Dokumen tersebut membahas mengenai perkembangan pengaturan kedaulatan wilayah udara oleh negara-negara di dunia. Dimulai dari usaha manusia untuk terbang, perkembangan teknologi balon udara dan pesawat terbang, hingga konvensi-konvensi internasional yang mengatur pengakuan kedaulatan negara atas ruang udara di atas wilayahnya secara horisontal dan vertikal.
1. MENETAPKAN BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA
PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat manusia bahwa di dalam kehidupannya ingin selalu menuju ke arah atas,
misalnya ingin naik pangkat, kalangan atas, peringkat atas, dan lain-lain, begitu pula apabila
manusia melihat burung yang sedang terbang di udara, secara tidak sadar manusia berkeinginan
pula untuk dapat terbang seperti burung, dan keinginan ini sering diwujudkan dalam bentuk
cerita manusia super yang dapat terbang, contoh seperti Gatotkaca, Superman, dan begitu
besarnya keinginan manusia untuk dapat terbang, maka burung-burung jenis tertentu dijadikan
lambang baik itu digunakan dalam suatu lembaga atau digunakan untuk suatu negara contoh
seperti negara Amerika Serikat dengan burung rajawali, negara Indonesia dengan burung garuda
atau seperti negara Papua Nugini dengan burung cendrawasih.
Untuk mencapai cita-cita manusia tersebut, maka manusia berusaha dengan melalui beberapa
cara dan usaha ini berlangsung terus sampai sekarang, dan hal ini dapat terlihat dalam buku
sejarah penerbangan seperti kisah Daedalus dan putranya Icarus dalam usahanya melarikan diri
dari pulau Kreta (Yunani) dengan membuat sayap-sayap yang terbuat dari lilin dan dilengkapi
bulu-bulu burung yang bentuknya meniru sayap burung.
Usaha untuk manusia dapat terbang juga dilakukan oleh seorang sarjana Inggris yang bernama
Roger Bacon (1220-1292) yang mengatakan bahwa udara di sekitar kita seperti halnya lautan,
oleh karena itu untuk dapat mengambang perlu adanya kantong udara (balon) seperti kapal di
atas air, dan kantong udara tersebut harus diisi dengan gas eter.
Usaha untuk manusia dapat terbangpun tidak saja menjadi cita-cata para ilmuawan saja tetapi
menjadi cita-cita seluruh umat manusia seperti seniman besar yaitu Leonardo da Vinci yang
menciptakan rancangan “ornithopter”. Begitu pula bagi seorang pengusaha kertas yang
berkebangsaan Perancis yaitu Joseph Montgolfier yang membuat kantong udara dan diisi dengan
asap yang akhirnya dapat mengambang diudara.
Setelah diketemukan kantong udara, maka oleh seorang berwarga negara Jerman yaitu Von
Zeppelin (1838-1917) membuat balon udara yang bermesin dan berhasil diterbangkan yang
akhirnya digunakan sebagai alat transportasi.
Ditemukan kantong udara (balon) untuk menerbangkan manusia berhasil, maka teknologi balon
udara mengalami perkembangan sangat pesat yaitu sejak digunakan sebgai alat transportasi
penumpang dan pos yang akhirnya digunakan untuk kepentingan militer yaitu sebagai alat
angkut militer termasuk sebagai alat spionase (mata-mata).
Pada tahun 1900 Wright Brother (Wilbur Wrights, Orville Wrights) yang berkebangsaan
Amerika Serikat adalah orang pertama yang membuat dan berhasil
menerbangkan pesawat udara bermesin
yang akhirnya dilakukan penyempurnaan oleh para ahli teknologi penerbangan di seluruh dunia
sampai sekarang ini,
Doc : Garuda Indonesia. Doc : TNI-AU.
dan hal ini memacu para ahli hukum untuk secepatnya membuat dasar-dasar hukum yang dapat
digunakan untuk mengatur ruang udara.
Setelah manusia mengetahui bahwa balon udara atau pesawat udara memiliki manfaat yang
bukan sebagai alat angkutan biasa tetapi dapat digunakan sebagai alat angkut militer, maka
beberapa ahli hukum berpendapat sudah saatnya untuk segera membuat ketentuan-ketentuan
2. hukum untuk mengatur udara, karena ruang udara dapat digunakan untuk merugikan negara lain.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang paling sulit dihadapi oleh para ahli hukum tersebut adalah mengenai dapat
atau tidaknya ruang udara dimiliki oleh negara bawah ?
KEDAULATAN WILAYAH UDARA
Untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum udara, maka para ahli hukum menggali hukum-
hukum lama yang pernah berlaku yang berhubungan dengan ruang udara dan akhirnya
diketemukannya suatu maxim (ketentuan lama) yang berlaku pada jaman Romawi yang
menyebutkan “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum Et Ad Infinitum” yang dapat diartikan
barang siapa memiliki sebidang tanah, maka juga memiliki pula apa yang ada diatasnya dan juga
yang ada dibawahnya serta tidak terbatas.
Maxim tersebut menimbulkan suatu perbedaan pendapat yang hangat di antara para ahli hukum
seperti :
1. Paul Fauchille (1858-1926) dengan teorinya Air Freedom Theory menyebutkan bahwa ruang
udara itu bebas dan oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh negara bawah.
Teori Paul Fauchille tersebut didasari oleh karena :
a. Sifat udara adalah bebas.
b. Udara adalah warisan seluruh umat manusia.
2. West Lake dengan teorinya Air Sovereignty Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu
tertutup yang berarti dapat dimiliki oleh setiap negara bawah.
Untuk menyelesaikan masalah kedaulatan wilayah udara tersebut, maka pada tahun 1910
diadakan konperensi internasional (The International Conference on Air Navigation) di kota
Paris (Perancis) yang hanya dihadiri oleh 3 negara yaitu negara Inggris, Jerman dan Perancis.
Delegasi negara Inggris mengusulkan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang
udara yang ada diatasnya, delegasi negara Jerman mengusulkan bahwa negara memiliki
kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang dapat dikuasainya, sedangkan delegasi negara
Perancis mengusulkan bahwa ruang udara adalah bebas dengan memperhatikan akan
kepentingan keamanan negara, penduduk dan harta benda, maka apabila dilihat usulan-usulan
seperti tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tidak adanya keseragaman pendapat
di antara ke tiga negara yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa konperensi tersebut mengalami
kegagalan.
Berakhirnya Perang Dunia I, menimbulkan banyaknya negara-negara merasakan bahwa ruang
udara yang ada di atas negaranya harus bersifat tertutup, karena dengan adanya pengalaman
bahwa ruang udara dapat digunakan sebagai pintu masuk pesawat militer dengan mudah untuk
menyerang.
Pada tahun 1919 kembali diadakan konperensi internasional di kota Paris (Perancis) yang
dihadiri oleh 31 negara yang hadir dan menghasilkan suatu konvensi yaitu Convention Relating
to the Regulation of Aerial Navigation 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Paris
1919.
Pada Pasal 1 Konvensi Paris 1919 disebutkan bahwa setiap negara anggota mengakui hak
kedaulatan lengkap dan eksklusip di ruang udara di atas wilayahnya baik di darat, laut wilayah
maupun di negara kolonial (jajahan) nya.
Konvensi ini mengalami kegagalan juga, karena belum mencapai jumlah ratifikasi seperti yang
ditentukan, dan ini juga dikarenakan hanya negara-negara anggota Konvensi Paris 1919 saja
yang diakui wilayah di ruang udara, sedangkan bagi negara-negara yang bukan anggota konvensi
ini tidak diakui memiliki wilayah di ruang udara.
3. Untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur mengenai kedaulatan negara di ruang udara,
maka pada tahun 1929 American Comunication Beaureau mengadakan pertemuan dan
menghasilkan suatu kesepakatan bahwa mengakui setiap negara memiliki wilayah di ruang udara
yang ada diatasnya.
Dengan adanya kesepakatan ini menyebabkan semua negara di dunia merasa memiliki
kedaulatan di ruang udara, dan menjadikan ajaran Paul Fauchille dan Westlake sepenuhnya tidak
dapat dipertahankan, karena setiap negara memiliki kedaulatan mutlak di ruang udara dengan
memberikan kebebasan penerbangan.
Pada tahun 1944 diadakan konperensi internasional di kota Chicago (Amerika Serikat) yang
dihadiri oleh beberapa negara seperti sebagai berikut :
NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA
NO. NAMA NEGARA
1. Afgabistan 11. Dominika 21. Iran 31. Mesir 41. Portugal
2. Afrika Selatan 12. Ekuador 22. Irlandia 32. Mexiko 42. Selandia Baru
3. Amerika Serikat 13. El Salvador 23. Islandia 33. Nikaragua 43. Swedia
4. Australia 14. Ethopia 24. Kanada 34. Norwegia 44. Swiss
5. Belanda 15. Guatemala 25. Kolombia 35. Panama 45. Syria
6. Belgia 16. Haiti 26. Kosta Rika 36. Paraguay 46. Turki
7. Bolivia 17. Honduras 27. Kuba 37. Perancis 47. Uruguay
8. Brasil 18. India 28. Libanon 38. Peru 48. Venezuela
9. Chile 19. Inggris 29. Liberia 39. Philipina 49. Yugoslavia
10. Chekoslovakia 20. Irak 30. Luxemburg 40. Polandia 50. Yunani
dan menghasilkan Konvensi Chicago 1944.
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyebutkan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan lengkap
dan eksklusip di ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
Dengan demikian Konvensi Chicago 1944 mengakui setiap negara di dunia baik itu negara
anggota maupun tidak tetap memiliki kedaulatan di ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA
Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal yang
mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara
horisontal maupun secara vertikal.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, hukum internasioal memberikan kepada para sarjana
terkemuka untuk menggali dan mencari konsep-konsep hukum yang dapat digunakan sebagai
landasan hukum.
1. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA HORISONTAL
Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian
dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di
wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan
negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan
hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982)
yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai
maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line).
Gambar : Batas wilayah udara secara horisontal :
Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga
dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik
4. negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah
udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam
hukum laut internasional.
Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak
untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah
A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone) yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju
negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat
udara.
Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara.
2. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA VERTIKAL
Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal masih tetap menjadi
permasalahan sampai dengan saat ini, karena perjanjian internasional, kebiasaan internasional,
prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas
kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada, maka beberapa sarjana terkemuka
khususnya ahli hukum udara berusaha untuk membuat beberapa konsep (teori, ajaran atau
pendapat) yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang batas
ketinggian kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :
a) Beaumont dan Shawcross yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b) Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah
setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara
adalah setinggi 1000 meter yang ditarik dari permukaan bumi yang tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah sama
dengan jarak tembakan meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah
60 meter dari permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang
udara adalah setinggi sebuah pesawat udara konvensional sudah tidak dapat lagi melayang.
Pendapat Priyatna Abdurrasyid ini pernah ditentang dengan adanya Pasal 30 ayat 3 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “T.N.I.- A.U.
selaku penegak kedaulatan negara di udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional
………. dstnya”.
Kata dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang angkasa) termasuk G.S.O.
(Geo Stationer Orbit).
Dengan demikian pada waktu itu negara Indonesia tidak menganut pendapat Priyatna
Abdurrasyid tetapi menganut pendapat Beaumont dan Showcross.
Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang batas
ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di
dunia melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti
yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal
udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian Space Treaty Act 1998 menetapkan batas ketinggian
wilayah udaranya adalah 100 kilometer yang diukur dari permukaan laut.
Negara Korea Selatan mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 2003 bahwa batas ketinggian
5. wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 110 kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian wilayah udara
adalah antara 100 sampai dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat
penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas
wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya
ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan
batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.
Mengenai batas wilayah di darat maupun di laut hampir sebagian besar telah dilakukan oleh
negara Indonesia dengan negara-negara tetangga, tetapi tentang batas wilayah di udara secara
vertikal belum ada baik itu dalam ketentuan hukum nasional maupun dalam perjanjian antar
negara tetangga.
Pada Pasal 6 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengelolaan Ruang
Udara Nasional menyebutkan sebagai berikut : “Batas vertikal pengelolaan ruang udara nasional
sampai ketinggian 110 (seratus sepuluh) kilometer dari konfiguarsi permukaan bumi”.
Dengan demikian dapat terlihat adanya ketidak seragaman konsep di antara para sarjana
terkemuka ataupun oleh negara-negara dalam menentukan batas ketinggian wilayah
udara yang dapat dimiliki oleh suatu negara bawah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Bandung , Alumni, 2000.
2. E. Suherman., Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.
3. Evert Max. Tentua., Hukum Dirgantara, Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang,
I.L.S., 2009.
4. Frans Likadja., Masalah Lintas Di Ruang Udara, Bandung, Binacipta, 1987.
5. K. Martono., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni, 1989.
6. Michael Akehurst., A Modern Introduction to International Law., London, Routledge, 1997.
7. Priyatna Abdurrasyid., Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, Jakarta : P.T.H.A., 1972.
8. P.H. Kooijmans., Internationaal Publiekrecht in Vogelvlucht, Groningen, Wolters-Noordhoff
bv. 1991.
9. P. van Heijnsbergen., Compendium van het Volkenrecht, Deventer, Kluwer, 1972.
10. Rebecca M.M. Wallace., International Law, London, Sweet & Maxwell, 1986.
11. Sulaiman Nitiatma., Hukum Internasional Teritorialitas, Semarang : CV. Indriajaya. 1995.