Emergency Severity Index (ESI) adalah sistem triase lima tingkat yang digunakan untuk mengkategorikan pasien di instalasi gawat darurat berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan sumber daya yang dibutuhkan. Sistem ini membantu mengidentifikasi pasien kritis dan memprioritaskan perawatan mereka. Namun demikian, penggunaan ESI juga berisiko kesalahan kategorisasi seperti overtriage dan undertriage jika tidak diterapkan dengan ben
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
ESI.docx
1. Emergency Severity Index (ESI) merupakan instrumen triase yang andal dan valid untuk instalasi
gawat darurat (IGD). Triase adalah kategorisasi pasien berdasarkan urgensi dan prognosis pada
presentasi klinis pasien. Tujuan utama triase adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan kondisi
kritis dan sensitif waktu dengan cepat dan memprioritaskan perawatan mereka dibanding mereka
yang dapat menunggu atau kondisinya lebih stabil. Triase yang efektif diperlukan ketika permintaan
untuk perawatan medis melebihi kapasitas, seperti yang sering terjadi di IGD.[2-4]
Emergency Severity Index
Emergency Severity Index (ESI) adalah algoritma triase gawat darurat lima tingkat, yang awalnya
dikembangkan pada tahun 1999 oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ).[5]
ESI triase didasarkan kondisi klinis kesehatan pasien dan jumlah sumber daya kesehatan (baik
pemeriksaan penunjang atau tindakan medis) yang dibutuhkan. Dalam skala ESI, pasien
diklasifikasikan dan diprioritaskan berdasarkan tingkat keparahan penyakit mereka dengan
memperkirakan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk perawatannya.
Sistem triase ini berbeda dari algoritma triase standar yang digunakan di beberapa negara lain,
seperti Skala Triase Australasia, yang hanya membagi pasien berdasarkan seberapa lama waktu
yang aman untuk menunggu penanganan. Sebaliknya, waktu yang dibutuhkan hingga penanganan
tidak diatur pada sistem Emergency Severity Indeks dan dikembalikan ke masing-masing institusi
untuk menentukan waktu tersebut.[6,7]
Empat poin keputusan (A ke D) digunakan untuk membuat triase pasien ke dalam lima level ESI:
A: Apakah pasien membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera: Jika ya, pasien masuk
ke ESI level 1. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan B
2. B: Apakah pasien dalam kondisi berisiko tinggi, disorientasi, kebingungan, distress, atau
sangat nyeri: Jika ya, pasien masuk ESI level 2. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan C
C: Apakah pasien memerlukan pemeriksaan penunjang: Jika tidak, pasien masuk ESI level
5. Jika butuh 1 pemeriksaan, pasien masuk ESI level 4. Jika butuh banyak pemeriksaan,
lanjutkan ke poin keputusan D
D: Apakah ada kelainan pada tanda-tanda vital pasien: Jika ya, pasien masuk ESI level 2.
Jika tidak, pasien masuk ESI level 3
Pasien dengan ESI level 1 membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera (titik keputusan A).
Pasien yang stabil dalam situasi berisiko tinggi ditunjuk ke ESI level 2 (titik keputusan B). Pada
titik keputusan C, pasien ditugaskan sesuai dengan perkiraan penggunaan sumber daya, mulai dari
tidak ada (ESI 5) hingga lebih dari satu (ESI 3).
Untuk akhirnya mengklasifikasikan pasien sebagai ESI level 3, tanda-tanda vital harus dinilai. Jika
mereka melebihi batas yang ditentukan, penugasan kembali ke ESI level 2 harus dipertimbangkan
(titik keputusan D). Penilaian tanda vital penting untuk identifikasi pasien dengan prognosis yang
lebih buruk yang membutuhkan perhatian segera. Masing-masing level ESI ini dapat dilihat pada
daftar di bawah ini:
1. Resusitasi: Pasien membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera tanpa penundaan.
Contoh: pasien dengan perdarahan masif atau henti jantung
2. Emergensi: Pasien yang memiliki faktor risiko tinggi mengalami kecacatan atau kematian,
memiliki tanda-tanda kritis suatu penyakit. Contohnya: pasien dengan nyeri dada atau
serangan asma
3. Urgensi: Pasien dalam keadaan stabil, namun perlu berbagai pemeriksaan lebih lanjut untuk
penanganannya seperti pemeriksaan lab atau X-ray. Contohnya: pasien dengan nyeri perut,
batuk dengan demam
4. Kurang urgensi: pasien stabil yang membutuhkan satu jenis pemeriksaan/tindakan, seperti
hanya pemeriksaan lab saja, X-ray saja, atau hanya perlu jahitan saja. Contohnya pasien
dengan luka tunggal yang memerlukan penjahitan kulit
5. Tidak urgensi: pasien stabil yang tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Hanya
memerlukan obat oral atau oles saja. Contohnya: gatal-gatal di kulit, kemerahan pada
kulit[7]
Poin Keputusan A
Berikut adalah daftar pertanyaan yang dapat membantu untuk menentukan apakah pasien termasuk
dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera atau tidak:
Apakah pasien bernapas, denyut nadi teraba, dan memiliki jalur napas yang paten?
Apakah ada masalah mengenai denyut nadi dan ritme jantung?
Apakah pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi terintubasi?
Apakah ada kecurigaan masalah perfusi pada pasien?
3. Apakah pasien memerlukan pengobatan segera atau intervensi hemodinamik seperti
penggantian cairan atau transfusi darah?
Apakah pasien mengalami distress pernapasan berat, saturasi oksigen <90%, perubahan
status mental akut, atau tidak menunjukkan respons?
Penilaian tingkat kesadaran pasien untuk penentuan apakah pasien membutuhkan intervensi
penyelamatan jiwa segera dilakukan menggunakan sistem Alert, Verbal, Painful, Unresponsive
(AVPU):
Alert (A): Pasien sadar penuh dan merespons terhadap suara, mengetahui tempat dan waktu
serta bisa mengenali orang
Verbal (V): pasien memberikan respons terhadap rangsangan verbal dengan membuka mata
tetapi tidak bisa mengetahui tempat dan waktu, serta mengenali orang
Painful (P): pasien hanya menunjukkan respons hanya ketika diberikan rangsang nyeri,
misalnya dengan memencet jari tangan pasien atau melakukan sternal rub
Unresponsive (U): pasien tidak menunjukkan respons sama sekali
Pasien dengan tingkat kesadaran P atau U masuk dalam kategori perlu intervensi penyelamatan jiwa
segera (ESI level 1).[14]
Yang dikategorikan sebagai intervensi penyelamatan jiwa adalah tindakan-tindakan berikut ini:
Pernapasan: ventilasi bag-valve mask, intubasi, surgical airway, CPAP atau BiPAP
emergensi
Kardiovaskular: defibrilasi, kardioversi emergensi, pacing eksternal
Hemodinamik: resusitasi cairan intravena, transfusi darah, kontrol perdarahan mayor
Pemberian obat-obatan: nalokson, dekstrosa 50% (D50), dopamin, atropin, adenosin
Tindakan lainnya: dekompresi jarum, perikardiosentesis, open thoracotomy, akses intraoseus
Beberapa contoh kondisi yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera yang masuk di
ESI level 1:
1. Henti napas dan/atau jantung
2. Distress pernapasan berat
3. SpO2 <90%
4. Pasien trauma yang mengalami kritis yang tidak responsif
5. Overdosis dengan laju pernapasan < 6 x/menit
6. Bradikardia berat atau takikardia atau hipotensi yang disertai adanya tanda hipoperfusi
7. Pasien trauma yang membutuhkan resusitasi kristaloid dan koloid segera
8. Nyeri dada, pucat, diaforesis, tekanan darah < 70 / palpasi
9. Bradikardia dengan denyut nadi di bawah 30 x/menit
4. 10. Syok anafilaksis[14]
Poin Keputusan B
Poin keputusan B bertujuan untuk menentukan apakah pasien berada dalam kondisi darurat yang
memerlukan penanganan segera. Untuk itu, digunakan 3 pertanyaan penyaring:
Apakah kondisi pasien merupakan situasi berisiko tinggi?
Apakah pasien dalam kondisi kebingungan, letargik, atau mengalami disorientasi?
Apakah pasien berada dalam kondisi nyeri hebat atau distress?
Yang dimaksud sebagai kondisi berisiko tinggi adalah pasien yang kondisinya dapat segera
menurun dengan cepat atau pasien dengan gejala yang mengarah pada kondisi yang membutuhkan
penanganan yang sensitif waktu, misalnya stroke atau infark miokard. Contoh kondisi berisiko
tinggi adalah sebagai berikut:
Pasien dengan nyeri dada yang mengarah pada dugaan sindrom koroner akut, tetapi
kondisinya stabil
Pasien stroke yang tidak memenuhi kriteria ESI level 1
Kehamilan ektopik dengan kondisi hemodinamik stabil
Pasien imunokompromais yang datang dengan demam
Pasien dengan tendensi bunuh diri
Poin Keputusan C
Poin keputusan C bertujuan untuk menentukan jumlah sumber daya tenaga kesehatan dan
tindakan/pemeriksaan yang diperlukan untuk menangani pasien hingga keluar dari IGD. Perlu
diingat bahwa jumlah sumber daya ini perlu dihitung berdasarkan penanganan standar dari
pengalaman menangani kondisi serupa, bukan berdasarkan tipe dan lokasi rumah sakit, atau siapa
tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Jadi, jumlah sumber daya yang diperlukan akan berlaku
universal di IGD manapun.
Poin Keputusan D
Poin keputusan D menggunakan tanda vital pasien sebagai bahan pertimbangan untuk menaikkan
level ESI pasien. Walau demikian, tidak semua tanda vital yang abnormal akan dinaikkan level
ESInya. Pertimbangan klinis per kasus tetap diperlukan untuk menentukan hal ini.
Sebagai contoh, pria 60 tahun, dengan hipertensi yang datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala,
tekanan darah 150/92 mmHg. Pria ini datang ke IGD karena kehabisan obat antihipertensi sehingga
sudah 2 hari lupa minum obat. Tentunya kasus ini tidak perlu dinaikkan menjadi ESI level 2 karena
kondisi pasien terlihat stabil dan dinilai hanya memerlukan pemeriksaan dan pemberian obat saja.
Bukti Ilmiah Manfaat Penggunaan Emergency Severity Indeks untuk Triase IGD
Sebuah studi dari Amir pada tahun 2015, ESI dapat digunakan sebagai alat yang valid dan dapat
diandalkan untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan di IGD tetapi mungkin tidak
mengungkapkan hasil yang optimal di negara-negara berkembang dibandingkan dengan apa yang
telah dicapai di negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena faktor sumber daya manusia yang
5. dianggap lebih bagus dalam menerapkan sistem triase ESI di negara maju dibanding negara
berkembang.[9]
Risiko Penggunaan Emergency Severity Indeks untuk Triase IGD
Salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai dari penggunaan sistem triase adalah risiko
undertriage atau overtriage. Pada sistem Emergency Severity Indeks, titik keputusan D merupakan
titik penting yang dapat menyebabkan terjadinya under/overtriage ini.[8]
Dalam sebuah studi dari Hinson pada tahun 2018 pada sekitar 100.000 pasien, sekitar 17% pasien
memiliki hasil level ESI yang tidak akurat. Inakurasi ini terutama terjadi pada pasien dengan ESI
level 3-5. Overtriage kebanyakan terjadi pada pasien yang dikategorikan sebagai ESI level 3
sedangkan undertriage terutama terjadi pada pasien yang dikategorikan sebagai ESI level 4 dan
5.[3]
Sebuah studi dari Chaiyaporn pada tahun 2016 di Thailand, Emergency Severity Index (indeks 5
tingkat) lebih akurat daripada indeks triase 4 tingkat dalam hal intervensi penyelamatan nyawa
pasien. Peningkatan reklasifikasi dari triase 4 tingkat menjadi ESI adalah sebesar 42,4%. Itu berarti
ada 42,4% orang yang over/under triage menggunakan triase 4 tingkat. Dalam penelitian ini juga
terdapat 2 orang yang meninggal, dimana ESI dengan tepat mengidentifikasi sebagai ESI tingkat
tinggi (level 1), sedangkan dalam triase 4 tingkat pasien diidentifikasi tingkat sedang (level 2 atau
3).[10]
Sebuah studi dari Storm-Versloot pada tahun 2011, membandingkan spesifisitas dan sensitivitas
antara tiga indeks emergensi, yaitu ESI, ISS (Informally Structured System), dan MTS (Manchester
Triage System). Hasilnya, ketiga sistem triase tampaknya sama-sama valid, namun ESI memiliki
tingkat undertriage paling tinggi dibanding indeks emergensi lainnya.[11]
Studi lain dari Parquee tahun 2019, terdapat 519 pasien yang berusia di atas 65 tahun, sekitar 117
pasien mengalami undertriage.[12]
Faktor yang Berhubungan dengan Undertriage atau Overtriage pada Penggunaan
Emergency Severity Index untuk Triase IGD
Studi mengenai ESI menunjukkan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya
undertriage atau overtriage, terutama faktor usia, tanda vital, dan keluhan utama pasien.
Usia
Semakin tua usia pasien, semakin besar risiko terjadinya undertriage. Peluang undertriage akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan paling besar untuk pasien berusia ≥ 70 tahun.[3]
Tanda Vital
Bradikardia, takikardia, hipoksia, hipertermia, serta hipotensi ringan berhubungan dengan
peningkatan risiko undertriage pada pasien.[3]
Keluhan Utama
Sejumlah keluhan utama dikaitkan dengan risiko undertriage, seperti keluhan neurologis, sinkop,
nyeri dada, nyeri perut, nyeri punggung, dan sesak napas. Sebaliknya, keluhan infeksi saluran
pernapasan atas serta keluhan yang berhubungan dengan telinga, hidung, dan tenggorokan
6. berhubungan dengan risiko overtriage. Selain itu, hipertensi dan keluhan alergi juga berhubungan
dengan risiko overtriage.[3,7]
Apikasi di Indonesia
Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia.
Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu
intervensi dokter. Hal ini sangat bermanfaat untuk fasilitas kesehatan dengan jumlah tenaga dokter
yang terbatas sehingga dokter tidak perlu dialokasikan untuk ikut memegang triase.
Alasan kedua, pertimbangan penggunaan sumber daya yang digunakan dalam sistem ESI sangat
bermanfaat pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Ketiga, sistem triase ESI
menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di
Indonesia.[13]
Di sisi lain, terdapat risiko overtriage dan undertriage. Untuk itu, perlu dilakukan pelatihan
terhadap tenaga kesehatan supaya dapat menentukan level ESI dengan tepat, terutama pada kasus
yang memiliki faktor risiko terjadinya inakurasi. Selain itu, fasilitas kesehatan juga perlu terlebih
dahulu menentukan batas lama tunggu pasien untuk masing-masing level ESI sebelum sistem ini
dapat diaplikasikan di fasilitas kesehatan di Indonesia.[13]
Kesimpulan
Emergency Severity Index merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan untuk triase pasien di
IGD. Berbeda dari sistem lainnya, sistem ini juga memperhitungkan jumlah sumber daya sehingga
cocok digunakan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas.
Emergency Severity Index (ESI) merupakan salah satu sistem triase yang menggunakan 5 tingkat.
Untuk mengkategorikan pasien ke dalam level ESI ini, digunakan 4 poin keputusan.
ESI memiliki risiko inakurasi kategori yang menyebabkan terjadinya overtriage atau undertriage.
Hal ini terutama terjadi pada poin keputusan 4. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mengenali faktor-
faktor yang meningkatkan risiko terjadinya undertriage dan overtriage sehingga bisa lebih berhati-
hati saat melakukan triase pada pasien yang memiliki faktor risiko tersebut.
Fasilitas kesehatan juga perlu mengadakan pelatihan supaya tenaga kesehatan bisa menggunakan
sistem ini dengan baik dan mengkategorikan pasien secara tepat. Selain itu, pihak manajemen juga
perlu menentukan lama tunggu pasien untuk masing-masing tingkatan ESI.