan terlatih (dokter spesialis
kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu
bidan dan perawat bidan) untuk ibu selama
masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai
dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan
Kebidanan (SPK)[7]
.
Tujuan pengawasan wanita hamil
ialah menyiapkan ibu hamil sebaik-baiknya
secara fisik dan mental, serta
menyelamatkan ibu dan bayi dalam
kehamilan, persalinan dan masa nifas,
sehingga keadaan postpartum sehat dan
normal. Ini berarti dalam ANC seorang ibu
hamil akan diusahakan agar sampai akhir
kehamilan sekurang kurangnya, harus
sama sehatnya atau lebih sehat, adanya
kelainan fisik atau psikologi harus
ditemukan dini dan diobati, wanita
melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang
dilahirkan sehat fisik dan mental[11]
.
Menurut Depkes RI[9]
pelayanan
standar yang harus dilakukan oleh bidan
atau tenaga kesehatan saat ANC dikenal
dengan 10T. Standar pelayanan ini
diterapkan berdasarkan evidanced based
dengan tujuan dan maksud untuk
mengetahui status kesehatan ibu dan
janin. Pelayanan standar 10T tersebut
diantaranya adalah :
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi
badan
2. Pemeriksaan tekanan darah
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan
atas)
4. Pemeriksaan puncak rahim (tinggi
fundus uteri)
5. Tentukan presentasi janin dan denyut
jantung janin (DJJ)
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan
berikan imunisasi Tetanus Toksoid
(TT) bila diperlukan.
7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90
tablet selama kehamilan
8. Test laboratorium (rutin dan khusus)
9. Tatalaksana kasus
10. Temu wicara (konseling), termasuk
Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) serta
KB pasca persalinan
ANC untuk setiap wanita hamil
memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan
selama periode antenatal, yaitu 1 kali
kunjungan selama trimester pertama
(sebelum minggu ke 14 ), 1 kali kunjungan
selama trimester kedua (antara minggu 14
-28) dan 2 kali kunjungan selama
trimester ketiga (antara minggu 28-36 dan
sesudah minggu ke 36). Semakin tinggi
tingkat kesadaran para wanita hamil akan
pentingnya pemeriksaan kehamilannya
(sekurang-kurangnya 4 kali), semakin dini
pula komplikasi dalam kehamilan dapat
ditangani[6]
.
Di Indonesia cakupan kunjungan
ibu hamil K1 pada tahun 2011 adalah
95,71% dari target 95 % dan kunjungan
ibu hamil K4 sebanyak 88,27% dari target
90%[12]
. Meskipun kunjungan ibu hamil
hampir memenuhi target, masih perlu ada
perhatian khusus peningkatan kunjungan
ANC terutama pada K4 sebagai masa
persiapan kelahiran.
Beberapa faktor yang mem-
pengaruhi tercapai atau tidaknya
kunjungan KI sampai K4 ibu hamil
diantaranya adalah faktor internal (paritas
dan usia) dan eksternal (pengetahuan,
sikap, ekonomi, sosial budaya, geografis,
informasi dan dukungan)[9]
.
Saat ini, muncul fenomena ibu
hamil tanpa dukungan dari suami yang
disebabkan oleh banyak hal salah
satunya karena kesibukan mencari
nafkah, tingkat pengetahuan suami yang
rendah, dan sikap acuh suami yang
menganggap kehamilan sepenuhnya
tanggung jawab wanita[6]
. Pernyataan ini
sesuai dengan hasil survei yang dilakukan
oleh Lia Mulyanti, dkk[13]
pada 30 ibu
hamil di Rumah Bersalin Bhakti IBI
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
21
33. Semarang Tahun 2010 menunjukan ibu
hamil yang tidak mendapat dukungan
suami sebanyak 17 orang (56,7%)
sedangkan ibu hamil yang mendapat
dukungan suami hanya sebanyak 13 orang
(43,3%).
Analisis Hubungan Dukungan Suami
dengan Kunjungan ANC
Tabel 1. Dukungan Suami dalam Kunju-
ngan ANC
Sumber: Lia Mulyanti13
Tabel diatas adalah hubungan
persentase antara dukungan suami
dengan kunjungan ANC di Rumah Bersalin
Bhakti IBI Semarang tahun 2010. Dapat
diketahui bahwa dari 17 ibu hamil yang
tidak didukung oleh suaminya, hanya 6
orang (35,3%) melakukan kunjungan ANC
dengan baik. Sedangkan dari 13 ibu hamil
yang mendapatkan dukungan suaminya,
11 orang (84,6%) melakukan kunjungan
ANC dengan baik. Data sejenis juga
diperoleh dari analisis hubungan dukungan
suami terhadap motivasi ibu.
Tabel 2. Analisis Hubungan Dukungan
Suami terhadap Motivasi Ibu
Sumber: Rismawati, dkk14
Adapun penelitian lain pada salah
satu daerah di Indonesia yang dilakukan
oleh Deviana Haruma-wati[15]
di
Puskesmas Babadan Ponorogo kepada
20 orang ibu hamil. Sebanyak 9 ibu hamil
mendapat dukungan suami dan 8 orang
diantaranya melakukan kunjungan ANC
dengan baik (rutin melakukan kunjungan)
dan 1 antara 9 orang itu melakukan
kunjungan tidak baik. Sedangkan 11 ibu
hamil yang lain tidak memperoleh
dukungan suami, 3 diantaranya
melakukan kunjungan ANC dengan baik
dan 8 diantaranya tidak melakukan
kunjungan ANC. Terdapat pula perbedaan
psikologis yang dialami 9 ibu hamil yang
mendapat dukungan suami yaitu ibu lebih
tenang menghadapi kehamilan dan
persalinan.
Ketiga daerah di Indonesia ini
adalah beberapa bukti adanya hubungan
antara dukungan suami dengan
kunjungan ANC. Data-data ini
menunjukan bahwa sebagaian besar ibu
yang melakukan kunjungan ANC dengan
baik karena mendapat dukungan suami
dalam masa kehamilannya.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa
dukungan suami baik fisik maupun psikis
merupakan suatu bentuk perwujudan dari
sikap perhatian dan kasih sayang. Sikap
ini bila diberikan pada ibu hamil akan
memberikan pengaruh positif dalam
persiapan untuk menghadapi kehamilan
minggu-minggu selanjutnya, persalinan,
masa nifas dan perawatan bayi melaui
kunjungan ANC[16]
.
Suami dukung ANC, Ibu Selamat Bayi
Sehat
Dalam jurnal “Influence of Family
Members on Utilization of Maternal Health
Care Services”[17]
disebutkan bahwa di
antara suami dan ibu mertua, suami ibu
hamil itu dianggap sebagai orang yang
paling berpengaruh, terutama pada ibu
muda (remaja dan dewasa muda).
Dengan demikian, keterlibatan suami
sangat penting sebagai strategi untuk
meningkatkan pemanfaatan pelayanan
kesehatan ibu termasuk ANC.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Dukungan
suami pada
ibu hamil
Kunjungan ANC
Tidak
baik
Baik Jum-
lah
Tidak mendu-
kung
11
(64,7
%)
6
(35,3
%)
17
(56,7
%)
Mendukung
2
(15,4
%)
11
(84,6
%)
13
(43,3
%)
Total
13
(43,3
%)
17
(56,7
%)
30
(100
%)
Dukun-
gan
suami
Motivasi Ibu Jumlah
Termoti-
vasi
Tidak
Termoti-
vasi
n % N % n %
Mendu-
kung
26 86,
7
4 13,
3
3
0
77
,5
Tidak
Mendu-
kung
5 50.
0
5 50.
0
1
0
22
,5
Jumlah 31 78,
8
9 21,
2
4
0
10
0
22
34. Adapun beberapa bentuk dukungan
yang dapat diberikan suami kepada istri
untuk menyukseskan program ANC,
diantaranya :
1. Memberi dukungan fisik
Menurut Murray, Mc Kinney & Gorrie
[18]
, selama kehamilan ibu membutuhkan
bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas
rumah tangganya. Beberapa tindakan yang
dapat dilakukan suami seperti misalnya :
membantu angkat air dari sumur,
membantu menyapu halaman, membantu
mencuci piring dan pekerjaan lain yang
meringankan istri.
Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab ibu hamil kurang patuh dalam
melakukan ANC secara teratur dan tepat
waktu, salah satu diantaranya yaitu
kesibukan ibu terhadap pekerjaan rumah
[19]
. Urusan-urusan rumah tangga membuat
ibu merasa terbebani dan tidak memiliki
waktu untuk melakukan ANC terlebih untuk
pasangan tanpa melibatkan asisten rumah
tangga atau bantuan dari orang lain dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah.
Sehingga dengan adanya bantuan dari
suami, diharapkan istri menjadi lebih fokus
dengan kehamilan termasuk dalam
kunjungan ANC.
2. Mengingatkan jadwal ANC
Jadwal kunjungan ANC selama
masa kehamilan tidak terjadwal setiap
minggu, seperti yang diketahui kunjungan
ANC dilakukan minimal 4 kali (1 kali pada
TM 1, 1 kali pada TM 2 dan 2 kali pada TM
3)[6]
. Jarak antara kunjungan 1 ke
kunjungan berikutnya kurang lebih 1-2
bulan setelah kunjungan pertama dan hal
ini berpotensi membuat ibu hamil lupa
dengan jadwal kunjungan selanjutnya.
Dalam situasi ini suami dapat mengambil
peran dalam mengingatkan istri jadwal
kunjungan ANC. Suami harus berperan
aktif selalu menyarankan istri pentingnya
ANC dan rutin melakukan kunjungan[6]
.
Keadaan seperti ini dapat pula
disiasati dengan memberi pujian bila istri
sudah melakukan kunjungan atau telah
mengikuti pesan bidan/dokter.
Suatu pujian, sanjungan dan
penilaian yang baik akan memotivasi
seseorang melakukan hal berkaitan
dengan pujian, sebaliknya hukuman dan
pandangan negatif seseorang akan
menjadi hambatan proses terbentuknya
perilaku[6]
.
3. Menemani istri dalam kunjungan ANC
Kunjungan ANC yang ideal dan
disarankan adalah kunjungan dengan
didampingi oleh suami atau kerabat.
Memberi pengetahuan kepada wanita
hamil dan suaminya dapat menghasilkan
dampak lebih besar pada perilaku
kesehatan ibu dalam kehamilannya
dibanding memberi pengetahuan tanpa
ada pendampingan suami[20]
.
Adapun maksud dari keikutsertaan
suami dalam melakukan kunjungan yaitu
diharapkan tidak hanya istri namun suami
sebagai orang terdekat istri juga
mengetahui gejala dan tanda komplikasi
kehamilan, gizi dalam kehamilan, P4K
dan hal-hal penting lainnya yang
diperlukan selama masa kehamilan.
Pertemuan langsung suami dengan bidan/
dokter menjadi kesempatan pasangan
untuk berkonsultasi seputar kehamilan.
Dengan mewajibkan kehadiran
suami selama kunjungan ANC akan
mempermudah unit perawatan kesehatan
primer mendapat persetujuan suami
dalam mempermudah perawatan ibu
hamil[21]
. Hal ini disebabkan karena suami
telah memperoleh pengetahuan selama
ANC tentang keadaan yang mungkin akan
terjadi pada ibu hamil, sehingga
perawatan atau perujukan menjadi lebih
efektif karena tidak ada penolakan dari
suami sebagai decision maker. perawatan
atau perujukan menjadi lebih efektif
karena tidak ada penolakan dari suami
sebagai decision maker.
Selain itu kunjungan ANC dengan
suami juga berpengaruh pada psikologis
ibu hamil yaitu ibu menjadi lebih percaya
diri dengan kehamilannya serta
mengurangi kecemasan istri selama
kunjungan ANC[22]
.
4. Mencari informasi seputar kehamilan
Informasi-informasi yang diperoleh
suami sebagai bentuk pengetahuan
seputar kehamilan, persalinan, nifas
hingga perawatan bayi dapat diperoleh
suami melalui internet, antental class,
membaca buku KIA, dan mencari
informasi ke bidan, dokter atau kerabat
yang sudah berpengalaman. Informasi-
informasi ini nantinya dapat di-share
sebagai tambahan pengetahuan istri
seputar kehamilan.
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
23
35. BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Dari hasil analisis dengan
menggunakan uji statistik diperoleh
bahawa ada hubungan secara bermakna
antara tingkat pengetahan suami dengan
sikap dukungan yang diberikan suami
selama proses kehamilan sampai masa
nifas[23]
. Pengetahuan yang dimiliki suami
tentang kehamilan, persalinan dan nifas,
membuat suami semakin aware dengan
hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan
seperti memahami tanda-tanda dan
persiapan persalinan, perubahan fisik dan
psikologis ibu hamil, memahami perannya
sebagai pendamping persalinan, pembuat
keputusan yang rasional, hingga
mendukung IMD dan ASI ekslusif[24]
.
Upaya Meningkatkan Dukungan Suami
dalam Menyukseskan ANC
Mengingat akan pentingnya
dukungan suami dalam menyukseskan
ANC, perlu ada kiat-kiat khusus yang
diterapkan pasangan suami istri dan bidan/
dokter yang memberikan pelayanan
diantaranya adalah :
1. Bidan/dokter melibatkan partisipasi
suami dalam pemeriksaan ANC[25]
.
Dalam hal ini bidan/dokter dapat
meningkatkan peran suami dalam
kunjungan ANC dengan cara meminta
suami yang mendampingi istri masuk
ruang pemeriksaan untuk mendapat
edukasi seputar kehamilan bersama
istrinya dan tidak hanya menunggu di luar
tempat praktik bidan/dokter. Sedangkan
ibu dengan kunjungan ANC yang tidak
didampingi suami, diberi saran oleh bidan/
dokter untuk mengajak suami datang
menemani pada kunjungan berikutnya
sekaligus menjelaskan manfaat-manfaat
dari keterlibatan suami tersebut bagi ibu
dan kehamilannya.
2. Memberikan penyuluhan kepada
suami mengenai konsep ‘Suami Siaga’
Suami siaga yaitu kewaspadaan
suami untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan istrinya yang sedang hamil
sampai dengan persalinannya. Suami
siaga senantiasa siap memberikan yang
terbaik untuk istri dan janinnya. Sebagai
suami siaga ia siap dan ikhlas untuk
memeriksakan kehamilan istrinya dan ikut
mempersiapkan persalinan dengan tenaga
medis[25]
.
Peran suami siaga ini dapat
ditingkatkan melalui penyuluhan yang
dilakukan oleh pihak terkait, seperti : bidan,
dokter, kader, suami siaga, dll. Penyuluhan
dapat dilakukan pada sarana atau tempat-
tempat berkumpul dan berinteraksi para
lelaki, misalnya tempat kerja dan forum
komunikasi desa. Penyuluhan suami
siaga diharapkan dapat mengubah
perilaku suami yang memiliki istri hamil
agar lebih memiliki sikap peduli dan siaga
terhadap kehamilan.
Adapun pengertian suami siaga
secara rinci adalah :
Siap :
1. Secara mental, ketika ibu sedang
menghadapi persalinan, suami
mempersiapkan mentalnya untuk
memberikan dukungan atau
semangat kepada istri.
2. Secara fisik, suami mempersiapkan
diri dan lingkungan untuk menjaga
dan melindungi istrinya.
3. Secara materil, suami
mempersiapkan dana untuk
persalinan istrinya.
Antar : Suami mengantarkan istri ketika
kunjungan ANC, merasakan adanya
tanda- tanda dan gejala persalinan.
Jaga : Suami menjaga istri ketika
menghadapi persalinan[26]
.
Setiap kehamilan berisiko
membawa komplikasi, hampir tidak dapat
diprediksi siapa, kapan dan bagaimana
ibu hamil mengalami komplikasi. Fakta
inilah yang dapat dijadikan pelajaran
bahwa setiap ibu hamil harus mempunyai
akses asuhan kehamilan dan persalinan
yang berkualitas yang dapat diperoleh
melalui ANC terpadu. ANC yang
berkualitas dapat diperoleh salah satunya
melalui dukungan suami yang dapat
diberikan dalam beberapa bentuk
dukungan terhadap istrinya. Dukungan-
dukungan ini dapat ditingkatkan melalui
kesadaran suami itu sendiri, ajakan dari
istri, bidan/dokter dan penyuluhan tentang
suami siaga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik. 2013. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
2. BKKBN. Angka Kematian Ibu
Melahirkan. 2013. 20 October 2015
<http://www.menegpp.go.id/v2/
indeks.phhp/datadaninformasi/
kesehatan>.
24
36. 3. Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
4. Joewono, Benny. Data Penelitian AKI
dan AKB di Indonesia. 2012. 29
O k t o b e r 2 0 1 5 < h t t p : / /
www.kompas.com>
5. Depkes RI. 2008. Millenium
Development Goals 2015. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
6. Saifuddin. 2006. Pelayanan Kesehatan
Maternal & Neonatal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
7. Kementerian Kesehatan RI. 2010.
Pedoman Pelayanan Antenatal.
Jakarta: Kementerian Kesehatan
Direktur Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat
8. Catherine A. Niven. 2005.
Psychological Care for Families:
Before, During and After Birth. British:
British Library Cataloguing in
Publication Data
9. Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan
Nasional. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
10. Depdiknas. 2005. Educational
Indicators in Indonesia, 2004/2005.
Jakarta: Ministry of National
11. Wiknjosastro, H, dkk. 2006. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
12. Depkes RI. 2012. Pedoman Pelayanan
Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar
Puskesmas. Jakarta: Pusdiknakes
13. Lia Mulyanti. “Hubungan Dukungan
Suami pada Ibu Hamil dengan
Kunjungan ANC di Rumah Bersalin
Bhakti IBI Jl. Sendangguwo Baru V No
44c Kota Semarang”. 2010. 15
O k t o b e r 2 0 1 5 < h t t p : / /
www.jurnal.unimus.ac.id>
14. Rismawati, dkk. Hubungan Dukungan
Suami dengan Motivasi Ibu Hamil
terhadap Pemeriksaan Antenatal Care
(ANC) di RSKDIA Siti Fatimah
Makassar Tahun 2012. Makasar:
STIKES Nani Hasanuddin Makassar.
15. Harumawati, Deviana. 2012.
Penelitian: Gambaran Dukungan
Suami dalam Antenatal Care Ibu
Hamil. Ponorogo.
16. Notoatmodjo, S. 2005. Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT Rineka Cipta
17. Upadhyay P. 2014. Influence of
Family Members on Utilization of
Maternal Health Care Services
Among Teen and Adult Pregnant
Women in Kathmandu, Nepal: A
Cross Sectional Study. Thailand:
Faculty of Medicine, Prince of Songkla
University, Hat Yai, Songkhla
18. Gorrie, T.M., Mc Kinney, E.S., &
Murray, S.S. 2005. Foundation of
Maternal Newborn Nursing 2nd
.
California: WB Saunders Co
19. Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi
Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
20. Britta C., Mullany, et.al.. 2009. 29
O k t o b e r 2 0 1 5 < h t t p : / /
www.jnma.com.np/jnma/index.php/
jnma/article/viewFile/191/673>
21. Aparajita Chattopadhyay. Men In
Maternal Care: Evidence From India.
Journal Of Biosocial Science. 2012.
29 Oktober 2015 < http://
journals.cambridge.org/action/
d i s p l a y A b s t r a c t ?
fromPage=online&aid=8478377&fileId
=S0021932011000502>
22. Kusmiati, dkk. 2008. Panduan
Lengkap Perawatan Kehamilan.
Yogyakarta: Fitramaya
23. Muhariadi Nugroho. 2005. Peranan
Suami dalam Perawatan Kehamilan
dan Persalinan Istri. Surabaya:
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
24. Soemantri KN. 2004. Kajian Kematian
Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI
25. Nurani, Meytha Winarso, Inang. 2013.
Gerakan Partisipatif Ibu Hamil,
Menyusui dan Bayi. Jakarta: EGC
26. Syafrudin Hamidah, 2009. Kebidanan
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
25
37. Penyegar PERCEPATAN AFIRMASI POSITIF
DALAM GELOMBANG ALFA DENGAN
MUSIK RELAKSASI GUNA MENSTIMU-
LASI HORMON OKSITOSIN DALAM
PROSES PENGELUARAN ASI
Fanisa Mutiara Apriliani1
, Tesha Rosyida N.A1
1
Program Studi D III, Akademi Kebidanan, Yogyakarta
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Menyusui adalah proses pemberian
Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi, dimana
bayi memiliki refleks menghisap untuk
mendapatkan dan menelan ASI.[1]
Akan
tetapi, proses menyusui bukanlah suatu
hal yang mudah. Banyak keluhan yang
dirasakan ibu menyusui, salah satunya
adalah ibu merasa cemas dan khawatir
bahwa ASI nya tidak bisa keluar dan tidak
mencukupi kebutuhan bayi sehingga
menimbulkan stres pada ibu terutama
pada ibu pasca salin yang akan melakukan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Kelelahan,
perasaan stres, takut, dan cemas setelah
melahirkan yang dirasakan oleh seorang
ibu dapat menyebabkan hormon oksitosin
yang berfungsi dalam proses kelancaran
aliran ASI terhambat produksinya.[2]
Hormon oksitosin berperan pada
refleks pengeluaran ASI (let down refleks)
yang akan mengerutkan sel-sel otot
disekitar kelenjar payudara sehingga ASI
terperas keluar. Walaupun produksi ASI
cukup banyak, apabila refleks ini tidak
bekerja maka bayi tidak akan
mendapatkan ASI yang memadai.[3]
Sehingga, perlu dilakukan manjemen stres
pada ibu agar ibu berada pada kondisi
yang nyaman dan percaya diri akan ASI
yang akan dikeluarkan.
Banyak cara yang bisa dilakukan
untuk membantu ibu dalam merangsang
pengeluaran ASI secara alamiah. Salah
satu caranya yaitu dengan afirmasi postif
yang dilakukan ketika ibu dalam kondisi
rileks dan berada pada gelombang otak
Alfa. Kondisi rileks ini dapat diperoleh me-
lalui musik relaksasi. Terapi musik ini
merupakan salah satu teknik distraksi yang
efektif dan dipercaya dapat menurunkan
nyeri fisiologis, stres dan kecemasan
dengan mengalihkan perhatian seseorang
dari nyeri.[4]
Musik memiliki beberapa kelebihan,
yaitu karena musik bersifat nyaman,
menenangkan, membuat rileks,
berstruktur, dan universal. Perlu diingat
bahwa banyak dari proses dalam hidup
kita selalu berirama. Sebagai contoh,
nafas kita, detak jantung, dan pulsasi
semuanya berulang dan berirama.
Relaksasi yang dalam dan teratur
membuat sistem endokrin, aliran
darah, persyarafan dan sistem lain di
dalam tubuh anda akan berfungsi lebih
baik.[5]
Menjaga sikap positif sangatlah
penting seperti merasa tenang dan rileks
selama menyusui, karena ketika ibu
merasa rileks, maka akan merangsang
hormon di dalam tubuh, yaitu hormon
endorfin atau hormon kebahagiaan.
Salah satu fungsi dari hormon en-
dorfin adalah bisa membantu tubuh untuk
mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon
prolaktin adalah hormon utama dalam
proses produksi ASI. Selain hormon
prolaktin, terdapat hormon oksitosin yang
dihasilkan oleh hipofisis posterior dimana
hormon ini berfungsi untuk pengeluaran
ASI atau pada saat LDR (let down reflex).
Refleks pengeluaran ASI lebih rumit
dibandingkan refleks pembentukan ASI.
Pikiran maupun perasaan ibu akan sangat
memengaruhi refleks ini. Dengan melihat
bayinya, memikirkan bayi dengan
perasaan penuh kasih sayang,
mendengar tangisan bayi, mencium bayi
dan perasaan ibu yang tenang serta
bahagia. Semua ini dapat meningkatkan
refleks pengeluaran ASI. Sebaliknya,
stres merupakan hal yang dapat
menghambat refleks oksitosin. Perasaan
negatif, kesakitan, khawatir, ragu-ragu,
kecewa dan stres dalam keadaan darurat
akan menghambat refleks oksitosin dan
juga mengakibatkan pancaran ASI-nya
26