SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
Emergency Severity Index (ESI) merupakan instrumen triase yang andal dan valid untuk instalasi
gawat darurat (IGD). Triase adalah kategorisasi pasien berdasarkan urgensi dan prognosis pada
presentasi klinis pasien. Tujuan utama triase adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan kondisi
kritis dan sensitif waktu dengan cepat dan memprioritaskan perawatan mereka dibanding mereka
yang dapat menunggu atau kondisinya lebih stabil. Triase yang efektif diperlukan ketika permintaan
untuk perawatan medis melebihi kapasitas, seperti yang sering terjadi di IGD.[2-4]
Emergency Severity Index
Emergency Severity Index (ESI) adalah algoritma triase gawat darurat lima tingkat, yang awalnya
dikembangkan pada tahun 1999 oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ).[5]
ESI triase didasarkan kondisi klinis kesehatan pasien dan jumlah sumber daya kesehatan (baik
pemeriksaan penunjang atau tindakan medis) yang dibutuhkan. Dalam skala ESI, pasien
diklasifikasikan dan diprioritaskan berdasarkan tingkat keparahan penyakit mereka dengan
memperkirakan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk perawatannya.
Sistem triase ini berbeda dari algoritma triase standar yang digunakan di beberapa negara lain,
seperti Skala Triase Australasia, yang hanya membagi pasien berdasarkan seberapa lama waktu
yang aman untuk menunggu penanganan. Sebaliknya, waktu yang dibutuhkan hingga penanganan
tidak diatur pada sistem Emergency Severity Indeks dan dikembalikan ke masing-masing institusi
untuk menentukan waktu tersebut.[6,7]
Empat poin keputusan (A ke D) digunakan untuk membuat triase pasien ke dalam lima level ESI:
 A: Apakah pasien membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera: Jika ya, pasien masuk
ke ESI level 1. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan B
 B: Apakah pasien dalam kondisi berisiko tinggi, disorientasi, kebingungan, distress, atau
sangat nyeri: Jika ya, pasien masuk ESI level 2. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan C
 C: Apakah pasien memerlukan pemeriksaan penunjang: Jika tidak, pasien masuk ESI level
5. Jika butuh 1 pemeriksaan, pasien masuk ESI level 4. Jika butuh banyak pemeriksaan,
lanjutkan ke poin keputusan D
 D: Apakah ada kelainan pada tanda-tanda vital pasien: Jika ya, pasien masuk ESI level 2.
Jika tidak, pasien masuk ESI level 3
Pasien dengan ESI level 1 membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera (titik keputusan A).
Pasien yang stabil dalam situasi berisiko tinggi ditunjuk ke ESI level 2 (titik keputusan B). Pada
titik keputusan C, pasien ditugaskan sesuai dengan perkiraan penggunaan sumber daya, mulai dari
tidak ada (ESI 5) hingga lebih dari satu (ESI 3).
Untuk akhirnya mengklasifikasikan pasien sebagai ESI level 3, tanda-tanda vital harus dinilai. Jika
mereka melebihi batas yang ditentukan, penugasan kembali ke ESI level 2 harus dipertimbangkan
(titik keputusan D). Penilaian tanda vital penting untuk identifikasi pasien dengan prognosis yang
lebih buruk yang membutuhkan perhatian segera. Masing-masing level ESI ini dapat dilihat pada
daftar di bawah ini:
1. Resusitasi: Pasien membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera tanpa penundaan.
Contoh: pasien dengan perdarahan masif atau henti jantung
2. Emergensi: Pasien yang memiliki faktor risiko tinggi mengalami kecacatan atau kematian,
memiliki tanda-tanda kritis suatu penyakit. Contohnya: pasien dengan nyeri dada atau
serangan asma
3. Urgensi: Pasien dalam keadaan stabil, namun perlu berbagai pemeriksaan lebih lanjut untuk
penanganannya seperti pemeriksaan lab atau X-ray. Contohnya: pasien dengan nyeri perut,
batuk dengan demam
4. Kurang urgensi: pasien stabil yang membutuhkan satu jenis pemeriksaan/tindakan, seperti
hanya pemeriksaan lab saja, X-ray saja, atau hanya perlu jahitan saja. Contohnya pasien
dengan luka tunggal yang memerlukan penjahitan kulit
5. Tidak urgensi: pasien stabil yang tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Hanya
memerlukan obat oral atau oles saja. Contohnya: gatal-gatal di kulit, kemerahan pada
kulit[7]
Poin Keputusan A
Berikut adalah daftar pertanyaan yang dapat membantu untuk menentukan apakah pasien termasuk
dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera atau tidak:
 Apakah pasien bernapas, denyut nadi teraba, dan memiliki jalur napas yang paten?
 Apakah ada masalah mengenai denyut nadi dan ritme jantung?
 Apakah pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi terintubasi?
 Apakah ada kecurigaan masalah perfusi pada pasien?
 Apakah pasien memerlukan pengobatan segera atau intervensi hemodinamik seperti
penggantian cairan atau transfusi darah?
 Apakah pasien mengalami distress pernapasan berat, saturasi oksigen <90%, perubahan
status mental akut, atau tidak menunjukkan respons?
Penilaian tingkat kesadaran pasien untuk penentuan apakah pasien membutuhkan intervensi
penyelamatan jiwa segera dilakukan menggunakan sistem Alert, Verbal, Painful, Unresponsive
(AVPU):
 Alert (A): Pasien sadar penuh dan merespons terhadap suara, mengetahui tempat dan waktu
serta bisa mengenali orang
 Verbal (V): pasien memberikan respons terhadap rangsangan verbal dengan membuka mata
tetapi tidak bisa mengetahui tempat dan waktu, serta mengenali orang
 Painful (P): pasien hanya menunjukkan respons hanya ketika diberikan rangsang nyeri,
misalnya dengan memencet jari tangan pasien atau melakukan sternal rub
 Unresponsive (U): pasien tidak menunjukkan respons sama sekali
Pasien dengan tingkat kesadaran P atau U masuk dalam kategori perlu intervensi penyelamatan jiwa
segera (ESI level 1).[14]
Yang dikategorikan sebagai intervensi penyelamatan jiwa adalah tindakan-tindakan berikut ini:
 Pernapasan: ventilasi bag-valve mask, intubasi, surgical airway, CPAP atau BiPAP
emergensi
 Kardiovaskular: defibrilasi, kardioversi emergensi, pacing eksternal
 Hemodinamik: resusitasi cairan intravena, transfusi darah, kontrol perdarahan mayor
 Pemberian obat-obatan: nalokson, dekstrosa 50% (D50), dopamin, atropin, adenosin
 Tindakan lainnya: dekompresi jarum, perikardiosentesis, open thoracotomy, akses intraoseus
Beberapa contoh kondisi yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera yang masuk di
ESI level 1:
1. Henti napas dan/atau jantung
2. Distress pernapasan berat
3. SpO2 <90%
4. Pasien trauma yang mengalami kritis yang tidak responsif
5. Overdosis dengan laju pernapasan < 6 x/menit
6. Bradikardia berat atau takikardia atau hipotensi yang disertai adanya tanda hipoperfusi
7. Pasien trauma yang membutuhkan resusitasi kristaloid dan koloid segera
8. Nyeri dada, pucat, diaforesis, tekanan darah < 70 / palpasi
9. Bradikardia dengan denyut nadi di bawah 30 x/menit
10. Syok anafilaksis[14]
Poin Keputusan B
Poin keputusan B bertujuan untuk menentukan apakah pasien berada dalam kondisi darurat yang
memerlukan penanganan segera. Untuk itu, digunakan 3 pertanyaan penyaring:
 Apakah kondisi pasien merupakan situasi berisiko tinggi?
 Apakah pasien dalam kondisi kebingungan, letargik, atau mengalami disorientasi?
 Apakah pasien berada dalam kondisi nyeri hebat atau distress?
Yang dimaksud sebagai kondisi berisiko tinggi adalah pasien yang kondisinya dapat segera
menurun dengan cepat atau pasien dengan gejala yang mengarah pada kondisi yang membutuhkan
penanganan yang sensitif waktu, misalnya stroke atau infark miokard. Contoh kondisi berisiko
tinggi adalah sebagai berikut:
 Pasien dengan nyeri dada yang mengarah pada dugaan sindrom koroner akut, tetapi
kondisinya stabil
 Pasien stroke yang tidak memenuhi kriteria ESI level 1
 Kehamilan ektopik dengan kondisi hemodinamik stabil
 Pasien imunokompromais yang datang dengan demam
 Pasien dengan tendensi bunuh diri
Poin Keputusan C
Poin keputusan C bertujuan untuk menentukan jumlah sumber daya tenaga kesehatan dan
tindakan/pemeriksaan yang diperlukan untuk menangani pasien hingga keluar dari IGD. Perlu
diingat bahwa jumlah sumber daya ini perlu dihitung berdasarkan penanganan standar dari
pengalaman menangani kondisi serupa, bukan berdasarkan tipe dan lokasi rumah sakit, atau siapa
tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Jadi, jumlah sumber daya yang diperlukan akan berlaku
universal di IGD manapun.
Poin Keputusan D
Poin keputusan D menggunakan tanda vital pasien sebagai bahan pertimbangan untuk menaikkan
level ESI pasien. Walau demikian, tidak semua tanda vital yang abnormal akan dinaikkan level
ESInya. Pertimbangan klinis per kasus tetap diperlukan untuk menentukan hal ini.
Sebagai contoh, pria 60 tahun, dengan hipertensi yang datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala,
tekanan darah 150/92 mmHg. Pria ini datang ke IGD karena kehabisan obat antihipertensi sehingga
sudah 2 hari lupa minum obat. Tentunya kasus ini tidak perlu dinaikkan menjadi ESI level 2 karena
kondisi pasien terlihat stabil dan dinilai hanya memerlukan pemeriksaan dan pemberian obat saja.
Bukti Ilmiah Manfaat Penggunaan Emergency Severity Indeks untuk Triase IGD
Sebuah studi dari Amir pada tahun 2015, ESI dapat digunakan sebagai alat yang valid dan dapat
diandalkan untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan di IGD tetapi mungkin tidak
mengungkapkan hasil yang optimal di negara-negara berkembang dibandingkan dengan apa yang
telah dicapai di negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena faktor sumber daya manusia yang
dianggap lebih bagus dalam menerapkan sistem triase ESI di negara maju dibanding negara
berkembang.[9]
Risiko Penggunaan Emergency Severity Indeks untuk Triase IGD
Salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai dari penggunaan sistem triase adalah risiko
undertriage atau overtriage. Pada sistem Emergency Severity Indeks, titik keputusan D merupakan
titik penting yang dapat menyebabkan terjadinya under/overtriage ini.[8]
Dalam sebuah studi dari Hinson pada tahun 2018 pada sekitar 100.000 pasien, sekitar 17% pasien
memiliki hasil level ESI yang tidak akurat. Inakurasi ini terutama terjadi pada pasien dengan ESI
level 3-5. Overtriage kebanyakan terjadi pada pasien yang dikategorikan sebagai ESI level 3
sedangkan undertriage terutama terjadi pada pasien yang dikategorikan sebagai ESI level 4 dan
5.[3]
Sebuah studi dari Chaiyaporn pada tahun 2016 di Thailand, Emergency Severity Index (indeks 5
tingkat) lebih akurat daripada indeks triase 4 tingkat dalam hal intervensi penyelamatan nyawa
pasien. Peningkatan reklasifikasi dari triase 4 tingkat menjadi ESI adalah sebesar 42,4%. Itu berarti
ada 42,4% orang yang over/under triage menggunakan triase 4 tingkat. Dalam penelitian ini juga
terdapat 2 orang yang meninggal, dimana ESI dengan tepat mengidentifikasi sebagai ESI tingkat
tinggi (level 1), sedangkan dalam triase 4 tingkat pasien diidentifikasi tingkat sedang (level 2 atau
3).[10]
Sebuah studi dari Storm-Versloot pada tahun 2011, membandingkan spesifisitas dan sensitivitas
antara tiga indeks emergensi, yaitu ESI, ISS (Informally Structured System), dan MTS (Manchester
Triage System). Hasilnya, ketiga sistem triase tampaknya sama-sama valid, namun ESI memiliki
tingkat undertriage paling tinggi dibanding indeks emergensi lainnya.[11]
Studi lain dari Parquee tahun 2019, terdapat 519 pasien yang berusia di atas 65 tahun, sekitar 117
pasien mengalami undertriage.[12]
Faktor yang Berhubungan dengan Undertriage atau Overtriage pada Penggunaan
Emergency Severity Index untuk Triase IGD
Studi mengenai ESI menunjukkan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya
undertriage atau overtriage, terutama faktor usia, tanda vital, dan keluhan utama pasien.
Usia
Semakin tua usia pasien, semakin besar risiko terjadinya undertriage. Peluang undertriage akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan paling besar untuk pasien berusia ≥ 70 tahun.[3]
Tanda Vital
Bradikardia, takikardia, hipoksia, hipertermia, serta hipotensi ringan berhubungan dengan
peningkatan risiko undertriage pada pasien.[3]
Keluhan Utama
Sejumlah keluhan utama dikaitkan dengan risiko undertriage, seperti keluhan neurologis, sinkop,
nyeri dada, nyeri perut, nyeri punggung, dan sesak napas. Sebaliknya, keluhan infeksi saluran
pernapasan atas serta keluhan yang berhubungan dengan telinga, hidung, dan tenggorokan
berhubungan dengan risiko overtriage. Selain itu, hipertensi dan keluhan alergi juga berhubungan
dengan risiko overtriage.[3,7]
Apikasi di Indonesia
Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia.
Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu
intervensi dokter. Hal ini sangat bermanfaat untuk fasilitas kesehatan dengan jumlah tenaga dokter
yang terbatas sehingga dokter tidak perlu dialokasikan untuk ikut memegang triase.
Alasan kedua, pertimbangan penggunaan sumber daya yang digunakan dalam sistem ESI sangat
bermanfaat pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Ketiga, sistem triase ESI
menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di
Indonesia.[13]
Di sisi lain, terdapat risiko overtriage dan undertriage. Untuk itu, perlu dilakukan pelatihan
terhadap tenaga kesehatan supaya dapat menentukan level ESI dengan tepat, terutama pada kasus
yang memiliki faktor risiko terjadinya inakurasi. Selain itu, fasilitas kesehatan juga perlu terlebih
dahulu menentukan batas lama tunggu pasien untuk masing-masing level ESI sebelum sistem ini
dapat diaplikasikan di fasilitas kesehatan di Indonesia.[13]
Kesimpulan
Emergency Severity Index merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan untuk triase pasien di
IGD. Berbeda dari sistem lainnya, sistem ini juga memperhitungkan jumlah sumber daya sehingga
cocok digunakan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas.
Emergency Severity Index (ESI) merupakan salah satu sistem triase yang menggunakan 5 tingkat.
Untuk mengkategorikan pasien ke dalam level ESI ini, digunakan 4 poin keputusan.
ESI memiliki risiko inakurasi kategori yang menyebabkan terjadinya overtriage atau undertriage.
Hal ini terutama terjadi pada poin keputusan 4. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mengenali faktor-
faktor yang meningkatkan risiko terjadinya undertriage dan overtriage sehingga bisa lebih berhati-
hati saat melakukan triase pada pasien yang memiliki faktor risiko tersebut.
Fasilitas kesehatan juga perlu mengadakan pelatihan supaya tenaga kesehatan bisa menggunakan
sistem ini dengan baik dan mengkategorikan pasien secara tepat. Selain itu, pihak manajemen juga
perlu menentukan lama tunggu pasien untuk masing-masing tingkatan ESI.

More Related Content

Similar to ESI.docx

03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf
03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf
03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf
ssusere8d51b
 
TRIAGE DHB....................................pdf
TRIAGE DHB....................................pdfTRIAGE DHB....................................pdf
TRIAGE DHB....................................pdf
deddyhandaya1
 
EWS Pelatihan Ciloto.pptx
EWS Pelatihan Ciloto.pptxEWS Pelatihan Ciloto.pptx
EWS Pelatihan Ciloto.pptx
TaufiqGemawan1
 
3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx
3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx
3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx
RahmanSyah41
 

Similar to ESI.docx (20)

PEDOMAN TRIASE.docx
PEDOMAN TRIASE.docxPEDOMAN TRIASE.docx
PEDOMAN TRIASE.docx
 
03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf
03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf
03-Early-Warning-Score-EWS-System-pada-Pasien-CKD.pdf
 
TRIAGE DHB....................................pdf
TRIAGE DHB....................................pdfTRIAGE DHB....................................pdf
TRIAGE DHB....................................pdf
 
Triage Intra Hospital & Initial Assesment.pptx
Triage Intra Hospital & Initial Assesment.pptxTriage Intra Hospital & Initial Assesment.pptx
Triage Intra Hospital & Initial Assesment.pptx
 
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docxPENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
 
anisa_triase.pptx
anisa_triase.pptxanisa_triase.pptx
anisa_triase.pptx
 
Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT)
Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT)
Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT)
 
TRIAGE DALAM GAWAT DARURAT
TRIAGE DALAM GAWAT DARURATTRIAGE DALAM GAWAT DARURAT
TRIAGE DALAM GAWAT DARURAT
 
3. TME.pptx
3. TME.pptx3. TME.pptx
3. TME.pptx
 
Bahan ajar keperawatan gawat darurat
Bahan ajar keperawatan gawat daruratBahan ajar keperawatan gawat darurat
Bahan ajar keperawatan gawat darurat
 
EWS Pelatihan Ciloto.pptx
EWS Pelatihan Ciloto.pptxEWS Pelatihan Ciloto.pptx
EWS Pelatihan Ciloto.pptx
 
Ewss dalam deteksi kegawatan covid 19 hipgabi
Ewss dalam deteksi kegawatan covid 19 hipgabiEwss dalam deteksi kegawatan covid 19 hipgabi
Ewss dalam deteksi kegawatan covid 19 hipgabi
 
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggristriage dan dituru...
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggristriage dan dituru...Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggristriage dan dituru...
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggristriage dan dituru...
 
pdf-triageppt_compress.pdf
pdf-triageppt_compress.pdfpdf-triageppt_compress.pdf
pdf-triageppt_compress.pdf
 
ats-171109192216.pptx
ats-171109192216.pptxats-171109192216.pptx
ats-171109192216.pptx
 
Triage Bencana, Stabilisasi, Transportasi dan Evakuasi pada Bencana.pptx
Triage Bencana, Stabilisasi, Transportasi dan Evakuasi pada Bencana.pptxTriage Bencana, Stabilisasi, Transportasi dan Evakuasi pada Bencana.pptx
Triage Bencana, Stabilisasi, Transportasi dan Evakuasi pada Bencana.pptx
 
Kb 3 bantuan hidup dasar
Kb 3 bantuan hidup dasarKb 3 bantuan hidup dasar
Kb 3 bantuan hidup dasar
 
3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx
3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx
3.3.1.EP.1d SOP TRIASE.docx
 
Konsep dasar triage_instalasi_gawat_daru
Konsep dasar triage_instalasi_gawat_daruKonsep dasar triage_instalasi_gawat_daru
Konsep dasar triage_instalasi_gawat_daru
 
Early Warning System.pptx
Early Warning System.pptxEarly Warning System.pptx
Early Warning System.pptx
 

Recently uploaded

468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt
468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt
468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt
cels17082019
 
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank MaybankUNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
csooyoung073
 
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngccccccccccccccccaskep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
anangkuniawan
 
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratioIMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
Safrina Ramadhani
 
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksiTM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
haslinahaslina3
 

Recently uploaded (17)

Penyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptx
Penyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptxPenyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptx
Penyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptx
 
468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt
468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt
468660424-Kuliah-5-CDOB-upkukdate-ppt.ppt
 
PPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdf
PPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdfPPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdf
PPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdf
 
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank MaybankUNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
 
Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)
Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)
Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)
 
PPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.ppt
PPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.pptPPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.ppt
PPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.ppt
 
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.pptParasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
 
partograf. pencatatan proses kelahiran.ppt
partograf. pencatatan proses kelahiran.pptpartograf. pencatatan proses kelahiran.ppt
partograf. pencatatan proses kelahiran.ppt
 
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkbregulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
 
asuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencana
asuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencanaasuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencana
asuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencana
 
KONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHAN
KONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHANKONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHAN
KONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHAN
 
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngccccccccccccccccaskep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
 
PPT LAPORAN KOMITE TENAGA KESEHATAN LAINNYA
PPT LAPORAN KOMITE TENAGA KESEHATAN LAINNYAPPT LAPORAN KOMITE TENAGA KESEHATAN LAINNYA
PPT LAPORAN KOMITE TENAGA KESEHATAN LAINNYA
 
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratioIMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
 
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksiTM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
 
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologijenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
 
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smeardokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
 

ESI.docx

  • 1. Emergency Severity Index (ESI) merupakan instrumen triase yang andal dan valid untuk instalasi gawat darurat (IGD). Triase adalah kategorisasi pasien berdasarkan urgensi dan prognosis pada presentasi klinis pasien. Tujuan utama triase adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan kondisi kritis dan sensitif waktu dengan cepat dan memprioritaskan perawatan mereka dibanding mereka yang dapat menunggu atau kondisinya lebih stabil. Triase yang efektif diperlukan ketika permintaan untuk perawatan medis melebihi kapasitas, seperti yang sering terjadi di IGD.[2-4] Emergency Severity Index Emergency Severity Index (ESI) adalah algoritma triase gawat darurat lima tingkat, yang awalnya dikembangkan pada tahun 1999 oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ).[5] ESI triase didasarkan kondisi klinis kesehatan pasien dan jumlah sumber daya kesehatan (baik pemeriksaan penunjang atau tindakan medis) yang dibutuhkan. Dalam skala ESI, pasien diklasifikasikan dan diprioritaskan berdasarkan tingkat keparahan penyakit mereka dengan memperkirakan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk perawatannya. Sistem triase ini berbeda dari algoritma triase standar yang digunakan di beberapa negara lain, seperti Skala Triase Australasia, yang hanya membagi pasien berdasarkan seberapa lama waktu yang aman untuk menunggu penanganan. Sebaliknya, waktu yang dibutuhkan hingga penanganan tidak diatur pada sistem Emergency Severity Indeks dan dikembalikan ke masing-masing institusi untuk menentukan waktu tersebut.[6,7] Empat poin keputusan (A ke D) digunakan untuk membuat triase pasien ke dalam lima level ESI:  A: Apakah pasien membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera: Jika ya, pasien masuk ke ESI level 1. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan B
  • 2.  B: Apakah pasien dalam kondisi berisiko tinggi, disorientasi, kebingungan, distress, atau sangat nyeri: Jika ya, pasien masuk ESI level 2. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan C  C: Apakah pasien memerlukan pemeriksaan penunjang: Jika tidak, pasien masuk ESI level 5. Jika butuh 1 pemeriksaan, pasien masuk ESI level 4. Jika butuh banyak pemeriksaan, lanjutkan ke poin keputusan D  D: Apakah ada kelainan pada tanda-tanda vital pasien: Jika ya, pasien masuk ESI level 2. Jika tidak, pasien masuk ESI level 3 Pasien dengan ESI level 1 membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera (titik keputusan A). Pasien yang stabil dalam situasi berisiko tinggi ditunjuk ke ESI level 2 (titik keputusan B). Pada titik keputusan C, pasien ditugaskan sesuai dengan perkiraan penggunaan sumber daya, mulai dari tidak ada (ESI 5) hingga lebih dari satu (ESI 3). Untuk akhirnya mengklasifikasikan pasien sebagai ESI level 3, tanda-tanda vital harus dinilai. Jika mereka melebihi batas yang ditentukan, penugasan kembali ke ESI level 2 harus dipertimbangkan (titik keputusan D). Penilaian tanda vital penting untuk identifikasi pasien dengan prognosis yang lebih buruk yang membutuhkan perhatian segera. Masing-masing level ESI ini dapat dilihat pada daftar di bawah ini: 1. Resusitasi: Pasien membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera tanpa penundaan. Contoh: pasien dengan perdarahan masif atau henti jantung 2. Emergensi: Pasien yang memiliki faktor risiko tinggi mengalami kecacatan atau kematian, memiliki tanda-tanda kritis suatu penyakit. Contohnya: pasien dengan nyeri dada atau serangan asma 3. Urgensi: Pasien dalam keadaan stabil, namun perlu berbagai pemeriksaan lebih lanjut untuk penanganannya seperti pemeriksaan lab atau X-ray. Contohnya: pasien dengan nyeri perut, batuk dengan demam 4. Kurang urgensi: pasien stabil yang membutuhkan satu jenis pemeriksaan/tindakan, seperti hanya pemeriksaan lab saja, X-ray saja, atau hanya perlu jahitan saja. Contohnya pasien dengan luka tunggal yang memerlukan penjahitan kulit 5. Tidak urgensi: pasien stabil yang tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Hanya memerlukan obat oral atau oles saja. Contohnya: gatal-gatal di kulit, kemerahan pada kulit[7] Poin Keputusan A Berikut adalah daftar pertanyaan yang dapat membantu untuk menentukan apakah pasien termasuk dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera atau tidak:  Apakah pasien bernapas, denyut nadi teraba, dan memiliki jalur napas yang paten?  Apakah ada masalah mengenai denyut nadi dan ritme jantung?  Apakah pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi terintubasi?  Apakah ada kecurigaan masalah perfusi pada pasien?
  • 3.  Apakah pasien memerlukan pengobatan segera atau intervensi hemodinamik seperti penggantian cairan atau transfusi darah?  Apakah pasien mengalami distress pernapasan berat, saturasi oksigen <90%, perubahan status mental akut, atau tidak menunjukkan respons? Penilaian tingkat kesadaran pasien untuk penentuan apakah pasien membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera dilakukan menggunakan sistem Alert, Verbal, Painful, Unresponsive (AVPU):  Alert (A): Pasien sadar penuh dan merespons terhadap suara, mengetahui tempat dan waktu serta bisa mengenali orang  Verbal (V): pasien memberikan respons terhadap rangsangan verbal dengan membuka mata tetapi tidak bisa mengetahui tempat dan waktu, serta mengenali orang  Painful (P): pasien hanya menunjukkan respons hanya ketika diberikan rangsang nyeri, misalnya dengan memencet jari tangan pasien atau melakukan sternal rub  Unresponsive (U): pasien tidak menunjukkan respons sama sekali Pasien dengan tingkat kesadaran P atau U masuk dalam kategori perlu intervensi penyelamatan jiwa segera (ESI level 1).[14] Yang dikategorikan sebagai intervensi penyelamatan jiwa adalah tindakan-tindakan berikut ini:  Pernapasan: ventilasi bag-valve mask, intubasi, surgical airway, CPAP atau BiPAP emergensi  Kardiovaskular: defibrilasi, kardioversi emergensi, pacing eksternal  Hemodinamik: resusitasi cairan intravena, transfusi darah, kontrol perdarahan mayor  Pemberian obat-obatan: nalokson, dekstrosa 50% (D50), dopamin, atropin, adenosin  Tindakan lainnya: dekompresi jarum, perikardiosentesis, open thoracotomy, akses intraoseus Beberapa contoh kondisi yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera yang masuk di ESI level 1: 1. Henti napas dan/atau jantung 2. Distress pernapasan berat 3. SpO2 <90% 4. Pasien trauma yang mengalami kritis yang tidak responsif 5. Overdosis dengan laju pernapasan < 6 x/menit 6. Bradikardia berat atau takikardia atau hipotensi yang disertai adanya tanda hipoperfusi 7. Pasien trauma yang membutuhkan resusitasi kristaloid dan koloid segera 8. Nyeri dada, pucat, diaforesis, tekanan darah < 70 / palpasi 9. Bradikardia dengan denyut nadi di bawah 30 x/menit
  • 4. 10. Syok anafilaksis[14] Poin Keputusan B Poin keputusan B bertujuan untuk menentukan apakah pasien berada dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan segera. Untuk itu, digunakan 3 pertanyaan penyaring:  Apakah kondisi pasien merupakan situasi berisiko tinggi?  Apakah pasien dalam kondisi kebingungan, letargik, atau mengalami disorientasi?  Apakah pasien berada dalam kondisi nyeri hebat atau distress? Yang dimaksud sebagai kondisi berisiko tinggi adalah pasien yang kondisinya dapat segera menurun dengan cepat atau pasien dengan gejala yang mengarah pada kondisi yang membutuhkan penanganan yang sensitif waktu, misalnya stroke atau infark miokard. Contoh kondisi berisiko tinggi adalah sebagai berikut:  Pasien dengan nyeri dada yang mengarah pada dugaan sindrom koroner akut, tetapi kondisinya stabil  Pasien stroke yang tidak memenuhi kriteria ESI level 1  Kehamilan ektopik dengan kondisi hemodinamik stabil  Pasien imunokompromais yang datang dengan demam  Pasien dengan tendensi bunuh diri Poin Keputusan C Poin keputusan C bertujuan untuk menentukan jumlah sumber daya tenaga kesehatan dan tindakan/pemeriksaan yang diperlukan untuk menangani pasien hingga keluar dari IGD. Perlu diingat bahwa jumlah sumber daya ini perlu dihitung berdasarkan penanganan standar dari pengalaman menangani kondisi serupa, bukan berdasarkan tipe dan lokasi rumah sakit, atau siapa tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Jadi, jumlah sumber daya yang diperlukan akan berlaku universal di IGD manapun. Poin Keputusan D Poin keputusan D menggunakan tanda vital pasien sebagai bahan pertimbangan untuk menaikkan level ESI pasien. Walau demikian, tidak semua tanda vital yang abnormal akan dinaikkan level ESInya. Pertimbangan klinis per kasus tetap diperlukan untuk menentukan hal ini. Sebagai contoh, pria 60 tahun, dengan hipertensi yang datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala, tekanan darah 150/92 mmHg. Pria ini datang ke IGD karena kehabisan obat antihipertensi sehingga sudah 2 hari lupa minum obat. Tentunya kasus ini tidak perlu dinaikkan menjadi ESI level 2 karena kondisi pasien terlihat stabil dan dinilai hanya memerlukan pemeriksaan dan pemberian obat saja. Bukti Ilmiah Manfaat Penggunaan Emergency Severity Indeks untuk Triase IGD Sebuah studi dari Amir pada tahun 2015, ESI dapat digunakan sebagai alat yang valid dan dapat diandalkan untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan di IGD tetapi mungkin tidak mengungkapkan hasil yang optimal di negara-negara berkembang dibandingkan dengan apa yang telah dicapai di negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena faktor sumber daya manusia yang
  • 5. dianggap lebih bagus dalam menerapkan sistem triase ESI di negara maju dibanding negara berkembang.[9] Risiko Penggunaan Emergency Severity Indeks untuk Triase IGD Salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai dari penggunaan sistem triase adalah risiko undertriage atau overtriage. Pada sistem Emergency Severity Indeks, titik keputusan D merupakan titik penting yang dapat menyebabkan terjadinya under/overtriage ini.[8] Dalam sebuah studi dari Hinson pada tahun 2018 pada sekitar 100.000 pasien, sekitar 17% pasien memiliki hasil level ESI yang tidak akurat. Inakurasi ini terutama terjadi pada pasien dengan ESI level 3-5. Overtriage kebanyakan terjadi pada pasien yang dikategorikan sebagai ESI level 3 sedangkan undertriage terutama terjadi pada pasien yang dikategorikan sebagai ESI level 4 dan 5.[3] Sebuah studi dari Chaiyaporn pada tahun 2016 di Thailand, Emergency Severity Index (indeks 5 tingkat) lebih akurat daripada indeks triase 4 tingkat dalam hal intervensi penyelamatan nyawa pasien. Peningkatan reklasifikasi dari triase 4 tingkat menjadi ESI adalah sebesar 42,4%. Itu berarti ada 42,4% orang yang over/under triage menggunakan triase 4 tingkat. Dalam penelitian ini juga terdapat 2 orang yang meninggal, dimana ESI dengan tepat mengidentifikasi sebagai ESI tingkat tinggi (level 1), sedangkan dalam triase 4 tingkat pasien diidentifikasi tingkat sedang (level 2 atau 3).[10] Sebuah studi dari Storm-Versloot pada tahun 2011, membandingkan spesifisitas dan sensitivitas antara tiga indeks emergensi, yaitu ESI, ISS (Informally Structured System), dan MTS (Manchester Triage System). Hasilnya, ketiga sistem triase tampaknya sama-sama valid, namun ESI memiliki tingkat undertriage paling tinggi dibanding indeks emergensi lainnya.[11] Studi lain dari Parquee tahun 2019, terdapat 519 pasien yang berusia di atas 65 tahun, sekitar 117 pasien mengalami undertriage.[12] Faktor yang Berhubungan dengan Undertriage atau Overtriage pada Penggunaan Emergency Severity Index untuk Triase IGD Studi mengenai ESI menunjukkan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya undertriage atau overtriage, terutama faktor usia, tanda vital, dan keluhan utama pasien. Usia Semakin tua usia pasien, semakin besar risiko terjadinya undertriage. Peluang undertriage akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan paling besar untuk pasien berusia ≥ 70 tahun.[3] Tanda Vital Bradikardia, takikardia, hipoksia, hipertermia, serta hipotensi ringan berhubungan dengan peningkatan risiko undertriage pada pasien.[3] Keluhan Utama Sejumlah keluhan utama dikaitkan dengan risiko undertriage, seperti keluhan neurologis, sinkop, nyeri dada, nyeri perut, nyeri punggung, dan sesak napas. Sebaliknya, keluhan infeksi saluran pernapasan atas serta keluhan yang berhubungan dengan telinga, hidung, dan tenggorokan
  • 6. berhubungan dengan risiko overtriage. Selain itu, hipertensi dan keluhan alergi juga berhubungan dengan risiko overtriage.[3,7] Apikasi di Indonesia Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dokter. Hal ini sangat bermanfaat untuk fasilitas kesehatan dengan jumlah tenaga dokter yang terbatas sehingga dokter tidak perlu dialokasikan untuk ikut memegang triase. Alasan kedua, pertimbangan penggunaan sumber daya yang digunakan dalam sistem ESI sangat bermanfaat pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.[13] Di sisi lain, terdapat risiko overtriage dan undertriage. Untuk itu, perlu dilakukan pelatihan terhadap tenaga kesehatan supaya dapat menentukan level ESI dengan tepat, terutama pada kasus yang memiliki faktor risiko terjadinya inakurasi. Selain itu, fasilitas kesehatan juga perlu terlebih dahulu menentukan batas lama tunggu pasien untuk masing-masing level ESI sebelum sistem ini dapat diaplikasikan di fasilitas kesehatan di Indonesia.[13] Kesimpulan Emergency Severity Index merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan untuk triase pasien di IGD. Berbeda dari sistem lainnya, sistem ini juga memperhitungkan jumlah sumber daya sehingga cocok digunakan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Emergency Severity Index (ESI) merupakan salah satu sistem triase yang menggunakan 5 tingkat. Untuk mengkategorikan pasien ke dalam level ESI ini, digunakan 4 poin keputusan. ESI memiliki risiko inakurasi kategori yang menyebabkan terjadinya overtriage atau undertriage. Hal ini terutama terjadi pada poin keputusan 4. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mengenali faktor- faktor yang meningkatkan risiko terjadinya undertriage dan overtriage sehingga bisa lebih berhati- hati saat melakukan triase pada pasien yang memiliki faktor risiko tersebut. Fasilitas kesehatan juga perlu mengadakan pelatihan supaya tenaga kesehatan bisa menggunakan sistem ini dengan baik dan mengkategorikan pasien secara tepat. Selain itu, pihak manajemen juga perlu menentukan lama tunggu pasien untuk masing-masing tingkatan ESI.