1. PERUBAHAN STRATEGI PENJAJAHAN
Berkaitan dengan perubahan strategi (uslub) penjajahan,
menjelang berakhirnya perang Dunia II, muncul kesadaran di
kalangan orang-orang yang memahami percaturan politik
internasional, bahwa penjajahan/imperialism harus dihapuskan.
Sebab, serangan Rusia atas sistem penjajahan itu telah melemahkan
penjajahan itu sendiri. Saat sekutu meraih kemenangan dalam
Perang Dunia II, maka di antara program Rusia adalah melanjutkan
serangan terhadap sistem kapitalisme, imperialism Barat,
menggerakkan penduduk tanah jajahan agar melakukan
revolusi/pemberontakan sekaligus merekayasa sejumlah peristiwa
agar merepotkan negara-negara Barat. Karena itulah, Amerika mulai
berfikir bahwa untuk melestarikan penjajahannya tidak ada cara lain
untuk mengambil kembali daerah-daerah jajahannya dari sisa-sisa
Negara terjajah kecuali dengan strategi yang baru tersebut.
Terkait hal ini, John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri AS
saat itu, dalam bukunya, Perang dan Damai (War and Peace), di
bawah judul, “Evolusi Penjajahan Barat sebagai Alternatif untuk
Menghadapi Revolusi yang Keras.” Menyatakan, “Sesungguhnya
kondisi imperialism Barat selalu diawasi oleh para pemimpin Uni
Sovyet sebagai sebuah titik incaran. Pada titik ini Sovyet bisa
melancarkan pukulan mematikan.”
Ia menambahkan, “Saat menjelang berakhirnya Perang
Dunia II, satu-satunya kondisi politik yang mendapatkan perhatian
serius adalah kondisi daerah-daerah jajahan. Jika Negara-negara
Barat mempertahankan daerah-daerah jajahannya dengan cara-cara
yang sudah ada, dapat dipastikan terjadinya pemberontakan
bersenjata, dan Barat pasti kalah. Karena itu, satu-satunya strategi
yang mungkin berhasil adalah dengan memberikan kemerdekaan
secara damai dan terhormat kepada 700 juta jiwa manusia yang
berada di bawah kekuasaan penjajahan Barat.”
Sejak itu, AS kemudian mengadopsi taktik baru ini untuk
mengembangkan imperialismenya (neo-imperialisme), mulai
menerapkan serta mulai mengikat Negara-negara yang dimerdekaan
dengan berbagai utang dan bantuan.
Memang pada saat awal, taktik baru penjajahan (neoimperialisme) ini terlihat samar bagi kebanyakan orang, karena
memang dibungkus dengan ‘topeng pembebasan dari cengkeraman
imperialisme’ dan ‘baju bantuan untuk membangun perekonomian
Halaman
7-10
Politik Ekonomi Islam _ Abdurrahman Al Maliki
2. negara’. Semua ini tidak banyak disadari kecuali oleh para pengamat
politik internasional.
Namun, setelah kemerdekaan Negara-negara Afrika secara
umum dan setelah peristiwa Kongo, neo-imperialisme ini sudah
mulai disadari oleh kebanyakan orang. Sungguh tampak jelas sekali
taktik baru AS dalam melancarkan imperialismenya. AS mengubah
taktiknya: dari pemaksaan dominasi secara militer berupa
pengiriman pasukan dan kekuatan militer atas bangsa-bangsa yang
lemah untuk dieksploitasi ke pemaksaan dominasi melalui cara lain
berupa pemberian kemerdekaan kepada negeri-negeri jajahan
secara formal (kemerdekaan semu). Padahal secara real, AS tetap
memaksakan dominasinya (penjajahannya) melalui berbagai bentuk
perangkap utang dan bantuan.
Dengan demikian, tidak samar lagi bagi siapapun, bahwa ide
pemberian kemerdekaan kepada bangsa-bangsa terjajah dan uluran
bantuan kepada Negara-negara yang baru merdeka merupakan
taktik baru imperialism. Jelas pula bagi siapapun bahwa AS
menguntit Negara-negara imperialism lain yaitu Inggris, Prancis.
Belgia, Belanda, dan Portugal demi merenggut daerah-daerah
jajahan mereka dari tangan mereka. Caranya adalah dengan
memberikan kemerdekaan dan uluran bantuan kepada daerahdaerah jajahan itu. Sejumlah peristiwa politik seperti peristiwa
Kongo. Angola, dan gerakan-gerakan PBB menentang Inggris di
Afrika, seperti Rodesia, serta peristiwa Pembebasan Irian Barat saat
PBB menggabungkannya ke Indonesia merupakan bukti yang jelas
atas langkah-langkah AS dalam mengawali neo-imperialismenya.
Caranya adalah dengan memberikan kemerdekaan kepada suatu
bangsa, lalu mengikatnya (baca: menjajah kembali) dengan utang.
AS tentu resah jika Negara yang dia merdekakan itu
menolak untuk mengambil utang. Karena itu, AS lalu merekayasa
sejumlah krisis dan guncangan atas Negara itu hingga ia tunduk dan
dengan terpaksa mengambil utang dari AS (atau lembaga-lembaga
keuangan internasional yang dikuasai IMF dan World Bank; biasanya
untuk recovery ekonomi, peny.). Artinya, AS mengikat dengan
wasilah berupa utang, sebagaimana yang terjadi pada Indonesia.
Saat Indonesia untuk pertama kalinya merdeka pada tahun
1945, Indonesia menolak untuk mengambil utang dari Amerika.
Sikap ini mendorong AS untuk merekayasa sejumlah
pemberontakan dan kekacauan hingga Indonesia tunduk pada AS
pada tahun 1958. Sejak itulah Indonesia diikat oleh AS dengan utang
dan ‘bantuan ekonomi’.
Halaman
7-10
Politik Ekonomi Islam _ Abdurrahman Al Maliki
3. Negara-negara yang baru merdeka yang akan diikat oleh
utang itu tentu harus membuat justifikasi lebih dulu. Karena itulah,
mereka berupaya membentuk opini public (public opinion) tentang
perencanaan dan pengembangan perekonomian di bekas Negara
jajahan atau bekas Negara yang berada di bawah pengaruh Barat.
Dengan begitu terciptalah motivasi dalam diri warga Negara itu
untuk turut menyukseskan upaya perencanaan dan pengembangan
perekonomian, yakni dengan mengambil modal asing, khususnya
dari AS. Dengan cara ini, AS dapat dengan mudah memaksakan
dominasi suatu Negara dan selanjutnya mengekploitasinya. Karena
itu, propaganda tentang perencanaan dan pengembangan
perekonomiann merupakan propaganda yang menipu, yang
menyembunyikan maksud sebenarnya, yakni membuka jalan bagi
masuknya modal asing untuk menggantikan posisi tentara dan
kekuatan militer dalam upayanya memaksakan dominasi
(penjajahan) atas negeri-negeri Islam.
Perlu diketahui, bahwa semua ini terkait dengan
propaganda imperialism, dan sama sekali tidak terkait dengan usaha
untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan nasional. Pasalnya,
menyusun kebijakan ekonomi untuk mengembangkan kekayaan
Negara dan memenuhi berbagai kebutuhan material merupakan
perkara yang penting dan mendesak, dan tidak perlu diperdebatkan
lagi. Akan tetapi, akan menguras kekayaan Negara dan melarikannya
ke luar negeri. Kebijakan itu pun seharusnya disusun hanya
berdasarkan atas kebutuhan-kebutuhan negeri-negeri Islam, dan
tidak dibenarkan muncul dari pengarahan musuh-musuh kaum
Muslim. Ini persis seperti kebijakan untuk meningkatkan taraf
pengetahuan di negeri-negeri Muslim, kebijakan untuk menambah
kemampuan militer mereka, pengaruh dalam percaturan politik
internasional sekaligus bisa digiring kearah dan tujuan tertentu.
Demikian juga menyangkut sejumlah kebijakan lainnya.
Adanya pemaksaan propaganda pengembangan ekonomi
dengan model yang justru menghabiskan kekayaan Negara ini, yang
datang kepada kita dengan pengarahan dari luar, juga dengan
penerapan sejumlah rencana imperialism tertentu yang sudah dikaji,
semua itu menunjukkan dengan jelas bahwa propaganda ini tidak
lain dimaksudkan untuk memaksakan negeri-negeri imperialis atas
negeri-negeri Muslim.
Inilah aspek penjajahan yang hendak dikokohkan di balik
opini umum tentang perencanaan dan pengembangan ekonomi
yang disebarluaskan. []
Halaman
7-10
Politik Ekonomi Islam _ Abdurrahman Al Maliki