Dokumen tersebut membahas tentang percobaan obat-obat golongan sistem saraf otonom (SSO) untuk mengetahui efek terapinya. Terdapat dua golongan utama obat SSO yaitu kolinergik dan adrenergik, yang bekerja dengan memacu atau menghambat neuron dalam sistem saraf otonom. Percobaan dilakukan dengan memberikan beberapa obat SSO seperti metaklopramid, pseudoefedrin dan propanolol kepada hewan uji untuk
1. PERCOBAAN II
OBAT-OBAT GOLONGAN SISTEM SARAF OTONOM (SSO)
A. Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui obat-obat golongan sistem saraf otonom (SSO)
2. Untuk mengetahui dan membedakan efek terapi obat golongan sistem saraf
otonom (SSO)
B. Dasar Teori
Sistem saraf manusia terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf
otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan-gerakan
yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, jari-jari dan
sebagainya. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan
yang otomatis misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskular, gairah seksual
dan sebagainya. Sistem saraf otonom terdiri dari sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Sistem saraf
simpatis bekerja meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh,
memacu meningkatkan detak jantung dan pernafasan, menurukan temperatur
kulit dan daya hantar kulit, dan juga akan menghambat proses digestif dan
seksual. Sistem saraf parasimpatis menstimulasi turunnya semua fungsi yang
dinaikkan oleh sistem saraf simpatis, dan menstimulasi naiknya semua sistem
fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis. Pada waktu individu
mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf
simpatis, sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf
parasimpatis (Purwanto, 2008).
Istilah untuk obat perangsang simpatik adalah adrenergik, simpatomimetik
atau agonis adrenergik, dan penghambat simpatik disebut simpatolitik atau
antiadrenergik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah kolinergik,
parasimpatomimetik atau agonis kolinergik dan penghambat parasimpatis
disebut parasimpatolitik atau antikolinergik.
2. Efek perangsangan simpatis yaitu meningkatkan tekanan darah,
meningkatkan denyut nadi, relaksasi bronkus, dilatasi pupil, relaksasi uterus
dan meningkatkan gula darah. Efek perangsangan parasimpatis yaitu
menurunkan tekanan darah, menurunkan denyut nadi, kontraksi bronkus,
kontraksi pupil, meningkatkan kontraksi saluran kemih, meningkatkan
kontraksi gastrointestinal (GI) dan meningkatkan tonus otot (Priyanto, 2010).
Subtipe reseptor asetilkolin utama diberi nama berdasarkan alkaloida yang
biasanya digunakan dalam identifikasi muskarinik dan nikotinik.
Adrenoreseptor untuk menggambarkan reseptor yang memberikan respon
terhadap catecholamine seperti norephineprin. Kolinoreseptor menunjukkan
reseptor yang memberikan respon terhadap asetilkolin (Katzung, 2001).
Semua saraf post ganglion parasimpatik melepaskan Ach yang reseptornya
adalah muskarinik. Reseptor muskarinik terutama terdapat pada saluran
pencernaan. Reseptor nikotinik terutama terdapat pada ujung saraf motor and
plate pada semua ganglion otonom dan medulla adrenal (Priyanto, 2010).
Secara farmakologi dan molekular, terdapat tiga tipe utama reseptor
adrenergik yaitu α-1, α-2, dan β, dimana masing-masingdibagi lagi ke dalam 3
atau 4 subtipe. Reseptor α-1 terdiri dari 3 subtipe yaitu α-1A, 1B dan 1C.
Reseptor α-2 terdiri dari 4 subtipe yaitu α-2A, 2B, 2C dan 2D. Reseptor β
terdiri dari 3 subtipe yaitu β 1, 2 dan 3 (Riyanto, 2007).
Obat-obat yang memengaruhi sistem saraf otonom dibagi dalam dua
subgrup sesuai dengan mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang
dipengaruhi. Obat-obat kolinergik bekerja terhadap reseptor yang diaktifkan
oleh asetilkolin. Obat-obat adrenergik bekerja terhadap reseptor yang dipacu
oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat kolinergik dan adenergik bekerja
dengan memacu atau menyekat neuron dalam sistem saraf otonom .
(Mycek, 2001)
1. Kolinergik dan antikolinergik
a. Kolinergik atau agonis kolinergik
1) Agonis kolonergik bekerja langsung
3. Agonis kolinergik meniru efek asetilkolin dengan cara
berikatan langsung pada kolinoseptor. Semua obat kolinergik yang
bekerja langsung mempunyai masa kerja lebih lama dibandingkan
dengan asetilkolin. Beberapa diantaranya yang sangat bermanfaat
dalam terapi (pilokarpin dan betanekol) lebih muda terikat pada
reseptor muskarinik dan kadang-kadang dikenal sebagai obat
muskarinik. Contoh obat golongan ini adalah asetilkolin,
betanekol, karbakol dan pilokarpin.
2) Agonis kolinergik bekerja tidak langsung (reversibel)
Obat penyekat asetilkolinesterase secara tidak langsung bekerja
sebagai kolinergik dengan memperpanjang keberadaan asetilkolin
endogen yang dilepas oleh ujung saraf kolinergik. Obat golongan
ini mampu memacu respon pada semua kolinoseptor dalam tubuh,
baik reseptor muskarinik maupun nikotinik. Obat-obat golongan ini
adalah endofonium, neostigmin, fisostigmin dan piridostigmin.
3) Agonis kolinergik bekerja tidak langsung (ireversibel)
Sejumlah senyawa organofosfat sintetik mempunyai kapasitas
untuk melekat secara kovalen pada asetilkolinesterase. Keadaan ini
memperpanjang efek asetilkolin pada semua tempat pelepasannya.
Contoh obat golongan ini adalah ekotiofat dan isoflurofat.
b. Antikolinergik atau antagonis kolinergik
Antagonis kolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau
obat antikolonergik) mengikat kolinoseptor tetapi tidak memicu efek
intraseluler diperantarai reseptor seperti lazimnya.
1) Obat antimuskarinik
Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin yang bekerja
menyekat reseptor muskarinik yang menyebabkan hambatan semua
fungsi muskarinik. Contoh obat-obat dalam golongan ini adalah
atropin, ipratropin dan skopolamin.
4. 2) Penyekat ganglion
Penyekat ganglionik secara spesifik bekerja terhadap reseptor
nikotinik, barang kali dengan menyekat kanal ion ganglia simpatis
maupun parasimpatis dan tidak efektif sebagai antagonis
neuromuskular. Contoh obat golongan ini adalah nikotin,
mekamilamin dan trimetafan.
3) Penyekat neuromuskular
Obat ini menyekat transmisi kolinergik antara ujung saraf motor
dengan reseptor nikotinik pada cekungan neuromuskular otot rangka.
Contoh obat-obat golongan ini adalah atrakurium, doksakurium,
metokurin, mivakunium, pankuronium, iperkuronium, rokuronium,
suksinilkolin, tubokuranin dan vekuronium.
2. Adrenergik dan antiadrenergik
a. Adrenergik
Obat adrenergik mempengaruhi reseptor yang dipacu oleh
norepinefrin atau epinefrin. Beberapa obat adrenergik bekerja langsung
pada reseptor adrenergik (adrenoseptor) dengan mengaktifkannnya dan
disebut simpatomimetik.
1) Agonis adrenergik bekerja langsung
Agonis bekerja langsung terikat pada reseptor adrenergik tanpa
bereaksi dengan neuron presinaptik. Obat yang bergabung dalam
kelompok ini banyak digunakan di klinik. Contoh obat-obat
golongan ini adalah albuterol, klonidin, dobutamin, dopamine,
epinefrin, isoproterenol, metaproterenol, metoksamin, norepinefrin,
fenilsfrin, ritodrin dan terbutalin.
2) Agonis adrenergik bekerja tidak langsung
Agonis adrenergik bekerja tidak langsung menyebabkan
pelepasan norepinefrin dari ujung presinaptik. Contoh obat
golongan ini adalah tiramin dan amfetamin.
3) Agonis adrenergik bekerja langsung dan tidak langsung (kerja
campuran)
5. Obat-obat bekerja ganda memacu pelepasan norepinefrin dari
ujung sinaptik dan juga mengaktifkan adrenoseptor pada membran
paska sinaptik. Contoh obat golongan ini adalah efedrin dan
metaraminal.
b. Antiadrenergik atau antagonis adrenergik
1) Penyekat-α
Obat-obat yang menyekat adrenoseptor α sangat mempengaruhi
tekanan darah. Hambatan reseptor jelas mengurangi tonus
simpatetik pada pembuluh darah, akibatnya tahanan vaskular tepi
menurun. Contoh obat golongan ini adalah doxazosin,
fenoksibenzamin, fentolomin, prazosin dan terazosin.
2) Penyekat-β
Semua obat penyekat β yang didigunakan dalam klinis bersifat
antagonis kompetitif. Penyekat β non selektif bekerja pada reseptor
β1 dan β2, sedangkan antagonis-β kardioselektif terutama
menyekat reseptor β. Contoh obat golongan ini adalah atenolol,
asebutolol, labetalol, metoprolol, nadolol, pindolol, propanolol dan
timolol.
(Mycek, 2001)
6. C. Alat, Bahan dan Hewan Percobaan
1. Alat
a. Batang pengaduk
b. Gelas kimia 100 mL
c. Lap halus
d. Lap kasar
e. Mortir dan stamper
f. Papan datar bulat
g. Pipet tetes
h. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Kertas perkamen
b. Na – CMC
c. Metaklopramid HCl 5 mg
d. Propanolol 40 mg
e. Pseudoephedrine HCl 60 mg
f. Sonde
g. Spoid 1 mL
3. Hewan Percobaan
a. Mencit
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan larutan stok
a. Pembuatan Na-CMC
1) Ditimbang Na-CMC
2) Dimasukkan 100 mL aguades ke dalam mortir
3) Ditaburkan Na-CMC di atas aquades secara merata dan dibiarkan
mengambang diatas akuades selama kurang lebih 15 menit sambil
sesekali diaduk.
4) Digerus ad homogeny
7. b. Propanolol
1) Digerus propanolol ad homogen di dalam mortir.
2) Didalam mortir yang berbeda dimasukkan 100 mL aquades lalu
ditaburkan Na CMC diatasnya secara merata. Ditunggu sampai
mengembang kemudian digerus ad larut homogen.
3) Dimasukkan propanolol yang telah digerus ke dalama mortir (2),
lalu digerus ad homogen.
4) Dipindahkan larutan ke dalam gelas kimia untuk menjadi larutan
stok propanolol.
c. Pseudoephedrine HCl
1) Digerus tablet ad homogen di dalam mortir.
2) Ditambahkan Na CMC 50 % berat larutan obat ke dalam mortir.
3) Dilarutkan larutan ad 61,5 mL.
4) Digerus ad homogeny dan diaduk.
5) Dimasukkan larutan ke gelas kimia untuk menjadi larutan stok.
d. Metaklopramid HCl
1) Digerus tablet ad homogen di dalam mortir.
2) Ditambahkan Na CMC 50 % berat larutan obat ke dalam mortir.
3) Dilarutkan larutan ad 61,5 mL.
4) Digerus ad homogeny dan diaduk.
5) Dimasukkan larutan ke gelas kimia untuk menjadi larutan stok.
2. Praktikum sistem saraf otonom
a. Dikelompokkan hewan percoba menjadi 4 kelompok.
b. Diberi Na CMC pada mencit kelompok I secara oral.
c. Diberi metaklopramid HCl 5 mg pada menci kelompok II secara oral.
d. Diberi pseudoefedrin HCl 60 mg pada mencit kelompok III secara oral.
e. Diberi propanolol 40 mg pada mencit kelompok IV secara oral.
f. Dibiarkan selama 1 jam
g. Dilakukan pengamatan meliputi ataksia, agresif, aktif, diare, bulu
berdiri, daya mencengkram, ekor berdiri, gerakan ekor,
gosokan/belaian, gerakan melingkar, warna kulit, kewaspadaan,
10. 34. Salivasi - - - - Simpatolitik
35. Urinasi - - - - Simpatolitik
2. Perhitungan
a. Konversi dosis Propanolol
Dosis =
= / 20 g BB mencit
Berat badan mencit 25 g
/ 25 g BB mencit
Larutan stok yang ingin dibuat
=
=
=
Jadi, dibuat larutan stok propanolol dengan melarutkan 40 mg
propanolol dengan 61,5 mL Na CMC.
b. Konversi dosis Pseudoephedrine HCl
Dosis =
= / 20 g BB mencit
Berat badan mencit 25 g
/ 25 g BB mencit
Larutan stok yang ingin dibuat
=
=
=
Jadi, dibuat larutan stok pseudoephedrine HCl dengan melarutkan 60
mg pseudoephedrine HCl dengan 61,53 mL Na CMC.
11. c. Konversi dosis Metaklopramid HCl
Dosis =
= / 20 g BB mencit
Berat badan mencit 25 g
/ 25 g BB mencit
Larutan stok yang ingin dibuat
=
=
=
Jadi, dibuat larutan stok metaklopramid HCl dengan melarutkan 5 mg
etaklopramid HCl dengan 61,5 mL Na CMC.
12. F. Pembahasan
Sistem saraf otonom juga disebut sebagai sistem viseral, yang bekerja pada
otot polos dan kelenjar. Sistem saraf otonom bekerja pada otot polos dimana
sistem saraf otonom mempengaruhi organ atau mengendalikan dan mengatur
organ seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, lambung, usus, sistem
pernafasan, saluran gastrointentinal, kandung kemih, mata dan kelenjar. Saraf
otonom berhubungan dengan sistem saraf somatik, namun kejadian somatik
dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pusat otonom pada susunan saraf
pusat misalnya mengatur pernafasan dan tekanan darah di medula oblongata,
hipotalamus dan hipofisis, mengatur suhu tubuh, kesetimbangan air,
metabolism karbohidrat dan lemak, pusat tidur dan sebagainya. Obat-obat
yang berfungsi merangsang dan menurunkan kerja dari sistem saraf simpatik,
yaitu adrenergik dan antiadrenergik.
Praktikum ini mengenai obat-obat golongan sistem saraf otonom yang
bertujuan untuk mengetahui efek obat-obat golongan kolinergik,
antikolinergik, adrenergik dan antiadrenergik, yaitu dengan mengamati pupil
mata, diare, tremor, vasokontriksi dan lain-lain.
Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua bagian yaitu sistem saraf
simpatik dan parasimpatik. Mekanisme kerja dari sistem saraf parasimpatik
dengan menggunakan suatu zat kimia seperti neurotransmiter atau
neurohormon. Suatu senyawa yang dapat menghambat sistem saraf
parasimpatik disebut sebagai senyawa antikolinergik atau parasimpatolitik.
Senyawa yang dapat memacu kerja dari sistem saraf parasimpatik yaitu
parasimpatomimetik atau disebut juga kolinergik. Senyawa yang dapat
memacu sistem saraf simpatik yaitu senyawa simpatomimetik atau adrenergik,
dan yang menghambat yaitu senyawa antiadrenergik.
Neurotransmiter pada sistem saraf pusat antara lain adalah asetilkolin,
norepineprin, dan epineprin. Asetilkolin merupakan substansi transmitter yang
disintesis diujung presinap. Asetilkolin memiliki efek eksitasi, namun
asetilkolin juga memilik efek inhibisi pada beberapa ujung saraf parasimpatik
perifer, misalnya inhibisi jantung oleh nervus vagus. Norephineprin disekresi
13. oleh sebagian besar neuron yang terletak pada batang otak dan hipothalamus.
Secara khusus neuron-neuron penyekresi norephineprin yang terletak di lokus
seruleus dan mengirimkan serabut-serabut saraf yang luas di dalam otak dan
akan membantu pengaturan seluruh aktivitas dan perasaan, seperti
peningkatan kewaspadaan. Norephineprin dapat mengaktivasi reseptor
aksitasi. Norephineprin juga sebagian disekresikan oleh sebagian besar neuron
post ganglion sistem saraf simpatis dimana ephineprin merangsang beberapa
organ tetapi menghambat organ yang lain. Epinefrin disekresi oleh kelenjar
adrenal saat ada keadaan gawat ataupun berbahaya. Di dalam aliran darah
epinefrin menjaga kebutuhan tubuh saat terjadi ketegangan, atau kondisi
gawat dengan memberi suplai oksigen dan glukosa lebih pada otak dan otot.
Selain itu epinefrin juga meningkatkan denyut jantung, stroke volume, dilatasi
dan kontraksi arteriol pada gastrointestinal dan otot skeleton. Epinefrin akan
meningkatkan gula darah dengan jalan meningkatkan katabolisme dari
glikogen menjadi glukosa di hati dan saat bersamaan menurunkan
pembentukan lipid dari sel-sel lemak.
Hewan coba yang digunakan pada percobaan ini adalah mencit. Mencit
digunakan karena mencit lebih mudah untuk ditangani dan karena mencit
memiliki anatomi yang hampir sama dengan manusia. Obat-obat golongan
sistem saraf otonom yang digunakan adalah propanolol, metoklopramid HCl,
Na CMC, dan pseudoephedrine HCl. Pada percobaan ini obat diberikan secara
oral karena obat-obat ini mengalami absorbsi paling bagus pada lambung.
Pada percobaan ini waktu yang digunakan untuk mengamati adalah 30 menit.
Waktu ini ditetapkan untuk mempersingkat percobaan dan karena waktu paruh
dari obat yaitu 30 menit sampai 1 jam.
Obat pertama yang diberikan adalah Na CMC. larutan Na CMC digunakan
sebagai larutan kontrol. Hal ini disebabkan karena semua bahan obat yang
digunakan tidak dapat larut di dalam air sehingga memerlukan bantuan Na
CMC untuk larut dengan sempurna. Cara melarutkan obat dengan
menggunakan Na CMC adalah dengan memasukkan air terlebih dahulu ke
dalam mortir kemudian taburkan Na CMC secara merata diatasnya dan tunggu
14. sampai mengembang, lalu masukkan bahan obat yang telah digerus ke dalam
mortir, kemudian digerus sampai homogen lalu dipindahkan ke dalam gelas
kimia. Oleh sebab itu kontrol yang digunakan adalah Na CMC dan bukan
aquades. Na CMC digunakan sebagai suspending agent untuk meningkatkan
kelarutan obat dalam air dan membentuk larutan suspensi. Sebelum obat
diberikan maka mencit harus ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui
berat badan mencit agar bisa menentukan dosis yang tepat pada mencit dengan
mengkonversikannya dari manusia. Pada mencit yang diberikan Na CMC,
timbul efek seperti ataksia, agresif, daya mencengkram kuat, ekor berdiri,
ketakutan, mata melotot, miosis, pucat, pasif, terjadi tremor, refleks berbalik
dan refleks telinga. Ataksia terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
pada otak kecil. Agresif terjadi karena adanya stimulasi pada sistem saraf
pusat. Ekor berdiri yang juga disebabkan karena stimulasi pada sistem saraf
pusat. Ketakutan disebabkan karena adanya relaksasi muskular. Mata melotot
karena terangsangnya reseptor adrenergik . Miosis disebabkan karena pada
mata terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak
tertentu. Pucat disebabkan terjadinya vasokonstriksi. Sedangkan terjadinya
tremor disebabkan karena stimulasi sistem saraf pusat. Kelompok kontrol
digunakan untuk membandingkan antar repson hewan percobaan yang
diberikan obat dengan yang tidak diberikan obat.
Obat kedua yang diberikan adalah metoklopramid HCl. Efek farmakologi
dari metoklopramid adalah bekerja dalam saluran gastrointensinal dan central
nervous system (CNS) atau sistem saraf pusat. Dalam saluran
gastrointenstinal, obat ini dapat meningkatkan mortilitas gastrointenstinal dan
di dalam sistem saraf pusat obat ini sebagai antagonis dopamin, antiemetik
pusat, menghalangi dopamin di dalam kemoreseptor. Obat metoklopramid
HCl adalah obat golongan kolinergik, yang merangsang kerja saraf
parasimpatik dan menurunkan kerja dari saraf simpatik. Metoklopramid HCl
mencapai kadar puncak pada waktu 1-1,5 jam. Efek yang diperlihatkan oleh
mencit setelah diberikan metoklopramid HCl adalah lebih agresif, aktif,
ketakutan, menggeliat, nafas cepat, pasif, respon bila dijepit ekornya dan
15. adanya respon berbalik. Adanya respon agresif akibat stimulasi oleh
metoklopramid HCl pada sistem saraf pusatnya dan meningkatkan sifat aktif
dari hewan coba. Ketakutan muncul karena reaksi obat yang berikatan dengan
reseptor sistem saraf otonom. Efek nafas yang cepat karena adanya
baroreseptor yang terletak dalam aorta dan arteri karotis terangsang dengan
akibat terjadinya efek simpatis, menyebabkan jantung berdenyut cepat dan
lebih kuat disertai vasokonstriksi yang akan menaikkan tekanan darah.
Obat ketiga yang diberikan adalah pseudoephedrine HCl. Pseudoephedrine
HCl adalah suatu turunan dari ephedrine yang merupakan obat golongan
simpatomimetik atau adrenergik dengan efek bronkodilator, sehingga dapat
melegakan pernafasan. Obat pseudoephedrine HCl bekerja pada reseptor α-1
dan β-1. Pada beberapa obat jenis ini, obat diberikan secara bebas dan
digunakan untuk kongesti hidung. Obat ini merangsang kerja saraf simpatik.
Pseudoephedrine HCl mencapai kadar puncak pada waktu 1-1,5 jam.
Pseudoephedrine dapat diberikan pada manusia untuk meringankan gejala
gangguan saluran pernafasan bagian atas seperti shinitis alergi. Efek yang
diperlihatkan oleh mencit setelah diberikan obat ini adalah ataksia, ekor
berdiri, gosokan atau belaian pada mulut yang sering, gerakan ekor yang
banyak, dapat melakukan gerakan melingkar, kewaspadaan tinggi, ketakutan,
lakrimasi, midriasis, dan pasif. Ataksia terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan pada otak kecil. Gosokan atau belaian merupakan efek karena
terangsangnya sistem saraf pusat sehingga menyebabkan mencit
menggosokkan badannya (grooming). Kewaspadaan yang tinggi timbul karena
obat ini bekerja pada saraf simpatis. Sedangkan midriasis atau pelebaran pupil
mata oleh mencit yang disebabkan adanya hambatan yang menyekat semua
aktivasi kolinergik pada mata, sehingga mata tidak dapat bereaksi dengan
cahaya. Dari beberapa respon yang diamati ada beberapa respon yang tidak
sesuai dengan teori yaitu respon pasif, sedangkan obat golongan ini adalah
obat adrenergik yang dapat merangsang kerja dari saraf simpatik dan membuat
makin semangat.
16. Obat keempat yang diberikan adalah propanolol. Propanolol termasuk
dalam golongan obat antiadrenergik yaitu β-bloker yang mudah larut dalam
lemak yang diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna. Obat ini merangsang
kerja dari saraf parasimpatik. Propanolol dapat diberikan pada orang yang
mengalami aritmia jantung, takikardia, dan hipertensi. Secara farmakokinetik
propanolol dapat diabsorbsi dengan baik dengan pemberian oral, waktu paruh
untuk metabolisme adalah 3-6 jam. Sedangkan secara farmakodinamika,
propanolol yang diberikan secara oaral dapat mencapai kadar puncak pada
waktu 1-1,5 jam. Efek yang ditimbulkan oleh mencit yang diberikan
propanolol adalah katalepsi, adanya pengatupan mata, pasif dan ada respon
terhadap reaksi jepit ekor. Katalepsi yaitu keadaan sikap tubuh yang dapat
dipertahankan yang disebabkan karena depresi sistem saraf pusat. Adanya
pengatupan mata karena disebabkan obat yang menekan reseptor β sehingga
menimbulkan efek kolinergik dan dapat juga disebabkan karena depresi sistem
saraf pusat. Sedangkan pasif dan adanya respon terhadap reaksi jepit ekor
disebabkan karena relaksasi muskular dan depresi sistem saraf pusat. Pada
pemberian propanolol tidak terjadi tremor dan mencit lebih tenang. Hal ini
dikarenakan sifat dari propanolol atau beta bloker mempunyai efek
vasodilatasi dan beta bloker juga menghambat tremor melalui respon β-2.
Percobaan ini terdapat banyak kesalahan. Hal ini dapat disebabkan karena
obat yang belum terabsobsi semua dalam lambung dan juga dapat disebabkan
karena adanya perbedaan faktor biologis dari setiap mencit sehingga
menghasilkan respon yang berbeda-beda dan mungkin karena adanya obat
yang keluar saat hewan diberikan obat sehingga efek atau respon yang
diberikan juga mengalami penurunan.
17. G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Metaklopramid adalah obat golongan kolinergik yaitu meningkatkan kerja
parasimpatik yang dapat menyebabkan agresif, aktif, ketakutan,
menggeliat, nafas cepat dan menunjukkan reaksi jepit ekor.
2. Pseudoephedrine HCl merupakan obat golongan adrenergik yaitu
meningkatkan kerja simpatik yang dapat menyebabkan ataksia, gerakan
ekor, gosokan/belaian, kewaspadaan, ketakutan, lakrimasi, midriasis dan
pasif.
3. Propanolol adalah obat golongan antiadrenergik yaitu menghambat efek
obat simpatomimetik atau penghambat antagonis adrenergik yang dapat
meyebabkan katalepsi, pengatupan kelopak mata, pasif dan menunjukkan
reaksi jepit ekor.
18. DAFTAR PUSTAKA
Katzung, Betram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika :
Jakarta.
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta.
Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan.
Leskonfi : Bandung.
Purwanto, Setiyo. 2008. Mengatasi Insomnia dengan Terapi Relaksasi. Jurnal
Kesehatan. Volume 1 nomor 2.
Riyanto, Heni. 2007. Penggunaan Brimonidin (Agonis Alfa-2 Adrenergik)
Sebagai Terapi Glaukoma. Jurnal Oftalmologi Indonesia. Volume 5 nomor
1.