SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
Download to read offline
B a b 2
PERKEMBANGAN PRINSIP KEDAULATAN
DAN KETERKAITANNYA DENGAN PENATAAN
SERTA PENGELOLAAN LAUT
Konsep kedaulatan negara modern dikembangkan dan disusun
melalui dorongan Perjanjian Westphalia 1684, yang telah
mengakhiri 80 konflik agama yang terjadi di Eropa dan
menghasilkan ketentuan baru hukum internasional yang
selanjutnya mendasari terbentuknya sistem negara modern.
Dasar dari sistem negara modern tersebut adalah pengakuan
atas karakter berdaulat dari suatu negara kebangsaan dan
menolak adanya campur tangan oleh pihak luar dalam masalah
internal. Ketentuan internasional yang diatur dalam Perjanjian
Westphalia tersebut selanjutnya telah dimodifikasi selama
bertahun-tahun dan dibakukan dalam Piagam PBB.
Sebelum lahirnya Piagam PBB, hukum internasional terfokus
kepada praktek negara-negara dimana pada saat itu
peperangan merupakan sesuatu yang sah sebagai praktek state-
to-state dan negara-negara memiliki kedaulatan baik
kedaulatan hukum maupun administrasi kenegaraan. Piagam
PBB kemudian memodifikasi situasi tersebut, yaitu yang
berkaitan dengan hukum, dengan mengusulkan pelarangan
perang dan penggunaan kekerasan, kecuali perang atau
18
penggunaan kekerasan yang merupakan pertahanan diri atau
jika diizinkan oleh Pasal 7.
Namun dalam praktek selanjutnya, disayangkan bahwa Piagam
PBB tidak secara tegas melarang negara-negara menggunakan
kekerasan, dan kondisi perang dingin juga secara efektif telah
menghalangi penerapan Pasal 7 oleh masyarakat dunia.
Kecuali untuk Operasi Kongo pada 1960-an, sampai 1990 PBB
hanya berpegang pada Pasal 6 dalam menjaga perdamaian
secara tradisional,dimana pasukan multinasional boleh
menggunakan senjata hanya untuk membela diri.
Selanjutnya Deklarasi Universal mengenai HAM dan Kovenan
Internasional mengenai Genosida telah melahirkan prinsip
kewajiban nasional yang perlu dipenuhi dalam kerangka
yurisdiksi kedaulatan negara, melalui pengaturan internasional.
Atau adanya pergeseran di bidang hukum internasional yang
mengatur kewajiban nasional, sehingga dapat ditafsirkan
mengenai adanya pergeseran atas konsep kedaulatan negara.
Karena sebelumnya, para pemerintah negara-negara hanya
bertanggung jawab atas kewajiban antar negara, tetapi
kemudian ketentuan HAM yang baru membentuk seperangkat
norma internasional dengan maksud untuk mengatur hubungan
pemerintah dengan rakyatnya.
Dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989 maka
dunia telah bergerak ke arah yang disebut dunia paska
Westphalia. Sejalan dengan itu, Dewan Keamanan-pun
19
mengadopsi serangkaian resolusi mengenai Kosovo yang
terkait dengan Pasal VI Piagam PBB yang berisi otorisasi
penggunaan kekerasan oleh masyarakat internasional jika
timbul ancaman terhadap keamanan dan perdamaian
internasional. Dalam kaitan ini Sekjen PBB pada Sidang
Majelis Umum PBB 1999 menyatakan bahwa, kedaulatan
negara bukan lagi awal dan akhir absolut dari sistem
internasional. Pemikiran ini kemudian menjadi perdebatan
mengenai karakter lingkungan politik internasional yang
berpengaruh pula terhadap pandangan masyarakat
internasional atas konsep kedaulatan negara.
Berbicara mengenai konsep kedaulatan negara, secara implisit
tidak terlepas dari pembahasan konsep kedaulatan atas laut.
Menurut rejim hukum internasional yang mengatur hak-hak
kedaulatan atas wilayah daratan dan perairan mempunyai
perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut
mencakup perbedaan substantif dan prosedural. Secara
substantif, hak atas wilayah darat diperoleh berdasarkan fakta
kepemilikan secara fisik, sedangkan hak atas daerah laut
diperoleh berdasarkan pelaksanaan hukum yang “adil” bagi
para pihak. Selanjutnya secara prosedural, apabila terjadi
sengketa wilayah darat, maka penyelesaiannya dilakukan atas
persetujuan negara-negara yang bersengketa.
Dalam hal terjadinya sengketa wilayah laut, maka
penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan Bab XV
20
UNCLOS tentang empat prosedur alternatif penyelesaian
konflik yaitu : the International Court of Justice,
Tribunal/ITLOS, Arbitrasi di bawah annex VII UNCLOS, atau
Arbitrasi Khusus di bawah annex VIII. Negara-negara Pihak
dapat memilih satu atau lebih prosedur melalui deklarasi
tertulis di bawah Pasal 287 UNCLOS dan menyampaikannya
kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Dengan demikian, terdapat perbedaan sejarah mengenai
perkembangan hak-hak milik di permukaan daratan dan
wilayah laut. Permukaan daratan di bumi sebagian besar telah
dibagi pada saat belum adanya institusi legal internasional
yang mengatur alokasi hak-hak milik, dan pada saat perang
belum dinyatakan sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena
itu, pada pokoknya wilayah daratan dialokasikan melalui
penjatahan secara fisik yang dilakukan oleh negara-negara
besar. Sedangkan pada masa itu kawasan samudera dianggap
res communi (yaitu sesuatu yang merupakan milik kelompok
orang-orang dan bisa digunakan oleh setiap anggota kelompok
tetapi tidak bisa dimiliki oleh siapapun karena adanya kesulitan
untuk membagi wilayah laut.
Namun, ketika peralatan praktis dan teknologi untuk
memanfaatkan samudera secara eksklusif sudah berkembang,
saat itu pulalah terbentuk institusi legal bagi alokasi laut secara
efektif. Kemudian timbul dimensi politik berkenaan dengan
pendistribusiannya berdasarkan kriteria tertentu dan bukan
21
berdasarkan politik kekuatan seperti sebelumnya. Kawasan
perairan dialokasikan dengan hukum, melalui proses-proses
legal dan bukan lagi melalui cara kekerasan, serta sesuai
dengan ide-ide dasar mengenai keadilan.
Fakta lain yang membedakan sejarah kedaulatan negara atas
daratan dan perairan/laut adalah bahwa daratan lebih mudah
diduduki daripada perairan. Demikian pula dengan kenyataan
yang selanjutnya berkembang dimana timbulnya berbagai
dimensi ekonomi berkenaan dengan masalah laut. Hal ini juga
didorong oleh kenyataan bahwa mengingat kawasan laut (tidak
seperti daratan) tidak bisa diduduki, maka kepemilikan atas
kawasan laut terutama ditujukan untuk pengambilan sumber-
sumbernya. Oleh karena itu doktrin bahwa hak wilayah laut
ditentukan berdasarkan hukum semakin berkembang demikian
pula dengan mekanisme penyelesaian sengketanya dan
perkembangan paling signifikan adalah dengan diterimanya
rejim hukum laut dalam UNCLOS.
Pada masa ketika rezim hukum mengenai hak-hak eksklusif
atas wilayah daratan telah berkembang, kawasan laut tetap
dianggap res communis yang tersedia bagi semua pihak.
Filosofi mare liberum (“free sea”) berlaku bagi semua kawasan
samudera/laut lepas, kecuali jalur “laut teritorial” yang
berbatasan dengan pantai-pantai yang digunakan untuk
melindungi kepentingan perikanan lokal dan keamanan. Pakar
Belanda, Hugo Grotius, menyatakan bahwa segala sesuatu
22
yang tidak dapat diduduki tidak akan dapat menjadi hak milik.
Grotius berpendapat bahwa pemanfaatan laut untuk perikanan
atau untuk pelayaran oleh seseorang tidak akan menghalangi
orang lain untuk turut memanfaatkannya. Samudera diciptakan
alam sehingga negara tertentu tidak bisa secara eksklusif
menggunakannya, melainkan merupakan milik semua umat
manusia.
Contoh prinsip res communis adalah bahwa laut lepas dapat
digunakan oleh siapapun tetapi tidak dapat dimiliki. Kategori
terakhir mengenai hak-hak atas sesuatu yang tidak dapat
dimiliki tidak terdapat dalam hukum romawi, melainkan baru
diciptakan pada 1960-an ketika pada November 1967 Duta
Besar Arvis Prado, Utusan Tetap Malta di PBB, menyerukan
kepada semua delegasi untuk menganggap sumber-sumber di
lautan yang berada di luar yurisdiksi nasional sebagai “warisan
umum umat manusia” (common heritage of mankind) yang
maknanya lebih dalam daripada res communis. Jika suatu
tempat atau sesuatu benda dianggap sebagai warisan umum
umat manusia, maka sesuatu itu tidak dapat dimiliki. Sudah
menjadi bagian dari gagasan res communis tetapi terkait pada
kemanusiaan dan oleh karenanya harus diatur dan ditentukan
oleh kemanusiaan. Gagasan warisan umum bermakna lebih
dalam daripada res communis, memberikan hak kemanusiaan
dan kewajiban untuk mengorganisir dan mengatur sesuatu
tersebut atau wilayah.
23
Perkembangan perangkat hukum dan institusi yang mengatur
alokasi hak-hak atas wilayah laut termasuk relatif baru. Hak-
hak atas wilayah laut dialokasikan melalui proses yang berbeda
dengan pengalokasian daratan, dan menurut yurisprudensi
yang sangat berbeda. Alokasi wilayah laut adalah berdasarkan
ketentuan hukum dan dipisahkan dari tindakan fisik okupasi.
Disamping itu, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS)
merupakan perjanjian multilateral pertama yang memuat
ketentuan-ketentuan mandatory bagi penyelesaian konflik.
Sementara itu sampai saat ini belum ada konvensi yang
memuat ketentuan-ketentuan mandatory bagi penyelesaian
perselisihan mengenai wilayah darat.
Upaya besar pertama untuk mengkodifikasi rezim hukum
mengenai samudera dilakukan oleh PBB pada 1958, dengan
hasilnya mengadopsi empat konvensi dan sebuah protokol
opsional mengenai penyelesaian sengketa. Konvensi-konvensi
tersebut ternyata tidak mendapat dukungan. Konferensi kedua
kemudian diselenggarakan pada 1960 untuk mencoba
menyelesaikan isu kontroversial mengenai batas laut teritorial,
yang belum diputuskan dalam konferensi pertama, tetapi
belum juga berhasil sebagaimana konferensi 1958. Hal ini
terus berlanjut hingga konferensi ketiga dilakukan yang
berhasil memutuskan konsensus. Namun, selain menyelesaikan
permasalahan luas laut yang diizinkan sebagai laut teritorial,
Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 juga secara
komprehensif telah mengkodifikasi hukum internasional yang
24
berkaitan dengan berbagai permasalahan lain, seperti hak-hak
pelayaran, pengawasan polusi, riset ilmiah kelautan dan
ketentuan perikanan. UNCLOS mulai berlaku efektif pada
1994 ketika jumlah ratifikasi yang disyaratkan (60) terpenuhi.
Rezim hukum UNCLOS untuk menentukan kepentingan
hukum negara pantai dalam zona-zona kelautan akan
dijelaskan secara lebih rinci dalam bagian berikutnya; tetapi
disini penting untuk diperhatikan aspek intinya. Sebagaimana
Konvensi-konvensi sebelumnya, cara alokasi yang diadopsi
UNCLOS untuk memiliki wilayah laut tidak didasarkan pada
kepemilikan atau kontrol, seperti pada kepemilikan tanah,
tetapi melalui proses yuridikasi. Doktrin tersebut menyatakan
bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan fisik atau
kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian
disebut doktrin ab initio, yang artinya jatah/bagian tersebut
sudah dimiliki sejak awal – merupakan bagian yang sudah
menyatu dan tidak perlu upaya tertentu bagi negara pantai
untuk memperolehnya.
Keputusan untuk tidak mengintegrasikan okupasi fisik sebagai
kriteria diambil dengan bulat. Misalnya Inggris, yang awalnya
menginginkan agar rezim sebaiknya mengarahkan hak-hak
didapat melalui okupasi terutama melalui eksploitasi landas
kontinen yaitu dengan eksplorasi mineral di daerah tersebut.
Tetapi para penyusun Konvensi 1958 mengenai Landas
Kontinen dan UNCLOS, dan para akademisi sangat yakin
25
bahwa okupasi fisik tidak relevan dengan hak-hak atas landas
kontinen. Alasan yang dikemukakan sangat menarik.
Alasan yang paling mengedepan adalah keinginan untuk
mencegah perlombaan kepemilikan wilayah dengan
mengorbankan negara-negara berkembang. Mahkamah
Intenasional menyatakan: Doktrin ‘ab initio’ …yang diadopsi
pada Konferensi Jenewa sebagai sarana untuk melindungi
negara-negara pantai yang tidak membuat pernyataan atas hak-
hak mereka terhadap landas kontinen dan tidak memiliki alat
untuk mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber-sumber
mereka… Semua negara pantai menerima doktrin tersebut
tanpa keraguan terutama disebabkan oleh konsekuensi negatif
yaitu mencegah terjadinya perlombaan kepemilikan wilayah
dan pengambilan sumber-sumber di dasar laut oleh beberapa
negara yang menganut dogma Grotius mengenai “kebebasan
laut”. Itulah alasan Konvensi 1958 tidak mendasarkan
penggunaan hak-hak kedaulatan ab initio bagi upaya
eksploitasi atau okupasi atau bahkan pernyataan hak-hak ini.
Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat di seluruh dunia,
dampak kehidupan manusia di bumi meningkat secara
signifikan. Karena degradasi lingkungan terus terjadi, negara-
negara tidak dapat lagi bertindak secara individu dan
mengharapkan kualitas lingkungan membaik. Kedaulatan akan
menjadi masalah kedua karena permasalahan utama adalah
untuk menangani permasalahan lingkungan dan membentuk
26
traktat-traktat yang relevan. Bangsa-bangsa seharusnya
menaruh perhatian pada lingkungan bukan hanya karena
lingkungan yang rusak merupakan ancaman bagi kesehatan
manusia dan ekosistem, tetapi juga karena lebih luas lagi
akibatnya secara global. Namun demikian, bangsa-bangsa
cenderung berlindung di balik permasalahan kedaulatan dan
menutupi masalah lingkungannya dari dunia.
Sebelum 1972, hanya sedikit perjanjian internasional yang
membahas mengenai sumber-sumber yang digunakan secara
lintas batas seperti air atau kehidupan flora dan fauna liar;
membentuk pertanggung jawaban atas kasus tumpahnya
minyak ke laut; atau penangkapan ikan dan ikan paus
khususnya. Perjanjian-perjanjian ini mempengaruhi kedaulatan
negara-negara. Pada Juni 1972, sewaktu diadakan Konferensi
Stockholm mengenai Lingkungan Manusia yang didukung
oleh PBB (The UN Conference on the Human Environment),
masyarakat global mengakui bahwa sifat permasalahan
lingkungan global berbeda dengan sifat perdagangan dan
hukum internasional tradisional. Masyarakat internasional
menyimpulkan perlunya pendekatan baru.
Setelah itu, sejalan dengan diterimanya UNCLOS pada tahun
1982, Deklarasi Rio dan Agenda 21 pada tahun 1992, “the
Plan of Implementation” pada tahun 2002 dan Keputusan
ITLOS pada tahun 2003 atas sengketa reklamasi, semakin
memperkuat pengakuan masyarakat internasional atas prinsip
27
bahwa kedaulatan negara atas sumber-sumber daya alamnya
termasuk laut adalah kedaulatan yang luas namun tidak tanpa
batas. Dalam kaitan ini, setiap negara terikat kepada kewajiban
hukum internasional berdasarkan UNCLOS maupun hukum
internasional umum untuk menjamin bahwa kebijakan yang
dilakukan atau berada di bawah kontrolnya tidak membawa
dampak negatif terhadap lingkungan laut negara lain. Untuk itu
diperlukan adanya kerjasama yang memadai baik secara
bilateral, trilateral, regional maupun internasional/multilateral.

More Related Content

What's hot

Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalEkstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalDimebag Darrell
 
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalYurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalNuelnuel11
 
Sengketa internasional dan cara penyelesaiannya
Sengketa internasional dan cara penyelesaiannyaSengketa internasional dan cara penyelesaiannya
Sengketa internasional dan cara penyelesaiannyaOperator Warnet Vast Raha
 
Unclos terjemahan
Unclos terjemahanUnclos terjemahan
Unclos terjemahanSei Enim
 
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)Mirza Afrizal
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalgreycats_media
 
Menetapkan batas kedaulatan wilayah udara
Menetapkan batas kedaulatan wilayah udaraMenetapkan batas kedaulatan wilayah udara
Menetapkan batas kedaulatan wilayah udaraahmad akhyar
 
Tidak semua negara memiliki wilayah laut
Tidak semua negara memiliki wilayah lautTidak semua negara memiliki wilayah laut
Tidak semua negara memiliki wilayah lautYasirecin Yasir
 
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"elanurlaela _aiueo
 
Hukum Internasional 11ipa4
Hukum Internasional 11ipa4 Hukum Internasional 11ipa4
Hukum Internasional 11ipa4 yesiferamefranda
 
Laut territorial_hukum internasional
Laut territorial_hukum internasionalLaut territorial_hukum internasional
Laut territorial_hukum internasionalMohammad Taufan
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalMeita Purnamasari
 

What's hot (20)

Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Convention
ConventionConvention
Convention
 
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalEkstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
 
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalYurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Sengketa internasional dan cara penyelesaiannya
Sengketa internasional dan cara penyelesaiannyaSengketa internasional dan cara penyelesaiannya
Sengketa internasional dan cara penyelesaiannya
 
Pkn Kel 4
Pkn Kel 4Pkn Kel 4
Pkn Kel 4
 
Tugas PPKN
Tugas PPKNTugas PPKN
Tugas PPKN
 
Unclos terjemahan
Unclos terjemahanUnclos terjemahan
Unclos terjemahan
 
Sejarah hi
Sejarah hiSejarah hi
Sejarah hi
 
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
 
Menetapkan batas kedaulatan wilayah udara
Menetapkan batas kedaulatan wilayah udaraMenetapkan batas kedaulatan wilayah udara
Menetapkan batas kedaulatan wilayah udara
 
Tidak semua negara memiliki wilayah laut
Tidak semua negara memiliki wilayah lautTidak semua negara memiliki wilayah laut
Tidak semua negara memiliki wilayah laut
 
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
 
Hub internasional
Hub internasionalHub internasional
Hub internasional
 
Hukum Internasional 11ipa4
Hukum Internasional 11ipa4 Hukum Internasional 11ipa4
Hukum Internasional 11ipa4
 
Laut territorial_hukum internasional
Laut territorial_hukum internasionalLaut territorial_hukum internasional
Laut territorial_hukum internasional
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
 
Subyek hukum internasional
Subyek hukum internasionalSubyek hukum internasional
Subyek hukum internasional
 

Viewers also liked

Penanganan perbatasan maritim
Penanganan perbatasan maritimPenanganan perbatasan maritim
Penanganan perbatasan maritimahmad akhyar
 
Makalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesiaMakalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesiaahmad akhyar
 
Islam dan kebudayaan
Islam dan kebudayaanIslam dan kebudayaan
Islam dan kebudayaanzahfath06
 
Boam g timeline_presentation
Boam g timeline_presentationBoam g timeline_presentation
Boam g timeline_presentationgboam
 
Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14
Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14
Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14krijon
 
Magazine advert analysis
Magazine advert analysisMagazine advert analysis
Magazine advert analysisSurajramm98
 
Fundamentos demkt 1
Fundamentos demkt 1Fundamentos demkt 1
Fundamentos demkt 1Martin MV
 
Halloween sales
Halloween salesHalloween sales
Halloween sales莉 韩
 
THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.
THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.
THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.williamson20032001
 

Viewers also liked (19)

Penanganan perbatasan maritim
Penanganan perbatasan maritimPenanganan perbatasan maritim
Penanganan perbatasan maritim
 
Makalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesiaMakalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesia
 
Islam dan kebudayaan
Islam dan kebudayaanIslam dan kebudayaan
Islam dan kebudayaan
 
Untitled Presentation
Untitled PresentationUntitled Presentation
Untitled Presentation
 
Boam g timeline_presentation
Boam g timeline_presentationBoam g timeline_presentation
Boam g timeline_presentation
 
Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14
Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14
Flippa klassrummet, Föreläsning Sundbybergs IKT-inspirationsdag, 28/10-14
 
Judging others
Judging othersJudging others
Judging others
 
Perangkat keras komputer
Perangkat keras komputerPerangkat keras komputer
Perangkat keras komputer
 
Magazine advert analysis
Magazine advert analysisMagazine advert analysis
Magazine advert analysis
 
ApoOrv Garg_Resume_2015
ApoOrv Garg_Resume_2015ApoOrv Garg_Resume_2015
ApoOrv Garg_Resume_2015
 
Financial plan
Financial planFinancial plan
Financial plan
 
Fundamentos demkt 1
Fundamentos demkt 1Fundamentos demkt 1
Fundamentos demkt 1
 
Halloween sales
Halloween salesHalloween sales
Halloween sales
 
THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.
THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.
THE RELATIONSHIP BETWEEN CLIMATE CHANGE AND ENERGY; THE CASE OF GHANA. DISCUSS.
 
Ppm assi1
Ppm assi1Ppm assi1
Ppm assi1
 
Untitled Presentation
Untitled PresentationUntitled Presentation
Untitled Presentation
 
Skill Points
Skill PointsSkill Points
Skill Points
 
3 d
3 d 3 d
3 d
 
Untitled Presentation
Untitled PresentationUntitled Presentation
Untitled Presentation
 

Similar to KEDAULATAN LAUT

195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf
195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf
195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdfBimaKumara1
 
RESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docx
RESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docxRESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docx
RESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docxPutriayuniFebrianti
 
HHAM Materi II.pdf
HHAM Materi II.pdfHHAM Materi II.pdf
HHAM Materi II.pdfaila52
 
KEDAULATAN_10.ppt
KEDAULATAN_10.pptKEDAULATAN_10.ppt
KEDAULATAN_10.pptFeryChofa
 
Rizky darmawan tugas.2 perbatasan
Rizky darmawan tugas.2 perbatasanRizky darmawan tugas.2 perbatasan
Rizky darmawan tugas.2 perbatasanRizkyDarmawan49
 
KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)
KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)
KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)AkbarYahyaYogerasi2
 
BAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptx
BAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptxBAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptx
BAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptxssuser80b999
 
Sistem Hukum Internasional
Sistem Hukum InternasionalSistem Hukum Internasional
Sistem Hukum InternasionalJesica Grace
 
Soal tes cpns luar negeri
Soal tes cpns luar negeriSoal tes cpns luar negeri
Soal tes cpns luar negeriaswel13
 
Tugas hukum udara
Tugas hukum udaraTugas hukum udara
Tugas hukum udaraAmina Ar
 
Perbedaan hukum laut internasional dan nasional
Perbedaan hukum laut internasional dan nasionalPerbedaan hukum laut internasional dan nasional
Perbedaan hukum laut internasional dan nasionalRizal Fahmi
 
HUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxHUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxAdeFitri22
 

Similar to KEDAULATAN LAUT (20)

195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf
195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf
195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf
 
RESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docx
RESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docxRESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docx
RESUME_PUTRI AYUNI FEBRIANTI_A1A319034_R002.docx
 
Sejarah Unclos III
Sejarah Unclos IIISejarah Unclos III
Sejarah Unclos III
 
HHAM Materi II.pdf
HHAM Materi II.pdfHHAM Materi II.pdf
HHAM Materi II.pdf
 
KEDAULATAN_10.ppt
KEDAULATAN_10.pptKEDAULATAN_10.ppt
KEDAULATAN_10.ppt
 
Rizky darmawan tugas.2 perbatasan
Rizky darmawan tugas.2 perbatasanRizky darmawan tugas.2 perbatasan
Rizky darmawan tugas.2 perbatasan
 
KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)
KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)
KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT (UNCLOS)
 
BAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptx
BAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptxBAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptx
BAB_5_SISTEM_HUKUM_DAN_PERADILAN_INTERNA.pptx
 
Hukum laut Indonesia
Hukum laut IndonesiaHukum laut Indonesia
Hukum laut Indonesia
 
Sistem Hukum Internasional
Sistem Hukum InternasionalSistem Hukum Internasional
Sistem Hukum Internasional
 
Proposal study
Proposal studyProposal study
Proposal study
 
Sejarah perkembangan
Sejarah perkembanganSejarah perkembangan
Sejarah perkembangan
 
Soal tes cpns luar negeri
Soal tes cpns luar negeriSoal tes cpns luar negeri
Soal tes cpns luar negeri
 
Soal tes cpns luar negeri
Soal tes cpns luar negeriSoal tes cpns luar negeri
Soal tes cpns luar negeri
 
Tugas tik (dini)
Tugas tik (dini)Tugas tik (dini)
Tugas tik (dini)
 
Makalah Hukum Laut
Makalah Hukum LautMakalah Hukum Laut
Makalah Hukum Laut
 
Tugas hukum udara
Tugas hukum udaraTugas hukum udara
Tugas hukum udara
 
Ringkasan hukum perdata
Ringkasan hukum perdataRingkasan hukum perdata
Ringkasan hukum perdata
 
Perbedaan hukum laut internasional dan nasional
Perbedaan hukum laut internasional dan nasionalPerbedaan hukum laut internasional dan nasional
Perbedaan hukum laut internasional dan nasional
 
HUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxHUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptx
 

More from ahmad akhyar

Akhyar pulsa agenn a
Akhyar pulsa agenn aAkhyar pulsa agenn a
Akhyar pulsa agenn aahmad akhyar
 
Akhyar pulsa agenn bos
Akhyar pulsa agenn bosAkhyar pulsa agenn bos
Akhyar pulsa agenn bosahmad akhyar
 
Penyelesaian sengketa perbatasan2
Penyelesaian sengketa perbatasan2Penyelesaian sengketa perbatasan2
Penyelesaian sengketa perbatasan2ahmad akhyar
 
Kedaulatan wilayah 01
Kedaulatan wilayah 01Kedaulatan wilayah 01
Kedaulatan wilayah 01ahmad akhyar
 
Kedaulatan ryang udara negara
Kedaulatan ryang udara negaraKedaulatan ryang udara negara
Kedaulatan ryang udara negaraahmad akhyar
 
Kedaulatan negara di ruang udara a2
Kedaulatan negara di ruang udara a2Kedaulatan negara di ruang udara a2
Kedaulatan negara di ruang udara a2ahmad akhyar
 
Konvensi pbb tentang laut lepas
Konvensi pbb tentang laut lepasKonvensi pbb tentang laut lepas
Konvensi pbb tentang laut lepasahmad akhyar
 
Geopolitik indonesia a2
Geopolitik indonesia a2Geopolitik indonesia a2
Geopolitik indonesia a2ahmad akhyar
 
Pembangunan hukum kelautan
Pembangunan hukum kelautan Pembangunan hukum kelautan
Pembangunan hukum kelautan ahmad akhyar
 
Materi hukum laut 02
Materi hukum laut 02 Materi hukum laut 02
Materi hukum laut 02 ahmad akhyar
 
Dasar hukum laut indonesia
Dasar hukum laut indonesia Dasar hukum laut indonesia
Dasar hukum laut indonesia ahmad akhyar
 
Batas maritim antar negara
Batas maritim antar negara Batas maritim antar negara
Batas maritim antar negara ahmad akhyar
 
Bab i budaya politik
Bab i budaya politik Bab i budaya politik
Bab i budaya politik ahmad akhyar
 

More from ahmad akhyar (20)

Akhyar pulsa agenn a
Akhyar pulsa agenn aAkhyar pulsa agenn a
Akhyar pulsa agenn a
 
Akhyar pulsa agen
Akhyar pulsa agenAkhyar pulsa agen
Akhyar pulsa agen
 
Akhyar pulsa agen
Akhyar pulsa agenAkhyar pulsa agen
Akhyar pulsa agen
 
Akhyar pulsa agenn bos
Akhyar pulsa agenn bosAkhyar pulsa agenn bos
Akhyar pulsa agenn bos
 
Akhyar pulsa
Akhyar pulsa Akhyar pulsa
Akhyar pulsa
 
Penyelesaian sengketa perbatasan2
Penyelesaian sengketa perbatasan2Penyelesaian sengketa perbatasan2
Penyelesaian sengketa perbatasan2
 
Kedaulatan wilayah 01
Kedaulatan wilayah 01Kedaulatan wilayah 01
Kedaulatan wilayah 01
 
Kedaulatan ryang udara negara
Kedaulatan ryang udara negaraKedaulatan ryang udara negara
Kedaulatan ryang udara negara
 
Laut lepas 01
Laut lepas 01Laut lepas 01
Laut lepas 01
 
Laut lepas 04
Laut lepas 04Laut lepas 04
Laut lepas 04
 
Kedaulatan negara di ruang udara a2
Kedaulatan negara di ruang udara a2Kedaulatan negara di ruang udara a2
Kedaulatan negara di ruang udara a2
 
Konvensi pbb tentang laut lepas
Konvensi pbb tentang laut lepasKonvensi pbb tentang laut lepas
Konvensi pbb tentang laut lepas
 
Geopolitik indonesia a2
Geopolitik indonesia a2Geopolitik indonesia a2
Geopolitik indonesia a2
 
Pembangunan hukum kelautan
Pembangunan hukum kelautan Pembangunan hukum kelautan
Pembangunan hukum kelautan
 
Materi hukum laut 02
Materi hukum laut 02 Materi hukum laut 02
Materi hukum laut 02
 
Dasar hukum laut indonesia
Dasar hukum laut indonesia Dasar hukum laut indonesia
Dasar hukum laut indonesia
 
Batas maritim antar negara
Batas maritim antar negara Batas maritim antar negara
Batas maritim antar negara
 
Explore
Explore Explore
Explore
 
Budaya politik
Budaya politik  Budaya politik
Budaya politik
 
Bab i budaya politik
Bab i budaya politik Bab i budaya politik
Bab i budaya politik
 

KEDAULATAN LAUT

  • 1. B a b 2 PERKEMBANGAN PRINSIP KEDAULATAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN PENATAAN SERTA PENGELOLAAN LAUT Konsep kedaulatan negara modern dikembangkan dan disusun melalui dorongan Perjanjian Westphalia 1684, yang telah mengakhiri 80 konflik agama yang terjadi di Eropa dan menghasilkan ketentuan baru hukum internasional yang selanjutnya mendasari terbentuknya sistem negara modern. Dasar dari sistem negara modern tersebut adalah pengakuan atas karakter berdaulat dari suatu negara kebangsaan dan menolak adanya campur tangan oleh pihak luar dalam masalah internal. Ketentuan internasional yang diatur dalam Perjanjian Westphalia tersebut selanjutnya telah dimodifikasi selama bertahun-tahun dan dibakukan dalam Piagam PBB. Sebelum lahirnya Piagam PBB, hukum internasional terfokus kepada praktek negara-negara dimana pada saat itu peperangan merupakan sesuatu yang sah sebagai praktek state- to-state dan negara-negara memiliki kedaulatan baik kedaulatan hukum maupun administrasi kenegaraan. Piagam PBB kemudian memodifikasi situasi tersebut, yaitu yang berkaitan dengan hukum, dengan mengusulkan pelarangan perang dan penggunaan kekerasan, kecuali perang atau
  • 2. 18 penggunaan kekerasan yang merupakan pertahanan diri atau jika diizinkan oleh Pasal 7. Namun dalam praktek selanjutnya, disayangkan bahwa Piagam PBB tidak secara tegas melarang negara-negara menggunakan kekerasan, dan kondisi perang dingin juga secara efektif telah menghalangi penerapan Pasal 7 oleh masyarakat dunia. Kecuali untuk Operasi Kongo pada 1960-an, sampai 1990 PBB hanya berpegang pada Pasal 6 dalam menjaga perdamaian secara tradisional,dimana pasukan multinasional boleh menggunakan senjata hanya untuk membela diri. Selanjutnya Deklarasi Universal mengenai HAM dan Kovenan Internasional mengenai Genosida telah melahirkan prinsip kewajiban nasional yang perlu dipenuhi dalam kerangka yurisdiksi kedaulatan negara, melalui pengaturan internasional. Atau adanya pergeseran di bidang hukum internasional yang mengatur kewajiban nasional, sehingga dapat ditafsirkan mengenai adanya pergeseran atas konsep kedaulatan negara. Karena sebelumnya, para pemerintah negara-negara hanya bertanggung jawab atas kewajiban antar negara, tetapi kemudian ketentuan HAM yang baru membentuk seperangkat norma internasional dengan maksud untuk mengatur hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989 maka dunia telah bergerak ke arah yang disebut dunia paska Westphalia. Sejalan dengan itu, Dewan Keamanan-pun
  • 3. 19 mengadopsi serangkaian resolusi mengenai Kosovo yang terkait dengan Pasal VI Piagam PBB yang berisi otorisasi penggunaan kekerasan oleh masyarakat internasional jika timbul ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional. Dalam kaitan ini Sekjen PBB pada Sidang Majelis Umum PBB 1999 menyatakan bahwa, kedaulatan negara bukan lagi awal dan akhir absolut dari sistem internasional. Pemikiran ini kemudian menjadi perdebatan mengenai karakter lingkungan politik internasional yang berpengaruh pula terhadap pandangan masyarakat internasional atas konsep kedaulatan negara. Berbicara mengenai konsep kedaulatan negara, secara implisit tidak terlepas dari pembahasan konsep kedaulatan atas laut. Menurut rejim hukum internasional yang mengatur hak-hak kedaulatan atas wilayah daratan dan perairan mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut mencakup perbedaan substantif dan prosedural. Secara substantif, hak atas wilayah darat diperoleh berdasarkan fakta kepemilikan secara fisik, sedangkan hak atas daerah laut diperoleh berdasarkan pelaksanaan hukum yang “adil” bagi para pihak. Selanjutnya secara prosedural, apabila terjadi sengketa wilayah darat, maka penyelesaiannya dilakukan atas persetujuan negara-negara yang bersengketa. Dalam hal terjadinya sengketa wilayah laut, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan Bab XV
  • 4. 20 UNCLOS tentang empat prosedur alternatif penyelesaian konflik yaitu : the International Court of Justice, Tribunal/ITLOS, Arbitrasi di bawah annex VII UNCLOS, atau Arbitrasi Khusus di bawah annex VIII. Negara-negara Pihak dapat memilih satu atau lebih prosedur melalui deklarasi tertulis di bawah Pasal 287 UNCLOS dan menyampaikannya kepada Sekretaris Jenderal PBB. Dengan demikian, terdapat perbedaan sejarah mengenai perkembangan hak-hak milik di permukaan daratan dan wilayah laut. Permukaan daratan di bumi sebagian besar telah dibagi pada saat belum adanya institusi legal internasional yang mengatur alokasi hak-hak milik, dan pada saat perang belum dinyatakan sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pada pokoknya wilayah daratan dialokasikan melalui penjatahan secara fisik yang dilakukan oleh negara-negara besar. Sedangkan pada masa itu kawasan samudera dianggap res communi (yaitu sesuatu yang merupakan milik kelompok orang-orang dan bisa digunakan oleh setiap anggota kelompok tetapi tidak bisa dimiliki oleh siapapun karena adanya kesulitan untuk membagi wilayah laut. Namun, ketika peralatan praktis dan teknologi untuk memanfaatkan samudera secara eksklusif sudah berkembang, saat itu pulalah terbentuk institusi legal bagi alokasi laut secara efektif. Kemudian timbul dimensi politik berkenaan dengan pendistribusiannya berdasarkan kriteria tertentu dan bukan
  • 5. 21 berdasarkan politik kekuatan seperti sebelumnya. Kawasan perairan dialokasikan dengan hukum, melalui proses-proses legal dan bukan lagi melalui cara kekerasan, serta sesuai dengan ide-ide dasar mengenai keadilan. Fakta lain yang membedakan sejarah kedaulatan negara atas daratan dan perairan/laut adalah bahwa daratan lebih mudah diduduki daripada perairan. Demikian pula dengan kenyataan yang selanjutnya berkembang dimana timbulnya berbagai dimensi ekonomi berkenaan dengan masalah laut. Hal ini juga didorong oleh kenyataan bahwa mengingat kawasan laut (tidak seperti daratan) tidak bisa diduduki, maka kepemilikan atas kawasan laut terutama ditujukan untuk pengambilan sumber- sumbernya. Oleh karena itu doktrin bahwa hak wilayah laut ditentukan berdasarkan hukum semakin berkembang demikian pula dengan mekanisme penyelesaian sengketanya dan perkembangan paling signifikan adalah dengan diterimanya rejim hukum laut dalam UNCLOS. Pada masa ketika rezim hukum mengenai hak-hak eksklusif atas wilayah daratan telah berkembang, kawasan laut tetap dianggap res communis yang tersedia bagi semua pihak. Filosofi mare liberum (“free sea”) berlaku bagi semua kawasan samudera/laut lepas, kecuali jalur “laut teritorial” yang berbatasan dengan pantai-pantai yang digunakan untuk melindungi kepentingan perikanan lokal dan keamanan. Pakar Belanda, Hugo Grotius, menyatakan bahwa segala sesuatu
  • 6. 22 yang tidak dapat diduduki tidak akan dapat menjadi hak milik. Grotius berpendapat bahwa pemanfaatan laut untuk perikanan atau untuk pelayaran oleh seseorang tidak akan menghalangi orang lain untuk turut memanfaatkannya. Samudera diciptakan alam sehingga negara tertentu tidak bisa secara eksklusif menggunakannya, melainkan merupakan milik semua umat manusia. Contoh prinsip res communis adalah bahwa laut lepas dapat digunakan oleh siapapun tetapi tidak dapat dimiliki. Kategori terakhir mengenai hak-hak atas sesuatu yang tidak dapat dimiliki tidak terdapat dalam hukum romawi, melainkan baru diciptakan pada 1960-an ketika pada November 1967 Duta Besar Arvis Prado, Utusan Tetap Malta di PBB, menyerukan kepada semua delegasi untuk menganggap sumber-sumber di lautan yang berada di luar yurisdiksi nasional sebagai “warisan umum umat manusia” (common heritage of mankind) yang maknanya lebih dalam daripada res communis. Jika suatu tempat atau sesuatu benda dianggap sebagai warisan umum umat manusia, maka sesuatu itu tidak dapat dimiliki. Sudah menjadi bagian dari gagasan res communis tetapi terkait pada kemanusiaan dan oleh karenanya harus diatur dan ditentukan oleh kemanusiaan. Gagasan warisan umum bermakna lebih dalam daripada res communis, memberikan hak kemanusiaan dan kewajiban untuk mengorganisir dan mengatur sesuatu tersebut atau wilayah.
  • 7. 23 Perkembangan perangkat hukum dan institusi yang mengatur alokasi hak-hak atas wilayah laut termasuk relatif baru. Hak- hak atas wilayah laut dialokasikan melalui proses yang berbeda dengan pengalokasian daratan, dan menurut yurisprudensi yang sangat berbeda. Alokasi wilayah laut adalah berdasarkan ketentuan hukum dan dipisahkan dari tindakan fisik okupasi. Disamping itu, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) merupakan perjanjian multilateral pertama yang memuat ketentuan-ketentuan mandatory bagi penyelesaian konflik. Sementara itu sampai saat ini belum ada konvensi yang memuat ketentuan-ketentuan mandatory bagi penyelesaian perselisihan mengenai wilayah darat. Upaya besar pertama untuk mengkodifikasi rezim hukum mengenai samudera dilakukan oleh PBB pada 1958, dengan hasilnya mengadopsi empat konvensi dan sebuah protokol opsional mengenai penyelesaian sengketa. Konvensi-konvensi tersebut ternyata tidak mendapat dukungan. Konferensi kedua kemudian diselenggarakan pada 1960 untuk mencoba menyelesaikan isu kontroversial mengenai batas laut teritorial, yang belum diputuskan dalam konferensi pertama, tetapi belum juga berhasil sebagaimana konferensi 1958. Hal ini terus berlanjut hingga konferensi ketiga dilakukan yang berhasil memutuskan konsensus. Namun, selain menyelesaikan permasalahan luas laut yang diizinkan sebagai laut teritorial, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 juga secara komprehensif telah mengkodifikasi hukum internasional yang
  • 8. 24 berkaitan dengan berbagai permasalahan lain, seperti hak-hak pelayaran, pengawasan polusi, riset ilmiah kelautan dan ketentuan perikanan. UNCLOS mulai berlaku efektif pada 1994 ketika jumlah ratifikasi yang disyaratkan (60) terpenuhi. Rezim hukum UNCLOS untuk menentukan kepentingan hukum negara pantai dalam zona-zona kelautan akan dijelaskan secara lebih rinci dalam bagian berikutnya; tetapi disini penting untuk diperhatikan aspek intinya. Sebagaimana Konvensi-konvensi sebelumnya, cara alokasi yang diadopsi UNCLOS untuk memiliki wilayah laut tidak didasarkan pada kepemilikan atau kontrol, seperti pada kepemilikan tanah, tetapi melalui proses yuridikasi. Doktrin tersebut menyatakan bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan fisik atau kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian disebut doktrin ab initio, yang artinya jatah/bagian tersebut sudah dimiliki sejak awal – merupakan bagian yang sudah menyatu dan tidak perlu upaya tertentu bagi negara pantai untuk memperolehnya. Keputusan untuk tidak mengintegrasikan okupasi fisik sebagai kriteria diambil dengan bulat. Misalnya Inggris, yang awalnya menginginkan agar rezim sebaiknya mengarahkan hak-hak didapat melalui okupasi terutama melalui eksploitasi landas kontinen yaitu dengan eksplorasi mineral di daerah tersebut. Tetapi para penyusun Konvensi 1958 mengenai Landas Kontinen dan UNCLOS, dan para akademisi sangat yakin
  • 9. 25 bahwa okupasi fisik tidak relevan dengan hak-hak atas landas kontinen. Alasan yang dikemukakan sangat menarik. Alasan yang paling mengedepan adalah keinginan untuk mencegah perlombaan kepemilikan wilayah dengan mengorbankan negara-negara berkembang. Mahkamah Intenasional menyatakan: Doktrin ‘ab initio’ …yang diadopsi pada Konferensi Jenewa sebagai sarana untuk melindungi negara-negara pantai yang tidak membuat pernyataan atas hak- hak mereka terhadap landas kontinen dan tidak memiliki alat untuk mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber-sumber mereka… Semua negara pantai menerima doktrin tersebut tanpa keraguan terutama disebabkan oleh konsekuensi negatif yaitu mencegah terjadinya perlombaan kepemilikan wilayah dan pengambilan sumber-sumber di dasar laut oleh beberapa negara yang menganut dogma Grotius mengenai “kebebasan laut”. Itulah alasan Konvensi 1958 tidak mendasarkan penggunaan hak-hak kedaulatan ab initio bagi upaya eksploitasi atau okupasi atau bahkan pernyataan hak-hak ini. Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat di seluruh dunia, dampak kehidupan manusia di bumi meningkat secara signifikan. Karena degradasi lingkungan terus terjadi, negara- negara tidak dapat lagi bertindak secara individu dan mengharapkan kualitas lingkungan membaik. Kedaulatan akan menjadi masalah kedua karena permasalahan utama adalah untuk menangani permasalahan lingkungan dan membentuk
  • 10. 26 traktat-traktat yang relevan. Bangsa-bangsa seharusnya menaruh perhatian pada lingkungan bukan hanya karena lingkungan yang rusak merupakan ancaman bagi kesehatan manusia dan ekosistem, tetapi juga karena lebih luas lagi akibatnya secara global. Namun demikian, bangsa-bangsa cenderung berlindung di balik permasalahan kedaulatan dan menutupi masalah lingkungannya dari dunia. Sebelum 1972, hanya sedikit perjanjian internasional yang membahas mengenai sumber-sumber yang digunakan secara lintas batas seperti air atau kehidupan flora dan fauna liar; membentuk pertanggung jawaban atas kasus tumpahnya minyak ke laut; atau penangkapan ikan dan ikan paus khususnya. Perjanjian-perjanjian ini mempengaruhi kedaulatan negara-negara. Pada Juni 1972, sewaktu diadakan Konferensi Stockholm mengenai Lingkungan Manusia yang didukung oleh PBB (The UN Conference on the Human Environment), masyarakat global mengakui bahwa sifat permasalahan lingkungan global berbeda dengan sifat perdagangan dan hukum internasional tradisional. Masyarakat internasional menyimpulkan perlunya pendekatan baru. Setelah itu, sejalan dengan diterimanya UNCLOS pada tahun 1982, Deklarasi Rio dan Agenda 21 pada tahun 1992, “the Plan of Implementation” pada tahun 2002 dan Keputusan ITLOS pada tahun 2003 atas sengketa reklamasi, semakin memperkuat pengakuan masyarakat internasional atas prinsip
  • 11. 27 bahwa kedaulatan negara atas sumber-sumber daya alamnya termasuk laut adalah kedaulatan yang luas namun tidak tanpa batas. Dalam kaitan ini, setiap negara terikat kepada kewajiban hukum internasional berdasarkan UNCLOS maupun hukum internasional umum untuk menjamin bahwa kebijakan yang dilakukan atau berada di bawah kontrolnya tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan laut negara lain. Untuk itu diperlukan adanya kerjasama yang memadai baik secara bilateral, trilateral, regional maupun internasional/multilateral.