SlideShare a Scribd company logo
1 of 83
0
Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM)
berbasis Technopreneurship
Dr. Ir. Charles Soetyono Iskandar, M.T., M.Pd
Dr. A. Muhammad Idkhan, S.T.,M.T
Margaret Iskandar, SIP, M. Pd.
Mei 2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan bukuini meskipun jauh dari kesempurnaan.
Pembuatan buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah pembelajaran dalam menimbah
ilmu utamanya dalam mata kuliah managemen sumber daya maanusia terlibat (involve) without selibat
(celibacy) berbasis kewirausahaan dengan mengunakan teknologi (Technopreneurship) terkhusus dalam
menentukan faktor-faktor moral kemanusiaan.
Pada kesempatan ini kami membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang berguna untuk
perbaikan dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan pengetahuan dalam proses
pembelajaran.
Makassar, 24 Mei 2019
Penulis
Dr. Ir. Charles Soetyono Iskandar, M.T., M.Pd
Dr. A. Muhammad Idkhan, S.T.,M.T
Margaret Iskandar, SIP, M. Pd
2
DAFTAR ISI
Sampul ...........................................................................................................0
Kata pengantar .................................................................................................1
Daftar isi..........................................................................................................2
Pendahuluan.....................................................................................................3
Studi pustaka ...................................................................................................13
Karakter cerdas ..............................................................................................25
Pengertian manajemen ...................................................................................27
Teknologi produksi..........................................................................................34
Mesin dan peralatan.........................................................................................35
Pengertian pendidikan kejuruan.......................................................................41
State of the art ................................................................................................48
Autoplot...........................................................................................................71
Daftar Pustaka .................................................................................................93
3
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada dekade awal kemerdekaan serta pembangunan bangsa dan negara dikenal dan dikumandangkan dua
”slogan,” tetapi satu yaitu nation and character bulding yang maknanya pembangunan bangsa dan
pembangunan karakter (watak) bangsa. ”Pembangunan bangsa” digelorakan dengan mantapnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Negara Bhineka Tunggal Ika, Satu Tanah Air,
Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Di samping itu, ”pembangunan karakter” digempitakan demi kokohnya
budaya bangsa yang berkepribadian, berdiri di atas kaki sendiri, dan bermartabat. Bangsa Indonesia, yang
berani memerdekakan dirinya melalui revolusi perjuangan rakyat, adalah bangsa yang diyakini mampu
menjadi bangsa yang besar.
Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara menjadi acuan dasar pembangunan bangsa dan
pembangunan karakter bangsa. Karakter Pancasilais didealkan menjadi basis bagi pembangunan bangsa dan
negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai luhur Pancasila menjadi acuan dasar
bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa yang berkarakter, yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan
berpartisipasi aktif dalam upaya membangun dunia berdasarkan perdamaian abadi, peri-kemanusiaan, dan
peri-keadilan.
Dalam perjalanan pembangunan bangsa dan negara dari dekade ke dekade, glora nation and
character building agaknya semakin meredup. Pancasila yang digelorakan sejak dimulainya revolusi
kemerdekaaan, dan yang pada dekade ketiga sampai dengan menjelang berakhirnya abad ke-20 secara resmi
dijadikan satu-satunya asas bagi kelembagaan politik dan kenegaraan, justru sepertinya mengalami
kemunduran dalam makna keluhuran nilai-nilainya bagi bangsa Indonesia. Character building yang semula
mengacu kepada nilai-nilai luhur Pancasila digantikan oleh slogan ”Pancasila sebgai asas tunggal” dengan
nilai-nilai kekuasaan yang dipaksakan. ”Asas Tunggal” menjadi monopoli pihak tertentu sehingga pihak lain
tidak terwadai oleh nilai-nilai yang dipaksakan itu. Periode ”asas tunggal” itu diakhiri oleh gerakan
reformasi yang asas utamanya ingin mengembalikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai panduan kehidupan
dan pembangunan kebangsaan.
Gerakan reformasi berhasil menegakkan demokrasi sebagai instrumen pengganti, untuk menghapus
ketidakbebasan pada era sebelum reformasi. Suasana eforia berkat berhasilnya gerakan reformasi
berlangsung dalam hampir di setiap bidang kehidupan. Bidang kehidupan politik agaknya paling menikamati
kebebasan sebagai hasil reformasi itu. Diiringi kebebasan penyiaran oleh media massa yang semakin
langsung dan terbuka, suasana eforia kebebasan politik dan penyiaran berdasarkan demokrasi yang seluas-
luasnya itu, dirasakan mengimbas kemana-mana; ke segenap bidang kehidupan yang menjadi hajat hidup
seluruh komponen bangsa. Lebih jauh lagi imbasnya justru ”melebar” melewati batas-batas bidang politik
4
dan penyiaran itu sendiri. Imbas ke bidang ekonomi ternyata tidak menyejahterakan rakyat; pengangguran
cenderung semakin tinggi.
Dibidang pendidikan, meskipun telah didukung oleh perangkat perundangan yang semakin bernilai
dibanding sebelumnya, namun tetap terjangkiti oleh berbagai kendala yang mengakibatkan rendahnya mutu
proses pembelajaran dan lulusannya. Bidang birokrasi dan pelayanan masyarakat dipenuhi oleh suasana
kelambanan (indolensi), ketidakefektifan, dan kurang efisien, serta terjadinya berbagai penyimpangan.
Dalam penegakan hukum, dirasakan terjadinya perlakuan kurang adil, dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya, banyak terjadi tindakan yang melanggar nilai dan moral, ketertiban, dan kenyamanan hidup
bersama. Karakter Pancasila sepertinya kehilangan roh sejatinya. Kondisi ini semua ditunjang oleh arus
teknologi-informasi global yang semakin terbuka, vulgar tanpa batas dan tak terkendali.
Kondisi yang penuh kesenjangan tersebut di atas di khawatirkan akan lebih lagi kebablasan apalagi
tidak diambil langkah-langkah untuk mencegah dan mengatasinya. Mencermati itu semua, dewasa ini
agaknya telah mulai timbul kesadaran untuk kembali menegakkan pilar character building, yang
dikhawatirkan telah kehilangan rohnya. Karakter bangsa yang tampaknya banyak ternodai oleh berbagai
kesenjangan di atas hendak dikembalikan kejalur idealnya semula, yaitu kesejatiannya nilai-nilai luhur
Pancasila. Amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hendak
benar-benar diisi dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang diyakini bersesuaian sepenuhnya dengan sejatinya
harkat dan martabat manusia dalam kehidupan yang diridhoiu oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Kotamadya Makassar secara geologis merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di pantai
barat pada koordinat 119°24’17,38” Bujur Timur dan 5°8’6,19” Lintang Selatan sebagaimanaterlihat pada
gambar 1.
5
Gambar 1. Letak geografis wilayah Kotamadya Makassar
Secara administratif, luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2 atau 0,28% dari luas wilayah
provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 14 kecamatan dan terbagi atas 143 kelurahan. Jumlah penduduk
perkotaan 1.203.255 Jiwa dengan timbulan sampah perhari: 3.582,01 m3 dan sampah yang terangkut setiap
hari: 3.151,27 m3. Adapun batas-batas Kota Makassar adalah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros.
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa.
3) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros.
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.
PERSOALAN KEHIDUPAN KEMASYARAKATAN DAN KEBANGSAAN.
Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita dewasa ini diwarnai oleh berbagai kesenjangan dan
ketidaknyamanan. Berbagai peristiwa yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi itu disiarkan, seringkali
secara intens, oleh media massa, sehingga beritanya menyebar ke mana-mana, ke seluruh wilayah tanh air.
Dalam kondisi demikian kejadian dan suasana ”suram” yang ditimbulkannya menjadi ”milik” kita semua,
milik bangsa yang barangkali menjadikan bangsa ini sampai merasa ”sedang didera derita.” Isu-isu pokok
berkenaan dengan ”susasana suram” seperti itu antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut; yang
seluruhnya dilatarbelakangi oleh sikap dan perilaku yang kurang atau tidak berkarakter-cerdas.
1. Bidang ekonomi. Kesenjangan antara kaya dan miskin belum berkurang, kalau kita hendak mengatakan
”semakin melebar.” Pengangguran masih tinggi dan belum kecenderungan menurun. Daya saing ekonomi
dibayang-bayangi banjir produk luar negeri, sementara karakter konsumenisme dan lebih menyukai
produk luar negeri warga masyarakat masih tetap menggejala. Kondisi itu semua dilengkapi oleh
rendahnya penciptaaan lapangan kerja baru, tingginya angka pengangguran dan minimnya wirausahawan.
Motivasi menjadi pegawai negeri masih mendominasi arah masa dengan generasi muda lulusan satuan
pendidikan dari tingkat pendididkan dasar sampai tinggi. Peristiwa korupsi, perampokan, pencurian dalam
berbagai bentuk dan besaran mewarnai kondisi senjang secara nasional yang terpampang di depan mata.
2. Hubungan sosial kemayarakatan. Kehidupan rukun, tenteram, dan damai, gotong-royong, dan
musyawarah untuk mufakat, sepertinya jauh dan tidak dirasakan lagi dalam kehidupan keseharian.
Kehidupan dibisingkan oleh kegaduhana demonstrasi, kericuhan dalam penetapan lahan usaha, suasana
pertandingan olah raga, penuntutan hak yang tercederai, kericuhan, dalam keluarga dan hubungan
kekerabatan dan perselisihan antar kelompok menwarnai dinamika kehidupan warga masyarakat.
Perbuatan kekerasan asosial, ademokratis dan amoral, korupsi, konsumsi dan pengedaran narkoba,
menambah kesenjangannya kehidupan dasar yang sejahtera dan bahagia. Tindakan yang kurang/tidak etis
ternyata juga diperbuat oleh para pemegang posisi yang dijuluki terhormat.
6
3. Dunia Hukum. Ketidakadilan masih mewarnai pratik pengadilan di negara kita yang sesungguhnya
dinyatakan sebagai negara hukum. Rakyat kecil diperlakukan tidak adil di muka hukum, sedangkan bagi
mereka yang kuat dan kaya dapat menggunakan uangnya untuk ”membeli” hukum. Penegakan hukm
(Law enforcement) dirasakan lemah, misalnya di bidang lalu lintas, sehingga terjadi banyak pelanggaran
dan kecelakaan. Pelanggaran tersebut banyak dilakukan, misalnya melalui pungutan liar ataupun suap dan
praktik ilegal lainnya oleh pihak-pihak yang diyakini sangat mengerti kaidah-kaidah hukum.
Kesenjangan dalam ketiga kawasan di atas diperluas dan diperparah oleh kekuatan globalisasi dan
perkembangan teknologi serta dunia maya yang melanda kehidupan manusia dalam semua sisinya. Memang
kekuatan globalisasi dengan kemajuan teknologi serta dunia maya itu membawa dampak positif bagi
kemajauan kehidupan manusia, namun pengaruh negatifnya tidak kurang pula.
Globalisasi
Kecenderungan globalisasi yang semakin luas, terbuka dan gencar membuahkan kemajuan teknologi
informasi yang luar biasa. Siapa saja dapat memperoleh informasi tentang apa saja, kapan saja dan dari
manapun juga. Informasi yang diperoleh itu boleh jadi belum layak dikonsumsi dan akan menimbulkan
kesenjangan pada pribadi yang bersangkutan yang akan mengakibatkan perilaku menyimpang. Hal ini
dibarengi oleh upaya sensor yang lemahatau bahkan tidak berdaya.
Dunia Maya
Dunia maya berkembang luar biasa, berisi segala sesuatu yang tampaknya tanpa batas. Seiring dengan aspek
positif yang dapat diperoleh melalui peran dunia maya, ternyata pemanfaatan untuk perilaku negatif pun
semakin menggejala. Perang melalui dunia maya, ketidakadilan dan tindak kriminalpun dapat terjadi dengan
menggunakan perangkat dunia maya.
B. PERSOALAN PENDIDIKAN
1. Pembelajaran
Inti pendididkan adalah pembelajaran. Pembelajaran dapat berlangsung secara alamiah melalui pemaknaan
individu terhadap pengalaman-pengalamannya dalam menjalani kehidupan. Apakah pengalaman tersebut
menyenangkan ataupun tidak semua dapat menjadi proses pembelajaran untuk membangun karakter
kehidupan. Pembelajaran sebagai rekayasa sosial untuk pembudayaan manusia dilakukan melalui pendidikan
informal, formal dan nonformal. Karakteristik yang khas dalam pembelajaran seperti ini adalah adanya usaha
sadar, terencana dan sistematik untuk mencapai tujuan, yaitu manusia yang berkarakter baik. Akhir sebuah
proses pendidikan adalah karakter. Orang yang berkarakter bertindak mulia.
Persoalan pembentukan karakter kebangsaan melalui pembelajaran dapat dipahami melalui isi
pembelajaran, kegiatan mendidik, mengajar, melatih, dan membimbing. Dari isi pembelajaran, kesuksesan
sebuah proses pembelajaran adalah terbentuknya karakter. Berbagai macam bentuk karakter, satu di
antaranya yang paling mulia, sebagaimana telah dilakukan terdahulu, adalah transenden. Karakter bangsa
7
termasuk transenden, yaitu sifat diri untuk mau mengalihkan keutamaan diri kepada keutamaan bangsa dan
negara, bahkan kepada keutamaan harkat dan martabat manusia. Fitrah manusia adalah suci dan transenden
terkait dengan penciptanya. Benchmarking pada bangsa yang besar menunjukkan bahwa pihak-pihak yang
bertanggung jawab mestinya berhasil membelajarkan warga negaranya menjadi transenden kepada
kepentingan bangsanya, bahkan melampauinya kepada kepentingan bangsa-bangsa di dunia.
Pembelajaran di tanah air sekarang ini lebih mengutamakan aktualisasi individu. Ukuran
keberhasilannya sering diletakkan pada keunggulan individu untuk mengalahkan kompetitornya.
Perlombaaan-perlombaan yang diadakan selama ini lebih banyak berfokus kepada tujuan aktualisasi prestasi
individu, jarang sekali diniatkan untuk kepentingan kemajuan bangsa. Dalam hal ini, visi pembelajaran
belum mampu mengarahkan bahwa segala sesuatu yang direncanakan dan yang akan dicapai tersebut adalah
lintasan untuk membangun masa depan bangsa yang lebih cemerlang.
Pembentukan karakter erat kaitannya dengan sentuhan pendididkan (education touch). Kehidupan
yang berkembang yang merupakan bagian dari education touch bagi umat manusia. Fenomena di tanah air
sekarang ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dari lingkungan masyarakat untuk membentuk
karakter kebangsaan sesuatu menjadi semakin perlu diperhatikan, mengingat banyaknya persoalan
kehidupan bernegara yang tidak dapat dimaknai secara tepat. Misalnya, ketika pesta demokrasi dalam
regenerasi kepemimpinan berlangsung, mulai dari kehidupan di tingkat rumah tangga (RT) hingga tingkat
nasional, sering terjadi fenomena yang membingungkan. Masyarakat tidak mampu membedakan perilaku
mana yang tepat untuk membangun kehidupan demokrasi dan perilaku mana yang tidak tepat. Masyarakat
disuguhkan informasi berbagai bentuk kekurangan yang terjadi pada pesta demokrasi tersebut melalui media
cetak ataupun dari debat dan dialog interaktif di media televisi. Akan tetapi, seringkali informasi tersebut
tidak efektif sebagai materi pembelajaran karena pada akhirnya justru sering membingungkan penonton yang
akhirnya terprovokasi tanpa mengetahui mana sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun bangsa ini.
Akibatnya, kita dapati pandangan masyarakat yang lebih berorientasi pada hal-hal negatif. Dalam
konteks demokrasi kebangsaan, dalam hal kepartaian misalnya, akhirnya melekat dipikiran masyarakat
sebuah stigma bahwa apapunpartainya, kondisinya, sama saja, karena pada akhirnya semuanya
mementingkan diri sendiri. Sportivitas seringkali tidak dapat terbangun lewat pembelajaran dari lingkungan
karena kurangnya sosialisasi tentang hal-hal yang positif dan banyak hal justru sangat jauh dari contoh
keteladanan. Prinsip mengutamakan kepentingan bangsa tidak dapat dimaknai masyarakat secara transenden.
Terlalu jauh kemampuan warga masyarakat untuk mampu memaknai sesuatu yang esensial.
Karakter kebangsaan perlu dibangun melalui pembelajaran dalam suasana education touch, di mana
di dalamnya terkandung proses pembelajaran dengan ”sentuhan tingkat tinggi” (high touch) dan ”teknologi
tinggi” (high tech). High-touch berkenaan dengan usaha sadar dan sistematis dalam penciptaan suasana yang
konduksif untuk berlangsungnya proses belajar pada peserta didik, sedangkan high-tech berkenaan dengan
8
prosedur sistematis dalam proses pencapaian tujuan belajar. Pembelajaran harus mampu meningkatkatkan
kompetensi dalam bentuk pemahaman (knowledge), keterampilan (skill), dan nilai-nilai (value) Pancasila
sebagai karakter bangsa. Kompetensi diri untuk memahami eksistensinya sebagai warganegara NKRI,
komptensi berkomunikasi, kompetensi memahami perbedaan dan keanekaragaman etnik. Prasyarat untuk
berlangsungnya pembelajaran yang berciri education touch adalah dioperasionalisasikannya high-touch dan
high-tech dalam pembelajaran. High-touch di wujudkan dalam berbagai bentuk perilaku pendidik seperti
kesediaan menerima dengan jujur segala potensi dan keterbatasan peserta didik, pernyataan kasih sayang
dengan kelemahlembutan, penghargaan yang tulus terhadap sekecil apapun hasil belajar peserta didik,
menjadikan diri contoh teladan dalam berpikir, menyatakan perasaan dan bertindak, melakukan tindakan
tegas untuk mengendalikan perilaku yang salah. Demikian juga dengan high-tech, pembelajaran harus
mendorong munculnya penampilan perilaku gemar belajar melalui prosedur yang sistematis terhadap
rancangan pembelajaran: tujuan, materi, metode, sumber dan bahan serta evaluasi terhadap proses
pelaksanaan pembelajaran sampai dengan hasil-hasilnya.
Persoalan pembelajaran dalam menerapkan high-touch (perilaku hubungan pendidik dengan peserta
didik) dan high-tech (perilaku teknis pembelajaran) sudah dimulai sejak penerapan tujuan pembelajaran.
Pendekatan yang menekankan pada behavioristik, mengakibatkan terfragmenmentasikannya ranah kognitif
dan afektif dan konatif, padahal ketiga ranah itu merupakan satu kesatuan yang perlu dikembangkan dalam
diri individu. Akibatnya, pembelajaran hanya mengahsilak pengetahuan belaka, tanpa dapat diubah menjadi
perilaku, atau kebiasaan, apalagi menjadi karakter. Demikian juga halnya dengan strategi pembelajaran.
Pegeseran antara konsep belajar-mengajar menjadi pembelajaran, konsep berpusat pada guru dan berpusat
pada murid, penggunaan berbagai model-model pembelajaran, menjadi persoalan lain lagi yang membuat
tidak jelasnya proses pembelajaran yang mendidik dan membelajarkan. Bukan hanya karakter bangsa yang
tidak mampu menjadi dampak pengiring suatu pembelajaran, karakter individu sebagai individu yang
mandiripun tidak jelas tampak pembinaannya lewat kebingungan strategi pembelajaran.
Evaluasi pendidikan, persoalan lain lagi dalam pembelajran. Ketika ujian nasional ditempatkan
sebagai persoalan politik dengan anggapan bahwa ujian nasional akan dapat meningkatkan etos kerja bangsa,
ternyata memberikan dampak yang sangat besar tehadap pemaknaan masyarakat terhadap pendidikan. Bukan
proses pendididkan yang semakin membaik, melainkan bimbingan tes yang semakin mejamur agar siswa
lulus ujian, padahal seharusnya bimbingan belajar diperlukan untuk menghasilkan manusia-manusia yang
gemar belajar, dan terus belajar sepanjang hayat.
Semua persoalan pendidikan/pembelajaran, apakah dalam konteks masalah khusus pembelajaran
ataupun dalam hubungannya dengan pembentukan karakter bangsa perlu mendapat perhatian. Atmosfir
kebangsaan yang meliputi semua unsur kehidupan masyarakat dan keluarga untuk membangun budaya
bangsa sangat diperlukan untuk membangun rakyat Indonesia yang berbudaya. Secara lebih konkrit, ketika
9
masalah rendahnya mutu pendidikan di tanah air dikemukakan kepada para guru misalnya, komentar yang
muncul dari mereka pada umumnya adalah bahwa penyebab rendahnya mutu pendidikan itu terkait dengan
sering berganti-gantinya kurikulum, prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai, dan gaji guru
rendah. Tanpa mengurangi pentingnya ketiga hal tersebut bagi peningkatan mutu pendidikan, perlu
diidentifikasi permalasahan atau isu-isu yang lebih substansial berkenaan dengan rendahnya mutu
pendidikan itu, khususnya yang terkait dengan pembangunan karakter peserta didik.
Permasalahan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari terasa dari ketidaksejukan iklim sekolah dan
proses pembelajaran sampai dengan kecurangan dalam pengerjaan tugas, ulangan, dan ujian (termasuk ujian
nasional).
a. Peserta didik tidak betah dan kurang bersemangat berada dan belajar di lingkungan sekolah; suasana
lingkungan sekolah/kelas terkesan ”kering,” ”miskin,” kuarng teratur dan tidak kondusif bagi kegiatan
belajar dan pengembangan pribadi yan produktif sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik yang
dinamis, kreatif, dan gembira. Suasana seperti itu lebih mengesankan sebagai mengekang dibanding
mengembangkan.
b. Belajar dirasakan sebagai kegiatan yang sulit dan menyulitkan ketimbang sebagai kegiatan yang
bermanfaat dan menyenangkan. Materi dan metode pembelajaran cenderung tertutup, monoton, kering,
sempit, dan membebani. Semua itu dirasakan kurang mengembangkan kemampuan kedirian peserta didik.
Dalam pada itu, patut dipertanyakan perolehan hasil belajar yang bagaimanakah didapat oleh peserta didik
setiap kali mereka mengikuti proses pembelajaran? Alangkah ironisnya bahwa hasil yang mereka peroleh
berupa hal-hal yang sekedar bersifat hafalan yang hampa tanpa makna.
c. Praktik kekerasan dan penghukuman, dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan verbal dan perlakuan,
skorsing dan mengeluarkan siswa dari sekolah, masih banyak terjadi. Hal itu semua menyalahi prinsip-
prinsip pendidikan yang memuliakan kemanusiaan manusia dan melanggar hak dasar anak untuk
memperoleh pendidikan, dan semuanya itu mengarah kepada terjadinya kecelakaan pendidikan.
d. Suasana manajemen pembelajaran cenderung menegakkan disiplin dengan cara pemberian sanksi dan
hukuman ketimbang memberikan pengarahan, penguatan, dan keteladanan. Dalam kaitan ini, tindakan
kekerasan diberlakukan atas nama penegakan disiplin.
e. Sekolah membiarkan adanya diskriminasi tentang nilai, kedudukan, dan pentingnya bidang studi tertentu,
seperti bidang MIPA diposisikan paling penting dibanding IPS, Bahasa, Kejuruan, Keterampilan,
Olahraga, dan juga Agama. Padahal, semua bidang atau mata pelajaran sama pentingnya bagi pembinaan
kemampuan dan kedirian peserta didik.
f. Personil sekolah cenderung membuat dan menjaga jarak dengan peserta didik, sehingga keakraban yang
menyejukkan serta memperkembangkan kurang terbina. Suasana demikian itu tidak kondusif untuk
10
terjadinya kegiatan belajar dan proses pembelajaran yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan
produktif.
g. Terjadi pembiaran terhadap kelemahan belajar peserta didik yang berpotensi. Dalam hal ini, kegiatan
pengajaran perbaikan dan pengayaan tidak menjadi perhatian pendidik. Sekolah membiarkan peran
utamanya mencerdaskan peserta didik ”diambil alih” oleh lembaga bimbingan belajar di luar sekolah.
h. Untuk mengatasi kelemahan peserta didik dalam penguasaan materi pelajaran, dengan acuan peserta didik
harus lulus dalam ujian (termasuk ujian nasional), sekolah rela mendegradasikan diri atas fungsi utamanya
mencerdaskan peserta didik, dengan membiarkan (atau bahkan mengkondisikan) peserta didik
menyontek. Praktik ini sesungguhnyalah merupakan kecelakaan pendidikan yang secara langsung
menghancurkan sendi-sendi karakter kemandirian, kerja keras, disiplin, dan kejujuran.
i. Sekolah tidak mengakses kondisi dan peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitar yang berlangsung di luar
sekolah. Sekolah seperti ”katak di bawah tempurung” yang mengakibatkan peserta didik ”terisolasi” dari
kondisi kehidupan di masyarakat sekitarnya di satu sisi, dan sisi lain sekolah membiarkan para peserta
didik bergumul dengan kondisi lingkungan sebagaimana adanya (yang kurang memadai) tanpa berusaha
”memperbaiki yang salah, meluruskan yang menyimpang, dan meninggikan yang rendah, menjernihkan
yang keruh.” Sekolah terisolasi dari kehidupan masyarakat dan tidak mampu menyumbang untuk
kebaikan perkembangan masyarakat.
j. Dalam praktik penilaian sekolah lebih cenderung menggunakan sistem pemeringkatan (ranking) yang lebih
mendiskriminasi kemampuan peserta didik ketimbang memperkembangkan potensi masing-masing diri
mereka secara optimal. Penyelenggaraan kelas-kelas excellence lebih mencuatkan diskriminasi tersebut
dan makin menjauhi sistem continous progress dan praktik pendidkan inklusif.
k. Adanya ”paket hemat” dalam praktik pembelajaran oleh guru yang mengurangi volume materi yang
dibelajarkan di kelas; materi selebihnya diajarkan di luar kelas (dirumah atau di tempat lain) dengan
pemungutan biaya tertentu. Bagi yang mengikuti pelajaran ekstra di luar kelas itu akan diberi nilai tinggi,
lebih tinggi daripada mereka yang hanya mengikuti pelajaran di dalam kelas. Praktik pembelajaran seperti
ini melanggar kode etik sebagai pendidik, melanggar prinsip motivasi altruistik yang harus diwujudkan
oleh pendidik profesional.
Studi Pustaka
Manajemen pendidikan merupakan upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya manusia
dan sumber daya instrumental untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalamnya tersirat makna kerjasama dan
tujuan bersama. Semua upaya dalam manajemen pendidikan diarahkan supaya pendidikan dapat berlangsung
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, penguasaan
11
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
Manajemen pendidikan yang memfasilitasi pembangunan karakter bangsa dilakukan sejak
menetapkan elemen dasar organisasi pendidikan itu sendiri, yaitu dengan menetapkan Pancasila sebagai
landasan filosofi organisasi, penetapan nilai-nilai dasar (value), visi-misi dan tujuan dengan mengacu kepada
Pancasila. Dengan demikian atmosfir yang digunakan untuk menjalankan fungsi manajemen pendidikan
tersebut yaitu di dalam perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan kepengawasan dilandaskan pada
nilai-nilai Pancasila. Setiap dimensi manajemen pendidikan, yaitu kepemimpinan, kepegawaian, kurikulum,
keuangan, sarana prasarana, kemitraan, dan layanan khusus dilaksanakan dengan fungsi manajemen yang
dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila tersebut. Penampilan perilaku pemimpin dan tenaga kependidikan
pada setiap lembaga pendidikan diwarnai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai pijakannya. Transformasi
nilai-nilai Pancasila berlangsung lewat peran pemimpin mualai dari manajemen tingkat pusat hingga
manajemen tingkat teknis di sekolah dalam membina hubungan interpersonal, menyampaikan informasi dan
mengambil keputusan menjadikan Pancasila sebagai nilai (value). Artinya, setiap interaksi yang terjadi
dalam manajemen pendididkan harus dilandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila, karena inilah yang dapat
memutar atmosfir manajemen pendidkan bergerak ke arah positif.
Bagaimana kondisi manajemen pendidkan sekarang ini dalam membangun karakter bangsa? Untuk
menjawab ini perlu dikelompokkan berdasarkan hasil analisis terhadap implementasi fungsi-fungsi
manajemen.
1. Prencanaan pendididkan. Pada saat proses penerapan tujuan dan cara mencapainya, karakter bangsa
mungkin tidak dicantumkan lagi secara eksplisit, karena sudah menjadi landasan semua aktivitas
manajemen. Materi karakter bangsa hanya secara eksplisit dicantumkan, dalam perencanaan guru pada
mata pelajaran/bidang studi yang relevan. Demikian juga pada penerapan program tahunan, semesteran,
bulanan, dan harian. Pancasila mewarnai secara implisit program-program yang dimaksud. Namun
demikian, idealnya di dalam setiap perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dimaksud
tercantum materi pembangunan karakter bangsa.
2. Pengorganisasian, yaitu proses pendelegasian, koordinasi tugas dan pemanfaatkan sumber untuk mencapai
tujuan. Persoalan sering muncul pada pendelegasian dari pengelola pendidikan kepada satuan
pendidikan. Misalnya, kebijakannya adalah penerapan manajemen berbasis sekolah, tetapi implementasi
proses pemandirian sekolah itu tidak kunjung berlangsung karena tetap diintervensi oleh dinas
pendidikan. Demikian juga dengan pengorganisasaian kerja dan sumber-sumber belajar. Seringkali
terdengar keluhan tentang masalah kepercayaan, keadilan dan aturan. Selain tidak dilaksanakan secara
konsisten juga sering pilih kasih. Akibatnya, demokrasi pendidikan sebagaimana dituangkan dalam
Pancasila belum berlangsung sebagaimana diharapkan. Demikian juga halnya dalam proses
12
kepemimpinan, yaitu bagaimana membina kerjasama dan memotivasi pendidik dan tenaga kependidikan
untuk mencapai tujuan. Kenyataan menunjukkan belum berlangsungnya kepemimpinan
transformasional sebagaimana diisyaratkan dalam Pancasila. Pada pengawasan, proses untuk penegakan
dan implementasi mekanisme agar tujuan tercapai, seringkali masih dilakukan tanpa rencana dan tidak
konsisten. Hal ini menunjukkan kinerja kepengawasan tidak berlangsung dalam atmosfir yang
membangun karakter kebangsaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk membangun karakter
bangsa melalui manajemen pendidikan ini adalah menumbuhkan kesadaran berdemokrasi sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga semua aktivitas manajemen dilandaskan pada nilai-nilai luhur
Pancasila sebagai karakter bangsa.
Persoalan lain dalam manajemen pendididkan yang perlu mendapat perhatian besar adalah
kesinambungan antara praktik pendidikan dengan rujukan normatif, yaitu filosofi, teori, kebijakan dan
regulasi. Perlu revitalisasi manajemen pendidikan untuk menginternalisasi nilai-nilai pendidikan dalam
kepentingan untuk tumbuhnya rasa kebangsaan dan kesadaran terhadap budaya bangsa. Manajemen
pendidikan selama ini belum mampu menciptakan atmosfir yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan
yang bersifat alih generasi dalam pembentukan karakter bangsa. Globalisasi tidak dihadapi dengan bijak, dan
akibatnya terjadi krisis moral dan rendahnya kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, perlu reformasi pola
pikir masyarakat, termasuk pelaku birokrasi dan pengelola pendidikan untuk kembali kepada esensi
pendidikan, yitu pembentukan karakter. Dengan cara ini, akan dapat diharapkan lahirnya kebijakan dan
regulasi pendidikan sesuai dengan hal-hal yang diperlukan untuk memajukan bangsa ini.
Secara khusus dapar diidentifikasikan kendala dan permasalahan manajemen pendidkan sebagai
berikut.
a. Manajemen pendidikan tidak menyalurkan nilai pedagogis. Pejabat birokrasi pendidikan beranggapan
bahwa manajemen pendidikan sama dengan manajemen perusahaan, sehingga bukan proses pendidikan
yang terjadi, melainkan ”prose bisnis.” Pelayanan birokrasi kurang mendidik pula. Kebijakan mulai dari
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, samapai di satuan pendidikan tidak mengalir
energi dan kebijakan pendididikan yang mendidik/membelajarkan. Mestinya, seluruh jajaran pendidikan
mengendalikan seluruh aktivitas kelembagaaan agar energi dan kebijakan pendidikan terus mengalir dari
sumber kewenangan yang satu ke arah sasaran yang lebih operasional secara efektif dan efisien.
b. Adanya mismacthed antara kualifikasi akademik dan fungsi pendidik, seperti guru bidang studi A ditugasi
mengajar bidang studi B; guru bidang studi tertentu ditugasi untuk melaksanakan layanan konseling, atau
sebaliknya. Kondisi ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu pembelajaran, bahkan terjadinya
malapraktik dalam proses pembelajaran yang dapat berakibat fatal.
c. Adanya kekurangan tenaga pendidik (guru dan/atau konselor) dalam bidang tertentu, dan kelebihan guru
pada bidang yang lain. Hal ini menimbulkan penugasan rangkap yang mismatched di satu sisi dan suasana
13
kekurangan jam pembelajaran di sisi lain, padahal dalam satu minggu seorang guru/konselor harus
bertugas minimal 24 jam pembelajaran..
d. Tugas kepengawasan yang mismatched terhadap kegiatan pembelajaran yang diawasi disatuan pendidikan
dasar dan menengah. Misalnya, pengawas yang berlatar belakang Matematika ditugasi untuk mengawasi
penyeelenggaraan kegiatan pembelajaran berbagai mata pelajaran di luar Matematika.
Pimipinan sekolah yang oleh karena tugasnya diwajibkan menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
dengan volume tertentu (Kepala Sekolah 6 jam pembelajaran dan Wakil Kepala Sekolah 9 jam
pembelajaran) melimpahkan tugas kewajibannya itu kepada guru lain. Hal ini, selain menyalahi peraturan,
curang, membebani orang lain, juga melanggar kode etik profesional pendidik.
Pimpinan sekolah terbawa arus untuk ”menyukseskan” UN peserta didik melalui cara apapun,
dengan mengerahkan tenaga guru untuk perbuatan yang bertentangan dengan fungsi dan tugas utamanya,
yaitu memberikan kesempatan dan mendorong siswa (peserta UN) menyontek. Hal ini sama sekali kontra
terhadap tugas utama dan mulia dari seorang guru, yaitu mencerdaskan siswa.
Kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah belum harmonis sehingga sekolah tidak memperoleh
manfaat yang memadai dari Komite Sekolah. Sejalan dengan itu, pimpinan sekolah belum mengupayakan
hubungan timbal balik dengan masyarakat dalam suasana yang saling menguntungkan.
1. Satuan Pendidikan Formal, Nonformal dan Informal, serta Keterkaitan Ketiganya.
Isu umum yang dapat diidentifikasi antara lain adalah sebagai berikut.
a. Pendidikan Formal
Pendidikan formal sendiri dari satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Sesuai dengan
penjenjangan maka kurikulum pendidikan pada satuan pendidikan ini juga berjenjang. Pembangunan
karakter kebangsaan pada satuan pendidikan tidak hanya terkait dengan kurikulum pada setiap jenjang
satuan pendidikan, melainkan juga terkait dengan faktor input, proses, dan faktor instrumental pembelajaran.
Dalam pada itu, proses pembelajaran tidak hanya terkait dengan pengubahan tingkah laku, apa lagi proses
pembiasaan atau kondisioning (Novak & Tyler, 1986). Dipandang dari pendekatan inter-disipliner,
permasalahan pendidikan harus dilihat secara luas, mencakup aspek-aspek international, nasional, regional,
dan lokal (Hunt, 1975). Oleh karena itu, isu pembangunan karakter bangsa dapat disoroti dari semua aspek
tersebut.
Persoalan yang paling esensial saat ini dalam pembelajaran yang mengarah kepada pembangunan
karakter bangsa adalah berkesinambungan kurikulum yang digunakan mulai dari pendididkan dasar, bahkan
usia dini hingga pendidikan tinggi. Penguasaan siswa terhadap dasar negara, lambang negara, sebagai simbol
kebangsaan, baru sebatas pengetahuan, sementara untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari tampaknya masih mengalami kesulitan. Pengembangan karakter semakin jauh dari harapan. Saat
14
ini nilai-nilai global merasuki kehidupan para siswa di sekolah tanpa landasan nilai-nilai kebangsaan yang
kuat. Cinta tanah air hampir tidak terdengar lagi gaungnya. Para siswa lebih menyukai produk luar negeri
dibanding dengan produk dalam negeri.
b. Pendidikan Nonformal
Pendidikan saat ini tengah mengalami penyempitan makna; mengalami proses dehumanisasi. Demikian
istilah yang digunkan oleh Fauzi (2009) dalam pandangannya tentang kegagalan pendidikan untuk
melangkah menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Lebih tegas, Sumpeno (2009) menyatakan
pendidikan nonformal belum membangun karakter bangsa. Fakta ini dapat ditelusuri dari praktik pendidikan
nonformal yang masih terfokus pada pembentukan pribadi cerdassecara individual orang-perorang. Padahal,
idealnya pendidikan, termasuk pendidikan nonformal juga berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa
sebagai ciri identitas kolektif bangsa, dan tidak hanya identitas pribadi saja. Dalam UU No. 20 Tahun 2003,
secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik yang
terampil dan cerdas saja, akan tetapi juga membentuk peserta didik yang beriman, bertaqwa, berakhlak
mulia, mandiri, kreatif, agar manjadi warga negarayang demokrasi dan bertanggung jawab. Tujuan
pendidikan nasional ini, yang juga menjadi tujuan pendidikan nonformal, mengarah kepada pembangunan
karakter-cerdas dan terampil peserta didik dalam kehidupan bersama, bermasyarakat dan berkebangsaan.
Fungsi pendididkan nonformal sebagai penyeimbang (complement), sehingga secara sistematis
menjadi lengkap, penambah (suplement), dan pengganti (substitusi) dari pendidikan formal kedudukannya
setara dengan pendidikan formal. Karenanya pendidikan nonformal, seperti halnya pendidikan formal, juga
berfungsi untuk membangun karakter (character-building) peserta didik. Mengingat, bahwa karakter bangsa
terkait erat dengan nilai-nilai etnografi yang mengakar dari budaya lokal, serperti kerja keras, jujur dan
demokrasi, nilai-nilai tersebut belum mendapat tempat dan prioritas dalam program-program pendidikan
nonformal. Selama ini pendidkan, termasuk pendidikan nonformal telah dininabobokan (terbius) oleh
dogma, dalil-dalil ataupun ajaran yang datang dari luar negeri yang justru sangat asing di negara ini. Padahal,
negara ini memiliki banyak ajaran yang sangat luar biasa hebatnya, dan tinggi kelasnya, seperti yang
diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dalam hal ini, pendidikan nonformal memerlukan perencanaan yang
matang isi programnya, prasarana, dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik dan peserta
didiknya, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan (Hamijoyo, 1973; Combs, 1985; Sujana, 1994).
Pendidikan nonformal sebagaimana pendidikan formal, bukanlah lembaga yang sekedar mentransfer
pengetahuan saja, tetapi juga membentuk karakter peserta didik agar menjadi warga yang punya sopan-
santun dalam tataran etika maupun estetika dan berperilaku dalam hidup dan kehidupan secara ideal. Jika
dicermati justtru telah terjadi kondisi melemahnya sikap toleransi terhadap sesama warga bangsa,
menurunnya kepercayaan akan kebenaran sistem negara-bangsa yang diwariskan oleh pendiri Republik, dan
15
munculnya berbagai perilaku anakis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lainnya yang
bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama. Hal ini semua mendorong banyak kalangan bertanya
”apa yang salah dengan pendidikan nasional sehingga belum berhasil membangun karakter bangsa
sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003?” Pendidikan nonformal
belum berhasil memberi sumbangan berarti daalam meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik
dan juga telah gagal dalam membentuk karakter dan watak pribadi anak bangsa.
c. Pendidikan Informal
Pendidikan informal mengalami berbagai kesulitan, karena keterbatasan kemampuan keluarga dalam
mengendalikan pengaruh eksternal yang semakin gencar terhadap perkembangan anak. Karena pengaruh
eksternal yang kurang menguntungkan perkembangan anak secara menyeluruh mengalami berbagai stagnasi
dan penyimpangan. Pengetahuan keluarga dalam membimbing anak lambat sekali percepatannya,
berbanding terbalik dengan pengaruh eksternal yang dapat menggangu perkembangan karakter anak. Peran
keluarga untuk membangun anak sebagai anggota masyarakat, sekaligus untuk menjadi warga negara yang
bertanggungjawab belum tumbuh dengan baik. Mestinya, keluarga dan pusat pendidikan lain harus secara
terpadu membangun karakter bangsa.
Pendidikan informal tampaknya merupakan ”dampak atau kesinambungan” dari suasana pendididkan
formal, mengingat para orang tua sebelumnya adalah para tamatan pendidikan formal. Mutu pendidikan
informal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka sejalan dengan mutu pendidikan formal
yang diikuti oleh orang tua ketika mereka menjadi siswa dahulu. Pendidikan informal juga dipengaruhi oleh
aktivitas otang tua (bapak dan ibu) yang cenderung lebih banyak berada di luar rumah yang akan
mengurangi kesempatan pendidikan terhadap anak-anak mereka. Hal ini dapat berdampak pada kualitas
pencapaian tugas-tugas perkembangan anal, dan juga menjadi kurang intensifnya hubungan orang tua
dengan satuan pendidikan di mana anak-anak mereka menjalani kegiatan pendidikan formal.
Mengacu kepada pemaparan di atas, tidak dapat diragukan lagi, bahwa pendidikan informal
merupakan sarana pembangunan karakter yang dalam praktiknya harus melibatkan semua elemen, baik
rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Rumah tangga dan keluarga sebagai
satuan pendidikan informal sekaligus sebagai satuan pembentukan karakter harus diberdayakan.
Sebagaimana diketengahan oleh Coombs (1985) keluarga hendaklah kembali menjadi school of love,
menjadi satuan pendidikan untuk anggota keluarga atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih
sayang (sakinah, mawaddah, warrahmah). Dengan demikian, pembentukan karakter melalui pendidikan
informal selain mencakup pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, perlu terfokus pada moral, nilai-
nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dab sejenisnya, yang semuanya itu tergabung dalam nilai-nilai
karakter-cerdas.
16
Persoalan karakter bangsa adalah persoalan pendidikan seumur hidup. Pembangunan karakter bangsa
memerlukan keteladanan dan sentuhan sejak sedini mungkin sampai dewasa. Periode yang paling sensitif
ada di dalam keluarga. Pola asuh otang tua sangat berpengaruh terhadap penanaman nilai-nilai kebangsaan.
Diperlukan pendidikan bagi para (calon) orang tua untuk dapat melakukan pola asuh yang tepat untuk
meletakkan dasar-dasar pendidikan karakter bagi anggota keluarga dalam rangkah pembinaan karakter
bangsa yang berkelanjutan.
Jika dilihat dari ketiga setting pendidikan sebagaimana diambarkan di atas, diperlukan upaya yang
lebih konkrit untuk membangun kesadaran para pengelola, pendidik dan warga masyarakat untuk
menanamkan karakter kebangsaan ini melalui pemberian pengetahuan, melatihkannya dalam penampilan
perilaku, membiasakannya di dalam kehidupan sehari-hari dan mengarahkannya hingga menjadi karakter
yang mulia. Dalam hal ini, modeling untuk pembentukan karakter merupakan isu yang perlu dicermati. Para
pendidik, tenaga kependidikan, masyarakat luas perlu menjadi model pembentukan karakter bangsa.
Rencana pembelajaran guru mulai dari penetapan tujuan, konten, strategi dan eveluasi diintegrasikan dengan
karakter bangsa. Setelah tujuan dan konten tentang karakter kebangsaan, persoalannya adalah
ketidakmampuan peserta didik untuk menampilkannya dalam bentuk proses pembelajaran secara nyata.
Kondisi ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan kaidah-kaidah learning to know, to do, to be,
to live together, to believe in God tidak berjalan secara simultan. Pembiasaan-pembiasaan melalui kegiatan
upacara peringatan hari besar sebagai upaya pembentukan karakter bangsa pada umumnya terus
berlangsung, hanya saja sikap dan penghayatan peserta didik, termasuk juga para pendidik dan tenaga
kependidikan, masih sangat rendah.
Lebih konkret, isu-isu karakter-cerdas berkenaan dengan pendidikan formal, nonformal, dan informal
dapat ditekan pada hal-hal berikut.
a. Realisasi isi/kurikulum pendidikan formal lebih mengarah kepada perkembangan ranah kognitif, yang
hanya sekadar hafalan. Kondisi seperti ini jauh dari pengembangan potensi peserta didik secara optimal;
termasuk di dalamnya belum terjangkaunya pengembangan karakter-cerdas.
b. Standar isi satuan pendidikan nonformal sudah disetarakan dengan satuan pendidikan formal tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Namun, hal ini tampaknya belum tersosialisasikan secara baik dan meluas.
c. Pendidikan informal terkait langsung dengan suasana pendidikan formal, mengingat para orang tua adalah
tamatan pendidikan formal. Jika kualitas pendidik pada pendidikan formal, dan juga nonformal kurang atau
tidak berkarakter-cerdas, dapat menjadi kenyataan bahwa nilai-nilai dan perilaku karakter-cerdas dalam
keluarga akan lebih tidak memadai lagi. Kesempatan pengasuhan sehat (healthy parenting) terhadap anak-
anak dalam keluarga berkurang akibat orang tua yang bekerja.
Metode Penelitian
17
Pada bab ini dibahas tentang: a. Pendekatan dan rancangan penelitian; b. Lokasi penelitian; c.
Sumber data; d. Teknik pengumpulan data; e. Teknik analisis data; f. Pengecekan keabsahan data, g. Tahap-
tahap penelitian
Dalam hal ini secara berurutan membahas pendekatan dan rancangan penelitian, lokasi peneliti,
sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pengabsahan data.
A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Biklen (1998) mengatakan; penelitian
kualitatif ialah; mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka dan berusaha
memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.
Penelitian ini adalah penelitian pendidikan karakter untuk membangun bangsa. Yang
dimaksud dengan pendididkna karakter untuk membangun bangsa yang memberi kesempatan kepada
pendidik dan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan karakter untuk membangun bangsa, seperti; 1.
Membangun pedagogi karakter psikologi melalui pendidikan; 2. Membangun sosio budaya karakter melalui
sosialisasi masyarakat; 3. Sosio politik dengan kebijakan pemerintah dan organisasi masyarakat..
Penelitian kualitatif untuk mengungkap dan memahami, apa yang terletak dibalik fenomena
tersebut?. Apa saja yang belum diketahui dan bersifat induktif dalam pengembangan konsep yang
didasarkan atas data yang ada.
2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa situs yang berbeda, diharapkan bisa digunakan dalam
pengembangan teori. Karena penelitian dilakukan pada situs yang jumlahnya lebih dari satu situs. Hal ini
sejalan dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1998;2) mengatakan;
When researchers study two or more subjects, or depositories of data they are usually doing what we
call multisite studies. Multisite studies take a variety of forms. Some start as a single site only to
leave the original work serve as the first in series of studies or as the pilot for a multisite study other
studies are primarily single siie studies but indude less intense, less extensive observation at other
sites for the purpose of addressing the question of general izability. Other researches do comparative
site studies are done and then compared and contasted.
B. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif yang dijadikan informan hanyalah sumber yang dapat memberikan
informasi. Penentuan sumber data merupakan tahapan dalam proses penelitian yang penting, karena hanya
dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan berlangsung sampai peneliti mendapatkan
jawaban dari fokus penelitian yang sudah ditetapkan.
18
Kriteria menentukan informan dalam penelitian ini, yaitu (1) masih aktif sebagai guru/pamong di
sekolah; (2) terlibat secara intensif dalam berbagai kegiatan kelembagaan seperti keterlibatan dalam
keorganisasian sekolah yang sengaja dibentuk oleh pihak sekolah; (3) informan masih mempunyai waktu
untuk dimintai informasi oleh peneliti.
C. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sumber dan jenis data, maka teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah: (1) wawancara mendalam (indepth interviewing) dilakukan minimal satu kali kepada
mereka masing-masing, tetapi dalam penelitian ini setiap data yang diperoleh dilakukan 2-3 kali terutama
untuk data dianggap penting oleh peneliti; (2) pengamatan berperanserta (participant observation) agar data
tetap terjaga kebenarannya; dan (3) dokumentasi (study document) dengan melacak semua pemberkasan
yang berkaitan dengan masalah manajemen peningkatan kompetensi guru di sekolah tersebut secara seksama
(Bogdan & Biklen, 1998).
D. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif atau penelitian naturalistik, data tidak dipandang sekedar sebagai apa
yang diperoleh dalam penelitian, melainkan merupakan hasil interaksi antara peneliti dan sumber data.
Interaksi disini mencakup juga pemberian interpretasi peneliti terhadap apa yang telah diberikan atau
disampaikan oleh informan. Teknik analisis data selama pengumpulan data merupakan analisis awal
terhadap data yang diperoleh. Analisisnya dapat diupayakan dengan apa yang disebut kegiatan reduksi data
(data reduction). Tujuan akhir analisis awal atau kegiatan reduksi data tersebut untuk memahami
seluruh data yang telah dikumpulkan dan data yang belum terjaring. Selain itu, melalui kegiatan reduksi data
tersebut dapat dipikirkan peluang-peluang pengumpulan data berikutnya yang seringkali kualitasnya lebih
baik dalam rangka mengisi kekurangan data atau gagasan-gagasan yang muncul selama pengumpulan data.
E. Pengecekan Keabsahan Data,
Pengecekan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada tiga kriteria, yaitu;
(1) kredibilitas (credibility), (2) ketergantungan (dependability), (3) Kepastian (confirmability).
1. Kredibilitas (credibility)
Pengertian kredibilitas (credibility) data perlu dilakukan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa
yang diamati oleh peneliti benar-benar telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Derajat kepercayaan data dalam penelitian kualitatif digunakan untuk memenuhi kriteria/nilai kebenaran
yang bersifat emic, baik bagi pembaca maupun subyek yang diteliti.
2. Ketergantungan (dependability)
Ketergantungan atau dependabilitas dilakukan untuk menilai proses yang dilakukan selama
penelitian, yang merupakan laporan hasil penelitian. Untuk itu diperlukan dependent auditor. Sebagai
dependent auditor dalam penelitian ini yaitu; ketiga promotor kami.
19
3. Kepastian atau Komfirmabilitas (confirmability)
Kepastian atau komfirmabilitas diperlukan untuk mengetahui keobjektifan data yang diperoleh,
obyektif atau tidak. Hal ini bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan
temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang dikatakan obyektif, namun
penekanannya tetap pada datanya.
F. Tahap-tahap Penelitian
Creswell, (2005) mengemukakan tahap-tahapan penelitian kualitatif yaitu: (1) identify intent and
accres-type design, and relate intent to your research problem; (2) discuss approval and acces
considerations; (3) use appropriate data collection procedures; (4) analyze and interpret data within a
design; and (5) write the report consisten with your design.
KarakterCerdas dalam KegiatanPembelajaran
Karakter cerdas ada dimana-mana, di segenap bidang dan wilayah kehidupan; dalam kaitannya
dengan perilaku pribadi sendiri-sendiri dan perilaku social dalam keluarga, pada satuan-satuan pendidikan.
Berkenaan dengan adanya isu-isu tentang karakter cerdas yang dewasa ini terjadi, kondisi yang dikehendaki
adalah dapat terlaksana perilaku berkarakter cerdas dalam kadar yang tinggi demi terciptanya hidup yang
sejahtera dan bahagia.
Implementasi karakter cerdas pertama-tama dalam bentuk pembelajaran untuk mengembangkan
potensi dasar peserta didik, yang mengarah kepada pribadi yang berkarakter cerdas.
A. Kegiatan Pemberlajaran Karakter Cerdas.
Implementasi pembelajaran karakter cerdas dapat di selenggarakan pada satuan pendidikan sekarang.
Kelengkapan pendidik tentang pembelajaran karakter cerdas, adalah; wawasan, pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan sikap. Artinya seorang pendidik yang menyelenggarakan pembelajaran karakter cerdas adalah
pendidik yang memiliki karakter cerdas.
1. Modal Dasar: Pendidik Profesional.
Untuk kegiatan pembelajaran karakter cerdas, adalah; a. pendidik professional; b. wawasan,
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Kedua modal dasar ini menjadi jaminan awal bagi suksesnya
pembelajaran.
2. Implementasi pada Satuan Pendidikan Formal.
Pendidikan formal di sekolah menyelenggarakan pembelajaran karakter cerdas pada satuan
pendidikan, adalah; a. kurikulum; b. Materi Pembelajaran.
3. Metode, Alat Bantu dan Lingkungan Pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan proses; aktif dan dinamis, kreatif dan inovatif, efektif dan efisien,
konduktif dan induktif, serta benar-benar menperkembangkan peserta didik. Bentuk pembelajaran, adalah; a.
pembahasan; b. tanya jawab; c. pekerjaan rumah; d. penagalam dan kompetensi; e. survey dan penelitian.
20
4. Penilaian Hasil Pembelajaran.
Penilain hasil pembelajaran dengan mengembangkan prinsip continuous progress pada azas belajar
yang sebenarnya.
5. Pengelolan Pembelajaran.
Realisasi penyelenggaraan pembelajaran, adalah; a. perencanaan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan
kegiatan; d. penilaian; e. tindak lanjut atas hasil pembelajaran.
6. Implementasi pada Pendidikan Nonformal dan Informal.
Penyelenggaraan pembelajaran terkait dengan pengembangan karakter cerdas pada pendidikan
formal, tidak terlepas dari upaya pendidika nonformal dan informal.
Mekanisme organisasi terhadap karakteristik individu melahirkan mekanisme individu yang
menghasilkan kualitas kinerja (job performance) dan loyalitas kelembagaan yang tinggi (organizational
commitment).
Mekanisme tim (team mechanism) meliputi perilaku kepemimpinan (leadership style and behavior),
kekuatan dan pengaruh kepemimpinan (power and influence leadership), proses membangunan tim (team
process), karakteristik tim (team characteristic).
Karakteristik individu meliputi kepribadian, budaya, nilai-nilai hidup (personality, culture, and
value) serta kemampuan (abilities). Mekanisme oraganisasi dan sistem membangun tim mengendalikan
karakteristik individu untuk membangun sistem mekanisme individu yang meliputi kepuasan kerja (job
satisfaction), pengendalian stress (stress management), motivasi (motivation), rasa adanya kepercayaan, rasa
adil, etika (trust, justice, and ethics), balajar dan pengambil keputusan (learning and decision making).
Mekanisme organisasi, mekanisme tim, karakteristik individu membangun mekanisme individu
untuk dapat menunjukkan kinerja (job performance) dan loyalitas kelembagaan (organization commitment),
manajemen pendidikan sebagi pembentukan karakter cerdas.
Catatan akhir dalam kondisi awal, arah pengembangan kegiatan, dan rekomendasi.
A. Kondisi Awal.
Pentingnya pengembangan pendidikan karakter dalam pembangunan bangsa, terkait dengan
degradasi nilai-nilai karakter dan kecerdasan dalam kehidupan kebangsaan yang menyebabkan
ketidaknyaman. Kondisi ini tidak sesuai dengan harapan pembagunan bangsa berkarakter cerdas, as at
(constitution) UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa.
B. Arah Pengembangan Kegiatan.
Walaupun dalam pendidikan terjadi ketidaknyaman dalam perilaku berkarakter cerdas, disadari
bahwa melalui upaya pendidikan arus utama pengembangan nilai-nilai dan perilaku karakter cerdas dapat
dan perlu diselenggarakan.
1.1 PENGERTIAN MANAJEMEN OPERASIONAL
21
Manajemen operasional adalah bentuk pengelolaan secara menyeluruh dan optimal pada masalah tenaga
kerja, barang-barang seperti mesin, peralatan, bahan-bahan mentah, atau produk apa saja yang sekiranya bisa
dijadikan sebuah produk barang dan jasa yang biasa dijualbelikan.
Sesuai dengan definisinya sendiri, manajeman yang berasal dari kata manage yang berarti mengatur
penggunaan. Jika disandingkan dengan kata operasional, artinya adalah pengaturan pada masalah produksi
atau operasional baik dalam bidang barang atau jasa.
Selanjutnya, secara definisi, manajemen operasional juga sebagai penanggung jawab dalam sebuah
organisasi bisnis yang mengurusi persoalan produksi. Baik dalam bidang barang atau jasa. Dilihat dari
definisi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, fungsi manajemen operasional, yakni dalam hal
pengambilan keputusan mengenai kebutuhan-kebutuhan operasional. Kedua, manajamen operasional juga
harus memperhatikan mengenai sistemnya. Terutama sistem transformasi. Sistem ini termasuk juga dalam
sistem pengurusan mengenai membuat rancangan serta analisis dalam operasi nanti. Yang ketiga mengenai
hak pengambilan keputusan dalam sebuah manajemen operasional.
Sebagaimana diketahui bahwa keputusan adalah hal yang terpenting bagi seseorang agar bisa bersikap
tegas dan tepat, demi lancarnya manajemen operasional yang tengah dijalankan. Oleh karena itu, manjemen
operasional sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan seorang pemimpin operasional.
1.2 PROSES PRODUKSI DAN PELAYANAN
1. Pengertian proses produksi
Proses diartikan sebagai suatu cara, metode, dan teknik bagaimana sesungguhnya sumber-sumber
(tenaga kerja, mesin, bahan, dan dana) yang ada diubah untuk memperoleh suatu hasil. Produksi adalah
kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa (Assauri, 1995).
Proses juga diartikan sebagai cara, metode ataupun teknik bagaimana produksi itu dilaksanakan.
Produksi adalah kegiatan untuk menciptakan danan menambah kegunaan (Utility) suatu barang dan jasa.
Menurut Ahyari (2002) proses produksi adalah suatu cara, metode ataupun teknik menambah keguanaan
suatu barang dan jasa dengan menggunakan faktor produksi yang ada.
Melihat kedua definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa proses produksi merupakan kegiatan
untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan faktor-faktor
yang ada seperti tenaga kerja, mesin, bahan baku dan dana agar lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia.
2. Jenis-Jenis proses produksi
Jenis-jenis proses produksi ada berbagai macam bila ditinjau dari berbagai segi. Proses produksi
dilihat dari wujudnya terbagi menjadi proses kimiawi, proses perubahan bentuk, proses assembling, proses
transportasi, dan proses penciptaan jasa-jasa adminstrasi (Ahyari, 2002). Proses produksi dilihat dari arus
atau flow bahan mentah sampai menjadi produk akhir, terbagi menjadi dua yaitu proses produksi terus-
menerus (continous processes) dan proses produksi terputus-putus (ntermettent processes).
22
Perusahaan menggunakan proses produksi terus-menerus apabila di dalam perusahaan terdapat urutan-
urutan yang pasti sejak dari bahan mentah sampai proses produksi akhir. Proses produksi terputus-putus
apabila tidak terdapat urutan atau pola yang pasti dari bahan baku sampai dengan menjadi produk akhir atau
urutan selalu berubah (Ahyari, 2002).
Penentuan tipe produksi didasarkan pada faktor-faktor seperti: (1) volume atau jumlah produk yang
akan dihasilkan, (2) kualitas produk yang diisyaratkan, (3) peralatan yang tersedia untuk melaksanakan
proses. Berdasarkan pertimbangan cermat mengenai faktor-faktor tersebut ditetapkan tipe proses produksi
yang paling cocok untuk setiap situasi produksi. Macam tipe proses produksi dari berbagai industri dapat
dibedakan sebagai berikut (Yamit, 2002) :
a. Proses produksi terus-menerus
Proses produksi terus-menerus adalah proses produksi barang atas dasar aliran produk dari satu operasi
ke operasi berikutnya tanpa penumpukan disuatu titik dalam proses. Pada umumnya industri yang cocok
dengan tipe ini adalah yang memiliki karakteristik yaitu output direncanakan dalam jumlah besar, variasi
atau jenis produk yang dihasilkan rendah dan produk bersifat standar.
b. Proses produksi terputus-putus
Produk diproses dalam kumpulan produk bukan atas dasar aliran terus-menerus dalam proses produk
ini. Perusahaan yang menggunakan tipe ini biasanya terdapat sekumpulan atau lebih komponen yang akan
diproses atau menunggu untuk diproses, sehingga lebih banyak memerlukan persediaan barang dalam
proses.
c. Proses produksi campuran
Proses produksi ini merupakan penggabungan dari proses produksi terus-menerus dan terputus-putus.
Penggabungan ini digunakan berdasarkan kenyataan bahwa setiap perusahaan berusaha untuk memanfaatkan
kapasitas secara penuh.
3. Tingkat pelayanan
Bagi konsumen untuk menilai baik buruknya suatu sistem produksi / operasi lebih dinilai dari
pelayanan yang dapat diberikan oleh system produksi kepada konsumen itu sendiri. Berbicara mengenai
tingkat pelayanan (service level) merupakan ukuran yang tidak mudah untuk diukur, sebab banyak
dipengaruhi oleh faktor – faktor kualitatif, walaupun demikian beberapa ukuran obyektif yang sering
digunakan antara lain:
 Ketersediaan (availability) dan kemudahan untuk mendapatkan produk / jasa.
Kecepatan pelayanan baik yang berkaitan dengan waktu pengiriman (delivery time) maupun waktu
pemrosesan (processing time). Agar dapat dicapai kinerja sistem operasi diatas maka seorang manajer
produksi / operasi dituntut untuk mempunyai sedikitnya dua kompetensi, yaitu:
23
 Kompetensi teknikal yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman atas teknologi proses produksi
dan pengetahuan atas jenis – jenis pekerjaan yang harus dikelola. Tanpa memiliki kompetensi teknikal ini
maka seorang manajer produksi / operasi tidak akan mengerti apa yang sebenarnya harus diperbuat.
 Kompetensi manajerial yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber – sumber daya (faktor – faktor produksi) serta kemampuan untuk bekerja sama dengan
orang lain. Kompetensi ini sangat diperlukan mengingat penguasaan pengelolaan atas faktor – faktor
produksi serta menjalin koordinasi dan kerjasama dengan fungsi – fungsi lain yang ada didalam suatu unit
usaha merupakan keharusan yang tak dapat dihindarkan.
1.3 . LAYOUT
1. Pengertian
Setiap perusahaan baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil akan menghadapi persoalan
layout. Semua fasilitas-fasilitas untuk produksi baik mesin-mesin, buruh dan fasilitas-fasilitas lainnya harus
disediakan pada tempatnya masing-masing dan peralatan produksi dalam pabrik.
Pengaturan tata letak (layout) fasilitas pabrik dan area kerja merupakan masalah yang sering dijumpai
bahkan tidak dapat dihindari dalam dunia industri meskipun untuk lingkup yang lebih kecil dan sederhana,
dapat berlaku untuk fasilitas pabrik yang sudah ada maupun pengaturan tata letak fasilitas untuk pabrik yang
sama sekali baru. Apabila pengaturan ini terrencana secara baik akan berpengaruh terhadap efisiensi dan
kelancaran proses produksi suatu industri.
2. Tujuan layout
Tujuan utama yang ingin dicapai dalam perencanaan tata letak fasilitas pabrik pada dasarnya adalah
untuk meminimumkan biaya atau meningkatkan efisiensi dalam pengaturan segala fasilitas produksi dan
area kerja.
3. Manfaat layout
Secara spesifik tata letak fasilitas tata letak fasilitas pabrik yang baik akan dapat memberikan manfaat-
manfaat dalam system produksi, yaitu sbb :
  Meningkatkan jumlah produksi
Suatu tata letak fasilitas pabrik secara baik akan memberikan kelancaran proses produksi dan akhirnya akan
memberikan output yang lebih besar dengan biaya yang sama atau lebih sedikit, jam tenaga kerja dan jam
kerja mesin lebih kecil.
  Mengurangi waktu tunggu
Tata letak fasilitas pabrik yang baik akan memberikan keseimbangan beban dan waktu antara satu mesin
dengan mesin atau departemen dengan departemen yang lain. Keseimbangan ini akan dapat mengurangi
penumpukan bahan dalam proses dan waktu tunggu antara satu mesin dengan mesin yang lain.
  Manfaat proses pemindahan bahan
24
Pada sebagian besar proses produksi, bahan baku akan lebih sering dipindahkan jika dibandingkan dengan
tenaga kerja, mesin maupun peralatan produksi yang lain.
  Penghematan penggunaaan ruangan
Terjadinya penumpukan material dalam proses dan jarak antara masing-masing mesin terlalu berlebihan
akan menambah luas bangunan yang dibutuhkan.
  Efisiensi penggunaaan fasilitas
Suatu tata letak fasilitas pabrik yang terencana secara baik, dapat menciptakan pendayagunaan elemen
produksi seperti tenaga kerja, mesin maupun peralatan yang lain secara lebih efektif dan efisien.
  Mempersingkat waktu proses
Dengan memperpendek jarak antara satu mesin dengan mesin yang lain atau antara satu operasi denga
operasi yang lain dan mengurangi penumpukan bahan dalam proses atau mengurangi waktu tunggu.
  Meningkatkan kepuasan dan keselamatan kerja
Pengaturan tata letak fasilitas pabrik secara baik akan dapat menciptakan suasana ruang dan lingkungan
kerja yang nyaman, aman, tertibdan rapi, sehingga kepuasan dan keselamatan kerja akan dapat lebih
ditingkatkan.
  Mengurangi kesimpang-siuran
Banyaknya material yang menunggu, gerakan yang tidak perlu, dan banyaknya perpotongan dari aliran
proses produksi akan menyebabkan kesimpang-siuran yang akhirnya dapat mengakibatkan kemacetan.
4. Macam layout
1. Layout proses
Yaitu proses pengaturan dan penempatan semua fasilitas pabrik seperti mesin dan peralatan yang memiliki
karakteristik kerja yang sama atau memiliki fungsi yang sama ditempatkan pada satu departemen atau
bagian, misalnya mesin bubut, mesin bor, mesin las, mesin sekrap dan lain sebagainya.
2. Layout produk
Yaitu pengaturan tata letak fasilitas pabrik berdasarkan aliran dari produk tersebut. Tujuannya adalah untuk
mengurangi proses pemindahan bahan dan memudahkan pengawasan dalam kegiatan produksi. Pabrik
perakitan mobil, lemari pendingin, mesin cuci, televise, dan sebagainya.Dengan menggunakan layout produk
ini, satu masalah yang tidak dapat dihindari adalah sulitnya realokasi operasi diantara pekerja untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan permintaan.
3. Layout kelompok
25
Adalah pengaturan tata letak fasilitas pabrik ke dalam daerah daerah atau kelompok mesin bagi pembuatan
produk yang memerlukan pemrosesan yang sama.
4. Layout posisi tetap
Yaitu pengaturan material atau komponen produk yang dibuat akan tinggal tetap pada posisinya, sedangkan
fasilitas produksi seperti peralatan, perkakas, mesin-mesin, manusia, serta komponen-komponen kecil
lainnya akan bergerak atau berpindah menuju lokasi material atau komponen produk utama tersebut.
5. Layout bentuk-U
Adalah pintu masuk dan keluar bahan baku dan produksi akhir berada pada posisi yang sama.
6. Layout gabungan garis dan proses
Yaitu penggabungan kedua tipe layout proses dan layout produk dengan cara menempatkan mesin-mesin
dalam masing-masing departemen menurut tipe mesin yang sama atau menurut prinsip pengaturan
berdasarkan proses.
7.Layout gabungan garis dan bentuk-U
Untuk mengatasi angka pecahan dalam jumlah pekerja, dapat ditempuh dengan menggabungkan beberapa
lini bentuk-U menjadi satu lini terpadu.
5. Prinsip-prinsip dasar penyusunan layout
  Integrasi secara total
Menyatakan bahwa tata letak fasilitas pabrik dilakukan secara terintegrasi dari semua faktor yang
mempengaruhi proses produksi menjadi satu unit organisasi yang besar
  Jarak perpindahan bahan paling minimun
Waktu perpindahan bahan dari satu proses ke proses yang lain dalam suatu industri dapat dihemat dengan
cara mengurangi jarak perpindahan tersebut seminimum mungkin.
  Memperlancar aliran kerja
Material diusahakan bergerak terus tanpa adanya interupsi atau gangguan schedule kerja.
  Kepuasan dan keselamatan kerja
Suatu layout yang baik apabila pada akhirnya mampu memberikan keselamatan dan keamanan dari orang
yang bekerja di dalamnya.
  Fleksibilitas
26
Suatu layout yang baik dapat juga mengantisipasi perubahan-perubahan dalam bidang teknologi, komunikasi
maupun kebutuhan konsumen. Produsen yang cepat tanggap akan perubahan tersebut menuntut tata letak
fasilitas pabrik diatur dengan memperhatikan prinsip fleksibilitas.
1.4 . TEKNOLOGI PRODUKSI
A. Pengertian
Teknologi merupakan ilmu yang menggali berbagai ilmu terapan. Teknologi juga sering dipakai untuk
menyebut berbagai jenis peralatan yang mempermudah hidup kita. Jadi teknologi dapat beruwujud ilmu
dapat pula berupa peralatan.
B. Jenis teknologi
1. Teknologi peralatan rumah tangga
Contoh teknologi peralatan rumah tangga adalah lampu, jam dinding, mesin cuci, mesin penghisap debu,
kompor gas, kipas angin, pemotong rumput dan lain sebagainya.
2. Teknologi produksi
Contoh teknologi produksi adalah mesin traktor, mesin pemintal benang, mesin penggiling padi, mesin
pemotong kayu dan lain sebagainya.
3. Teknologi transportasi
Contoh teknologi transportasi adalah sepeda motor, kereta api, mobil, kapal laut dan pesawat terbang.
4. Teknologi komunikasi
Contoh teknologi komunikasi adalah radio, televisi, telepon dan internet.
C. Perkembangan teknologi
1. Perkembangan teknologi produksi
Teknologi produksi merupakan alat dan cara yang digunakan manusia untuk menghasilkan barang atau jasa.
Meliputi teknologi produksi makanan dan obat-obatan, pakaian, dan bahan bangunan.
2. Perkembangan teknologi komunikasi
Komunikasi merupakan kegiatan mengirim dan menerima pesan. Meliputi : Komunikasi lisan, tertulis, dan
isyarat.
3. Perkembangan teknologi transportasi
Transportasi sama dengan pengangkutan. Mengangkut adalah memindahkan barang atau orang dari suatu
tempat ke tempat lainnya. Alat transportasi adalah alat yang digunakan untuk mengangkut penumpang atau
barang. Dengan berkembanganya ilmu pengetahuan teknologi, transportasi sekarang mengalami perubahan
pesat, baik transportasi darat, air, dan udara.
D. . Kelebihan dan kekurangan teknologi
Teknologi masa lalu maupun masa kini memiliki kelebihan dan kelemahan.
1. Teknologi masa lalu
27
Kelebihannya : memakai tenaga manusia, hewan, dan angin serta bebas polusi.
Kelemahannya : lambat dan tidak praktis.
2. Teknologi masa kini
Kelebihannya : cepat, mudah digunakan
Kekurangannya : menimbulkan polusi
1.5 Mesindan Peralatan
By Budi Wahyono On 9:24 AM
Fasilitas produksi yang dominan di dalam pabrik adalah mesin dan peralatan. Untuk melakukan
pembelian mesin atau peralatan, harus dipertimbangkan secara ekonomis dan disesuaikan dengan jumlah
produksi barang atau jasa yang dihasilkan. Faktor-faktor yang mempenngaruhi pemilihan mesin atau
peralatan adalah:
1. Kapasitas mesin
2. Kecocokan (compatibility)
3. Tersedianya peralatan pelengkap yang diperlukan
4. Keterandalan dan purna jual
5. Kemudahan persiapan dan instalasi, penggunaan dan pemeliharaan
6. Keamanan
7. Penyerahan
8. Keadaan pengembangan
9. Pengaruh terhadap organisasi yang ada.
Faktor-faktor tersebut menjadi hahan pertimbangan manajer operasi sehingga tidak terjadi pembelian
mesin yang kelebihan atau kekurangan beban dan terlalu mahal dibanding dengan tingkat produksi
yang dihasilkan. Selain faktor pemilihan mesin, juga dipertimbangkan penentuan jumlah mesin karena
terkait dengan jumlah sumber daya manusia yang dimiliki, khususnya operasi mesin, pertimbangan lain
didasarkan pada ternis dan ekonomis.
Dalam pembelian jumlah mesin, perlu dipertimbangkan:
1. Jumlah produksi yang direncanakan
2. Perkiraan jumlah produk cacat pada setiap proses produksi
3. Waktu kerja standard setiap unit produk dan jam operasi mesin.
Jenis mesin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Mesin yang bersifat umum atau serbaguna
28
Mesin-mesin ini dapat digunakan untuk mengerjakan pelbagai macam pekerjaan. Misalnya mesin
gergaji pada perusahaan pemotong kayu.
2. Mesin yang bersifat khusus
Mesin bersifat khusus yaitu mesin-mesin yang penggunaannya hanya satu macam pekerjaan saja.
Misalnya mesin pembuat gula pasir.
Pada prakteknya sering kita jumpai perusahaan mengkombinasikan kedua jenis mesin tersebut, hal ini
bertujuan agar dapat dicapai efisiensi penggunaan mesin.
Automation
Automation pertama kali dipakai oleh Delnar S. Harder dari Ford Motor Company untuk menyatakan suatu
perpindahan yang otomatis dan bersifat terarah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Kebaikan automation
bagi pengguna produk atau konsumen adalah sebagai berikut:
1. Kualitas produksi menjadi lebih baik, karena kesalahan yang disebabkan oleh manusia dapat
dihindarkan,
2. Mengurangi pemborosan dan menekan biaya-biaya yang disebabkan oleh kelalaian manusia,
3. Memungkinkan dihasilkannya produk dalam jumlah besar dan bersifat standar,
4. Meningkatkan efisiensi produksi,
5. Menghemat waktu kerja.
Automation, juga dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi manajemen, yaitu:
1. Tingkat kepastian terhadap pasar yang besar, karena produk yang dihasilkan secara besar-besaran,
2. Mesin tidak bersifat fleksibel, sehingga manajemen operasi tidak dapat merubah begitu saja mesin-
mesin tanpa adanya penambahan biaya,
3. Diperlukan tenaga ahli yang benar-benar berpengalaman, sehingga mesin-mesin mampu dioperasikan
dengan optimal.
Penggunaan automation memerlukan ketelitian, ketepatan, dan kecermatan dalam pengoperasian, perencanaan
dan analisa kemampuan manajemen yang lebih tinggi, karena permasalahan yang mungkin timbul lebih rumit
serta resikonya lebih besar. Oleh karena itu, pemilihan penggunaan automation perlu mempertimbangkan
hal-hal berikut:
1. Produk yang dihasilkan cukup besar
2. Aliran bahan cukup besar
3. Persediaan bahan dalam proses cukup rendah melebihi jenis produksi secara terus-menerus
4. Kegiatan perawatan dilakukan secara prefentif.
Dewasa ini produksi dan operasi adalah unsur penting dalam sebuah perusahaan. Kelangsungan
hidup mati suatu perusahaan terdapat pada produksi dan operasinya. Perusahaan dapat berjalan sebagaimana
seperti perusahaan lain jika dalam perusahaan tersebut ada kegiatan produksi dan operasi. Kegiatan produksi
29
dan operasi merupakan kegiatan menciptakan barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan kepada
konsumen. Kegiatan ini dalam banyak perusahaan melibatkan bagian terbesar dari karyawan dan mencakup
jumlah terbesar dari asset perusahaan. Oleh karena itu, kegiatan produksi dan operasi menjadi salah satu
fungsi utama perusahaan. Melalui kegiatan produksi dan operasi segala sumber daya masukkan perusahaan
diintegrasikan untuk menghasilkan keluaran yang memiliki nilai tambah. Produk yang dihasilkan dapat
berupa barang jadi, barang setengah jadi dan jasa. Bagi orientasi pada laba, produk ini akan dijual untuk
memperoleh keuntungan. Hal baku dalam hal ini adalah sebagai bagian dari aktifa yang meliputi bahan baku,
ataupun barang setengah jadi yang akan mengalami suatu proses produksi. Pada prinsipnya persediaan bahan
baku ditujukan untuk mempermudah atau memperlancar jalannya jalannya operasi perusahaan yang harus
dilakukan secara berurutan dalam upaya memproduksi barang jadi atau produk.Sesuai dengan tujuan semula
yaitu melancarkan proses produksi yang efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan akan ketersediaan
bahan baku, dengan jumlah tidak terlalu besar, sehingga biaya yang ditimbulkan relatif kecil. Tetapi uga
tidak terlalu sedikit, sehingga mengganggu jalannya proses produksi. Karena itu diperlukan pengelolaan
yang berorientasi mengurangi terjadinya resiko.
Manajemen operasional adalah bentuk pengelolaan secara menyeluruh dan optimal pada masalah tenaga
kerja, barang-barang seperti mesin, peralatan, bahan-bahan mentah, atau produk apa saja yang sekiranya bisa
dijadikan sebuah produk barang dan jasa yang biasa dijual belikan.
Selanjutnya, secara definisi, manajemen operasional juga sebagai penanggung jawab dalam sebuah
organisasi bisnis yang mengurusi persoalan produksi. Baik dalam bidang barang atau jasa. Dilihat dari
definisi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, fungsi manajemen operasional, yakni dalam hal
pengambilan keputusan mengenai kebutuhan-kebutuhan operasional. Kedua, manajamen operasional juga
harus memperhatikan mengenai sistemnya. Terutama sistem transformasi. Sistem ini termasuk juga dalam
sistem pengurusan mengenai membuat rancangan serta analisis dalam operasi nanti. Yang ketiga mengenai
hak pengambilan keputusan dalam sebuah manajemen operasional
Pendidikan vokasi/kejuruan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memainkan peran yang
sangat strategis bagi terwujudnya tenaga kerja yang terampil. Dari berbagai kajian bahwa peluang untuk
memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari suatu negara akan semakin besar jika
didukung oleh SDM yang memiliki: (1) pengetahuan dan kemampuan dasar untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan dinamika perkembangan yang tengah berlangsung; (2) jenjang pendidikan yang
semakin tinggi; (3) keterampilan keahlian yang berlatar belakang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek);
dan (4) kemampuan untuk menghasilkan produk-produk baik dari kualitas maupun harga, mampu bersaing
dengan produk-produk lainnya di pasar global.
Berdasarkan data dari Badan Statistik Nasional (BPS) tahun 2011, terdapat 82,1 juta tenaga kerja
Indonesia diisi kelompok unskill workers (pekerja yang tidak punya skill atau kompetensi di bidangnya).
30
Kelompok unskill workers ini mayoritas adalah lulusan sekolah umum. Sedangkan kelompok di atasnya
diisi skill workers (pekerja dengan skill atau kompetensi dibidangnya) sebesar 20,4 juta orang. Serta
komposisi teratas merupakan pekerja expert (ahli) dengan 4,8 juta orang. Melihat kondisi seperti ini
Indonesia akan sulit bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi dan persaingan yang ketat sekarang
saat ini maupun di masa yang akan datang.
Berdasarkan kenyataan tersebut, menjadi tanggung jawab dunia pendidikan khususnya pendidikan vokasi
untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten. Oleh karena itu kompetensi yang akan dikembangkan
melalui proses pembelajaran harus merujuk pada kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri. Salah satu
mata kuliah di perguruan tinggi yang sangat penting dan strategis untuk pembentukan kompetensi adalah
mata kuliah praktik. Oleh sebab itu dipandang sangat penting untuk selalu meningkatkan mutu proses
pembelajaran praktik. Berdasarkan prasurvei yang telah dilaksanakan di industri manufaktur, diperoleh
informasi bahwa proses pembuatan satu unit produk memerlukan kolaborasi (kerja sama) dari berbagai
keterampilan (collaborative skill). Tanpa kerja sama yang baik maka hasil akhir dari produk yang diharapkan
tidak dapat tercapai. Salah satu upaya untuk menanamkan sikap dan perilaku peserta didik terkait dengan
kompetensi yang dituntut oleh dunia industri tersebut adalah dengan mengembangkan model pembelajaran
praktik melalui pendekatan collaborative skill.
Pembelajaran berbasis kompetensi sangat relevan untuk dilaksanakan dalam pendidikan vokasi. Hal
ini sesuai dengan tujuan utama dari pendidikan vokasi untuk memberikan kompetensi khususnya
kompetensi produktif kepada peserta didik sehingga menjadi lulusan yang siap pakai atau siap kerja. Oleh
sebab itulah agar pembelajaran yang diselenggarakan dapat berjalan dengan efektif dan efisien, maka
diperlukan inovasi pengajar dalam menerapkan dan mengembangkan metode atau model pembelajaran
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri tidak
hanya satu kompetensi saja, melainkan gabungan (kolaborasi) dari beberapa kemampuan sehingga
dihasilkan satu unit produk tertentu. Hal ini memberikan masukan bahwa model pembelajaran maupun
materi pembelajaran yang diberikan dalam proses pembelajaran di kampus harus menyesuaikan dengan apa
yang dijalankan di industri tersebut.
Agar proses pembelajaran di kampus sinkron dengan apa yang terjadi di dunia industri, maka perlu
dilakukan pengembangan model pembelajaran kolaboratif dalam proses pembelajaran praktik. Sesuai uraian
di atas, maka penting untuk dilakukan pengembangan model pembelajaran praktik yang berbasis
collaborative skill di perguruan tinggi. Pengembangan model pembelajaran praktik berbasis collaborative
skill ini dipandang layak dan penting untuk dilakukan karena memiliki kelebihan diantaranya: 1) tersedianya
seperangkat pembelajaran, antara lain: materi pembelajaran, lembar kegiatan belajar (handout/jobsheet),
strategi pembelajaran, tersedianya evaluasi pembelajaran praktik yang bercirikan pendekatan collaborative
31
skill; 2) memberikan arah yang jelas bagi pengajar dalam strategi pencapaian kompetensi oleh peserta didik,
dan 3) memperluas wawasan dalam kaidah-kaidah pembelajaran. Disamping hal tersebut, pelaksanaan
pembelajaran praktik dengan pendekatan collaborative skill memiliki keutamaan diantaranya: 1)
membiasakan peserta didik dengan iklim dan sistem kerja di industri, 2) kompetensi yang diharapkan dalam
proses pembelajaran dapat dikuasai oleh peserta didik secara maksimal, 3) penyampaian kompetensi dalam
proses pembelajaran dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dalam rangka menciptakan lulusan yang
siap pakai, 4) membentuk budaya kerja sama dalam proses pembelajaran praktik sehingga motivasi belajar
peserta didik meningkat, 5) meningkatkan prestasi belajar peserta didik.
Model pembelajaran praktik dengan pendekatan coollaborative skill ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang positif terhadap output dan outcome dalam pembelajaran, oleh karena itu penelitian ini
sangat penting untuk dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran praktik untuk
menghasilkan lulusan yang benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
A. Pengertian pendidikan kejuruan
Menurut Evans (dalam Muliaty, 2007: 7) pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau
satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lain. Sebelumnya, Hamalik (2001:24) menyatakan
bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan dan
kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan. Lebih
lanjut, Djohar (2007:1285) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan
yang menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja profesional dan siap untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Karakteristik pendidikan kejuruan menurut Djohar (2007:1295-1297) adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk menyiapkan penyediaan tenaga
kerja. Oleh karena itu orientasi pendidikan kejuruan tersebut mengarah pada lulusan yang dapat
dipasarkan di dunia kerja.
2. Justifikasi pendidikan kejuruan mengacu pada kebutuhan nyata tenaga kerja di dunia usaha dan
industri.
3. Pengalaman belajar yang didapatkan melalui pendidikan kejuruan meliputi aspek afektif, kognitif, dan
psikomotorik yang diterapkan baik pada situasi simulasi kerja melalui proses belajar mengajar, maupun
situasi kerja yang nyata dan sebenarnya.
4. Keberhasilan pendidikan kejuruan diukur dari dua kriteria, yaitu keberhasilan siswa di sekolah (in-
school success), dan keberhasilan siswa di luar sekolah (out-of school success. Kriteria pertama
meliputi keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler, sedangkan kriteria kedua
32
ditunjukkan oleh keberhasilan atau kinerja lulusan setelah berada di dunia kerja yang nyata dan
sebenarnya.
5. Pendidikan kejuruan memiliki kepekaan/daya suai (responsiveness) terhadap perkembangan dunia
kerja. Oleh karena itu pendidikan kejuruan harus dapat responsif dan proaktif terhadap perkembangan
ilmu dan teknologi, dengan menekankan pada upaya adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi
prospek karir anak didik dalam jangka panjang.
6. Bengkel kerja dan laboratorium merupakan kelengkapan utama dalam pendidikan kejuruan, untuk
dapat mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan
edukatif.
7. Hubungan kerjasama antara lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia usaha dan industri merupakan
suatu keharusan, seiring dengan tingginya tuntutan relevansi program pendidikan kejuruan dengan
tuntutan dunia usaha dan industri.
B. Landasan filosofi pendidikan kejuruan
Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filsafat yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu
eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus
mengembangkan eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme
berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya dengan sistem-sistem yang lain seperti
ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan moral.
Landasan filosofis yang mendasari pendidikan kejuruan, harus mampu menjawab dua pertanyaan :
pertama, Apa yang harus diajarkan? dan kedua, Bagaimana harus mengajarkan? (Calhoun dan Finch, 1982).
Chalhoun dan Finch menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental pendidikan kejuruan adalah
individu dan perannya dalam suatu masyarakat demokratik, serta peran pendidikan dalam transmisi standar
sosial.
Secara umum juga dikatakan bahwa filsafat pendidikan merupakan rohani atau spiritual sistem
pendidikan nasional. Pendidikan kejuruan yang berkembang telah banyak ditandai dengan pesatnya
perkembangan fasilitas fisik untuk melayani kebutuhan banyak orang dalam lingkup pendidikan kejuruan
yang makin luas.
Filosofi memandang pendidikan kejuruan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas
penyiapan orang untuk bekerja atau mandiri, maka menuntut adanya jenis pendidikan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif pilihan itu, dan untuk hal tersebut yang paling tepat adalah pendidikan
kejuruan itu sendiri. Pernyataan Hornby yang dikutip Soeharto (1988) mengatakan bahwa filosofi adalah
mempelajari berbagai prinsip yang mendasari aksi dan tinggkah laku manusia. Miller (1986, 3) menyatakan
bahwa: phylosphys defined as a conceptual frame work for synthesis and evaluation that represents a system
of values to serve as a basis for making decisions that projects vocation’s future.
33
Secara khusus filosofi pendidikan kejuruan menurut Miller (1986) mempunyai tiga elemen pokok,
yaitu: nature of reality, truth, and value. Sehingga falsafah pendidikan kejuruan merupakan artikulasi
sebagai dasar asumsi yang meliputi kenyataan, kebenaran dan tata nilai. Pertama, landasan falsafah
memandang adanya ketentuan-ketentuan yang diperlukan oleh peserta didik dan strategi apa yang sesuai
dengan kebutuhan anak didik. Kedua, asumsi tentang perwujudan atau kenyataan tentang kebenaran untuk
memeberikan tuntunan dalam membentuk kurikulum pendidikan kejuruan. Ketiga, kemudian dengan materi
yang telah diyakini kebenaran sesuai dengan falsafahnya, lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab
untuk melakukan pengajaran dengan benar, dan falsafah dapat memberikan kepercayaan secara penuh dalam
kebenaran pengetahuan yang diberikan.
C. Perkembangan dan tantangan pendidikan kejuruan
a. Sebelum kemerdekaan
Pendidikan kejuruan di Indonesia telah berumur lebih 150 tahun. Sejarah pendidikan teknik dan
kejuruan di Indonesia diawali dengan didirikannya Ambacht School van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak
swasta. Sekolah ini terutama ditujukan untuk laki-laki keturunan Eropa khususnya Belanda, dari golongan
miskin yang tinggal di Hindia Belanda ketika itu.Pada akhir abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda
mendirikan suatu lembaga pendidikan di Jakarta dengan nama Ambacht Leergang. Kemudian pada tahun
1901 dilanjutkan dengan pembukakan lembaga pendidikan bernama Koningin Welhelmina School (KWS)
yang para siswanya terdiri atas tamatan Europeese School yang diperuntukan khusus untuk orang-orang
Eropa.
Pendidikan teknik dan kejuruan tingkat pertama di Indonesia menjelang akhir masa penjajahan
Belanda hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945) terdiri atas: Ambacht Leergang, yang mempersiapkan
pekerja-pekerja tukang, Ambacht School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi, dan Technische
School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.Ketiga jenis lembaga pendidikan
teknik dan kejuruan ini tetap bertahan sesudah Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-perubahan
nama dan beberapa perubahan kurikulum. Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan
meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut pengetahuan teknik dan kejuruan.
b. Pasca kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, Ambacht Leergang dikenal dengan Sekolah Pertukangan (SPT), Ambacht
School menjadi Sekolah Pertukangan Lanjutan (SPL), dan Technische School sebagai Sekolah Teknik (ST),
sedangkan THS menjadi Institut Teknologi Bandung(ITB).Lama pendidikan SPT adalah 2 tahun setelah SD
6 tahun. SPL adalah 1 tahun setelah SPT, SPT adalah 4 tahun yang kemudian menjadi 3 tahun setelah SD.
Lembaga pendidikan teknik dan kejuruan berkembang menjadi lembaga pendidikan kejuruan yag
mempunyai peran sentral dalam penyediaan tenaga tukang yang terampil dan teknisi tingkat pertama.
34
Jurusan-jurusan yang dibuka pada lembaga pendidikan teknik tersebut didasarkan atas penggolongan
jabatan (job description) dan analisis pekerjaan (job analysis) beserta persyaratan sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).Dengan melihat sejarah tersebut, berarti sekolah
teknik dan kejuruan baru dibuka 317 tahun setelah pertama yang didirikan oleh Portugis dan 246 tahun
setelah sekolah pertama didirikan oleh VOC/ Belanda.Dengan demikian, hingga saat ini sekolah kejuruan di
Indonesia telah berusia 1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada tahun 1940 terdapat
sekitar 88 sekolah kejuruan di Indoneasia dengan 13.230 siswa, umumnya dalam bidang pertukangan,
teknik, dan pertanian.
c. Era reformasi
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pendidikan teknik dan kejuruan berkembang pesat. Pemerintah
sendiri saat ini sedang menggalakkan peran SMK yang lebih diminati masyarakat karena berorientasi pada
pekerjaan.Kebijakan pemerintah antara lain sesuai rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009
dinyatakan bahwa rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar
50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Kebijakan ini diharapkan dapat memecahkan salah satu
permasalahan pengangguran. Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan tenaga terampil untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia industri. Kebijakan ini dilandasi dengan
semakin meningkatnya angka pengangguran serta semakin terbukanya sektor-sektor formal dan informal
yang membutuhkan tenaga kerja menengah yang berkualitas.Karena berhadapan langsung dengan dunia
kerja. Proporsi jumlah SMK 70%, SMA 30% dinegeri ini sepertinya cocok jika dikaitkan kemampuan
melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah dunia kerja yg akan menampung
lulusan SMK harus siap meskipun untuk memasukinya lulusan SMK perlu masih perlu dilatih.
Perkembangan masyarakat industri dan pasca industri membuat banyak negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia, menjadi sekaligus berada di bawah empat proses perkembangan sosial-
ekonomi yang mendasar. Keempat proses ini sama-sama menimbulkan dampak yang demikian kuat
sehingga dapat mengubah seluruh tatanan kehidupan masyarakat sejak abad ke-21 yang umumnya dikenal
sebagai permulaan era globalisasi.
Pengaruh utama dari proses-proses globalisasi adalah keterbukaan, demokratis, dan persaingan dalam
konteks kerja sama, dominasi kecerdasan intelektual (rasio atau nalar), dan sekularisme. Proses asimilasi
sudah mulai terlihat sejak dekade terakhir abad ke-20 (Naisbit, 1995:88) sebagai bagian dari globalisasi,
pengaruh Asia, terutama Asia Timur, Selatan dan Tenggara menjadi semakin kuat dan mendunia. Perubahan
mendasar yang dibawa proses ini adalah percaya diri Asia yang semakin kuat dan pengaruh budaya Asia ke
Barat dan Bagian dunia lainnya. Beberapa pengaruh utama dari proses sistem informasi yang semakin
canggih adalah semakin sarat-derasnya arus informasi, perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional,
35
simplifikasi, efisiensi, dan efektivitas dalam komunikasi, bahasa menjadi kebutuhan pokok, kemandirian
memperoleh pengetahuan, dan perubahan sifat lembaga pendidikan (Tampubolon, 2001:11).
Untuk menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan dituntut untuk semakin berperan dalam
memberikan pelayanan, khususnya menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan dan mampu bersaing
dalam situasi global. Sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan daya saing tingkat tinggi,
terutama yang dicapai melalui sistem pendidikan yang bermutu, merupakan faktor yang paling menentukan
untuk dapat memenangkan persaingan dalam era globalisasi.
Uraian-uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan lembaga pendidikan dalam
menghasilkan tenaga-tenaga akademik maupun profesional untuk merespon berbagai tantangan kehidupan
dalam era globalisasi. Zamroni (2000:90) mengemukakan bahwa permasalahan mulai dari krisis moneter,
ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia merupakan bukti bahwa sebagai
bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi.
Salah satu upaya untuk merespon dampak globalisasi adalah pentingnya mempertimbangkan suatu
paradigma baru bagi pendidikan (Sidi, 2003: 23-25). Untuk menuju suatu masyarakat belajar (Learning
Society), pendidikan yang lebih berorientasi pada teaching (mengajar) menjadi lebih berorientasi pada
learning (belajar). Paradigma Learning ini jelas terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21
versi UNESCO, yaitu, belajar berpikir (Learning to know), belajar keterampilan dalam kehidupan (Learning
to do), belajar hidup bersama (Learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (Learning to be).
Oleh karena itu, reformasi pendidikan harus dilakukan untuk memenuhi isu manajemen pendidikan
yang sesuai dengan tuntutan globalisasi, paling sedikit ada tiga pandangan filosofis yang dapat digunakan
untuk menjelaskan pengembangan atau reformasi pendidikan (Berquist, 1995), yaitu elistisme, populisme,
dan integralisme.
1. Pandangan pertama,
Elitisme, memandang bahwa pendidikan sangat penting terutama untuk mempertahankan tradisi
kebangsawanan dan penyebaran agama, dan tujuan adalah mutu, bukan pemerataan. Elitisme modern
memandang bahwa mutu tidak semata-mata berkaitan dengan keuangan, melainkan mutu dikaitkan
dengan pemerataan, kelompok elit adalah kelompok the have. Dalam elitisme modern, pembatasan
memperoleh pendidikan bukan lagi didasari faktor keturunan yang berkaitan dengan status sosial,
melainkan pada kemampuan akademik dan kemampuan mutu, tetapi kemampuan khususnya kurang
dalam pembiayaan. Karena itu, di samping kemampuan akademik, kemampuan ekonomi menjadi satu
sarat penting dalam penerimaan siswa baru.
2. Pandangan kedua,
36
Populisme, timbul dan berkembang dalam era modern masyarakat industri. Setelah revolusi industri,
berkembang liberalisme yang mendorong perkembangan demokrasi, egalitarianisme, Individualisme
dan sekularisme. Populasi memandang bahwa pendidikan harus diberikan kepada semua warga
masyarakat. Tujuan utama pendidikan adalah pemerataan untuk merespon tuntutan industrialisasi.
3. Pandangan ketiga,
Integralisme, timbul dan berkembang dalam dekade akhir era modern dan terus berkembang dalam
era pasca industri (pascamodern). Penyelenggaraan pendidikan menurut pandangan ini bertujuan
untuk mutu dan pemerataan. Keduanya harus terpadu atau terintegritaskan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Mutu berarti kesesuaian dengan kebutuhan. mutu pendidikan adalah kesesuaian
produknya dengan kebutuhan siswa, masyarakat dan dunia kerja.
Reformasi pendidikan, khususnya bidang kejuruan menuntut suatu kerangka berpikir baru atau
paradigma baru dalam manajemen pendidikan, tujuan paradigma baru dalam manajemen pendidikan adalah
untuk meningkatkan mutu dengan memasukkan asas otonomi pendidikan untuk membuat sistemnya menjadi
lebih dinamis, akuntabilitas agar otonomi terselenggarakan secara bertanggung jawab, akreditasi untuk
menjamin mutu lulusan, dan evaluasi diri agar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan atas data
dan informasi empiris (Jalal & Supriadi, 2001:363).
Pendidikan yang bermutu mempersiapkan SDM yang bermutu mutlak diperlukan untuk merespon
tantangan kehidupan abad ke-21. Dalam konteks ini perlu diimplementasikan paradigma baru pendidikan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu hendaknya diaplikasikan asas integralisme dan prinsip-
prinsip filosofis total quality management (TOM) atau manajemen mutu terpadu (MMT). Hal ini sejalan
dengan kebijakan pembaharuan atau reformasi pendidikan yang ditetapkan MPR dalam GBHN 2009, (1)
mutu dan pemetaan sama-sama diperhatikan; (2) pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan
dengan mengingatkan anggaran pendidikan secara berarti, termasuk kesejahteraan para guru, dan (3)
program-program pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, nasional, regional dan global.
A. State of the art
1. Pendidikan kejuruan/vokasi
Berdasarkan Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; tujuan pendidikan kejuruan/vokasi
secara spesifik adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
ketrampilan peserta didik untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai program
kejuruannya agar dapat bekerja secara efektif dan efisien, mengembangkan keahlian dan keterampilannya,
menguasai bidang keahlian dan dasar-dasar ilmu pengetahuan serta teknologi, memiliki etos kerja tinggi,
berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan dalam mengembangkan
diri. Rumusan tersebut mempunyai makna bahwa tugas pendidikan kejuruan adalah mempersiapkan sumber
37
daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya, mampu mandiri membuka usaha,
mampu beradaptasi dengan cepat sesuai tuntutan teknologi, dan mampu berkompetisi. Secara subtansial
pendidikan kejuruan bertugas membentuk peserta didik agar memiliki kemampuan, wawasan, dan
keterampilan di bidang industri yang baik, dan menguasai konsep-konsep engineering di industri.
Menurut Calhoun and Finch, (1976: 2), bahwa pengertian pendidikan kejuruan dikembangkan dari
terjemahan konsep vocational education (pendidikan vokasi) dan occupational education (pendidikan
keduniakerjaan), yang berarti suatu program pendidikan yang secara langsung dihubungkan dengan
persiapan seseorang untuk memasuki dunia kerja, atau untuk persiapan tambahan yang diperlukan dalam
suatu karir. Lebih lanjut menurut Finch dan Crunkilton (1979: 2) pendidikan kejuruan diartikan sebagai
pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat bekerja guna menopang kehidupannya.
Menurut Hoachlander dan Kaufman (1992) pakar pendidikan dari NCES (National Center for
Education Statistics) USA:
vocational education is intended to help prepare students for work, both inside and outside the
home, many educators believe it has a broader mission: to provide a concrete, understandable
context for learning and applying academic skills and concepts (http://nces.ed.gov/pubs92/
92669.pdf.10-2012)
Berdasarkan pendapat tersebut berarti bahwa pendidikan vokasi diperlukan untuk menyiapkan
peserta didik agar siap kerja baik di dalam lingkungan maupun di luar lingkungan masyarakat, maka misi
utama para pendidik dan pembuat kebijakan adalah menyiapkan pondasi yang kuat dalam proses belajar
mengajar bagi para peserta didik untuk penguasaan dan penerapan keterampilan akademis maupun konsep-
konsep yang diperlukan untuk menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Menurut Wardiman (1998)
karakteristik pendidikan vokasi memiliki ciri: 1) diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki
lapangan kerja, 2) diadasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja), 3) ditekankan pada
penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, 4) penilaian
terhadap kesuksesan peserta didik harus pada “hands-on” atau performa dunia kerja, 5) hubungan yang erat
dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan vokasi, 6) bersifat responsive dan antisipatif
terhadap kemajuan teknologi, 7) lebih ditekankan pada “learning by doing” dan hands-on experience, 8)
memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik, 9) memerlukan biaya investasi dan operasional yang
lebih besar daripada pendidikan umum.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, jelas bahwa titik berat pendidikan kejuruan adalah
membekali peserta didik dengan seperangkat keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang dapat
digunakan untuk bekerja dalam bidang tertentu atau mengembangkan diri sesuai bidang keahliannya.
Dengan demikian, penyusunan standar kompetesi yang sesuai dengan bidang-bidang keahlian tertentu
sangat dibutuhkan sebagai refleksi atas kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh setiap lulusan pendidikan
kejuruan. Sehingga ke depan pendidikan kejuruan memberikan andil besar terhadap kemajuan
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm
Manajemen sdm

More Related Content

What's hot

MODEL “TAWA PROFESOR” : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN CURR...
MODEL “TAWA PROFESOR”  : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN  CURR...MODEL “TAWA PROFESOR”  : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN  CURR...
MODEL “TAWA PROFESOR” : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN CURR...
Herfen Suryati
 
Langkah langkah perpaduan
Langkah langkah perpaduanLangkah langkah perpaduan
Langkah langkah perpaduan
Fuzi Gee
 
Amalan menjaga keamanan dan keharmonian
Amalan menjaga keamanan dan keharmonianAmalan menjaga keamanan dan keharmonian
Amalan menjaga keamanan dan keharmonian
Sai Kim Tan
 
Hubungan Etnik 2011 - Pengenalan
Hubungan Etnik 2011 - PengenalanHubungan Etnik 2011 - Pengenalan
Hubungan Etnik 2011 - Pengenalan
Mahyuddin Khalid
 
Hubungan etnik islam & hubungan etnik
Hubungan etnik   islam & hubungan etnikHubungan etnik   islam & hubungan etnik
Hubungan etnik islam & hubungan etnik
Mahyuddin Khalid
 
Kerja kursus titas ibn khaldun
Kerja kursus titas ibn khaldunKerja kursus titas ibn khaldun
Kerja kursus titas ibn khaldun
Suhada Sohot
 
Bab 7 cabaran terhadap he di malaysia
Bab 7 cabaran terhadap he di malaysiaBab 7 cabaran terhadap he di malaysia
Bab 7 cabaran terhadap he di malaysia
Dhani Ahmad
 
Hubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan Etnik
Hubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan EtnikHubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan Etnik
Hubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan Etnik
Mahyuddin Khalid
 
Pembentukan negara bangsapdf
Pembentukan negara bangsapdfPembentukan negara bangsapdf
Pembentukan negara bangsapdf
faizah12
 
Bab 7 islam dan hubungan etnik
Bab 7 islam  dan hubungan etnikBab 7 islam  dan hubungan etnik
Bab 7 islam dan hubungan etnik
kim rae KI
 
Hubungan etnik, integrasi & menangani cabaran
Hubungan etnik, integrasi & menangani cabaranHubungan etnik, integrasi & menangani cabaran
Hubungan etnik, integrasi & menangani cabaran
Siti Hawa
 

What's hot (20)

Makalah pengaruh adat kedaerahan terhadap penerapan nilai nilai pancasila
Makalah pengaruh adat kedaerahan terhadap penerapan nilai nilai pancasilaMakalah pengaruh adat kedaerahan terhadap penerapan nilai nilai pancasila
Makalah pengaruh adat kedaerahan terhadap penerapan nilai nilai pancasila
 
MODEL “TAWA PROFESOR” : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN CURR...
MODEL “TAWA PROFESOR”  : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN  CURR...MODEL “TAWA PROFESOR”  : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN  CURR...
MODEL “TAWA PROFESOR” : IMPLEMENTASI BUDAYA 5B BERBASIS MBS DAN HIDDEN CURR...
 
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI MELALUI HIDDEN CURRICULUM DAN PENDIDIKAN MORAL
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI MELALUI HIDDEN CURRICULUM DAN PENDIDIKAN MORALPENDIDIKAN ANTI KORUPSI MELALUI HIDDEN CURRICULUM DAN PENDIDIKAN MORAL
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI MELALUI HIDDEN CURRICULUM DAN PENDIDIKAN MORAL
 
Langkah langkah perpaduan
Langkah langkah perpaduanLangkah langkah perpaduan
Langkah langkah perpaduan
 
Amalan menjaga keamanan dan keharmonian
Amalan menjaga keamanan dan keharmonianAmalan menjaga keamanan dan keharmonian
Amalan menjaga keamanan dan keharmonian
 
Hubungan Etnik 2011 - Pengenalan
Hubungan Etnik 2011 - PengenalanHubungan Etnik 2011 - Pengenalan
Hubungan Etnik 2011 - Pengenalan
 
Hubungan etnik islam & hubungan etnik
Hubungan etnik   islam & hubungan etnikHubungan etnik   islam & hubungan etnik
Hubungan etnik islam & hubungan etnik
 
Kerja kursus titas ibn khaldun
Kerja kursus titas ibn khaldunKerja kursus titas ibn khaldun
Kerja kursus titas ibn khaldun
 
Bab 7 cabaran terhadap he di malaysia
Bab 7 cabaran terhadap he di malaysiaBab 7 cabaran terhadap he di malaysia
Bab 7 cabaran terhadap he di malaysia
 
Pancasila sebagai Pembangun, Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai Pembangun, Pembentukan Karakter Bangsa IndonesiaPancasila sebagai Pembangun, Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai Pembangun, Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia
 
Hubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan Etnik
Hubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan EtnikHubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan Etnik
Hubungan Etnik 2011 - Islam & Hubungan Etnik
 
CTU555 Sejarah Malaysia - Islam Hubungan Etnik
CTU555 Sejarah Malaysia - Islam Hubungan EtnikCTU555 Sejarah Malaysia - Islam Hubungan Etnik
CTU555 Sejarah Malaysia - Islam Hubungan Etnik
 
bela negara kepemimpinan pancasila
bela negara kepemimpinan pancasilabela negara kepemimpinan pancasila
bela negara kepemimpinan pancasila
 
Artikel pancasila
Artikel pancasilaArtikel pancasila
Artikel pancasila
 
26499208 contoh-karangan-1
26499208 contoh-karangan-126499208 contoh-karangan-1
26499208 contoh-karangan-1
 
Revitalisasi pendidikan demokrasi_dan_demokratisasi_pendidikan
Revitalisasi pendidikan demokrasi_dan_demokratisasi_pendidikanRevitalisasi pendidikan demokrasi_dan_demokratisasi_pendidikan
Revitalisasi pendidikan demokrasi_dan_demokratisasi_pendidikan
 
Pembentukan negara bangsapdf
Pembentukan negara bangsapdfPembentukan negara bangsapdf
Pembentukan negara bangsapdf
 
Bab 7 islam dan hubungan etnik
Bab 7 islam  dan hubungan etnikBab 7 islam  dan hubungan etnik
Bab 7 islam dan hubungan etnik
 
Kepelbagaian budaya
Kepelbagaian budayaKepelbagaian budaya
Kepelbagaian budaya
 
Hubungan etnik, integrasi & menangani cabaran
Hubungan etnik, integrasi & menangani cabaranHubungan etnik, integrasi & menangani cabaran
Hubungan etnik, integrasi & menangani cabaran
 

Similar to Manajemen sdm

Menggugah kesadaran guru dalam pelesterian
Menggugah kesadaran  guru dalam  pelesterianMenggugah kesadaran  guru dalam  pelesterian
Menggugah kesadaran guru dalam pelesterian
Ismail Bisri
 
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulumPengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
sman 2 mataram
 
BULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA.docx
BULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER  BANGSA.docxBULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER  BANGSA.docx
BULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA.docx
Emir Harahap
 
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Lidya Dalovya
 
Internalisai Belajar dan Spesialisasi
Internalisai Belajar dan SpesialisasiInternalisai Belajar dan Spesialisasi
Internalisai Belajar dan Spesialisasi
d a
 

Similar to Manajemen sdm (20)

Menggugah kesadaran guru dalam pelesterian
Menggugah kesadaran  guru dalam  pelesterianMenggugah kesadaran  guru dalam  pelesterian
Menggugah kesadaran guru dalam pelesterian
 
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
 
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (REVISI).pptx
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (REVISI).pptxPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (REVISI).pptx
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (REVISI).pptx
 
2_KERANGKA_ACUAN_PENDIDIKAN_KARAKTER_KEMDIKNAS.pdf
2_KERANGKA_ACUAN_PENDIDIKAN_KARAKTER_KEMDIKNAS.pdf2_KERANGKA_ACUAN_PENDIDIKAN_KARAKTER_KEMDIKNAS.pdf
2_KERANGKA_ACUAN_PENDIDIKAN_KARAKTER_KEMDIKNAS.pdf
 
AKU dan Bangsaku
AKU dan BangsakuAKU dan Bangsaku
AKU dan Bangsaku
 
Bab i pkn di pt
Bab i pkn di ptBab i pkn di pt
Bab i pkn di pt
 
Pengaruh Penggunaan Gawai Terhadap Penerapan Nilai Pancasila Di Kalangan Gene...
Pengaruh Penggunaan Gawai Terhadap Penerapan Nilai Pancasila Di Kalangan Gene...Pengaruh Penggunaan Gawai Terhadap Penerapan Nilai Pancasila Di Kalangan Gene...
Pengaruh Penggunaan Gawai Terhadap Penerapan Nilai Pancasila Di Kalangan Gene...
 
Tugas akhir pancasila
Tugas akhir pancasilaTugas akhir pancasila
Tugas akhir pancasila
 
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulumPengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
 
Filosofi pendidikan
Filosofi pendidikanFilosofi pendidikan
Filosofi pendidikan
 
PPT KELOMPOK 10 PKN.pptx
PPT KELOMPOK 10 PKN.pptxPPT KELOMPOK 10 PKN.pptx
PPT KELOMPOK 10 PKN.pptx
 
Pendidikan Pancasila "Pancasila sakti"
Pendidikan Pancasila "Pancasila sakti"Pendidikan Pancasila "Pancasila sakti"
Pendidikan Pancasila "Pancasila sakti"
 
PANCASILA SEBAGAI KEKUATAN MORAL BANGSA
PANCASILA SEBAGAI KEKUATAN MORAL BANGSAPANCASILA SEBAGAI KEKUATAN MORAL BANGSA
PANCASILA SEBAGAI KEKUATAN MORAL BANGSA
 
Pemuda dan sosialisasi
Pemuda dan sosialisasiPemuda dan sosialisasi
Pemuda dan sosialisasi
 
BULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA.docx
BULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER  BANGSA.docxBULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER  BANGSA.docx
BULAN RAMADHAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA.docx
 
Pendidikan moral
Pendidikan moralPendidikan moral
Pendidikan moral
 
Makalah kepemimpinan orde baru dosen erina pane,sh,mh...OLEH ACHMAD AVANDI,SE...
Makalah kepemimpinan orde baru dosen erina pane,sh,mh...OLEH ACHMAD AVANDI,SE...Makalah kepemimpinan orde baru dosen erina pane,sh,mh...OLEH ACHMAD AVANDI,SE...
Makalah kepemimpinan orde baru dosen erina pane,sh,mh...OLEH ACHMAD AVANDI,SE...
 
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
 
Tugas 3 ISD
Tugas 3 ISDTugas 3 ISD
Tugas 3 ISD
 
Internalisai Belajar dan Spesialisasi
Internalisai Belajar dan SpesialisasiInternalisai Belajar dan Spesialisasi
Internalisai Belajar dan Spesialisasi
 

Recently uploaded

Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
NurindahSetyawati1
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
AtiAnggiSupriyati
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
AlfandoWibowo2
 

Recently uploaded (20)

MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10
algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10
algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
 
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdfModul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ikaIntegrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
 
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR IPAS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR IPAS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR IPAS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 

Manajemen sdm

  • 1. 0 Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) berbasis Technopreneurship Dr. Ir. Charles Soetyono Iskandar, M.T., M.Pd Dr. A. Muhammad Idkhan, S.T.,M.T Margaret Iskandar, SIP, M. Pd. Mei 2019
  • 2. 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan bukuini meskipun jauh dari kesempurnaan. Pembuatan buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah pembelajaran dalam menimbah ilmu utamanya dalam mata kuliah managemen sumber daya maanusia terlibat (involve) without selibat (celibacy) berbasis kewirausahaan dengan mengunakan teknologi (Technopreneurship) terkhusus dalam menentukan faktor-faktor moral kemanusiaan. Pada kesempatan ini kami membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang berguna untuk perbaikan dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan pengetahuan dalam proses pembelajaran. Makassar, 24 Mei 2019 Penulis Dr. Ir. Charles Soetyono Iskandar, M.T., M.Pd Dr. A. Muhammad Idkhan, S.T.,M.T Margaret Iskandar, SIP, M. Pd
  • 3. 2 DAFTAR ISI Sampul ...........................................................................................................0 Kata pengantar .................................................................................................1 Daftar isi..........................................................................................................2 Pendahuluan.....................................................................................................3 Studi pustaka ...................................................................................................13 Karakter cerdas ..............................................................................................25 Pengertian manajemen ...................................................................................27 Teknologi produksi..........................................................................................34 Mesin dan peralatan.........................................................................................35 Pengertian pendidikan kejuruan.......................................................................41 State of the art ................................................................................................48 Autoplot...........................................................................................................71 Daftar Pustaka .................................................................................................93
  • 4. 3 PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada dekade awal kemerdekaan serta pembangunan bangsa dan negara dikenal dan dikumandangkan dua ”slogan,” tetapi satu yaitu nation and character bulding yang maknanya pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (watak) bangsa. ”Pembangunan bangsa” digelorakan dengan mantapnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Negara Bhineka Tunggal Ika, Satu Tanah Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Di samping itu, ”pembangunan karakter” digempitakan demi kokohnya budaya bangsa yang berkepribadian, berdiri di atas kaki sendiri, dan bermartabat. Bangsa Indonesia, yang berani memerdekakan dirinya melalui revolusi perjuangan rakyat, adalah bangsa yang diyakini mampu menjadi bangsa yang besar. Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara menjadi acuan dasar pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa. Karakter Pancasilais didealkan menjadi basis bagi pembangunan bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai luhur Pancasila menjadi acuan dasar bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa yang berkarakter, yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan berpartisipasi aktif dalam upaya membangun dunia berdasarkan perdamaian abadi, peri-kemanusiaan, dan peri-keadilan. Dalam perjalanan pembangunan bangsa dan negara dari dekade ke dekade, glora nation and character building agaknya semakin meredup. Pancasila yang digelorakan sejak dimulainya revolusi kemerdekaaan, dan yang pada dekade ketiga sampai dengan menjelang berakhirnya abad ke-20 secara resmi dijadikan satu-satunya asas bagi kelembagaan politik dan kenegaraan, justru sepertinya mengalami kemunduran dalam makna keluhuran nilai-nilainya bagi bangsa Indonesia. Character building yang semula mengacu kepada nilai-nilai luhur Pancasila digantikan oleh slogan ”Pancasila sebgai asas tunggal” dengan nilai-nilai kekuasaan yang dipaksakan. ”Asas Tunggal” menjadi monopoli pihak tertentu sehingga pihak lain tidak terwadai oleh nilai-nilai yang dipaksakan itu. Periode ”asas tunggal” itu diakhiri oleh gerakan reformasi yang asas utamanya ingin mengembalikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai panduan kehidupan dan pembangunan kebangsaan. Gerakan reformasi berhasil menegakkan demokrasi sebagai instrumen pengganti, untuk menghapus ketidakbebasan pada era sebelum reformasi. Suasana eforia berkat berhasilnya gerakan reformasi berlangsung dalam hampir di setiap bidang kehidupan. Bidang kehidupan politik agaknya paling menikamati kebebasan sebagai hasil reformasi itu. Diiringi kebebasan penyiaran oleh media massa yang semakin langsung dan terbuka, suasana eforia kebebasan politik dan penyiaran berdasarkan demokrasi yang seluas- luasnya itu, dirasakan mengimbas kemana-mana; ke segenap bidang kehidupan yang menjadi hajat hidup seluruh komponen bangsa. Lebih jauh lagi imbasnya justru ”melebar” melewati batas-batas bidang politik
  • 5. 4 dan penyiaran itu sendiri. Imbas ke bidang ekonomi ternyata tidak menyejahterakan rakyat; pengangguran cenderung semakin tinggi. Dibidang pendidikan, meskipun telah didukung oleh perangkat perundangan yang semakin bernilai dibanding sebelumnya, namun tetap terjangkiti oleh berbagai kendala yang mengakibatkan rendahnya mutu proses pembelajaran dan lulusannya. Bidang birokrasi dan pelayanan masyarakat dipenuhi oleh suasana kelambanan (indolensi), ketidakefektifan, dan kurang efisien, serta terjadinya berbagai penyimpangan. Dalam penegakan hukum, dirasakan terjadinya perlakuan kurang adil, dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, banyak terjadi tindakan yang melanggar nilai dan moral, ketertiban, dan kenyamanan hidup bersama. Karakter Pancasila sepertinya kehilangan roh sejatinya. Kondisi ini semua ditunjang oleh arus teknologi-informasi global yang semakin terbuka, vulgar tanpa batas dan tak terkendali. Kondisi yang penuh kesenjangan tersebut di atas di khawatirkan akan lebih lagi kebablasan apalagi tidak diambil langkah-langkah untuk mencegah dan mengatasinya. Mencermati itu semua, dewasa ini agaknya telah mulai timbul kesadaran untuk kembali menegakkan pilar character building, yang dikhawatirkan telah kehilangan rohnya. Karakter bangsa yang tampaknya banyak ternodai oleh berbagai kesenjangan di atas hendak dikembalikan kejalur idealnya semula, yaitu kesejatiannya nilai-nilai luhur Pancasila. Amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hendak benar-benar diisi dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang diyakini bersesuaian sepenuhnya dengan sejatinya harkat dan martabat manusia dalam kehidupan yang diridhoiu oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kotamadya Makassar secara geologis merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di pantai barat pada koordinat 119°24’17,38” Bujur Timur dan 5°8’6,19” Lintang Selatan sebagaimanaterlihat pada gambar 1.
  • 6. 5 Gambar 1. Letak geografis wilayah Kotamadya Makassar Secara administratif, luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2 atau 0,28% dari luas wilayah provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 14 kecamatan dan terbagi atas 143 kelurahan. Jumlah penduduk perkotaan 1.203.255 Jiwa dengan timbulan sampah perhari: 3.582,01 m3 dan sampah yang terangkut setiap hari: 3.151,27 m3. Adapun batas-batas Kota Makassar adalah sebagai berikut: 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros. 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa. 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros. 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar. PERSOALAN KEHIDUPAN KEMASYARAKATAN DAN KEBANGSAAN. Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita dewasa ini diwarnai oleh berbagai kesenjangan dan ketidaknyamanan. Berbagai peristiwa yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi itu disiarkan, seringkali secara intens, oleh media massa, sehingga beritanya menyebar ke mana-mana, ke seluruh wilayah tanh air. Dalam kondisi demikian kejadian dan suasana ”suram” yang ditimbulkannya menjadi ”milik” kita semua, milik bangsa yang barangkali menjadikan bangsa ini sampai merasa ”sedang didera derita.” Isu-isu pokok berkenaan dengan ”susasana suram” seperti itu antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut; yang seluruhnya dilatarbelakangi oleh sikap dan perilaku yang kurang atau tidak berkarakter-cerdas. 1. Bidang ekonomi. Kesenjangan antara kaya dan miskin belum berkurang, kalau kita hendak mengatakan ”semakin melebar.” Pengangguran masih tinggi dan belum kecenderungan menurun. Daya saing ekonomi dibayang-bayangi banjir produk luar negeri, sementara karakter konsumenisme dan lebih menyukai produk luar negeri warga masyarakat masih tetap menggejala. Kondisi itu semua dilengkapi oleh rendahnya penciptaaan lapangan kerja baru, tingginya angka pengangguran dan minimnya wirausahawan. Motivasi menjadi pegawai negeri masih mendominasi arah masa dengan generasi muda lulusan satuan pendidikan dari tingkat pendididkan dasar sampai tinggi. Peristiwa korupsi, perampokan, pencurian dalam berbagai bentuk dan besaran mewarnai kondisi senjang secara nasional yang terpampang di depan mata. 2. Hubungan sosial kemayarakatan. Kehidupan rukun, tenteram, dan damai, gotong-royong, dan musyawarah untuk mufakat, sepertinya jauh dan tidak dirasakan lagi dalam kehidupan keseharian. Kehidupan dibisingkan oleh kegaduhana demonstrasi, kericuhan dalam penetapan lahan usaha, suasana pertandingan olah raga, penuntutan hak yang tercederai, kericuhan, dalam keluarga dan hubungan kekerabatan dan perselisihan antar kelompok menwarnai dinamika kehidupan warga masyarakat. Perbuatan kekerasan asosial, ademokratis dan amoral, korupsi, konsumsi dan pengedaran narkoba, menambah kesenjangannya kehidupan dasar yang sejahtera dan bahagia. Tindakan yang kurang/tidak etis ternyata juga diperbuat oleh para pemegang posisi yang dijuluki terhormat.
  • 7. 6 3. Dunia Hukum. Ketidakadilan masih mewarnai pratik pengadilan di negara kita yang sesungguhnya dinyatakan sebagai negara hukum. Rakyat kecil diperlakukan tidak adil di muka hukum, sedangkan bagi mereka yang kuat dan kaya dapat menggunakan uangnya untuk ”membeli” hukum. Penegakan hukm (Law enforcement) dirasakan lemah, misalnya di bidang lalu lintas, sehingga terjadi banyak pelanggaran dan kecelakaan. Pelanggaran tersebut banyak dilakukan, misalnya melalui pungutan liar ataupun suap dan praktik ilegal lainnya oleh pihak-pihak yang diyakini sangat mengerti kaidah-kaidah hukum. Kesenjangan dalam ketiga kawasan di atas diperluas dan diperparah oleh kekuatan globalisasi dan perkembangan teknologi serta dunia maya yang melanda kehidupan manusia dalam semua sisinya. Memang kekuatan globalisasi dengan kemajuan teknologi serta dunia maya itu membawa dampak positif bagi kemajauan kehidupan manusia, namun pengaruh negatifnya tidak kurang pula. Globalisasi Kecenderungan globalisasi yang semakin luas, terbuka dan gencar membuahkan kemajuan teknologi informasi yang luar biasa. Siapa saja dapat memperoleh informasi tentang apa saja, kapan saja dan dari manapun juga. Informasi yang diperoleh itu boleh jadi belum layak dikonsumsi dan akan menimbulkan kesenjangan pada pribadi yang bersangkutan yang akan mengakibatkan perilaku menyimpang. Hal ini dibarengi oleh upaya sensor yang lemahatau bahkan tidak berdaya. Dunia Maya Dunia maya berkembang luar biasa, berisi segala sesuatu yang tampaknya tanpa batas. Seiring dengan aspek positif yang dapat diperoleh melalui peran dunia maya, ternyata pemanfaatan untuk perilaku negatif pun semakin menggejala. Perang melalui dunia maya, ketidakadilan dan tindak kriminalpun dapat terjadi dengan menggunakan perangkat dunia maya. B. PERSOALAN PENDIDIKAN 1. Pembelajaran Inti pendididkan adalah pembelajaran. Pembelajaran dapat berlangsung secara alamiah melalui pemaknaan individu terhadap pengalaman-pengalamannya dalam menjalani kehidupan. Apakah pengalaman tersebut menyenangkan ataupun tidak semua dapat menjadi proses pembelajaran untuk membangun karakter kehidupan. Pembelajaran sebagai rekayasa sosial untuk pembudayaan manusia dilakukan melalui pendidikan informal, formal dan nonformal. Karakteristik yang khas dalam pembelajaran seperti ini adalah adanya usaha sadar, terencana dan sistematik untuk mencapai tujuan, yaitu manusia yang berkarakter baik. Akhir sebuah proses pendidikan adalah karakter. Orang yang berkarakter bertindak mulia. Persoalan pembentukan karakter kebangsaan melalui pembelajaran dapat dipahami melalui isi pembelajaran, kegiatan mendidik, mengajar, melatih, dan membimbing. Dari isi pembelajaran, kesuksesan sebuah proses pembelajaran adalah terbentuknya karakter. Berbagai macam bentuk karakter, satu di antaranya yang paling mulia, sebagaimana telah dilakukan terdahulu, adalah transenden. Karakter bangsa
  • 8. 7 termasuk transenden, yaitu sifat diri untuk mau mengalihkan keutamaan diri kepada keutamaan bangsa dan negara, bahkan kepada keutamaan harkat dan martabat manusia. Fitrah manusia adalah suci dan transenden terkait dengan penciptanya. Benchmarking pada bangsa yang besar menunjukkan bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab mestinya berhasil membelajarkan warga negaranya menjadi transenden kepada kepentingan bangsanya, bahkan melampauinya kepada kepentingan bangsa-bangsa di dunia. Pembelajaran di tanah air sekarang ini lebih mengutamakan aktualisasi individu. Ukuran keberhasilannya sering diletakkan pada keunggulan individu untuk mengalahkan kompetitornya. Perlombaaan-perlombaan yang diadakan selama ini lebih banyak berfokus kepada tujuan aktualisasi prestasi individu, jarang sekali diniatkan untuk kepentingan kemajuan bangsa. Dalam hal ini, visi pembelajaran belum mampu mengarahkan bahwa segala sesuatu yang direncanakan dan yang akan dicapai tersebut adalah lintasan untuk membangun masa depan bangsa yang lebih cemerlang. Pembentukan karakter erat kaitannya dengan sentuhan pendididkan (education touch). Kehidupan yang berkembang yang merupakan bagian dari education touch bagi umat manusia. Fenomena di tanah air sekarang ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dari lingkungan masyarakat untuk membentuk karakter kebangsaan sesuatu menjadi semakin perlu diperhatikan, mengingat banyaknya persoalan kehidupan bernegara yang tidak dapat dimaknai secara tepat. Misalnya, ketika pesta demokrasi dalam regenerasi kepemimpinan berlangsung, mulai dari kehidupan di tingkat rumah tangga (RT) hingga tingkat nasional, sering terjadi fenomena yang membingungkan. Masyarakat tidak mampu membedakan perilaku mana yang tepat untuk membangun kehidupan demokrasi dan perilaku mana yang tidak tepat. Masyarakat disuguhkan informasi berbagai bentuk kekurangan yang terjadi pada pesta demokrasi tersebut melalui media cetak ataupun dari debat dan dialog interaktif di media televisi. Akan tetapi, seringkali informasi tersebut tidak efektif sebagai materi pembelajaran karena pada akhirnya justru sering membingungkan penonton yang akhirnya terprovokasi tanpa mengetahui mana sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun bangsa ini. Akibatnya, kita dapati pandangan masyarakat yang lebih berorientasi pada hal-hal negatif. Dalam konteks demokrasi kebangsaan, dalam hal kepartaian misalnya, akhirnya melekat dipikiran masyarakat sebuah stigma bahwa apapunpartainya, kondisinya, sama saja, karena pada akhirnya semuanya mementingkan diri sendiri. Sportivitas seringkali tidak dapat terbangun lewat pembelajaran dari lingkungan karena kurangnya sosialisasi tentang hal-hal yang positif dan banyak hal justru sangat jauh dari contoh keteladanan. Prinsip mengutamakan kepentingan bangsa tidak dapat dimaknai masyarakat secara transenden. Terlalu jauh kemampuan warga masyarakat untuk mampu memaknai sesuatu yang esensial. Karakter kebangsaan perlu dibangun melalui pembelajaran dalam suasana education touch, di mana di dalamnya terkandung proses pembelajaran dengan ”sentuhan tingkat tinggi” (high touch) dan ”teknologi tinggi” (high tech). High-touch berkenaan dengan usaha sadar dan sistematis dalam penciptaan suasana yang konduksif untuk berlangsungnya proses belajar pada peserta didik, sedangkan high-tech berkenaan dengan
  • 9. 8 prosedur sistematis dalam proses pencapaian tujuan belajar. Pembelajaran harus mampu meningkatkatkan kompetensi dalam bentuk pemahaman (knowledge), keterampilan (skill), dan nilai-nilai (value) Pancasila sebagai karakter bangsa. Kompetensi diri untuk memahami eksistensinya sebagai warganegara NKRI, komptensi berkomunikasi, kompetensi memahami perbedaan dan keanekaragaman etnik. Prasyarat untuk berlangsungnya pembelajaran yang berciri education touch adalah dioperasionalisasikannya high-touch dan high-tech dalam pembelajaran. High-touch di wujudkan dalam berbagai bentuk perilaku pendidik seperti kesediaan menerima dengan jujur segala potensi dan keterbatasan peserta didik, pernyataan kasih sayang dengan kelemahlembutan, penghargaan yang tulus terhadap sekecil apapun hasil belajar peserta didik, menjadikan diri contoh teladan dalam berpikir, menyatakan perasaan dan bertindak, melakukan tindakan tegas untuk mengendalikan perilaku yang salah. Demikian juga dengan high-tech, pembelajaran harus mendorong munculnya penampilan perilaku gemar belajar melalui prosedur yang sistematis terhadap rancangan pembelajaran: tujuan, materi, metode, sumber dan bahan serta evaluasi terhadap proses pelaksanaan pembelajaran sampai dengan hasil-hasilnya. Persoalan pembelajaran dalam menerapkan high-touch (perilaku hubungan pendidik dengan peserta didik) dan high-tech (perilaku teknis pembelajaran) sudah dimulai sejak penerapan tujuan pembelajaran. Pendekatan yang menekankan pada behavioristik, mengakibatkan terfragmenmentasikannya ranah kognitif dan afektif dan konatif, padahal ketiga ranah itu merupakan satu kesatuan yang perlu dikembangkan dalam diri individu. Akibatnya, pembelajaran hanya mengahsilak pengetahuan belaka, tanpa dapat diubah menjadi perilaku, atau kebiasaan, apalagi menjadi karakter. Demikian juga halnya dengan strategi pembelajaran. Pegeseran antara konsep belajar-mengajar menjadi pembelajaran, konsep berpusat pada guru dan berpusat pada murid, penggunaan berbagai model-model pembelajaran, menjadi persoalan lain lagi yang membuat tidak jelasnya proses pembelajaran yang mendidik dan membelajarkan. Bukan hanya karakter bangsa yang tidak mampu menjadi dampak pengiring suatu pembelajaran, karakter individu sebagai individu yang mandiripun tidak jelas tampak pembinaannya lewat kebingungan strategi pembelajaran. Evaluasi pendidikan, persoalan lain lagi dalam pembelajran. Ketika ujian nasional ditempatkan sebagai persoalan politik dengan anggapan bahwa ujian nasional akan dapat meningkatkan etos kerja bangsa, ternyata memberikan dampak yang sangat besar tehadap pemaknaan masyarakat terhadap pendidikan. Bukan proses pendididkan yang semakin membaik, melainkan bimbingan tes yang semakin mejamur agar siswa lulus ujian, padahal seharusnya bimbingan belajar diperlukan untuk menghasilkan manusia-manusia yang gemar belajar, dan terus belajar sepanjang hayat. Semua persoalan pendidikan/pembelajaran, apakah dalam konteks masalah khusus pembelajaran ataupun dalam hubungannya dengan pembentukan karakter bangsa perlu mendapat perhatian. Atmosfir kebangsaan yang meliputi semua unsur kehidupan masyarakat dan keluarga untuk membangun budaya bangsa sangat diperlukan untuk membangun rakyat Indonesia yang berbudaya. Secara lebih konkrit, ketika
  • 10. 9 masalah rendahnya mutu pendidikan di tanah air dikemukakan kepada para guru misalnya, komentar yang muncul dari mereka pada umumnya adalah bahwa penyebab rendahnya mutu pendidikan itu terkait dengan sering berganti-gantinya kurikulum, prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai, dan gaji guru rendah. Tanpa mengurangi pentingnya ketiga hal tersebut bagi peningkatan mutu pendidikan, perlu diidentifikasi permalasahan atau isu-isu yang lebih substansial berkenaan dengan rendahnya mutu pendidikan itu, khususnya yang terkait dengan pembangunan karakter peserta didik. Permasalahan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari terasa dari ketidaksejukan iklim sekolah dan proses pembelajaran sampai dengan kecurangan dalam pengerjaan tugas, ulangan, dan ujian (termasuk ujian nasional). a. Peserta didik tidak betah dan kurang bersemangat berada dan belajar di lingkungan sekolah; suasana lingkungan sekolah/kelas terkesan ”kering,” ”miskin,” kuarng teratur dan tidak kondusif bagi kegiatan belajar dan pengembangan pribadi yan produktif sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik yang dinamis, kreatif, dan gembira. Suasana seperti itu lebih mengesankan sebagai mengekang dibanding mengembangkan. b. Belajar dirasakan sebagai kegiatan yang sulit dan menyulitkan ketimbang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan. Materi dan metode pembelajaran cenderung tertutup, monoton, kering, sempit, dan membebani. Semua itu dirasakan kurang mengembangkan kemampuan kedirian peserta didik. Dalam pada itu, patut dipertanyakan perolehan hasil belajar yang bagaimanakah didapat oleh peserta didik setiap kali mereka mengikuti proses pembelajaran? Alangkah ironisnya bahwa hasil yang mereka peroleh berupa hal-hal yang sekedar bersifat hafalan yang hampa tanpa makna. c. Praktik kekerasan dan penghukuman, dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan verbal dan perlakuan, skorsing dan mengeluarkan siswa dari sekolah, masih banyak terjadi. Hal itu semua menyalahi prinsip- prinsip pendidikan yang memuliakan kemanusiaan manusia dan melanggar hak dasar anak untuk memperoleh pendidikan, dan semuanya itu mengarah kepada terjadinya kecelakaan pendidikan. d. Suasana manajemen pembelajaran cenderung menegakkan disiplin dengan cara pemberian sanksi dan hukuman ketimbang memberikan pengarahan, penguatan, dan keteladanan. Dalam kaitan ini, tindakan kekerasan diberlakukan atas nama penegakan disiplin. e. Sekolah membiarkan adanya diskriminasi tentang nilai, kedudukan, dan pentingnya bidang studi tertentu, seperti bidang MIPA diposisikan paling penting dibanding IPS, Bahasa, Kejuruan, Keterampilan, Olahraga, dan juga Agama. Padahal, semua bidang atau mata pelajaran sama pentingnya bagi pembinaan kemampuan dan kedirian peserta didik. f. Personil sekolah cenderung membuat dan menjaga jarak dengan peserta didik, sehingga keakraban yang menyejukkan serta memperkembangkan kurang terbina. Suasana demikian itu tidak kondusif untuk
  • 11. 10 terjadinya kegiatan belajar dan proses pembelajaran yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan produktif. g. Terjadi pembiaran terhadap kelemahan belajar peserta didik yang berpotensi. Dalam hal ini, kegiatan pengajaran perbaikan dan pengayaan tidak menjadi perhatian pendidik. Sekolah membiarkan peran utamanya mencerdaskan peserta didik ”diambil alih” oleh lembaga bimbingan belajar di luar sekolah. h. Untuk mengatasi kelemahan peserta didik dalam penguasaan materi pelajaran, dengan acuan peserta didik harus lulus dalam ujian (termasuk ujian nasional), sekolah rela mendegradasikan diri atas fungsi utamanya mencerdaskan peserta didik, dengan membiarkan (atau bahkan mengkondisikan) peserta didik menyontek. Praktik ini sesungguhnyalah merupakan kecelakaan pendidikan yang secara langsung menghancurkan sendi-sendi karakter kemandirian, kerja keras, disiplin, dan kejujuran. i. Sekolah tidak mengakses kondisi dan peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitar yang berlangsung di luar sekolah. Sekolah seperti ”katak di bawah tempurung” yang mengakibatkan peserta didik ”terisolasi” dari kondisi kehidupan di masyarakat sekitarnya di satu sisi, dan sisi lain sekolah membiarkan para peserta didik bergumul dengan kondisi lingkungan sebagaimana adanya (yang kurang memadai) tanpa berusaha ”memperbaiki yang salah, meluruskan yang menyimpang, dan meninggikan yang rendah, menjernihkan yang keruh.” Sekolah terisolasi dari kehidupan masyarakat dan tidak mampu menyumbang untuk kebaikan perkembangan masyarakat. j. Dalam praktik penilaian sekolah lebih cenderung menggunakan sistem pemeringkatan (ranking) yang lebih mendiskriminasi kemampuan peserta didik ketimbang memperkembangkan potensi masing-masing diri mereka secara optimal. Penyelenggaraan kelas-kelas excellence lebih mencuatkan diskriminasi tersebut dan makin menjauhi sistem continous progress dan praktik pendidkan inklusif. k. Adanya ”paket hemat” dalam praktik pembelajaran oleh guru yang mengurangi volume materi yang dibelajarkan di kelas; materi selebihnya diajarkan di luar kelas (dirumah atau di tempat lain) dengan pemungutan biaya tertentu. Bagi yang mengikuti pelajaran ekstra di luar kelas itu akan diberi nilai tinggi, lebih tinggi daripada mereka yang hanya mengikuti pelajaran di dalam kelas. Praktik pembelajaran seperti ini melanggar kode etik sebagai pendidik, melanggar prinsip motivasi altruistik yang harus diwujudkan oleh pendidik profesional. Studi Pustaka Manajemen pendidikan merupakan upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya instrumental untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalamnya tersirat makna kerjasama dan tujuan bersama. Semua upaya dalam manajemen pendidikan diarahkan supaya pendidikan dapat berlangsung sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, penguasaan
  • 12. 11 diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Manajemen pendidikan yang memfasilitasi pembangunan karakter bangsa dilakukan sejak menetapkan elemen dasar organisasi pendidikan itu sendiri, yaitu dengan menetapkan Pancasila sebagai landasan filosofi organisasi, penetapan nilai-nilai dasar (value), visi-misi dan tujuan dengan mengacu kepada Pancasila. Dengan demikian atmosfir yang digunakan untuk menjalankan fungsi manajemen pendidikan tersebut yaitu di dalam perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan kepengawasan dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Setiap dimensi manajemen pendidikan, yaitu kepemimpinan, kepegawaian, kurikulum, keuangan, sarana prasarana, kemitraan, dan layanan khusus dilaksanakan dengan fungsi manajemen yang dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila tersebut. Penampilan perilaku pemimpin dan tenaga kependidikan pada setiap lembaga pendidikan diwarnai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai pijakannya. Transformasi nilai-nilai Pancasila berlangsung lewat peran pemimpin mualai dari manajemen tingkat pusat hingga manajemen tingkat teknis di sekolah dalam membina hubungan interpersonal, menyampaikan informasi dan mengambil keputusan menjadikan Pancasila sebagai nilai (value). Artinya, setiap interaksi yang terjadi dalam manajemen pendididkan harus dilandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila, karena inilah yang dapat memutar atmosfir manajemen pendidkan bergerak ke arah positif. Bagaimana kondisi manajemen pendidkan sekarang ini dalam membangun karakter bangsa? Untuk menjawab ini perlu dikelompokkan berdasarkan hasil analisis terhadap implementasi fungsi-fungsi manajemen. 1. Prencanaan pendididkan. Pada saat proses penerapan tujuan dan cara mencapainya, karakter bangsa mungkin tidak dicantumkan lagi secara eksplisit, karena sudah menjadi landasan semua aktivitas manajemen. Materi karakter bangsa hanya secara eksplisit dicantumkan, dalam perencanaan guru pada mata pelajaran/bidang studi yang relevan. Demikian juga pada penerapan program tahunan, semesteran, bulanan, dan harian. Pancasila mewarnai secara implisit program-program yang dimaksud. Namun demikian, idealnya di dalam setiap perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dimaksud tercantum materi pembangunan karakter bangsa. 2. Pengorganisasian, yaitu proses pendelegasian, koordinasi tugas dan pemanfaatkan sumber untuk mencapai tujuan. Persoalan sering muncul pada pendelegasian dari pengelola pendidikan kepada satuan pendidikan. Misalnya, kebijakannya adalah penerapan manajemen berbasis sekolah, tetapi implementasi proses pemandirian sekolah itu tidak kunjung berlangsung karena tetap diintervensi oleh dinas pendidikan. Demikian juga dengan pengorganisasaian kerja dan sumber-sumber belajar. Seringkali terdengar keluhan tentang masalah kepercayaan, keadilan dan aturan. Selain tidak dilaksanakan secara konsisten juga sering pilih kasih. Akibatnya, demokrasi pendidikan sebagaimana dituangkan dalam Pancasila belum berlangsung sebagaimana diharapkan. Demikian juga halnya dalam proses
  • 13. 12 kepemimpinan, yaitu bagaimana membina kerjasama dan memotivasi pendidik dan tenaga kependidikan untuk mencapai tujuan. Kenyataan menunjukkan belum berlangsungnya kepemimpinan transformasional sebagaimana diisyaratkan dalam Pancasila. Pada pengawasan, proses untuk penegakan dan implementasi mekanisme agar tujuan tercapai, seringkali masih dilakukan tanpa rencana dan tidak konsisten. Hal ini menunjukkan kinerja kepengawasan tidak berlangsung dalam atmosfir yang membangun karakter kebangsaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk membangun karakter bangsa melalui manajemen pendidikan ini adalah menumbuhkan kesadaran berdemokrasi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga semua aktivitas manajemen dilandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai karakter bangsa. Persoalan lain dalam manajemen pendididkan yang perlu mendapat perhatian besar adalah kesinambungan antara praktik pendidikan dengan rujukan normatif, yaitu filosofi, teori, kebijakan dan regulasi. Perlu revitalisasi manajemen pendidikan untuk menginternalisasi nilai-nilai pendidikan dalam kepentingan untuk tumbuhnya rasa kebangsaan dan kesadaran terhadap budaya bangsa. Manajemen pendidikan selama ini belum mampu menciptakan atmosfir yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan yang bersifat alih generasi dalam pembentukan karakter bangsa. Globalisasi tidak dihadapi dengan bijak, dan akibatnya terjadi krisis moral dan rendahnya kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, perlu reformasi pola pikir masyarakat, termasuk pelaku birokrasi dan pengelola pendidikan untuk kembali kepada esensi pendidikan, yitu pembentukan karakter. Dengan cara ini, akan dapat diharapkan lahirnya kebijakan dan regulasi pendidikan sesuai dengan hal-hal yang diperlukan untuk memajukan bangsa ini. Secara khusus dapar diidentifikasikan kendala dan permasalahan manajemen pendidkan sebagai berikut. a. Manajemen pendidikan tidak menyalurkan nilai pedagogis. Pejabat birokrasi pendidikan beranggapan bahwa manajemen pendidikan sama dengan manajemen perusahaan, sehingga bukan proses pendidikan yang terjadi, melainkan ”prose bisnis.” Pelayanan birokrasi kurang mendidik pula. Kebijakan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, samapai di satuan pendidikan tidak mengalir energi dan kebijakan pendididikan yang mendidik/membelajarkan. Mestinya, seluruh jajaran pendidikan mengendalikan seluruh aktivitas kelembagaaan agar energi dan kebijakan pendidikan terus mengalir dari sumber kewenangan yang satu ke arah sasaran yang lebih operasional secara efektif dan efisien. b. Adanya mismacthed antara kualifikasi akademik dan fungsi pendidik, seperti guru bidang studi A ditugasi mengajar bidang studi B; guru bidang studi tertentu ditugasi untuk melaksanakan layanan konseling, atau sebaliknya. Kondisi ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu pembelajaran, bahkan terjadinya malapraktik dalam proses pembelajaran yang dapat berakibat fatal. c. Adanya kekurangan tenaga pendidik (guru dan/atau konselor) dalam bidang tertentu, dan kelebihan guru pada bidang yang lain. Hal ini menimbulkan penugasan rangkap yang mismatched di satu sisi dan suasana
  • 14. 13 kekurangan jam pembelajaran di sisi lain, padahal dalam satu minggu seorang guru/konselor harus bertugas minimal 24 jam pembelajaran.. d. Tugas kepengawasan yang mismatched terhadap kegiatan pembelajaran yang diawasi disatuan pendidikan dasar dan menengah. Misalnya, pengawas yang berlatar belakang Matematika ditugasi untuk mengawasi penyeelenggaraan kegiatan pembelajaran berbagai mata pelajaran di luar Matematika. Pimipinan sekolah yang oleh karena tugasnya diwajibkan menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan volume tertentu (Kepala Sekolah 6 jam pembelajaran dan Wakil Kepala Sekolah 9 jam pembelajaran) melimpahkan tugas kewajibannya itu kepada guru lain. Hal ini, selain menyalahi peraturan, curang, membebani orang lain, juga melanggar kode etik profesional pendidik. Pimpinan sekolah terbawa arus untuk ”menyukseskan” UN peserta didik melalui cara apapun, dengan mengerahkan tenaga guru untuk perbuatan yang bertentangan dengan fungsi dan tugas utamanya, yaitu memberikan kesempatan dan mendorong siswa (peserta UN) menyontek. Hal ini sama sekali kontra terhadap tugas utama dan mulia dari seorang guru, yaitu mencerdaskan siswa. Kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah belum harmonis sehingga sekolah tidak memperoleh manfaat yang memadai dari Komite Sekolah. Sejalan dengan itu, pimpinan sekolah belum mengupayakan hubungan timbal balik dengan masyarakat dalam suasana yang saling menguntungkan. 1. Satuan Pendidikan Formal, Nonformal dan Informal, serta Keterkaitan Ketiganya. Isu umum yang dapat diidentifikasi antara lain adalah sebagai berikut. a. Pendidikan Formal Pendidikan formal sendiri dari satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Sesuai dengan penjenjangan maka kurikulum pendidikan pada satuan pendidikan ini juga berjenjang. Pembangunan karakter kebangsaan pada satuan pendidikan tidak hanya terkait dengan kurikulum pada setiap jenjang satuan pendidikan, melainkan juga terkait dengan faktor input, proses, dan faktor instrumental pembelajaran. Dalam pada itu, proses pembelajaran tidak hanya terkait dengan pengubahan tingkah laku, apa lagi proses pembiasaan atau kondisioning (Novak & Tyler, 1986). Dipandang dari pendekatan inter-disipliner, permasalahan pendidikan harus dilihat secara luas, mencakup aspek-aspek international, nasional, regional, dan lokal (Hunt, 1975). Oleh karena itu, isu pembangunan karakter bangsa dapat disoroti dari semua aspek tersebut. Persoalan yang paling esensial saat ini dalam pembelajaran yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa adalah berkesinambungan kurikulum yang digunakan mulai dari pendididkan dasar, bahkan usia dini hingga pendidikan tinggi. Penguasaan siswa terhadap dasar negara, lambang negara, sebagai simbol kebangsaan, baru sebatas pengetahuan, sementara untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tampaknya masih mengalami kesulitan. Pengembangan karakter semakin jauh dari harapan. Saat
  • 15. 14 ini nilai-nilai global merasuki kehidupan para siswa di sekolah tanpa landasan nilai-nilai kebangsaan yang kuat. Cinta tanah air hampir tidak terdengar lagi gaungnya. Para siswa lebih menyukai produk luar negeri dibanding dengan produk dalam negeri. b. Pendidikan Nonformal Pendidikan saat ini tengah mengalami penyempitan makna; mengalami proses dehumanisasi. Demikian istilah yang digunkan oleh Fauzi (2009) dalam pandangannya tentang kegagalan pendidikan untuk melangkah menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Lebih tegas, Sumpeno (2009) menyatakan pendidikan nonformal belum membangun karakter bangsa. Fakta ini dapat ditelusuri dari praktik pendidikan nonformal yang masih terfokus pada pembentukan pribadi cerdassecara individual orang-perorang. Padahal, idealnya pendidikan, termasuk pendidikan nonformal juga berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa sebagai ciri identitas kolektif bangsa, dan tidak hanya identitas pribadi saja. Dalam UU No. 20 Tahun 2003, secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik yang terampil dan cerdas saja, akan tetapi juga membentuk peserta didik yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, agar manjadi warga negarayang demokrasi dan bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional ini, yang juga menjadi tujuan pendidikan nonformal, mengarah kepada pembangunan karakter-cerdas dan terampil peserta didik dalam kehidupan bersama, bermasyarakat dan berkebangsaan. Fungsi pendididkan nonformal sebagai penyeimbang (complement), sehingga secara sistematis menjadi lengkap, penambah (suplement), dan pengganti (substitusi) dari pendidikan formal kedudukannya setara dengan pendidikan formal. Karenanya pendidikan nonformal, seperti halnya pendidikan formal, juga berfungsi untuk membangun karakter (character-building) peserta didik. Mengingat, bahwa karakter bangsa terkait erat dengan nilai-nilai etnografi yang mengakar dari budaya lokal, serperti kerja keras, jujur dan demokrasi, nilai-nilai tersebut belum mendapat tempat dan prioritas dalam program-program pendidikan nonformal. Selama ini pendidkan, termasuk pendidikan nonformal telah dininabobokan (terbius) oleh dogma, dalil-dalil ataupun ajaran yang datang dari luar negeri yang justru sangat asing di negara ini. Padahal, negara ini memiliki banyak ajaran yang sangat luar biasa hebatnya, dan tinggi kelasnya, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dalam hal ini, pendidikan nonformal memerlukan perencanaan yang matang isi programnya, prasarana, dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik dan peserta didiknya, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan (Hamijoyo, 1973; Combs, 1985; Sujana, 1994). Pendidikan nonformal sebagaimana pendidikan formal, bukanlah lembaga yang sekedar mentransfer pengetahuan saja, tetapi juga membentuk karakter peserta didik agar menjadi warga yang punya sopan- santun dalam tataran etika maupun estetika dan berperilaku dalam hidup dan kehidupan secara ideal. Jika dicermati justtru telah terjadi kondisi melemahnya sikap toleransi terhadap sesama warga bangsa, menurunnya kepercayaan akan kebenaran sistem negara-bangsa yang diwariskan oleh pendiri Republik, dan
  • 16. 15 munculnya berbagai perilaku anakis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lainnya yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama. Hal ini semua mendorong banyak kalangan bertanya ”apa yang salah dengan pendidikan nasional sehingga belum berhasil membangun karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003?” Pendidikan nonformal belum berhasil memberi sumbangan berarti daalam meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik dan juga telah gagal dalam membentuk karakter dan watak pribadi anak bangsa. c. Pendidikan Informal Pendidikan informal mengalami berbagai kesulitan, karena keterbatasan kemampuan keluarga dalam mengendalikan pengaruh eksternal yang semakin gencar terhadap perkembangan anak. Karena pengaruh eksternal yang kurang menguntungkan perkembangan anak secara menyeluruh mengalami berbagai stagnasi dan penyimpangan. Pengetahuan keluarga dalam membimbing anak lambat sekali percepatannya, berbanding terbalik dengan pengaruh eksternal yang dapat menggangu perkembangan karakter anak. Peran keluarga untuk membangun anak sebagai anggota masyarakat, sekaligus untuk menjadi warga negara yang bertanggungjawab belum tumbuh dengan baik. Mestinya, keluarga dan pusat pendidikan lain harus secara terpadu membangun karakter bangsa. Pendidikan informal tampaknya merupakan ”dampak atau kesinambungan” dari suasana pendididkan formal, mengingat para orang tua sebelumnya adalah para tamatan pendidikan formal. Mutu pendidikan informal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka sejalan dengan mutu pendidikan formal yang diikuti oleh orang tua ketika mereka menjadi siswa dahulu. Pendidikan informal juga dipengaruhi oleh aktivitas otang tua (bapak dan ibu) yang cenderung lebih banyak berada di luar rumah yang akan mengurangi kesempatan pendidikan terhadap anak-anak mereka. Hal ini dapat berdampak pada kualitas pencapaian tugas-tugas perkembangan anal, dan juga menjadi kurang intensifnya hubungan orang tua dengan satuan pendidikan di mana anak-anak mereka menjalani kegiatan pendidikan formal. Mengacu kepada pemaparan di atas, tidak dapat diragukan lagi, bahwa pendidikan informal merupakan sarana pembangunan karakter yang dalam praktiknya harus melibatkan semua elemen, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Rumah tangga dan keluarga sebagai satuan pendidikan informal sekaligus sebagai satuan pembentukan karakter harus diberdayakan. Sebagaimana diketengahan oleh Coombs (1985) keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, menjadi satuan pendidikan untuk anggota keluarga atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, warrahmah). Dengan demikian, pembentukan karakter melalui pendidikan informal selain mencakup pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, perlu terfokus pada moral, nilai- nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dab sejenisnya, yang semuanya itu tergabung dalam nilai-nilai karakter-cerdas.
  • 17. 16 Persoalan karakter bangsa adalah persoalan pendidikan seumur hidup. Pembangunan karakter bangsa memerlukan keteladanan dan sentuhan sejak sedini mungkin sampai dewasa. Periode yang paling sensitif ada di dalam keluarga. Pola asuh otang tua sangat berpengaruh terhadap penanaman nilai-nilai kebangsaan. Diperlukan pendidikan bagi para (calon) orang tua untuk dapat melakukan pola asuh yang tepat untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan karakter bagi anggota keluarga dalam rangkah pembinaan karakter bangsa yang berkelanjutan. Jika dilihat dari ketiga setting pendidikan sebagaimana diambarkan di atas, diperlukan upaya yang lebih konkrit untuk membangun kesadaran para pengelola, pendidik dan warga masyarakat untuk menanamkan karakter kebangsaan ini melalui pemberian pengetahuan, melatihkannya dalam penampilan perilaku, membiasakannya di dalam kehidupan sehari-hari dan mengarahkannya hingga menjadi karakter yang mulia. Dalam hal ini, modeling untuk pembentukan karakter merupakan isu yang perlu dicermati. Para pendidik, tenaga kependidikan, masyarakat luas perlu menjadi model pembentukan karakter bangsa. Rencana pembelajaran guru mulai dari penetapan tujuan, konten, strategi dan eveluasi diintegrasikan dengan karakter bangsa. Setelah tujuan dan konten tentang karakter kebangsaan, persoalannya adalah ketidakmampuan peserta didik untuk menampilkannya dalam bentuk proses pembelajaran secara nyata. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan kaidah-kaidah learning to know, to do, to be, to live together, to believe in God tidak berjalan secara simultan. Pembiasaan-pembiasaan melalui kegiatan upacara peringatan hari besar sebagai upaya pembentukan karakter bangsa pada umumnya terus berlangsung, hanya saja sikap dan penghayatan peserta didik, termasuk juga para pendidik dan tenaga kependidikan, masih sangat rendah. Lebih konkret, isu-isu karakter-cerdas berkenaan dengan pendidikan formal, nonformal, dan informal dapat ditekan pada hal-hal berikut. a. Realisasi isi/kurikulum pendidikan formal lebih mengarah kepada perkembangan ranah kognitif, yang hanya sekadar hafalan. Kondisi seperti ini jauh dari pengembangan potensi peserta didik secara optimal; termasuk di dalamnya belum terjangkaunya pengembangan karakter-cerdas. b. Standar isi satuan pendidikan nonformal sudah disetarakan dengan satuan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan menengah. Namun, hal ini tampaknya belum tersosialisasikan secara baik dan meluas. c. Pendidikan informal terkait langsung dengan suasana pendidikan formal, mengingat para orang tua adalah tamatan pendidikan formal. Jika kualitas pendidik pada pendidikan formal, dan juga nonformal kurang atau tidak berkarakter-cerdas, dapat menjadi kenyataan bahwa nilai-nilai dan perilaku karakter-cerdas dalam keluarga akan lebih tidak memadai lagi. Kesempatan pengasuhan sehat (healthy parenting) terhadap anak- anak dalam keluarga berkurang akibat orang tua yang bekerja. Metode Penelitian
  • 18. 17 Pada bab ini dibahas tentang: a. Pendekatan dan rancangan penelitian; b. Lokasi penelitian; c. Sumber data; d. Teknik pengumpulan data; e. Teknik analisis data; f. Pengecekan keabsahan data, g. Tahap- tahap penelitian Dalam hal ini secara berurutan membahas pendekatan dan rancangan penelitian, lokasi peneliti, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pengabsahan data. A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Biklen (1998) mengatakan; penelitian kualitatif ialah; mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka dan berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Penelitian ini adalah penelitian pendidikan karakter untuk membangun bangsa. Yang dimaksud dengan pendididkna karakter untuk membangun bangsa yang memberi kesempatan kepada pendidik dan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan karakter untuk membangun bangsa, seperti; 1. Membangun pedagogi karakter psikologi melalui pendidikan; 2. Membangun sosio budaya karakter melalui sosialisasi masyarakat; 3. Sosio politik dengan kebijakan pemerintah dan organisasi masyarakat.. Penelitian kualitatif untuk mengungkap dan memahami, apa yang terletak dibalik fenomena tersebut?. Apa saja yang belum diketahui dan bersifat induktif dalam pengembangan konsep yang didasarkan atas data yang ada. 2. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa situs yang berbeda, diharapkan bisa digunakan dalam pengembangan teori. Karena penelitian dilakukan pada situs yang jumlahnya lebih dari satu situs. Hal ini sejalan dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1998;2) mengatakan; When researchers study two or more subjects, or depositories of data they are usually doing what we call multisite studies. Multisite studies take a variety of forms. Some start as a single site only to leave the original work serve as the first in series of studies or as the pilot for a multisite study other studies are primarily single siie studies but indude less intense, less extensive observation at other sites for the purpose of addressing the question of general izability. Other researches do comparative site studies are done and then compared and contasted. B. Sumber Data Dalam penelitian kualitatif yang dijadikan informan hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Penentuan sumber data merupakan tahapan dalam proses penelitian yang penting, karena hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan berlangsung sampai peneliti mendapatkan jawaban dari fokus penelitian yang sudah ditetapkan.
  • 19. 18 Kriteria menentukan informan dalam penelitian ini, yaitu (1) masih aktif sebagai guru/pamong di sekolah; (2) terlibat secara intensif dalam berbagai kegiatan kelembagaan seperti keterlibatan dalam keorganisasian sekolah yang sengaja dibentuk oleh pihak sekolah; (3) informan masih mempunyai waktu untuk dimintai informasi oleh peneliti. C. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan sumber dan jenis data, maka teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: (1) wawancara mendalam (indepth interviewing) dilakukan minimal satu kali kepada mereka masing-masing, tetapi dalam penelitian ini setiap data yang diperoleh dilakukan 2-3 kali terutama untuk data dianggap penting oleh peneliti; (2) pengamatan berperanserta (participant observation) agar data tetap terjaga kebenarannya; dan (3) dokumentasi (study document) dengan melacak semua pemberkasan yang berkaitan dengan masalah manajemen peningkatan kompetensi guru di sekolah tersebut secara seksama (Bogdan & Biklen, 1998). D. Teknik Analisis Data Dalam penelitian kualitatif atau penelitian naturalistik, data tidak dipandang sekedar sebagai apa yang diperoleh dalam penelitian, melainkan merupakan hasil interaksi antara peneliti dan sumber data. Interaksi disini mencakup juga pemberian interpretasi peneliti terhadap apa yang telah diberikan atau disampaikan oleh informan. Teknik analisis data selama pengumpulan data merupakan analisis awal terhadap data yang diperoleh. Analisisnya dapat diupayakan dengan apa yang disebut kegiatan reduksi data (data reduction). Tujuan akhir analisis awal atau kegiatan reduksi data tersebut untuk memahami seluruh data yang telah dikumpulkan dan data yang belum terjaring. Selain itu, melalui kegiatan reduksi data tersebut dapat dipikirkan peluang-peluang pengumpulan data berikutnya yang seringkali kualitasnya lebih baik dalam rangka mengisi kekurangan data atau gagasan-gagasan yang muncul selama pengumpulan data. E. Pengecekan Keabsahan Data, Pengecekan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; (1) kredibilitas (credibility), (2) ketergantungan (dependability), (3) Kepastian (confirmability). 1. Kredibilitas (credibility) Pengertian kredibilitas (credibility) data perlu dilakukan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang diamati oleh peneliti benar-benar telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Derajat kepercayaan data dalam penelitian kualitatif digunakan untuk memenuhi kriteria/nilai kebenaran yang bersifat emic, baik bagi pembaca maupun subyek yang diteliti. 2. Ketergantungan (dependability) Ketergantungan atau dependabilitas dilakukan untuk menilai proses yang dilakukan selama penelitian, yang merupakan laporan hasil penelitian. Untuk itu diperlukan dependent auditor. Sebagai dependent auditor dalam penelitian ini yaitu; ketiga promotor kami.
  • 20. 19 3. Kepastian atau Komfirmabilitas (confirmability) Kepastian atau komfirmabilitas diperlukan untuk mengetahui keobjektifan data yang diperoleh, obyektif atau tidak. Hal ini bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang dikatakan obyektif, namun penekanannya tetap pada datanya. F. Tahap-tahap Penelitian Creswell, (2005) mengemukakan tahap-tahapan penelitian kualitatif yaitu: (1) identify intent and accres-type design, and relate intent to your research problem; (2) discuss approval and acces considerations; (3) use appropriate data collection procedures; (4) analyze and interpret data within a design; and (5) write the report consisten with your design. KarakterCerdas dalam KegiatanPembelajaran Karakter cerdas ada dimana-mana, di segenap bidang dan wilayah kehidupan; dalam kaitannya dengan perilaku pribadi sendiri-sendiri dan perilaku social dalam keluarga, pada satuan-satuan pendidikan. Berkenaan dengan adanya isu-isu tentang karakter cerdas yang dewasa ini terjadi, kondisi yang dikehendaki adalah dapat terlaksana perilaku berkarakter cerdas dalam kadar yang tinggi demi terciptanya hidup yang sejahtera dan bahagia. Implementasi karakter cerdas pertama-tama dalam bentuk pembelajaran untuk mengembangkan potensi dasar peserta didik, yang mengarah kepada pribadi yang berkarakter cerdas. A. Kegiatan Pemberlajaran Karakter Cerdas. Implementasi pembelajaran karakter cerdas dapat di selenggarakan pada satuan pendidikan sekarang. Kelengkapan pendidik tentang pembelajaran karakter cerdas, adalah; wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Artinya seorang pendidik yang menyelenggarakan pembelajaran karakter cerdas adalah pendidik yang memiliki karakter cerdas. 1. Modal Dasar: Pendidik Profesional. Untuk kegiatan pembelajaran karakter cerdas, adalah; a. pendidik professional; b. wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Kedua modal dasar ini menjadi jaminan awal bagi suksesnya pembelajaran. 2. Implementasi pada Satuan Pendidikan Formal. Pendidikan formal di sekolah menyelenggarakan pembelajaran karakter cerdas pada satuan pendidikan, adalah; a. kurikulum; b. Materi Pembelajaran. 3. Metode, Alat Bantu dan Lingkungan Pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan proses; aktif dan dinamis, kreatif dan inovatif, efektif dan efisien, konduktif dan induktif, serta benar-benar menperkembangkan peserta didik. Bentuk pembelajaran, adalah; a. pembahasan; b. tanya jawab; c. pekerjaan rumah; d. penagalam dan kompetensi; e. survey dan penelitian.
  • 21. 20 4. Penilaian Hasil Pembelajaran. Penilain hasil pembelajaran dengan mengembangkan prinsip continuous progress pada azas belajar yang sebenarnya. 5. Pengelolan Pembelajaran. Realisasi penyelenggaraan pembelajaran, adalah; a. perencanaan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan kegiatan; d. penilaian; e. tindak lanjut atas hasil pembelajaran. 6. Implementasi pada Pendidikan Nonformal dan Informal. Penyelenggaraan pembelajaran terkait dengan pengembangan karakter cerdas pada pendidikan formal, tidak terlepas dari upaya pendidika nonformal dan informal. Mekanisme organisasi terhadap karakteristik individu melahirkan mekanisme individu yang menghasilkan kualitas kinerja (job performance) dan loyalitas kelembagaan yang tinggi (organizational commitment). Mekanisme tim (team mechanism) meliputi perilaku kepemimpinan (leadership style and behavior), kekuatan dan pengaruh kepemimpinan (power and influence leadership), proses membangunan tim (team process), karakteristik tim (team characteristic). Karakteristik individu meliputi kepribadian, budaya, nilai-nilai hidup (personality, culture, and value) serta kemampuan (abilities). Mekanisme oraganisasi dan sistem membangun tim mengendalikan karakteristik individu untuk membangun sistem mekanisme individu yang meliputi kepuasan kerja (job satisfaction), pengendalian stress (stress management), motivasi (motivation), rasa adanya kepercayaan, rasa adil, etika (trust, justice, and ethics), balajar dan pengambil keputusan (learning and decision making). Mekanisme organisasi, mekanisme tim, karakteristik individu membangun mekanisme individu untuk dapat menunjukkan kinerja (job performance) dan loyalitas kelembagaan (organization commitment), manajemen pendidikan sebagi pembentukan karakter cerdas. Catatan akhir dalam kondisi awal, arah pengembangan kegiatan, dan rekomendasi. A. Kondisi Awal. Pentingnya pengembangan pendidikan karakter dalam pembangunan bangsa, terkait dengan degradasi nilai-nilai karakter dan kecerdasan dalam kehidupan kebangsaan yang menyebabkan ketidaknyaman. Kondisi ini tidak sesuai dengan harapan pembagunan bangsa berkarakter cerdas, as at (constitution) UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa. B. Arah Pengembangan Kegiatan. Walaupun dalam pendidikan terjadi ketidaknyaman dalam perilaku berkarakter cerdas, disadari bahwa melalui upaya pendidikan arus utama pengembangan nilai-nilai dan perilaku karakter cerdas dapat dan perlu diselenggarakan. 1.1 PENGERTIAN MANAJEMEN OPERASIONAL
  • 22. 21 Manajemen operasional adalah bentuk pengelolaan secara menyeluruh dan optimal pada masalah tenaga kerja, barang-barang seperti mesin, peralatan, bahan-bahan mentah, atau produk apa saja yang sekiranya bisa dijadikan sebuah produk barang dan jasa yang biasa dijualbelikan. Sesuai dengan definisinya sendiri, manajeman yang berasal dari kata manage yang berarti mengatur penggunaan. Jika disandingkan dengan kata operasional, artinya adalah pengaturan pada masalah produksi atau operasional baik dalam bidang barang atau jasa. Selanjutnya, secara definisi, manajemen operasional juga sebagai penanggung jawab dalam sebuah organisasi bisnis yang mengurusi persoalan produksi. Baik dalam bidang barang atau jasa. Dilihat dari definisi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, fungsi manajemen operasional, yakni dalam hal pengambilan keputusan mengenai kebutuhan-kebutuhan operasional. Kedua, manajamen operasional juga harus memperhatikan mengenai sistemnya. Terutama sistem transformasi. Sistem ini termasuk juga dalam sistem pengurusan mengenai membuat rancangan serta analisis dalam operasi nanti. Yang ketiga mengenai hak pengambilan keputusan dalam sebuah manajemen operasional. Sebagaimana diketahui bahwa keputusan adalah hal yang terpenting bagi seseorang agar bisa bersikap tegas dan tepat, demi lancarnya manajemen operasional yang tengah dijalankan. Oleh karena itu, manjemen operasional sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan seorang pemimpin operasional. 1.2 PROSES PRODUKSI DAN PELAYANAN 1. Pengertian proses produksi Proses diartikan sebagai suatu cara, metode, dan teknik bagaimana sesungguhnya sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan, dan dana) yang ada diubah untuk memperoleh suatu hasil. Produksi adalah kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa (Assauri, 1995). Proses juga diartikan sebagai cara, metode ataupun teknik bagaimana produksi itu dilaksanakan. Produksi adalah kegiatan untuk menciptakan danan menambah kegunaan (Utility) suatu barang dan jasa. Menurut Ahyari (2002) proses produksi adalah suatu cara, metode ataupun teknik menambah keguanaan suatu barang dan jasa dengan menggunakan faktor produksi yang ada. Melihat kedua definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa proses produksi merupakan kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan faktor-faktor yang ada seperti tenaga kerja, mesin, bahan baku dan dana agar lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia. 2. Jenis-Jenis proses produksi Jenis-jenis proses produksi ada berbagai macam bila ditinjau dari berbagai segi. Proses produksi dilihat dari wujudnya terbagi menjadi proses kimiawi, proses perubahan bentuk, proses assembling, proses transportasi, dan proses penciptaan jasa-jasa adminstrasi (Ahyari, 2002). Proses produksi dilihat dari arus atau flow bahan mentah sampai menjadi produk akhir, terbagi menjadi dua yaitu proses produksi terus- menerus (continous processes) dan proses produksi terputus-putus (ntermettent processes).
  • 23. 22 Perusahaan menggunakan proses produksi terus-menerus apabila di dalam perusahaan terdapat urutan- urutan yang pasti sejak dari bahan mentah sampai proses produksi akhir. Proses produksi terputus-putus apabila tidak terdapat urutan atau pola yang pasti dari bahan baku sampai dengan menjadi produk akhir atau urutan selalu berubah (Ahyari, 2002). Penentuan tipe produksi didasarkan pada faktor-faktor seperti: (1) volume atau jumlah produk yang akan dihasilkan, (2) kualitas produk yang diisyaratkan, (3) peralatan yang tersedia untuk melaksanakan proses. Berdasarkan pertimbangan cermat mengenai faktor-faktor tersebut ditetapkan tipe proses produksi yang paling cocok untuk setiap situasi produksi. Macam tipe proses produksi dari berbagai industri dapat dibedakan sebagai berikut (Yamit, 2002) : a. Proses produksi terus-menerus Proses produksi terus-menerus adalah proses produksi barang atas dasar aliran produk dari satu operasi ke operasi berikutnya tanpa penumpukan disuatu titik dalam proses. Pada umumnya industri yang cocok dengan tipe ini adalah yang memiliki karakteristik yaitu output direncanakan dalam jumlah besar, variasi atau jenis produk yang dihasilkan rendah dan produk bersifat standar. b. Proses produksi terputus-putus Produk diproses dalam kumpulan produk bukan atas dasar aliran terus-menerus dalam proses produk ini. Perusahaan yang menggunakan tipe ini biasanya terdapat sekumpulan atau lebih komponen yang akan diproses atau menunggu untuk diproses, sehingga lebih banyak memerlukan persediaan barang dalam proses. c. Proses produksi campuran Proses produksi ini merupakan penggabungan dari proses produksi terus-menerus dan terputus-putus. Penggabungan ini digunakan berdasarkan kenyataan bahwa setiap perusahaan berusaha untuk memanfaatkan kapasitas secara penuh. 3. Tingkat pelayanan Bagi konsumen untuk menilai baik buruknya suatu sistem produksi / operasi lebih dinilai dari pelayanan yang dapat diberikan oleh system produksi kepada konsumen itu sendiri. Berbicara mengenai tingkat pelayanan (service level) merupakan ukuran yang tidak mudah untuk diukur, sebab banyak dipengaruhi oleh faktor – faktor kualitatif, walaupun demikian beberapa ukuran obyektif yang sering digunakan antara lain:  Ketersediaan (availability) dan kemudahan untuk mendapatkan produk / jasa. Kecepatan pelayanan baik yang berkaitan dengan waktu pengiriman (delivery time) maupun waktu pemrosesan (processing time). Agar dapat dicapai kinerja sistem operasi diatas maka seorang manajer produksi / operasi dituntut untuk mempunyai sedikitnya dua kompetensi, yaitu:
  • 24. 23  Kompetensi teknikal yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman atas teknologi proses produksi dan pengetahuan atas jenis – jenis pekerjaan yang harus dikelola. Tanpa memiliki kompetensi teknikal ini maka seorang manajer produksi / operasi tidak akan mengerti apa yang sebenarnya harus diperbuat.  Kompetensi manajerial yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber – sumber daya (faktor – faktor produksi) serta kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Kompetensi ini sangat diperlukan mengingat penguasaan pengelolaan atas faktor – faktor produksi serta menjalin koordinasi dan kerjasama dengan fungsi – fungsi lain yang ada didalam suatu unit usaha merupakan keharusan yang tak dapat dihindarkan. 1.3 . LAYOUT 1. Pengertian Setiap perusahaan baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil akan menghadapi persoalan layout. Semua fasilitas-fasilitas untuk produksi baik mesin-mesin, buruh dan fasilitas-fasilitas lainnya harus disediakan pada tempatnya masing-masing dan peralatan produksi dalam pabrik. Pengaturan tata letak (layout) fasilitas pabrik dan area kerja merupakan masalah yang sering dijumpai bahkan tidak dapat dihindari dalam dunia industri meskipun untuk lingkup yang lebih kecil dan sederhana, dapat berlaku untuk fasilitas pabrik yang sudah ada maupun pengaturan tata letak fasilitas untuk pabrik yang sama sekali baru. Apabila pengaturan ini terrencana secara baik akan berpengaruh terhadap efisiensi dan kelancaran proses produksi suatu industri. 2. Tujuan layout Tujuan utama yang ingin dicapai dalam perencanaan tata letak fasilitas pabrik pada dasarnya adalah untuk meminimumkan biaya atau meningkatkan efisiensi dalam pengaturan segala fasilitas produksi dan area kerja. 3. Manfaat layout Secara spesifik tata letak fasilitas tata letak fasilitas pabrik yang baik akan dapat memberikan manfaat- manfaat dalam system produksi, yaitu sbb :   Meningkatkan jumlah produksi Suatu tata letak fasilitas pabrik secara baik akan memberikan kelancaran proses produksi dan akhirnya akan memberikan output yang lebih besar dengan biaya yang sama atau lebih sedikit, jam tenaga kerja dan jam kerja mesin lebih kecil.   Mengurangi waktu tunggu Tata letak fasilitas pabrik yang baik akan memberikan keseimbangan beban dan waktu antara satu mesin dengan mesin atau departemen dengan departemen yang lain. Keseimbangan ini akan dapat mengurangi penumpukan bahan dalam proses dan waktu tunggu antara satu mesin dengan mesin yang lain.   Manfaat proses pemindahan bahan
  • 25. 24 Pada sebagian besar proses produksi, bahan baku akan lebih sering dipindahkan jika dibandingkan dengan tenaga kerja, mesin maupun peralatan produksi yang lain.   Penghematan penggunaaan ruangan Terjadinya penumpukan material dalam proses dan jarak antara masing-masing mesin terlalu berlebihan akan menambah luas bangunan yang dibutuhkan.   Efisiensi penggunaaan fasilitas Suatu tata letak fasilitas pabrik yang terencana secara baik, dapat menciptakan pendayagunaan elemen produksi seperti tenaga kerja, mesin maupun peralatan yang lain secara lebih efektif dan efisien.   Mempersingkat waktu proses Dengan memperpendek jarak antara satu mesin dengan mesin yang lain atau antara satu operasi denga operasi yang lain dan mengurangi penumpukan bahan dalam proses atau mengurangi waktu tunggu.   Meningkatkan kepuasan dan keselamatan kerja Pengaturan tata letak fasilitas pabrik secara baik akan dapat menciptakan suasana ruang dan lingkungan kerja yang nyaman, aman, tertibdan rapi, sehingga kepuasan dan keselamatan kerja akan dapat lebih ditingkatkan.   Mengurangi kesimpang-siuran Banyaknya material yang menunggu, gerakan yang tidak perlu, dan banyaknya perpotongan dari aliran proses produksi akan menyebabkan kesimpang-siuran yang akhirnya dapat mengakibatkan kemacetan. 4. Macam layout 1. Layout proses Yaitu proses pengaturan dan penempatan semua fasilitas pabrik seperti mesin dan peralatan yang memiliki karakteristik kerja yang sama atau memiliki fungsi yang sama ditempatkan pada satu departemen atau bagian, misalnya mesin bubut, mesin bor, mesin las, mesin sekrap dan lain sebagainya. 2. Layout produk Yaitu pengaturan tata letak fasilitas pabrik berdasarkan aliran dari produk tersebut. Tujuannya adalah untuk mengurangi proses pemindahan bahan dan memudahkan pengawasan dalam kegiatan produksi. Pabrik perakitan mobil, lemari pendingin, mesin cuci, televise, dan sebagainya.Dengan menggunakan layout produk ini, satu masalah yang tidak dapat dihindari adalah sulitnya realokasi operasi diantara pekerja untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan permintaan. 3. Layout kelompok
  • 26. 25 Adalah pengaturan tata letak fasilitas pabrik ke dalam daerah daerah atau kelompok mesin bagi pembuatan produk yang memerlukan pemrosesan yang sama. 4. Layout posisi tetap Yaitu pengaturan material atau komponen produk yang dibuat akan tinggal tetap pada posisinya, sedangkan fasilitas produksi seperti peralatan, perkakas, mesin-mesin, manusia, serta komponen-komponen kecil lainnya akan bergerak atau berpindah menuju lokasi material atau komponen produk utama tersebut. 5. Layout bentuk-U Adalah pintu masuk dan keluar bahan baku dan produksi akhir berada pada posisi yang sama. 6. Layout gabungan garis dan proses Yaitu penggabungan kedua tipe layout proses dan layout produk dengan cara menempatkan mesin-mesin dalam masing-masing departemen menurut tipe mesin yang sama atau menurut prinsip pengaturan berdasarkan proses. 7.Layout gabungan garis dan bentuk-U Untuk mengatasi angka pecahan dalam jumlah pekerja, dapat ditempuh dengan menggabungkan beberapa lini bentuk-U menjadi satu lini terpadu. 5. Prinsip-prinsip dasar penyusunan layout   Integrasi secara total Menyatakan bahwa tata letak fasilitas pabrik dilakukan secara terintegrasi dari semua faktor yang mempengaruhi proses produksi menjadi satu unit organisasi yang besar   Jarak perpindahan bahan paling minimun Waktu perpindahan bahan dari satu proses ke proses yang lain dalam suatu industri dapat dihemat dengan cara mengurangi jarak perpindahan tersebut seminimum mungkin.   Memperlancar aliran kerja Material diusahakan bergerak terus tanpa adanya interupsi atau gangguan schedule kerja.   Kepuasan dan keselamatan kerja Suatu layout yang baik apabila pada akhirnya mampu memberikan keselamatan dan keamanan dari orang yang bekerja di dalamnya.   Fleksibilitas
  • 27. 26 Suatu layout yang baik dapat juga mengantisipasi perubahan-perubahan dalam bidang teknologi, komunikasi maupun kebutuhan konsumen. Produsen yang cepat tanggap akan perubahan tersebut menuntut tata letak fasilitas pabrik diatur dengan memperhatikan prinsip fleksibilitas. 1.4 . TEKNOLOGI PRODUKSI A. Pengertian Teknologi merupakan ilmu yang menggali berbagai ilmu terapan. Teknologi juga sering dipakai untuk menyebut berbagai jenis peralatan yang mempermudah hidup kita. Jadi teknologi dapat beruwujud ilmu dapat pula berupa peralatan. B. Jenis teknologi 1. Teknologi peralatan rumah tangga Contoh teknologi peralatan rumah tangga adalah lampu, jam dinding, mesin cuci, mesin penghisap debu, kompor gas, kipas angin, pemotong rumput dan lain sebagainya. 2. Teknologi produksi Contoh teknologi produksi adalah mesin traktor, mesin pemintal benang, mesin penggiling padi, mesin pemotong kayu dan lain sebagainya. 3. Teknologi transportasi Contoh teknologi transportasi adalah sepeda motor, kereta api, mobil, kapal laut dan pesawat terbang. 4. Teknologi komunikasi Contoh teknologi komunikasi adalah radio, televisi, telepon dan internet. C. Perkembangan teknologi 1. Perkembangan teknologi produksi Teknologi produksi merupakan alat dan cara yang digunakan manusia untuk menghasilkan barang atau jasa. Meliputi teknologi produksi makanan dan obat-obatan, pakaian, dan bahan bangunan. 2. Perkembangan teknologi komunikasi Komunikasi merupakan kegiatan mengirim dan menerima pesan. Meliputi : Komunikasi lisan, tertulis, dan isyarat. 3. Perkembangan teknologi transportasi Transportasi sama dengan pengangkutan. Mengangkut adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Alat transportasi adalah alat yang digunakan untuk mengangkut penumpang atau barang. Dengan berkembanganya ilmu pengetahuan teknologi, transportasi sekarang mengalami perubahan pesat, baik transportasi darat, air, dan udara. D. . Kelebihan dan kekurangan teknologi Teknologi masa lalu maupun masa kini memiliki kelebihan dan kelemahan. 1. Teknologi masa lalu
  • 28. 27 Kelebihannya : memakai tenaga manusia, hewan, dan angin serta bebas polusi. Kelemahannya : lambat dan tidak praktis. 2. Teknologi masa kini Kelebihannya : cepat, mudah digunakan Kekurangannya : menimbulkan polusi 1.5 Mesindan Peralatan By Budi Wahyono On 9:24 AM Fasilitas produksi yang dominan di dalam pabrik adalah mesin dan peralatan. Untuk melakukan pembelian mesin atau peralatan, harus dipertimbangkan secara ekonomis dan disesuaikan dengan jumlah produksi barang atau jasa yang dihasilkan. Faktor-faktor yang mempenngaruhi pemilihan mesin atau peralatan adalah: 1. Kapasitas mesin 2. Kecocokan (compatibility) 3. Tersedianya peralatan pelengkap yang diperlukan 4. Keterandalan dan purna jual 5. Kemudahan persiapan dan instalasi, penggunaan dan pemeliharaan 6. Keamanan 7. Penyerahan 8. Keadaan pengembangan 9. Pengaruh terhadap organisasi yang ada. Faktor-faktor tersebut menjadi hahan pertimbangan manajer operasi sehingga tidak terjadi pembelian mesin yang kelebihan atau kekurangan beban dan terlalu mahal dibanding dengan tingkat produksi yang dihasilkan. Selain faktor pemilihan mesin, juga dipertimbangkan penentuan jumlah mesin karena terkait dengan jumlah sumber daya manusia yang dimiliki, khususnya operasi mesin, pertimbangan lain didasarkan pada ternis dan ekonomis. Dalam pembelian jumlah mesin, perlu dipertimbangkan: 1. Jumlah produksi yang direncanakan 2. Perkiraan jumlah produk cacat pada setiap proses produksi 3. Waktu kerja standard setiap unit produk dan jam operasi mesin. Jenis mesin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Mesin yang bersifat umum atau serbaguna
  • 29. 28 Mesin-mesin ini dapat digunakan untuk mengerjakan pelbagai macam pekerjaan. Misalnya mesin gergaji pada perusahaan pemotong kayu. 2. Mesin yang bersifat khusus Mesin bersifat khusus yaitu mesin-mesin yang penggunaannya hanya satu macam pekerjaan saja. Misalnya mesin pembuat gula pasir. Pada prakteknya sering kita jumpai perusahaan mengkombinasikan kedua jenis mesin tersebut, hal ini bertujuan agar dapat dicapai efisiensi penggunaan mesin. Automation Automation pertama kali dipakai oleh Delnar S. Harder dari Ford Motor Company untuk menyatakan suatu perpindahan yang otomatis dan bersifat terarah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Kebaikan automation bagi pengguna produk atau konsumen adalah sebagai berikut: 1. Kualitas produksi menjadi lebih baik, karena kesalahan yang disebabkan oleh manusia dapat dihindarkan, 2. Mengurangi pemborosan dan menekan biaya-biaya yang disebabkan oleh kelalaian manusia, 3. Memungkinkan dihasilkannya produk dalam jumlah besar dan bersifat standar, 4. Meningkatkan efisiensi produksi, 5. Menghemat waktu kerja. Automation, juga dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi manajemen, yaitu: 1. Tingkat kepastian terhadap pasar yang besar, karena produk yang dihasilkan secara besar-besaran, 2. Mesin tidak bersifat fleksibel, sehingga manajemen operasi tidak dapat merubah begitu saja mesin- mesin tanpa adanya penambahan biaya, 3. Diperlukan tenaga ahli yang benar-benar berpengalaman, sehingga mesin-mesin mampu dioperasikan dengan optimal. Penggunaan automation memerlukan ketelitian, ketepatan, dan kecermatan dalam pengoperasian, perencanaan dan analisa kemampuan manajemen yang lebih tinggi, karena permasalahan yang mungkin timbul lebih rumit serta resikonya lebih besar. Oleh karena itu, pemilihan penggunaan automation perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Produk yang dihasilkan cukup besar 2. Aliran bahan cukup besar 3. Persediaan bahan dalam proses cukup rendah melebihi jenis produksi secara terus-menerus 4. Kegiatan perawatan dilakukan secara prefentif. Dewasa ini produksi dan operasi adalah unsur penting dalam sebuah perusahaan. Kelangsungan hidup mati suatu perusahaan terdapat pada produksi dan operasinya. Perusahaan dapat berjalan sebagaimana seperti perusahaan lain jika dalam perusahaan tersebut ada kegiatan produksi dan operasi. Kegiatan produksi
  • 30. 29 dan operasi merupakan kegiatan menciptakan barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen. Kegiatan ini dalam banyak perusahaan melibatkan bagian terbesar dari karyawan dan mencakup jumlah terbesar dari asset perusahaan. Oleh karena itu, kegiatan produksi dan operasi menjadi salah satu fungsi utama perusahaan. Melalui kegiatan produksi dan operasi segala sumber daya masukkan perusahaan diintegrasikan untuk menghasilkan keluaran yang memiliki nilai tambah. Produk yang dihasilkan dapat berupa barang jadi, barang setengah jadi dan jasa. Bagi orientasi pada laba, produk ini akan dijual untuk memperoleh keuntungan. Hal baku dalam hal ini adalah sebagai bagian dari aktifa yang meliputi bahan baku, ataupun barang setengah jadi yang akan mengalami suatu proses produksi. Pada prinsipnya persediaan bahan baku ditujukan untuk mempermudah atau memperlancar jalannya jalannya operasi perusahaan yang harus dilakukan secara berurutan dalam upaya memproduksi barang jadi atau produk.Sesuai dengan tujuan semula yaitu melancarkan proses produksi yang efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan akan ketersediaan bahan baku, dengan jumlah tidak terlalu besar, sehingga biaya yang ditimbulkan relatif kecil. Tetapi uga tidak terlalu sedikit, sehingga mengganggu jalannya proses produksi. Karena itu diperlukan pengelolaan yang berorientasi mengurangi terjadinya resiko. Manajemen operasional adalah bentuk pengelolaan secara menyeluruh dan optimal pada masalah tenaga kerja, barang-barang seperti mesin, peralatan, bahan-bahan mentah, atau produk apa saja yang sekiranya bisa dijadikan sebuah produk barang dan jasa yang biasa dijual belikan. Selanjutnya, secara definisi, manajemen operasional juga sebagai penanggung jawab dalam sebuah organisasi bisnis yang mengurusi persoalan produksi. Baik dalam bidang barang atau jasa. Dilihat dari definisi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, fungsi manajemen operasional, yakni dalam hal pengambilan keputusan mengenai kebutuhan-kebutuhan operasional. Kedua, manajamen operasional juga harus memperhatikan mengenai sistemnya. Terutama sistem transformasi. Sistem ini termasuk juga dalam sistem pengurusan mengenai membuat rancangan serta analisis dalam operasi nanti. Yang ketiga mengenai hak pengambilan keputusan dalam sebuah manajemen operasional Pendidikan vokasi/kejuruan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memainkan peran yang sangat strategis bagi terwujudnya tenaga kerja yang terampil. Dari berbagai kajian bahwa peluang untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari suatu negara akan semakin besar jika didukung oleh SDM yang memiliki: (1) pengetahuan dan kemampuan dasar untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dinamika perkembangan yang tengah berlangsung; (2) jenjang pendidikan yang semakin tinggi; (3) keterampilan keahlian yang berlatar belakang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); dan (4) kemampuan untuk menghasilkan produk-produk baik dari kualitas maupun harga, mampu bersaing dengan produk-produk lainnya di pasar global. Berdasarkan data dari Badan Statistik Nasional (BPS) tahun 2011, terdapat 82,1 juta tenaga kerja Indonesia diisi kelompok unskill workers (pekerja yang tidak punya skill atau kompetensi di bidangnya).
  • 31. 30 Kelompok unskill workers ini mayoritas adalah lulusan sekolah umum. Sedangkan kelompok di atasnya diisi skill workers (pekerja dengan skill atau kompetensi dibidangnya) sebesar 20,4 juta orang. Serta komposisi teratas merupakan pekerja expert (ahli) dengan 4,8 juta orang. Melihat kondisi seperti ini Indonesia akan sulit bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi dan persaingan yang ketat sekarang saat ini maupun di masa yang akan datang. Berdasarkan kenyataan tersebut, menjadi tanggung jawab dunia pendidikan khususnya pendidikan vokasi untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten. Oleh karena itu kompetensi yang akan dikembangkan melalui proses pembelajaran harus merujuk pada kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri. Salah satu mata kuliah di perguruan tinggi yang sangat penting dan strategis untuk pembentukan kompetensi adalah mata kuliah praktik. Oleh sebab itu dipandang sangat penting untuk selalu meningkatkan mutu proses pembelajaran praktik. Berdasarkan prasurvei yang telah dilaksanakan di industri manufaktur, diperoleh informasi bahwa proses pembuatan satu unit produk memerlukan kolaborasi (kerja sama) dari berbagai keterampilan (collaborative skill). Tanpa kerja sama yang baik maka hasil akhir dari produk yang diharapkan tidak dapat tercapai. Salah satu upaya untuk menanamkan sikap dan perilaku peserta didik terkait dengan kompetensi yang dituntut oleh dunia industri tersebut adalah dengan mengembangkan model pembelajaran praktik melalui pendekatan collaborative skill. Pembelajaran berbasis kompetensi sangat relevan untuk dilaksanakan dalam pendidikan vokasi. Hal ini sesuai dengan tujuan utama dari pendidikan vokasi untuk memberikan kompetensi khususnya kompetensi produktif kepada peserta didik sehingga menjadi lulusan yang siap pakai atau siap kerja. Oleh sebab itulah agar pembelajaran yang diselenggarakan dapat berjalan dengan efektif dan efisien, maka diperlukan inovasi pengajar dalam menerapkan dan mengembangkan metode atau model pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri tidak hanya satu kompetensi saja, melainkan gabungan (kolaborasi) dari beberapa kemampuan sehingga dihasilkan satu unit produk tertentu. Hal ini memberikan masukan bahwa model pembelajaran maupun materi pembelajaran yang diberikan dalam proses pembelajaran di kampus harus menyesuaikan dengan apa yang dijalankan di industri tersebut. Agar proses pembelajaran di kampus sinkron dengan apa yang terjadi di dunia industri, maka perlu dilakukan pengembangan model pembelajaran kolaboratif dalam proses pembelajaran praktik. Sesuai uraian di atas, maka penting untuk dilakukan pengembangan model pembelajaran praktik yang berbasis collaborative skill di perguruan tinggi. Pengembangan model pembelajaran praktik berbasis collaborative skill ini dipandang layak dan penting untuk dilakukan karena memiliki kelebihan diantaranya: 1) tersedianya seperangkat pembelajaran, antara lain: materi pembelajaran, lembar kegiatan belajar (handout/jobsheet), strategi pembelajaran, tersedianya evaluasi pembelajaran praktik yang bercirikan pendekatan collaborative
  • 32. 31 skill; 2) memberikan arah yang jelas bagi pengajar dalam strategi pencapaian kompetensi oleh peserta didik, dan 3) memperluas wawasan dalam kaidah-kaidah pembelajaran. Disamping hal tersebut, pelaksanaan pembelajaran praktik dengan pendekatan collaborative skill memiliki keutamaan diantaranya: 1) membiasakan peserta didik dengan iklim dan sistem kerja di industri, 2) kompetensi yang diharapkan dalam proses pembelajaran dapat dikuasai oleh peserta didik secara maksimal, 3) penyampaian kompetensi dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dalam rangka menciptakan lulusan yang siap pakai, 4) membentuk budaya kerja sama dalam proses pembelajaran praktik sehingga motivasi belajar peserta didik meningkat, 5) meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Model pembelajaran praktik dengan pendekatan coollaborative skill ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap output dan outcome dalam pembelajaran, oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran praktik untuk menghasilkan lulusan yang benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar kerja. A. Pengertian pendidikan kejuruan Menurut Evans (dalam Muliaty, 2007: 7) pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lain. Sebelumnya, Hamalik (2001:24) menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan. Lebih lanjut, Djohar (2007:1285) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan yang menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja profesional dan siap untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Karakteristik pendidikan kejuruan menurut Djohar (2007:1295-1297) adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk menyiapkan penyediaan tenaga kerja. Oleh karena itu orientasi pendidikan kejuruan tersebut mengarah pada lulusan yang dapat dipasarkan di dunia kerja. 2. Justifikasi pendidikan kejuruan mengacu pada kebutuhan nyata tenaga kerja di dunia usaha dan industri. 3. Pengalaman belajar yang didapatkan melalui pendidikan kejuruan meliputi aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik yang diterapkan baik pada situasi simulasi kerja melalui proses belajar mengajar, maupun situasi kerja yang nyata dan sebenarnya. 4. Keberhasilan pendidikan kejuruan diukur dari dua kriteria, yaitu keberhasilan siswa di sekolah (in- school success), dan keberhasilan siswa di luar sekolah (out-of school success. Kriteria pertama meliputi keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler, sedangkan kriteria kedua
  • 33. 32 ditunjukkan oleh keberhasilan atau kinerja lulusan setelah berada di dunia kerja yang nyata dan sebenarnya. 5. Pendidikan kejuruan memiliki kepekaan/daya suai (responsiveness) terhadap perkembangan dunia kerja. Oleh karena itu pendidikan kejuruan harus dapat responsif dan proaktif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan menekankan pada upaya adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi prospek karir anak didik dalam jangka panjang. 6. Bengkel kerja dan laboratorium merupakan kelengkapan utama dalam pendidikan kejuruan, untuk dapat mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif. 7. Hubungan kerjasama antara lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia usaha dan industri merupakan suatu keharusan, seiring dengan tingginya tuntutan relevansi program pendidikan kejuruan dengan tuntutan dunia usaha dan industri. B. Landasan filosofi pendidikan kejuruan Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filsafat yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya dengan sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan moral. Landasan filosofis yang mendasari pendidikan kejuruan, harus mampu menjawab dua pertanyaan : pertama, Apa yang harus diajarkan? dan kedua, Bagaimana harus mengajarkan? (Calhoun dan Finch, 1982). Chalhoun dan Finch menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental pendidikan kejuruan adalah individu dan perannya dalam suatu masyarakat demokratik, serta peran pendidikan dalam transmisi standar sosial. Secara umum juga dikatakan bahwa filsafat pendidikan merupakan rohani atau spiritual sistem pendidikan nasional. Pendidikan kejuruan yang berkembang telah banyak ditandai dengan pesatnya perkembangan fasilitas fisik untuk melayani kebutuhan banyak orang dalam lingkup pendidikan kejuruan yang makin luas. Filosofi memandang pendidikan kejuruan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas penyiapan orang untuk bekerja atau mandiri, maka menuntut adanya jenis pendidikan yang dapat menyediakan berbagai alternatif pilihan itu, dan untuk hal tersebut yang paling tepat adalah pendidikan kejuruan itu sendiri. Pernyataan Hornby yang dikutip Soeharto (1988) mengatakan bahwa filosofi adalah mempelajari berbagai prinsip yang mendasari aksi dan tinggkah laku manusia. Miller (1986, 3) menyatakan bahwa: phylosphys defined as a conceptual frame work for synthesis and evaluation that represents a system of values to serve as a basis for making decisions that projects vocation’s future.
  • 34. 33 Secara khusus filosofi pendidikan kejuruan menurut Miller (1986) mempunyai tiga elemen pokok, yaitu: nature of reality, truth, and value. Sehingga falsafah pendidikan kejuruan merupakan artikulasi sebagai dasar asumsi yang meliputi kenyataan, kebenaran dan tata nilai. Pertama, landasan falsafah memandang adanya ketentuan-ketentuan yang diperlukan oleh peserta didik dan strategi apa yang sesuai dengan kebutuhan anak didik. Kedua, asumsi tentang perwujudan atau kenyataan tentang kebenaran untuk memeberikan tuntunan dalam membentuk kurikulum pendidikan kejuruan. Ketiga, kemudian dengan materi yang telah diyakini kebenaran sesuai dengan falsafahnya, lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pengajaran dengan benar, dan falsafah dapat memberikan kepercayaan secara penuh dalam kebenaran pengetahuan yang diberikan. C. Perkembangan dan tantangan pendidikan kejuruan a. Sebelum kemerdekaan Pendidikan kejuruan di Indonesia telah berumur lebih 150 tahun. Sejarah pendidikan teknik dan kejuruan di Indonesia diawali dengan didirikannya Ambacht School van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Sekolah ini terutama ditujukan untuk laki-laki keturunan Eropa khususnya Belanda, dari golongan miskin yang tinggal di Hindia Belanda ketika itu.Pada akhir abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu lembaga pendidikan di Jakarta dengan nama Ambacht Leergang. Kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan pembukakan lembaga pendidikan bernama Koningin Welhelmina School (KWS) yang para siswanya terdiri atas tamatan Europeese School yang diperuntukan khusus untuk orang-orang Eropa. Pendidikan teknik dan kejuruan tingkat pertama di Indonesia menjelang akhir masa penjajahan Belanda hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945) terdiri atas: Ambacht Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja tukang, Ambacht School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi, dan Technische School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.Ketiga jenis lembaga pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan sesudah Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-perubahan nama dan beberapa perubahan kurikulum. Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut pengetahuan teknik dan kejuruan. b. Pasca kemerdekaan Pada masa kemerdekaan, Ambacht Leergang dikenal dengan Sekolah Pertukangan (SPT), Ambacht School menjadi Sekolah Pertukangan Lanjutan (SPL), dan Technische School sebagai Sekolah Teknik (ST), sedangkan THS menjadi Institut Teknologi Bandung(ITB).Lama pendidikan SPT adalah 2 tahun setelah SD 6 tahun. SPL adalah 1 tahun setelah SPT, SPT adalah 4 tahun yang kemudian menjadi 3 tahun setelah SD. Lembaga pendidikan teknik dan kejuruan berkembang menjadi lembaga pendidikan kejuruan yag mempunyai peran sentral dalam penyediaan tenaga tukang yang terampil dan teknisi tingkat pertama.
  • 35. 34 Jurusan-jurusan yang dibuka pada lembaga pendidikan teknik tersebut didasarkan atas penggolongan jabatan (job description) dan analisis pekerjaan (job analysis) beserta persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).Dengan melihat sejarah tersebut, berarti sekolah teknik dan kejuruan baru dibuka 317 tahun setelah pertama yang didirikan oleh Portugis dan 246 tahun setelah sekolah pertama didirikan oleh VOC/ Belanda.Dengan demikian, hingga saat ini sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia 1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada tahun 1940 terdapat sekitar 88 sekolah kejuruan di Indoneasia dengan 13.230 siswa, umumnya dalam bidang pertukangan, teknik, dan pertanian. c. Era reformasi Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pendidikan teknik dan kejuruan berkembang pesat. Pemerintah sendiri saat ini sedang menggalakkan peran SMK yang lebih diminati masyarakat karena berorientasi pada pekerjaan.Kebijakan pemerintah antara lain sesuai rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 dinyatakan bahwa rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Kebijakan ini diharapkan dapat memecahkan salah satu permasalahan pengangguran. Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan tenaga terampil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia industri. Kebijakan ini dilandasi dengan semakin meningkatnya angka pengangguran serta semakin terbukanya sektor-sektor formal dan informal yang membutuhkan tenaga kerja menengah yang berkualitas.Karena berhadapan langsung dengan dunia kerja. Proporsi jumlah SMK 70%, SMA 30% dinegeri ini sepertinya cocok jika dikaitkan kemampuan melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah dunia kerja yg akan menampung lulusan SMK harus siap meskipun untuk memasukinya lulusan SMK perlu masih perlu dilatih. Perkembangan masyarakat industri dan pasca industri membuat banyak negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, menjadi sekaligus berada di bawah empat proses perkembangan sosial- ekonomi yang mendasar. Keempat proses ini sama-sama menimbulkan dampak yang demikian kuat sehingga dapat mengubah seluruh tatanan kehidupan masyarakat sejak abad ke-21 yang umumnya dikenal sebagai permulaan era globalisasi. Pengaruh utama dari proses-proses globalisasi adalah keterbukaan, demokratis, dan persaingan dalam konteks kerja sama, dominasi kecerdasan intelektual (rasio atau nalar), dan sekularisme. Proses asimilasi sudah mulai terlihat sejak dekade terakhir abad ke-20 (Naisbit, 1995:88) sebagai bagian dari globalisasi, pengaruh Asia, terutama Asia Timur, Selatan dan Tenggara menjadi semakin kuat dan mendunia. Perubahan mendasar yang dibawa proses ini adalah percaya diri Asia yang semakin kuat dan pengaruh budaya Asia ke Barat dan Bagian dunia lainnya. Beberapa pengaruh utama dari proses sistem informasi yang semakin canggih adalah semakin sarat-derasnya arus informasi, perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional,
  • 36. 35 simplifikasi, efisiensi, dan efektivitas dalam komunikasi, bahasa menjadi kebutuhan pokok, kemandirian memperoleh pengetahuan, dan perubahan sifat lembaga pendidikan (Tampubolon, 2001:11). Untuk menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan dituntut untuk semakin berperan dalam memberikan pelayanan, khususnya menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan dan mampu bersaing dalam situasi global. Sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan daya saing tingkat tinggi, terutama yang dicapai melalui sistem pendidikan yang bermutu, merupakan faktor yang paling menentukan untuk dapat memenangkan persaingan dalam era globalisasi. Uraian-uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan lembaga pendidikan dalam menghasilkan tenaga-tenaga akademik maupun profesional untuk merespon berbagai tantangan kehidupan dalam era globalisasi. Zamroni (2000:90) mengemukakan bahwa permasalahan mulai dari krisis moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi. Salah satu upaya untuk merespon dampak globalisasi adalah pentingnya mempertimbangkan suatu paradigma baru bagi pendidikan (Sidi, 2003: 23-25). Untuk menuju suatu masyarakat belajar (Learning Society), pendidikan yang lebih berorientasi pada teaching (mengajar) menjadi lebih berorientasi pada learning (belajar). Paradigma Learning ini jelas terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO, yaitu, belajar berpikir (Learning to know), belajar keterampilan dalam kehidupan (Learning to do), belajar hidup bersama (Learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (Learning to be). Oleh karena itu, reformasi pendidikan harus dilakukan untuk memenuhi isu manajemen pendidikan yang sesuai dengan tuntutan globalisasi, paling sedikit ada tiga pandangan filosofis yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengembangan atau reformasi pendidikan (Berquist, 1995), yaitu elistisme, populisme, dan integralisme. 1. Pandangan pertama, Elitisme, memandang bahwa pendidikan sangat penting terutama untuk mempertahankan tradisi kebangsawanan dan penyebaran agama, dan tujuan adalah mutu, bukan pemerataan. Elitisme modern memandang bahwa mutu tidak semata-mata berkaitan dengan keuangan, melainkan mutu dikaitkan dengan pemerataan, kelompok elit adalah kelompok the have. Dalam elitisme modern, pembatasan memperoleh pendidikan bukan lagi didasari faktor keturunan yang berkaitan dengan status sosial, melainkan pada kemampuan akademik dan kemampuan mutu, tetapi kemampuan khususnya kurang dalam pembiayaan. Karena itu, di samping kemampuan akademik, kemampuan ekonomi menjadi satu sarat penting dalam penerimaan siswa baru. 2. Pandangan kedua,
  • 37. 36 Populisme, timbul dan berkembang dalam era modern masyarakat industri. Setelah revolusi industri, berkembang liberalisme yang mendorong perkembangan demokrasi, egalitarianisme, Individualisme dan sekularisme. Populasi memandang bahwa pendidikan harus diberikan kepada semua warga masyarakat. Tujuan utama pendidikan adalah pemerataan untuk merespon tuntutan industrialisasi. 3. Pandangan ketiga, Integralisme, timbul dan berkembang dalam dekade akhir era modern dan terus berkembang dalam era pasca industri (pascamodern). Penyelenggaraan pendidikan menurut pandangan ini bertujuan untuk mutu dan pemerataan. Keduanya harus terpadu atau terintegritaskan dalam penyelenggaraan pendidikan. Mutu berarti kesesuaian dengan kebutuhan. mutu pendidikan adalah kesesuaian produknya dengan kebutuhan siswa, masyarakat dan dunia kerja. Reformasi pendidikan, khususnya bidang kejuruan menuntut suatu kerangka berpikir baru atau paradigma baru dalam manajemen pendidikan, tujuan paradigma baru dalam manajemen pendidikan adalah untuk meningkatkan mutu dengan memasukkan asas otonomi pendidikan untuk membuat sistemnya menjadi lebih dinamis, akuntabilitas agar otonomi terselenggarakan secara bertanggung jawab, akreditasi untuk menjamin mutu lulusan, dan evaluasi diri agar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan atas data dan informasi empiris (Jalal & Supriadi, 2001:363). Pendidikan yang bermutu mempersiapkan SDM yang bermutu mutlak diperlukan untuk merespon tantangan kehidupan abad ke-21. Dalam konteks ini perlu diimplementasikan paradigma baru pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu hendaknya diaplikasikan asas integralisme dan prinsip- prinsip filosofis total quality management (TOM) atau manajemen mutu terpadu (MMT). Hal ini sejalan dengan kebijakan pembaharuan atau reformasi pendidikan yang ditetapkan MPR dalam GBHN 2009, (1) mutu dan pemetaan sama-sama diperhatikan; (2) pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan dengan mengingatkan anggaran pendidikan secara berarti, termasuk kesejahteraan para guru, dan (3) program-program pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, nasional, regional dan global. A. State of the art 1. Pendidikan kejuruan/vokasi Berdasarkan Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; tujuan pendidikan kejuruan/vokasi secara spesifik adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan peserta didik untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai program kejuruannya agar dapat bekerja secara efektif dan efisien, mengembangkan keahlian dan keterampilannya, menguasai bidang keahlian dan dasar-dasar ilmu pengetahuan serta teknologi, memiliki etos kerja tinggi, berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan dalam mengembangkan diri. Rumusan tersebut mempunyai makna bahwa tugas pendidikan kejuruan adalah mempersiapkan sumber
  • 38. 37 daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya, mampu mandiri membuka usaha, mampu beradaptasi dengan cepat sesuai tuntutan teknologi, dan mampu berkompetisi. Secara subtansial pendidikan kejuruan bertugas membentuk peserta didik agar memiliki kemampuan, wawasan, dan keterampilan di bidang industri yang baik, dan menguasai konsep-konsep engineering di industri. Menurut Calhoun and Finch, (1976: 2), bahwa pengertian pendidikan kejuruan dikembangkan dari terjemahan konsep vocational education (pendidikan vokasi) dan occupational education (pendidikan keduniakerjaan), yang berarti suatu program pendidikan yang secara langsung dihubungkan dengan persiapan seseorang untuk memasuki dunia kerja, atau untuk persiapan tambahan yang diperlukan dalam suatu karir. Lebih lanjut menurut Finch dan Crunkilton (1979: 2) pendidikan kejuruan diartikan sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat bekerja guna menopang kehidupannya. Menurut Hoachlander dan Kaufman (1992) pakar pendidikan dari NCES (National Center for Education Statistics) USA: vocational education is intended to help prepare students for work, both inside and outside the home, many educators believe it has a broader mission: to provide a concrete, understandable context for learning and applying academic skills and concepts (http://nces.ed.gov/pubs92/ 92669.pdf.10-2012) Berdasarkan pendapat tersebut berarti bahwa pendidikan vokasi diperlukan untuk menyiapkan peserta didik agar siap kerja baik di dalam lingkungan maupun di luar lingkungan masyarakat, maka misi utama para pendidik dan pembuat kebijakan adalah menyiapkan pondasi yang kuat dalam proses belajar mengajar bagi para peserta didik untuk penguasaan dan penerapan keterampilan akademis maupun konsep- konsep yang diperlukan untuk menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Menurut Wardiman (1998) karakteristik pendidikan vokasi memiliki ciri: 1) diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja, 2) diadasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja), 3) ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, 4) penilaian terhadap kesuksesan peserta didik harus pada “hands-on” atau performa dunia kerja, 5) hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan vokasi, 6) bersifat responsive dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi, 7) lebih ditekankan pada “learning by doing” dan hands-on experience, 8) memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik, 9) memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar daripada pendidikan umum. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, jelas bahwa titik berat pendidikan kejuruan adalah membekali peserta didik dengan seperangkat keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang dapat digunakan untuk bekerja dalam bidang tertentu atau mengembangkan diri sesuai bidang keahliannya. Dengan demikian, penyusunan standar kompetesi yang sesuai dengan bidang-bidang keahlian tertentu sangat dibutuhkan sebagai refleksi atas kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh setiap lulusan pendidikan kejuruan. Sehingga ke depan pendidikan kejuruan memberikan andil besar terhadap kemajuan