Tulisan ini membahas tentang stabilitas demokrasi dalam sistem multipartai dan presidensialisme di Indonesia. Sistem kepartaian dan pemilu berpengaruh besar terhadap stabilitas demokrasi, di mana sistem multipartai dan presidensialisme sering dianggap kombinasi yang rumit dan berbahaya. Penguatan institusionalisasi partai politik di Indonesia dipandang perlu untuk meningkatkan stabilitas demokrasi."
1. STABILITAS DEMOKRASI DALAM
SISTEM MULTI PARTAI DAN PRESIDENSIALISME
INDONESIA
Oleh: Arif Hidayat*)
Abstrak
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian
dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang interaksi antar
partai dan struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan pemerintahan sesuai dengan
konstruksi relasi regulasi yang berlaku. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan
efektifitas pemerintahan presidensiil sekaligus meneguhkan implementasi good governance.
Kata Kunci: Demokrasi; Partai Politik; Sistem Multipartai; Presidensiil
A. PENDAHULUAN Presidensialisme dan sistem multipartai
adalah sebuah “kombinasi rumit dan berbahaya”
Partai politik merupakan pilar utama
bagi stabilitas demokrasi. Sebagaimana data
demokrasi (bukan kedua atau ketiga), karena pucuk
komparasi Mainwaring, dari 25 negara yang
kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif,
* )Dosen Pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
berhasil menjaga stabilitas demokrasinya pada
yaitu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana
tahun 1959-1989, di antaranya hanya 4 negara
rumusan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2),
presidensial (Amerika Serikat, Venezuela, Kosta
bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden
Rika dan Kolumbia), sementara 18 negara lainnya
diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai
adalah parlementer. Keempat sistem presidensial
Politik. Artinya hak tersebut secara eksklusif hanya
itu memiliki tingkat fragmentasi partai yang relatif
diberikan oleh konstitusi kepada partai politik.
rendah dengan hanya dua sampai dengan tiga
Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan
partai yang efektif (Mainwaring, 1993; 102).
partai politik yang kuat dan mapan guna
Dalam konteks penguatan sistem kepartaian
menyalurkan berbagai tuntutan warganya,
dan memperkuat daya tahan stabilitas demokrasi
memerintah demi kemaslahatan umum serta
presidensial, pemberlakuan ambang batas legislatif
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sangat
(electoral thresold dan electoral parlementary) 20-
rasional argumentasinya jika upaya penguatan
25% pada Pemilu 2009 berpotensi positif, apabila
partai politik merupakan pilar mahapenting bagi
dibarengi konsistensi yang koheren. Dengan
bangunan demokrasi, sedangkan demokratisasi
demikian, pengembangan institusionalisasi
adalah pondasi utama bangunan good governance.
(kelembagaan) partai politik senantiasa menjadi
Dengan demikian derajat pelembagaan partai
bahasan yang serius dari para ilmuan politik di
politik sangat menentukan kualitas demokratisasi
tanah air. Pasalnya sampai saat ini pengembangan
kehidupan politik suatu negara (Salang, 2007; 3).
institusionalisasi partai politik oleh partai-partai
2. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
politik belum maksimal. Sehingga dari waktu ke Partai politik dalam DPR yang seharusnya
waktu, para ilmuan politik ditanah air, sering sekedar instrumen yang menyajikan calon yang
mencari formula yang tepat bagi maksimalisasi paling baik bagi masyarakat cenderung lebih
pengembangan institusionalisasi partai politik di mementingkan calon-calon yang loyal kepada
tanah air. Salah satu problematika partai politik di partai daripada calon di luar partai yang mungkin
Indonesia dewasa ini adalah belum terlembaganya dianggap lebih berkualitas. Tingkat kepercayaan
partai sebagai organisasi modern. Secara akal masyarakat Indonesia terhadap kinerja Lembaga
sehat, tak ada demokrasi yang bisa bekerja efektif Legislatif dan parpol begitu rendah. Yakni satu
jika tingkat polarisasi dan fragmentasi partai terlalu tingkat paling bawah sebelum Partai Politik. Lebih
tinggi seperti dianut sistem kepartaian bangsa kita. lengkapnya Parpol 8,1%, Lembaga Legislatif
Energi partai-partai di parlemen acap kali hanya 11,2%, Polisi 14,6%, Lembaga Peradilan 19,9%,
tersedot untuk memperdebatkan soal-soal Pemda 26%, Pempus 29% dan paling dipercaya
elementer seperti tata bahasa dan istilah dalam justru militer 33% (Asian Barometer: 2004).
berbagai rancangan kebijakan (Cetro, 2007; 8). Padahal, semakin tinggi tingkat
Sistem kepartaian seharusnya mendukung pelembagaan partai, semakin tinggi pula daya ikat
terbentuknya sistem pemerintahan yang kuat dan partai terhadap para pemilih atau konstituen partai
bersih serta meningkatkan efektifitas pemerintahan serta terhadap elite dan kepengurusan partai.
atau tingkat keterwakilan, namun kenyataannya Dalam paham demokrasi, daya ikat ini dibentuk
setiap partai lebih mementingkan kepentingan secara konsensual, atas dasar kesepakatan
masing-masing. Jika saja pengembangan mengenai ideologi, orientasi politik, program, dan
institusionalisasi partai politik itu maksimal, tentu kepemimpinan partai (Fatah, 2004: 4). Secara lebih
akan berimplikasi positif terhadap proses spesifik, pengembangan kelembagaan partai politik
pemantapan sikap, dan perilaku partai politik yang merupakan proses yang dilalui oleh partai agar
terpola atau sistemik, sehingga terbentuk suatu terorganisasi secara lebih baik, mempraktikkan
budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip nilai-nilai demokrasi, membuat aturan dan prosedur
dasar sistem demokrasi. sehingga memungkinkan partai-partai politik
Belum terlembaganya partai politik sebagai mampu bersaing secara efektif dan lebih berhasil
organisasi modern, membuat partai politik mulai dalam pemilu, serta menerapkan pilihan-pilihan
kehilangan martabatnya di mata rakyat. Dari hasil kebijakan mereka (IMID, 2006; 12).
survei LSI, Maret 2007, menunjukkan degradasi Partai-partai politik di Indonesia kerap
representasi parpol di mata rakyat. Parpol kini diperhadapkan dengan problem pengembangan
hanya menyisakan 35% kepercayaan masyarakat institusionalisasi partai politik. Salah satu
sebagai modal eksistensinya. Krisis kepercayaan di penyebabnya terletak pada aturan main sistem
satu sisi, dan rapuhnya proses institusionalisasi kepartaian kita, yang masih menganut multyparty
demokrasi di sisi lain, menjadi ancaman cukup system. Padahal banyaknya partai politik yang
serius di tengah transisi sosial saat ini (LSI, 2007; tampil sebagai kontestan pilkada, dan pemilu
12). merupakan partai-partai politik yang akar
3. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
idiologinya berkutat pada tiga aras idiologi yang system). Sedangkan sistem kepartaian menurut
sama; nasionalis-sosialis, nasionalis-religius, dan polarisasi atau pengkutuban kepentingan terbagi
sosialis-religius (Imawan, 1999; 3). atas konsensual, konfliktual, dan konsosiasional.
Tulisan ini akan disajikan menjadi beberapa Sistem dua-partai adalah produk sistem pemilu
bagian. Bagian pertama akan menelusuri majoritarian (distrik) di bawah pemerintahan
pendekatan sistem kepartaian di berbagai negara. bercorak presidensial, sedangkan sistem multipartai
Selanjutnya, pada bagian kedua akan mencoba terbentuk dari sistem pemilu proporsional yang
menguraikan bagaimana perjalanan bangsa umumnya dipraktikkan dalam sistem parlementer.
Indonesia menerapkan format sistem pemilu dan Pendekatan Polarisasi dikembangkan oleh
sistem kepartaiannya dalam kaitannya dengan ilmuwan politik Italia, Giovani Sartori (1976), sistem
presidensialisme dan peningkatan good kepartaian tidak digolongkan menurut jumlah partai
governance. atau unit-unit melainkan jarak ideologi antara partai-
partai yang ada dan didasarkan pada tiga hal, yaitu
jumlah kutub (polar), jarak di antara kutub (bipolar)
B. PEMBAHASAN dan arah perilaku politiknya. Sartori juga
mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga,
Pendekatan Sistem Kepartaian di yaitu pluralisme sederhana, moderat dan ekstrem.
Berbagai Negara Sementara itu, Dahl (1966) memperkenalkan
Pendekatan yang lazim digunakan dalam pembedaan tipe sistem kepartaian atas tingkat
melihat sistem kepartaian adalah pendekatan kompetisi antarpartai sehingga terbentuk berbagai
numerik dan pendekatan polarisasi. Pendekatan pola oposisi partai dalam berhadapan dengan
Numerik yang pernah dikembangkan ilmuwan kekuasaan (Swantoro, 2004; 112-113).
politik kebangsan Prancis, Maurice Duverger (1954) Berbagai pilihan teoretis tersebut
ini menyebut partai sebagai unit-unit dan sebagai menggarisbawahi bahwa sistem kepartaian tidak
satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan- semata-mata berkenaan dengan jumlah partai,
kesatuan lain sehingga sistem kepartaian dapat tetapi juga tingkat kompetisi dan relasi ideologis di
dilihat dari pola perilaku dan interaksi antar antara partai-partai. Karena itu, penataan kembali
sejumlah partai dalam suatu sistem politik yang sistem kepartaian semestinya tidak semata-mata
digolongkan dalam tiga unit, yakni sistem partai memperhitungkan faktor jumlah, tetapi juga tingkat
tunggal, sistem dwi partai dan multipartai. kompetisi di satu pihak dan relasi ideologis partai-
Sedangkan menurut Almond (1999) terbagi menjadi partai di lain pihak.
dua macam yaitu: sistem kepartaian kompetitif dan Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang
non-kompetitif. Sistem kepartaian kompetitif berlaku di berbagai negara sangat mempengaruhi
membagi sistem kepartaian menurut jumlah dan sistem kepartaian yang dianut. Secara umum
polarisasinya. Menurut jumlah, sistem kepartaian sistem pemilu di dunia terdiri dari 2 jenis yaitu:
terdiri dari sistem dwi partai politik (two-party pluraty single district dan proportional
system) atau multi-partai politik (multy-party representative system. Plurality single district
3
4. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
seringkali diterjemahkan bebas sebagai sistem Downing Street No. 10, London).
district, walaupun secara definisi sistem district Sistem dwi partai politik kebanyakan
merupakan varian dari induknya yaitu sistem digunakan di negara yang memiliki pengalaman
plurality single district selanjutnya disebut sebagai demokrasi paling lama seperti di Inggris dan
sistem plural. Sedangkan sistem proportional Amerika Serikat. Bentuk paling sederhana sering
representative system secara sederhana disebut dicontohkan pada sistem pemilu di Amerika Serikat
sebagai sistem pemilu proporsional. di mana sistem plural murni memaksa kedua partai
Di negara Barat di mana demokrasi sudah politik untuk berkompetisi memenangkan pemilu di
menjadi tradisi di dalam kehidupan masyarakatnya, tiap negara bagian. Partai politik yang lebih dahulu
sistem plural membuka peluang untuk berbagai memenangkan pemilu di negara bagian tertentu
partai politik untuk berkompetisi. Tingginya akan menjadi pemenang mutlak, meniadakan
partisipasi masyarakat dalam sistem politik kesempatan partai politik lawan untuk duduk di
mensyaratkan adanya pilihan penyaluran aspirasi dalam kongres (parlemen). Hanya partai politik
politik setelah dukungan politik disuarakan besarlah yang mungkin berkontes dalam pemilu
(artikulasi) dan disatupadukan (agregasi). sehingga partai politik kecil dengan sendirinya akan
Demokrasi menjadikan partai politik bersaing dalam terpinggirkan. Logika berpikir seperti ini membuat
merebut dukungan masyarakat, sehingga kelangsungan 2 partai politik di Amerika Serikat,
menghasilkan sistem partai politik terbagi menurut Republik dan Democrat, bertahan lebih dari 200
jumlah dan polarisasi (pengkutuban). tahun lamanya.
Karakteristik dari sistem dwi partai adalah: Uniknya, sistem pemilu dwi partai Amerika
(1) kesederhanaan, (2) kejelasan, (3) kebebasan, Serikat membedakan antara pemilihan umum partai
(4) kesempatan, (5) kegunaan demi kepentingan politik dengan pemilihan figur elit partai dalam
publik. Sistem dua partai yang berlaku di Amerika mengisi jabatan Kongres (Senat dan Perwakilan
Serikat dan Britania Raya sebetulnya tidak persis Negara Bagian). Pembedaan ini seringkali
sama: Amerika Serikat menganut sistem kabinet membuka peluang bagi voters (pemilih) untuk
presidensial, sedangkan Britania Raya memilih partai politik dan figur elit partai secara
mempraktikkan sistem kabinet parlementer terpisah atau sering disebut sebagai split ticket.
(demokrasi parlementer). Dua besar partai politik di Demi menghindari terjadinya efek split ticket yang
Amerika Serikat adalah Partai Demokrat dan Partai merugikan partai politik, maka partai politik akan
Republik, sedangkan di Britania Raya adalah Partai berlomba untuk memelihara dukungan faithfull
Konservatif dan Partai Buruh (belakangan berdiri voters (pemilih loyal) di negara-negara bagian
lagi Partai Liberal). Di Amerika Serikat, partai politik tertentu daripada berusaha setengah mati menarik
yang memenangkan kursi kepresidenan (eksekutif) simpati unfaithfull voters. Namun demikian, untuk
belum tentu menguasai (mayoritas) dalam mengantisipasi pindahnya suara ke partai politik
Congress (legislatif). Di Britania Raya, pimpinan lawan akibat split ticket, partai politik memandang
mayoritas dalam parlemen (legislatif) otomatis bahwa figur politik popular akan menarik simpati
merebut kursi perdana menteri (Primer Minister, lebih mudah daripada partai politik itu sendiri.
5. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
Sehingga sering dijumpai, partai politik threshold yang ditentukan perundangan pemilu,
berkonsentrasi mengkampanyekan figur politik dapat berkontes dalam pemilu berikutnya.
ketimbang partai politik itu sendiri pada beberapa Pembentukan partai politik baru demi mewadahi
negara bagian tergolong memiliki banyak unfaithfull aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam
voters. Selebihnya partai politik berlomba untuk partai politik besar sangat terbuka. Sehingga
menarik dukungan serta mengambil keuntungan keterwakilan masyarakat beragam dapat dipenuhi
pemilih dari negara bagian berjumlah penduduk di dalam parlemen walaupun hanya 1 kursi
namun masuk dalam kategori unfaithfull voters. perwakilan saja. Namun demikian kelemahan
Negara-negara bagian seperti ini disebut sebagai sistem ini seringkali diakibatkan oleh
“swing states.” ketidakterbukaan sistem pemilu dalam
Strategi fokus pada figur dapat mengemukakan urutan daftar figur elit partainya,
menghasilkan partai politik pemenang pemilu sehingga masyarakat merasa dikecewakan ketika
secara nasional berbeda dengan figur elit partai figur politik pilihannya ternyata tidak dapat
yang duduk di parlemen. Parlemen akan diisi oleh menduduki kursi di parlemen.
figur elit partai politik terpilih walaupun dari partai Sistem pemilu proporsional murni dapat
politik kalah dalam pemilu. Sehingga sistem pemilu dijumpai di negara-negara berkembang seperti
Amerika Serikat menghasilkan parlemen anti- Indonesia, dimana partai politik akan menyusun
majoritarian, karena mengesampingkan suara daftar urut figur elit partai politik. Dengan nomor
rakyat terbanyak. Contoh paling mudah dijumpai urut semacam itu, figur dengan nomor urut teratas
pada sistem politik Amerika Serikat pada masa akan memiliki kesempatan lebih besar untuk
pemerintahan George W. Bush dan Dick Cheney, di menduduki kursi di parlemen apabila partai
mana setelah hasil pemilu antar waktu tahun 2007, politiknya menang di suatu daerah pemilihan.
Kongres sudah tidak dikuasai lagi oleh partai politik Dalam sistem pemilu proporsional semua partai
Republican sebagai partai politik pendukung politik sejauh telah memenuhi ketentuan electoral
presiden dan wakil presiden terpilih. Akan tetapi threshold yang ditentukan perundangan pemilu,
anggota Kongres didominasi oleh partai oposan dapat berkontes dalam pemilu berikutnya.
yaitu Democrat. Pembentukan partai politik baru demi mewadahi
Sistem pemilu proporsional murni dapat aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam
dijumpai di negara-negara berkembang seperti partai politik besar sangat terbuka. Sehingga
Indonesia, di mana partai politik akan menyusun keterwakilan masyarakat beragam dapat dipenuhi
daftar urut figur elit partai politik. Dengan nomor di dalam parlemen walaupun hanya 1 kursi
urut semacam itu, figur dengan nomor urut teratas perwakilan saja. Namun demikian kelemahan
akan memiliki kesempatan lebih besar untuk sistem ini seringkali diakibatkan oleh
menduduki kursi di parlemen apabila partai ketidakterbukaan sistem pemilu dalam
politiknya menang di suatu daerah pemilihan. mengemukakan urutan daftar figur elit partainya,
Dalam sistem pemilu proporsional semua partai sehingga masyarakat merasa dikecewakan ketika
politik sejauh telah memenuhi ketentuan electoral figur politik pilihannya ternyata tidak dapat
5
6. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
menduduki kursi di parlemen. nasional. sebagai contoh di negara Rusia.
Sistem multi-partai seperti di Jerman dan Konsosiasional, tipe semacam ini
Perancis membutuhkan banyak partai untuk merupakan kompromi antara kedua jenis partai
terlaksananya proses demokrasi yang mewadahi politik ekstrem pada kutub berbeda dengan
kepentingan masyarakat yang heterogen. Multi- mensyaratkan kehadiran figur pemimpin politik
partai mendorong partai politik untuk berkompetisi yang mampu mendamaikan dan diterima kedua
sehat meraih dukungan voters. Partai-partai politik partai politik. Dasar pembentukan partai politik
kecil di negara-negara Barat tersebut cenderung konsosiasional tersebut diambil dari teori demokrasi
beraliansi dengan partai politik besar berideologi konsosiasional Arendt Lijphardt (1997).
ekstrem seperti konservatif, liberalis dan radikal Lain halnya dengan sistem kepartaian
demi pemenangan pemilu. Sebagai contoh di kompetitif seperti di atas, sistem kepartaian non-
negara Perancis, partai politik berhaluan konservatif kompetitif. Negara seperti Cina memiliki sistem
seperti Union for a Popular Movement merupakan kepartaian tunggal dimana Partai Komunis Cina
hasil merger dari beberapa partai politik kecil (PKC) mendorong sistem politik otoriter. Agregasi
beraliran konservatif (Rally for the Republic dan kepentingan politik sistem kepartaian non-kompetitif
Union for French Democracy). cina berada di level bisnis, tuan tanah, dan
Di lain pihak, partai politik berhaluan sosialis kelembagaan di birokrasi dan militer. Ruang bagi
komunis seperti Socialist Party and French rakyat untuk agregasi politik tidak terbuka sehingga
Communist Party memiliki ideologi liberal atau mereka tidak memiliki kesempatan untuk memilih
radical. Karena Perancis memiliki Presiden sebagai partai alternatif. Sistem kepartaian seperti di Cina
kepala negara (head of state) dan Perdana Menteri dan kebanyakan negara berhaluan komunis di
sebagai kepala pemerintahan (prime minister), tidak masa lalu tersebut terbagi menurut derajat kontrol
jarang dalam satu periode pemerintahan presiden partai politik terhadap kelompok-kelompok
dan perdana menteri berasal dari partai politik yang kepentingan yang ada dalam sistem politik, yaitu
berbeda seperti Perancis pada tahun 1997, di mana partai politik berkuasa secara eksklusif dan inklusif.
Presiden Jacques Chirac seorang konservatif Secara ekslusif, partai politik berkuasa (governing
memiliki perdana menteri Lionel Jospin berhaluan party) akan memaksakan kontrol terhadap sumber
sosialis. Selanjutnya sistem partai politik ditinjau daya politik melalui tangan kepemimpinan partai.
dari polarisasi kepentingan menghasilkan 3 jenis Ciri dari sistem kepartaian ekslusif ini adalah
partai politik, yaitu: mempengaruhi rakyat dengan cara penggalangan
Konsensual, di mana partai politik mobilisasi besar-besaran dan meniadakan
berkonsensus, menjauhi konflik dalam merumuskan keberagaman kepentingan yang mungkin timbul.
kebijakan bagi kepentingan politik nasional. Sedangkan ciri dari sistem kepartaian inklusif
Sebagai contoh partai politik semacam ini dapat berusaha untuk mewadahi aneka kepentingan dari
dijumpai di Amerika Serikat dan Inggris. kelompok sosial dalam masyarakat dengan
Konflitual, di mana partai politik bersaing, menerima beberapa agregasi kepentingan,
saling menjatuhkan dalam perumusan kebijakan sementara kepentingan yang dirasa tidak perlu
7. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
ditekan sedemikian rupa dengan pelarangan bagi sama saja dengan "sistem satu partai" meskipun
pihak yang menentang kuasa pemerintah. bisa saja terdapat jumlah (struktur, format) lebih
Lain dari itu, sistem politik Anglo saxon yang dari adanya hanya satu partai. Dalam demokrasi
biasanya di dominasi 2 partai politik kuat sehingga semu bisa terjadi, formalnya berlaku sistem banyak
yang kalah akan menjadi oposisi untuk partai tapi faktual-aktualnya berlaku "sistem satu
mengimbangi partai berkuasa (ruling party), partai" tanpa adanya checks & balances. Adanya
Indonesia sebaliknya menganut sistem multi partai. partai oposisi di negara-negara demokratis-modern
Konsekuensi dari sistem politik ini adalah untuk bukan hanya lumrah tapi harus; oposisi adalah
membentuk pemerintahan yang kuat yang didukung bagian dari paritisipasi, tidak ada partisipasi berarti
parlemen diperlukan koalisi partai politik yang tidak ada demokrasi! Tugas partai oposisi tidak
mempunyai platform yang sama. Berbicara tentang kalah penting dibanding dengan tugas partai
partai oposisi (the party in opposition) tidak bisa pemerintah (the party in power).
lepas dari kultur-sistem politik, terutama sistem- Contoh-contoh di Inggris, Kanada, Australia
kultur kepartaian (party-system) yang dianut ketua partai oposisi merupakan jabatan yang
(berlaku) di suatu negara. Yang hakiki dalam penting dan terhormat serta diberi uang
adanya partai oposisi, adalah adanya pengakuan kehormatan oleh negara. Menjalankan tugas
bahwa tidak ada manusia yang sempurna. oposisi tidak sama dengan secara membabibuta
Terutama tentang power (kekuasaan) yang (hantam kromo) melakukan sabotase dan/atau
melibatkan nasib bangsa (masyarakat), itu perlu subversi. Oposisi politik ada aturan mainnya (bukan
kultur-sistem checks & balances. "Power tends to teror politik!). Beroposisi politik berarti secara lugas-
corrupt -- absolute power corrupts absolutely", kata jelas-tegas melakukan kontrol, koreksi, kritik
Lord Acton. "History is past politics -- present terhadap pemerintah demi kepentingan publik. Baik
politics future history", kata Sir John Seely. Ada dua partai pemerintah maupun partai oposisi sama-
kemungkinan kepemimpinan politik dalam sistem sama adalah partai politik yang legal, yang
politik yang tidak mengakui (mengenal) adanya eksistensi-fungsinya sama-sama dijamin undang-
partai oposisi; "Ratu Adil", atau diktator-tiran! undang dan kebiasaan (konvensi-tradisi) politik
Checks & balances, itulah salah satu substansi negeri. Rezim yang menutup pintu untuk adanya
demokrasi modern. partai oposisi, bisa berarti membuka jendela untuk
Adanya partai oposisi melekat kuat dengan adanya konspirasi (komplotan), rebelli, putsch,
sistem dua partai (two-party system) dan sistem coup d'etat, dan bahkan revolusi. Hakikat manusia
banyak partai (multi-party system), bukan dengan dan kebebasan, selalu mencari celah untuk bebas
"sistem satu partai" ("one party system") yang (bukan liar!).
contradictio in terminis dan otoriter-totaliter. Kedua Dalam rezim otoriter-totaliter yang
sistem dua partai dan sistem banyak partai sama- mempraktikkan "sistem partai tunggal" (dengan
sama mensyaratkan adanya partai oposisi (the segala modifikasinya), pergantian penguasa (the
party in opposition) secara jelas dan tegas serta ruling elite) biasa dilakukan dengan perebutan
lugas, kalau tidak begitu maka pada hakikatnya kekuasaan yang penuh rahasia dan sering kali
7
8. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
keras dan bahkan ganas. Ketertutupan Dalam literatur dikenal beberapa sistem
mengundang ketertutupan, kekerasan mengundang kepartaian yang berlaku di berbagai negara yakni
kekerasan, pengkhianatan mengundang nonpartisan system, single-party systems,
pengkhianatan! dominant-party systems, Two-party systems, dan
Logika dan etika politik yang berlaku di Multi-party systems. Tidak semua negara sepakat
negara-negara modern demokratis; sistem dalam menggunakan sistem itu. Beberapa negara
mekanisme demokrasi dikatakan jalan, hanya kalau yang menjalankan sistem multi partai tetapi
masing-masing partai politk (berdasarkan undang- kenyataannya hanya satu partai yang dominan
undang dan aturan main) dimungkinkan seperti Singapore dengan People's Action Party
(berdasarkan pilihan rakyat) utuk secara bergantian (PAP) pimpinan Mr Lee Hsien Loong -nya atau
menjadi partai pemerintah. Maka karakteristik dari seperti Indonesia di masa Orde Baru dengan
sistem banyak partai adalah: (1) terdapat jumlah Golkar (Partai Golongan Karya). Negara-negara
(struktur) lebih dari dua partai politik, (2) praktik lain (yang juga multi partai) seperti Amerika Serikat,
politik "dagang sapi" di kalangan partai-partai politik dalam kenyataannya menggunakan two dominant-
dalam proses pembentukan kabinet, (3) watak party system dengan Partai Republik dan
perwakilan (representasi) dalam tubuh kabinet, Demokrat. Hal yang sama terjadi di Inggris dengan
kabinet koalisi atau kabinet yang terdiri dari blok- Partai Buruh dan Konservatif.
blok partai politik yang berkoalisi, (4) kekuatan Pertanyaanya, bagaimana dengan
politik yang terbagi (shared-partial power) dalam Indonesia? Pertama, Indonesia menganut sistem
tubuh kabinet, (5) kabinet labil, sewaktu-waktu multi partai, dengan sistem pemilu yang berlaku
terancam perpecahan dari dalam tubuhnya sendiri. maka semua partai itu punya peluang mendapat
Negara-negara di Eropa barat merupakan kursi baik di DPR maupun DPRD. Kedua, upaya
kawasan utama dari sistem banyak partai, dengan membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak
ideologi partai sebagai landasannya. terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat
Begitulah sekilas saja tentang reformasi dan Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara
oposisi secara lugas, dengan harapan lebih konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski
mencerahkan dan mencerdaskan wawasan politik banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung
masyarakat umum. Sedangkan di Indonesia sendiri lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu
sejauh ini, masih juga belum nyambung No.10/2008. Ketiga, sistem check and balance
(unmatched) antara sistem konstitusional (UUD menjadi tidak terwujud atau tidak jelas.
1945) yang menganut sistem kabinet presidensial Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol,
(yang cocok dengan sistem dua besar) dengan tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang
warisan kultur praktik kepartaian yang justru ultra permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada
multi partai. Jangan skeptis-pesimistis, sejarah koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan
masih panjang pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang
Sistem Kepartaian dan Presidensialisme notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol
Indonesia bersatu tergantung pada isyunya. Keempat,
9. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang kontestan pemilu, akan tetapi individu (Perorangan)
tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri.
Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau Pemilu pada era ini dianggap sebagai pemilu yang
didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet paling demokratis selama pemerintahan di
didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa Indonesia. Walaupun demikian, partai politik yang
provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan dihasilkan melalui pemilu demokratis ini dianggap
gubernur. Kasus Maluku Utara jadi contoh paling telah menyalahgunakan kesempatan berkuasa,
jelas. Salah satu pasangan didukung oleh partainya karena terlalu mementingkan kepentingan serta
Presiden yakni Partai Demokrat. Pasangan lainnya ideologi masing-masing kelompok, sehingga gagal
didukung oleh Partainya Wakil Presiden yakni menciptakan suasana yang stabil yang kondusif
Partai Golkar dan PAN. Keempat partai ini sama- untuk pembangunan secara berkesinambungan.
sama mengisi kabinet di pusat. Kondisi yang sama Karena pendeknya usia setiap kabinet sebagai
berlangsung di provinsi dan kabupaten/kota di akibat ulahnya partai-partai, tidak mungkin bagi
provinsi tersebut. Begitu juga antar daerah. Satu pemerintah menyusun dan melaksanakan suatu
parpol di satu provinsi berkoalisi dengan parpol lain rencana kerja secara mantap (Azed, 2000; 23-29).
yang menjadi lawannya di provinsi yang berbeda. Masalah jumlah ideal parpol sudah menjadi
Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem perdebatan sejak awal kemerdekaan. Setelah
kita dibangun lebih banyak atas kepentingan proklamasi negara Republik Indonesia dibacakan
pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten. Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pecah
Sistem kepartaian pada dasarnya tidak ketidaksepakatan di antara founding fathers soal
terpisah dari sistem pemilu. Secara teoretis, sistem jumlah ideal parpol. Sebagian ingin menganut
kepartaian bahkan merupakan produk dari pilihan sistem monopartai (partai tunggal) dan lainnya
terhadap sistem pemilu. Hanya saja bangsa kita tak menghendaki sistem multipartai (banyak partai).
pernah konsisten mengimplementasikannya. Tokoh utama penggagas monopartai adalah
Pembicaraan dan diskusi tentang sistem kepartaian Presiden Soekarno, sedangkan sistem multipartai
hampir selalu mendahului kesepakatan mengenai ditokohi Wakil Presiden Mohammad Hatta.
sistem pemilihan. Perdebatan dimenangkan pendukung multipartai
Dalam perjalanannya Indonesia mengalami setelah Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
perdebatan panjang pilihan diterapkannya sistem Pusat pada awal November 1945 mendesak
pemilihan. Complicated permasalahan dan pemerintah mengeluarkan peraturan yang
beragam pertimbanganlah yang kemudian mendorong seluruh bangsa Indonesia mendirikan
mengantarkan Indonesia untuk memilih salah satu parpol-parpol baru untuk mengikuti Pemilu yang
sistem yang diterapkannya. Pada masa berlakunya rencananya diadakan bulan Januari 1946.
sistem parlementer, kombinasi yang digunakan Jadwal pelaksanaan Pemilu mengalami
adalah sistem pemilu proportional representation pengunduran dan baru dilaksanakan tahun 1955.
dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya Meski Pemilu diundur, tetapi sejak 3 November
partai saja yang diberikan kesempatan menjadi 1945 Indonesia memilih sistem multipartai.
9
10. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
Banyak yang kecewa terhadap sistem Banyak yang percaya bahwa krisis politik
multipartai karena pengurus parpol asyik bermain merupakan akibat dari kegagalan manajemen
dengan syahwat kekuasaannya. Tercetus istilah konflik dalam sistem multipartai. Aksi penguburan
praktik dagang sapi guna menyindir politisi. Di sini parpol ala Soekarno berlanjut. Korbannya PKI dan
Presiden Soekarno kembali hadir sebagai tokoh partai-partai berhaluan kiri lainnya. PKI dibubarkan
penting yang menentang sistem multipartai. Dektrit karena divonis sebagai dalang kudeta G30S. Ada
Presiden 4 Juli 1959 menghidupkan kembali UUD polemik tersembunyi di antara pendukung Orde
1945, Soekarno dalam usaha membentuk Baru pada saat itu yang. menyangkut sistem
demokrasi terpimpin menyatakan beberapa kepartaian. Dua gagasan bertarung, yakni
tindakan antara lain menyederkanakan sistem mempertahankan sistem multipartai atau
partai dengan mengurangi jumlah partai. menggantinya dengan sistem dwipartai. Di dalam
Penyederhanaan dilakukan dengan mencabut sistem dwipartai hanya ada dua parpol, yaitu parpol
Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945, yang memerintah dan parpol yang beroposisi. Para
melalui Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 pimpinan parpol menolak sistem dwipartai karena
tahun 1959 ditetapkan syarat-syarat yang harus akan memaksa mereka untuk bergabung atau
dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. membubarkan diri. Penolakan mereka diakomodir
Pada tahun 1960 jumlah partai yang memenuhi oleh Presiden Soeharto yang sangat membutuhkan
syarat tinggal 10 partai. Setahun usai Pemilu 1955, dukungan mereka. sistem multipartai tetap
ia mengobarkan semangat mengubur parpol- dipertahankan pada Pemilu 1971.
parpol. Lima tahun kemudian 26 parpol dikubur Pada awalnya, penyederhanaan Sistem
(baca: dibubarkan) dari 36 parpol peserta Pemilu Multipartai Orde Baru dilakukan dengan suatu
1955. Sepuluh parpol yang selamat adalah PNI, kompromi (Konsensus nasional) antara pemerintah
Nahdatul Ulama, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk
Perti, IPKI, Murba, dan Partindo. tetap memakai sistem perwakilan berimbang,
Soekarno digantikan oleh Jenderal dengan beberapa modifikasi. Di antaranya,
Soeharto. Orde Baru dengan sistem pemerintahan kabupaten dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan
Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan 100 anggota DPR dari jumlah total 460 diangkat
proporsional dengan daftar tertutup kombinasi dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak
dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur dan sangat dikecam parpol, dengan alasan karena
disederhanakan. Selain sistem proporsional tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi
tertutup yang digunakan, modifikasi sistem kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup
pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai
melalui pengangkatan utusan golongan/daerah anggota parlemen.
(Marijan, 2002; 4). Namun, usai Pemilu 1971, Karena
Meski sudah tidak berperan lagi, tetapi kegagalan usaha penyederhanaan partai ketika
gagasan Soekarno bahwa sistem multipartai tidak pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan
cocok untuk Indonesia justru berkembang pesat. dengan mengelompokkan dari 10 partai menjadi
11. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
tiga partai pada tahun 1973, sehingga sejak pemilu calon terbuka untuk memilih DPR dan DPRD,
1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu sedangkan untuk memilih Dewan
yakni PPP, Golkar, dan PDI. Presiden Soeharto PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan sistem
memaksa seluruh parpol bergabung menjadi ke distrik sistem distrik berwakil banyak. Sistem
dalam Golkar atau salah satu dari dua parpol, yakni Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang
parpol religius (Partai Persatuan Pembangunan) diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan
dan parpol non-religius (Partai Demokrasi rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh
Indonesia). Soeharto tidak memikirkan partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya.
keragamanan beragama. Partai Katolik dan Kristen Namun sudah dua kali Pemilu (1999 dan 2004),
lebih suka bergabung ke dalam PDI daripada PPP. harapan itu tidak kunjung tiba. Beberapa survei
Praktis PPP menjadi parpol religius berdasarkan memperlihatkan penurunan kepercayaan rakyat
agama Islam. Dengan tindakan seperti ini, di satu terhadap sistem multipartai. Kadar penurunannya
sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya belum sebesar dekade pasca-Pemilu 1955 (Hestu,
pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya 2005; 7).
lagi fragmentasi partai atau terlalu banyak partai. Dari pengalaman-pengalaman di atas yang
Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan- menjadi dasar keberadaan sistem kepartaian, lebih
kelemahan, diantaranya kekurangan akraban banyak memang penekanannya terletak pada
antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. perwujudan pemerintahan yang representatif dan
Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam legitimate dilihat dari sudut kepentingan
menetapkan daftar calon dianggap sebagai sebab menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk
utama mengapa anggota DPR kurang memenuhi: (1) Menerjemahkan suara yang
menyuarakan aspirasi rakyat. diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-
Pengalaman Orde Baru memperlihatkan badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa
kegagalan sistem dwipartai yang tidak murni untuk memberikan bobot lebih pada proposionalitas
menyehatkan iklim politik. Kondisi coba diperbaiki jumlah suara yang diraih dengan kursi yang
oleh para tokoh reformasi dengan cara dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan
memberlakukan kembali sistem multipartai yang suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke
nyaris terlupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai
Dalam konteks ini, penerimaan kembali sistem besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;
multipartai merupakan prestasi yang biasa. Para (2) Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana
tokoh reformasi berhasil menghapus memori penghubung yang memungkinkan rakyat dapat
negatif generasi Orde Baru terhadap sistem menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang
multipartai. Bahkan harapan rakyat terhadap sistem telah mereka pilih (Ben Reilly,1999; 25).
multipartai meningkat sangat tinggi karena Banyak negara maju yang memiliki
dipercaya sebagai obat mujarab untuk memperbaiki pengalaman sejarah sama dalam membangun
keadaan. Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem sistem demokrasi seperti Indonesia, misalnya;
proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar Argentina, Chile, Brazilia, Polandia dan Amerika.
11
12. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
Akhirnya mereka juga mengambil langkah yang contoh antara lain dengan membangun koalisi
paling tepat dalam negara demokrasinya yaitu: pemerintahan (kabinet) di antara partai-partai
menyederhanakan sistem multi partainya, menjadi politik. Bagaimana dengan Indonesia?
2 atau 3 partai. Alasannya; Pemerintahan sistem Dampak multi partai di Indonesia dapat kita
presidensill menjadi lebih efective, Suara bias dari rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk
multi partai dapat dibendung dan lebih sinergis, membuat "Decision Making" berkaitan dengan
Sistem pemerintahan yang cenderung Parlementer masalah kehidupan berbangsa dan negara yang
akibat multi partai dapat dihindari. Dalam sistem strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi
presidensial yang berdasarkan sistem multipartai, dan militer. Bila kita mengamati secara fokus
bila tidak ada partai politik yang meraih suara hubungan antara Executif dan Legislatif, Presiden
mayoritas di parlemen, koalisi merupakan suatu mengalamai resistansi karena peran Legislatif lebih
yang tidak bisa dihindari. Ia bisa dikatakan sebagai dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya
suatu keniscayaan. Bila tidak, kemungkinan posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden
efektivitas pemerintahan akan terganggu. Karena dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR.
itu, koalisi merupakan ”jalan penyelamat” bagi Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan
sistem pemerintahan presidensial yang menganut perundang-undangan presiden perlu dukungan
sistem multipartai. Dalam bahasa Arend Lijphart, DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru
model seperti ini merupakan bagian dari demokrasi menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita,
konsensual. karena mereka bias dengan kepentingan primordial
Mainwaring dan Linz mengatakan bahwa masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari 42
akan ada problem manakala sistem presidensial partai, dengan ideologi dan kepentingan yang
dikombinasikan dengan sistem multipartai. sangat mendasar perbedaannya akan sangat sulit
Kombinasi seperti ini akan menghasilkan dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai opposisi
instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor yang selalu menentang pemerintah misalnya;
fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen masalah politik LN Indonesia terhadap program
dan ”jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif- nuklir Iran. Lain halnya dengan masalah
legislatif. Karena itu, sistem presidensial lebih Rancangan UU Kamnas, DPR lebih bersikap
cocok menggunakan sistem dwipartai. Dengan apatis.
menggunakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas Di dunia ini, selain Indonesia, hanya ada
pemerintahan relatif terjamin. Berbeda dengan satu negara, Cile, yang bertahan dengan sistem
kedua ahli di atas, Arend Lijphart mengatakan presidensialisme dan multipartai. Karena itu,
bahwa sistem multipartai juga bisa menghasilkan banyak yang mendukung penyederhanaan sistem
sistem demokrasi presidensial yang efektif dan kepartaian Indonesia, dengan mengurangi jumlah
stabil. partai politik peserta pemilu. Tujuannya agar
Kondisi itu, menurutnya, bisa diatasi dengan pemerintahan bisa lebih efektif dan stabil.
cara mengembangkan demokrasi konsensual Jika ditelusuri, gabungan presidensialisme
(demokrasi konsensus). Lijphart memberikan dan sistem multipartai tidak sefatal seperti yang
13. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
diperkirakan. Berbagai pendapat tentang untuk mengganti pemerintahan.
ketidakcocokan antara sistem multipartai dan Kekhawatiran itu belum ditemukan di
presidensialisme mengacu studi Scott Mainwaring Indonesia. Meski hubungan antara eksekutif dan
(1993). Mainwaring menunjukkan, dari seluruh legislatif tak sepenuhnya mulus, eksekutif tetap
demokrasi di dunia, hanya Cile yang mampu berhasil meloloskan aneka kebijakan terpentingnya.
mengawinkan secara stabil presidensialisme Ada dua alasan utama mengapa kita tidak perlu
dengan sistem multipartai. Menurut Mainwaring, terlalu takut dengan sistem multipartai presidensial
penggabungan presidensialisme dengan multipartai di Indonesia. Pertama, sistem multipartai
berpotensi menyebabkan kebuntuan dan presidensial mempunyai potensi dan aspek positif.
instabilitas pemerintah. Artinya, tingginya tingkat kompetisi antarpartai
Potensi buntu lebih besar dalam sistem mendorong parpol bekerja lebih keras guna
multipartai presidensial dibandingkan multipartai menarik suara, semakin banyak pilihan parpol
parlementer karena di dalam sistem untuk publik, dan kian stabilnya pemerintah karena
presidensialisme yang multipartai jarang sekali presiden tidak mudah dijatuhkan parlemen seperti
presiden terpilih didukung mayoritas pemegang awal masa reformasi di Indonesia. Kedua, studi
kursi parlemen sehingga jumlah oposisi di parlemen Mainwaring tentang ketidakefektifan dan
sering lebih besar dibandingkan partai pendukung ketidakstabilan sistem multipartai presidensial
presiden. Pertanyaannya, bukankah bisa dibangun diperbaiki Jose Antonio Cheibub (2007) dalam
koalisi untuk mendukung presiden? studinya tentang presidensialisme dan kepartaian.
Koalisi pendukung presiden dalam sistem Cheibub menunjukkan, hubungan antara sistem
presidensialisme tidak stabil. Karena, pertama, pemerintahan dan kepartaian tidak sesederhana
koalisi pemerintahan dan elektoral sering berbeda. yang disebut Mainwaring.
Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak Menurut studi Cheibub, sistem parlementer
bertanggung jawab menaikkan presiden dalam multipartai terlihat lebih efektif dalam proses
pemilu sehingga parpol cenderung meninggalkan legislasinya karena perdana menteri dalam sistem
presiden yang tidak lagi populer. Kedua, pemilu parlementer yang ada di bawah ancaman
presiden selalu ada di depan mata sehingga partai pemakzulan amat berhati-hati dalam mengajukan
politik berusaha sebisa mungkin menjaga jarak usulan kebijakan atau undang-undang. Sementara
dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin itu, dalam sistem presidensialisme, presiden tidak
baik, tetapi tidak populis. Alasan ketidakcocokan perlu terlalu takut mengajukan kebijakan karena
ketiga, kemungkinan jatuhnya pemerintah secara tidak ada ancaman pemakzulan yang serius dari
inkonstitusional. Besarnya peluang pergantian parlemen. Karena itu, persentase keberhasilan
pemerintah secara inkonstitusional amat relatif meloloskan undang-undang jauh lebih tinggi pada
karena dalam sistem presidensialisme amat sulit sistem multipartai parlementer dibandingkan sistem
menurunkan presiden terpilih. Karena itu, pihak- multipartai presidensial.
pihak yang tidak puas dengan kinerja pemerintah Cheibub menemukan, ketika faktor seperti
cenderung menggunakan jalur inkonstitusional umur dari demokrasi atau pendapatan per kapita
13
14. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
dimasukkan dalam perhitungan dan analisis, koalisi antara partai-partai di parlemen saat itu.
dari pemerintahan tidak lagi berpengaruh terhadap Dalam ilmu politik, secara garis besar koalisi
keefektifan proses legislasi. Cheibub juga dikelompokkan atas dua. Pertama, policy blind
menyimpulkan, risiko instabilitas suatu pemerintah, coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas
baik presidensial maupun parlementer, tidak pertimbangan kebijakan, tetapi untuk
dipengaruhi oleh apakah pemerintah itu satu, dua, memaksimalkan kekuasaan (office seeking).
atau multipartai. Kedua, policy-based coalition, yaitu koalisi
Pengurangan jumlah partai politik tidak perlu berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang
dipaksakan. Sistem kepartaian yang lebih hendak direalisasi (policy seeking). Kecenderungan
sederhana tanpa disertai kedewasaan politik elite yang terjadi dalam era Reformasi ini, format koalisi
dan publik belum tentu membuat pemerintahan yang dibangun adalah bentuk yang pertama. Koalisi
lebih efektif dan stabil. Masing-masing elite politik tidak berdasarkan pertimbangan kebijakan,
mempunyai kepentingan dan akan berusaha melainkan hanya untuk meraih kekuasaan. Koalisi
memperoleh kepentingannya. Sementara itu, publik yang dibentuk lebih didasarkan pada pragmatisme
yang secara politik belum dewasa akan mudah politik.
diperalat elite untuk ”menggoyang” pemerintah. Memang ada sisi positif dalam koalisi yang
Yang diperlukan Indonesia bukan pengurangan selama ini dibentuk, yakni runtuhnya ”sekat-sekat
jumlah parpol, tetapi pendidikan politik yang ideologis”. Koalisi seperti ini merupakan bentuk
berkualitas dan reformasi parpol sehingga aktor koalisi pragmatis dan jangka pendek. Mereka
demokrasi Indonesia makin dewasa secara politik. bergabung hanya untuk kepentingan kekuasaan
Yang dimaksud dewasa adalah mempunyai ansich. Dengan fondasi seperti ini, tidak aneh bila
pengetahuan politik yang cukup, mempunyai akses di antara pendukung koalisi itu sendiri terjadi
informasi politik yang memadai, memiliki perbedaan pandangan dalam mengusung suatu
kemampuan bernegosiasi dan bermufakat dalam kebijakan.
kerangka peraturan yang ada, serta mengindahkan Dalam konteks itu, acap parpol pendukung
kepentingan orang banyak di atas kepentingan koalisi dengan tanpa merasa bertanggung jawab ––
pribadi yang didasarkan kesadaran bahwa sebagai bagian dari koalisi–– tidak merasa bersalah
kepentingan jangka panjang individu bergantung menentang kebijakan pemerintah. Itulah realitas
pada kepentingan publik. Jumlah partai politik akan yang terjadi. Memang dalam koalisi di mana pun,
berkurang sampai pada jumlah yang tepat sejalan bagi-bagi kekuasaan tidak bisa dihindari. Namun,
peningkatan kedewasaan politik para elite dan dengan fokus pada platform, pengejaran
publik. kekuasaan akan digiring ke arah yang
Berbicara tentang koalisi pemerintahan di menguntungkan rakyat. Sudah saatnya partaipartai
Indonesia,sesungguhnya pola ini bukan hal yang duduk bersama membicarakan program-program
baru di negeri ini. Pada awal kemerdekaan, ketika membangun bangsa ini ke depan agar lebih baik
pemerintahan menganut sistem parlementer, dari sekarang.
kabinet yang terbentuk merupakan hasil koalisi Keinginan untuk melakukan terobosan
15. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
terhadap penguatan sistem presidensialisme setara posisinya dengan DPR, justru menjadi
Indonesia sekaligus pelembagaan sistem lemah. Sehingga yang muncul bukan kolaborasi,
kepartaian, melalui pembentukan koalisi parpol namun justru dominasi DPR terhadap presiden.
yang lebih permanen. Kedua dari sisi substansi, Fakta politik dan sistemik ini tentu
sudah selayaknya untuk diberikan apresiasi. memerlukan terobosan baru. Karena sistem
presidensialisme dengan multipartai sederhana
C. PENUTUP atau tidak, sebenarnya bukan jaminan bagi
Beranjak dari penerapan sistem efektivitas suatu pemerintahan. Tidak juga bagi
presidensialisme Indonesia dan efektivitas pemerintahan yang didasarkan pada prinsip
pemerintahan, jika model pemilihan lama –Legislatif separation of power plus sistem dua partai
terlebih dahulu dibandingkan Pilres– dipertahankan. sekalipun. Pengalaman negara-negara Amerika
Sebagai kategori, hal tersebut disebut pemilu yang Latin, memberikan pelajaran yang baik untuk itu.
terpisah. Sedangkan kategori lain yang ingin Agar pemerintahan berjalan efektif dalam sistem
ditawarkan adalah pelaksanaan pemilu nasional presidensialisme multipartai, maka pelaksanaan
(Presiden dan DPR) secara serentak. pemilu nasional secara serentak dipakai sebagai
Baik pemisahan maupun keserentakan cara. Karena efektivitas pemerintahan itu sendiri
pelaksanaan pemilu, sama-sama bertitik temu pada dipengaruhi oleh tingkat interaksi dan heterogenitas
concern yang sama agar terbentuk pemerintahan antar kekuatan politik yang ada. Sehingga, tidak
yang stabil, parlemen yang efektif, dan sekaligus tergantung pada multi tidaknya sistem kepartaian
pembangunan lembaga kepartaian. Adanya yang diterapkan, keserentakan pelaksanaan
dukungan politik DPR bagi presiden terpilih ternyata pemilu, justru dimaksudkan untuk menciptakan
menjadi variabel penting yang tidak bisa diabaikan. demokrasi konkordans (konsensual). Tujuannya,
Didasari ketentuan konstitusi yang menyatakan, adalah mendorong keterlibatan sebanyak-
kewenangan pembuatan UU bersama-sama ada banyaknya aktor masyarakat dalam proses politik,
pada Presiden dan DPR, begitu juga dengan dalam rangka meraih keputusan lewat konsensus.
kebijakan-kebijakan lainnya. Situasi ini Tipe ini merupakan tandingan dari demokrasi
menunjukkan bahwa, separation of power -dimana mayoritas seperti yang terjadi di Amerika Serikat
kekuasaan dari suatu cabang pemerintahan akan (the winner take all).
membatasi kekuasaan yang lain- bukan menjadi Sama dengan di Indonesia, presidensialisme
prinsip dasar sistem pemerintahan presidensialisme Amerika Latin juga dianggap sebagai sistem politik
kita. Melainkan convergence of power, di mana alamiah. Karena, faktor pemilihan presiden
antara cabang-cabang kekuasaan saling dianggap yang terpenting dan memberi pengaruh
berkolaborasi untuk menghasilkan undang-undang pada pemilihan legislatif, termasuk terhadap sistem
atau suatu kebijakan. Kondisi inilah yang disebut kepartaian. Keeratan kaitan antara ketiga variabel
sebagai fenomena “parlementarisasi tersebut (presiden-parlemen-sistem kepartaian),
presidensialisme”. Hal demikian terjadi karena, merupakan efek ketergantungan yang dapat diatasi
presiden yang harusnya kuat atau paling tidak ataupun diukur melalui dua derajat keserentakan;
15
16. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multipartai dan Presidensialisme Indonesia
waktu pelaksanaan, dan kertas suara pencoblosan murah, karena putaran kedua jarang terjadi.
yang sama. Semakin serentak pelaksanaan pemilu, Jadi salah satu persoalan yang mendasar
maka semakin tinggi isu pemilihan presiden dalam yang harus dipecahkan untuk membuat sistem
mempengaruhi pemilihan anggota legislatif, dan presidensial yang kuat adalah, harus dibenahi
tingkat konsentrasi sistem kepartaian yang akan sistem kepartaian dan sistem Pemilu Legislatifnya.
dihasilkan. Ketiga paket UU Politik, harusnya sinergis agar
Bergantung dengan sistem apa – pluralitas, interaksi politik antara eksekutif dan legislatif
mayoritas, ataupun runoff With Reduced mengarah pada efektivitas pemerintahan. Sayang
threshold/mayoritas bersyarat- keserentakan mungkin kita belum (akan) menemuinya pada
pelaksanaan pemilu dikombinasikan, tentu Pemilu legislatif dan Pilpres periode mendatang.
dipengaruhi oleh kondisi obyektif dan tujuan yang
ingin dicapai. Karena masing-masing sistem, akan
memberi dampak yang berbeda. Jika bertujuan DAFTAR PUSTAKA
terhadap munculnya insentif bagi pembentukan
koalisi atau aliansi partai yang permanen, Amal, Ichlasul, 1988. Teori-teori Mutakhir Partai
penyederhanaan sistem kepartaian, Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana.
kesederhanaan tata cara pemilihan, dan biaya yang Azed, Abdul Bari (Ed), 2000. Sistem-sistem
Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran,
lebih murah. Maka kombinasi keserentakan pemilu Jakarta; FH UI.
dengan sistem runnof with a reduced threshold
Bulkin, Farchan, 1998. Analisa Kekuatan Politik di
menjadi suatu alternatif yang efektif. Dalam sistem Indonesia, Jakarta; LP3ES.
ini, terjadi penurunan batas minimal perolehan
Fatah, Eep Saefulloh Pemilu dan Demokrasi:
suara di bawah ketentuan sistem Mayoritas (50 Belajar dari Sejarah Pemilu-Pemilu, www.cetro.com
, 4 Agustus 2003
persen plus satu). Efek langsung dari kombinasi ini
Fatah, Eep Saefulloh Tiga Tingkat Otonomi, Harian
antara lain; pertama, besarnya peluang presiden Republika 20 September 2004
untuk terpilih langsung dengan tingkat legitimasi
Gaffar, Affan, 2000, Politik Indonesia, Transisi
pemilih dan dukungan parlemen yang signifikan. Ini Menuju Demokrasi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
terjadi karena adanya efek “coattails”, di mana Gozali, Saydan, 1999. Dari Balik Suara ke Masa
preferensi pemilih terhadap kandidat presiden, Depan Indones. Jakarta; Raja Grafindo Persada
biasanya akan diberikan kepada calon legislatif Hestu CH, 2005, “Mencari Makna Representasi
atau calon dari daftar partai yang sama. Kedua, DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi
Daerah”, Makalah pada Seminar Nasional
mendorong strategi baru bagi partai politik untuk Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka
membangun koalisi atau aliansi yang berjangka Otonomi Daerah diselenggarakan kertjasama DPD
RI dan BEM KM UGM, 16 Juni 2005 di Magister
panjang, sekaligus berguna bagi penyederhanaan Management UGM.
sistem kepartaian. Ketiga, penciptaan preferensi Imawan, Riswandha, 1999, “Perilaku Politik Partai
Dalam Sistem Multipartai; Ditinjau Berdasarkan
dan isu yang lebih tepat terhadap pemilih.
Dinamika Kehidupan Politik Dalam Era Reformasi
Keempat, menciptakan tata cara pemilihan yang Menjelang Pemilu”, Makalah Pelatihan Wartawan
LP3Y, Jakarta.
lebih sederhana sekaligus pembiayaan pemilu yang
17. Pandecta Vol.3 . No. 1, Januari – Juni 2009
Mainwaring, Scott Timothy Scully, 2007,
“Institusionalisasi Sistem Kepartaian, Upaya Untuk
Mengatasi Paradoks Demokrasi”, Analisis
Mingguan, Perhimpunan Pendidikan dan
Demokrasi, Vol.1. No.13, Minggu III-Juni.
Prihatmoko, Joko J., 2003, Pemilu 2004 dan
Konsolidasi Demokrasi, Semarang; LP2I.
Sanit, Arbi, 1997, Partai, Pemilu dan Demokrasi,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Sugiarto, Bima Arya, “Menuju Institusionalisasi,
Menyelamatkan Transisi”,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/18/opi01.
html, 18 Februari 2002
17