6. Pengertian
Berobat
Berdasarkan definisi berobat tersebut, berobat
mencakup dua macam pengobatan sbb;
Pertama, pengobatan kuratif (al thibb al
‘ilaaji/curative medicine), yaitu pengobatan
untuk penyakit yang sudah terjadi.
Kedua, pengobatan preventif (al thibb
wiqaa`i/preventive medicine), yaitu
pengobatan untuk penyakit yang belum
terjadi.
(Ahmad Syauqi Al Fanjari, Al Thibb Al Wiqa`iy fi Al Islam,
hlm. 11; Umar Mahmud Abdullah, Al Thibb Al Wiqa`iy fi Al
Islam, hlm. 19).
7. Pengertian
Berobat
Dalil pensyariatan pengobatan kuratif (al
thibb al ‘ilaajiy), yakni pengobatan setelah
terjadi penyakit, antara lain sabda
Rasulullah SAW :
إن
هللا
أنزل
الداء
،والدواء
وجعل
لكل
داء
دواء
فتداووا
وال
تداووا
بحرام
Sesungguhnya Allah telah menurunkan
penyakit dan obatnya, dan menjadikan obat
bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kamu
dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu
yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
8. Pengertian
Berobat
Dalil pensyariatan pengobatan preventif (al thibb
al wiqaa`iy), yakni pengobatan sebelum seseorang
terjangkit suatu penyakit, antara lain sabda
Rasulullah SAW :
عن
سعد
بن
أبي
وقاص
رضي
هللا
عنه
قال
:
سمعت
رسول
هللا
صلى
هللا
عليه
وسلم
يقول
:
ْ
نَم
ْ
َحَّبَصَت
ْ
َّلُك
ْ
َي
ْ
مو
َْعبَس
ْ
اتَرَمَت
ْ
َع
ْ
ةَوج
،
ْ
مَل
ْ
ُهَّرُضَي
يِف
َْكِلَذ
ِْموَيال
ْ
مُس
ْ
َلَو
ْ
رحِس
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata,”Aku
mendengar Rasulullah SAW
bersabda,’Barangsiapa yang tiap pagi hari
memakan tujuh butir kurma ‘Ajwah (kurma
Madinah), maka pada hari itu dia tidak akan
terkena bahaya racun ataupun sihir.” (HR
Bukhari, no. 5445; Muslim, no. 2047).
10. Hukum Asal
Berobat
Hukum asal berobat adalah sunnah (mandub), sesuai
sabda Rasulullah SAW :
إن
هللا
أنزل
الداء
،والدواء
وجعل
لكل
داء
دواء
فتداووا
وال
تداووا
بحر
ام
”Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan
obatnya, dan menjadikan obat bagi setiap penyakit.
Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat
dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
Tetapi perintah berobat ini bukan perintah wajib,
melainkan perintah sunnah karena terdapat beberapa
qarinah (petunjuk) dalam beberapa hadis yang
menunjukkan berobat itu adalah anjuran (sunnah),
bukan kewajiban.
12. Hukum Asal
Berobat
Dari Atha bin Abi Rabah, berkata Ibnu Abbas
RA,”Maukah kamu aku tunjukkan seorang perempuan
dari penghuni surga?” Aku berkata,”Ya mau.” Ibnu
Abbas RA berkata,”Inilah seorang perempuan berkulit
hitam, dia pernah menemui Nabi SAW sambil
berkata,’Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan
auratku sering tersingkap [ketika sedang kambuh],
maka berdoalah kepada Allah untukku.”
Nabi SAW bersabda,“Jika kamu mau, bersabarlah maka
bagimu surga, dan jika kamu mau, maka aku akan
berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.”
Wanita itu berkata,“Baiklah aku akan bersabar.”
Wanita itu berkata lagi,“Namun berdoalah kepada Allah
agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW
mendoakan untuknya.” (HR Bukhari, no. 5652; Muslim,
13. Hukum Asal
Berobat
Hadits ini adalah qarinah (petunjuk / indikasi)
yang menunjukkan bolehnya tidak berobat,
sebagaimana taqrir (persetujuan) Nabi SAW
terhadap perempuan tersebut yang memilih
bersabar.
Sebab ketika perempuan itu memilih bersabar,
dengan pahala surga, artinya dia tidak menempuh
upaya untuk berobat, dan tetap berpenyakit
epilepsi.
Jika perintah berobat sebelumnya di atas
digabungkan dengan qarinah ini, diperoleh
kesimpulan perintah berobat tersebut bukan
perintah tegas (jazim), yaitu wajib, melainkan
perintah anjuran (ghairu jazim), yaitu sunnah.
14. Hukum Asal
Berobat
Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah yang kami anggap rajih
(lebih kuat) dalam masalah ini (hukum berobat), yaitu
hukum asal berobat itu sunnah (Mandub/Mustahab).
Imam Nawawi menjelaskan hadits yang memerintahkan
berobat dengan berkata :
وفي
هذا
الحديث
إشارة
إلى
استحباب
،الدواء
وهو
مذهب
أصحابنا
وجمهور
السلف
وعامة
الخلف
“Dalam hadis ini terdapat isyarat mengenai sunnahnya
berobat. Inilah mazhab sahabat-sahabat kami, dan juga
mazhab jumhur ulama salaf dan umumnya ulama khalaf.”
(Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz V,
hlm. 106).
Ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama, yaitu ulama
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yang mengatakan berobat
itu hukumnya mubah (boleh). (Lihat : Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, XI/117).
16. Hukum Berobat
Dengan Zat Najis
/ Haram
Hukum berobat dengan obat yang mengandung zat najis,
atau zat yang haram dimanfaatkan, MAKRUH,
karena telah terdapat larangan syariah untuk berobat
dengan zat yang haram/najis, meski larangan ini adalah
larangan makruh, bukan larangan haram.(*)
Sabda Nabi SAW :
فتداووا دواء داء لكل وجعل ،والدواء الداء أنزل هللا إن
بحرام تداووا وال
”Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan
obatnya, dan menjadikan obat bagi setiap penyakit.
Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat
dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
(*) lihat : Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah,
III/116; Abdul Fattah Mahmud Idris, Qadhaya Thibbiyyah min
Manzhuur Islami, hlm.39-43; Shalih Abu Thaha, At Tadaawi bi Al
Muharramat, hlm. 39-41.
17. Hukum Berobat
Dengan Zat Najis
/ Haram
Selain hadits tersebut, ada pula hadits lain yang
melarang berobat dengan yang diharamkan.
Sabda Nabi SAW :
إن
هاّلل
لم
لهعيج
مُكهءشفا
فيما
همحر
ع
مُكلي
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan
kamu pada apa-apa yang Allah haramkan atas kamu."
(HR Ibnu Hibban, no. 379).
Demikian juga terdapat hadits yang melarang seorang
thabib (sekarang disebut dokter) membuat obat dengan
bahan katak (dhifda’). (HR Abu Dawud, no. 3871
Hadits-hadits ini menunjukkan larangan berobat dengan
sesuatu obat yang diharamkan.
Namun terdapat qarinah (petunjuk / indikasi) dalam
hadits yang lain bahwa berobat dengan zat yang najis
atau yang diharamkan itu dibolehkan Nabi SAW.
18. Hukum Berobat
Dengan Zat Najis
/ Haram
Di antara qarinah-qarinah tersebut :
Pertama, Nabi SAW membolehkan dua suku Badui
yaitu ‘Ukl dan ‘Urainah yang sakit ketika memasuki
kota Madinah, untuk meminum air kencing unta.
عن
ِْ
سَنَأ
ِْنب
ْ
كِلاَم
ْ
َلاَق
ْ
َمِدَق
ْ
اسَنُأ
ْ
نِم
ْ
ُكع
ْ
ل
ْ
وَأ
ْ
َةَنيَُرع
،
اوَوَتاجَف
ا
ْ
َةَنِيدَمل
،
ْ
ُمُهَرَمَأَف
ْ
يِبَّنال
ىَّلَص
ْ
ُهللا
ْ
ِهيَلَع
ْ
َّلَس َو
ْ
َم
ْ
احَقِلِب
،
ْ
نَأ َو
واُبَرشَي
ِْم
ْ
ن
اَهِلاَوبَأ
اَهِناَبلَأَو
...
Dari Anas bin Malik RA, dia berkata,”Telah datang
[ke kota Madinah] orang-orang dari ‘Ukl atau
‘Urainah, lalu mereka sakit karena tidak cocok
dengan makanan/ cuaca Madinah. Maka Nabi SAW
memerintahkan mereka untuk mencari unta perahan
yang deras air susunya, agar mereka meminum air
kencingnya dan air susunya…” (HR Bukhari, no, 233;
Muslim, no. 1671).
19. Hukum Berobat
Dengan Zat Najis
/ Haram
Kedua, Nabi SAW membolehkan
Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin Al
‘Awwam untuk memakai kain sutera,
karena penyakit kulit (gatal-gatal).
ْ
َنع
ْ
سَنَأ
ْ
َي ِ
ضَر
ْ
ُ َّ
اّلل
ْ
ُهَنع
ْ
َلاَق
َْ
صَّخَر
ْ
يِبَّنال
ىَّلَص
ا
ْ
ُ َّ
ّلل
ْ
ِهيَلَع
ْ
َّلَسَو
ْ
َم
ِْ
ريَبلزِل
ِْدَبعَو
ِْنَمحَّالر
يِف
ِْ
سبُل
ا
ِْ
ير ِ
رَحل
ْ
َّةك ِحِل
اَمِهِب
Dari Anas bin Malik RA, dia berkata,”Nabi
SAW telah memberikan keringanan kepada
Az Zubair bin Al ‘Awwam dan Abdurrahman
bin ‘Auf untuk memakai kain sutera karena
penyakit kulit pada keduanya.” (HR
Bukhari, no, 5839; Muslim, no. 2076).
20. Hukum Berobat
Dengan Zat Najis
/ Haram
Ketiga, Nabi SAW membolehkan ‘Arfajah
bin As’Ad untuk memakai hidung palsu dari
emas, sesuai riwayat sbb :
عن
عرفجة
بن
أسعد
هَّنأ
عِطُق
هُفأن
ْ
َميو
ْ
ِبالكال
ْ
َّتفا
خذ
اأنف
من
ْ
ق ِ
ور
،
فأنتن
عليه
،
فأمره
ْ
بيَّنال
ىَّلص
ْ
ُهللا
عليه
ْ
َّلوس
م
،
خذَّتفا
اأنف
من
ْ
ذهب
Dari Arfajah bin As’ad RA bahwa hidungnya
terpotong pada Perang Kilab, lalu dia
memakai hidung [palsu] dari perak tetapi
hidungnya lalu membusuk. Maka Nabi SAW
memerintahkan dia memakai hidung dari
emas (HR Abu Dawud no, 4234).
21. Hukum Berobat
Dengan Zat Najis
/ Haram
Berdasarkan tiga qarinah tersebut, Imam
Taqiyuddin An Nabhani berkata :
فكون
الرسول
يجيز
التداوي
بالنجس
،والمحرم
في
الوقت
الذي
ينهى
ع
ن
التداوي
،بهما
قرينة
على
أن
نهيه
عن
التداوي
بهما
ليس
نهيا
،جازما
فيكون
مكروها
“Maka fakta bahwa Rasulullah SAW
membolehkan berobat dengan najis dan yang
diharamkan, padahal pada waktu yang sama
Rasulullah SAW melarang berobat dengan
keduanya, merupakan qarinah bahwa larangan
tersebut bukanlah larangan tegas, sehingga
hukumnya makruh.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz III, hlm. 116).
23. Hukum Berobat
di Luar Hukum
Asal
Hukum asal berobat adalah sunnah, seperti telah
dijelaskan di muka.
Namun hukum sunnah ini, dapat berubah menjadi
hukum lain, bergantung pada kondisi individu yang
berobat.
Misalnya : jika berobat dengan obat tertentu
ternyata terbukti menimbulkan bahaya (dharar),
maka berobat dengan obat tersebut hukumnya
menjadi HARAM, sesuai sabda Rasulullah SAW :
ضرار وال ضرر ال
“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri
maupun bahaya bagi orang lain.” (Arab “laa dharara
wa laa dhiraara”). (HR Ahmad).
24. Hukum Berobat
di Luar Hukum
Asal
Demikian juga, hukum asal berobat yang sunnah itu
dapat berubah HARAM bagi individu tertentu,
namun hukumnya tetap SUNNAH bagi individu
lainnya secara umum.
Hal ini sesuai kaidah fiqih :
كل
فرد
من
أفراد
األمر
المباح
إذا
كان
ضارا
أو
مؤديا
إلى
ضرر
حرم
ذلك
الفرد
وظل
األمر
مباحا
“Setiap-tiap kasus dari perkara pokok yang
hukumnya mubah, jika dia berbahaya atau dapat
membawa kepada bahaya, maka kasus itu saja yang
diharamkan, sedang perkara pokoknya tetap
mubah.”(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah
Al Islamiyyah, Juz III, hlm. 460).
25. Hukum Berobat
di Luar Hukum
Asal
Kaidah ini contoh penerapannya, bagi individu
tertentu yang berpenyakit hipertensi, haram
memakan daging kambing berlebihan, namun daging
kambing itu tetap mubah hukumnya secara umum
bagi semua orang.
Maka berdasarkan kaidah fiqih ini, pemberian
vaksinasi diharamkan secara kasuistik bagi
individu-individu tertentu yang mempunyai
penyakit-penyakit atau alergi-alergi tertentu,
sementara vaksinasi itu sendiri secara umum
hukumnya tetap sunnah (selama tidak menimbulkan
mudharat dan bahannya suci / tidak najis).
26. Hukum Berobat
di Luar Hukum
Asal
Demikian juga, hukum asal berobat yang sunnah itu
dapat berubah menjadi WAJIB, jika seorang individu
terancam jiwanya jika tidak melakukan pengobatan.
Sebab pada saat dia memilih tidak berobat, berarti
dia melakukan tindakan bunuh diri yang
diharamkan syara’, sesuai firman Allah SWT :
ه
ال هو
واُلُتقهت
مُكهسُفنهأ
ۚ
نِإ
هاّلل
انههك
مُكِب
اًمي ِحهر
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh,
Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An Nisaa` :
29).
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz III, hlm. 63). Wallahu a’lam.