2. 1. Karma hanya dianggap sebagai hal
yang buruk saja.
• Pandangan ini beranggapan bahwa karma hanya dianggap sebagai
hasil yang buruk saja yang menimpa seseorang yang telah
melakukan perbuatan buruk. Pandangan keliru (miccha ditthi) ini
terjadi karena adanya kerancuan antara kamma (perbuatan) dengan
kamma vipaka (hasil perbuatan) dan pemahaman yang salah
terhadap karma. Padahal, karma yang berarti perbuatan sedangkan
hasilnya disebut vipaka, tidak hanya berhubungan dengan
perbuatan buruk ataupun akibat buruk semata, tetapi juga
perbuatan baik ataupun akibat yang baik. Karma vipaka (hasil
perbuatan) tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang buruk tetapi
juga hal-hal yang baik yang dialami oleh seseorang. Contoh:
seseorang gemar berdana sehingga ia dihormati oleh setiap orang.
Gemar berdana adalah karma baik dan dihormati orang lain
merupakan kamma vipaka (hasil perbuatan) yang baik.
3. 2. Kamma vipaka (hasil karma) dianggap sebagai nasib atau
takdir yang tidak bisa diubah.
• Pandangan ini dikatakan keliru karena Ajaran Buddha tidak
mengajarkan paham takdir (Niyativada), juga tidak mengajarkan
paham bebas bertindak (Attakiriyavada), tapi suatu kehendak
berprasyarat (Inggris: conditioned).
• jika hal itu terjadi maka seseorang tidak akan dapat bebas dari
penderitaan-nya. Padahal seseorang dapat mengubah apa yang
sedang ia alami. Selain itu, Guru Buddha telah mengajarkan
mengenai viriya atau semangat membaja yang berguna untuk
mengatasi segala kesulitan. Sebagai contoh, seseorang yang lahir
dalam keluarga yang kekurangan (miskin) karena kamma kehidupan
lampau yang buruk yang telah ia lakukan dikehidupan yang lalu, ia
dapat mengubah kondisi yang dialaminya tersebut dengan bekerja
keras sehingga ia tidak lagi hidup dalam kemiskinan.
4. 3. Prinsip kerja hukum karma adalah mata dibayar
mata, nyawa dibayar nyawa
• Pandangan ini beranggapan bahwa karma akan selalu
menghasilkan bentuk yang sama dengan hasil
perbuatan (kamma vipaka), membunuh maka akan
akan dibunuh, mencuri maka akan dicuri, menipu maka
akan ditipu, dan sebagainya. Pandangan ini keliru
karena karma memiliki karakter yang dinamis dan tidak
lepas dari kondisi-kondisi yang ada, sehingga tidak
selamanya bentuk dari hasil karma akan sama dengan
bentuk karmanya. Tetapi yang dapat dipastikan adalah
sifatnya, dimana karma yang sifat buruk pasti akan
menghasilkan hal yang sifatnya juga buruk, karma baik
pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga baik.
5. 4. Karma orang tua diwarisi oleh
anaknya
• Pandangan ini beranggapan bahwa orang tua yang melakukan karma
buruk maka hasilnya (vipaka) akan di terima oleh anaknya atau keluarga
lainnya.
• Pandangan ini keliru karena prinsip kerja karma adalah siapa yang
melakukan perbuatan maka ia akan yang menerima hasilnya. Dalam
Cullakammavibhanga Sutta; Majjhima Nikaya 135, Sang Buddha bersabda:
• “Semua mahluk hidup mempunyai kamma sebagai milik mereka, mewarisi
kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan
kammanya sendiri, dilindungi oleh kammanya sendiri. Kamma itulah yang
membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi.”
• Dalam kasus tertentu terlihat sepertinya orang tua yang melakukan karma
buruk dan anaknya yang mengalami penderitaan. Hal ini bukan berarti
karma buruk orang tua diwarisi oleh anaknya, tetapi ini lebih berarti
bahwa karma buruk orang tua tersebut memicu karma buruk si anak
untuk berbuah. Dengan kata lain seseorang akan menerima akibat dari
karmanya sendiri, tetapi karmanya dapat mempengaruhi atau
mengkondisikan karma orang lain untuk berbuah.
6. 5. Segala sesuatu yang terjadi pada saat ini adalah
akibat dari perbuatan pada kehidupan lampaunya.
• Pandangan ini beranggapan bahwa setiap kejadian yang kita alami; tersandung,
jatuh sakit, menang undian, terlahir tampan, semuanya adalah hasil Karma lampau
semata-mata. Dengan alasan yang sangat tepat Sang Buddha menolak
kepercayaan salah tersebut. Sebab bila demikian halnya, maka sia-sia untuk
berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, sebab keseluruhan hidup telah
ditentukan sebelumnya. Pengertian salah seperti inilah yang membuat seseorang
bersikap apatis/ pasrah dan tak bersemangat untuk berupaya memperbaiki karma
buruknya.
• Pada Angutta Nikaya I: 173, Sang Buddha bersabda: ”Ada beberapa pertapa dan
kaum Brahmin, yang memercayai dan mengajarkan bahwa apapun yang dialami
seseorang, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semua disebabkan oleh
kamma lampau.. Aku menemui mereka dan bertanya apakah benar mereka
mengajarkan hal yang demikian, mereka ternyata mengiyakan.
• Aku berkata: “Bila demikian, tuan yang terhormat, seseorang membunuh, mencuri
dan berzina disebabkan kamma lampau. Mereka berbohong, berfitnah, berkata
kasar dan tak berharga disebabkan kamma lampau. Mereka menjadi serakah,
membenci, dan penuh pandangan salah disebabkan kamma lampau? Mereka yang
mendasarkan segala sesuatu pada kamma lampau sebagai unsur penentu, akan
kehilangan keinginan dan usaha untuk berbuat ini atau tak berbuat itu.”
7. 6. Karma maupun vipaka (hasil karma)
ditentukan oleh Tuhan.
• Pandangan ini beranggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami
seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak
lain merupakan kehendak Tuhan.
• Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi maka semua perbuatan dan
semua yang dialami seseorang tidak lain hanya merupakan kehendak
tuhan, sehingga seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan
menjadi “boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan
akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan
pengendalian diri.
• Hal ini telah dibabarkan oleh Sang Buddha dalam Tittha Sutta; Anguttara
Nikaya 3: 61:
• ”jika memang demikian, maka seorang pembunuh, perampok, pencuri
atau pelacur tidak perlu bertanggung jawab terhadap semua perbuatan
buruknya atau dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan jahatnya,
karena semua perbuatannya adalah atas kehendak Tuhan.”
8. 7. Karma buruk dikehidupan lampau
dapat dihilangkan/ dihapuskan
• Pandangan ini beranggapan bahwa karma (perbuatan)
buruk yang telah dilakukan seseorang, dapat
dihilangkan/ dihapuskan.
• Pandangan ini keliru karena bagaimanapun juga
perbuatan buruk itu telah dilakukan dan telah terjadi,
sehingga akibat dari perbuatan buruk itu pasti akan
diterimanya dan tidak dapat dihapuskan.
• Sebagai contoh, Sang Buddha sendiri tetap menerima
hasil dari karma buruk kehidupan lampau-Nya berupa
terlukanya kaki Beliau karena batu yang digulingkan
oleh Devadatta.
9. • Jika karma kehidupan lampau bisa dihapuskan maka Sang Buddha
pasti dengan mudah menghilangkannya dan kaki Beliau tidak akan
terluka.
• Karma masa lampau tetap akan menimbulkan hasilnya seperti yang
telah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Lonaphala Sutta;
Anguttara Nikaya 3.99, dengan menggunakan perumpamaan garam
yang sama banyaknya, yang satu dimasukkan ke dalam air di cangkir
dan dan yang lain ke dalam Sungai Ganga. Garam diibaratkan
sebagai karma buruk dan air adalah karma baik. Ketika garam
dimasukan ke dalam sebuah cangkir maka rasa garam tersebut akan
terasa asin. Sedangkan garam yang jumlahnya sama dimasukan ke
dalam sungai, maka air sungai tersebut tidak akan terasa asin. Jadi
karma buruk kehidupan lampau akan memberikan hasil/ dampak
tetapi dengan adanya karma baik yang banyak yang dilakukan pada
masa sekarang maka dampak dari karma buruk tersebut menjadi
berkurang bahkan tidak terasa.
10. 8. Hukum Karma hanya berlaku bagi orang yang
memercayainya sesuai dengan agama yang dipeluknya.
• Pandangan ini keliru, karena Hukum Karma
sesungguhnya adalah merupakan hukum alam yang
bersifat universal, yang memercayainya ataupun yang
tidak memercayainya, tak peduli apapun agama dan
kepercayaan yang dianutnya akan tetap menerima
akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pikiran,
ucapan dan tubuh jasmaninya sendiri.
• Demikian pula bagi seseorang yang tidak percaya pada
kehidupan masa lampau dan hukum Karma, tetap bisa
berbahagia sebagai hasil dari perbuatan baiknya
dimasa lampau.