2. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada
tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan
pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam
Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu
menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari
Negara Islam Indonesia (NII) dibawah
kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo.
3. Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di
Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia
ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947.
Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh
atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat
pemerintahan baik sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang
tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit memperoleh
pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya
Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat
Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada masa-masa awal
setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
4. Tidak lama setelah pemberontakan pecah,
Pemerintah Republik Indonesia melalui
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo segera
memberikan penjelasan secara runut tentang
peristiwa tersebut di depan Dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober
1953.
5. Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan
DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya
provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera Utara
yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu
seakan mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh
ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan
Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik
kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
6. DI/TII muncul di Aceh disebabkan ketidakpuasan rakyat
Aceh kepada pemerintah pusat. Pasalnya, pada tahun
1949, berdasarkan sebuah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu), Aceh dikukuhkan
sebagai provinsi yang berstatus otonom. Namun, dalam
perkembangannya, bukannya pelaksanaan otonomi yang
diterapkan, pemerintah pusat malah mencabut status
provinsi Aceh. Daerah Aceh diminimalisasikan statusnya
menjadi sebuah karesidenan yang tunduk di bawah
Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di Medan.
Tentu saja, keputusan itu ditentang para alim ulama
Aceh, karena masyarakat Sumatera Utara dan Aceh
memiliki karakter dan kultur yang berbeda. Rakyat Aceh
merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak
mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak
menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara.
Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya
kepada ulama.
7. Pada tahun 1953, rakyat Aceh mengangkat senjata
melawan negara. Perlawanan senjata yang dipimpin
oleh Teungku Daud Beureueh yang mengagaskan
Negara Islam Indonesia ini didukung sepenuhnya
oleh rakyat Aceh yang notabene Islam. Beureueh
melakukan gerilya. Tentara NII pun dibentuk,
bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas,
terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah
daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi
di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal
oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa
dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini
mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno.
Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada
1959, Aceh memperoleh status provinsi daerah
istimewa.
8. Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan
dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta
pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia
(RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi.
Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara
menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M
Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di
hutan, melawan Soekarno.
Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh.
Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El
Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution
untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada
janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat
Aceh.