1. Identitas Diri dan Stigma Laki-Laki Gondrong
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Ajeng Regita Cahya Ningrum
NIM: 11161110000067
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2022
3. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa Mahasiswa:
Nama : Ajeng Regita Cahya Ningrum
NIM : 11161110000067
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul:
IDENTITAS DIRI DAN STIGMA LAKI-LAKI GONDRONG
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Ciputat, 18 Maret 2022
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122003
Dr. Iim Halimatusa’diyah, M.A.
NIP. 19810112201101200
4. iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
IDENTITAS DIRI DAN STIGMA LAKI-LAKI GONDRONG
Oleh
Ajeng Regita Cahya Ningrum
11161110000067
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Maret 2022. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Sosiologi.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 18 Maret 2022.
Ketua Program Studi Sosiologi,
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122003
Ketua Sidang, Sekretaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122003
Dr. Joharotul Jamilah, S.Ag., M.Si
NIP. 196808161997032002
Penguji I, Penguji II,
Dr. Dzuriyatun Toyibah, M.Si
NIP. 197608032003122003
Dr. Vinita Susanti, M.Si
NIP. 196501151991032002
5. v
ABSTRAK
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dua hal yakni (1) identitas
diri dan stigma laki-laki gondrong pada masa sekarang dan (2) dampak identitas
diri ini di tengah masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer bersumber dari wawancara langsung dengan para narasumber.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku, jurnal dan media baik cetak
maupun elektronik. Penelitian ini ingin melihat apakah identitas diri laki-laki
gondrong mengalami perubahan di Indonesia. Identitas diri laki-laki gondrong di
Indonesia akan dibahasmenggunakan teori Stigma yang dikemukakan oleh Erving
Goffman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas laki-laki gondrong di
Indonesia terbagi menjadi dua yaitu Actual Social Identity dan Virtual Social
Identity. Terkait Virtual Social Identity, peneliti menemukan bahwa asumsi yang
dibentuk masyarakat terhadap laki-laki gondrong tidak sepenuhnya identitas negatif
seperti berandalan dan tidak berpendidikan. Peneliti menemukan terdapat identitas
yang positif yaitu laki-laki gondrong dianggap sebagai individu yang macho dan
dinilai sebagai individu yang menyenangkan. Sedangkan pada Actual Social
Identity peran media sosial dan pendidikan yang ditempuh oleh laki-laki gondrong
mempengaruhi pembentukan realitas identitas laki-laki gondrong yang positif. Efek
negatif dari munculnya dua identitas ini adalah laki-laki gondrong mengalami
stigma. Peneliti menemukan setidaknya ada empat stigma yang dialami oleh laki-
laki gondrong yaitu Public Stigma, Structural Stigma, Self-Stigma dan Felt or
Perceived Stigma. Akan tetapi, adanya stigma juga berdampak bagi kelompok
orang-orang yang memberikan dukungan kepada laki-laki gondrong. Peneliti
menemukan bahwa orang tua merupakan kelompok yang paling sering memberikan
dukungan kepada laki-laki gondrong. Terakhir, peneliti menemukan bahwa laki-
laki gondrong yang mengalami stigma secara tidak sadar memiliki ikatan emosional
dengan laki-laki gondrong lain baik itu idola maupun teman sebaya mereka.
Kata kunci: Laki-laki Gondrong, Identitas, Stigma
6. vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak akan lupa selalu tercurahkan
kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, baik kepada keluarga-Nya, sahabat-
Nya, serta umat-Nya yang telah memberikan cahaya terang benderang untuk keluar
dari zaman kegelapan.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan
skripsi ini tidak akan berhasil tanpa arahan, bantuan, bimbingan, dan doa dari
berbagai pihak. Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Lubis, Lc, M.A selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Ali Munhanif, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosialdan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Iim Halimatusa’diyah, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan serta kepercayaan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
7. vii
4. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Joharatul Jamilah, M.Si selaku Sekertaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
masa perkuliahan.
7. Kepada kedua orang tua serta keluarga, Ayah, Mamah, Rizky, Adit, Mas Dika, Mba
Titu dan Mas Itan yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi, materi,
kepercayaan dan doa kepada penulis.
8. Sekar Ayu, terimakasih selalu menemani penulis dalam tawa dan gembira selama
penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman Sosiologi Angkatan 2016, Ramadhania, Bunga, Dino, Zarra, Mas
Oby, Liandi, Fithri, Rena, Pingky dan teman-teman lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
10. Rekan-rekan PPIM UIN Jakarta, Kak Yani, Kak Sarah, Kak Karin, KakPrawita, Kak
Cipa, Kak Dita, Kak Meitha, Kak Arif, Dinda, Kak Zhella, Kak Fahmi, Kak Endi
serta seluruh rekan yang menjadi bagian menyenangkan dari perjalanan penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktunya serta berbagi
pengalamannya kepada penulis untuk membantu penulis mengumpulkan data-data
8. viii
yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga bahagia selalu hadir.
12. Mahsa Javier yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan kepada penulis
hingga skripsi ini selesai. Tempat berbagi suka duka dan diskusi selama peneliti
menulis skripsi ini dan memberi keyakinanbahwa skripsi ini akan selesai dengan
baik.
Semoga semua yang turut membantu dengan kebaikan yang diberikan
kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi ini hingga selesai, mendapatkan
balasan kebaikan yang berlimpah dari Allah SWT. Penulis juga menyadari bahwa
penulisan skripsi masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima
segala kritik dan juga saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pembacanya.
Ciputat, 18 Maret 2022
Ajeng Regita Cahya Ningrum
9. ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi
DAFTAR ISI......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian.............................................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
C.1 Tujuan Penelitian ...............................................................................................................6
C.2 Manfaat Penelitian .............................................................................................................6
D. Tinjauan Pustaka..................................................................................................... 7
E. Kerangka Teoretis................................................................................................... 9
F. Metode Penelitian ................................................................................................. 12
F.1 Pendekatan Penelitian ......................................................................................................12
F.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data.......................................................................12
F.3 Proses Penelitian ..............................................................................................................16
F.4 Hambatan Penelitian .......................................................................................................19
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 20
BAB II GAMBARAN UMUM ...........................................................................21
A. Sejarah Rambut Gondrong di Indonesia ............................................................... 21
B. Latar Belakang Terbentuknya Stigma Rambut Gondrong di Indonesia ............... 24
B.1 Periode Revolusi Belanda................................................................................................24
B.2 Periode Orde Baru ...........................................................................................................25
B.3 Periode Reformasi............................................................................................................34
B.4 Perbandingan Stigma yang dialami Laki-Laki Gondrong tiap Periode............................36
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................39
A. Identitas Laki-Laki Gondrong............................................................................... 39
A.1 Virtual Social Identity .....................................................................................................39
A.2 Actual Social Identity ......................................................................................................43
A.2.1 Bentuk Ekspresi dan Aktualisasi Diri.......................................................................43
A.2.2 Mempunyai Jiwa Pemberani, Mudah Beradaptasi dan Ramah ................................47
A.2.3 Berpendidikan dan Berprestasi.................................................................................48
A.2.4 Pekerja Keras ...........................................................................................................51
B. Dampak Identitas Bagi Laki-Laki Gondrong........................................................ 52
10. x
B.1 Stigma..............................................................................................................................52
B.1.1 Public Stigma ...........................................................................................................53
B.1.1.1 Public Stigma Negatif .......................................................................................53
B.1.1.2 Public Stigma Positif.........................................................................................57
B.1.1.3 Public Stigma Netral .........................................................................................60
B.1.2 Structural Stigma......................................................................................................62
B.1.2.1 Structural Stigma di Institusi Pendidikan..........................................................62
B.1.2.1.1 Dosen Yang Tidak Menyukai Mahasiswa Berambut Gondrong................63
B.1.2.1.2 Peraturan Tertulis atau Tidak Tertulis di Perguruan Tinggi ......................66
B.1.2.1.3 Sekolah...........................................................................................................68
B.1.2.2.1 Harus Berambut Pendek dan Rapih ...........................................................70
B.1.2.2.2 Tidak Diterima Pada Pekerjaan Tertentu...................................................71
B.1.2.2.3 Diskriminasi...............................................................................................73
B.1.3 Self Stigma ...............................................................................................................74
B.1.4 Felt or Perceived Stigma ..........................................................................................80
B.2 The Stigmatized ...............................................................................................................82
B.2.1 Mencari, Melakukan atau Membuat Pekerjaan yang Membolehkan Mempunyai
Rambut Gondrong..............................................................................................................82
B.2.2 Menunjukkan Bahwa Laki-Laki Gondrong Punya Hak dan Peran yang Sama ........84
B.2.3 Mengacuhkan Stigma Negatif ..................................................................................87
B.2.4 Beradaptasi ...............................................................................................................88
B.2.5 Bentuk Perjuangan....................................................................................................89
B.2.6 Merespon dari Segi Agama ......................................................................................90
B.3 The Wise..........................................................................................................................93
B.3.1 Orang Tua.................................................................................................................93
B.3.2 Guru atau Pastur .......................................................................................................95
B.4 The Own ..........................................................................................................................97
B.4.1 Idola..........................................................................................................................97
B.4.2 Teman Sebaya ........................................................................................................100
BAB IV PENUTUP ............................................................................................102
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 102
B. Saran ................................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................105
PEDOMAN WAWANCARA............................................................................ xiii
TRANSKRIP WAWANCARA...........................................................................xv
11. xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1........................................................................................................................... 28
Gambar 2........................................................................................................................... 32
Gambar 3........................................................................................................................... 44
Gambar 4........................................................................................................................... 45
Gambar 5........................................................................................................................... 90
Gambar 6........................................................................................................................... 97
Gambar 7........................................................................................................................... 98
DAFTAR TABEL
TABEL 1........................................................................................................................... 14
TABEL 2........................................................................................................................... 16
TABEL 3........................................................................................................................... 37
12. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini akan membahas mengenai identitas individu terkait dengan
gaya rambut yang dimiliki. Norma dan aturan masyarakat seringkali menentukan
mana yangdianggap tabu atau mana yang dapat diterima. Norma dan aturan ini
seringkali juga mempengaruhi banyak segi kehidupan individu. Pakaian yang kita
kenakan, makanan yang kita makan, dan aktivitas yang kita nikmati semuanya
memiliki makna sosial yang sama, yaitu didikte oleh budaya populer pada masa itu
(Manning 2010).
Menurut Synnott (1987), seorang dosen Sosiologi dan Antropologi di
Concordia University mengatakan bahwa rambut merupakan sebuah simbol
identitas pribadi dan kelompok yang sangat kuat. Rambut juga memiliki unsur
fisiologis milik pribadi yang melekat pada individu dan kelompok tertentu. Selain
itu rambut juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan diri,
komunikasi, bentuk protes, penanda identitas dan agen perubahan (Synnot 1987).
Rambut juga bisa menjadi sumber diskriminasi dan stereotip negatif seperti
yang dialami oleh perempuan kulit hitam di Amerika Serikat. Studi yang dilakukan
olehRosette dan Dumas (2007) misalnya, menemukan bahwa rambut memiliki
hubungan dengan stereotip ras. Perempuan Kaukasia cenderung dipandang sebagai
individu yang cerdas, industrialis, dan ambisius. Sedangkan pada sisi lain,
perempuan kulit hitam terlihat seperti acuh tak acuh dan malas. Terdorong oleh
13. 2
stereotip ini, perempuan kulit hitam melakukan adaptasi. Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa banyak wanita kulit hitam sadar bahwa semakin berbeda
penampilan mereka, semakin tidak nyaman rekan kerja kulit putih bersama
mereka, maka semakin sulit bagi wanita kulit hitam untuk mendapatkan
penerimaan penuh di tempat kerja. Karena itu, perempuan berkulit hitamsering
termotivasi untuk membuat diri mereka tampak serupa dengan orang kulit putih.
Salah satunya dengan cara mengubah gaya dan tampilan rambut mereka.
Perempuan kulit hitam dapat mempunyai rambut yang lurus menggunakan bahan
kimia, alatpemanas rambut atau menggunakan rambut sambungan.
Salah satu kelompok sosial yang identik dengan identitas rambut adalah
kaum Hippies (Synnot 1987). Kaum Hippies identik dengan aksi protes. Kaum
Hippies melakukan protes terkait berbagai bidang seperti protes terhadap etos kerja
protestan, etika seksual Puritan, protes mahasiswa, protes hak-hak sipil, protes anti-
perang, dan kampanye pelucutan nuklir (Synnot 1987). Kaum Hippies juga melihat
masyarakat terbentuk melalui proses eksploitatif, fasis, rasis, birokratis, militeristik,
tidak manusiawi dan 'tidak alami'. Untuk merespon hal tersebut, kaum Hippies
melakukan protes dengan menggunakan simbol-simbol unik seperti manik-manik,
celana jins, tanda-tanda perdamaian yang bertentangan dengan ikatan atau klub,
serta kekuatan bunga dan gulma. Tetapi simbol protes yang paling kuat adalah
melalui gaya rambut. Rambut yang menjadi ciri mereka ialah rambut panjang, lurus,
'alami' untuk wanita tanpa pewarna rambut, pengeriting, wig atau perm. Selain itu
gaya rambut Hippies berbeda dari mode yang sedang berlaku misalnya dengan
menumbuhkan janggut dan kumis, yang membuat mereka berseberangan dengan
14. 3
norma konvensional yang ada (Synnot 1987).
Jika membahas soal rambut di Indonesia, maka salah satu perhatiannya
adalah laki-laki dengan rambut panjang atau gondrong. Gondrong adalah laki-laki
yang memiliki rambut panjang karena tidak dipangkas (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset 2016). Dalam
konteks Indonesia, “gondrong” kadang dipandang sebagai hal yang tabu bahkan
sangat dilarang. Padahal jika kita tarik ke belakang, selain peci dan pakaian rapi,
simbol pergerakan aktivis masa awal perjuangan Indonesia juga dicirikan dengan
rambut gondrong (Berdikari Online 2010). Bahkan, gondrong menjadi identitas
para pemuda dalam perjuangan revolusi Indonesia. Ali Sastroamidjojo dalam
otobiografinya pada tahun 1974 menggambarkan pemuda yang berambut gondrong
dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal
tahun 1946 (Berdikari Online 2010).
Namun, saat memasuki era rejim Soeharto, pemuda yang berambut
gondrong semakin ditekan bahkan divonis sebagai gaya yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Rambut gondrong diidentikan dengan pemuda yang
acuh tak acuh. Soeharto yang identik dengan bapak pembangunan, mengibaratkan
Indonesia sebagai keluarga besar dan rejimnya membawanya berperan sebagai
bapak pembangunan. Seorang bapak tentu akan mewarisi nilai-nilai yang dianut
dan anaknya punya kewajiban untuk meneruskan nilai keluarga (Yudhistira 2010).
Anak-anak era orde barutumbuh dan berkembang sebagai anak pembangunan yang
harus punya sifat hormat, patuh dan menerapkan tata krama yang baik di kehidupan.
Alhasil karena ini, munculah gaungan gerakan anti-gondrong pada segala aspek
15. 4
kehidupan pada saat itu karena rambut gondrong tidak mencerminkan nilai-nilai
yang ingin dibangun tadi (Yudhistira 2010).
Selain itu, media cetak seakan memberikan ”pupuk” bagi gaungan ini.
Framing media cetak saat itu seakan sengaja menjelekkan identitas orang-orang
yang berambutgondrong sebagai suatu hal yang buruk. Identitas adalah refleksi diri
atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses
sosialisasi (Nuraini 2016).Identitas negatif ini, mungkin saja membuat orang tua
ketakutan akan masa depan anaknya jika berambut gondrong yang dinilai nantinya
akan menjadi suram .
Wacana ini pun nyatanya terbawa sampai hari ini. Di institusi pendidikan,
di pegawai pemerintahan dan beberapa perusahaan swasta pun tidak mengizinkan
seseorang menjadi gondrong. Ada kecenderungan bahwa gondrong dianggap
sebagai suatu gambaran diri yang berantakan, tidak profesional, pembangkang dan
tidak punyamasa depan.
Kita dapat melihat aksi protes oleh mahasiswa sebagai bentuk penolakan
atas diskriminasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan masyarakat pada
umumnya. Misalnya aksi demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) untuk menuntut rektorat atas kebijakan yang
menurut mereka diskriminatif karena melarang mahasiswa berambut gondrong
untuk mengikuti ujian dan dilarang untuk masuk perpustakaan (Gustaman 2017).
Bagi mereka yang tidak mengenal secara personal, gondrong seringkali
16. 5
dikaitkan dengan image negatif. Akan tetapi studi yang dilakukan di salah satu
Universitas di Lampung menunjukkan bahwa mahasiswi yang mempunyai
pengalamanberinteraksi dengan mahasiswa berambut gondrong dan mengenalnya
dengan dekat atau memiliki pengalaman yang positif akan mempersepsikan positif
dan mempunyai kesan yang positif terhadap laki-laki berambut gondrong (Prabowo
2015).
Seperti disebutkan di atas, bentuk diskriminasi, tekanan dan
ketidakpercayaan publik terhadap orang berambut gondrong tidak lepas dari
wacana-wacana masa lalu dan peran media cetak. Berbeda dengan rambut
gondrong, rambut pendek, rapih, dan tertata seringkali diibaratkan sebagai solusi
dari masalah-masalah yang dikaitkan dengan identitas rambut gondrong. Rambut
pendek dan rapih seakan selalu identik dengan profesionalitas tinggi, disiplin,
penurut, penuh hormat dan bertata karma. Tentu hal ini sangatlah rumit karena
seakan-akan masyarakat kita seolah menyetujui bahwa rambut pendek dan rapih
secara umum menjadi standar emas untuk sebuah daya tarik dan kesuksesan
individu (Hirschman 2002). Oleh karena itu, penulis tertarik mencari tahu sejauh
mana identitas laki-laki gondrong pada masa sekarang. Apakah identitas negatif
laki-laki gondrong masihrelevan di tengah-tengah masa sekarang dan bagaimana
dampak identitas ini bagi laki-laki gondrong.
17. 6
B. Pertanyaan Penelitian
Mengacu pada pernyataan penelitian yang telah dipaparkan diatas maka
pertanyaan dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagaimana identitas laki-laki gondrong pada masa sekarang?
2. Bagaimana dampak identitas ini terhadap laki-laki gondrong di tengah
masyarakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan bagaimana identitas laki-laki gondrong pada masa sekarang,
apakah masih relevan gambaran negatif laki-laki gondrong pada masa sekarang.
2. Untuk menjelaskan bagaimana dampak identitas ini terhadap laki-laki gondrong di
tengah masyarakat, serta cara apa yang mereka gunakan untuk mengatasi dampak
ini.
C.2 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
Penulis berharap penelitian ini nantinya dapat menjadi literature atau
referensi terkait dengan konstruksi identitas laki-laki gondrong dalam standar
estetika masyarakat terutama dalam kajian ilmu Sosiologi dengan menggunakan
studi kualitatif.
18. 7
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan
pengetahuan baru bagi masyarakat luas terutama bagi mahasiswa Sosiologi untuk
lebih mengetahui lebih mendalam mengenai identitas laki-laki gondrong pada
masyarakat sekarang.
D. Tinjauan Pustaka
Studi yang membahas mengenai identitas mengenai rambut sudah dilakukan
pada penelitian-penelitian sebelumnya. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh
Rosette dan Dumas (2007) dan Larsen dan White (1974). Penelitian-penelitian ini
melihat bahwa identitas dari rambut selalu dibandingkan dan menghasilkan
identitas yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Rosettte dan Dumas
menunjukkan bahwa rambut perempuan Kaukasia lebih mencerminkan identitas
yang cerdas, industrialis, dan ambisius, sedangkan rambut perempuan kulit hitam
mencerminkan identitas acuh tak acuh dan malas. Sementara itu, penelitian Larsen
dan White menemukan bahwa laki-laki yang memiliki rambut panjang dipandang
sebagai individu yang lebih mandiri daripada mahasiswa yang berambut pendek.
Dibandingkan dengan mereka yang memiliki rambut pendek dan menengah, laki-
laki berambut panjang dipandang memiliki kepribadian yang lebih feminin, muda,
pencarian kesenangan, bermoral dan blak-blakan, sedangkan mahasiswa laki-laki
berambut pendek terlihat lebih berhati-hati, bijak, berorientasi akademis, maskulin,
kuat, dewasa, cerdas, dan bermoral.
Di Indonesia, penelitian yang memfokuskan pada identitas laki-laki
gondrong seringkali dilihat melalui media sosial. Penelitian yang dilakukan oleh
19. 8
(Hanum and Urada 2019) memfokuskan pada komunitas virtual laki-laki gondrong
yang menggunakan media sosial Instagram untuk proses konstruksi identitas
mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa mereka ingin mengubah stigma
buruk laki-laki gondrong di masyarakat. Dengan adanya media sosial muncul
konstruksi identitas komunitas virtual. Konstruksi identitas yang muncul antara lain
wujud kebebasan, bentuk keberanian dan perlawanan, ekspresi seni dan pengakuan
eksistensi diri.Dengan konstruksi identitas ini maka interaksi yang dibentuk dari
komunitas virtual diInstagram menjadikan mahasiswa berambut gondrong di era
millennial dapat meningkatkan kepercayaan diri dan menemukan zona nyaman
mereka sebagai mahasiswa gondrong. Penelitian yang dilakukan oleh Nawangsari
(2017) juga memfokuskan pada media sosial Instagram. Dia menyebutkan bahwa
konten yang diunggah oleh akun Instagram ‘Gondrongers’ dapat memotivasi
responden untuk menghilangkan kesan buruk pada rambut gondrong. Selain itu
postingan akun ‘Gondrongers’ juga dapat memberikan rasa bangga mempunyai
rambut gondrong dan mampu memberikan pengaruh terhadap tren rambut
gondrong terhadap remaja.
Dari penelitian-penelitian di atas, penelitian tentang laki-laki berambut
gondrong memang sudah ada sejak tahun 1970-an, namun belum ada penelitian
terkiniyang membahas identitas rambut gondrong dalam konteks masyarakat saat
ini. Penelitibermaksud melihat bagaimana identitas laki-laki berambut gondrong
yang terbentuk pada masa lalu masih relevan dengan masa sekarang. Selain itu,
dalam konteks Indonesia, belum banyak penelitian yang membahas mengenai
laki-laki berambut gondrong langsung di dunia nyata. Studi yang ada, lebih melihat
20. 9
representasi laki-lakirambut gondrong di dunia maya. Oleh sebab itu, penelitian ini
ingin melihat identitas yang terlihat di dunia nyata dan bagaimana dampaknya bagi
laki-laki berambut gondrong.
E. Kerangka Teoretis
Penelitian ini akan menggunakan teori stigma yang dikemukakan oleh
Erving Goffman. Erving Goffman memberikan beberapa penjelasan mengenai
stigma sebagai berikut:
a. Identitas
Goffman membagi identitas menjadi dua pandangan, yaitu virtual social
identity dan actual social identity. Virtual social identity adalah identitas yang
terbentuk berdasarkan karakter-karakter yang kita asumsikan terhadap orang lain.
Sedangkan actual virtual identity adalah identitas yang terbentuk dari karakter-
karakter yang nyata dan dapat dibuktikan (Goffman 1963). Virtual social identity
dan actual social identity merupakan dua hal yang berbeda. Bila perbedaan
diantaranya diketahui publik, maka orang yang terstigmatisasi akan merasa
terkucilkan. Hal ini karena hasil interaksi itu bergantung pada kedua tipe stigma
yang dimiliki seorang individu (Ritzer 2012).
b. Stigma
Erving Goffman menyebutkan bahwa apabila seseorang memiliki atribut
yang membuatnya berbeda dari orang-orang di lingkungannya, maka atribut itulah
yang disebut dengan stigma. Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial
yang melemahkan identitas sosial seseorang (Goffman 1963). Jadi, istilah stigma
mengacu kepada atribut-atribut yang dapat memperburuk identitas seseorang
21. 10
(Goffman 1963).
Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) menyebutkan bahwa ada 5 tipe
stigma, yaitu:
1. Public Stigma, yaitu sebuah reaksi masyarakat umum terhadap mereka yang
memiliki keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun mental.
2. Structural Stigma, yaitu sebuah institusi, hukum atau perusahaan yang menolak
orang yang berpenyakitan.
3. Self-Stigma, yaitu menurunnya harga dan kepercayaan diri seseorang yang
memiliki penyakit.
4. Felt or Perceived Stigma, yaitu dimana orang dapat merasakan bahwa ada stigma
terhadap dirinya dan takut berada di lingkungan komunitas.
5. Experienced Stigma, yaitu dimana seseorang pernah mengalami diskriminasi dari
orang lain.
22. 11
c. The Normals (Orang yang normal)
Erving Goffman juga menjelaskan mengenai istilah the normals, yaitu orang-
orang yang berada di luar isu-isu negatif tentang stigma. Orang-orang yang berada
dalam lingkaran ini, menganggap orang-orang yang terstigma bukanlah manusia
normal. Karena asumsi inilah, maka terjadi berbagai diskriminasi yang
memperburuk kehidupan orang yang terstigma (Goffman 1963).
d. The Stigmatized (Orang yang terstigma)
Menurut Goffman, orang-orang yang terstigma ini berpikir bahwa mereka
adalah orang normal seperti yang lainnya. Mereka merasa berhak memperoleh
apapun yang setara dengan orang-orang normal lain. Namun, orang-orang lain di
luar orang yang terstigma ini, belum siap menerima mereka dan menganggapnya
setara. Orang yang terstigma dapat merespon situasi tersebut dengan melihat
kembali apa yang dianggap stigma dari dirinya. Orang yang terstigma biasanya
akan berusaha menghindari kontak langsung dengan orang normal (Goffman 1963).
Ada dua tipe individu yang simpati dan memberikan dukungan kepada orang
yang terstigma. Pertama, The Own yaitu individu yang mempunyai stigma yang
sama, sehingga individu ini dapat memberikan saran berdasarkan pengalaman
mereka terstigmatisasi. Selain itu jika ada seseorang yang mempunyai stigma yang
sama lalumencapai posisi pekerjaan, politik, atau keuangan yang tinggi dan baik
maka mereka akan merasa terwakili keberadaannya (Goffman 1963). Kedua,
individu yang karenakondisi tertentu menjadi dekat dengan orang yang terstigma,
yang disebut dengan TheWise (Goffman 1963). Goffman membagi orang-orang
yang termasuk tipe wise ini menjadi dua tipe, yaitu orang yang dekat dengan orang
23. 12
yang terstigma dikarenakan pekerjaan dan orang yang dekat dengan orang yang
terstigma berdasarkan hubungan sosial dan individu seperti keluarga atau teman
(Goffman 1963).
Teori Stigma Erving Goffman dipilih untuk menganalisa identitas laki-laki
gondrong pada masa sekarang, yang peneliti asumsikan mengandung stigma. Selain
itu, dengan teori ini peneliti juga dapat melihat bagaimana masyarakat yang masuk
ke dalam the normals merespons laki-laki gondrong.
F. Metode Penelitian
F.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berusaha memahami bagaimana identitas laki-laki gondrong
padamasyarakat sekarang yang juga meliputi bagaimana dampak dari identitas
tersebut. Untuk memahami bagaimana identitas laki-laki gondrong dengan
menggunakan teori stigma, maka peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif
sebab pendekatan ini mencoba melihat bagaimana kehidupan sosial dibentuk,
dimaknai dan diinterpretasi (Neumann 2013).
Selain itu, penelitian ini mengambil metode kualitatif karena peneliti ingin
terjun langsung ke lapangan dan berinteraksi langsung dengan narasumber, tidak
adajarak antara peneliti dan objek yang akan diteliti.
F.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti dari lapangan, atau
24. 13
dapat disebut juga dengan “first-hand information” sedangkan data sekunder yaitu
dengan perantara (Silalahi 2010). Teknik pengumpulan data primer yang digunakan
yaitu wawancara. Proses wawancara dilakukan dengan tatap muka (face to face
interview) dengan partisipan (Creswell 2010). Selain tatap muka, proses wawancara
juga dilakukan melalui sambungan telepon. Sedangkan data sekunder didapatkan
dari studi dokumen seperti buku, jurnal maupun berita dari media massa (Silalahi
2010). Kemudian, wawancara juga dapat dilakukan dengan cara tidak terstruktur
(unstructuredinterviews) yaitu peneliti dan narasumber saling berinteraksi dengan
cair (Marvasti 2004), dan juga menggunakan wawancara terbuka dengan
narasumber (Moleong 2006).
Proses wawancara dilakukan dengan rata-rata waktu 30-60 menit untuk
narasumber gondrong, sedangkan untuk narasumber dengan kriteria tidak pernah
gondrong proses wawancara dilakukan dengan rata-rata waktu 10-30 menit.
Wawancara untuk narasumber gondrong dilakukan via telepon, sedangkan untuk
narasumber tidak gondrong wawancara dilakukan via telepon dan dengan
mendatangi langsung narasumber.
Narasumber dapat dipetakan sebagai orang yang (1) dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang tidak dapat dijawab oleh orang lain; (2)
orang yang dapat merekomendasikan peneliti kepada narasumber lain dengan
kapasitas pengetahuan yang kurang lebih sama; (3) menyediakan akses dan
mengembangkan kesadaran peneliti mengenai bagian-bagian latar.(Marvasti 2004).
25. 14
Dari kriteria tersebut, maka peneliti mengambil cara pemilihan narasumber
dengan teknik purposive. Purposive dipilih karena Narasumber yang dipilih harus
memenuhi kriteria tertentu. Hal ini biasanya digunakan pada penelitian lapangan
(Ritzer 2012). Narasumber dalam penelitian ini melibatkan 2 jenis narasumber.
Pertama, Laki-laki yang pernah atau sedang berambut gondrong berusia di atas 18
tahun. Jumlah narasumber yang telah diwawancara berjumlah 9 orang. Kedua,
perempuan dan atau laki-laki yang tidak pernah gondrong yang berusia di atas 18
tahun. Narasumber yang telah diwawancara untuk kriteria ini adalah 2 orang
berjenis kelamin perempuan, dan 3 orang berjenis kelamin laki-laki, sehingga
jumlah Narasumber yang telah diwawancara untuk kriteria ini berjumlah 5 orang.
Jadi, secara keseluruhan ada 14 orang Narasumber yang telah diwawancara dalam
penelitian ini. . Untuk melindungi identitas para narasumber, peneliti menggunakan
nama samaran sebagai bagian dari kode etik penelitian. Detail dari masing-masing
narasumber dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
TABEL 1
Laki-laki Gondrong
No Nama
Jenis
Kelamin
(Usia)
Pekerjaan
Tahun Mulai
Memanjangkan
Rambut
Domisili
Waktu
Wawancara
1 Ahmad
Laki-laki Mahasiswa
Pendidikan
Olahraga
2018 Bekasi
26 Agustus
2020
(22
tahun)
2 Bagus
Laki-laki Mahasiswa
Hukum
Islam
2018 Bekasi
26 Agustus
2020
(22
tahun)
26. 15
3 Chandra
Laki-laki
Mahasiswa
Sosiologi
2019
Tangerang
Selatan
27 Agustus
2020
(20
tahun)
4 Daffa
Laki-laki
Wirausaha 1986
Tangerang
Selatan
25
September
2020
(55
tahun)
5 Esa
Laki-laki
Mahasiswa
Sosiologi
2016
Tangerang
Selatan
27
September
2020
(22
tahun)
6 Farhan
Laki-laki
Pegawai
Swasta
1993
Tangerang
Selatan
27
September
2020
(46
tahun)
7 Gilang
Laki-laki
Jurnalis 1995 Jakarta
17 Oktober
2020
(40
tahun)
8 Hari
Laki-laki
Barista 2018 Majalengka
18 Oktober
2020
(23
tahun)
9 Ilham
Laki-laki Mahasiswa
Teknik
Mesin
2018 Palembang
18 Januari
2021
(20
tahun)
Narasumber laki-laki-laki gondrong rentang usianya sekitar 20-55 tahun.
Jenispekerjaan yang mereka tekuni antara lain mahasiswa, pegawai, jurnalis dan
jugawirausaha. Mayoritas narasumber berdomisili di wilayah perkotaan. Hal ini
karena mulanya peneliti mendapatkan narasumber di wilayah perkotaan. Lalu
narasumber-narasumber ini merekomendasikan teman atau kerabatnya yang
gondrong dan berdomisili di wilayah perkotaan juga. Selain itu peneliti juga
memilih narasumber secara acak melalui akun Instagram @gondrong_indonesia.
27. 16
TABEL 2
Laki-laki Tidak Gondrong & Perempuan
No Nama
Jenis Kelamin
(Usia)
Pekerjaan
Waktu
Wawancara
1 Aji
Laki-Laki Mahasiswa Pendidikan
Olahraga
20 Agustus
2020
(22 tahun)
2 Bima
Laki-Laki
Pegawai 03 Juni 2021
(26 tahun)
3 Cinta
Perempuan
Kepala Sekolah SMP
23 Agustus
2021
(50 tahun)
4 Dimas
Laki-laki
Wiraswasta
23 Agustus
2021
(51 tahun)
5 Eka
Perempuan
Mahasiswi Arsitektur
23 Agustus
2021
(22 tahun)
Sementara itu, Narasumber laki-laki tidak gondrong dan perempuan rentang
usianya sekitar 20-50 tahun. Narasumber laki-laki tidak gondrong dan perempuan
ini semua berdomisili di wilayah perkotaan. Jenis pekerjaan yang mereka tekuni
antara lain mahasiswa, wiraswasta dan juga pegawai.
F.3 Proses Penelitian
Proses penelitian berlangsung selama satu tahun dimulai dari Agustus 2020
sampai dengan Agustus 2021. Sejak awal, peneliti sudah menentukan beberapa
narasumber yang akan diwawancarai secara langsung. Namun karena adanya
pandemi Covid-19 dan munculnya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar
28. 17
(PSBB) olehPemerintah, peneliti memutuskan untuk melakukan wawancara via
telepon bersama dengan narasumber.
Wawancara dengan narasumber tidak gondrong pertama kali dilakukan
pada tanggal 20 Agustus 2021. Proses wawancara berjalan sesuai dengan pedoman
pertanyaan. Peneliti juga mendapatkan jawaban-jawaban tambahan diluar
pertanyaan yang ada pada pedoman wawancara. Sedangkan untuk wawancara
dengan laki-laki gondrong dimulai pada tanggal 26 Agustus 2020. Peneliti pada hari
ini melakukan dua wawancara. Narasumber pertama diwawancarai pada siang hari.
Proses wawancara dilakukan via telepon dan berjalan dengan baik. Proses
wawancara dengan narasumber kedua dilakukan pada malam hari melalui telepon
juga. Narasumber kedua merupakan rekomendasi dari narasumber pertama. Proses
wawancara pada kedua narasumber awalnya sedikit kaku, namun setelah melalui
beberapa pertanyaan, narasumber mulai terlihat nyaman dan santai menjawab sisa
pertanyaan yang ada. Walaupun narasumber pertama dan kedua saling mengenal,
tetapi peneliti memisahkan waktu wawancara kedua narasumber agar mendapatkan
jawaban yang sesuai dengan pengalaman mereka.
Wawancara dengan narasumber ketiga dilakukan pada tanggal 27 Agustus
2020. Pada saat pertengahan wawancara, proses wawancara terhenti sejenak karena
narasumber sedang mengangkat telepon lain. Namun setelah itu, proses wawancara
dilanjutkan kembali. Wawancara selanjutnya dengan narasumber keempat
dilakukan pada tanggal 25 September 2020. Lalu pada minggu yang sama, peneliti
mewawancarai narasumber kelima dan keenam pada tanggal 27 September 2021.
Tiga minggu kemudian, pada tanggal 17 Oktober 2020, peneliti berhasil
29. 18
mewawancarai narasumber ketujuh.
Pada tanggal 18 Oktober 2020, peneliti melakukan pencarian narasumber
melalui foto yang direpost akun Instagram @gondrong_indonesia. Peneliti
akhirnya menghubungi narasumber kedelapan via direct message Instagram dan
selanjutnya proses wawancara dilakukan melalui telepon Whatsapp. Pada tanggal
18 Januari 2021, peneliti mewawancarai narasumber keenam. Narasumber
kesembilan ditemukan oleh peneliti setelah fotonya direpost oleh empat akun
Instagram Komunitas Gondrong. Pendekatan yang dilakukan sama dengan
narasumber kedelapan. Peneliti menghubunginarasumber kesembilan via direct
message Instagram dan selanjutnya proses wawancara dilakukan melalui telepon.
Wawancara dengan narasumber tidak gondrong kedua dilanjutkan kembali
pada tanggal 03 Juni 2021. Proses wawancara dilakukan langsung di kantor
narasumber. Proses wawancara dengan narasumber tidak gondrong ketiga, keempat
dan kelima dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2021. Wawancara dengan
narasumber ketiga dan keempat dilakukan via telepon, sedangkan untuk
narasumber kelima dilakukan langsung di rumah narasumber.
Seluruh proses wawancara dengan narasumber gondrong dilakukan melalui
telepon Whatsapp dan juga direkam oleh peneliti. Sedangkan dengan narasumber
tidak gondrong dilakukan via telepon dan bertemu langsung. Kendala selama
proses wawancara ialah mencari narasumber yang berasal dari akun-akun gondrong.
Beberapa kali peneliti mendapatkan penolakan.
30. 19
F.4 Hambatan Penelitian
Penelitian ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat hambatan penelitian
yang tidak dapat dipenuhi oleh peneliti karena adanya keterbatasan yang dimiliki.
Hambatan penelitian ini antara lain:
1. Peneliti menemui hambatan saat mencari narasumber laki-laki gondrong yang
berasal dari akun-akun Instagram komunitas gondrong. Beberapa kali peneliti
mendapatkan penolakan.
2. Hasil wawancara mayoritas dilakukan melalui telepon. Peneliti tidak dapat
melakukan observasi langsung terhadap narasumber, terutama narasumber laki-laki
gondrong karena adanya pandemi Covid-19. Dengan keterbatasan ini, maka hasil
wawancara belum mewakili keseluruhan respon yang diberikan oleh narasumber
laki-laki gondrong.
31. 20
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini akan terdiri dari:
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisikan tentang pernyataan penelitian, pertanyaan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian
dan sistematika penulisan. Bab ini menjelaskan pentingnya penelitian ini dilakukan
dan juga sebagai awal untuk pembahasan selanjutnya.
Bab II Gambaran Umum
Bab ini berisikan tentang gambaran umum mengenai subjek penelitian yaitu
sejarah stigma laki-laki gondrong di Indonesia.
Bab III Hasil Penelitian
Bab ini berisikan tentang deskripsi hasil temuan selama penelitian dan juga
akanmenjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana identitas laki-laki gondrong
pada masa sekarang dan juga dampak dari identitas ini terhadap laki-laki gondrong.
Bab IV Penutup
Bab keempat yaitu bab terakhir dalam penelitian ini berisi kesimpulan dari
semua hasil dan temuan penelitian dan penutup yang akan mencakup saran serta
masukan kepada segenap pihak yang terkait tema penelitian ini. Bagian akhir akan
berisi daftar pustaka serta lampiran-lampiran hasil penelitian.
32. 21
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Rambut Gondrong di Indonesia
Bagi laki-laki maupun perempuan, rambut merupakan suatu hal yang
penting. Ini karena rambut menjadi lambang diri yang paling membanggakan.
Bahkan potongan rambut raja-raja sangat dihargai karena seringkali dianggap
membawa sebagian kekuasaan dari sang raja itu sendiri. Perawatan terbaik bagi
rambut pun diberikan agar mempunyai rambut yang tetap hitam, lebat dan harum.
Praktik ini umum terjadi di negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand,
Filipina dan Indonesia (Reid 2014).
Sebelum masuknya Islam dan Kristen, hampir tidak ada perbedaan gaya
rambut antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan gaya rambut tidak ditekankan
oleh jenis kelamin, melainkan oleh usia. Di beberapa bagian negara Asia Tenggara
Kepulauan, memotong rambut hingga sangat pendek dilakukan saat masih anak-
anak dan dilakukan dengan upacara khusus (Covarrubias 1937).
Sejarawan sosial beranggapan bahwa perkembangan paling penting tentang
peralihan dari rambut panjang ke rambut pendek bagi laki-laki terjadi pada abad ke-
16 dan ke-17 (Reid 2014). Masa peralihan ini sangat dipengaruhi oleh masuknya
agama Islam dan Kristen. Pada agama Islam, pemotongan rambut pada laki-laki
dianggap sebagai bentuk kepatuhan (Reid, 2014). Orang Melayu perkotaan pada
abad itu memotong pendek rambutnya yang kemudian ditutupi oleh kopiah sebagai
bagian dari identitas nasionalnya. Gaya rambut ini pun diikuti oleh mereka yang
33. 22
memeluk agama Islam di perkotaan Asia Tenggara (Reid 2014).
Pada agama Kristen, penyebar agamanya juga berangsur-angsur
memaksakan model rambut pendek kepada kaum pria yang ada di Filipina dan Cina
(Reid 2014). Hallpike mengambil contoh dari Alkitab yang menyatakan bahwa
memotong rambut sebagai sebuah indikasi kontrol sosial (Synnot 1987). Hal ini
karena sebelumnya rambut panjang dikaitkan dengan kedewasaan serta kekuatan
spiritual. Pemotongan rambut ini juga sebagai isyarat peralihan pandangan
seksualitas dan pembeda antara laki-laki dan perempuan (Reid 2014).
Perubahan besar-besaran di Jawa dan Sulawesi Selatan tidak memberikan
efek yang sama bagi orang Jawa, Bugis, Makassar hingga Aceh hingga abad ke-19
mereka masih merawat rambut panjang. Bagi mereka rambut panjang merupakan
suatu aturan. Bahkan seringkali rambut panjang identik dengan memberikan
kekuatan sendiri (Reid 2014). Akan tetapi bagi mereka yang ingin menunjukkan
ketaatan atau yang sedang mendalami ilmu agama Islam atau penyebarannya,
mereka lebih memilih memotong rambut mereka. Diponegoro yang memberontak
melawan Belanda pada abad ke-19, bahkan menganjurkan kepada pengikutnya
untuk memotong rambutnya guna membedakan diri mereka dengan orang Jawa
“murtad” yang berpihak kepada Belanda (Carey 1981).
Pada akhir abad ke-19, yaitu masa Orde Baru, telah terjadi depolitisasi
terhadap golongan muda. Golongan muda tidak diberi cukup ruang untuk
berkembang dan berpartisipasi dalam kegiatan politik. Kalaupun ada, itu sangat
terbatas. Maka dari itu muncul golongan muda yang berbeda dengan golongan
34. 23
sebelumnya. Golongan muda ini memiliki kesamaan pada selera, aspirasi, dan gaya
hidup yang selalu ingin berubah. Selera, aspirasi dan gaya hidup ini terinspirasi dari
budaya Barat (Yudhistira 2010).
Setelah itu, masuklah budaya Barat pada tahun 1970-an melalui majalah-
majalah yang mempengaruhi selera anak muda dalam hal penampilan. Majalah-
majalah ini memuat gaya hidup di Barat yang saat itu sukar didapatkan pada masa
Soekarno, bukan hanya majalah, tetapi musik rock juga. Saat itu semua yang berbau
Barat dilarang pada masa Soekarno. Setelah pemegang kekuasaan berganti,
munculah pelampiasan dari golongan muda ini untuk meniru apa yang terjadi di
Barat (Sakrie 2002).
Pada masa awal Orde Baru, keberadaan musik rock dan anak muda yang
berambut gondrong tidak dilarang. Bahkan Orde Baru memberikan ruang kepada
band rock untuk menampilkan karya mereka. Akan tetapi perlahan pemerintah Orde
Baru berubah (Wijanarko, Wijayanti, and Muntholib 2019). Muncul gagasan bahwa
anak muda yang berambut gondrong dianggap bersikap acuh tak acuh. Selain itu
anak muda yang berambut gondrong dianggap tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa. Salah satu upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah
melakukan razia bagi semua pemuda yang berambut gondrong (Wijanarko et al.
2019).
Hippies dan musik rock menjadi sangat trend di Barat juga trend di
golongan muda saat itu. Golongan muda yang menganut aliran hippies biasanya
mempunyai rambut panjang disertai jenggot dan kumis yang juga panjang. Hal
35. 24
senada juga bisa kita lihat dari musisi rock yang digandrungi golongan muda saat
itu. Band-band dalam negeri seperti Apotik Kali Asin dan God Bless tak jarang
membawakan lagu-lagu dari grup luar negeri yang sedang populer. Black Sabbath,
Led Zeppelin dan Deep Purple adalah beberapa contohnya (Sasongko and
Katjasungkana 1991). Mereka semua punya kesamaan penampilan yaitu sama –
sama mempunyai rambut gondrong.
B. Latar Belakang Terbentuknya Stigma Rambut Gondrong di Indonesia
B.1 Periode Revolusi Belanda
Konstruksi identitas yang dilakukan Belanda terhadap orang-orang yang
berambut gondrong sebagai pelaku kriminal tidak lepas dari pengalaman mereka
pada masa Hindia-Belanda. Pada saat itu pemerintah kolonial menciptakan sistem
pendidikan modern gaya Barat yang menjadi sarana mobilitas dalam suatu
stratifikasi rasial (Shiraishi 1997). Sistem pendidikan ini secara tidak langsung telah
membuka tatanan sosial Hindia Belanda. Semakin tinggi pendidikan yang diperoleh
pada saat itu, maka akan semakin dekat juga dengan dunia bahasa Belanda yang
dikenal lebih modern (Shiraishi 1997). Pendidikan gaya Barat ini menghasilkan
suatu generasi baru yang diisi oleh kaum-kaum muda yang menyebut diri mereka
sendiri berbeda dengan orang tuanya yang tidak mengenyam pendidikan gaya Barat
(Shiraishi 1997).
Kaum-kaum muda ini kemudian mengidentifikasi diri mereka ke dalam
gaya hidup ala modern Barat seperti punya rambut pendek yang klimis, berpakaian
kemeja yang necis, bersepatu, penggunaan kata-kata Belanda dalam percakapan
sehari-hari serta menonton film yang merupakan simbol gaya hidup Barat pada saat
36. 25
itu. Pendidikan ala gaya Barat tersebut telah memberikan kesadaran “nasional”
kaum muda sebagai bumiputera Hindia (Shiraishi 1997).
Pada periode revolusi, Belanda melihat kaum-kaum muda yang “mirip”
dengan mereka perlahan hilang. Kaum-kaum muda lebih memilih untuk
memanjangkan rambutnya serta berpakaian seragam militer sampai Indonesia
merdeka. Belanda menyebut kaum-kaum muda yang hadir dengan gaya ini sebagai
“teroris” atau “ekstrimis” karena gaya yang berbeda serta sikapnya yang kurang ajar
(Onghokham 1977). Belanda menyebut kaum-kaum ini sebagai produk salah
asuhan pada zaman Jepang. Konstruksi identitas yang dilakukan oleh Belanda ini
membuat kaum-kaum muda yang gondrong dihubungkan sebagai sosok antagonis
yang melekat sebagai jago atau begal. Konstruksi identitas ini menyebabkan orang-
orang gondrong dengan mudah dijadikan kambing hitam dan sasaran fitnah oleh
penguasa saat itu bahkan setelah kemerdekaan pun praktik ini masih digunakan
(Onghokham 1977).
B.2 Periode Orde Baru
Pemerintah Orde Baru tidak menyukai keberadaan pemuda dengan rambut
gondrong. Hal ini karena pemerintah Orde Baru ingin membangun Indonesia
layaknya sebuah keluarga yang terdiri dari “Bapak”, “Ibu”, dan “Anak”. Soeharto
sebagai pemimpin Orde Baru menempatkan dirinya sebagai “Bapak Tertinggi
(Supreme Father)” (Shiraishi 2001). Pemerintah Orde secara lugas tidak menyukai
pemuda dengan rambut gondrong. Ketidaksukaan ini terlihat dari respon
kecurigaan yang selalu diberikan pemerintah Orde Baru (Yudhistira 2010). Pemuda
berambut gondrong dianggap tidak memiliki moral tertinggi dalam keluarga yaitu
37. 26
rasa hormat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Penerangan Kodam
(Kapendam) II/ Bukit Barisan, Letkol M. Jusuf yang akan menindak tegas pemuda
yang berambut gondrong karena sang anak yang tidak patuh kepada sang bapak
(Yudhistira 2010).
Nampaknya, pemerintah Orde Baru serius dalam menindak pemuda
berambut gondrong. Hal ini terlihat dari adanya beberapa tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru baik preventif dan represif untuk menyudahi erapemuda
berambut gondrong. Pemerintah Orde Baru menggunakan media massa, instruksi
dari pemerintah pusat dan daerah serta melakukan razia kepada pemuda berambut
gondrong.
Posisi media dalam pemerintahan Orde Baru harus mendukung dan
digunakan untuk mewadahi kepentingannya dan sekelompok partai yang berkuasa.
TVRI sebagai media milik negara dipersepsikan hanya milik pemerintah. Sebagai
media tunggal dalam penyebaran informasi era Orde Baru, TVRI telah berhasil
menyeragamkan pemikiran, sikap dan budaya bangsa Indonesia (Rachmiatie 2006).
Pada 20 Agustus 1971, Kepala Studio TVRI Jakarta, M. Sani mengeluarkan
instruksi yang melarang semua artis-artis berambut gondrong untuk tampil di TVRI
(Yudhistira 2010). Instruksi ini juga didukung oleh Direktur TVRI saat itu Drs.
Sumadi. Alasannya karena TVRI sebagai televisi milik pemerintah yang berperan
aktif membina kebudayaan nasional. Menurutnya rambut gondrong memberikan
kesan tidak rapi dan tidak sopan. Sumadi juga mengatakan bahwa kebanyakan artis
berambut gondrong jelek dan tidak memiliki kemampuan bermusik yang baik.
38. 27
Mereka khawatir apabila TVRI menampilkan artis yang berambut gondrong akan
memicu keprihatinan orang tua. Mereka pun takut anak-anak mereka akan ikut
terpengaruh gaya-gaya artis di TVRI. Selain itu, bagi artis yang berambut gondrong
harus membuktikan apakah rambut gondrongnya itu berfungsi atau tidak. Jika tidak
dapat membuktikannya maka mereka tidak bisa tampil di TVRI (Yudhistira 2010).
Selain TVRI, konstruksi identitas laki-laki yang berambut gondrong dapat
dilihat dalam surat-surat kabar. Misalnya, surat kabar Pos Kota tanggal 5 Oktober
1973 memuat berita yang berjudul “7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”. Pada
11 Oktober 1973 harian tersebut menurunkan berita berjudul “Waktu Mabuk Di
Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”. Bukan hanya Pos Kota,
harian lain seperti Angkatan Bersenjata pada 29 September 1973 menuliskan berita
yang berjudul, “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”. Setelah itu
pada tanggal 18 Oktober 1973, Angkatan Bersenjata memuat kembali berita
pencurian kendaraan dengan judul, “Disambar Si Gondrong”. Judul-judul yang
tertulis di atas ketika itu merupakan judul-judul yang biasa. Konstruksi identitas
yang dibangun oleh media ke publik tentang laki-laki gondrong tidak jauh dari
tindak kriminalitas. ‘Merampok”, “memeras”, “merampas”, serta “memperkosa”
atau sebagai pecandu narkotika (Angkatan Bersenjata, 3 Agustus 1973; Indonesia
Raya, 12 Agustus 1973) terlihat sangat lazim digunakan untuk menggambarkan
laki-laki gondrong. Jarang sekali ditemukan berita dengan judul ciri-ciri lain seperti
botak, gundul, cepak yang ditulis dalam berita kriminal pada saat itu. Malah suatu
keanehan apabila ternyata ada orang yang tidak berambut gondrong melakukan
kejahatan (Yudhistira 2010).
39. 28
Gambar 1
Sumber: Pos Kota, 6 Oktober 1973
Pemerintah pusat dan daerah era Orde Baru serius menangani masalah
pemuda berambut gondrong. Peneliti menemukan berbagai instruksi pelarangan
rambut gondrong dan perintah razia untuk semua pemuda rambut gondrong di
berbagai daerah. Bukan hanya sebatas instruksi dan perintah, pemerintah Sumatera
Utara bahkan membuat badan koordinasi khusus untuk memberantas pemuda
berambut gondrong. Pelarangan rambut gondrong ini dilakukan hampir di semua
lingkungan pemerintahan. Lingkungan militer, polisi, dan sekolah secara aktif
mengumumkan pelarangan ini.
Tanggal 5 September 1973 Menhankam/Pangab mengirim radiogram No.:
SHK/1046/IX/73 kepada jajarannya yang berisi larangan bagi anggota ABRI dan
karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer beserta keluarganya untuk
berambut gondrong. Hal serupa pun terjadi juga dalam tubuh Polisi Republik
Indonesia (Polri). Komandan Garnisun Jakarta, Brigjen G.H Mantik tanggal 20
40. 29
September 1973 mengeluarkan instruksi No.: INST./11/IX/73 yang berisi perintah
kepada pimpinan ketiga angkatan dan Polri di wilayahnya untuk melarang para
anggotanya baik militer maupun karyawan sipil Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) beserta anggota keluarganya yang pria berambut gondrong.
Alhasil atas perintah ini anak-anak mereka beramai-ramai untuk mencukur
rambutnya. (Angkatan Bersenjata, 6 Oktober 1973; Pos Kota, 6 Oktober 1973).
Selain itu juga pada 1 Oktober 1973, dalam sebuah bincang-bincang di TVRI,
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro mengatakan bahwa pemuda menjadi acuh tak
acuh karena mempunyai rambut gondrong. Pernyataan ini pun menuai protes dari
11 mahasiswa Delegasi Mahasiswa ITB pada 10 Oktober 1973 (Kompas, 11
Oktober 1973).
Rambut gondrong di Sumatera Utara diibaratkan layaknya sebuah penyakit
yang berbahaya. Pada September 1973, Gubernur Sumatera Utara, Marah Halim
membentuk badan khusus yang bertugas memberantas rambut gondrong. Badan ini
diberi nama “Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong” atau yang
disingkat menjadi “Bakorperagon”. Badan ini diketuai dan beranggotakan pejabat
daerah setempat. Ketuanya adalah kepala Direktorat Khusus Kantor Gubernur
Sumatera Utara. Sedangkan anggotanya adalah pejabat-pejabat daerah tingkat I dan
wakil kwartir daerah provinsi Sumatera Utara. Bakorperagon ini bertujuan
membasmi tata cara pemeliharaan rambut yang tidak sesuai dengan kepribadian dan
kebudayaan Indonesia (Kompas, 24 September 1973; Antara, 26 September 1973).
Pelaksanaan Bakorperagon ini dibagi dalam tiga tahap, antara lain:
41. 30
1. Tahap pertama, akan dilakukan sampai akhir September, dimana seluruh pegawai
negeri dan anggota ABRI serta anak-anak mereka tidak diperkenankan untuk
gondrong.
2. Tahap kedua, akan dilakukan paling lambat tanggal 28 Oktober 1973 yang
bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, dimana seluruh anak muda harus terbebas
dari rambut gondrong.
3. Tahap terakhir, sampai dengan tanggal 31 Desember 1973 yang dikhususkan bagi
mereka yang masih lolos berambut gondrong.
Untuk mendukung usaha ini, pemerintah Sumatera Utara juga menutup
daerah mereka bagi para pendatang berambut gondrong yang akan masuk wilayah
itu (Sinar Harapan, 28 September 1973). Tetapi, peraturan ini tidak berlaku bagi
wisatawan asing. Hal ini terlihat saat grup musik Bee Gees tampil di Medan.
Mereka bebas dari aturan tersebut. Namun para penggemarnya yang berambut
gondrong dilarang untuk mengikuti arak-arakan keliling kota oleh Panglima
Komando Daerah Militer (Pangdam) II/Bukit Barisan (Indonesia Raya, 26
September 1973).
Pada 8 Desember 1966 dilakukan razia di depan Stasiun Tanah Abang.
Razia ini dilakukan untuk menyisir anak-anak muda yang mempunyai rambut
gondrong. Razia ini pun menyebar ke berbagai kota lainnya. Bandung, Yogyakarta,
Medan dan Surabaya juga melakukan razia ini. Anak-anak muda yang mempunyai
rambut gondrong akan mendapat tindakan “potong di tempat”. Alasan
42. 31
diberlakukannya razia ini karena anak-anak muda yang berambut gondrong
dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa (Yudhistira 2010).
Sejak akhir Desember 1966, Bandung mulai melakukan razia rambut juga.
Petugas razia terdiri dari kesatuan ABRI. Tercatat razia ini menjaring sekitar 150
remaja yang kebanyakan anak orang kaya. Menurut petugas yang melakukan razia,
razia kali ini adalah razia yang paling berhasil dibanding sebelum-sebelumnya
(Yudhistira 2010).
Razia rambut gondrong yang paling menghebohkan terjadi di Jakarta pada
9-10 Januari 1968. Sebab razia ini adalah perintah langsung dari Gubernur Ali
Sadikin. Bahkan ia mengatakan bahwa paling lambat tanggal 31 Januari 1968
persoalan rambut gondrong di Jakarta sudah terselesaikan. Jika masih ada pemuda
berambut gondrong maka petugas gubernur akan langsung turun tangan untuk
memotongnya (Yudhistira 2010).
Selain razia di jalan-jalan raya, aksi anti-rambut gondrong ini juga
dilakukan di kantor-kantor pemerintahan. Orang-orang yang berambut gondrong
tidak diperkenankan mendapat layanan dari institusi negara. Di kepolisian
misalnya, pengurusan SIM, izin pertunjukan, izin rapat, atau surat keterangan bebas
G30S/PKI tidak akan dilayani apabila yang mengajukan masih berambut gondrong.
Hal ini terlihat di Kepolisan Salatiga yang memasang pengumuman di pintu
masuknya yang tidak akan melayani tamu yang berambut gondrong dan berpakaian
kedodoran. Alasan kebijakan ini adalah sebagai langkah preventif mencegah
timbulnya efek negatif dari rambut gondrong (Yudhistira 2010).
43. 32
Gambar 2
Sumber: Indonesia Raya, 6 Desember 1973
Hal yang sama juga dilakukan di wilayah Depok. Wilayah Depok secara
resmi juga tidak akan melayani anak-anak muda berambut gondrong untuk
membuat KTP (Pos Kota, 2 Oktober 1973). Lingkungan militer pun tertutup bagi
mereka yang berambut gondrong. Wilayah militer seperti kantor, perumahan, serta
pusat olahraga yang berhubungan dengan institusi militer menjadi kawasan bebas
rambut gondrong. Pelanggar akan dikenai hukuman cukur di tempat (Kompas, 29
September 1973). Di Jember, Jawa Timur, pemerintah setempat juga membuat
aturan yang serupa. Karyawan pemerintah daerah beserta keluarganya dilarang
berambut gondrong. Bila masih berambut gondrong setelah 5 Oktober 1973 maka
karyawan yang bersangkutan akan dikenai sanksi skorsing bakal dipecat (Berita
Buana, 11 Oktober 1973; Indonesia Raya, 12 Oktober 1973). Sementara itu di
Tegal, merekayang masih mempunyai rambut gondrong akan dikenakan denda
sebesar Rp.6.000,00 (Berita Buana, 6 November 1973).
44. 33
Razia rambut gondrong ini juga dilakukan di sekolah-sekolah. Di SMA XIX
Jakarta dipasang sebuah pengumuman oleh kepala sekolah, yang isinya antara lain
(Kompas, 31 Agustus 1973):
1. Para siswa yang berambut panjang tidak diperkenankan mengikuti ulangan-ulangan.
2. Siswa-siswa tersebut diatas tidak diberikan ulangan susulan.
3. Nama-nama murid tersebut dapat dilihat pada papan pengumuman.
Ancaman serupa juga terjadi di Tasikmalaya. Kepala-kepala sekolah SMP
dan SMA di Kabupaten Ciamis sepakat mengeluarkan peraturan yang melarang
siswa-siswanya yang berambut gondrong untuk mengikuti ulangan umum yang
akan dilangsungkan pada bulan November 1973. Mereka yang memakai celana
cutbray dan ikat pinggang yang besar pun mendapatkan peringatan yang sama
(Sinar Harapan, 1 November 1973). Selain Tasikmalaya, di Medan juga
mengeluarkan peraturan yang melarang siswa-siswanya untuk gondrong. Bahkan
dilansir dari Sinar Harapan 22 September 1973, terjadi pemecatan kepada 9 orang
pelajar SMA 1 karena dianggap melanggar instruksi direktur sekolah tentang
rambut mereka. Pemecatan ini bermula ketika 40 siswa melarikan diri saat upacara
bendera untuk menghindari razia potong rambut yang dilakukan guru-guru. Akan
tetapi menurut keterangan dari Sinar Harapan, dari 40 siswa yang melarikan diri,
hanya 9 yang dikeluarkan karena 31 orang lain merupakan anak-anak pejabat di
Medan (Sinar Harapan, 22 September 1973).
45. 34
Dalam sebuah lokakarya yang dilakukan kepala-kepala SMP dan SMA se-
Yogyakarta yang diselenggarakan pada awal September 1973, menghasilkan
sebuah keputusan yang melarang semua siswa-siswa untuk berambut gondrong.
Keputusan ini berdasarkan anggapan bahwa siswa yang berambut gondrong selain
menimbulkan kesan yang tidak menyenangkan juga tidak sesuai dengan
kepribadian nasional. Larangan ini juga diberikan oleh Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda) Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Bila siswa melanggar ketentuan ini maka akan
dikenai sanksi dari 4 tingkat, antara lain (Kompas, 3,8 September 1973; Angkatan
Bersenjata, 3 Oktober 1973):
1. Teguran lisan dari guru atau kepala sekolah
2. Peringatan tertulis dengan tembusan kepada orang tua/wali
3. Skorsing
4. Siswa dikeluarkan atau dipecat dari sekolah
B.3 Periode Reformasi
Pasca pemerintahan Orde Baru lengser pada tahun 1998, munculah
pemerintahan era Reformasi. Era Reformasi berlangsung sejak tahun 1998 hingga
sekarang. Saat ini, sudah banyak anak muda yang mengekspresikan dirinya dengan
membiarkan rambutnya gondrong. Identitas-identitas preman yang semula melekat
pada pemuda berambut gondrong perlahan mulai hilang (Kusumajati 2014).
Munculnya media elektronik lain selain media elektronik milik pemerintah
yaitu televisi milik swasta mempengaruhi berkurangnya stigma pada laki-laki
46. 35
gondrong. Pada tahun 1989, pemerintah memberikan izin operasi kepada Bimantara
untuk membuka stasiun televisi RCTI. Kemudian disusul oleh SCTV, Indosiar,
ANTV, dan TPI. Gerakan reformasi pada tahun 1998 telah memicu perkembangan
industri televisi. Menjelang tahun 2000 muncul lima stasiun televisi baru, yakni
Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi, dan Global, serta beberapa stasiun televisi
daerah yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan stasiun televisi lokal (Morissan
2009). Acara-acara yang disiarkan oleh televisi sekarang mulai beragam. Acara
televisi pada umumnya memengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan
penonton (Effendy 1986).
Acara televisi banyak menampilkan laki-laki gondrong pada jam-jam
primetime. Bukan hanya pemain sinetron saja, tetapi juga musisi maupun pemain
film. Oemar Daniel, Adipati Dolken, Marcello Tahitoe, Virzha, Morgan Oey,
Vincent Rompies dll adalah sosok yang akrab di acara televisi. Laki-laki dengan
rambut gondrong dianggap mempunyai kesan yang macho dan sangar. Selain itu
laki-laki berambut gondrong dianggap pemberani, apa adanya dan juga kreatif
(Asmayadi 2019).
Selain media elektronik, internet juga mempengaruhi perubahan stigma pada
laki-laki gondrong. Salah satunya adalah media sosial. Media sosial ini dapat
menjadi media untuk menunjukkan eksistensi penggunanya dalam beraktivitas
maupun berkolaborasi. Dengan adanya interaksi secara daring ini, laki-laki
gondrong di era reformasi menemukan entitasnya dan dapat meningkatkan
kepercayaan dirinya (Hanum and Urada 2019). Akun Instagram Gondrongers
misalnya, dapat memotivasi pengikutnya untuk memiliki rambut gondrong. Disisi
47. 36
lain, akun Gondrongers ini juga berhasil memotivasi remaja untuk menghilangkan
kesan buruk pada laki-laki berambut gondrong (Nawangsari 2017).
Walaupun demikian, stigma negatif pada laki-laki berambut gondrong
masih ditemukan. Misalnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Lampung, mahasiswi yang punya pengalaman negatif terhadap laki-laki gondrong
maka kesan negatif itu terbawa pada saat pertama kali melihat mahasiswa gondrong
yang lain (Prabowo 2015).
Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat bagaimana stigma laki-laki
gondrong pada masa sekarang. Selain itu penelitian ini diarahkan untuk melihat
bagaimana perubahan stigma terhadap laki-laki gondrong dan bagaimana
dampaknya terhadap laki-laki gondrong.
B.4 Perbandingan Stigma yang dialami Laki-Laki Gondrong tiap Periode
Pada bagian ini, peneliti membandingkan stigma yang dialami oleh laki-laki
gondrong pada setiap periode yaitu periode Revolusi Belanda, Orde Baru dan
Reformasi. Peneliti meneukan bahwa pelarangan rambut gondrong ini diketahui
terjadi sejak Periode Revolusi Belanda, lalu meningkat pada Periode Orde Baru dan
mulai menghilang pada Periode Reformasi. Untuk lebih jelasnya, peneliti
menjabarkan dalam table berikut:
48. 37
TABEL 3
Periode Positif Negatif
Revolusi
Belanda
- - Generasi laki-laki yang bermbut
gondrong dianggap tidak mencerminkan
generasi baru pada masa Belanda yang
berpendidikan.
- Munculnya generasi laki-laki yang
berambut gondrong dianggap sebagai
hasil dari produk salah asuh zaman
Jepang
- Belanda membuat konstruksi identitas
bagi laki-laki gondrong sebagai indvidu
yang lekat dengan sikap antagonis.
Orde Baru- Wisatawan asing boleh berambut
gondrong (Bee Gees tetap boleh
tampil di Medan namun para
penggemarnya dilarang berambut
gondrong).
- Laki-laki berambut gondrong dianggap
sebagai pemuda yang tidak memiliki
moral dan tidak punya rasa hormat,
- Dilakukannya tindakan preventif dan
represif untuk menyudahi generasi laki-
laki berambut gondrong yang dianggap
sebagai “anak” yang tidak patuh kepada
“ayahnya”.
- Laki-laki gondrong dianggap tidak sesuai
dengan kepribadian nasional.
- Laki-laki yang berambut gondrong tidak
mendapatkan layanan administrative
seperti pembuatan KTP.
- Laki-laki gondrong dilarang untuk tampil
di televisi.
- Media cetak menuliskan judul berita yang
menarasikan kejahatan identik dengan
laki-laki berambut gondrong.
- Sekolah diperintahkan untuk melarang
dan menindak tegas siswa yang
mempunyai rambut panjang.
49. 38
Reformasi- Mulai berdirinya stasiun televisi
swasta yang menayangkan laki-
laki gondrong pada acara prime
time.
- Laki-laki gondrong dianggap
sebagai individu yang macho dan
kreatif.
- Munculnya media sosial
mempengaruhi perubahan stigma
yang dialami oleh laki-laki
gondrong. Dengan adanya media
sosial laki-laki gondrong bisa
mengekspresikan dirinya dan
membuktikan identitas asli
mereka.
- Masyarakat yang belum mengenal laki-
laki gondrong secara pribadi masih
memberikan stigma.
50. 39
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identitas Laki-Laki Gondrong
Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan hasil wawancara mengenai
bagaimana identitas laki-laki gondrong pada masa sekarang. Secara garisbesar,
identitas menurut Goffman dibagi menjadi dua, yaitu Actual Social Identity dan
Virtual Social Identity.
Hasil penelitian menemukan bahwa pada Virtual Social Identity masyarakat
mempunyai dua asumsi pada laki-laki gondrong. Pertama adalah Virtual Social
Identity yang negative dan positif. Pada identitas kedua, yaitu Actual Social Identity, laki-
laki gondrong mengakui mempunyai identitas yang jauh berbeda daripada asumsi
masyarakat terhadap mereka. Peneliti menemukan bahwa semua narasumber laki-laki
gondrong mempunyai dua pandangan identitas ini.
A.1 Virtual Social Identity
Dalam pandangan Virtual Social Identity, masyarakat cenderung membuat
asumsi tertentu tentang individu lain berdasarkan penampilan luar mereka. Asumsi
yang dibuat seringkali mendiskreditkan individu lain yang tampak berbeda dari
mereka.
51. 40
Hasil wawancara dengan narasumber laki-laki gondrong menyebutkan
bahwa mereka sering dianggap sebagai berandalan dan tidak berpendidikan. Hal ini
sejalan dengan beberapa pernyataan dari narasumber gondrong berikut:
“…semua orang, ya kamu juga tau lah, ketika ada satu gerombolan yang
gondrong semua tuh kayak pandangan orang tuh, “wah serem banget nih”,
“bandel-bandel nih pasti” kayak gitu” (Wawancara via telepon dengan Esa,
22 tahun, 27 September 2020).
“…pandangan mereka ke saya ya pasti jelek, konotasinya bandel, liar,
amburadul, …Misalnya orang-orang rumah, atau orang-orang kampung gitu
lah, kayak “kok orang pondok amburadul? Engga rapih?” (Wawancara via
telepon dengan Bagus, 22 tahun, 26 Agustus 2020).
“Kadang gua suka aneh aja gitu kalau orang yang gondrong suka dibilang
berandal, ngga punya pendidikan yang cukup, terus sudut pandang yang
rumit, menurut gua itu engga fair aja sih.” (Wawancara via telepon dengan
Ahmad, 22 tahun, 26 Agustus 2020)
Narasumber mengakui bahwa dirinya sering mendapatkan pandangan buruk
dari masyarakat. Hal ini karena penampilan mereka berbeda dari standard estetika
laki-laki pada umumnya. Menurut pemaparan narasumber Ilham dalam wawancara
menyebutkan bahwa, “Asumsi mereka (masyarakat) tuh mudah menyimpulkan,
kalau luarnya jelek ya dalemnya jelek.” (Wawancara via telepon dengan Ilham, 20
tahun, 18 Januari 2021). Asumsi masyarakat masih kuat dengan pemahaman bahwa
jika penampilan luarnya jelek maka sikap dan sifatnya pun akan demikian. Hal ini
juga sejalan dengan pernyataan narasumber Aji yang merasa ada peraturan-
peraturan tidak tertulis yang berasal dari asumsi masyarakat umum mengenai laki-
laki gondrong yang identik dengan tindak kriminalitas. Asumsi ini juga diperparah
dengan kejadian-kejadian negatif yang kebetulan pelakunya merupakan laki-laki
gondrong.
52. 41
“Karena menurut gua memang di-masyarakat itu gondrong diidentikan
dengan kriminal nah akhirnya muncul peraturan-peraturan tidak tertulis
kayak gitu.” (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20 Agustus 2020)
“Kalau menurut gua munculnya peraturan kayak gitu di sekolah atau di
institusi lainnya karena memang didasarkan pada segelintir-segelintir kasus
atau kejadian-kejadian atau contoh yang kebetulan kejadian- kejadian yang
negatif dibilang pelakunya ini gondrong.” (Wawancara via telepon dengan
Aji, 22 tahun, 20 Agustus 2020)
Para narasumber juga menyatakan, seringkali diidentikan dengan suatu
pekerjaan dan di satu sisi dianggap tidak cocok melakukan pekerjaan tertentu. Hal
ini disampaikan oleh narasumber berikut:
“…Paling cuman kadang orang-orang mengidentikan orang gondrong itu
dengan seniman, biasanya ada pertanyaan, “kamu musisi ya?” “kamu
seniman ya?” (Wawancara via telepon dengan Bagus, 22 tahun, 26 Agustus
2020).
“ya rapih kek, lu kan tau kita anak (pendidikan) olahraga, rambut yang rapih,
ya Allah, emang lu anak Teknik Mesin apa? emang lu anak Seni apa?”
(Wawancara via telepon dengan Ahmad, 22 tahun, 26 Agustus 2020).
“Terus biasanya kalo gua liat cowo gondrong tuh kayak “wah gila seni
banget nih”, terus juga berjiwa bebas istilahnya tidak terkekang, pokoknya
have fun gitu anaknya” (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20
Agustus 2020).
Narasumber yang gondrong seringkali diidentikkan mempunyai profesi
sebagai seniman ataupun musisi. Narasumber Ahmad yang sedang menempuh
Pendidikan di Perguruan Tinggi dengan jurusan Pendidikan Olahraga dianggap
tidak pantas memiliki rambut gondrong. Teman-temannya yang mayoritas tidak
gondrong menganggap bahwa mempunyai rambut gondrong tidak mencerminkan
dirinya sebagai mahasiswa Pendidikan Olahraga. Rambut gondrong diidentikkan
dengan jurusan Teknik Mesin ataupun jurusan Seni.
53. 42
Laki-laki gondrong yang diasumsikan sebagai individu yang dekat dengan
dunia kriminalitas seperti seringkali dianggap sebagai penculik. Menurut
pemaparan dari narasumber Hari, orang tua seringkali menakut-nakuti anaknya
dengan kata “penculik” jika melihat laki-laki gondrong. Hal ini dialami sendiri oleh
narasumber.
“Soalnya kan orangtua tuh kadang nakutinnya kayak “tuh liat tuh ada om
rambutnya panjang tuh nanti diculik”, soalnya kan banyaknya cita- citanya
jadi polisi bukan laki-laki gondrong.” (Wawancara via telepon dengan Hari,
23 tahun, 18 Oktober 2020)
Selain pandangan masyarakat yang cenderung negatif, laki-laki gondrong
pada masa sekarang mendapatkan pandangan positif. Pertama, laki-laki gondrong
dilihat sebagai laki-laki yang macho dibandingkan dengan laki-laki yang tidak
gondrong. Hal ini sejalan oleh pernyataan dari narasumber berikut:
“Karena gua liat laki-laki yang gondrong tuh lebih terlihat macho. Mungkin
karena dari film-film barat juga yang gue tonton ya, yang aktor gondrong,
brewokan, tuh lebih manly aja gitu”. (Wawancara langsung dengan Bima, 26
tahun, 03 Juni 2021).
Berdasarkan pemaparan dari narasumber Aji yang merupakan laki-laki
tidak gondrong, dia melihat laki-laki gondrong sebagai individu yang bebas.
Narasumber Aji juga menyebutkan bahwa ada aura yang menyenangkan jika
melihat laki-laki gondrong.
“Terus biasanya kalo gua liat cowo gondrong tuh kayak “wah gila seni
banget nih”, terus juga berjiwa bebas istilahnya tidak terkekang, pokoknya
have fun gitu anaknya.” (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20
Agustus 2020)
54. 43
A.2 Actual Social Identity
Actual Social Identity ialah identitas yang terbentuk dari karakter-karakter
yang nyata dan dapat dibuktikan (Goffman 1963). Dalam identitas ini, yang terlihat
bukanlah berdasarkan asumsi tetapi bisa dilihat dari sikap sebenarnya. Peneliti
menemukan jawaban yang beragam. Hampir semua narasumber gondrong
menyatakan bahwa apa yang diasumsikan orang-orang tentang laki-laki gondrong
tidak sesuai dengan identitas asli mereka.
A.2.1 Bentuk Ekspresi dan Aktualisasi Diri
Actual Social Identity yang pertama adalah laki-laki berambut gondrong
menganggap rambutnya sebagai bentuk ekspresi dan aktualisasi diri. Dengan
mempunyai rambut gondrong, narasumber Esa mengatakan bahwa rambutnya
adalah bukti bahwa banyak hal yang bisa ia buat. Hal ini diutarakannya dalam
wawancara berikut:
“kalau aku lebih ke rambut gondrong aku ini cuma sebagai ekspresi aku tapi
aku gondrongin rambut bukan untuk nunjukin kalau aku gondrong gitu lho,
tapi untuk nunjukin ke perilaku dan apa sih bisa aku buat dan aku gondrong,”
(Wawancara via telepon dengan Esa, 22 tahun, 27 September 2020).
55. 44
Narasumber Farhan menyebutkan dalam wawancaranya bahwa ia merasa
keren dengan rambut gondrongnya. “Kalau cuma diliattin aja sih biasa, biasanya
diliattin cewe-cewe SMA. Karena kan jaman dulu cowo gondrong tuh keren-
keren.” (Wawancara via telepon dengan Farhan, 46 tahun, 27 September 2020).
Narasumber Farhan menyebutkan bahwa perempuan-perempuan SMA pada saat
ia bersekolah sering melihatnya karena pada zaman itu, laki-laki gondrong dianggap keren.
Gambar 3
Sumber: Akun Instagram @gondrong_indonesia, 8 Oktober 2020
Instagram juga menjadi salah satu media yang mendukung dalam
aktualisasi diri laki-laki gondrong. Akun Instagram @gondrong_indonesia
merupakan akun terbesar yang sering me-repost foto laki-laki gondrong. Tercatat
akun ini mempunyai 121.000 followers. Pada setiap postingan tertera akun
Instagram si pemilik foto. Dengan cara ini, laki-laki gondrong dapat mengenal
setiap foto yang di-upload pada Instagram @gondrong_indonesia.
Narasumber Ilham menyebutkan bahwa ada perasaan bangga karena dengan
rambutnya ia bisa di-repost oleh akun Instagram @gondrong_indonesia.
56. 45
Menurutnya dengan fotonya yang di-repost oleh akun Instagram
@gondrong_indonesia yang merupakah aku Instagram terbesar yang mem-posting
tentang laki-laki gondrong, banyak laki-laki gondrong lain yang mem-follow-nya
dari satu daerah yang sama. Narasumber Ilham juga berharap dengan langkah ini ia
bisa memberitahu laki-laki gondrong di daerah lain bahwa mereka juga sedang
berusaha mengubah persepsi soal laki-laki gondrong.
“Wah iya bener. Dari pas di-repost itu aja banyak yang captionnya
menyertakan nama kota saya beserta tanggal. Dari caption itu akhirnya
banyak yang nge-follow dari Palembang juga. Terus juga jadi banyak yang
kenal, karena kan akun Gondrong Indonesia tuh aku gondrong yang paling
gede daripada akun gondrong yang lain, jadi banyak lah orang Palembang
yang “wah orang Palembang nih di-repost sama akun GI”. Temen-temenku
yang lain juga pada seneng banget hahaha, pada lompat- lompat “akhirnya
di-repost juga.” (Wawancara via telepon dengan Ilham, 20 tahun, 18 Januari
2021)
“Lebih pengen nunjukin ke orang aja sih, kalau di daerah Palembang juga
ada yang mau mengubah persepsi soal laki-laki gondrong.” (Wawancara via
telepon dengan Ilham, 20 tahun, 18 Januari 2021)
Gambar 4
Sumber: Akun Instagram @gondrong_indonesia, 22Desember 2019
57. 46
Menurut pemaparan narasumber yang tidak gondrong yaitu narasumber Aji,
rambut gondrong merupakan bentuk ekspresi individu dalam memilih gaya rambut.
Berlatar belakang Pendidikan Olahraga, narasumber Aji menyebutkan bahwa hal
ini dilihatnya dari teman satu angkatannya. Narasumber melihat temannya yang
merupakan calon guru dan gondrong tampak baik-baik saja.
Narasumber Aji menganggap bahwa rambut gondrong sama sekali tidak
mempengaruhi kepribadian seseorang, baik itu kepribadian yang baik ataupun
buruk.
“Di satu sisi dia berpendidikan, bakal jadi calon guru. Jadi dia walaupun di
satu sisi bakal jadi calon guru, tetapi dia gondrong ngga jadi masalah buat
dia gitu.” (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20 Agustus 2020).
“Ya itu sekedar gaya rambut, pilihan gaya rambut yang sama sekali tidak
mempengaruhi kepribadian ataupun baik buruknya seseorang gitu.”
(Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20 Agustus 2020).
Hal ini juga sejalan dengan pemaparan narasumber Bima. Menurutnya laki-
laki yang memilih memiliki rambut gondrong merupakan pilihan gaya rambut saja.
Pilihan gaya rambut yang diambil oleh seseorang tidak mencerminkan seseorang
berpendidikan atau tidak.
“Karena kalau menurut gue namanya punya rambut gondrong tuh lebih ke
pilihan pribadi aja sih, jadi engga mencerminkan dia ngga berpendidikan
atau gimana, karena menurut dia tuh lebih ke style aja sih.” (Wawancara
langsung dengan Bima, 26 tahun, 03 Juni 2021)
58. 47
A.2.2 Mempunyai Jiwa Pemberani, Mudah Beradaptasi dan Ramah
Hasil wawancara dengan beberapa narasumber baik itu laki-laki gondrong
dan bukan laki-laki gondrong menyebutkan bahwa mereka merasa laki-laki
gondrong mempunyai jiwa pemberani mengungkapkan kebenaran, mudah
beradaptasi, religious dan juga ramah.
Menurut pemaparan dari narasumber Hari awalnya ia merupakan
mahasiswa yang sulit untuk bergaul dan beradaptasi dengan mahasiswa lain.Namun
hal itu berubah saat ia mulai memanjangkan rambutnya. Ia merasa ketika ia
mempunyai rambut gondrong, orang lain lebih hangat dan ramah kepadanya. Saat
semester enam narasumber Hari pertama kali gondrong, ia memiliki dorongan
untuk bergaul dengan mahasiswa lain. Selain itu, ia juga berubah menjadi orang
yang lebih mudah beradaptasi.
“Kalau sikap dan sifat sih sama aja ya, tapi kalau perlakuan dari orang lain
sih yang beda banget, kerasanya lebih hangat pas gondrong. Misalkan dari
semester 1-5 tuh Fahmi susah banget interaksi sama anak antar fakultas. Nah
pas pertama gondrong, entah kenapa jadi lebih gampang diajak bergaulnya
gitu, lebih mudah beradaptasi.” (Wawancara via telepon dengan Hari, 23
tahun, 18 Oktober 2020).
Hampir serupa dengan pengalaman narasumber Hari, narasumber Esa juga
merasakan ada hal yang berubah saat ia mempunyai rambut gondrong. Selama
mempunyai rambut gondrong, ia merasa bahwa dirinya berani mengungkapkan
kebenaran. Hal ini ia dapatkan dari idolanya yaitu Che Guevara. Menurutnya spirit
Che Guevara dalam membawa perubahan khususnya dalam memberantas
penindasan sangat mempengaruhinya untuk menjadi orang yang lebih berani.
59. 48
“Terus kalau Che Guevara yang membawa perubahan dunia khususnya
penindasan, dia kan termasuk kiblatnya para aktivis gitu kan, jadi pas aku
gondrong tuh aku jadi lebih berani mengungkapkan kebenaran gitu lho. Jadi
yang paling menggugah tuh spirit mereka tuh kayak sampe banget ke aku.”
(Wawancara via telepon dengan Esa, 22 tahun, 27 September 2020)
Menurut wawancara dari narasumber Dimas yang mempunyai anak laki-
lakiyang gondrong, ia melihat anaknya tetap religius. Anaknya yang berambut
gondrong ini tetap ke masjid walaupun memang sedikit dipaksa. Menurut
pemaparannya, anaknya juga ramah. Dengan demikian, maka asumsi orang bahwa
laki-laki gondrong tidak baik tidak selalu benar kenyataannya.
“kebetulannya orang tau (anak om) pas gondrong itu, (anak om) sering ke
masjid, walaupun agak susah dan dipaksa, tapi akhirnya orang berasumsi
bahwa orang gondrong tuh baik juga. Terus (anak om) juga orangnya
ramah.” (Wawancara via telepon dengan Dimas, 51 tahun, 23 Agustus 2021)
A.2.3 Berpendidikan dan Berprestasi
Asumsi masyarakat seringkali mengaitkan laki-laki gondrong sebagai
individu yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai prestasi. Namun dari hasil
wawancara peneliti, semua narasumber pernah atau sedang mengenyam Pendidikan
S-1 dari berbagai Universitas di Indonesia. Narasumber Hari dalam wawancaranya
menyebutkan bahwa mengapa laki-laki gondrong hanya dinilai dari sisi negatifnya
saja. Narasumber Hari menyebutkan dirinya bisa lulus dan wisuda yang cukup
membuktikan bahwa laki-laki gondrong juga sama dengan laki-laki yang tidak
gondrong, dapat mempunyai pendidikan yang semestinya. Hal ini diutarakan dalam
wawancaranya dengan peneliti sebagai berikut:
60. 49
“Nah jadi dengan aku gondrong nih, aku pengen liat kenapa sih kalau cowo
gondrong yang dilihat hanya sisi negatifnya aja, padahal bisa diliat dari sisi
positifnya, kayak Fahmi bisa kuliah, bisa lulus, juga bisa di-wisuda, saya juga
intelek, jadi ya berarti kan bisa dan sama saja.” (Wawancara via telepon
dengan Hari, 23 tahun, 18 Oktober 2020).
Pengalaman serupa juga dialami oleh narasumber Ilham. Ia menceritakan
pengalamannya yang paling berkesan selama mempunyai rambut gondrong yaitu
mendapatkan penghargaan juara II Urun Data se-Sumatera Selatan. Tentu hal ini
membuatnya bangga. Dalam wawancara ia menyebutkan bahwa pada kenyataannya
rambut gondrong yang ia miliki tidak menghalanginya untuk berprestasi. Ia juga
menambahkan bahwa seringkali ia melihat laki-laki gondrong yang langsung turun
ke lapangan dalam kegiatan sosial, misalnya saat terjadi bencana atau musibah.
“Bangga sih. Kayak “ini lho gondrong yang kalian remehkan. Ini gondrong
yang kalian bilang selengean, yang kalian bilang ngga ada masa depan”.
Karena kan rambut gondrong ternyata ngga menghalangi kita untuk
berprestasi kan? Jadi lebih ke gitu sih. Karena kan kebanyakan sekarang yang
gondrong yang lebih banyak action ke lapangan. Misalnya dari kegiatan
sosial, terus bantuan sosial, turun ke lapangan langsung saat ada bencana
atau musibah, sampai ke demo-demo kemarin, lebih ke kayak gitu-gitu sih.”
(Wawancara via telepon dengan Ilham, 20 tahun, 18 Januari 2021)
Hal positif juga dirasakan oleh narasumber Aji. Ia menuturkan bahwa di
lingkungan sekitarnya, laki-laki gondrong sangat produktif. Banyak dari mereka
menggeluti hobi seperti pencinta alam dan fotografi. Narasumber Aji sangat
terbantu oleh temannya yang berambut gondrong yang mempunyai hobi fotografi.
Ia menyebutkan bahwa temannya ini membantunya dalam proses pengambilan
video untuk keperluan skripsinya. Dalam wawancaranya ia juga menyebutkan
bahwa laki-laki gondrong di sekitar lingkungannya sering mengadakan acara
seperti bakti sosial. Bahkan laki-laki gondrong yang ia kenal merupakan seorang
61. 50
musisi dan sempat mengeluarkan lagu. Hal ini tercantum dalam hasil
wawancaranya berikut:
“Kayak ini contoh di sekitaran gua, anak-anak yang gondrong ini dia pecinta
alam, kayak yang deket sama gue, itu suka ngadain acara kayak bakti sosial,
ada yang hobi fotografi, bahkan waktu gua skripsi kemaren gua dibantuin
sama dia dalam ngambil video. Terus ada yang musisi juga dan band-nya
sempet udah ngeluarin lagu.” (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun,
20 Agustus 2020)
Menurut narasumber Chandra yang mempunyai rambut gondrong, dari segi
akademis rambutnya tidak mengganggu proses pembelajaran. Hal ini ia buktikan
dengan IPK-nya yang mendekati 3,5. Tambahnya, ia tetap dapat belajar dengan
optimal tanpa perlu memotong rambutnya.
“terus dari segi akademis, gua belajar dan IPK gua alhamdulillah mendekati
3,5 dikit lagi dan ya menurut gua itu fine-fine aja gitu loh dan ga mengganggu
pelajaran, gua bisa ngelakuin ini gua bisa ngelakuin pembelajaran tanpa
harus motong rambut gua.” (Wawancara via telepon dengan Chandra, 20
tahun, 27 Agustus 2020)
Dengan banyaknya pengalaman yang positif tentang laki-laki gondrong, hal
ini membuat asumsi negatif yang mereka alami perlahan berubah. Seperti
pengalaman dari narasumber Hari, ia menyebutkan bahwa memang awalnya terjadi
penolakan dari masyarakat karena rambutnya yang gondrong. Namun ketikaia
memberitahu bahwa ia lulusan sarjana, perlahan stigma dan pola pikir masyarakat
terhadapnya berubah.
“Awalnya sih emang dapet penolakan tuh, mungkin karena ngga tau kalau
Fahmi lulusan sarjana ya. Tetapi ketika tau Fahmi lulusan sarjana, stigma
mereka berubah, pola pikir mereka ya berubah lagi.” (Wawancara via telepon
dengan Hari, 23 tahun, 18 Oktober 2020)
62. 51
Hal ini juga disetujui oleh salah satu narasumber yang tidak gondrong, yaitu
Bima. Dalam wawancaranya bersama peneliti ia menyebutkan bahwa, “Padahal
kan gondrong itu kan tidak mencerminkan terdidik atau engga kan.” (Wawancara
langsung dengan Bima, 26 tahun, 03 Juni 2021). Menurutnya memang rambut
gondrong itu tidak dapat mencerminkan seseorang itu terdidik atau tidak.
A.2.4 Pekerja Keras
Menurut hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang tidak
gondrong, mereka mempunyai pengalaman bekerja sama yang baik dengan laki-
laki gondrong. Pertama, pengalaman dari narasumber Aji, ia sangat terkesan dengan
teman-temannya yang berambut gondrong. Menurutnya teman-temannya yang
berambut gondrong ini sosok pekerja keras. Walaupun mereka secara akademik
hanya lulusan SMP, namun mereka berusaha untuk melakukan sesuatu yang positif.
Narasumber Aji menyebutkan mereka membuat usaha sablon baju untuk
melanjutkan hidupnya.
“Kalo pengalaman paling berkesan sama temen-temen gua yang gondrong
itu yang ada di sekeliling gua ya, berdasarkan pengamatan gua bergaul sama
mereka itu, yang pertama itu pekerja keras, karena mereka itu kebetulan
pendidikannya sebagian besar hanya SMP, yang di sekitar rumah gua, yang
pencinta alam ini. Nah tapi walaupun secara akademik dia cuma sampe SMP,
tapi dia berusaha “gua bikin apa nih” untuk melanjutkan hidupnya lewat
karya ini. Akhirnya dia bikin karya tuh, kayak sebuah kegiatan, usaha sablon
baju”. (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20 Agustus 2020)
Narasumber Dimas juga mengungkapkan ia melihat profesionalitas kerja
pada laki-laki gondrong. Hal ini ia rasakan saat bekerja di Bank. Bank tempatnya
bekerja merekrut tim programmer. Awalnya narasumber Dimas tidak menyangka
63. 52
bahwa perusahaannya merekrut programmer yang berambut gondrong dan
menurutnya tidak terlalu bersih. Namun setelah melihat mereka bekerja,
narasumber Dimas melihat mereka sangat professional dan berhasil menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik. Karena pengalaman ini, ia merasa bahwa laki-laki
gondrong memang profesional, baik dalam target kerja yang tercapai maupun
inovasi serta pemecahan masalah yang sangat baik.
“Tapi lucunya pada saat kita panggil orang IT untuk bikin program, meng¬-
handle semuanya kan kita panggil rekanan kan, itu kalau ngga salah PT
Sigma ya, nah itu programmernya rata-rata gondrong hahaha… Waktu
ketemu pertama kan sama supervisornya ya yang ngga gondrong amat, masih
biasa, terus kita kan udah tau juga lah kalau programmer tuh biasanya
gondrong, terus ngga terlalu bersih lah. Tapi pada saat kerja kan kita lihat
bahwa ya dia professional dalam kerjanya, karena ya selesai juga
pekerjaannya. Jadi ya akhirnya menutupi tuh, memang kadang- kadang
pekerjaan mereka seperti itu tuh mengurus diri tuh nomor sekian, yang
penting deadline tercapai, inovasinya bagus kemudian problem solving-nya
dia dapet, yaudah.” (Wawancara via telepon dengan Dimas, 51 tahun, 23
Agustus 2021)
B. Dampak Identitas Bagi Laki-Laki Gondrong
B.1 Stigma
Erving Goffman menyebutkan bahwa apabila seseorang memiliki atribut
yang membuatnya berbeda dari orang-orang di lingkungannya, maka atribut itulah
yang disebut dengan stigma. Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial
yang melemahkan identitas sosial seseorang (Goffman 1963). Jadi, istilah stigma
mengacu kepada atribut-atribut yang dapat memperburuk identitas seseorang
(Goffman 1963). Dari hasil wawancara, peneliti menemukan bahwa semua laki-
laki gondrong yang menjadi narasumber dalam penelitian ini mengalami stigma
karena rambut gondrong yang mereka miliki. Stigma yang dialami oleh para
64. 53
narasumber antara lain Public Stigma, Structural Stigma, Self-Stigma dan Felt or
Perceived.
B.1.1 Public Stigma
Public Stigma adalah reaksi masyarakat umum yang memiliki keluarga
ataupun teman yang memiliki stigma (Fiorillo et al. 2016). Dari hasil wawancara
peneliti menemukan bahwa para narasumber mengalami tiga jenis Public Stigma
yaitu Public Stigma yang negatif, positif, dan netral. Hasil wawancaramenunjukkan
bahwa hampir semua narasumber mengalami Public Stigma ini.
B.1.1.1 Public Stigma Negatif
Pada Public Stigma ini, kesan tidak rapih menjadi mayoritas stigma yang
sering dirasakan narasumber laki-laki gondrong. Rambut mereka yang dibiarkan
panjang membuat stigma bahwa mereka tidak terurus dan acak-acakan.
Narasumber Esa menyatakan dalam wawancaranya bahwa ketika ia berfoto
bersama keluarga besarnya, banyak dari mereka menyuruh narasumber untuk
memotong rambutnya seperti laki-laki rapih pada umumnya. Seperti dalam kutipan
wawancaranya berikut:
“Keluarga jauh gitu pas pulang kampung, kayak pas lebaran, pas foto, kayak
ya intinya mereka masih punya pandangan kalau rambut pendek itu lebih
rapih lah, disuruh ngerapihin gitu.” (Wawancara via telepon dengan Esa, 22
tahun, 27 September 2020)
Hal hampir serupa juga dirasakan oleh narasumber Bima. Narasumber Bima
menyatakan bahwa dirinya tidak pernah diperbolehkan gondrong oleh keluarganya.
65. 54
Hal ini karena, keluarganya menganggap bahwa laki-laki yang berambut gondrong
terlihat tidak rapih dan tidak terurus. Ia juga menambahkan bahwa keluarganya juga
melihat laki-laki gondrong sebagai individu yang tidak berpendidikan.
“Engga boleh (gondrong). Karena ya itu keliatannya ngga rapih, keliatannya
ngga terurus dan kebawa kayak ngga berpendidikan, ini kalau nenek gue.
Kalau ibu gue lebih keliatannya ngga rapih aja.” (Wawancara langsung
dengan Bima, 26 tahun, 03 Juni 2021)
Narasumber Eka sebagai narasumber perempuan menyatakan bahwa
dirinya tidak pernah mempunyai teman laki-laki yang dekat dengannya dan
berambut gondrong. Narasumber Eka menyatakan memang menyeleksi untuk
mempunyai teman laki-laki spesial yang berambut rapih. Menurutnya, dalam
keluarganya sendiri tertanam bahwa laki-laki gondrong mempunyai kesan yang
berantakan. Hal ini seperti yang dikutip dalam hasil wawancaranya bersama
peneliti:
“Ngga pernah (pacaran sama laki-laki gondrong). Emang aku kayakya
menyeleksi sih, karena mungkin ya di rumahku tuh aku ngeliat rambutnya
pada rapih-rapih, jadi kalau liat cowo gondrong kesannya berantakan aja.”
(Wawancara langsung dengan Eka, 21 tahun, 23 Agustus 2021)
Selain dari keluarga atau kerabat dekat, kesan berantakan yang melekat pada
laki-laki gondrong juga diberikan oleh masyarakat umum. Narasumber Ilham dalam
wawancaranya menceritakan bahwa tetangga teman perempuannya
mempertanyakan kepada orang tua teman perempuannya, kenapa ia bisa
mempunyai teman laki-laki yang berambut gondrong. Menurutnya laki-laki
gondrong itu terlihat berantakan.
66. 55
“Pas aku main ke rumah, tetangga rumah cewek aku, tapi dia ngga bilang
langsung sama saya, tapi bilang ke orangtua cewek saya, “kok pacarnya ini
rambutnya gondrong? Acak-acakan gitu?” (Wawancara via telepon dengan
Ilham, 20 tahun, 18 Januari 2021)
Narasumber Dimas menceritakan bahwa ia mempunyai saudara perempuan
yang mempunyai stigma negative terhadap laki-laki gondrong. Suatu hari saat
sedang pergi bersama mereka bertemu dengan juru parkir yang berambut gondrong.
Juru parkir ini merupakan teman dari narasumber Dimas. Dari hasil wawancara
menyebutkan bahwa saudara perempuannya ini selalu menyebutkan bahwa laki-
laki seharusnya tidak gondrong karena mempunyai kesan yang tidak terurus.
Narasumber Dimas menambahkan bahwa saudara perempuannya punya
kekhawatiran berlebih yang didasari oleh stigma-stigma bahwa laki-laki gondrong
itu kriminal.
“Ada. Jadi saudara gua ada tuh. Jadi dia punya kekhawatiran yang berlebih
didasari sama stigma-stigma yang ada sebelumnya, kayak gondrong itu
kriminal, jadi kalo ada tukang parkir, padahal tukang parkir deket rumah gue
itu temen gue dan dia gondrong. Jadi waktu itu gua lagi sama sepupu gua,
jadi dia selalu bilang, “cowok kok gondrong” “engga keurus” hahaha iya
saudara gua bilang itu.” (Wawancara via telepon dengan Aji, 22 tahun, 20
Agustus 2020)
Narasumber Bagus yang sedang mengenyam pendidikan di Pondok
Pesantren juga mengalami Public Stigma negatif. Kerabat dekat dan masyarakat
sekitar wilayahnya tinggal mempertanyakan kenapa ia yang sedang belajar di
Pondok Pesantren mempunyai rambut yang gondrong. Rambut gondrong dianggap
tidak mencerminkan mahasiswa yang sedang belajar di Pondok Pesantren yang
seharusnya rapih.
67. 56
“Misalnya orang-orang rumah, atau orang-orang kampung gitu lah, kayak
“kok orang pondok amburadul? Engga rapih?” gitu-gitu.” (Wawancara via
telepon dengan Bagus, 22 tahun, 26 Agustus 2020)
Perlakuan yang berbeda dirasakan oleh para laki-laki gondrong yang
memutuskan untuk memotong rambutnya. Tanggapan masyarakat umum ketika
mereka memotong rambut berubah menjadi positif. Menurut mereka laki-laki
gondrong yang sudah memotong rambutnya terlihat lebih rapih. Hal inimembutikan
bahwa laki-laki yang berambut gondrong masih mengalami stigma yang negatif.
Perlakuan ini dirasakan oleh narasumber Esa dan Ahmad sesuai kutipan wawancara
berikut:
“Kalau perlakuan ngga ada yang sampe tindakan gitu sih, engga ada, cuman
ini aja respon beberapa orang kan kayak, “nah kan ini lebih rapih”, selalu
gitu sih responnya.” (Wawancara via telepon dengan Esa, 22 tahun, 27
September 2020)
“Nah udah jelas sih tanggepan mereka, “nah gini dong, kan rapih”, “nah
gitu kek potong rambut, kan enak dilihatnya.” (Wawancara via telepon
dengan Ahmad, 22 tahun, 26 Agustus 2020)
Selain dipandang sebagai individu yang kurang rapih, laki-laki berambut
gondrong juga masih dikaitkan dengan stigma yang negatif. Stigma negatif yang
melekat seperti berandalan dan anarkis. Narasumber Esa dalam wawancaranya
menceritakan bahwa ia dan teman-temannya yang berambut gondrong sering
berkumpul di lingkungan kampus. Narasumber Esa merasa ketika ia berkumpul
dengan teman-temannya ini, ia merasa orang-orang sekitar melihat ia dan teman-
temannya dengan tatapan yang berbeda. Kesan sekelompok orang yang seram dan
berandal seakan melekat pada dirinya dan teman-temannya yang gondrong. Hal ini
ia jelaskan dalam wawancaranya dengan peneliti sebagai berikut:
68. 57
“Cuman suka dapet pandangan aja sih, apalagi di kampus, ketika pas aku
gondrong dan ngumpul sama anak-anak yang gondrong juga udah kayak
engga ngerti kenapa, semua orang, ya kamu juga tau lah, ketika ada satu
gerombolan yang gondrong semua tuh kayak pandangan orang tuh, “wah
serem banget nih”, “bandel-bandel nih pasti” kayak gitu.” (Wawancara via
telepon dengan Esa, 22 tahun, 27 September 2020)
Narasumber Hari mengatakan bahwa ia mengalami juga stigma yang
negatif. Ia menyatakan bahwa masyarakat masih mengaitkan laki-laki gondrong
dengan kejadian Orde Baru. Laki-laki gondrong pada era Orde Baru dikaitkan
dengan tindakan Hippies. Menurutnya dengan mengaitkan hal ini, laki-laki
gondrong dianggap sebagai individu yang anarkis.
Kalau perlakuan aneh sih, mungkin karena dia pikirannya kolot ya, dia emang
orang sekarang tapi kolot. Jadi dia masih trauma sama kejadian jaman Orde
Baru, jadi dia setiap liat cowok gondrong tuh dikaitinnya sama tindakan
Hippies gitu. Mungkin orang-orang itu masih mikir orang gondrong kayak
dulu gitu, mikirnya lebih ke anarkis.” (Wawancara via telepon dengan Hari,
23 tahun, 18 Oktober 2020)
B.1.1.2 Public Stigma Positif
Walaupun laki-laki gondrong cenderung mendapatkan Public Stigma yang
negatif, namun beberapa dari narasumber gondrong yang peneliti wawancarai
mengaku mendapatkan Public Stigma yang positif juga. Narasumber Esa
menjelaskan bahwa ia merasa dengan rambut gondrongnya orang-orang menjadi
lebih segan dengannya. Seperti kutipan wawancara berikut, “orang-orang jadi lebih
segan aja gitu liat rambut gondrong-gondrong gitu.” (Wawancara via telepon
dengan Esa, 22 tahun, 27 September 2020).