Dokumen tersebut membahas pentingnya merahsiakan amalan kebaikan agar terhindar dari riya'. Beberapa tokoh salaf menganjurkan untuk menyembunyikan amalan sholih agar terhindar dari niat campur aduk. Imam al-Iz bin Abdus Salam membedakan tiga jenis amalan - yang wajib ditampakkan, yang lebih utama disembunyikan, dan yang boleh disembunyikan maupun ditampakkan tergantung kondisi. Dokumen juga
12. Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan,
“Barangsiapa yang mampu menyembunyikan
amalan sholihnya, maka lakukanlah.”
Ibnul Mubarak mengatakan, “Jadilah orang
yang suka mengasingkan diri (sehingga
amalan mudah tersembunyi, pen), dan
janganlah suka dengan popularitas.”
13. Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak
suka menampakkan amalan sholih yang
seharusnya disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu
Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan
kebaikanmu sebagaimana engkau
menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
14. Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,“Sebaik-
baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang
tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya
orang-orang semisal kita menampakkan amalan
sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut
kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah
terserang penyakit riya’?”
15. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah
sepatutnya bagi seorang alim memiliki
amalan rahasia yang tersembunyi, hanya
Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya.
Karena segala sesuatu yang ditampakkan di
hadapan manusia akan sedikit sekali
manfaatnya di akhirat kelak.”[2]
[2] Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al
‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H.
16. Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara
lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan (pada Allah) ada tiga:
Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika
shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika
berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah,
merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka
amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat
riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam
beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena
kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang
lain.
Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika
ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan
ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika
dijahrkan.
Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah.
Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia
akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
ْمُكَل ٌْريَخ َوُهَف َءا َرَقُفْال َاهوُتْؤُت َو َاهوُفْخُت ْنِإ َو
“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
17. Amalan yang Tercampur Riya’
1. Jika riya’ ada dalam setiap ibadah, maka itu hanya ada pada orang munafik dan
orang kafir.
2. Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.
3. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya
pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.
4. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari
awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya
dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal.
niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.
5. Jika niat awalnya sudah ikhlas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian
orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang
disegerakan bagi orang beriman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[1]
[1] Disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih dalam Syarh
Arba’in An Nawawiyah, hadits pertama.
18.
19. Dari Yazid bin Abdullah bin asy-Syikhkhir, dia
menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang
bertanya kepada Tamim ad-Dari, “Bagaimana sholat
malammu?”. Maka beliau pun marah sekali, beliau
berkata, “Demi Allah, sungguh satu raka’at yang aku
kerjakan di tengah malam dalam keadaan rahasia itu
lebih aku sukai daripada aku sholat semalam suntuk
kemudian hal itu aku ceritakan kepada orang-
orang.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 234)