Dokumen tersebut membahas tentang tindak pidana ekonomi khususnya ihtikar dan ghashab dalam perspektif fiqih Islam. Ia menjelaskan definisi, hukum, kriteria dan sanksi dari kedua tindakan tersebut menurut pandangan ulama fikih. Secara ringkas, ihtikar atau penimbunan barang dilarang jika menyimpan kelebihan kebutuhan dan menyebabkan kenaikan harga, sedangkan ghashab atau perampasan h
1. FIQH EKONOMI
Tentang
TINDAK PIDANA EKONOMI
Oleh:
1. GUSTI DIRGAALFAKHRI PUTRA 2120030003
2. MAISYAH AFRIYANI 2120030001
3. SURYANI MUSANNA SIREGAR 2120030002
Dosen Pembimbing:
Dr. Rozalinda, M.Ag
2. Ihtikar
Ihtikar atau penimbunan barang
adalah membeli barang dengan
jumlah besar agar barang tersebut
berkurang di pasar sehingga
harganya naik, dan pada waktu
harganya naik kemudian dilepas
(dijual) ke pasar sehingga (muhtakir)
mendapatkan keuntungan yang
berlipat ganda
Beberapa definisi penimbunan barang (ihtikâr) menurut
beberapa pendapat yaitu:
1. Imam al-Ghazali mendefinisikan ihtikâr sebagai
penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk
menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika
harga melonjak.
2. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan ihtikâr adalah
penyimpanan barang oleh produsen baik, makanan, pakaian,
dan segala barang yang merusak pasar.
3. As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-
Ihtikar sebagai membeli suatu barang dan menyimpannya
agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga
harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan
kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang
tersebut.
Semua pendapat tersebut secara esensi mempunyai pengertian
yang sama, yaitu menyimpan barang yang dibutuhkan
masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak, namun
dari jenis barang yang disimpan atau ditimbun terjadi perbedaan
3. Hukum Ihtikar
Ulama fikih berbeda pendapat
mengenai hukum ihtikār antara
haram dan makruh.
Pendapat pertama, dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi,
Maliki, Jumhur ulama Syafi‘i, Hanbali, az-Zahiri, Zaidiyah,
Abadiyah dan kebanyakan Imamiyah. Menurut mereka
melakukan ihtikār hukumnya haram
Pertama, dasar pengharaman ihtikār menurut Al-Qur`an
terdapat dalam surat al-Hajj ayat 25.
ُظِب ٍۭادَحْلِإِب ِهيِف ْد ِ
رُي نَم َو
ابَذَع ْنِم ُهْقِذُّن مْل
يمِلَأ
Artinya: “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan
kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya
sebahagian siksa yang pedih” (QS. Al-Hajj: 25).
Kedua, Rasulullah SAW bersabda:
َع ِ ه
َّللا ِدْبَع ِْنب ِ
رَمْعَم ْنَع
ِ ه
َّللا ِلوُسَر ْن
-
صلى
وسلم عليه هللا
.
َلاَق
:
ِإ ُرِكَتْحَي َال
ٌ َِِاَ هال
Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah
seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.”
(HR. Muslim).
4. Kriteria Penimbunan dalam Islam
Para ulama berpendapat dalam
hal ini, bahwa yang dimaksud
dengan penimbunan yang haram
ialah yang memiliki kriteria
sebagai berikut
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari
kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan
setahun penuh
2. Penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat
membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan,
pakaian dan lain-lain
5. Jenis Barang
Menurut An-Nawawi, ihtikar
diharamkan hanya pada makan
pokok saja
Jangka Waktu
Sebagian ulama memberlakukan larangan ihtikar
untuk semua waktu, tidak membedakan antara waktu
sempit dan waktu lapang, karena disandarkan pada
keumuman larangan melakukan penimbunan barang.
Sedangkan al-Ghazali mengatakan bahwa larangan
terhadap penimbunan berlaku pada masa krisis pangan.
6. Persamaan Antara Ihtikar
dan Monopoli.
Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur
kepentingan sepihak dalam mempermainkan harga.
Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak
opsi untuk menawarkan barang-barang ke pasaran
ataupun tidak menawarkannya.
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan kerugian
ketidakpuasan pada masyarakat.
7. Perbedaan Antara Ihtikar
dan Monopoli
Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur
kepentingan sepihak dalam mempermainkan harga.
Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi
untuk menawarkan barang-barang ke pasaran ataupun tidak
menawarkannya.
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan kerugian
ketidakpuasan pada masyarakat.
8. Ghashab
ghashab berasal dari kata:
غصب
-
يغصب
–
غصبا yang
berarti أخذه
قهراوظلما “
mengambil sesuatu secara
paksa dan zalim”
Menurut istilah yang dimaksud al-ghashab didefenisikan
oleh para ulama sebagai berikut:
1. Imam al-rafi’i berpendapat bahwa al-ghashab adalah
penguasaan atas harta orang lain dengan cara sengaja
2. Imam al-Nawawi berpendapat bahwa al-ghashab ialah
penguasaan atas hak orang lain dengan cara bermusuhan
3. Muhammad Syatha al-Dimyati berpendapat bahwa al-
ghashab ialah penguasaan terhadap hak orang lain walau
hanya unuk mengambil manfaat
Setelah dikemukakan pendapat para ulama, kiranya dapat
disimpulkan bahwa ghashab ialah penguasaan atau pengambilan
harta orang lain dengan sengaja dan atau dengan penindasan
9. Rukun Ghashab
Adapun suatu perbuatan
dapat dikategorikan sebagai
perbuatan ghashab apabila
memenuhi rukun
1. Pelaku ghasab/perampas
2. Korban perampasan
3. Harta rampasan
4. Perbuatan perampas
10. Hukum Ghashab
Ghasab hukumnya haram
Berdasasrkan firman Allah Swt. :
اَ
لَو
ا ْْٓوُلُكْأَت
اْمُكَلاَوْمَا
ا
َنْيَب
اْمُك
اِلِاطَبْلاِب
Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan
jalan yang batil (Q.S Al-Baqarah 2:188)
Begitu pula sabda Rasulullah Saw. “sesungguhnya
darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram
bagi kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di
bulan kalian ini, di negeri kalian ini”. Begitu pula
sabdanya “Barangsiapa mengambil sebidang tanah
walaupun sejengkal dengan cara zhalim maka pada hari
kiamat akan dikalungkan padanya tujuh lapis bidang
tanah”. Begitu pula sabdanya, “Tidak halal harta seorang
mudlim kecuali dengan cara yang menyenagkan jiwa”.
11. Siapa saja ynag menanam tumbuhan
tak berkayu di tanah rampasan,
maka tanaman tersebut adalah milik
pemilik tanah, sementara perampas
berhak mendapatkan ganti rugi
biaya yang telah dikeluarkannya.
Hal ini apabila tanaman tersebut
telah dipanen maka pemilik tanah
hanya berhak mendapatkan sewa
Menanam Tumbuhan atau
Mendirikan Bangunan di
Atas Tanah Rampasan
Larangan Memanfaatkan Barang
Rampasan
Selagi hukum perampasan adalah
haram, maka barang rampasan tidak
boleh dimanfaatkan dengan cara
apapun. Apa yang dihasilkan oleh
barang tersebut wajib dikembalikan
kepada pemiliknya, baik melekat
padanya maupun terpisah darinya.
Mempertahankan Harta
Seseorang wajib mempertahankan
hartanya ketika orang lain ingin
merampasnya.
12. Orang yang Menemukan Hartanya di
Tangan Orang Lain
Apabila orang yang barangnya dirampas
menemukan barang tersebut di tangan
orang lain maka dia lebih berhak atasnya,
meskipun perampas telah menjualnya
kepada orang itu. Perampas bukanlah
pemilik barang tersebut ketika dia
menjualnya sehingga akad penjualan ini
tidak sah
Membuka Pintu Sangkar
Siapa saja yang membuka pintu
sebuah sangkar yang di dalamnya
terdapat seekor burung dan menakut-
nakutinya agar terbang, maka dia
bertanggung jawab.
13. Sanksi Hukum Ghashab
Imam al-Nawawi mengklarifikasikan
jenis sanksi bagi pelaku ghashab ini
dikaitkan dengan kondisi barang
sebagai objek ghashab menjadi tiga
kategori
Jika barang yang dirampas masih ada, pelaku perampasan
berkewajiban mengembaikan harta yang dirampas
Bila barang yang dirampas itu hilang atau rusak, baik karena
sengaja atau karena kelalaian, pelaku ghashab wajib
menggantinya dengan nilai yang sama, baik dari sisi jenis,
macam, sifat, dan ukurannya.
Bila barang ghashab berkurang jumlah atau nilainya, menurut
Ulama Malikiyah, pemilik barang boleh memilih antara minta
ganti rugi kepada ghashab dalam keadaan apa adanya.