1. Rangga Umara adalah pemilik warung pecel lele yang sukses bernama RM Pecel Lele Lela. Ia memulai usahanya dengan modal Rp3 juta dan mengalami berbagai kesulitan sebelum akhirnya berkembang dengan membuka sistem waralaba.
2. 1
Profil Pemilik Pecel
Lele Lela
Nama : Rangga Umara
Tempat Tanggal Lahir :
Bandung, 30 Januari 1979
Agama : Muslim
Lulusan : STMIK Bandung,
Jurusan Manajemen
Informatika
Pekerjaan : sebagai marketing
communication manager di perusahaan pengembang Bekasi
Nama Ayah : Deddy Hasanudin
Pekerjaan : Ustadz
Nama Ibu : Tintin Martini
Pekerjaan : Pegawai Negeri
Nama Istri : Siti Umairah
Nama Anak : 1. Razan Muhammad 2,5 tahun
2. Ghanny Adzra Umara 1,5 tahun
3. 2
Perjalanan Wirausaha Muda, Rangga Umara
”Selamat Pagi!” Begitu sapaan khas di RM Lele Lela, begitu Anda masuk
ke sana. Tak peduli Anda datang pada pagi, siang, sore, atau malam,
tetap disambut dengan ucapan, “Selamat pagi!”
Begitulah aku “mendoktrin” stafku dalam menyambut tamu di rumah
makan Lele Lela milikku. Hal itu kulakukan agar para karyawan
termotivasi dan produk yang disediakan selalu segar seperti segarnya
suasana pagi hari.
Lela bukanlah nama istri atau anak-anakku,
melainkan singkatan dari Lebih Laku. Oh,
ya, kenalkan, namaku Rangga Umara. Meski
usiaku tergolong muda, 31 tahun, pahit
getirnya membangun usaha sudah
kurasakan sejak bertahun-tahun lalu,
sebelum akhirnya RM Pecel Lele Lela
dikenal luas. RM ini kudirikan sejak
Desember 2006. Bolehlah kini dibilang sukses.
Sebab, aku telah melewati masa - masa sulit. Karena itu, aku lebih bisa
menghargai jerih payahku, menghargai hidup dan orang lain.
Profesi yang kugeluti ini bisa dibilang melenceng dari pekerjaan
bapakku, Deddy Hasanudin, seorang ustadz dan ibuku, Tintin Martini,
pegawai negeri yang sebentar lagi bakal memasuki masa pensiun.
Dulu, cita-citaku memang menjadi pengusaha. Namun, entah kenapa
akhirnya aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung Jurusan
Manajemen Informatika. Ilmu akademis ini mengantarku bekerja di
4. 3
sebuah perusahaan pengembang di Bekasi sebagai marketing
communication manager di perusahaan itu.
Sayang, setelah hampir lima tahun bekerja, kuketahui kondisi
perusahaan sedang tidak sehat. Hal itu membuat banyak karyawan di-
PHK. Saat itulah aku tersadar, aku tinggal menunggu giliran. Karena itu
aku mulai memikirkan lebih serius soal rencana hidupku berikutnya. Yang
jelas, saat itu yang terpikir olehku, tak ingin lagi menjadi karyawan
kantoran karena sewaktu-waktu bisa menghadapi masalah PHK lagi.
Nekat Wirausaha
Akhirnya, aku bertekad ingin membuka usaha sendiri. Sayangnya aku
bingung mau berbisnis apa. Sebelumnya, aku pernah membuka beberapa
usaha kecil-kecilan, antara lain penyewaan komputer, tapi bisnisku selalu
gagal. Setelah kupikir-pikir, kuputuskan membuka usaha di bidang
kuliner. Alasannya sederhana saja, aku suka sekali makan.
Aku memilih membuka warung seafood seperti yang banyak ditemukan
di kaki lima. Modalku hanya Rp 3 juta. Uang itu kuperoleh dari hasil
menjual barang-barang pribadiku ke teman-teman, antara lain telepon
genggam, parfum, dan jam tangan. Sampai sekarang, barang-barang itu
masih disimpan mereka, katanya buat kenang-kenangan. Istriku
tersayang, Siti Umairoh yang seumur denganku, mendukung
keputusanku.
Awalnya, ia pikir aku hanya berbisnis sampingan saja seperti
sebelumnya, karena aku mulai berjualan sebelum mengundurkan diri dari
perusahaan. Ia kaget ketika aku benar-benar menekuni bisnis ini, meski
tetap saja ia mendukung.
5. 4
Yang keberatan justru orang tuaku. Mungkin mereka khawatir
memikirkan masa depan anaknya yang jadi tidak jelas. Maklum aku yang
sebelumnya kerja kantoran dengan berbaju rapi, malah jadi terkesan
luntang-lantung tidak jelas.
Warung semi permanen berukuran 2x2 meter persegi kudirikan di
daerah Pondok Kelapa. Lantaran modal pas-pasan, aku mencari yang
sewanya cukup murah, sekitar Rp 250 ribu per bulan. Aku
mempekerjakan tiga orang, dua di antaranya adalah suami-istri.
Berbeda dari warung seafood di kaki lima yang umumnya bertenda biru
dan berspanduk putih, warungku kudesain unik.
Ternyata, desain unik tak membantu penjualan. Tiga bulan pertama,
hasil penjualan selalu minus. Tak satu pun pembeli datang. Aku mencoba
berbesar hati, mungkin warungku sepi lantaran banyak yang tidak tahu
keberadaan warung tendaku itu. Aku mulai melirik lokasi lain yang lebih
ramai. Kutawarkan sistem kerjasama dengan rumah makan dan warung
lain, tapi selalu ditolak.
Sampai suatu hari, aku mendatangi sebuah rumah makan semi permanen
di kawasan tempat makan, masih di kawasan Pondok Kelapa. Seperti
yang lain, pemilik rumah makan ini juga menolak tawaran kerjasamaku.
Ia justru menawariku membeli peralatan rumah makannya yang hendak
ia tutup lantaran sepi pembeli. Aku menolak, karena tak punya uang.
Akhirnya, ia menawarkan sewa tempat seharga Rp 1 juta per bulan. Aku
pun setuju.
Mirip Pisang Goreng
Bulan pertama buka usaha, mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai
berdatangan. Aku tahu, usaha yang bisa sukses dan bertahan adalah
6. 5
usaha yang punya spesialisasi. Kuputuskan untuk berjualan pecel lele,
makanan favoritku sejak kuliah. Ya, semasa kuliah dulu, aku rajin
berburu warung pecel lele yang enak. Kupikir, orang yang khusus
berjualan makanan dari lele belum ada.
Lagi-lagi, nasib baik belum sepenuhnya berpihak kepadaku. Begitu aku
berjualan lele, yang laku justru ayam. Kalau menu ayam habis, pembeli
langsung memilih pulang. Namun, aku tak mau menyerah. Karena aku
tahu lele itu enak. Jadi, ketika para pembeli duduk menikmati hidangan,
aku berkeliling meja, minta mereka mencicipi lele hasil masakan kami.
Syukurlah, mereka berpendapat masakannya enak.
Dari situ, aku berusaha lebih giat untuk memperkenalkan masakan lele.
Aku berusaha menonjolkan kelebihan lele yang terletak pada dagingnya
yang lembut dan gurih. Untuk menutupi kekurangan tampilan fisik lele
yang mungkin kurang menarik, lelenya aku baluri tepung lalu digoreng.
Hasilnya? Gagal total!
Kuamati lele berbalur tepung itu. He..he..he.. ternyata memang mirip
pisang goreng. Aku pantang menyerah. Kucoba lagi menggoreng lele
dengan tepung. Kali ini, digoreng dengan telur dan melalui beberapa kali
proses. Alhamdulillah, sukses! Pembeli makin suka makan lele olahan
kami. Pelangganku yang suka makan ayam, mulai beralih ke lele tepung.
Setelah tiga bulan pindah ke tempat baru itu, pendapatan rumah
makanku meningkat menjadi Rp 3 juta per bulan. Aku sangat bersyukur.
Dari situ aku berpikir untuk lebih total menekuni bisnis ini. Apalagi bila
dibandingkan dengan penghasilanku sebagai karyawan kantoran yang
cuma “tiga koma”. Maksudnya, setelah tanggal tiga, lalu “koma” Ha… ha..
ha…
7. 6
Terjebak Rentenir
Tahu usahaku laris, pemilik rumah
makan menaikkan biaya sewa jadi dua
kali lipat, yaitu Rp 2 juta per bulan. Aku
mulai merasa seolah-olah bekerja untuk
orang lain karena hasil yang kuraih hanya
untuk membayar sewa tempat.
Masalah bertambah lagi karena aku juga harus memikirkan gaji
karyawan. Kuputar otakku guna mendapatkan uang untuk membayar gaji
karyawan. Aku sudah mantap tidak akan kerja kantoran lagi. Sebab ada
tiga orang karyawan yang menggantungkan nasibnya padaku.
Keuntunganku habis untuk membayar sewa. Bahkan enam cabang
pertamaku harus ditutup. Aku mencoba tetap bertahan, keuangan
keluargaku semakin minus sampai-sampai aku bersama istriku serta
anak-anakku diusir keluar dari kontrakan karena tidak mampu membayar
lagi.
Saking pusingnya, di awal 2007 aku nekat berhutang pada seorang
rentenir sebesar Rp 5 juta, sekadar untuk menggaji karyawan. Aku
berprinsip, dalam kondisi seperti apa pun, karyawan tetap harus
diprioritaskan.
Setelah berkali-kali jatuh bangun merintis Pecel Lele Lela, akhirnya
Rangga mulai mereguk manisnya madu berbisnis kuliner. Usahanya kian
menanjak, terutama setelah banyak orang tertarik menjadi pewaralaba
Pecel Lele Lela.
8. 7
Syukurlah, masalah demi masalah yang menimpa usahaku satu per satu
berhasil kulalui. Selain pantang menyerah setiap kali bertemu masalah,
aku juga tak ingin terfokus pada masalah yang sedang kuhadapi. Aku
lebih suka mencari peluang untuk membuka jalan keluar. Bukannya lari
dari masalah, loh. Cara seperti ini justru membuatku terus berpikir
optimis dan semangat mencari solusi terbaik.
Berkat lele goreng tepung andalan, rumah makanku semakin ramai
pengunjung. Pecinta lele dari berbagai kawasan datang ke rumah
makanku di Pondok Kelapa untuk menikmatinya. Senang rasanya melihat
perubahan positif ini, terutama bila mengingat bulan-bulan pertama
yang sepi pembeli. Ini
membuatku makin
bersemangat mengajak
kerjasama dengan lebih
banyak orang lagi.
Sehingga, akhirnya aku
bisa segera pindah dari
tempat makan pertama yang
kusewa seharga Rp 2 juta per
bulan. Menu lele yang
disediakan pun makin beragam, antara lain lele goreng tepung, lele fillet
kremes, dan lele saus padang. Tiga menu inilah yang jadi andalan kami,
bahkan jadi favorit pembeli hingga kini.
Namun, di balik kesuksesanku, cobaan kembali menimpa. Salah satu
kokiku berhenti bekerja. Belakangan, aku tahu ternyata ia membuka
usaha sejenis sepertiku. Apakah aku marah? Tidak. Aku justru kecewa
mengapa ia tak memberitahuku sejak awal. Kalau saja tahu, aku pasti
9. 8
akan mendukungnya. Tak bisa kita berharap orang akan seterusnya loyal
bekerja pada kita. Aku senang kok, melihat orang lain maju.
Aku juga senang bila usahaku bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi
orang lain. Bagiku, rezeki sudah ada yang mengatur. Bahkan ketika saat
ini banyak orang berbisnis kuliner lele sepertiku, aku tak menganggap
mereka sebagai ancaman. Ini justru memotivasiku untuk terus berusaha
lebih baik. Namun, tak urung aku kelimpungan dengan mundurnya sang
koki. Apalagi, saat itu rumah makanku mulai ramai.
Buka Waralaba
Berkat kerja keras para karyawan, rumah makanku tetap bisa berjalan
seperti biasa. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ke rumah orangtuaku
di Bandung, aku mampir ke sebuah restoran cepat saji asal Amerika. Di
situlah aku bertemu Bambang, teman lamaku saat SMA. Dulu, kami
sering main basket bareng. Rupanya, Bambang bekerja di restoran itu
sebagai manajer.
Aku lalu bercerita, aku sudah punya rumah makan dan
mempersilakannya untuk mampir bila ada waktu. Tak disangka, beberapa
minggu kemudian ia datang berkunjung ke rumah makanku yang
sebetulnya lokasinya sangat jauh dari tempat kerjanya.
Dari situlah kami banyak mengobrol soal bisnis rumah makan. Aku juga
curhat soal kebingunganku sebelumnya ketika ditinggal koki. Bambang
lalu banyak memberi masukan, bagaimana mengelola sebuah rumah
makan. Tertarik dengan saran-sarannya, akhirnya aku menjadikannya
sebagai konsultan, meski kecil-kecilan.
10. 9
Sebagai honornya, aku mengganti uang bensinnya. Ia membantuku
membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) menjalankan rumah
makan. Dengan cara seperti ini, aku tak lagi kelimpungan bila ditinggal
koki. Bambang juga melatih para karyawan sehingga mereka bekerja
lebih profesional, sesuai SOP.
Peran Bambang memang cukup besar. Rupanya, ia menaruh perhatian
pada rumah makanku ini, sehingga akhirnya ia berhenti bekerja dari
tempatnya bekerja dan pindah kerja padaku. Bahkan, temannya banyak
yang mengikuti jejaknya. Kini, Bambang jadi General Manager untuk
Pecel Lele Lela.
Syukurlah, dengan adanya SOP ini, usahaku jadi makin berkembang.
Aku bisa membuka cabang lagi. Istriku juga ikut membantu usahaku.
Bahkan, atas permintaan banyak orang, sejak 2009 Pecel Lele Lela mulai
kuwaralabakan. Sebenarnya, aku tak punya rencana untuk
mewaralabakannya. Namun, para peminat justru mendukungku untuk
melakukannya.
Raih Penghargaan
Banyaknya permintaan bisnis waralaba, membuatku akhirnya tak bisa
menolak untuk mewaralabakan Pecel Lele Lela. Ya, hitung-hitung lebih
memperkenalkan rumah makanku kepada lebih banyak orang sekaligus
bagi-bagi rezeki. Meski awalnya permintaan waralaba hanya berasal dari
Jabodetabek, kini mulai merambah ke daerah. Di antaranya, Bandung,
Yogyakarta, Karawang, dan Purwokerto.
11. 10
Beberapa cabang lagi akan dibuka dalam waktu dekat, di Medan dan
beberapa kota lain. Bahkan, sudah ada permintaan waralaba dari orang-
orang Indonesia yang tinggal di Jeddah, Penang, Kuala Lumpur, dan
Singapura. Rencananya, cabang-cabang di luar negeri akan direalisasikan
tahun ini. Alhamdulillah, kini Pecel Lele Lela telah memiliki 42 cabang
Lele Lela se-Indonesia dengan omset Rp 4,8 milyar per bulan.
Nama Lela sendiri sebenarnya bukan nama istriku atau anak-anakku.
Kedua anakku laki-laki, Razan Muhammad 2,5 tahun dan Ghanny Adzra
Umara 1,5 tahun. Lela hanyalah sebuah singkatan, yaitu Lebih Laku. Ini
sekaligus menjadi doa buatku, agar usahaku makin lancar. Alhamdulillah,
Ramadan lalu Pecel Lele Lela ikut
mengisi menu acara buka bersama yang
diadakan Presiden SBY di Istana
Negara, yang dihadiri para menteri
dan duta dari negara sahabat.
Selain itu, tahun lalu aku juga
menerima penghargaan dari Menteri
Perikanan dan Kelautan karena usahaku
dinilai paling inovatif dalam mengenalkan dan mengangkat citra lele
dengan menciptakan makanan kreatif sekaligus mendorong peningkatan
konsumsi ikan. Penghargaan lain yang juga kuraih, Indonesian Small and
Medium Business Entrepreneur Award (ISMBEA) 2010 dari Menteri
Usaha Kecil dan Menengah.
12. 11
Dua penghargaan ini makin memotivasi diriku untuk lebih bekerja giat
sekaligus senang karena usahaku membuat lele jadi menu modern
ternyata tak sia-sia. Kini, selain sibuk mengembangkan Pecel Lele Lela,
aku juga kerap diundang jadi pembicara di berbagai seminar, termasuk
di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Senang rasanya berbagi ilmu,
agar mereka kelak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.
Gratis Makan
Cita-citaku untuk jadi pengusaha kini tercapai sudah. Asal tahu saja,
dulu aku pernah bermimpi punya rumah makan dengan konsep seperti
restoran cepat saji terkenal. Kini, pelan-pelan mimpi itu mulai terwujud.
Aku sendiri tak pernah membayangkan usahaku akan sesukses ini.
Banyak orang bilang, kesuksesanku terbilang cepat datangnya.
Aku sangat bersyukur, kini omset seluruh cabang mencapai Rp 4,8
miliar per bulan, mengingat dulu aku punya banyak rasa takut untuk
memulai. Sampai kini, aku masih memegang keyakinan, jika kita mau
fokus dalam melangkah, pasti akan sukses.
Prinsipku yang lain sejak memulai usaha adalah selalu mengawali sesuatu
dengan akhir yang positif. Maksudnya, aku selalu memikirkan bagaimana
nanti kalau usahaku sukses, bukan sebaliknya. Dengan demikian, aku
selalu optimis.
Inovasi juga harus jadi kebiasaan, selain terus meningkatkan kualitas
dan pencitraan Pecel Lele Lela. Itu sebabnya, kini aku sedang
menggodok konsep baru untuk jangka panjang. Diversifikasi menu dan
pencitraan Pecel Lele Lela sendiri juga semakin kupikirkan.
13. 12
Kini, ada banyak pilihan
menu lele di Pecel Lele Lela.
Untuk menarik hati
pembeli, Pecel Lele Lela
juga menggratiskan
hidangannya bagi
pembeli yang berulang
tahun di hari
kedatangannya. Dan,
pembeli bernama Lela juga akan mendapat keistimewaan berupa makan
gratis seumur hidup. Menarik, bukan?
Namun, kesuksesan yang kuraih bukan semata-mata kematangan konsep
dan kelezatan menu saja, loh. Para karyawan juga punya andil besar. Itu
sebabnya, penting bagiku membuat mereka betah dan bekerja dengan
hati.
Sebagai penghargaan, tak jarang mereka kutraktir makan di restoran
lain. Jika hati senang, mereka juga pasti akan bekerja dengan semangat.
Oh ya, soal logo Pecel Lele Lela yang sempat diprotes kedai kopi asal
Amerika karena dianggap mirip, juga sudah kuganti sejak membuka
cabang ke-16.
Kesuksesan Rangga rupanya bermula ketika ia menuliskan obsesi,
ambisi, dan impian yang ingin diraihnya dalam sebuah buku yang ia sebut
dream book. Tidak hanya menuliskan keinginan, Rangga juga menuliskan
usaha untuk mencapainya serta target keuntungan. Lewat dream book
itu Rangga mengumpulkan semangat dan menarik energi positif agar
impiannya tercapai.
14. 13
Kini, ayah dua anak tersebut sedang berupaya mewujudkan impian lain,
yakni membuka cabang Lele Lela di Mekah.