Dokumen tersebut membahas latar belakang masalah rendahnya hasil belajar fisika siswa SMA Negeri 1 VII Koto Sungai Sarik. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar antara lain proses pembelajaran yang bersifat verbalistik dan siswa hanya menerima pelajaran secara pasif. Peneliti berniat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe ability grouping untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Uli pembelajaran pemantapan kemampuan profesional ipa ips copy
Proposal mimi yuni
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi
pembangunan bangsa. Pendidikan membantu manusia mengembangkan dirinya dan
menghadapi setiap perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 1, dijelaskan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi dirinya, sehingga mampu
menghadapi setiap perubahan yang terjadi dalam hidup dan kehidupannya. Siswa
dituntut mempelajari berbagai macam ilmu seperti ilmu sains, sosial, agama, seni dan
lainnya.
Ilmu sains adalah salah satu bidang ilmu yang dapat menunjang teknologi, dan
fisika merupakan salah satu unsur dalam ilmu sains. Fisika berhubungan dengan
fakta-fakta dan prinsip-prinsip yang ada pada fenomena alam serta cara memperoleh
fakta-fakta dan prinsip-prinsip tersebut. Mata pelajaran fisika merupakan mata
pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analisis, induktif, dan
deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan peristiwa alam
sekitar, baik kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan matematika. Mata
pelajaran fisika dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan serta sikap
2. percaya diri. Fisika sangat perlu dipelajari pada setiap jenjang pendidikan mulai dari
sekolah dasar, sekolah menengah sampai perguruan tinggi. (Depdiknas, 2006)
Menyadari pentingnya mata pelajaran ini, berbagai usaha telah dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran fisika. Beberapa
diantaranya adalah peningkatan kompetensi guru dengan mengaktifkan Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), pengoptimalan sarana pendukung baik berupa
laboratorium, dan perpustakaan melalui pemberian bantuan dana BOS. Pemerintah
juga berusaha untuk menyempurnakan kurikulum. Walaupun demikian, fisika masih
menjadi mata pelajaran yang menakutkan, membosankan dan dianggap sulit oleh
siswa. Hal ini membuat siswa di kelas menjadi pasif, dan mengakibatkan hasil belajar
siswa menjadi rendah.
Kenyataan ini juga ditemui di SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik dengan
ketuntasan nilai ulangan fisika siswa kelas X pada semester ganjil yang belum
mencapai target yang diinginkan, seperti Tabel 1:
Tabel 1.1 Persentase Ketuntasan Belajar Fisika Siswa pada Ulangan Harian Semester
I di Kelas X SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik
Jumlah siswa yang X.5 X.8
nilainya (%) (%)
75 20,6 17,1
< 75 79,4 82,9
Sumber : Guru fisika kelas X SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik
Tabel 1 di atas terlihat bahwa nilai ulangan harian semester I mata pelajaran
fisika siswa kelas X pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012 sebagian besar
berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Berdasarkan keterangan dari
3. guru fisika SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik yang ditetapkan adalah 75. Kriteria
untuk menentukan KKM ini antara lain dengan memperhatikan (1) Kompleksitas atau
kesulitan dimana kompleksitas tinggi dalam pelaksanaannya menuntut SDM
memahami kompetensi yang harus dicapai siswa, (2) Kemampuan sumber daya
dukung yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang sesuai kompetensi yang dicapai,
(3) Tingkat kemampuan rata-rata siswa.
Faktor yang menyebabkan belum tuntasnya hasil belajar fisika siswa
diantaranya berkaitan dengan proses pembelajaran. Umumnya proses pembelajaran
bersifat verbalistis. Guru hanya dikenal sebagai informator, dan pembelajaran yang
berlangsung berpusat pada guru, yang mana guru menentukan bahan pelajaran dan
siswa hanya duduk, melihat, mendengar dan menerima pelajaran secara pasif. Guru
jarang memberikan berbagai variasi cara dalam pembelajaran materi, menjelaskan
materi kepada siswa bersifat satu arah atau monoton tanpa memperdulikan umpan
balik dari siswa. Hal ini membuat siswa menjadi bosan dan pasif dalam mengikuti
pembelajaran fisika, serta tidak jarang ditemui siswa yang mengeluh dalam belajar
dan menyatakan fisika pelajaran yang sulit dan membosankan.
Guru juga jarang menyuruh siswa untuk melakukan berbagai aktivitas seperti
diskusi, bertanya, memberi tanggapan atas penjelasan yang diberikan padahal dengan
adanya aktivitas yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung akan
menjadikan siswa aktif serta memudahkannya dalam menguasai pelajaran. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nasution (1995:85) yang menyatakan bahwa:
4. Pelajaran yang tidak segera dikuasai dengan mendengarkan atau membacanya
saja. Masih perlu lagi kegiatan-kegiatan lain seperti membuat rangkuman,
mengadakan tanya jawab, atau diskusi dengan teman-teman dan mencoba
menjelaskannya kepada orang lain.
Salah satu aktivitas siswa dalam pembelajaran fisika yang jarang dilakukan
selama proses pembelajaran berlangsung adalah diskusi kelompok berdasarkan
tingkat akademisnya. Diskusi yang sering dilaksanakan biasanya diambil berdasarkan
urutan bangku terdekat tanpa memperhatikan tingkat akademisnya. Kedua kelompok
yang berbeda tingkat penguasaannya ini dijadikan satu, maka akan terjadi
ketimpangan dalam penerimaan pelajaran. Bentuk ketimpangan itu adalah siswa yang
cepat menguasai pelajaran harus menunggu pada siswa yang kurang cepat menguasai
pelajaran sampai siswa tersebut menguasai pelajaran. Gurunya pun tidak bisa
menerapkan satu cara dalam satu kelas yang sama. Akibatnya, baik siswa maupun
guru sama-sama mengalami kesulitan. Siswa yang pandai memerlukan layanan
pembelajaran yang berbeda dengan siswa yang kurang pandai. Siswa yang pandai
cenderung lebih cepat menerima pelajaran dan lebih mudah menerima pelajaran
dibandingkan dengan siswa yang kurang pandai.
Mengingat jika hal ini tidak segera diantisipasi tentu akan merugikan siswa,
sehingga siswa akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam memahami materi
selanjutnya. Ini akan mengakibatkan siswa yang tidak paham mengalami kegagalan
dalam pembelajaran serta guru pun sulit mencapai tujuan instruksional yang
diharapkan dan akhirnya tujuan pembelajaran fisika berdasarkan kurikulum belum
bisa diwujudkan. Guru dituntut untuk berperan sebagai fasilitator, motivator dan
5. mediator. Guru tidak hanya sebagai penyampai materi saja tetapi juga bertanggung
jawab dalam memotivasi dan membimbing siswa dalam proses pembelajran.
Sebaiknya guru harus pandai memilih model pembelajaran yang pas untuk masalah
siswa sehingga siswa menjadi lebih berminat dalam mengikuti pelajaran dan
menjadikan siswa aktif dalam proses pembelajaran. Penelitian ini yang menjadi
pokok permasalahan adalah penggunaan model pembelajaran terutama sekali model
cooperative learning dengan memperhatikan kemampuan kelompok atau “ability
grouping”.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik. Berdasarkan
survei awal terhadap kemampuan siswa di sekolah ini, terlihat bahwa siswa memiliki
kemampuan yang bervariasi. Oleh sebab itu, memungkinkan untuk dikelompokkan
berdasarkan kemampuan mereka. Siswa juga sudah terbiasa melakukan diskusi, tetapi
baru pada taraf diskusi kelompok berdasarkan meja terdekat.
Ability grouping adalah salah satu pandangan dalam diskusi yang
memperhatikan kemampuan tiap-tiap kelompok. Menurut Ngalim (2008) “ability
grouping adalah pengelompokan siswa dalam kelas berdasarkan kemampuan
akademisnya, siswa yang tingkat kemampuan akademisnya baik dijadikan satu
kelompok, dan dipisahkan dengan kelompok siswa yang tingkat akademisnya kurang
baik”. Dengan menerapkan ability grouping ini diharapkan guru akan lebih mudah
mengontrol dan melihat sejauh mana pemahaman materi siswa yang kemampuan
akademisnnya rendah. Selain itu, siswa yang awalnya tidak biasa berbicara di depan
kelas diharapkan mampu berbicara mengeluarkan pendapatnya.
6. Permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul: “Pengaruh Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Ability Grouping
Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X SMA Negeri 1 VII Koto Sungai Sarik”.
B. Identifikasi Masalah
Latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Hasil belajar fisika masih ada yang belum tuntas.
2. Guru hanya dikenal sebagai informator sehingga siswa menerima pelajaran
secara pasif.
3. Guru biasanya menjelaskan materi kepada siswa bersifat satu arah.
4. Guru jarang menyuruh siswa untuk melakukan berbagai aktifitas seperti diskusi.
5. Guru jarang memberikan berbagai variasi cara dalam pembelajaran materi.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan terkontrol, maka penulis perlu membatasi
masalah yang akan diteliti. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis
membatasi masalah pada:
1. Materi pelajaran yang berkenaan dengan penelitian adalah materi pelajaran fisika
yang diberikan pada kelas X semester 2 Tahun ajaran 2011/2012, yakni Listrik
Dinamis.
2. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model cooperative learning tipe
ability grouping.
3. Hasil belajar yang diteliti pada penelitian ini adalah pada ranah kognitif.
7. D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah: “Apakah terdapat pengaruh penerapan model cooperative learning tipe
ability grouping terhadap hasil belajar fisika siswa kelas X SMA N 1 VII Koto
Sungai Sarik”.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model
cooperative learning tipe ability grouping terhadap hasil belajar fisika siswa kelas X
SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik.
F. Manfaat Penelitian
Bertolak dari tujuan penelitian di atas, maka diharapkan penelitian ini dapat
dimanfaatkan untuk:
1. Pengalaman dan bekal bagi penulis untuk melaksanakan proses pembelajaran
dimasa yang akan datang.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi guru-guru sebagai pendekatan
alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
3. Sebagai sumber ide, informasi dan referensi dalam pengembangan penelitian
dalam bidang pendidikan.
4. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan
Fisika STKIP YDB Lubuk Alung.
8. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Belajar dan Pembelajaran
Proses belajar merupakan suatu rangkaian peristiwa yang komplek, dimana
terdapat hubungan timbal balik antara guru sebagai pendidik dan siswa sebagai siswa.
Dalam proses pembelajaran tersebut timbul perubahan tingkah laku peserta didik
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pendapat tersebut
didukug oleh Slameto (1998:2) “Belajar adalah usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh perubahan tingkah laku yang baru, sebagai hasil dari pengalaman
pembelajaran individu itu sendiri”. Proses belajar dilakukan berkesinambungan,
bertahap, bergilir dan terpadu yang keseluruhan itu menimbulkan warna dan
karakteristik terhadap hasil belajar itu sendiri.
Ciri-ciri perubahan tingkah laku seperti yang diungkapkan Slameto (1998:3)
adalah: “(a) Perubahan yang terjadi secara sadar, (b) Perubahan dalam belajar terjadi
secara kontinu dan fungsional, (c) Perubahan dalam belajar bersifat tetap, dan (d)
Perubahan dalam belajar bersifat aktif dan positif”. Sadirman (2001:20) menyatakan
“belajar adalah perubahan tingkah laku atau penampilan, serangkaian kegiatan
misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya”.
9. Proses belajar dan pembelajaran haruslah sesuai dengan kebutuhan dan minat,
sehingga memperoleh hasil yang memuaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Nasution (1992:23) bahwa; “Belajar akan menjadi lebih menarik, manakala bahan
pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan minat anak”. Walaupun siswa berbeda
secara individual, tetapi membutuhkan pengetahuan-pengetahuan yang relevan untuk
kehidupannya. Salah satu diantaranya adalah pengetahuan pada bidang Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA).
2. Pembelajaran Fisika Menurut KTSP
Salah satu komponen penting dari KTSP adalah pelaksanaan. Pembelajaran
yang berbasis KTSP dapat diartikan sebagai suatu proses penerapan ide, konsep, dan
kebijakan KTSP dalam suatu aktivitas pembelajaran sehingga siswa menguasai
seperangkat kompetensi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Pelaksanaan pembelajaran yang berbasis KTSP tersebut dapat dilihat dari pendidikan
IPA.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui proses pembelajaran yang memberikan pengalaman
langsung, diharapkan siswa lebih memahami alam sekitar secara ilmiah.
Fisika sebagai cabang dari IPA, yang mempelajari mengenai fenomena alam,
diharapkan dapat memberikan pelajaran yang baik untuk keselarasan dalam
kehidupan. Untuk itu, pembelajaran fisika menuntut siswa lebih banyak melakukan
10. kegiatan melalui pengamatan terhadap fakta. Dalam pembelajaran siswa diikut
sertakan secara aktif agar dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam BSNP (2006:6) dijelaskan bahwa:
Kegiatan mata pelajaran fisika dilakukan melalui kegiatan keterampilan proses
meliputi eksplorasi (untuk memperoleh informasi, fakta), eksperimen dan
pemecahan masalah (untuk penguatan pemahaman konsep dan prinsip). Setiap
kegiatan pembelajaran bertujuan untuk mencapai kompetensi dasar yang
dijabarkan dalam indikator dengan intesitas pencapaian kompetensi yang
beragam.
Melalui kegiatan keterampilan proses, siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan
dan pengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yag lebih baik. Siswa
membangun sendiri konsep yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh
guru. Walaupun konsep yang ditemukan kurang tepat atau terjadi kesalahan, guru
berperan memberi bantuan dan arahan (scalfolding). Kesalahan siswa merupakan
bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu menunjukkan bahwa ia sedang
belajar, ikut berpartisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Prinsip belajar yang diterapkan adalah siswa sebagai subjek belajar, dimana
dengan melakukan-mengkomunikasikan maka kecerdasan emosionalnya dapat
berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini
bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok, diskusi, presentasi, tanya-jawab,
sehingga memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin diri.
3. Pembelajaran Kelompok
Pembelajaran secara kelompok merupakan pembelajaran yang dilaksanakan
oleh beberapa orang untuk mencapai tujuan tertentu. Belajar kelompok terutama
11. ditujukan untuk mengembangkan konsep/sub konsep yang sekaligus
mengembangkan aktivitas sosial siswa, sikap dan nilai. Sesuai yang dikemukakan
Ernest (1975:8) “group methods are the strategier and tactics of dealing with group
interpersonal relation and task function through the application of knowledge about
group process and dynamics”.
Menurut Robert L. Cilstrap dan Wilian R Martin dalam anonim (2009):
“pembelajaran kelompok sebagai kegiatan yang biasanya berjumlah kecil yang
diorganisir untuk kepentingan belajar. Pengelompokan ini memberi solusi untuk
mengaktifkan siswa, karena menuntut kooperativitas dari beberapa individu”.
Kelebihan kerja kelompok menurut Syaiful (200:67) antara lain sebagai berikut:
a. Membiasakan siswa bekerja sama menurut paham demokrasi, memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan sikap musyawarah dan
bertanggung jawab.
b. Kesadaran akan adanya kelompok menimbulkan rasa kompetitif yang sehat,
sehingga membangkitkan kemauan belajar dengan sungguh-sungguh.
c. Melatih ketua kelompok menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan
membiasakan anggotanya untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam kerja kelompok terjadi interaksi antara anggota kelompok. Sifat egosentris
siswa akan berkurang dengan adanya pendekatan antar siswa dalam berbagai cara,
terutama melalui diskusi. Siswa akan memperoleh pengalaman mental yang
memungkinkan otak bekerja dan mengembangkan cara-cara baru untuk
melaksanakan presepsi dan memecahkan masalah.
4. Model Cooperative Learning
12. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran ini, guru harus
memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai
model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan
perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model
pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran
Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok
yang terstruktur. Struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993),
yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal,
keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Falsafah yang mendasari pembelajaran
Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo
homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Cooperative Learning adalah suatu model belajar mengajar yang menekankan
pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama
dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang
atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan model belajar
dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya
berbeda. Menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus
saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.
13. Pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam
kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie (2002:28), bahwa “Model pembelajaran Cooperative
Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar
yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan”.
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa
dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model
pembelajaran gotong royong yaitu :
a. Saling ketergantungan positif
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk
menciptakan kelompok kerja yang efektif, guru perlu menyusun tugas sedemikian
rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar
yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
b. Tanggung jawab perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan
yang terbaik. Guru yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning
membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing
anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas
selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
c. Tatap muka
14. Pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan
untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para
pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari
sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi
kekurangan.
d. Komunikasi antar anggota
Unsur ini menghendaki agar siswa dibekali dengan berbagai keterampilan
berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan
para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga
merupakan proses panjang. Proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan
perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan
perkembangan mental dan emosional siswa.
e. Evaluasi proses kelompok
Guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi
proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja
sama dengan lebih efektif.
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif
yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada Table 2:
Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Kooperatif
15. Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1: Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran
Menyampaikan tujuan dan yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa memotivasi siswa belajar
Fase 2: Guru menyajikan informasi kepada siswa
Menyajikan informasi dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan
Fase 3: Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
Mengorganisasikan siswa ke caranya membentuk kelompok belajar dan
dalam kelompok-kelompok membantu setiap kelompok agar melakukan
belajar transisi secara efisien
Fase 4: Guru membimbing kelompok-kelompok
Membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
bekerja dan belajar mereka
Fase 5: Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
Evaluasi materi yang telah dipelajari atau masing-
masing kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya
Fase 6: Guru mencari cara-cara untuk menghargai
Memberikan penghargaan baik upaya maupun hasil belajar individu
kelompok
5. Pembelajaran Ability Grouping
Menurut John dan Hasan (2007) “ability adalah kemampuan, kecakapan
sedangkan grouping artinya kelompok”. Jadi, ability grouping adalah pembelajaran
yang menuntut kemauan dan kecakapan siswa yang telah dikelompokkan berdasarkan
kemampuannya di dalam kelas.
16. Menurut Ngalim (2008) “ability grouping adalah pengelompokan siswa dalam
kelas yang sama berdasarkan kemampuan akademisnya. Siswa yang tingkat
penguasaan akademisnya baik, dijadikan satu dan terpisah dengan kelompok siswa
dengan tingkat penguasaan akademisnya kurang baik”. Menurut Anita (2005:39)
“ability grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan
setara dalam kelompok yang sama”. Praktik ini bisa dilakukan pada pembagian
kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu sekolah. Jadi, di
dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok siswa yang lemah, atau
dalam satu sekolah terdapat kelas unggul dan kelas reguler biasa.
Pengelompokan homogen berdasarkan prestasi belajar sangat disukai karena
tampaknya memang bermanfaat. Pertama, pengelompokan cara ini sangat praktis dan
mudah dilakukan secara administratif. Kedua, pengelompokan homogen berdasarkan
hasil prestasi dilakukan untuk memudahkan pembelajaran. Guru memang
menghadapi tantangan yang lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran yang
berlainan kemampuan dalam satu kelompok atau satu kelas. Jika pembelajaran terlalu
cepat, siswa yang lambat akan tertinggal. Sebaliknya jika pembelajaran terlalu
lambat, siswa yang cerdas akan merasa bosan dan akhirnya mengabaikan atau
mengacau kelas. Oleh karena itu, pengelompokan homogen dianggap bisa
menyelesaikan masalah.
Langkah pertama dalam membentuk pengelompokan homogenitas berdasarkan
kemampuan akademis siswa adalah mengurutkan siswa berdasarkan nilai rata-rata
17. ulangan harian, selanjutnya membentuk kelompok dengan melihat urutan nilainya,
siswa yang nilainya berdekatan dijadikan satu kelompok.
6. Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Ability Grouping
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, dalam pembelajaran
model cooperative learning tipe ability grouping siswa di bagi berdasarkan
kemampuan akademisnya. Jadi siswa yang akademisnya baik ditempatkan sama
dengan yang kemampuan akademisnya baik juga. Begitu juga sebaliknya siswa yang
kemampuan akademisnya kurang dijadikan satu kelompok dengan temannya yang
memiliki kemampuan yang sama, nantinya mereka berdiskusi dan saling berinteraksi.
Anita (2005:41) menjelaskan langkah – langkah pembelajaran model
cooperative learning tipe ability grouping adalah sebagai berikut:
a. Guru menjelaskan materi secara ringkas yang akan dipelajari siswa
b. Mengelompokan siswa secara homogen berdasarkan kemampuan akademisnya.
Siswa diurutkan berdasarkan rata – rata nilai ulangan harian, kemudian
dibentuklah kelompok dimana satu kelompok terdiri maksimal atas lima orang.
c. Menentukan jenis diskusi yaitu diskusi kelompok kecil.
d. Guru memberikan pengarahan sebelum dilaksanakan diskusi, menyampaikan
tujuan yang ingin dicapai dan aturan – aturan diskusi serta membagikan LDS.
e. Dalam diskusi guru sebagai pemantau keaktifan kelompok.
f. Guru mewajibkan kepada setiap kelompok untuk mengumpulkan LDS.
g. Mendiskusikan materi yang telah didiskusikan oleh siswa bersama guru. Disini
guru merangsang pertanyaan siswa.
h. Guru menjelaskan materi pembelajaran secara lebih mendalam sebagai
kelanjutan penjelasan pertemuan awal.
i. Siswa diwajibkan membuat kesimpulan pada pokok materi yang telah dipelajari.
j. Siswa mengumpulkan kesimpulan.
Pembelajaran model cooperative learning tipe ability grouping siswa tidak menerima
informasi dan pengetahuan secara pasif tetapi secara aktif belajar bersama–sama,
18. saling membantu dengan teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar.
Dengan pemberian tugas membaca dan membuat kesimpulan materi siswa dapat
mempertahankan pekerjaan kelompoknya.
Tanya jawab dalam diskusi diharapkan dapat membantu tumbuhnya perhatian
siswa pada pelajaran, serta mengembangkan kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan dan pengalamannya, sehingga menghasilkan pengetahuan yang benar –
benar bermakna.
7. Hasil Belajar
Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari apapun yang terjadi dalam kegiatan
belajar baik di kelas, di sekolah, maupun di luar sekolah. Pengalaman yang di alami
siswa dalam proses pengembangan kemampuannya merupakan apa yang
diperolehnya dalam satu kegiatan atau secara terus menerus hampir dalam setiap
kegiatan.
Menurut Nana (1992:22) “hasil belajar adalah kemampuan – kemampuan yang
dimiliki siswa setelah mengalami proses pembelajaran”. Selain itu Nana (1952:22)
“membagi keterampilan dalam tiga macam yaitu: (1) keterampilan dan kebiasaan (2)
pengetahuan dan pengertian (3) sikap dan cita – cita. Sedangkan menurut Gagne
dalam Sudjana (1992:22) “membagi lima kategori dalam belajar yakni: (1) informasi
verbal (2) keterampilan intelektual (3) strategi kognitif (4) sikap, dan (5)
keterampilan motorik”. Menurut Bloom dalam Gulo (2002:28) proses pembelajaran
19. menempatkan hasil belajar dalam tiga ranah yaitu aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Hasil belajar ranah kognitif meliputi kemampuan yang menyatakan kembali
konsep atau prinsip yang telah dipelajari dan kemampuan intelektual. Menurut Bloom
dalam suharsimi (2006:117) “hasil belajar ranah kognitif meliputi: mengenal
(recognition), mengingat (remember), memahami (comprehension), menerapkan
(aplication), menganalisis (analysis), sintesis (syntesis), mengevaluasi (evaluation)”.
Hasil belajar ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai yang dimiliki siswa
dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne dalam Muslim (2005:15) “Sikap adalah
suatu keadaan yang ada di dalam diri seseorang yang mempengaruhi dan mengubah
tindakan yang dipilihnya”.
B. Kerangka Konseptual
Pelaksanakan kegiatan pembelajaran berdasarkan KTSP dituntut pembelajaran
yang dapat meningkatkan aktivitas siswa. Dengan menerapkan model cooperative
learning tipe ability grouping diharapkan siswa menjadi lebih aktif, namun masih
banyak siswa yang kemampuannya rendah cenderung bergntung pada siswa yang
kemampuannya tinggi, salah satu solusi yang dapat mengatasinya adalah dengan
penerapan model cooperative learning tipe ability grouping. Dengan menerapkan
model cooperative learning tipe ability grouping diharapkan guru akan lebih mudah
mengontrol dan melihat sejauh mana pemahaman materi siswa yang kemampuan
akademisnya rendah sehingga terjadi peningkatan hasil belajar. Selain itu siswa yang
20. awalnya tidak biasa berbicara di depan kelas diharapkan mampu berbicara
mengeluarkan pendapatnya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembelajaran Berdasarkan KTSP
Pembelajaran Fisika pada Model
Siswa Cooperative Learning Tipe Guru
Ability Grouping
Hasil Belajar
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan, maka
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hi: Terdapat pengaruh yang berarti penerapan model cooperative learning tipe
ability grouping terhadap hasil belajar fisika siswa kelas X SMA N 1 VII Koto
Sungai Sarik.
Ho: Tidak terdapat pengaruh yang berarti penerapan model cooperative learning
tipe ability grouping terhadap hasil belajar fisika siswa kelas X SMA N 1 VII
Koto Sungai Sarik.
21. BAB III
MATODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka jenis penelitian ini adalah
eksperimen semu menggunakan dua kelas sampel, yaitu kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Arikunto (2005:207) menyatakan bahwa
Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
mengetahui ada tidaknya akibat dari sesuatu yang dikenakan pada subjek
selidik. Caranya adalah dengan membandingkan satu atau dua kelompok
eksperimen yang diberi perlakuan dengan satu atau lebih kelompok
pembanding yang tidak penerima perlakuan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Control Group Only
Design. Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen adalah pembelajaran model
cooperative leearning tipe ability grouping, sedangkan pada kelas kontrol
dilaksanakan pembelajaran tanpa model cooperative leearning tipe ability grouping.
Rancangan penelitian ini digambarkan pada Tabel 3.
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian
Kelas Perlakuan Tes Akhir
Eksperimen X T
Kontrol - T
Sumber : Suryasubroto (2006:105)
Keterangan :
22. X = Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen
T = Tes akhir yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa kelas X SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik yang terdaftar
pada semester II tahun ajaran 2011/2012 seperti yang terdapat pada Tabel 4.
Tabel 3.2 Distribusi Siswa Kelas X SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik pada Tahun
Ajaran 2011/2012
Kelas Jumlah Siswa
X1 24
X2 39
X3 39
X4 38
X5 38
X6 39
X7 36
X8 37
X9 39
Sumber : Tata Usaha SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel yang diambil
haruslah representatif, yang menggambarkan keseluruhan karakteristik dari suatu
populasi. Teknik yang dipakai dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
23. Penulis hanya memerlukan dua kelas yaitu, kelas eksperimen dan kelas kontrol,
maka pengambilan sampel dilakukan dengan langkah – langkah sebagai berikut:
a. Menetapkan kelas eksperimen dan kelas kontrol sebagai kelas sampel.
b. Untuk melihat apakah kedua kelas ini memiliki kemampuan yang sama maka
dilakukan uji kesamaan dua rata-rata dengan terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas kedua kelas sampel untuk
melihat apakah kedua sampel tersebar normal.
c. Setelah dilakukan uji normalitas, kemudian dilakukan uji homogenitas kedua
kelas sampel.
d. Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas kemudian dilakukan uji
kesamaan dua rata-rata
e. Setelah diperoleh dua kelas sampel yang terdistribusi normal dan homogen,
maka diambil secara random, maka di dapat kelas eksperimen dan kelas
kontrol/
C. Variabel dan Data
1. Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas, variabel terikat dan
variabel kontrol.
a. Variabel bebas yaitu model cooperative learning tipe ability grouping
Variabel terikat yaitu hasil belajar siswa ranah kognitif setelah perlakuan
diberikan
24. b. Variabel kontrol yaitu guru, materi pelajaran, buku sumber dan jumlah jam
pelajaran yang diberikan adalah sama.
2. Data
Adapun data dalam penelitian ini adalah berupa data hasil belajar fisika siswa
kelas X SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik setelah perlakuan diberikan, berupa
data primer yang diperoleh langsung dari sampel yang diteliti. Data sekunder
meliputi jumlah dan keadaan siswa.
D. Prosedur Penelitian
Secara umum, prosedur penelitian ini dapat dibagi atas tiga bagian:
1. Tahap Persiapan
a. Menetapkan jadwal penelitian
b. Mengurus izin penelitian
c. Menentukan populasi dan sampel
d. Mempelajari materi fisika kelas X SMA N 1 VII Koto Sungai Sarik
e. Mempersiapkan dan menyusun Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
sesuai dengan materi yang akan diajarkan
f. Mempersiapkan instrumen penelitian
g. Membagi kelompok untuk kelas eksperimen berdasarkan kemampuannya
dengan mengetahui nilai ulangan harian yang sebelumnya
h. Menyusun soal untuk tes akhir
2. Tahap Pelaksanaan
25. Tabel 3.6. Skenario Pembelajaran Pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
1 2
1. Pendahulan 1. Pendahulan
a. Guru menyampaikan apersepsi dan a. Guru menyampaikan apersepsi dan
meminta siswa mengaitkan pelajaran meminta siswa mengaitkan
yang lalu dengan pelajaran yang pelajaran yang lalu dengan
akan dipelajari. pelajaran yang akan dipelajari.
b. Guru memotivasi siswa dengan b. Guru memotivasi siswa dengan
menyebutkan beberapa contoh menyebutkan beberapa contoh
penerapan fisika yang ada penerapan fisika yang ada
dilingkungan. dilingkungan.
c. Menyampaikan indikator yang harus c. Menyampaikan indikator yang
dicapai siswa setelah mempelajari harus dicapai siswa setelah
materi tersebut. mempelajari materi tersebut.
2. Kegiatan Inti 2. Kegiatan Inti
Eksplorasi Eksplorasi
a. Guru menyampaikan pokok-pokok a. Guru menyampaikan pokok-pokok
materi pelajaran dalam bentuk materi pelajaran dalam bentuk
ceramah singkat (sintak a). ceramah singkat.
b. Guru membentuk siswa dalam b. Guru memberikan contoh soal dan
beberapa kelompok kecil soal latihan kepada siswa untuk
berdasarkan kemampuannya untuk dikerjakan secara individu.
membahas beberapa persoalan yang
diberikan guru dalam lembar diskusi
siswa (sintak b).
c. Guru menentukan jenis diskusi yaitu c. Guru meminta siswa untuk
diskusi kelompok kecil (sintak c). menyelesaikan soal latihan di
26. depan kelas secara individu.
d. Guru memberikan pengarahan d. Siswa mengerjakan soal latihan di
sebelum melaksanakan diskusi, depan kelas secara individu.
menyampaikan aturan-aturan diskusi
serta membagikan LDS (sintak d).
e. Siswa melaksanakan diskusi e. Guru bersama siswa mengoreksi
dikelompok, guru memantau kerja jawaban yang telah dikerjakan
siswa sesuai dengan „ability’ oleh siswa.
kelompoknya (sintak e).
f. Hasil diskusi dipajang didepan kelas f. Siswa yang menjawab dengan
dan dilanjutkan dengan diskusi kelas benar mendapat penghargaan dari
yang dipandu guru, serta penekanan guru.
pemahaman konsep fisika (sintak f).
g. Siswa mendiskusikan materi yang g. Siswa yang mendapat
telah didiskusikan oleh siswa penghargaan merasa termotivasi
bersama guru dan guru merangsang untuk belajar.
pertanyaan siswa (sintak g).
h. Guru menjelaskan materi
pembelajaran secara lebih mendalam
sebagai kelanjutan kejelasan
pertemuan awal (sintak h).
i. Siswa diwajibkan membuat
kesimpulan pada pokok materi yang
telah dipelajari (sintak i).
j. Siswa mengumpulkan kesimpulan
(sintak j).
Elaborasi Elaborasi
a. Guru menjelaskan secara singkat a. Guru menjelaskan materi kepada
27. tentang materi kepada siswa. siswa secara singkat.
b. Guru memberikan kesempatan b. Guru memberikan kesempatan
bertanya kepada siswa mengenai bertanya kepada siswa mengenai
hal-hal yang belum dimengerti oleh hal-hal yang belum dimengerti
siswa. oleh siswa
Konfirmasi Konfirmasi
a. Guru memberikan komentar hasil a. Guru memperiksa jawaban,
diskusi dan meluruskan konsep- memberikan penguatan, dan
konsep yang salah. umpan balik terhadap jawaban
b. Guru memberikan kesempatan siswa.
bertanya kepada siswa mengenai
hal-hal yang masih belum
dimengerti.
3. Penutup 3. Penutup
a. Siswa bersama guru menyimpulkan a. Siswa bersama guru
pelajaran. menyimpulkan pelajaran.
b. Guru memberikan tugas rumah b. Guru memberikan tugas rumah
berupa soal-soal sesuai dengan berupa soal-soal sesuai dengan
materi yang telah dipelajari. materi yang telah dipelajari.
c. Guru menyebutkan materi yang akan c. Guru menyebutkan materi yang
dibahas pada pertemuan berikutnya. akan dibahas pada pertemuan
berikutnya.
3. Tahap Akhir
a. Memberikan tes akhir pada kedua kelas sampel, guna melihat hasil perlakuan
yang diberikan.
28. b. Mengolah data dari kedua sampel, baik kelas eksperimen maupun kelas
kontrol.
c. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil yang didapatkan sesuai dengan teknik
analisis data yang diinginkan.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan alat pengambilan data untuk mengungkapkan hasil
belajar siswa. Pada ranah kognitif dengan tes hasil belajar, sedangkan pada ranah
afektif dengan lembaran observasi. Pada penelitian ini hasil belajar yang ditinjau
adalah hasil belajar fisika pada ranah kognitif.
1. Instrumen Ranah Kognitif
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen berbentuk
tes hasil belajar ranah kognitif. Tes yang diberikan berupa soal objektif yang disusun
sesuai dengan materi yang diberikan selama perlakuan berlangsung dan dilakukan
setelah penelitian berakhir. Agar instrumen menjadi alat ukur yang baik, maka perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Membuat kisi-kisi tes
2. Menyusun tes berdasarkan kisi-kisi tes
3. Uji coba tes
29. Sebelum tes diberikan kepada siswa kelas sampel, terlebih dahulu tes diuji pada
kelas lain di sekolah SMAN 1 2x11 Enam Lingkung. Sekolah ini dipilih karena
nilai rata-rata kelasnya sebanding dengan kelas sampel di SMA N 1 VII Koto
Sungai Sarik.
3. Analisis soal tes
Untuk mendapatkan kualitas soal yang baik maka dilakukan beberapa langkah
berikut:
a. Analisis Validitas
Validitas adalah ukuran yang menujukan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesahihan sesuatu instrumen (Suharsimi Arikunto, 2002:144). Sebuah instrumen
dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang ingin hendak diukur. Dalam
penelitian ini validitas yang dilihat adalah validitas isi. Sebuah tes dikatakan memiliki
validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau
isi pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan soal yang valid
maka dalam penyusunan soal disesuaikan dengan kurikulum dan materi yang
diberikan.
b. Analisis Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan bahwa suatu tes cukup dapat dipercaya untuk
digunakan sebagai pengumpulan data karena tes tersebut sudah baik. Untuk
30. menentukan reliabilitas tes dalam penelitian digunakan rumus Kuder Richarson-20
(KR-20) yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2008:100) yaitu :
2
n s pq
r11 2
..................................................................................... (1)
n 1 s
Dengan :
r11 = Reliabilitas tes secara keseluruhan
p = Proporsi siswa yang menjawab benar
q = Proporsi siswa yang menjawab salah
Ʃpq = Jumlah hasil kali p.q
n = Banyak item
S = Standar deviasi tes
Dengan kriteria sebagai berikut :
0 . 80 r11 1 . 00 reliabilitas tinggi sekali
0 . 60 r11 0 . 80 reliabilitas tinggi
0 . 40 r11 0 . 60 reliabilitas sedang
0 . 20 r11 0 . 40 reliabilitas rendah
0 . 00 r11 0 . 20 sangat rendah
Reliabel yang digunakan adalah yang besar dari 0,40 dan kecil dari 0,60.
31. c. Analisis Daya Beda
Daya beda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang
pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang kurang pandai (berkemampuan
rendah). Untuk menentukan besarnya daya beda soal digunakan rumus yang
dinyatakan oleh Arikunto (2008:213) yaitu:
BA BB
D PA PB ……..…………………………………….(2)
JA JB
Dengan :
D = daya pembeda
JA = banyak peserta kelompok atas
JB = banyak peserta kelompok bawah
BA = banyak peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB = banyak peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
PA = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Kriteria yang digunakan untuk menentukan daya beda adalah :
0,00 ≤ D ˂ 0,20 : jelek
0,20 ≤ D ˂ 0,40 : cukup
0,40 ≤ D ˂ 0,70 : baik
0,70 ≤ D ˂ 1,00 : baik sekali
32. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka soal yang diambil adalah soal yang
memiliki daya pembeda ≥ 0,02
d. Analisis Indeks Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar.
“Bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal disebut indeks
kesukaran” (Arikunto, 2008:207). Untuk menentukan besar tingkat kesukaran soal
digunakan rumus – rumus yang dinyatakan oleh Arikunto (2008:208), yaitu:
B
P ……………….…………………………………..(3)
JS
Dengan :
P = indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan benar
JS = jumlah seluruh peserta tes
Kriteria yang digunakan untuk menentukan daya beda adalah:
0,00 ˂P ≤ 0,30 : sukar
0,30 ˂P ≤ 0,70 : sedang
0,70 ˂P ≤ 1,00 : mudah
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan maka soal yang diambil adalah yang indek
kesukarannya antara 0,30 ˂ P ≤ 0,70.
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah tes hasil yang berbentuk
objektif. Penyusunan soal dengan menggunakan validitas isi yaitu sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya dilakukan uji coba pada kelas
33. X di SMA N 1 2x11 Enam Lingkung. Soal yang diujikan adalah sebanyak 40 butir
soal, setelah dianalisis soal maka diperoleh 25 butir soal yang layak pakai. Jadi, ada
25 soal yang digunakan untuk soal tes akhir yang memenuhi tujuan pembelajaran
(Lampiran XIII).
F. Teknik Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini hanya dilakukan pada kognitif dan afektif.
Analisis data bertujuan untuk menguji diterima atau ditolaknya hipotesis yang
diajukan dalam penelitian.
1. Ranah Kognitif
Teknik analisis data menggunakan uji kesamaan dua rata-rata. Sebelum uji
kesamaan dua rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji parameter populasi sehubungan
dengan uji normalitas dan uji homogenitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah sampel berasal dari populasi
yang terdistribusi normal. Uji normalitas ini menggunakan uji lilliefors dengan
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1) Data (X1, X2, . . . . ,Xn) yang diperoleh diurutkan dari data yang paling kecil
hingga data terbesar
2) Data (X1, X2, . . . ,Xn) dijadikan bilangan baku (Z1, Z2, . . . ,Zn) dengan rumus:
Zi =
Dengan : Xi = skor yang diperoleh siswa ke-i
34. Xr = skor rata-rata
S = simpangan baku
3) Dengan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F
(Zi) = P (Z < Zi)
4) Denngan menggunakan proporsi Z1, Z2, Z3, . . . ,Zn yang lebih kecil atau nama
dengan Z, jika proporsi ini sama dengan S (Zi) maka:
S (Zi) =
5) Menghitung selisih F (Zi) – S (Zi) yang kemudian ditentukan harga mutlaknya
6) Mengambil harga mutlak selisih yang paling besar yang disebut Lo
7) Membandingkan nilai Lo dengan nilai kritis Lt yang terdapat pada α = 0,05.
Kriteria adalah hipotesis tersebut normal jika Lo lebih kecil dari Lt.
b. Uji homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah kedua sampel mempunyai varians
yang homogen atau tidak, dengan langkah-langkah:
1) Mencari varians masing-masing data kemudian dihitung harga F
F=
Dengan : F = varians kelompok data
S1 = varians terbesar
S2 = varians terkecil
35. 2) Jika harga F dapat diperoleh, bandingkan harga F tersebut dengan harga Ft, jika F
< Ft maka kedua kelompok data mempunyai varians yang homogen dan demikian
pula sebaliknya.
c. Uji Hipotesis
Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah hipotesis penelitian diterima
atau ditolak. Untuk menguji hipotesis digunakan uji kesamaan dua rata-rata. Sampel
terdistribusi normal dan dua kelompok data homogen, maka digunakan uji t dengan
persamaan:
t= S2 =
Dengan : = nilai rata-rata kelas eksperimen
= nilai rata-rata kelas kontrol
S1 = standar deviasi kelas eksperimen
S2 = standar deviasi kelas kontrol
S = standar deviasi gabungan
n1 = jumlah siswa kelas eksperimen
n2 = jumlah siswa kelas kontrol
Kriteria pengujian adalah terima Ho jika: -t1-1/2 α < t < t1-1/2 α pada taraf signifikan 0,05.