SlideShare a Scribd company logo
1 of 202
Sindrom Partai Gagal
Vitalisasi kekuasaan partai politik pada era reformasi ini jadi berita gembira bagi demokrasi
Indonesia (menjadikan partai sebagai institusi utama dalam negara demokrasi modern)
sekaligus kabar buruk karena akan jadi ancaman bagi masa depan demokrasi apabila partai
menyimpang dan gagal menjalankan fungsi intermediasi dalam negara demokrasi.
Pasalnya, kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu akan bikin demokrasi
mengidap sindrom partai gagal, suatu kondisi ketika postur kekuasaan dan kewenangan partai
sangat kuat, tetapi menyimpan banyak penyakit dan penyimpangan demokrasi. Itu
disebabkan kekuasaan partai menguat, tetapi tak diimbangi dengan sistem imunitas berupa
penguatan sistem dan pelembagaan internal organisasi sehingga mudah terjangkit virus
penyimpangan partai.
Efek sindrom
Sindrom partai gagal akan berimbas terhadap institusi demokrasi (eksekutif-legislatif-
yudikatif) dan perilaku elite politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan partai
politik. Karena itu, problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif hari-hari ini
sangat mungkin merupakan imbas dari sindrom partai gagal.
Partai politik gagal mengantisipasi berbagai virus penyakit kronis dan penyimpangan sulit
terbantahkan. Paling tidak ada empat penyimpangan virus politik yang gagal diantisipasi
partai-partai (partai gagal) secara bervariasi: virus pragmatisme yang kian menggerogoti
perilaku para elite, kader, dan konstituen partai; virus kartelisme yang menyerang perekrutan
dan suksesi kepengurusan di dalam partai; virus oligarkisme yang menginternalkan model
kepemimpinan dan pengambilan keputusan di dalam partai; serta virus faksionalisme yang
semakin melemahkan kelekatan organisasi partai.
Menguatnya pragmatisme para politisi merupakan imbas kegagalan partai politik
menjalankan sistem kaderisasi dan ideologisasi. Keterikatan politikus dengan ideologi partai
sangat lemah. Akibat kealpaan ini, kaderisasi partai cenderung menghasilkan politikus tanpa
ideologi. Karena itu pula, gejala lompat pagar para politisi belakangan ini merupakan indikasi
kuat tentang kegagalan partai menjalankan ideologisasi dan kaderisasi.
Pragmatisme politik tak hanya menghinggapi elite politik, tetapi juga kader, anggota, dan
pemilih partai. Gejala ini mengindikasikan kegagalan partai menjalankan fungsi pendidikan
politik bagi kader dan pemilih. Dampak pragmatisme ini memerosotkan militansi kader
sehingga mesin organisasi partai tak berjalan optimal. Pada situasi rendahnya militansi kader
dan menguatnya pragmatisme pemilih, partai cenderung menggunakan cara instan menarik
simpati pemilih dengan menggunakan kekuatan politik uang.
Menguatnya virus kartelisme dalam seleksi kepemimpinan politik (pencalonan kepala daerah,
anggota legislatif, dan pemimpin lembaga yudikatif serta komisi negara) yang tak transparan,
oligarkis, dan transaksional merupakan bukti kegagalan partai menjalankan fungsi perekrutan
politik secara demokratis, transparan, dan berbasis meritokrasi. Indikasinya, kepala daerah
dan anggota legislatif banyak terjerat kasus korupsi dan produktivitas kinerja lembaga
legislatif rendah. Partai terkartelisasi juga menyebabkan terpisahnya pemimpin partai dengan
konstituen serta ideologi tak mencerminkan perilaku partai.
Virus oligarki menjangkit partai memang sudah menjadi gejala umum sebagaimana
disinyalkan Robert Michels seabad silam tentang hukum besi oligarki: bahwa setiap
organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite. Alih-alih
menerapkan model kepemimpinan demokratis berbasis sistem untuk mengantisipasi gejala
itu, partai justru cenderung memelihara berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan
menyuburkan kepemimpinan oligarkis.
Faksionalisasi juga sebenarnya merupakan gejala umum yang menghinggapi partai. Namun,
partai politik-partai politik gagal mengelola dan mengantisipasi potensi faksionalisme itu.
Faksionalisme yang berkepanjangan jelas menyebabkan semakin melemahnya konsolidasi
organisasi. Para elite partai saling melemahkan dan tidak saling mendukung. Implikasi
kegagalan mengelola faksionalisme, faksi yang terpinggirkan cenderung membentuk partai
baru atau para politikus berpindah ke partai lain, seperti gejala belakangan ini.
Maka, partai perlu meningkatkan sistem imunitas melawan virus pragmatisme, kartelisme,
oligarkisme, dan faksionalisme melalui penguatan kelembagaan dan demokratisasi sistem
internal partai.
Sistem imunitas
Paling tidak ada empat agenda institusionalisasi dan demokratisasi demi sistem imunitas.
Pertama, ideologisasi kader dengan menggalakkan program pengakaran ideologi bagi kader
dan anggota partai melalui sistem kaderisasi yang melembaga serta gerakan pendidikan
politik bagi pemilih sembari mengintensifkan hubungan partai dan pemilih melalui program
pengakaran partai.
Kedua, revitalisasi ideologi, gagasan, dan platform partai melalui transformasi komunikasi
politik. Strategi menjual popularitas tokoh dan jargon politik mulai ditransformasikan dengan
menawarkan platform, gagasan, serta program yang menarik dan inovatif agar menjadi partai
berorientasi program dan kinerja.
Ketiga, demokratisasi sistem perekrutan dan penjaringan jabatan publik (presiden, gubernur,
bupati, wali kota, dan anggota legislatif) di dalam partai melalui mekanisme konvensi partai
yang terbuka, berbasis meritokrasi, dan melibatkan anggota partai. Tentu konvensi yang
demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan yang melibatkan
kader dan anggota sebagai pemilik saham terbesar di partai. Hal ini dapat mengurangi potensi
politik uang, memutuskan rantai oligarki elite di partai, sekaligus mengelola faksionalisme
secara terlembaga.
Keempat, modernisasi organisasi dan demokratisasi sistem pengambilan keputusan dengan
melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial sembari perlahan memutus mata
rantai oligarki dan personalisasi politik dengan melepaskan diri dari ketergantungan pada
sosok personal dan segelintir elite.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/05/27/03211859/Sindrom.Partai.Gagal
Titik Balik Demokrat?
Kepercayaan publik yang kian luntur terhadap Partai Demokrat tecermin dalam hasil jajak
pendapat Kompas, Senin (4/7). Menurut jajak pendapat itu, hanya tersisa 35,6 persen pemilih
Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 yang akan tetap kembali memilihnya.
Pasalnya, publik kian tak yakin Partai Demokrat dapat mendorong upaya pemberantasan
korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih setelah mencuatnya kasus mantan
Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Ketua Divisi Komunikasi
Publik Partai Demokrat Andi Nurpati.
Padahal, sebelumnya partai yang kelahirannya dibidani Susilo Bambang Yudhoyono ini—
belum genap berusia delapan tahun—berhasil meraih kemenangan spektakuler dalam pemilu
legislatif 2009 dengan memperoleh 20,8 persen suara dan 148 kursi DPR sekaligus meraih
prestasi gemilang memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran. Saat itulah puncak
keemasan perjalanan Partai Demokrat.
Namun, belum genap pula berusia 10 tahun, partai yang dideklarasikan pada 9 September
2001 itu mulai memperlihatkan tanda-tanda mengalami titik balik sejarahnya. Gejala ini
memunculkan pertanyaan reflektif: apa saja kekuatan utama Partai Demokrat pada 2009, lalu
apa pula tanda-tanda melemahnya kekuatan itu.
Kekuatan 2009
Paling tidak ada empat penyangga kekuatan elektabilitas Partai Demokrat yang berhasil
mengantarkannya sebagai pemenang Pemilu 2009. Pertama, kekuatan figur sentral Partai
Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun persentase dukungan terhadap
Yudhoyono jauh lebih tinggi dari perolehan dukungan terhadap Partai Demokrat, elektabilitas
keduanya berkorelasi positif. Artinya, dukungan terhadap Yudhoyono berpengaruh pada
Partai Demokrat. Karena itu, kekuatan figur Yudhoyono merupakan salah satu kunci
kemenangan Partai Demokrat pada 2009.
Kedua, kekuatan kinerja pemerintah. Partai Demokrat berhasil mengklaim program-program
populis dan keberhasilan pemerintah—seperti bantuan langsung tunai, bantuan operasional
sekolah, dan PNPM Mandiri—menjadi prestasinya. Meski Ketua Umum Partai Golkar Jusuf
Kalla juga berperan penting, klaim keberhasilan itu berhasil dicitrakan sepenuhnya sebagai
kesuksesan Partai Demokrat. Karena itu, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah juga
jadi faktor penting kemenangan Partai Demokrat pada 2009.
Ketiga, kekuatan Partai Demokrat sebagai partai yang paling positif citranya dalam persepsi
pemilih berdasarkan survei-survei menjelang Pemilu 2009. Partai Demokrat dianggap sebagai
partai paling bersih dari korupsi. Citra bersih dan antikorupsi ini juga mendukung
kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.
Keempat, kekuatan soliditas internal. Kalaupun ada faksionalisme di Partai Demokrat, tentu
tak sekuat di Partai Golkar karena adanya kekuatan figur Yudhoyono sebagai pemersatu
partai. Faktor soliditas dan keberhasilan mengelola faksionalisme ini juga jadi faktor
pendukung kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.
Keempat faktor inilah penyangga utama kekuatan Partai Demokrat pada 2009. Lalu,
bagaimana kondisinya hari-hari ini? Apakah keempat modalitas itu masih kukuh dan dapat
diandalkan pada 2014?
Titik kritis 2014
Tanda-tanda Partai Demokrat mulai mengalami titik kritis terindikasi dari melemahnya empat
penyangga kekuatan elektoralnya selama ini. Pertama, kekuatan figur dan karisma
Yudhoyono mulai mengalami titik balik. Yudhoyono yang tidak dapat dicalonkan lagi dalam
Pemilu 2014 akan berpengaruh terhadap Partai Demokrat, apalagi jika tingkat kepuasan dan
kepercayaan publik terhadap Presiden Yudhoyono semakin merurun. Artinya, figur
Yudhoyono tak dapat lagi diandalkan sebagai jualan utama Partai Demokrat pada 2014.
Kalaupun masih, dipastikan daya tariknya tak sekuat pada 2009. Hal ini menjadi titik kritis
bagi Partai Demokrat pada 2014 mengingat Partai Demokrat sejak awal mengalami
personalisasi dan menjadikan figur sebagai jualan utama.
Kedua, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah semakin menurun. Indikasi itu terlihat
dari tren penurunan dalam hasil jajak pendapat dan survei belakangan ini. Pemerintah dinilai
gagal menuntaskan kasus-kasus besar, seperti Bank Century, mafia perpajakan, rekening
gendut pejabat kepolisian, dan yang paling anyar adalah kasus Nazaruddin. Jika tak ada
prestasi luar biasa dan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah terus menurun, hal itu
akan menjadi kabar buruk bagi Partai Demokrat.
Ketiga, citra Partai Demokrat sebagai partai bersih dan antikorupsi semakin memudar,
terutama setelah mencuatnya kasus Nazaruddin dan Andi Nurpati. Sebelumnya beberapa
kasus juga menyerempet nama-nama petinggi Partai Demokrat di pusat dan di daerah.
Sinyalemen itu setidaknya terbaca dari jajak pendapat Kompas pada 4 Juli bahwa 71,5 persen
menganggap citra Partai Demokrat buruk. Memburuknya citra Partai Demokrat menjadi titik
kritis dalam menghadapi Pemilu 2014.
Keempat, soliditas Partai Demokrat semakin melemah akibat menguatnya pertarungan faksi-
faksi internal yang dipicu kasus Nazaruddin. Bahkan, belakangan mulai muncul isu kongres
luar biasa. Para elite dalam faksi cenderung saling melemahkan. Seandainya gagal mengelola
faksionalisme itu, terancamlah Partai Demokrat pada Pemilu 2014.
Keempat hal inilah titik kritis Partai Demokrat pada 2014 yang dapat diprediksi sejak awal.
Tahun lalu, bertepatan dengan kongres partai ini di Bandung, saya menulis di harian ini
tentang ”Problem Gigantisme Demokrat” (21/5/2010). Partai Demokrat mengidap ”politik
gigantisme”, suatu kondisi di mana postur elektoral meraksasa dalam rentang usia relatif
pendek, sementara postur kelembagaan tak sanggup mengimbangi, menyebabkan beberapa
risiko komplikasi politik, di antaranya problem ketergantungan pada figur Yudhoyono dan
ancaman faksionalisme.
Posisi Yudhoyono sebagai ”Bapak” bagi semua ”kelompok” dan faksi politik di dalam Partai
Demokrat menyebabkan elite Partai Demokrat tak terbiasa menyelesaikan persoalan internal
secara mandiri dan terlembaga. Dampaknya, sumber konflik itu tak pernah tuntas. Kondisi
inilah yang akan jadi bom waktu bagi Partai Demokrat ketika kekuasaan dan karisma
Yudhoyono memudar.
Akhirnya, semua berpulang kepada Yudhoyono dan elite Partai Demokat. Sejauh mana
kesungguhan dalam mengurangi ketergantungan pada figur Yudhoyono sembari menyiapkan
calon presiden 2014; sukses menuntaskan kasus besar untuk meningkatkan kepercayaan
publik; serius membersihkan citra partai; dan berhasil mengelola faksionalisme. Jika keempat
itu gagal, hampir dapat dipastikan Demokrat akan mengalami titik balik sejarahnya.
Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking
Sumber : Kompas, 7 Juli 2011
Pemuda dan Mimpi Indonesia
Artikel ini saya tulis berawal dari diskusi ringan dengan seorang teman yang bercerita tentang
te tangganya di sebuah kota kecil di JawaBarat yang memiliki visi sederhana, tetapi agak
ganjil, mengenai anak laki-lakinya (seorang pemuda). Dia berencana menyekolahkan
putranya hingga pendidikan tinggi di kota tempat tinggalnya-ketimbang kuliah di kota besar--
sehingga bisa menghemat biaya. "Penghematan"itu akan digunakan untuk biaya suap masuk
pegawai negeri sipil jika saatnya tiba.
Lalu saya menimpali, lebih parah lagi, tetangga saya di kampung telah "menunaikan"visi
ganjil itu, setelah menyekolahkan anak perempuannya (seorang pemudi) hingga pendidikan
sarjana di sebuah kota besar, lalu masuk pegawai negeri dengan uang pelicin (suap) yang
sudah disiapkannya sejak lama. Jumlahnya lumayan fantastis. Setara dengan 60 bulan gaji
pegawai negeri golongan III-A. Itu artinya, dia butuh waktu kerja 5 tahun untuk bisa kembali
modal.
Apakah kedua fenomena ini ada korelasinya dengan maraknya korupsi dan terungkapnya
berbagai kasus mafia pajak dan mafia hukum belakangan ini? Tentu banyak perspektif untuk
membaca kedua fenomena itu. Salah satunya, potret tentang semakin lunturnya visi dan
mimpi para generasi muda tentang Indonesia, di satu sisi; dan kian pupusnya harapan
sebagian warga untuk menikmati janji-janji kemerdekaan Indonesia seperti terekam dalam
Pembukaan UUD 1945, di sisi lain.
Tiga mimpi kolektif pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928--berbangsa satu, bangsa
Indonesia; bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; serta berbahasa satu, bahasa Indonesia-
-tidak hanya mengandung pesan persatuan, tetapi sejatinya juga tersirat pesan tentang
keadilan dan persamaan bagi semua, bahwa Indonesia untuk semua warga. Hal itu ditegaskan
17 tahun kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai janji-janji kemerdekaan, bahwa
dua tujuan utama negara-mimpi kolektif bangsa Indonesia--adalah memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Optimisme kolektif Fenomena ini tentu
memunculkan pertanyaan penting bagi para pemuda Indonesia: bagaimana peran dan fungsi
pemuda Indonesia dalam mengawal perjalanan bangsa?Paling tidak, ada dua perspektif untuk
menjawab pertanyaan itu. Pertama, perspektif masa kini, berhubungan dengan posisi strategis
pemuda dalam mengawal perjalanan bangsa. Kedua, perspektif masa depan, berkaitan dengan
apa saja yang perlu dipersiapkan untuk masa depan dalam menggapai mimpi individu setiap
pemuda tentang dirinya dan tentang Indonesia.
Wajah Indonesia memang sedang terkoyak persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran,
serta sejumlah tumpukan problem bangsa yang belum kunjung membaik. Akses pendidikan,
misalnya, masih menjadi barang mewah bagi sebagian warga. Tetapi tetap saja semua itu
bukan menjadi alasan bagi para pemuda untuk berhenti dan terus pesimistis memandang
masa depan Indonesia. Karena itu, selain kritis, para pemuda Indonesia harus tetap optimistis
dalam melihat masa depan.
Bangsa ini sedang menanti bangkitnya anak-anak muda untuk mulai membangun sebuah
mimpi Indonesia masa depan. Membangun optimisme kolektif bahwa suatu saat para anak
muda akan mampu mewujudkan mimpi Indonesia, dan menjadi terhormat di antara bangsa-
bangsa lain di dunia. Bahkan lebih dari itu, bangsa ini perlu bermimpi untuk suatu saat
memimpin dunia.
Mengawal perjalanan bangsa dengan membangun optimisme kolektif itulah mestinya yang
menjadi ruh perjuangan gerakan pemuda dan mahasiswa hari-hari ini, sekaligus
mengantisipasi gejala pesimisme massal yang semakin mendera Indonesia. Pada ruang
kosong inilah setiap pemuda dan mahasiswa--gerakan pemuda dan mahasiswa dituntut harus
tetap kritis dalam mengawal perjalanan bangsa, tetapi juga optimistis menatap masa depan
Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan yang
inklusif dan integral: gerakan moral, gerakan intelektual, sekaligus gerakan membangun
optimisme kolektif bangsa. Menyiapkan masa depan Mewujudkan mimpi Indonesia yang
lebih inklusif--mimpi bagi semua warga negara--sejatinya perlu disiapkan sejak sekarang.
Memang tak mudah melakukannya, mungkin hasil utuh baru dirasakan 30-40 tahun ke depan,
atau paling tidak di usia seabad Republik Indonesia pada 2045 nanti semua akan terwujud.
Paling tidak ada tiga karakter dan kapasitas yang perlu dikapitalisasi setiap generasi muda
untuk memenangi "pertarungan" masa depan sekaligus dalam mewujudkan mimpi Indonesia.
Pertama, diperlukan generasi muda yang memiliki kualitas integritas yang tinggi. Pasalnya,
Indonesia di masa depan sangat membutuhkan anak muda yang berintegritas tinggi, serta me
miliki mentalitas antikorupsi. Indikasi diperlukannya integritas tinggi dan mentalitas
antikorupsi ini terlihat dari problem korupsi yang kian menggerogoti sendi-sendi kehidupan
bangsa. Inilah salah satu upaya untuk memperbaiki wajah Indonesia di masa depan. Karena
itu, pemerintah dan institusi pendidikan perlu memfasilitasi terbangunnya mentalitas
antikorupsi di kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa.
Kedua, kapasitas keahlian dan intelektual yang cukup mumpuni. Para mahasiswa, misalnya,
perlu mendalami studinya secara serius agar menjadi spesialis keilmuan tertentu, yaitu
memiliki spesialisasi dalam menguasai suatu bidang pengetahuan secara mendalam sesuai
dengan bidang studinya masing-masing. Para pemuda perlu memiliki skill tertentu untuk
bersaing di dunia kerja. Indonesia di masa depan jelas memerlukan generasi muda yang
profesional dan menguasai ilmu pengetahuan secara "mendalam"untuk memenangi kompetisi
sekaligus mewujudkan mimpi Indonesia. Karena itu, negara wajib menyediakan akses dan
fasilitas pendidikan yang murah dan terjangkau.
Ketiga, karakter kepemimpinan yang peduli dan profesional. Karakter ini tidak bisa
didapatkan di dalam ruang-ruang kelas. Kepemimpinan didapatkan dari pengalaman aktivitas
keorganisasian, baik di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Di situlah para pemuda
dan mahasiswa ditempa untuk menyelesaikan berbagai konflik dan persoalan, diasah
kemampuan manajerialnya, dan dilatih untuk peduli dan memahami lingkungan serta
masyarakatnya. Di sini pula, kepekaan sosial dan kekritisan sering kali tumbuh. Justru para
pemuda dan mahasiswa yang memiliki karakter kepemimpinan inilah yang di masa depan
diperlukan untuk menggerakkan masyarakat dalam meraih kesuksesan kolektif sekaligus
menggapai kegemilangan Indonesia.
Akhirnya, pada momentum 72 tahun Sumpah Pemuda ini, setiap pemuda Indonesia perlu
membuat visi diri serta memproyeksikan mimpi individunya pada 10, 20, bahkan 30 tahun ke
depan untuk Indonesia, akan memiliki peran dan posisi apa dan di mana di tengah-tengah
masyarakat dalam menyongsong masa depan Indonesia. Pada posisi itulah potensi terbesar
bagi setiap pemuda untuk mewujudkan mimpi tentang Indonesia sekaligus melunasi mimpi
"Sumpah Pemuda"dan "janji-janji kemerdekaan Indonesia"yang mulia dan inklusif itu.
Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Sumber : Koran Tempo, 28 Oktober 2010
Penyimpangan Partai Politik
Pemilu kepala daerah 2010 dan masa depan partai politik mencemaskan. Fenomena politik
dinasti dan politik uang ternyata masih mendominasi panggung politik era Reformasi.
Gejala politik dinasti terlihat dari bermunculannya calon kepala daerah (cakada) dari
kalangan keluarga pejabat yang sedang berkuasa di beberapa pilkada. Sementara fenomena
politik uang juga masih mendominasi proses politik di pilkada dan perekrutan cakada di
internal partai. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di pilkada, tetapi sebelumnya juga
terjadi pada pemilu legislatif.
Para petinggi partai memungut dan memasang tarif bagi para calon anggota legislatif (caleg)
dan menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar caleg di Pemilu 2009.
Politik dinasti dan politik uang yang tak sejalan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem
perekrutan partai di negara demokrasi ternyata justru menjadi karakter utama partai-partai
dewasa ini.
Pada titik inilah telah terjadi penyimpangan parpol. Padahal, posisi partai merupakan institusi
paling esensial dan instrumen inti dalam demokrasi modern (Katz, 1980). Fenomena ini
memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa itu bisa terjadi, dan bagaimana dampaknya
bagi masa depan demokrasi di Indonesia?
Katalisator penyimpangan
Tradisi politik dinasti dan politik uang menjadi penyakit kronis partai memang tak
terbantahkan. Paling tidak ada lima faktor pendorong (katalisator) penyimpangan itu secara
bervariasi: imbas liberalisasi sistem pemilu, efek kegagalan partai dalam mengikat
konstituen, implikasi rapuhnya sistem kaderisasi dan perekrutan di internal partai, akibat
kuatnya oligarki di organisasi partai, serta dampak dari menguatnya pragmatisme politik.
Konstruksi sistem pemilu yang kian liberal menyebabkan partai-partai membutuhkan
kandidat cakada dan caleg yang populer atau memiliki modal finansial mumpuni. Situasi itu
menyebabkan faktor popularitas dan kemampuan finansial calon menjadi paling
diprioritaskan.
Strategi instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga petahana
(incumbent) kepala daerah (elite partai) atau kalangan artis, yang diyakini dapat menjadi
modal untuk meraup suara.
Kegagalan partai mengikat konstituennya juga mendorong para elite politik cenderung
mencari siasat untuk menarik konstituen dengan menempatkan cakada dan caleg paling
populer sehingga aspek kualitas dan integritas acapkali dilupakan. Sementara cara instan
untuk menarik simpati konstituen ditempuh dengan menggunakan kekuatan politik uang.
Rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai, terutama mekanisme
seleksi cakada dan caleg, juga menyebabkan partai terperangkap pada kebutuhan finansial
dan popularitas kandidat. Kompetensi, rekam jejak, dan integritas lagi-lagi menjadi
pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan cakada ataupun caleg.
Peluang politik uang dan politik keluarga juga didorong oleh suburnya oligarki dan
sentralisasi kebijakan dalam struktur partai. Sistem perekrutan cakada dan caleg tidak
dilakukan secara demokratis dan transparan. Sementara mekanisme pemilu internal—yang
dapat meminimalisasi peluang politik uang dan politik keluarga—belum menjadi sistem yang
terlembaga di partai.
Menguatnya pragmatisme politik dan merosotnya militansi kader—yang menyebabkan mesin
organisasi partai tidak dapat berjalan optimal—juga mendorong suburnya politik uang dan
politik dinasti. Pendekatan kekuatan uang dan karisma dinasti dijadikan strategi instan untuk
menggerakkan mesin organisasi atau pengganti kinerja mesin organisasi dalam pilkada dan
pemilu legislatif.
Kelima faktor (katalisator) inilah penyebab politik uang dan politik dinasti semakin
menggerogoti kelembagaan internal partai dan merusak sendi-sendi demokrasi dan
demokratisasi yang sudah berjalan hampir 12 tahun di Indonesia.
Episentrum korupsi-nepotisme
Sistem penjaringan cakada dan caleg yang bertumpu pada kekuatan uang dan oligarki
keluarga akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif-nepotisme para kepala daerah dan
anggota legislatif. Karena cakada yang membeli ”tiket politik” atau caleg yang ”membeli
kursi” sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali.
Di titik inilah, korupsi akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah
dikeluarkan. Sementara politik keluarga akan menyuburkan kultur nepotisme di birokrasi
pemerintahan.
Wajah legislatif dan pemerintahan sejatinya adalah potret partai. Karena itu, baik buruknya
parlemen dan pemerintah amat tergantung dari kualitas partai sebab hampir semua anggota
legislatif dan sirkulasi kepemimpinan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, dan wali kota)
melalui mekanisme partai.
Bahkan, proses seleksi dan pemilihan hampir semua anggota lembaga tinggi dan komisi
negara melibatkan DPR (partai secara tidak langsung). Dengan situasi maraknya korupsi di
berbagai institusi saat ini, maka tak berlebihan jika menyematkan posisi parpol sebagai biang
utama (episentrum) korupsi-nepotisme.
Pada titik inilah, partai semakin menjadi episentrum praktik korupsi-nepotisme di republik
ini. Kondisi ini tentu akan membahayakan masa depan demokrasi karena partai tidak kunjung
terinstitusionalisasi (terlembaga) sebagai organisasi modern dan demokratis. Karena itu,
membereskan persoalan bangsa ini harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan
perilaku partai politik.
Oleh : Hanta Yuda AR
Sumber : Kompas, 28 Juni 2010
Rapor Merah DPR
Ulang tahun ke-65 Dewan Perwakilan Rakyat miskin apresiasi dan sepi ucapan selamat dari
rakyat.
Kendati Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan beberapa prestasi DPR dalam pidatonya,
Senin (30/8/2010), tetap sulit bagi kita memberikan apresiasi positif atas kinerja dan perilaku
anggota DPR belakangan ini. Selain kinerja tak begitu menggembirakan, masih banyak
perilaku tidak terhormat yang ditampilkan para wakil rakyat yang menyandang status
terhormat itu.
Potret buram DPR periode sebelumnya—terjerat korupsi, tersandung skandal seks, dan
rendahnya tingkat kehadiran—ternyata masih mendominasi wajah DPR periode 2009-2014.
Alih-alih memperbaiki citra, wajah DPR yang 70 persen diisi pendatang baru itu justru
semakin memperburuk wajah DPR dengan rencana pembangunan gedung baru yang disertai
fasilitas ruang rekreasi, kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang spa.
Pembangunan gedung mewah ini akan menguras APBN Rp 1,6 triliun sama dengan biaya
Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk 22 juta penduduk miskin (Kompas, 1/9/2010). Ini jelas
mencederai rasa keadilan masyarakat dan kian mendegradasi kepercayaan publik kepada
DPR.
Rapor merah
Jika integritas (perilaku koruptif), disiplin (tingkat kehadiran), dan empati para wakil rakyat
masih dinilai rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana dengan kinerja DPR dalam
menjalankan fungsi esensialnya—legislasi, pengawasan, dan penganggaran—sebagai anggota
parlemen? Siapa paling bertanggung jawab atas wajah buram DPR hari-hari ini?
Kinerja DPR 2009-2014 dalam menjalankan fungsi-fungsi kedewanan masih penuh rapor
merah. Paling tidak, ada tiga potret masih merahnya rapor dilihat dari aspek fungsi utama
parlemen. Pertama, rendahnya produktivitas dalam menjalankan fungsi legislasi. Delapan
bulan pertama 2010, DPR baru menyelesaikan pembahasan tujuh RUU. Itu pun hanya satu
RUU, yakni RUU revisi UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang masuk Program Legislasi
Nasional (Kompas, 31/8/2010).
Kedua, dalam menjalankan fungsi penganggaran, DPR seolah hanya memperjuangkan
kepentingan diri sendiri dan kurang berempati terhadap kondisi masyarakat yang sedang
mengalami tekanan ekonomi. Hal ini terlihat dari ide kontroversial pembangunan gedung
baru DPR senilai Rp 1,6 triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun), serta
rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan Rp 3,3 triliun untuk infrastruktur).
Ironisnya, semua anggaran itu ditanggung rakyat melalui APBN.
Ketiga, fungsi pengawasan seolah hanya jadi alat bagi partai dan DPR bernegosiasi dengan
pemerintah. Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century jadi potret paling terang
dari ketidakseriusan DPR. Padahal, gegap gempita skandal ini telah menguras energi bangsa
dan mengganggu jalannya pemerintahan. Ketiga rapor merah ini kian menggerogoti citra
kelembagaan DPR yang sebenarnya sudah buruk di mata rakyat. Berdasarkan survei
Transparency International Indonesia, DPR dan parpol masih merupakan lembaga terkorup
dalam persepsi publik. Hasil jajak pendapat Kompas beberapa bulan lalu menunjukkan, DPR
dan parpol memiliki tingkat kepercayaan publik yang sangat rendah.
Kegagalan partai
Merosotnya citra DPR merupakan potret kegagalan parpol. Rendahnya kualitas dan
produktivitas DPR merupakan tanggung jawab partai sebab semua anggota DPR diseleksi
melalui mekanisme partai. Karena itu, penyimpangan (malafungsi) partai berpengaruh
terhadap kualitas dan produktivitas para wakil rakyat. Paling tidak, ada lima potret
malafungsi partai yang menyebabkan buramnya wajah DPR secara bervariasi: akibat
rapuhnya sistem perekrutan dan penjaringan calon anggota legislatif (caleg), dampak
ketidakjelasan sumber pemasukan keuangan partai, efek disfungsi aspirasi dan artikulasi
partai, implikasi dari macetnya fungsi pendidikan politik, serta kekeliruan sistem komunikasi
politik partai dalam kampanye.
Rendahnya integritas dan kualitas kinerja anggota DPR jelas mengindikasikan ada yang
keliru dengan sistem perekrutan. Sistem penjaringan caleg di beberapa partai terperangkap
pada praktik politik uang akibat kebutuhan finansial partai dan biaya kampanye. Sementara
kompetensi, rekam jejak, dan integritas menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria
penjaringan. Apalagi, setelah terpilih, juga diwajibkan memenuhi setoran ke partai.
Pada situasi seperti inilah—pendekatan politik uang dalam penjaringan caleg, mahalnya
ongkos kampanye, serta beban setoran ke partai—jadi pintu masuk perilaku koruptif anggota
DPR karena korupsi jadi jalan pintas untuk mengembalikan biaya politik yang telah
dikeluarkan.
Disfungsi artikulasi dan agregasi kepentingan oleh partai juga mendorong penyimpangan di
DPR. Selain tugas partai, fungsi aspirasi juga memang jadi tugas DPR, tetapi tidaklah pantas
jika sumber dananya diambil dari uang rakyat (APBN). Fungsi pendidikan politik juga tak
dijalankan partai. Alih-alih memberikan pendidikan politik, elite partai justru menularkan
pragmatisme politik kepada pemilih dengan membangun relasi bersifat transaksional
sehingga relasi wakil rakyat-konstituen dibangun dengan uang. Karena itu, tak
mengherankan, wakil rakyat kerap didatangi proposal permintaan bantuan akibat
pragmatisme konstituen.
Kekeliruan sistem komunikasi politik, terutama metode mengumbar janji dalam kampanye,
menyebabkan problem bawaan bagi para anggota DPR. Akibatnya, partai dan caleg terjebak
janji kampanye sendiri. Padahal, fungsi DPR bukan eksekutor kebijakan. Tuntutan konstituen
atas janji-janji kampanye ini mendorong perilaku menyimpang anggota DPR.
Malafungsi partai ini mendorong penyimpangan di DPR sehingga kualitas dan citra DPR
tidak kunjung membaik. Karena itu, rapor merah DPR hakikatnya juga rapor merah bagi
partai karena potret buram DPR merupakan cerminan kegagalan partai-partai di DPR. Karena
itu, untuk membereskan persoalan di DPR, harus dimulai dengan mereformasi sistem
kelembagaan internal dan perilaku partai melalui UU Partai Politik dan UU Pemilu. Selain
revisi UU, perlu juga kesadaran para elite partai dan anggota DPR untuk segera mereformasi
diri. Jika partai dan DPR tidak segera berbenah, ulang tahun DPR sejatinya belum layak
dirayakan rakyat, melainkan hanya pantas dirayakan sendiri oleh politisi di Senayan.
Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Sumber : Kompas, 2 September 2010
Setahun Pemerintah Tersandera
Satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono ramai disambut berbagai
aksi demonstrasi kekecewaan, tetapi sepi apresiasi dari rakyat.
Meskipun SBY telah menyampaikan berbagai capaian pemerintah dalam satu tahun ini, agak
sulit untuk memberikan apresiasi positif atas kinerja pemerintah di tengah banyaknya
tumpukan persoalan.
Menjelang satu tahun pemerintahan, rakyat justru ”dihadiahi” kenaikan harga kebutuhan
pokok dan tarif dasar listrik. Rumah-rumah penduduk ”dikirimi teror” ledakan tabung gas.
Selain itu, persoalan kemiskinan, pengangguran, dan korupsi yang seharusnya mendesak
dibereskan justru masih menjadi tumpukan problem bangsa yang tidak kunjung membaik.
Di bidang hukum dan pemberantasan korupsi, beberapa kasus yang mendapatkan perhatian
publik, seperti kasus Bank Century, rekening ”gendut” pejabat kepolisian, kriminalisasi
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan penganiayaan aktivis antikorupsi Indonesia
Corruption Watch, mengambang hingga saat ini. Padahal, SBY menegaskan akan memimpin
langsung pemberantasan korupsi di negeri ini. Pemberantasan korupsi terkesan masih sebatas
retorika.
Wajar jika tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY-Boediono hari-hari ini kian
menurun. Indikator menurunnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah terlihat dari
berbagai hasil survei beberapa lembaga survei belakangan ini.
Empat sumbatan
Situasi seperti ini tentu memunculkan pertanyaan penting: mengapa kinerja pemerintah masih
kurang efektif dan terkesan tersumbat kinerjanya, lalu bagaimana upaya jalan keluarnya?
Salah satu indikasi penyebab utama rendahnya kinerja dan kurang efektifnya pemerintahan
karena selama ini pemerintah tersandera secara politik.
Paling tidak, ada empat sumbatan politik yang berpotensi menyandera jalannya pemerintahan
secara bervariasi. Pertama, pemerintah tersandera politik pencitraan berbasis retorika yang
menjadi andalan utama SBY dalam memimpin pemerintahan.
Kedua, tersandera politik akomodatif yang melahirkan koalisi kebesaran yang dijalankan
SBY dalam membangun legitimasi politik. Ketiga, tersandera politik kompromi yang
melahirkan kabinet kompromi partai-partai. Keempat, tersandera politik transaksional (barter
politik) yang menjadi basis relasi partai-partai mitra koalisi. Keempat sumbatan ini semuanya
bersumber dari personalitas SBY.
Kungkungan politik pencitraan berbasis verbal (pidato) menyebabkan SBY seolah masih
menjadi kandidat presiden di musim pemilu, dan belum menjadi presiden sesungguhnya yang
berkuasa dan memerintah. Kekuatan presiden hanya sebatas imbauan dan anjuran, dan kerap
tak menjadi realitas.
Presiden seolah masih sibuk membangun persepsi publik tentang citra pemerintah.
Pandangan bahwa persepsi politik jauh lebih penting dan menentukan ketimbang realitas
sesungguhnya—yang seharusnya dijadikan paradigma dalam kampanye pemenangan
pemilu—masih dijadikan paradigma SBY dalam memimpin pemerintahan. Hal inilah yang
menyebabkan jalannya pemerintahan seolah tersandera politik pencitraan.
Politik akomodatif yang sangat mementingkan keseimbangan dan harmoni politik
menyebabkan SBY cenderung merangkul dan memuaskan semua kalangan dengan keinginan
mengakomodasi semua partai di pemerintahan. Politik akomodatif SBY ini cenderung tidak
menghendaki ”oposisi” dan membutuhkan pengaman (sekuritas) politik yang berlebihan
dengan membangun koalisi sebesar-besarnya.
Pilihan memperluas koalisi dengan merangkul Partai Golkar pada awal pemerintahan—
bahkan sebenarnya PDI-Perjuangan juga ditawari—untuk bergabung dalam koalisi
setidaknya memperkuat itu. Implikasinya postur koalisi menjadi kebesaran (oversized
coalition) dengan menguasai 75 persen kursi di parlemen. Koalisi kebesaran dengan
persilangan kepentingan yang luas seperti inilah yang menyebabkan pemerintah tersandera
kepentingan partai-partai.
Politik kompromi yang melahirkan ”kabinet kompromi partai” juga menyandera jalannya
pemerintahan selama ini. Logika politik dengan mengedepankan kompromi dengan
melibatkan para petinggi partai-partai ke dalam kabinet memang memiliki korelasi secara
mutualistik. Partai-partai mendapat keuntungan akses kekuasaan beserta keuntungan
ekonomi-politik.
Sementara, SBY memperoleh penguatan dukungan untuk memenuhi kebutuhan sekuritas
politik dalam berhadapan dengan parlemen. Namun, konsekuensi melibatkan para petinggi
partai dalam kabinet akan melahirkan loyalitas ganda (split loyalty). Di satu sisi loyalitas
pada presiden, di sisi lain tetap loyal kepada partai asal. Pada situasi seperti inilah kinerja
kabinet tersandera dualisme loyalitas menteri dan agenda politik partai-partai koalisi di dalam
kabinet.
Pemerintah juga tersandera ”koalisi transaksional” yang berbasis barter politik. Tarik ulur
sikap politik Golkar terhadap kasus Bank Century, pergantian Menteri Keuangan Sri
Mulyani, serta pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi menjadi salah satu
contoh paling gamblang tentang tersanderanya pemerintahan akibat politik transaksional dan
barter politik.
Belakangan, keberadaan setgab koalisi terbukti justru jadi blunder politik bagi SBY karena
kerap mengintervensi (merecoki) pemerintah dengan menjadikan setgab sebagai alat bagi
partai-partai mitra koalisi—terutama Partai Golkar—untuk bernegosiasi dengan Presiden. Di
titik inilah pemerintah semakin tersandera pola relasi politik transaksional.
Empat solusi
Setidaknya ada empat solusi yang perlu ditempuh untuk melepas empat sumbatan politik itu
agar pemerintah tidak tersandera. Pertama, SBY harus segera meninggalkan politik
pencitraan berbasis retorika verbal dan mulai beralih mengandalkan politik pencitraan
berbasis kinerja dan kerja keras yang lebih tulus dan sungguh-sungguh. Kedua, reorientasi
koalisi, dari pendekatan kuantitas (jumlah partai koalisi) ke kualitas (soliditas koalisi).
Konsekuensinya, diperlukan perampingan koalisi melalui evaluasi terhadap partai mitra
koalisi. Partai yang rendah komitmennya layak dikeluarkan dari koalisi.
Ketiga, perampingan koalisi harus disertai upaya penguatan soliditas dan komitmen melalui
revisi kontrak koalisi. Masalahnya, kontrak koalisi selama ini masih terlalu normatif dan
umum, menyebabkan partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda. Karena itu, perlu
revisi kontrak koalisi yang lebih jelas, konkret, rinci, dan disertai sanksi. Keempat,
diperlukan reshuffle kabinet berbasis evaluasi kinerja. Menteri yang berkinerja buruk perlu
diganti.
Jika SBY tidak responsif dan tidak segera berubah haluan—dengan meninggalkan politik
pencitraan berbasis retorika, mengurangi politik akomodatif dan politik kompromi, serta
meninggalkan politik transaksional— maka hampir dipastikan empat tahun mendatang
pemerintahan tetap tersandera. Akhirnya, semua berpulang kepada SBY. Apakah evaluasi
setahun pemerintahan akan menjadi momentum untuk keluar dari ”problematik pemerintah
yang tersandera” atau sebaliknya justru semakin memperkuat ”gurita politik penyandera
pemerintah”?
Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking
Sumber : Kompas, 27 Oktober 2010
The problem of presidential-multiparty
system
The discourse on the need to increase the level of parliamentary threshold — the minimum
threshold that is required to gain seats in the parliament — from 2.5 percent in the 2009
legislative elections to 5 percent in the 2014 elections in the revised elections law has been
increasingly discussed.
The main argument to increase the parliamentary threshold is to simplify the number of
political parties, while at the same time improving the quality of democracy and the
effectiveness of the presidential government.
The problem is that the extreme multiparty system is considered as one culprit that inhibits
the workings of the presidential government and disrupts the quality of democracy.
This condition raises important questions. First, how does the fragmented multiparty system
influence the political stability and the work of the presidential system in Indonesia?
Juan Linz and Arturo Velenzuela (1994) build an interesting thesis that the presidential
system applied over a multiparty political structure tends to result in a conflict between
presidential and parliamentary institutions and will present an unstable democracy.
This view is also strengthened by Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart (1997),
who believe that this combination will give birth to a minority president and a divided
government, a condition in which the president is very difficult to get political support in the
parliament.
In 1998, the reform has led to democracy and the purification of the presidential system in
Indonesia.
However, the formulation of the purer presidentialism mandated is also difficult to implement
when it is combined with the multiparty political structure.
The combination of the vulnerable presidential system and the multiparty system had been
proven strong enough in the five years of the administration of Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) — Jusuf Kalla (JK), as well as in the one-year of the era of the SBY-Boediono
administration.
At least, there are three political facts that portrait the instability and vulnerability of the
government. First, the control of the parliament over the government is so strong, so the
policies of the President is very difficult to gain political support in the parliament.
The questionnaire rights and the threat of withdrawing support for example have always been
tools for the parties in the House to negotiate with the President.
The second fact, in the process of forming and reshuffling the Cabinet, the political parties —
especially the parties in the House of Representatives — have cut the prerogative right of the
President to intervene. The third fact, the support of the government coalition of political
parties is not effective.
Although quantitatively the percentage of a coalition of parties supporting the government is
very high — 75 percent of the seats in the House — it is very fragile and easily cracked. The
Bank Century case becomes the clearest portrait of the fragility.
This political reality is proof of the vulnerability of the combination of presidential and
multiparty systems. Moreover, the personality and leadership style of Yudhoyono are ones
that are compromising and accommodating.
This is what has caused the presidentialism in the era of the SBY-JK and SBY-Boediono
administrations be run half-heartedly (the half-hearted presidentialism). Then, is there any
compromise that still allows the establishment of parties and that ensures the government
runs effectively and stable?
The multiparty extreme (the high number of political parties), as it is now, needs to be pushed
into a simple multiparty system, especially in regards to the number of parties in the
parliament, on a daily basis, the President deals with the parties in the parliament, not the
parties participating in the elections.
Therefore, what needs to be simplified is the number of parties in the parliament, not the
number participating in the elections, to guarantee democracy and freedom.
At least, there is a five-tiered strategy of simplifying the parliament through institutional
engineering: to apply the district electoral system (plurality/majority system) or mixed
systems (mixed proportional); to minimize the number of electoral districts (district
magnitude); to apply the threshold of seats in the parliament (parliamentary threshold); to
simplify the number of factions in the parliament through the tightening of requirements for
the formation of a faction (factional threshold), as well as making regulations to be directed
to the formation of two political blocs (supporters and opposition).
The implementation of the electoral system — the First Past The Post system (FPTP), in
which one representative is elected from each electoral district — based on proven
experience of some countries will limit the number of parties.
An alternative solution if the district system still experiences resistance is to combine the
district system and the proportional to become the mixed system.
The German experience provides some lessons that are interesting enough for Indonesia.
Strategies to reduce the scope of electoral districts will also be a catalyst toward the
simplification of political parties. Because the smaller the scale of electoral districts and the
less number of seats contested, the smaller also the opportunity for small parties to gain seats.
The increase of the parliamentary threshold in the 2014 elections will also simplify the
parliament. If the parliamentary threshold, is consistently applied, the number of political
parties will continue to decrease until the ideal number, approximately five political parties in
parliament.
After that, the need to simplify the number of factions through the tightening of requirements
for the formation of factions.
Ideally, there are only about three or four factions in the House so that the government can
run more effectively. The next stage, the factions in the House need to be engineered
institutionally into the “two- party system” in the parliament, that is, the two blocs of
permanent coalitions in the parliament, the coalition government and opposition supporters.
The main objective is to simplify the polarization of political forces in the parliament to make
the political process more efficient and stable.
Writer : Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute
Source : The Jakarta Post, 03 August 2010
Corruption and the high-cost district head
elections
President Susilo Bambang Yudhoyono’s concern about practices of money politics in the
district head elections and high-cost democracy had been expressed again in the state address
in the Joint Session of the House of Representatives and the Regional Representatives
Council on Aug. 16, 2010.
The phenomenon of high-cost district head elections was previously mentioned by Home
Minister Gamawan Fauzi. It is a paradox of the expensive cost of district head elections and
the demand of a government that is clean from corruption.
To become a governor, one needs funding of around Rp 100 billion (US$11.14 million),
while the governor’s salary is only Rp 8.7 million per month.
This phenomenon has a correlation with a recent report of the Indonesia Corruption Watch
(ICW) that states that the regional budget has become the biggest contributor to the potential
losses to the state due to corruption cases that have occurred in the first half of 2010.
According to ICW data, corruption cases of the regional budget in 2010 have cost the state
about Rp 596.23 billion, out of a total of Rp 1.2 trillion in state losses due to corruption.
The spread of corruption to the area and the many regional heads that have been arrested for
corruption clearly indicate that there is something wrong with the system and the district head
election process, because district head elections are then also often accompanied by the
practices of money politics.
It is money politics that has caused the cost of district head elections and the cost of
democracy to increase.
At least, there are four factors causing money politics and the high cost of the district head
election: the impact of the liberalization of the district head election system; the effect from
the failure of the parties to bind constituency and the failure of a candidate of a district head
to lure voters; the impact of the strengthening of pragmatism of party members and voters;
and the implication of a strong oligarchy and the fragility of the internal recruitment system
of a candidate for a district head.
The system of the district head elections has increased administration costs, the cost of
political campaigns, and the nomination fees. The General Election Commission calculated
that the cost of implementation of the district head elections during 2010-2014 reached Rp 15
trillion. Furthermore, there are also fees for political consultants.
The failure of the party to bind the constituency and the inability of a candidate of a district
head to lure voters also have caused the high political cost in the district head elections.
The inability to lure and bind these constituencies has provoked the party elite and the
candidate for a district head to use an instant way through money politics. Such a practice has
clearly caused the cost of the district head election to inflate.
The strengthening of political pragmatism and the decline of the militancy members of the
party — which have caused the the party organization machinery to not run optimally —
have also encouraged the proliferation of money politics. It is coupled with the pragmatism
voter factor.
This situation has led to the use of the power of money as an instant strategy to move forward
the party machinery or as a replacement of the performance organization machinery in the
district head election campaign. This of course has also led to the more expensive cost of the
district head elections.
The opportunities of money politics and the more expensive cost of district head elections
have also been encouraged by the proliferation of oligarchy, the centralization of party
policy, and the fragility of the system of members and the party’s internal recruitment.
The recruitment system of the district head election, that is not done in a democratic and
transparent way, will invite money politics in the nomination process. The party leaders tend
to set high tariffs in the nomination of a district head.
They see this district head election as a source of income for the elite and the party
organization. The cost spent in the nomination process is usually higher than the component
of the campaign fund of the district head election.
All four of these factors have caused the proliferation of money politics practices and the
more expensive cost of district head elections.
This condition will further erode the quality and moral integrity of the elected district heads.
Because the selection system of district head elections that relies on the strength of money
will incite the corrupt behavior of the head districts.
A candidate for district head that does not have much money and has spent much in the
elections surely thinks that the political costs must be recovered. At this point, the regional
budget corruption will be a shortcut to recover the capital that has been used.
Therefore, there are three aspects of the administration of the district head election that needs
to be reorganized. First, the aspect of system implementation. It is necessary to pool the
executive and legislative elections at the local level. There should be integration of the
implementation of district head elections throughout Indonesia. If the executive and
legislative elections are united, it means that there are only two elections, the national and
local elections.
The unification and integration of district head elections and Regional Legislative Council
elections will obviously save money in the management, supervision or security of the
elections. The separation of the national and local elections will also encourage local issues to
appear on the surface, and that will be in accordance with the spirit of regional autonomy.
Second, from the aspect of campaign funds, there should be necessary rules limiting the total
spending and spending in the campaigns of district head elections. The expenditures of the
candidates for district head elections should be limited to the implementation of the district
head elections.
This is to minimize the occurrence of corrupt practices in the regional budget, as the
candidates for district heads tend to recover the capital when they are elected. The rules about
the limitations of these expenditures should be regulated in the legislation.
Third, from the political party point of view, the candidates of district heads should have
internal awareness — which will be enforced through regulatory legislation — for the parties
to implement the recruitment system of candidates for district heads democratically and
transparently. This is to avoid money politics in the process of nomination by the party.
Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute
Source : The Jakarta Post, 27 August 2010
Kerentanan Presidensial-Multipartai
Written by Poltracking on 29 January 2014.
Kerisauan publik atas problem efektivitas pemerintahan akibat banyaknya partai tecermin
dalam hasil jajak pendapat Kompas, Senin (26/7).
Mayoritas publik (94 persen) menyetujui jika jumlah parpol di Indonesia disederhanakan.
Pasalnya, penyelenggaraan negara dengan model banyak partai seperti sekarang ini dalam
kemasan sistem pemerintahan presidensial dianggap kurang efektif.
Berbagai studi menunjukkan, paduan sistem presidensial dengan multipartai memang
problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang
diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan
konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak
stabil.
Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart (1997) bahwa
presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan
pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit
mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hasil studi di Amerika Latin ini memunculkan
pertanyaan penting bagi kita: bagaimana praktik presidensial-multipartai di Indonesia?
Kerentanan multipartai
Ternyata sistem presidensial produk amandemen konstitusi juga sulit diimplementasikan di
atas struktur politik multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru
menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam presidensial-multipartai. Apalagi
koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi
tidak disiplin dan pragmatis. Ditambah lagi faktor personalitas dan karakter kepemimpinan
presiden yang cenderung kompromistis dan akomodatif menyebabkan presidensialisme kian
tereduksi dan dijalankan setengah hati (presidensialisme setengah hati).
Kekhawatiran tentang kerentanan presidensial-multipartai terbukti selama lima tahun masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta hampir satu tahun pemerintahan
SBY-Boediono. Paling tidak ada empat fakta politik yang menjadi potret kerentanan
multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam
pembentukan dan perombakan kabinet. Pada pembentukan dan reshuffle kabinet, parpol—
terutama partai-partai di DPR—kerap memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan
intervensi. Sebaliknya presiden cenderung selalu mengakomodasi kepentingan parpol.
Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Walaupun secara kuantitas
persentase koalisi partai pendukung pemerintahan sangat gemuk—didukung 75 persen
kekuatan di DPR—sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century potret paling anyar
kerapuhan itu. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan
(legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulit—perlu waktu terlalu lama—
untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan
dukungan akan selalu menjadi alat bagi partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden.
Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment. Isu ”cabut mandat”
pada masa SBY-JK dan ”pemakzulan” pada era SBY-Boediono cukup menguras energi
politik bangsa. Menariknya, sikap kompromistis dan akomodatif SBY justru jadi faktor
pengaman kursi kepresidenan dari ancaman itu. Meskipun kenyataannya ancaman-ancaman
itu sulit terealisasi, bahkan mungkin tidak akan terjadi, ancaman semacam ini tetap saja akan
memengaruhi efektivitas jalannya pemerintahan.
Keempat realitas politik inilah bukti kerentanan presidensial-multipartai pada periode
pertama ataupun kedua kepresidenan SBY. Bagaimana mengantisipasi situasi seperti ini? Di
satu sisi multipartai merupakan keniscayaan dari pluralitas masyarakat dan kebebasan
berpartai tetap harus dibuka. Namun, di sisi lain, multipartai ekstrem (jumlah partai sangat
banyak) terbukti menyebabkan kerentanan dan ketidakefektifan sistem pemerintahan
presidensial?
Menuju ”dwipartai”
Solusi jalan tengahnya, kebebasan mendirikan partai tetap dibuka, tetapi perlu segera
didorong jadi multipartai sederhana, bahkan ”dwipartai” di parlemen. Sebab, dalam politik
kesehariannya, presiden berhadapan dengan partai di parlemen, bukan partai-partai peserta
pemilu. Oleh karena itu, yang perlu disederhanakan jadi sistem ”dwipartai” adalah partai di
parlemen, bukan jumlah peserta pemilu, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap
terjamin.
Ada lima paket strategi penyederhanaan parlemen–penataan ulang desain institusi politik—
melalui rekayasa institusional yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah melalui revisi UU
Politik. Pertama, menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem
campuran (mixed member proportional). Penerapan sistem distrik, tepatnya sistem First Past
The Post (FPTP)—satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan—berdasarkan pengalaman
beberapa negara terbukti ampuh mengurangi jumlah partai.
Solusi alternatif jika sistem distrik masih mengalami resistensi adalah menggabungkan sistem
distrik dan proporsional menjadi sistem campuran. Pengalaman Jerman menerapkan sistem
pemilu campuran menarik untuk dijadikan pelajaran.
Kedua, memperkecil besaran daerah pemilihan (district magnitude). Strategi memperkecil
daerah pemilihan (dapil) secara evolutif juga akan menjadi katalisator menuju
penyederhanaan parpol. Semakin kecil besaran dapil dan semakin sedikit jumlah kursi yang
diperebutkan, semakin kecil pula peluang bagi partai gurem mendapatkan kursi.
Ketiga, menaikkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold). Peningkatan
angka parliamentary threshold di Pemilu 2014 juga akan semakin menyederhanakan
parlemen. Jika parliamentary threshold diterapkan secara konsisten, jumlah parpol akan terus
berkurang secara alamiah sampai dengan jumlah yang ideal, sekitar lima partai di parlemen.
Keempat, selanjutnya perlu penyederhanaan jumlah fraksi melalui pengetatan persyaratan
ambang batas minimal pembentukan fraksi (fractional threshold). Idealnya hanya sekitar 3
atau 4, bahkan 2 fraksi saja di DPR agar pemerintahan berjalan lebih efektif.
Kelima, tahapan selanjutnya, jika fraksi di parlemen masih lebih dari dua, fraksi di DPR perlu
direkayasa dan ”dipaksa” secara konstitusional menjadi dua blok politik melalui regulasi
koalisi permanen. Model dua kekuatan politik inilah strategi kita menuju sistem ”dwipartai”
di parlemen, yaitu hanya ada dua blok koalisi besar permanen di parlemen: pendukung
pemerintah dan di luar pemerintahan.
Tujuan utama menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen menjadi ”dwipartai”
agar proses politik lebih efisien dan stabil. Di luar itu pemerintahan juga perlu didukung
personalitas serta gaya kepemimpinan presiden yang kuat. Dengan konstruksi presidensial
seperti ini, harapannya proporsi energi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat
jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan bernegosiasi dengan partai, dengan begitu
demokrasi akan lebih bermanfaat bagi rakyat.
Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Sumber : Kompas, 28 Juli 2010
The Golkar factional competition
Who will replace outgoing Vice President Jusuf Kalla as the next chairman of Golkar when
the party holds its congress in October? Some figures are certainly ahead in the race.
They are, among others, Aburizal Bakrie (a business tycoon and the current chief welfare
minister), media tycoon Surya Paloh, and upstart Golkar legislator Yuddy Chrisnandi.
Finally, all of a sudden the youngest son of former president Soeharto, Hutomo "Tommy"
Mandala Putra, also announced his intention to join the race. Tommy's sister, Siti "Tutut"
Hardiyati Rukmana may also join her brother win the chairmanship of the party, which was
founded by their father, Soeharto. Tommy's financial power will be able to change the party
constellation.
There are least possibilities for the congress.
First, there could be four factions: Aburizal, Paloh, Yuddy and Cendana (the Soeharto clan).
Of these four factions, Aburizal's and Paloh's seem to be the most prepared in terms of power
and strategy. In addition, they meet all the organizational requirements.
Second, there might only be three factions: Aburizal, Paloh and Cendana. This could happen
if Tutut joins the race, while Tommy and Yuddy quit. Yuddy will likely support Tutut. All of
them have similar power, political capital, personality, financial strength. With the political
map like this, the three factions have relatively balanced power.
Third, the race could crystallize into two blocs: Aburizal and Paloh. This could happen if the
Cendana candidates are stopped by the party's rules.
The next question is, if Tommy is hampered by the organizational requirements, to whom
will he divert his support? It seems the Cendana clan do not want the Golkar Party to be
controlled by Aburizal and his supporters (Akbar Tandjung, Agung Laksono and Ginandjar
Kartasasmita), who are considered traitors by the Cendana clan. The family would throw
their weight behind Surya Paloh.
Therefore, the pattern of the Golkar congress five years ago in Bali would be likely happen
again: a discourse that the Triple-A alliance (Aburizal, Akbar and Agung) would be matched
by the new alliance of Paloh, Yuddy and Tommy/Tutut.
If the Triple-A tend to direct Golkar to join the government, the alliance of Paloh-Tommy-
Yuddy is based on similar ideas to make the party an independent one, free from power. If
this alliance could be achieved, the convention will be interesting to see. In a situation like
this, it is not impossible for Paloh to win the larger battle.
Apart from the leadership issue, Golkar needs to remember it is experiencing a political
famine. The indications were seen from the decline in votes from election to election during
the reform era. In the 1999 elections, votes from Golkar decreased drastically from 74.1
percent to 22.3 percent. The percentage of votes dropped again in the 2004 elections, to 21.5
percent, and in the 2009 elections to 14 percent. The Golkar Party also failed in the
presidential election of July 8, 2009, with candidate Kalla taking only 12 percent of votes.
There are at least four diseases eroding away at the number of votes for Golkar in the 2009
elections. The diseases are supposed to be work for the new management.
First, the political engine of the organization is less effective, because the elite are too busy
enjoying the power. The political energy of the elite has been drained for external affairs, so
the internal affairs lack attention.
Second, the prolonged elite factionalism has led to the weakening of the organization. Since
the fall of the New Order, divisions in Golkar continue to occur.
In presidential elections from 1999 to 2009, the Golkar elite have never been united in their
support of presidential and vice presidential candidates.
Third, pragmatism has undermined the militancy of Golkar members, thus causing the
political engine of the organization not to run optimally.
Fourth is the decline in the quality of the recruitment system. The elite are too busy securing
high positions in the government. As a result, many do not operate effectively. Some have
jumped the fence, joining other parties. In addition, the pattern of recruitment of members is
not based on the merit system, thus strengthening the practice of nepotism in the elite
environment of the Golkar Party.
Golkar needs to take major measures to stem its declining popularity among voters.
First, reconciliation amongst factions. The momentum of defeat has to be used to consolidate
the party.
Second, the ideology of revitalization to improve the militancy of the party should not
undermine the organization.
Third, the regeneration of cadres should be conducted to refresh the party. Fourth, the
restructuring of the organizational structure and the organizations under the party should also
be performed.
Fifth, the reorientation of the leadership of the party. The leadership of the party should also
pay attention to internal matters. Therefore, Golkar's future leader should be visionary,
transformative, innovative and qualified in performing managerial roles.
Sixth, political repositioning should also be considered. By being outside the government, the
Golkar Party will have the space and time to make corrections internally.
The six agendas of this rescue can only be done by a leader who is oriented toward bringing
independence to the Golkar Party.
Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute
Source : The Jakarta Post, 26 September 2009
PAN congress: A momentum to round out
SBY’s victory
The National Mandate Party (PAN) is almost certain to elect Coordinating Economic
Minister Hatta Rajasa as its new chairman, with strong backing from party founder Amien
Rais. President Susilo Bambang Yudhoyono also clearly supports his close aide.
Hatta has shown strong intent to control the PAN. In addition to being used for political
bargaining when dealing with Yudhoyono, control of the party will minimize the potential
opposition to the government. Yudhoyono has also an interest in keeping the PAN as a solid
part of his coalition.
Besides the Yudhoyono factor, Amien as the charismatic leader of the PAN will play a role in
determining who chairs the party. Amien has an interest in gaining clout over the PAN
leadership.
Although Hatta’s chances are better than those of other contenders, winning the race without
Amien’s consent would not be a perfect victory.
Therefore the Amien factor can also be regarded as key in rounding out the victory. This
factor is quite important in the race for party chairman.
Based on experiences from the leadership race in the party’s 2005 congress, Amien gave his
blessings to Soetrisno Bachir and shunned Hatta’s bid.
However, his position and influence at this 2010 PAN congress are not as strong as in the
previous congress, especially now with the Yudhoyono factor in the equation. Therefore
Hatta’s chances of winning are safe.
Hatta is also renowned as an accomplished lobbyist, an expert in political communication and
a staunch supporter of Yudhoyono’s.
Amien’s stance of challenging the PAN’s place in Yudhoyono’s coalition seems to be
unrealistic. If he challenged Yudhoyono directly and lost, he would lose all credibility within
the party.
If Hatta wins the chair, as expected, the victory would complete Yudhoyono’s victory. The
next question then becomes, who really won the competition?
Officially, it would be Hatta.
However, the real winner from the PAN congress would actually be Yudhoyono.
The President’s position as chief patron of the Democratic Party clearly gives him some
interest in increasing the party’s clout. One way to do this Democratic Party would be to
check the development of other parties. Hence Yudhoyono’s move to call up the chairpersons
of coalition parties to his Cabinet is a way of shoring up the government and keeping the
parties under his influence.
Therefore, if Hatta won the PAN chair, it would complete the power of the coalition
supporting Yudhoyono. United Development Party (PPP) chairman Suryadharma Ali is
already under the control of Yudhoyono, through his appointment as minister of religious
affairs. The National Awakening Party’s (PKB) Muhaimin Iskandar is also towing the line,
after being named the minister of manpower and transmigration.
Tifatul Sembiring, the minister of information and communications, had been the chairman of
the Prosperous Justice Party (PKS) at the time of his appointment, but has since stepped
down from the party post. Golkar Party chairman Aburizal Bakrie a former coordinating
economic minister and coordinating public welfare minister, is also close to Yudhoyono.
Thus not only does Yudhoyono control the Democratic Party, he also controls other parties
indirectly. In this context, the Democrats benefit from this situation, whereas the other parties
are actually at a disadvantage.
This means there is a risk the PAN will fall under the shadow of Yudhoyono, and in the long
term this situation will taint the party’s image ahead of the 2014 elections.
The PAN will no longer be perceived by traditional and potential voters as a party that carries
the spirit of reform, should this image of being part of the ruling coalition persist.
Even if the government’s image improves, the PAN will not share the improvement in image.
This will affect the PAN’s chances at the polls in 2014.
Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute
Source : The Jakarta Post, 08 January 2010
Golkar: Electoral strength and dilemma
It is predicted the Golkar Party will have difficulty meeting the target to garner 30 percent of
the votes in the 2009 elections, at least according to several poll results.
In December 2008 the Indonesian Survey Institute (LSI) indicated that support for the Golkar
Party had dramatically decreased to 13.3 percent, while support for the Democratic Party
(PD) experienced a significant jump, to 23 percent. The position of Golkar is still below that
of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), who has 17.7 percent.
Golkar’s electoral strength is showing a decreasing trend. In the 1997 election, the last
election of the New Order era, Golkar won an absolute victory, with 74.1 percent of the vote.
In the 1999 election, Golkar’s vote dropped dramatically to 22.3 percent of the vote.
Golkar’s percentage decreased yet again in the 2004 legislative elections, with only 21.5
percent of vote, while the PDI-P garnered 18.5 percent and Democratic Party (PD) 7.4
percent. As indicated by the LSI’s survey results of 13.3 percent, Golkar has fallen into a
danger zone; it could go from having the status of a major political party to being just a
medium-sized contender. (It is important to note however, that the LSI is also working for a
major political party.)
One interesting phenomenon is that as the support for Golkar decreases, the support for the
Democrat Party is likely to rise significantly. Both parties are in fact governing parties. The
Golkar Party is led by the Vice President, which suggests that the Democratic Party is more
appealing than the Golkar Party. Why has this happened?
If the government is considered successful, the popularity and the reelection chances of
President Yudhoyono will increase, and this will have a positive impact on the perception of
the Democratic Party: Its popularity will also increase. Meanwhile, Golkar will not
necessarily get maximum sympathy from the people, perhaps because of the strategic
position of Yudhoyono, which is considered greater than that of Jusuf Kalla and the Golkar
Party.
However, if the government is considered to have failed, the Golkar Party will still be
directly affected. This is because the public cannot simply set aside the reality that Jusuf
Kalla is the Vice President and his party supports the government: This could cause trouble
for Golkar.
Public support for the Golkar Party is not only influenced by external factors like the
government’s popularity, but is also influenced by internal factors. There are two potential
threats from inside the Golkar Party.
First, the potential fractionalization among the elite. The fractionalization could undermine
the solidity of the party, making it susceptible to internal conflicts, which would be
counterproductive for Golkar in the 2009 election.
Second, the pattern of undemocratic practices and aspirations. The Golkar Party still selects
its leaders, especially the candidates for regional heads, on the basis of their economic
contributions. On the other hand, the intervention of party officials from the central board
(DPP) is still strong. The selection process of regional leaders does not apply transparent
democratic principles; it still depends heavily on the desires of the party elite rather than
those of the constituents.
There are two possible scenarios for the Golkar Party in the upcoming elections.
First, a fall in the number of votes in the legislative elections would have an impact on Jusuf
Kalla’s leadership of the Golkar Party. Kalla would be perceived as the one most responsible
for the defeat of Golkar. If this happens, the political bargaining power of Golkar in the
presidential election race would decrease. Jusuf Kalla could benefit from this, as he could still
run as a vice presidential candidate.
Second, if the number of votes exceed that of the 2004 elections or reach 30 percent, the
party would nominate its own presidential candidate, it could not simply nominate a vice
presidential candidate, as this would undermine its political prestige.
By strengthening the demand for Golkar to nominate its own prominent figure as a
presidential candidate and not just a vice presidential candidate, this victory would create a
dilemma for Jusuf Kalla. The popularity and electability of Jusuf Kalla are still in doubt; he
may not be strong enough to compete with the other candidates.
Golkar’s political strategy to overcome the political competition will be severely tested. The
Golkar Party, which is ideologically a center party, has two strong competitors: The PDI-P
and the Democrat Party.
It is unlikely Golkar can obtain 30 percent of the vote. It seems more plausible that it will
maintain the same number of votes as in 2004. In addition, Golkar’s electoral strength will
also depend on the perception of voters, which is closely related to their strategy and the
innovation of the image projection of the party. Without political innovation, the voters will
have difficulty distinguishing the Golkar Party from other political parties.
Writer : Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute
Source : The Jakarta Post, 05 March 2009
Problem Gigantisme Demokrat
Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa faktor utama kemenangan Partai Demokrat
pada Pemilu 2009 lebih disebabkan kuatnya daya magnet personalitas Susilo Bambang
Yudhoyono ketimbang faktor kinerja pengorganisasian mesin partai.
Padahal, partai yang kelahirannya dibidani SBY ini belum genap berusia delapan tahun,
tetapi berhasil meraih prestasi elektoral secara gemilang: menjadi pemenang pemilu
legislatif—memperoleh suara 20,8 persen dan 148 kursi DPR— sekaligus memenangi
pemilihan presiden dalam satu putaran.
Kemenangan spektakuler ini menjadi berita gembira, sekaligus kabar buruk bagi Partai
Demokrat karena akan menjadi "ancaman" bagi masa depan partai. Pasalnya, postur politik
elektoral—dukungan suara di pemilu—yang bongsor itu menyebabkan Partai Demokrat
mengidap "politik gigantisme", suatu kondisi di mana postur elektoral partai sangat besar
dalam waktu cepat, tetapi kondisi organisasi kurang sehat.
Hal itu disebabkan bobot politik elektoral "meraksasa" dalam rentang usia yang relatif
pendek, sementara postur kelembagaan—infrastruktur, jaringan, dan sumber daya
organisasi—tidak sanggup mengimbanginya.
Efek gigantisme
Seperti halnya manusia yang mengalami gigantisme—kondisi kelebihan pertumbuhan,
dengan besar dan tinggi tubuh di atas normal—berisiko menderita berbagai macam penyakit.
Politik gigantisme —imbas dari popularitas dan elektabilitas SBY—yang dialami Partai
Demokrat, tentu juga mengandung beberapa risiko komplikasi politik secara bervariasi:
problem kepemimpinan akibat ketergantungan pada SBY, ancaman faksionalisme (konflik
internal), krisis pengakaran partai, serta problem identitas partai.
Problem kepemimpinan partai muncul akibat ketergantungan Partai Demokrat pada nama
besar SBY. Hal ini memang menjadi "berkah politik", tetapi sekaligus akan menjadi
"bencana". Menjadi berkah karena popularitas SBY berkontribusi "meraksasakan" bobot
elektoral partai.
Menjadi bencana karena secara kelembagaan partai jadi sangat bergantung kepada SBY. Jika
dilihat dari perspektif institusionalisasi partai, ini jelas tak sehat. Kepemimpinan dan pola
pengambilan keputusan terpusat pada "keinginan" SBY sebagai pemilik "veto" di partai.
Problem ini akan menjadi kendala terbesar bagi Partai Demokrat untuk bertransformasi
menjadi partai modern dan demokratis.
Ketergantungan terhadap sosok dan karisma SBY juga menyimpan potensi konflik dan
faksionalisme internal. Posisi SBY sebagai "Bapak" bagi semua "kelompok" dan faksi politik
di internal Partai Demokrat menyebabkan elite partai tidak terbiasa menyelesaikan persoalan
internal secara mandiri dan terlembaga. Kelemahan penyelesaian secara "adat"—pendekatan
politik patron—menyebabkan sumber konflik itu sendiri tidak pernah tuntas. Kondisi seperti
ini akan menjadi ancaman serius bagi Partai Demokrat ketika SBY tidak lagi memiliki
kekuatan karisma dan kekuasaan.
Kemunculan problem pengakaran partai juga disebabkan faktor utama kemenangan partai
lebih disebabkan kuatnya popularitas dan elektabilitas figur SBY ketimbang prestasi
pengorganisasian jaringan struktur partai. Hal ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat
sesungguhnya didukung mayoritas massa mengambang (swing voters) sehingga basis
konstituennya sangat cair, dan akar partai di masyarakat amat rapuh. Partai seperti ini akan
lebih mudah menjadi partai mengambang dan cepat mengalami degradasi kekuatan elektoral.
Problem identitas partai juga dialami Partai Demokrat sejak kelahirannya hingga menjadi
pemenang Pemilu 2009 karena terpersonalisasi oleh sosok SBY. Sejak berdiri, partai ini
sangat identik dengan SBY ketimbang identitas ideologis dan orientasi program.
Wacana "nasionalis-religus" dan "partai tengah" yang diusung partai, tenggelam oleh persepsi
bahwa "Partai Demokrat adalah partainya SBY". Lagi-lagi, dalam jangka pendek persepsi
seperti ini memang menguntungkan, tetapi jadi ancaman dalam perspektif masa depan partai.
Institusionalisasi
Keempat problem internal inilah menyebabkan Partai Demokrat tidak kunjung terlembaga
sebagai partai yang kuat dan modern, sementara postur politik elektoralnya telanjur
mengalami gigantisme. Pada titik inilah, politik gigantisme menjadi problematik bagi masa
depan Partai Demokrat. Oleh karena itu, kongres seharusnya menjadi momentum untuk
memperkuat kelembagaan dan memodernisasi sistem internal partai.
Paling tidak ada beberapa agenda institusionalisasi organisasi (memperkuat postur
kelembagaan) untuk mengimbangi postur elektoral partai. Pertama, melakukan modernisasi
organisasi dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial (modern party),
sembari perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pada figur SBY.
Kedua, mengakarkan partai di masyarakat melalui pengakaran program dan ideologi partai
agar dapat diterima masyarakat, serta mengintensifkan hubungan antara partai dan konstituen
(party rooting).
Ketiga, menegaskan identitas partai melalui revitalisasi ideologi dan platform partai. Strategi
"menjual" popularitas SBY mulai ditransformasikan dengan strategi menawarkan platform
dan program yang menarik dan inovatif (bertransformasi menjadi partai berorientasi program
dan kinerja).
Keempat, reformasi dan demokratisasi sistem internal, terutama memperbaiki sistem
kaderisasi dan mekanisme perekrutan. Hal itu terkait dengan sejauh mana partai mampu
menciptakan prosedur internal yang demokratis dan memerhatikan faktor meritokrasi dalam
sistem kaderisasi dan penjaringan.
Jika merujuk peta politik menjelang Kongres Partai Demokrat II, kandidat ketua umum
tampaknya telah mengerucut pada Andi Mallarangeng (47) dan Anas Urbaningrum (41).
Seandainya kedua "darah muda" di Partai Demokrat ini berduet —sebagai ketua umum dan
sekjen—maka dengan segala keunggulan dan potensi yang dimiliki keduanya akan menjadi
angin segar bagi proses transisi dan transformasi Partai Demokrat menjadi partai modern
yang berbasis pada sistem kelembagaan yang demokratis itu.
Akhirnya, semua berpulang kepada SBY dan elite Partai Demokrat. Apakah kongres akan
menjadi momentum untuk keluar dari problematik politik gigantisme— memperkuat
kelembagaan partai—atau hanya sekadar ajang suksesi kepengurusan? Selamat berkongres!
Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Sumber : Kompas, 21 Mei 2010
Reorientasi Koalisi
Tiga partai mitra koalisi—Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan
Pembangunan—berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintah sekaligus menjalankan
peran oposisi di DPR.
Meskipun ketiga partai ini telah menandatangani kontrak koalisi dan mendapatkan jatah
posisi menteri di kabinet, tetapi mengambil posisi diametral dengan pemerintah dalam voting
Rapat Paripurna DPR tentang Angket Bank Century. Fenomena koalisi politik dua kaki
seperti ini juga kerap dijumpai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf
Kalla (SBY-JK) lima tahun silam.
Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan SBY-
Boediono sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—tetapi sangat rapuh dan
mudah retak. Kasus Century menjadi potret paling anyar tentang kerapuhan itu. Kondisi ini
tentu memunculkan pertanyaan: mengapa koalisi mudah retak (terancam pecah), padahal usia
pemerintahan belum genap setengah tahun?
Sumber keretakan
Paling tidak ada empat jawaban—sumber keretakan koalisi dalam menyikapi kasus
Century—yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, imbas dari
kerentanan kombinasi sistem presidensial-multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi
sistem presidensial justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi
multipartai. Kebutuhan akan koalisi inilah yang menjadi pemicu awal sistem presidensial
sering tampil dengan gaya parlementer (presidensialisme setengah hati), dan pemerintah
kerap terserimpung oleh manuver politik dua kaki partai-partai, seperti halnya sikap Golkar,
PKS, dan PPP dalam kasus Century.
Kedua, efek dari lemahnya ideologi partai dan kuatnya kepentingan pragmatisme untuk
investasi politik 2014. Hal inilah yang menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi
tidak disiplin, sangat oportunistis, dan pragmatis. Akibatnya, koalisi yang terbangun akan
selalu rapuh dan cair karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatisme
kekuasaan ketimbang kedekatan ideologi atau persamaan platform.
Ketiga, akibat dari terlalu lenturnya kontrak koalisi. Kontrak politik yang seharusnya menjadi
pengikat sekaligus pedoman dalam berkoalisi terlalu normatif dan general. Karena itu pula
tidak mengherankan jika partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing-
masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi.
Keempat, implikasi dari akumulasi beberapa kekeliruan komunikasi politik SBY dan Partai
Demokrat dengan mitra koalisi. SBY patut diakui sangat terampil membangun komunikasi
publik—politik pencitraan—tetapi kurang pandai dalam mengelola komunikasi elite. Fungsi
komunikasi elite yang sebelumnya sering diperankan JK kini menjadi celah kelemahan SBY.
Hal ini diperparah beberapa pernyataan kontroversial—kurang bersahabat—dan gertak
reshuffle yang dilontarkan beberapa politisi Partai Demokrat yang justru semakin merusak
hubungan komunikasi dengan mitra koalisi.
Reorientasi
Karakter personal SBY yang sangat mementingkan keseimbangan (harmoni politik) dan ingin
memuaskan semua pihak mendorongnya merangkul hampir semua partai ke dalam kabinet.
Hal ini menyebabkan SBY dan Partai Demokrat terperangkap pada logika kuantitas, yaitu
lebih sibuk memperbesar jumlah anggota koalisi ketimbang membina soliditasnya. Padahal,
sebesar apa pun koalisi, tanpa membina soliditas dan memperbaiki aturan main dalam
berkoalisi, partai-partai tetap berpotensi menjalankan politik dua kaki.
Inilah salah satu kekeliruan orientasi koalisi yang dibangun SBY dan Partai Demokrat selama
ini, terlalu terfokus pada orientasi kuantitas (merangkul partai sebanyak-banyaknya, tetapi
tidak solid) ketimbang kualitas (kohesivitas dan soliditas koalisi). Karena itu, ke depan
orientasi untuk memenuhi kebutuhan pengaman pemerintahan (politik sekuritas) perlu
direvisi, dari orientasi kuantitas (persentase) ke orientasi kualitas (soliditas). Untuk konteks
ini, me-reshuffle kabinet dan melibatkan PDI Perjuangan ke dalam koalisi tak begitu relevan
karena tak ada jaminan koalisi akan lebih solid.
Reorientasi koalisi ini juga perlu diikuti beberapa langkah praktis. Pertama, kontrak koalisi
(MOU) perlu direvisi agar lebih konkret, jelas, dan disertai sanksi. Kedua, diperlukan forum
koordinasi anggota koalisi yang bersifat permanen dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY
atau setidaknya petinggi Partai Demokrat. Peran ini tidak lagi diserahkan kepada Hatta
Rajasa (Ketua Umum PAN), yang justru dapat membuat ”ketersinggungan” partai-partai lain.
Ketiga, mengubah strategi komunikasi ”gertakan” dan ”ancaman” menjadi lebih
kompromistis dan dua arah (komunikasi simetris), dengan memperlakukan mitra koalisi
sebagai pihak yang saling membutuhkan (simbiosis politik mutualisme). Di titik inilah sangat
diperlukan keterampilan berkomunikasi dan seni berkompromi dalam membina soliditas
koalisi.
Sikap kompromistis SBY, yang dianggap sebagian pengamat sebagai kelemahan, justru akan
menjadi kekuatan dalam memimpin koalisi. Memang hal ini akan mereduksi prinsip sistem
presidensial, tetapi inilah konsekuensi yang harus ditempuh oleh Presiden yang berkuasa
dalam sistem berdemokrasi yang belum sempurna (presidensialisme setengah hati). Kata
kuncinya terletak pada tiga hal: komunikasi, koordinasi, dan kompromi.
Oleh : Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Sumber : Kompas, 13 April 2010
Too many parties weaken political leaders
The General Elections Commission (KPU) has approved 18 new political parties to contest
the 2009 general elections. There will therefore be a total of 34 political parties contesting
next year's elections, compared to only 24 in the 2004 elections. The effort to simplify the
multiparty system has failed.
Some believe that a multiplicity of parties presents obstacles to the effectiveness of
government. The combination of presidential and multiparty systems with many parties tends
to generate political instability, making the President's position weaker. In a fragmented
multi-party system, it is difficult for one party to form the basis for government.
If there is no single powerful party, the possibility of a deadlock between the legislative and
executive branches of government is also greater (Scott Mainwaring, 1993). This thesis is
also illustrated in the case of the combined presidential and multi-party system in the SBY-JK
administration.
Interpellations have been frequently launched by the DPR (House of Representatives). The
right of parliamentary questioning of the executive, combined with the threat of withdrawal
of support have become the means for political parties to pressure the President.
The combination of presidential and multi-party systems comprising many parties presents a
difficulty. It has been shown to make democracy unstable. Referring to the study of Juan Linz
and Arturo Velenzuela (1994) in Latin America, the Presidential system, superimposed on a
multi-party structure with many parties may undermine the process of strengthening
democracy, as it tends to create conflicts between the president and parliament.
This thesis is strengthened by the argument of Scott Mainwaring and Matthew Soberg
Shugart (1997) that this combination also tends to form a divided government, in which the
President will have difficulties in getting enough political support in parliament. The
experience of Latin American countries shows that the combination of presidential and multi-
party systems comprising a multiplicity of parties has sometimes led to political failures and
helped create unstable democracies.
The two-party system can actually be more flexible than a multiplicity of parties. The
experience of some countries with two parties, alongside the presidential system, shows that
it tends to produce a stable government, as in the United States. Two main parties alongside
the parliamentary system also tends to produce stable government, as in the United Kingdom.
The development of a multiplicity of parties in Indonesia tends to be illustrative of
divergence and fragility. This has been so since 1998. On many occasions political parties
have split into smaller parties. If the members of the parties do not agree, they just form a
new party.
The tendency of parties to fractionalize is related to weak ideology and weak membership.
Undemocratic trends in the formation of political elites, alongside conflicting aspirations,
often triggers the break-up of political parties, especially over selection of party leaders.
Arguments over leadership and succession often generate discontent about mechanisms and
decision-making. This is reinforced by the tendency of the political elite to come from, or
become part of, a political oligarchy and the personalization of leadership roles in party
organizations.
Ideally, to maintain stability in a presidential system, the president should belong to the
majority party, which is the party that is supported by the majority of seats in the parliament.
This majority then strengthens the stability of the government and makes it easier for the
President to get support from the parliament to launch political initiatives.
This operating majority is difficult for the President to mobilize when there are many parties,
unless the President can pull together a coalition. In a presidential system combined with a
multiparty system with many parties, a coalition becomes a necessity and weak coalitions can
lead to weak government.
The fragility of coalitions can be caused by several factors. First, in a coalition, the parties'
ideology or policy platform is not the main determining factor. Coalition-building relies more
on balancing political interests.
Second, the composition of parties in a coalition tends to be dynamic (reflecting relative
strengths and election results). The composition of the cabinet reflects the shape of the
coalition that supports the government.
The presidential system ordained by the 1945 Constitution to be applied alongside the multi-
party system tends to lead to political compromises. The nature and progress of the
Yudhoyono-Kalla administration reflects these compromises.
There are five detectable characteristics or trends tending to lead to compromises when the
presidential system works in the context of a multi-party system comprising many parties.
First, the underlying fragile coalition in the parliament. Second, the interventions and
positions of the political parties combined with the President's accommodation of their
interests in the course of cabinet formation. This tends to reduce the President's room for
maneuver. Third, evolution of composition of the cabinet reflecting the shape of the coalition
is difficult to avoid and leads to ministers having dual loyalties.
Fourth, the extent of influence of parliament upon the government tends to be exaggerated
and can undermine the stability of government (or lead to ups and downs in the relations
between the government and parliament). Finally all of this can lead to some disharmony in
relations between the President and the Vice President.
The combination of a presidential and multi-party system with many parties will be
complicated and produces an unstable democracy. This combination also tends to produce a
minority president, with a divided government, where the President will find it difficult to get
political support in the parliament.
Writer: Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute
Source: The Jakarta Post, 25 August 2008
Again on independent candidates
The discourse on independent candidates has led to a dispute. The small number of
candidates, two, who will contest the Jakarta gubernatorial election has become one of the
triggers in the debate. The possibility of independent candidates running for president in 2009
will also create dispute.
However, the independent candidate proposal is not a new thing in Indonesian political
discourse.
Learning from elections of regional leaders in various areas in Indonesia, the nomination of
candidates by political parties has been based on economic and pragmatic considerations, not
on the long-term interests of the public. It is no secret that these days the nominations of
candidates are based on who will provide the biggest economic advantage to the political
parties.
The tradition of independent candidates can be found in several countries in the world. For
example, in the U.S. candidates from outside the Democratic Party and the Republican Party
have participated in elections since the period of president Roosevelt in 1912. There was John
B Anderson in 1980 and also Ross Perot in 1992.
The nomination of independent candidates in the presidential system is different from that of
a parliamentary system.
The parliamentary system is applied in most European countries like England, the
Netherlands and Germany. The role of parties is absolute in determining figures who will
occupy leadership at the local and national levels. Hence, it is likely that career politicians
with unwavering allegiance to the party will be tapped.
Therefore, the problem of whether candidates will be determined by independent candidates
or political parties comes from different logics between the presidential and parliamentary
systems. The two logics overlap in the Indonesian political system.
All presidential candidates should have the same opportunity. The participation of candidates
without political party backgrounds will increase the level of competition. Of course, only
candidates who have an emotional bond with their constituents will win the election.
The more serious problem is to prepare bureaucrats to implement the rules. If an independent
candidate were to win the presidential election, but there is no purification of the presidential
system, the winner would be trapped in a deadlock with the legislative.
Independent candidates will not be effective in doing their job because there is no strong
support from the parliament. The case of President Susilo Bambang Yudhoyono is one
example. Yudhoyono, who only has minor support in the parliament, is not as strong and as
effective as he would be in a pure presidential system.
The problem is exacerbated with the involvement of economic, security and prosperity
dimensions. Indonesia has big security and economic problems to deal with that make the
President's political position very vulnerable. The President should have a strong political
position, guaranteed by the Constitution.
The presidential system gives authority to the President to decide and implement the
government's agenda. To strengthen the position of the President in a checks and balance
function with Parliament, the president should be provided with veto power.
Veto power gives the president the right in the legislative area to refuse draft laws sent by
parliament to the President.
But the parliament can cancel the veto (override) with majority support (about a two-third
vote in the parliament).
In the U.S., which adopts the disassociation system of power into the executive, legislative
and judiciary, they control but do not dominate each other. The president has the veto right to
kill laws proposed by the Congress.
Besides the problems of independent candidates and the veto right for the president, to
maintain stability in the presidential system, the president needs to have a strong personality,
which is sustained by toughness, compromise, good lobbying and courage to use the
prerogative rights according to the Constitution.
Writer: Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute
Source: The Jakarta Post, 12 July 2007
Dinastitokrasi dan Oligarki Politik
Kronisme dan nepotisme masih menjadi isu sentral politik era reformasi. Hal itu terlihat dari
menguatnya kecenderungan para petinggi partai dalam menempatkan keluarganya pada
posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Fenomena politik
keluarga ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah (caleg DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota).
Cengkeraman elite
Fenomena politik keluarga ini setidaknya disebabkan empat hal. Pertama, imbas dari sistem
pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dan ketokohan sejumlah
keluarga petinggi parpol diyakini dapat menjadi modal meraup suara.
Kedua, potret kegagalan parpol dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol
cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang
layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga
elite partai.
Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekrutmen di internal parpol, terutama
mekanisme dalam penentuan caleg.
Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite parpol, terutama elite di
tingkat pusat.
Dari keempat faktor itu, yang paling dominan menyuburbiakkan politik keluarga adalah
faktor keempat, kuatnya daya cengkeram kekuasaan elite.
Maraknya politik keluarga di tubuh parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada
saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi
kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan
membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan
politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern
dan demokratis.
Dinastitokrasi politik tidak hanya akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar-
benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya
personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai. Pada tahap itulah
akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik di internal parpol. Realitas
politik itu seolah menguatkan tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron
Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai
segelintir elite.
Memutus rantai
Selain diperlukan perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal partai, agenda
demokratisasi untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi politik adalah
memutus mata rantai oligarki elite di tubuh partai. Ini terutama rantai proses kebijakan
penentuan caleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftar caleg (hulu proses rekrutmen)
maupun kekuasaan dalam menentukan caleg terpilih (hilir proses rekrutmen).
Mekanisme penetapan caleg terpilih yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut
berkontribusi dalam menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal itu
terselamatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Untuk jangka
panjang, keputusan MK ini akan memutus mata rantai oligarki elite parpol meski tidak serta-
merta memberantas semuanya. Kewenangan elite partai yang semula cukup besar dalam
penentuan caleg terpilih otomatis akan berkurang.
Namun, cengkeraman kekuasaan elite partai masih cukup kuat dalam proses menyusun daftar
caleg yang merupakan bagian hulu dari rantai kebijakan dalam proses rekrutmen caleg.
Untuk memutus mata rantai oligarki yang kedua ini, penyusunan daftar caleg di parpol
seharusnya dipilih lewat proses internal yang transparan, bukan lagi kewenangan penuh elite
partai. Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemilu internal yang melibatkan kader dan
konstituen partai untuk memilih bakal caleg atau pejabat publik dari suatu partai.
Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh
karismatik dan elite oligarki yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol. Sebelum
takhta kekuasaan partai itu diserahkan kepada dinasti keluarganya, demokratisasi parpol
merupakan agenda mendesak bagi masa depan kepartaian di Indonesia, setidaknya untuk
menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi dan oligarki politik.
Oleh: Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Sumber: Kompas, 6 Februari 2009
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking
Review hanta yuda + analisa politik poltracking

More Related Content

Viewers also liked

Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014ekho109
 
IT impact on organization
IT impact on organizationIT impact on organization
IT impact on organizationHarnoor Singh
 
I want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in LondonI want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in LondonPedro Eloi
 
Banking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP PresentationBanking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP PresentationHarnoor Singh
 
대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이SANGBUM HA
 
Sisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence ToolSisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence ToolHarnoor Singh
 
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가SANGBUM HA
 
Organization structure & IT
Organization structure & ITOrganization structure & IT
Organization structure & ITHarnoor Singh
 
Eng half-past two
Eng   half-past twoEng   half-past two
Eng half-past two_Mikhail_
 
Business Analysis to Yahoo
Business Analysis to YahooBusiness Analysis to Yahoo
Business Analysis to YahooHarnoor Singh
 
Porter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industryPorter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industryHarnoor Singh
 

Viewers also liked (13)

Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014
 
IT impact on organization
IT impact on organizationIT impact on organization
IT impact on organization
 
I want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in LondonI want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in London
 
Banking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP PresentationBanking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
 
대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이
 
Sisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence ToolSisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence Tool
 
Odoo ERP
Odoo ERPOdoo ERP
Odoo ERP
 
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
 
Organization structure & IT
Organization structure & ITOrganization structure & IT
Organization structure & IT
 
3M - Innovation
3M - Innovation 3M - Innovation
3M - Innovation
 
Eng half-past two
Eng   half-past twoEng   half-past two
Eng half-past two
 
Business Analysis to Yahoo
Business Analysis to YahooBusiness Analysis to Yahoo
Business Analysis to Yahoo
 
Porter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industryPorter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industry
 

Similar to Review hanta yuda + analisa politik poltracking

Kaderisasi dalam Partai Politik
Kaderisasi dalam Partai PolitikKaderisasi dalam Partai Politik
Kaderisasi dalam Partai PolitikLestari Moerdijat
 
Tugas powerpoint seppty warbianti
Tugas powerpoint seppty warbiantiTugas powerpoint seppty warbianti
Tugas powerpoint seppty warbiantiRoad Hog
 
Tugas 2 sistem pemerintahan indonesia
Tugas 2 sistem pemerintahan indonesiaTugas 2 sistem pemerintahan indonesia
Tugas 2 sistem pemerintahan indonesiaSelfia Magdalena
 
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan IndonesiaHubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan IndonesiaWildanAhmil1
 
Peran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
Peran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di IndonesiaPeran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
Peran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesiavina irodatul afiyah
 
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA  PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA vina irodatul afiyah
 
Kelompok 5 HTN.pptx
Kelompok 5 HTN.pptxKelompok 5 HTN.pptx
Kelompok 5 HTN.pptxSnn27
 
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBaktiKelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBaktiRiskyAndreas
 
Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014
Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014
Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014Polmantic
 
Partai politik dan perkembangannya ppt
Partai politik dan perkembangannya pptPartai politik dan perkembangannya ppt
Partai politik dan perkembangannya pptALFARIDSAMNUGRAHAFAR
 
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADAPPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADAafututomo
 
Menakar Pemilukada (tidak) Langsung
Menakar Pemilukada (tidak) LangsungMenakar Pemilukada (tidak) Langsung
Menakar Pemilukada (tidak) LangsungMuhammad Yunus
 

Similar to Review hanta yuda + analisa politik poltracking (20)

Transfusi parpol
Transfusi parpolTransfusi parpol
Transfusi parpol
 
1518 3689-1-pb
1518 3689-1-pb1518 3689-1-pb
1518 3689-1-pb
 
Makalah pemilu
Makalah pemiluMakalah pemilu
Makalah pemilu
 
Kaderisasi dalam Partai Politik
Kaderisasi dalam Partai PolitikKaderisasi dalam Partai Politik
Kaderisasi dalam Partai Politik
 
Makalah pemilu
Makalah pemiluMakalah pemilu
Makalah pemilu
 
PEMILU 2014.pptx
PEMILU 2014.pptxPEMILU 2014.pptx
PEMILU 2014.pptx
 
Tugas powerpoint seppty warbianti
Tugas powerpoint seppty warbiantiTugas powerpoint seppty warbianti
Tugas powerpoint seppty warbianti
 
Tugas 2 sistem pemerintahan indonesia
Tugas 2 sistem pemerintahan indonesiaTugas 2 sistem pemerintahan indonesia
Tugas 2 sistem pemerintahan indonesia
 
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan IndonesiaHubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
 
Peran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
Peran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di IndonesiaPeran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
Peran Partai Politik dalam Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
 
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA  PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA
 
Kelompok 5 HTN.pptx
Kelompok 5 HTN.pptxKelompok 5 HTN.pptx
Kelompok 5 HTN.pptx
 
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBaktiKelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014
Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014
Faktor penyebab menurunnya perolehan suara parpol islam pada pemilu 2014
 
Pkn (pemilu 2009)
Pkn (pemilu 2009)Pkn (pemilu 2009)
Pkn (pemilu 2009)
 
Partai politik dan perkembangannya ppt
Partai politik dan perkembangannya pptPartai politik dan perkembangannya ppt
Partai politik dan perkembangannya ppt
 
Hubungan warga negara(mustina 2)
Hubungan warga negara(mustina 2)Hubungan warga negara(mustina 2)
Hubungan warga negara(mustina 2)
 
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADAPPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
 
Menakar Pemilukada (tidak) Langsung
Menakar Pemilukada (tidak) LangsungMenakar Pemilukada (tidak) Langsung
Menakar Pemilukada (tidak) Langsung
 

Review hanta yuda + analisa politik poltracking

  • 1. Sindrom Partai Gagal Vitalisasi kekuasaan partai politik pada era reformasi ini jadi berita gembira bagi demokrasi Indonesia (menjadikan partai sebagai institusi utama dalam negara demokrasi modern) sekaligus kabar buruk karena akan jadi ancaman bagi masa depan demokrasi apabila partai menyimpang dan gagal menjalankan fungsi intermediasi dalam negara demokrasi. Pasalnya, kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu akan bikin demokrasi mengidap sindrom partai gagal, suatu kondisi ketika postur kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak penyakit dan penyimpangan demokrasi. Itu disebabkan kekuasaan partai menguat, tetapi tak diimbangi dengan sistem imunitas berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal organisasi sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai. Efek sindrom Sindrom partai gagal akan berimbas terhadap institusi demokrasi (eksekutif-legislatif- yudikatif) dan perilaku elite politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan partai politik. Karena itu, problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif hari-hari ini sangat mungkin merupakan imbas dari sindrom partai gagal. Partai politik gagal mengantisipasi berbagai virus penyakit kronis dan penyimpangan sulit terbantahkan. Paling tidak ada empat penyimpangan virus politik yang gagal diantisipasi partai-partai (partai gagal) secara bervariasi: virus pragmatisme yang kian menggerogoti perilaku para elite, kader, dan konstituen partai; virus kartelisme yang menyerang perekrutan dan suksesi kepengurusan di dalam partai; virus oligarkisme yang menginternalkan model kepemimpinan dan pengambilan keputusan di dalam partai; serta virus faksionalisme yang semakin melemahkan kelekatan organisasi partai. Menguatnya pragmatisme para politisi merupakan imbas kegagalan partai politik menjalankan sistem kaderisasi dan ideologisasi. Keterikatan politikus dengan ideologi partai sangat lemah. Akibat kealpaan ini, kaderisasi partai cenderung menghasilkan politikus tanpa ideologi. Karena itu pula, gejala lompat pagar para politisi belakangan ini merupakan indikasi kuat tentang kegagalan partai menjalankan ideologisasi dan kaderisasi. Pragmatisme politik tak hanya menghinggapi elite politik, tetapi juga kader, anggota, dan pemilih partai. Gejala ini mengindikasikan kegagalan partai menjalankan fungsi pendidikan politik bagi kader dan pemilih. Dampak pragmatisme ini memerosotkan militansi kader sehingga mesin organisasi partai tak berjalan optimal. Pada situasi rendahnya militansi kader
  • 2. dan menguatnya pragmatisme pemilih, partai cenderung menggunakan cara instan menarik simpati pemilih dengan menggunakan kekuatan politik uang. Menguatnya virus kartelisme dalam seleksi kepemimpinan politik (pencalonan kepala daerah, anggota legislatif, dan pemimpin lembaga yudikatif serta komisi negara) yang tak transparan, oligarkis, dan transaksional merupakan bukti kegagalan partai menjalankan fungsi perekrutan politik secara demokratis, transparan, dan berbasis meritokrasi. Indikasinya, kepala daerah dan anggota legislatif banyak terjerat kasus korupsi dan produktivitas kinerja lembaga legislatif rendah. Partai terkartelisasi juga menyebabkan terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen serta ideologi tak mencerminkan perilaku partai. Virus oligarki menjangkit partai memang sudah menjadi gejala umum sebagaimana disinyalkan Robert Michels seabad silam tentang hukum besi oligarki: bahwa setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite. Alih-alih menerapkan model kepemimpinan demokratis berbasis sistem untuk mengantisipasi gejala itu, partai justru cenderung memelihara berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis. Faksionalisasi juga sebenarnya merupakan gejala umum yang menghinggapi partai. Namun, partai politik-partai politik gagal mengelola dan mengantisipasi potensi faksionalisme itu. Faksionalisme yang berkepanjangan jelas menyebabkan semakin melemahnya konsolidasi organisasi. Para elite partai saling melemahkan dan tidak saling mendukung. Implikasi kegagalan mengelola faksionalisme, faksi yang terpinggirkan cenderung membentuk partai baru atau para politikus berpindah ke partai lain, seperti gejala belakangan ini. Maka, partai perlu meningkatkan sistem imunitas melawan virus pragmatisme, kartelisme, oligarkisme, dan faksionalisme melalui penguatan kelembagaan dan demokratisasi sistem internal partai. Sistem imunitas Paling tidak ada empat agenda institusionalisasi dan demokratisasi demi sistem imunitas. Pertama, ideologisasi kader dengan menggalakkan program pengakaran ideologi bagi kader dan anggota partai melalui sistem kaderisasi yang melembaga serta gerakan pendidikan politik bagi pemilih sembari mengintensifkan hubungan partai dan pemilih melalui program pengakaran partai. Kedua, revitalisasi ideologi, gagasan, dan platform partai melalui transformasi komunikasi politik. Strategi menjual popularitas tokoh dan jargon politik mulai ditransformasikan dengan menawarkan platform, gagasan, serta program yang menarik dan inovatif agar menjadi partai berorientasi program dan kinerja. Ketiga, demokratisasi sistem perekrutan dan penjaringan jabatan publik (presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan anggota legislatif) di dalam partai melalui mekanisme konvensi partai
  • 3. yang terbuka, berbasis meritokrasi, dan melibatkan anggota partai. Tentu konvensi yang demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan yang melibatkan kader dan anggota sebagai pemilik saham terbesar di partai. Hal ini dapat mengurangi potensi politik uang, memutuskan rantai oligarki elite di partai, sekaligus mengelola faksionalisme secara terlembaga. Keempat, modernisasi organisasi dan demokratisasi sistem pengambilan keputusan dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial sembari perlahan memutus mata rantai oligarki dan personalisasi politik dengan melepaskan diri dari ketergantungan pada sosok personal dan segelintir elite. Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/05/27/03211859/Sindrom.Partai.Gagal
  • 4. Titik Balik Demokrat? Kepercayaan publik yang kian luntur terhadap Partai Demokrat tecermin dalam hasil jajak pendapat Kompas, Senin (4/7). Menurut jajak pendapat itu, hanya tersisa 35,6 persen pemilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 yang akan tetap kembali memilihnya. Pasalnya, publik kian tak yakin Partai Demokrat dapat mendorong upaya pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih setelah mencuatnya kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Andi Nurpati. Padahal, sebelumnya partai yang kelahirannya dibidani Susilo Bambang Yudhoyono ini— belum genap berusia delapan tahun—berhasil meraih kemenangan spektakuler dalam pemilu legislatif 2009 dengan memperoleh 20,8 persen suara dan 148 kursi DPR sekaligus meraih prestasi gemilang memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran. Saat itulah puncak keemasan perjalanan Partai Demokrat. Namun, belum genap pula berusia 10 tahun, partai yang dideklarasikan pada 9 September 2001 itu mulai memperlihatkan tanda-tanda mengalami titik balik sejarahnya. Gejala ini memunculkan pertanyaan reflektif: apa saja kekuatan utama Partai Demokrat pada 2009, lalu apa pula tanda-tanda melemahnya kekuatan itu. Kekuatan 2009 Paling tidak ada empat penyangga kekuatan elektabilitas Partai Demokrat yang berhasil mengantarkannya sebagai pemenang Pemilu 2009. Pertama, kekuatan figur sentral Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun persentase dukungan terhadap Yudhoyono jauh lebih tinggi dari perolehan dukungan terhadap Partai Demokrat, elektabilitas keduanya berkorelasi positif. Artinya, dukungan terhadap Yudhoyono berpengaruh pada Partai Demokrat. Karena itu, kekuatan figur Yudhoyono merupakan salah satu kunci kemenangan Partai Demokrat pada 2009. Kedua, kekuatan kinerja pemerintah. Partai Demokrat berhasil mengklaim program-program populis dan keberhasilan pemerintah—seperti bantuan langsung tunai, bantuan operasional sekolah, dan PNPM Mandiri—menjadi prestasinya. Meski Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla juga berperan penting, klaim keberhasilan itu berhasil dicitrakan sepenuhnya sebagai kesuksesan Partai Demokrat. Karena itu, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah juga jadi faktor penting kemenangan Partai Demokrat pada 2009. Ketiga, kekuatan Partai Demokrat sebagai partai yang paling positif citranya dalam persepsi pemilih berdasarkan survei-survei menjelang Pemilu 2009. Partai Demokrat dianggap sebagai
  • 5. partai paling bersih dari korupsi. Citra bersih dan antikorupsi ini juga mendukung kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Keempat, kekuatan soliditas internal. Kalaupun ada faksionalisme di Partai Demokrat, tentu tak sekuat di Partai Golkar karena adanya kekuatan figur Yudhoyono sebagai pemersatu partai. Faktor soliditas dan keberhasilan mengelola faksionalisme ini juga jadi faktor pendukung kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Keempat faktor inilah penyangga utama kekuatan Partai Demokrat pada 2009. Lalu, bagaimana kondisinya hari-hari ini? Apakah keempat modalitas itu masih kukuh dan dapat diandalkan pada 2014? Titik kritis 2014 Tanda-tanda Partai Demokrat mulai mengalami titik kritis terindikasi dari melemahnya empat penyangga kekuatan elektoralnya selama ini. Pertama, kekuatan figur dan karisma Yudhoyono mulai mengalami titik balik. Yudhoyono yang tidak dapat dicalonkan lagi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh terhadap Partai Demokrat, apalagi jika tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap Presiden Yudhoyono semakin merurun. Artinya, figur Yudhoyono tak dapat lagi diandalkan sebagai jualan utama Partai Demokrat pada 2014. Kalaupun masih, dipastikan daya tariknya tak sekuat pada 2009. Hal ini menjadi titik kritis bagi Partai Demokrat pada 2014 mengingat Partai Demokrat sejak awal mengalami personalisasi dan menjadikan figur sebagai jualan utama. Kedua, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah semakin menurun. Indikasi itu terlihat dari tren penurunan dalam hasil jajak pendapat dan survei belakangan ini. Pemerintah dinilai gagal menuntaskan kasus-kasus besar, seperti Bank Century, mafia perpajakan, rekening gendut pejabat kepolisian, dan yang paling anyar adalah kasus Nazaruddin. Jika tak ada prestasi luar biasa dan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah terus menurun, hal itu akan menjadi kabar buruk bagi Partai Demokrat. Ketiga, citra Partai Demokrat sebagai partai bersih dan antikorupsi semakin memudar, terutama setelah mencuatnya kasus Nazaruddin dan Andi Nurpati. Sebelumnya beberapa kasus juga menyerempet nama-nama petinggi Partai Demokrat di pusat dan di daerah. Sinyalemen itu setidaknya terbaca dari jajak pendapat Kompas pada 4 Juli bahwa 71,5 persen menganggap citra Partai Demokrat buruk. Memburuknya citra Partai Demokrat menjadi titik kritis dalam menghadapi Pemilu 2014. Keempat, soliditas Partai Demokrat semakin melemah akibat menguatnya pertarungan faksi- faksi internal yang dipicu kasus Nazaruddin. Bahkan, belakangan mulai muncul isu kongres luar biasa. Para elite dalam faksi cenderung saling melemahkan. Seandainya gagal mengelola faksionalisme itu, terancamlah Partai Demokrat pada Pemilu 2014. Keempat hal inilah titik kritis Partai Demokrat pada 2014 yang dapat diprediksi sejak awal. Tahun lalu, bertepatan dengan kongres partai ini di Bandung, saya menulis di harian ini
  • 6. tentang ”Problem Gigantisme Demokrat” (21/5/2010). Partai Demokrat mengidap ”politik gigantisme”, suatu kondisi di mana postur elektoral meraksasa dalam rentang usia relatif pendek, sementara postur kelembagaan tak sanggup mengimbangi, menyebabkan beberapa risiko komplikasi politik, di antaranya problem ketergantungan pada figur Yudhoyono dan ancaman faksionalisme. Posisi Yudhoyono sebagai ”Bapak” bagi semua ”kelompok” dan faksi politik di dalam Partai Demokrat menyebabkan elite Partai Demokrat tak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Dampaknya, sumber konflik itu tak pernah tuntas. Kondisi inilah yang akan jadi bom waktu bagi Partai Demokrat ketika kekuasaan dan karisma Yudhoyono memudar. Akhirnya, semua berpulang kepada Yudhoyono dan elite Partai Demokat. Sejauh mana kesungguhan dalam mengurangi ketergantungan pada figur Yudhoyono sembari menyiapkan calon presiden 2014; sukses menuntaskan kasus besar untuk meningkatkan kepercayaan publik; serius membersihkan citra partai; dan berhasil mengelola faksionalisme. Jika keempat itu gagal, hampir dapat dipastikan Demokrat akan mengalami titik balik sejarahnya. Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Sumber : Kompas, 7 Juli 2011
  • 7. Pemuda dan Mimpi Indonesia Artikel ini saya tulis berawal dari diskusi ringan dengan seorang teman yang bercerita tentang te tangganya di sebuah kota kecil di JawaBarat yang memiliki visi sederhana, tetapi agak ganjil, mengenai anak laki-lakinya (seorang pemuda). Dia berencana menyekolahkan putranya hingga pendidikan tinggi di kota tempat tinggalnya-ketimbang kuliah di kota besar-- sehingga bisa menghemat biaya. "Penghematan"itu akan digunakan untuk biaya suap masuk pegawai negeri sipil jika saatnya tiba. Lalu saya menimpali, lebih parah lagi, tetangga saya di kampung telah "menunaikan"visi ganjil itu, setelah menyekolahkan anak perempuannya (seorang pemudi) hingga pendidikan sarjana di sebuah kota besar, lalu masuk pegawai negeri dengan uang pelicin (suap) yang sudah disiapkannya sejak lama. Jumlahnya lumayan fantastis. Setara dengan 60 bulan gaji pegawai negeri golongan III-A. Itu artinya, dia butuh waktu kerja 5 tahun untuk bisa kembali modal. Apakah kedua fenomena ini ada korelasinya dengan maraknya korupsi dan terungkapnya berbagai kasus mafia pajak dan mafia hukum belakangan ini? Tentu banyak perspektif untuk membaca kedua fenomena itu. Salah satunya, potret tentang semakin lunturnya visi dan mimpi para generasi muda tentang Indonesia, di satu sisi; dan kian pupusnya harapan sebagian warga untuk menikmati janji-janji kemerdekaan Indonesia seperti terekam dalam Pembukaan UUD 1945, di sisi lain. Tiga mimpi kolektif pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928--berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; serta berbahasa satu, bahasa Indonesia- -tidak hanya mengandung pesan persatuan, tetapi sejatinya juga tersirat pesan tentang keadilan dan persamaan bagi semua, bahwa Indonesia untuk semua warga. Hal itu ditegaskan 17 tahun kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai janji-janji kemerdekaan, bahwa dua tujuan utama negara-mimpi kolektif bangsa Indonesia--adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Optimisme kolektif Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan penting bagi para pemuda Indonesia: bagaimana peran dan fungsi pemuda Indonesia dalam mengawal perjalanan bangsa?Paling tidak, ada dua perspektif untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, perspektif masa kini, berhubungan dengan posisi strategis pemuda dalam mengawal perjalanan bangsa. Kedua, perspektif masa depan, berkaitan dengan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk masa depan dalam menggapai mimpi individu setiap pemuda tentang dirinya dan tentang Indonesia. Wajah Indonesia memang sedang terkoyak persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta sejumlah tumpukan problem bangsa yang belum kunjung membaik. Akses pendidikan, misalnya, masih menjadi barang mewah bagi sebagian warga. Tetapi tetap saja semua itu bukan menjadi alasan bagi para pemuda untuk berhenti dan terus pesimistis memandang
  • 8. masa depan Indonesia. Karena itu, selain kritis, para pemuda Indonesia harus tetap optimistis dalam melihat masa depan. Bangsa ini sedang menanti bangkitnya anak-anak muda untuk mulai membangun sebuah mimpi Indonesia masa depan. Membangun optimisme kolektif bahwa suatu saat para anak muda akan mampu mewujudkan mimpi Indonesia, dan menjadi terhormat di antara bangsa- bangsa lain di dunia. Bahkan lebih dari itu, bangsa ini perlu bermimpi untuk suatu saat memimpin dunia. Mengawal perjalanan bangsa dengan membangun optimisme kolektif itulah mestinya yang menjadi ruh perjuangan gerakan pemuda dan mahasiswa hari-hari ini, sekaligus mengantisipasi gejala pesimisme massal yang semakin mendera Indonesia. Pada ruang kosong inilah setiap pemuda dan mahasiswa--gerakan pemuda dan mahasiswa dituntut harus tetap kritis dalam mengawal perjalanan bangsa, tetapi juga optimistis menatap masa depan Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan yang inklusif dan integral: gerakan moral, gerakan intelektual, sekaligus gerakan membangun optimisme kolektif bangsa. Menyiapkan masa depan Mewujudkan mimpi Indonesia yang lebih inklusif--mimpi bagi semua warga negara--sejatinya perlu disiapkan sejak sekarang. Memang tak mudah melakukannya, mungkin hasil utuh baru dirasakan 30-40 tahun ke depan, atau paling tidak di usia seabad Republik Indonesia pada 2045 nanti semua akan terwujud. Paling tidak ada tiga karakter dan kapasitas yang perlu dikapitalisasi setiap generasi muda untuk memenangi "pertarungan" masa depan sekaligus dalam mewujudkan mimpi Indonesia. Pertama, diperlukan generasi muda yang memiliki kualitas integritas yang tinggi. Pasalnya, Indonesia di masa depan sangat membutuhkan anak muda yang berintegritas tinggi, serta me miliki mentalitas antikorupsi. Indikasi diperlukannya integritas tinggi dan mentalitas antikorupsi ini terlihat dari problem korupsi yang kian menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Inilah salah satu upaya untuk memperbaiki wajah Indonesia di masa depan. Karena itu, pemerintah dan institusi pendidikan perlu memfasilitasi terbangunnya mentalitas antikorupsi di kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa. Kedua, kapasitas keahlian dan intelektual yang cukup mumpuni. Para mahasiswa, misalnya, perlu mendalami studinya secara serius agar menjadi spesialis keilmuan tertentu, yaitu memiliki spesialisasi dalam menguasai suatu bidang pengetahuan secara mendalam sesuai dengan bidang studinya masing-masing. Para pemuda perlu memiliki skill tertentu untuk bersaing di dunia kerja. Indonesia di masa depan jelas memerlukan generasi muda yang profesional dan menguasai ilmu pengetahuan secara "mendalam"untuk memenangi kompetisi sekaligus mewujudkan mimpi Indonesia. Karena itu, negara wajib menyediakan akses dan fasilitas pendidikan yang murah dan terjangkau. Ketiga, karakter kepemimpinan yang peduli dan profesional. Karakter ini tidak bisa didapatkan di dalam ruang-ruang kelas. Kepemimpinan didapatkan dari pengalaman aktivitas keorganisasian, baik di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Di situlah para pemuda dan mahasiswa ditempa untuk menyelesaikan berbagai konflik dan persoalan, diasah
  • 9. kemampuan manajerialnya, dan dilatih untuk peduli dan memahami lingkungan serta masyarakatnya. Di sini pula, kepekaan sosial dan kekritisan sering kali tumbuh. Justru para pemuda dan mahasiswa yang memiliki karakter kepemimpinan inilah yang di masa depan diperlukan untuk menggerakkan masyarakat dalam meraih kesuksesan kolektif sekaligus menggapai kegemilangan Indonesia. Akhirnya, pada momentum 72 tahun Sumpah Pemuda ini, setiap pemuda Indonesia perlu membuat visi diri serta memproyeksikan mimpi individunya pada 10, 20, bahkan 30 tahun ke depan untuk Indonesia, akan memiliki peran dan posisi apa dan di mana di tengah-tengah masyarakat dalam menyongsong masa depan Indonesia. Pada posisi itulah potensi terbesar bagi setiap pemuda untuk mewujudkan mimpi tentang Indonesia sekaligus melunasi mimpi "Sumpah Pemuda"dan "janji-janji kemerdekaan Indonesia"yang mulia dan inklusif itu. Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Sumber : Koran Tempo, 28 Oktober 2010
  • 10. Penyimpangan Partai Politik Pemilu kepala daerah 2010 dan masa depan partai politik mencemaskan. Fenomena politik dinasti dan politik uang ternyata masih mendominasi panggung politik era Reformasi. Gejala politik dinasti terlihat dari bermunculannya calon kepala daerah (cakada) dari kalangan keluarga pejabat yang sedang berkuasa di beberapa pilkada. Sementara fenomena politik uang juga masih mendominasi proses politik di pilkada dan perekrutan cakada di internal partai. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di pilkada, tetapi sebelumnya juga terjadi pada pemilu legislatif. Para petinggi partai memungut dan memasang tarif bagi para calon anggota legislatif (caleg) dan menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar caleg di Pemilu 2009. Politik dinasti dan politik uang yang tak sejalan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem perekrutan partai di negara demokrasi ternyata justru menjadi karakter utama partai-partai dewasa ini. Pada titik inilah telah terjadi penyimpangan parpol. Padahal, posisi partai merupakan institusi paling esensial dan instrumen inti dalam demokrasi modern (Katz, 1980). Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa itu bisa terjadi, dan bagaimana dampaknya bagi masa depan demokrasi di Indonesia? Katalisator penyimpangan Tradisi politik dinasti dan politik uang menjadi penyakit kronis partai memang tak terbantahkan. Paling tidak ada lima faktor pendorong (katalisator) penyimpangan itu secara bervariasi: imbas liberalisasi sistem pemilu, efek kegagalan partai dalam mengikat konstituen, implikasi rapuhnya sistem kaderisasi dan perekrutan di internal partai, akibat kuatnya oligarki di organisasi partai, serta dampak dari menguatnya pragmatisme politik. Konstruksi sistem pemilu yang kian liberal menyebabkan partai-partai membutuhkan kandidat cakada dan caleg yang populer atau memiliki modal finansial mumpuni. Situasi itu menyebabkan faktor popularitas dan kemampuan finansial calon menjadi paling diprioritaskan. Strategi instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga petahana (incumbent) kepala daerah (elite partai) atau kalangan artis, yang diyakini dapat menjadi modal untuk meraup suara. Kegagalan partai mengikat konstituennya juga mendorong para elite politik cenderung mencari siasat untuk menarik konstituen dengan menempatkan cakada dan caleg paling
  • 11. populer sehingga aspek kualitas dan integritas acapkali dilupakan. Sementara cara instan untuk menarik simpati konstituen ditempuh dengan menggunakan kekuatan politik uang. Rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai, terutama mekanisme seleksi cakada dan caleg, juga menyebabkan partai terperangkap pada kebutuhan finansial dan popularitas kandidat. Kompetensi, rekam jejak, dan integritas lagi-lagi menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan cakada ataupun caleg. Peluang politik uang dan politik keluarga juga didorong oleh suburnya oligarki dan sentralisasi kebijakan dalam struktur partai. Sistem perekrutan cakada dan caleg tidak dilakukan secara demokratis dan transparan. Sementara mekanisme pemilu internal—yang dapat meminimalisasi peluang politik uang dan politik keluarga—belum menjadi sistem yang terlembaga di partai. Menguatnya pragmatisme politik dan merosotnya militansi kader—yang menyebabkan mesin organisasi partai tidak dapat berjalan optimal—juga mendorong suburnya politik uang dan politik dinasti. Pendekatan kekuatan uang dan karisma dinasti dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin organisasi atau pengganti kinerja mesin organisasi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Kelima faktor (katalisator) inilah penyebab politik uang dan politik dinasti semakin menggerogoti kelembagaan internal partai dan merusak sendi-sendi demokrasi dan demokratisasi yang sudah berjalan hampir 12 tahun di Indonesia. Episentrum korupsi-nepotisme Sistem penjaringan cakada dan caleg yang bertumpu pada kekuatan uang dan oligarki keluarga akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif-nepotisme para kepala daerah dan anggota legislatif. Karena cakada yang membeli ”tiket politik” atau caleg yang ”membeli kursi” sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Di titik inilah, korupsi akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan. Sementara politik keluarga akan menyuburkan kultur nepotisme di birokrasi pemerintahan. Wajah legislatif dan pemerintahan sejatinya adalah potret partai. Karena itu, baik buruknya parlemen dan pemerintah amat tergantung dari kualitas partai sebab hampir semua anggota legislatif dan sirkulasi kepemimpinan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, dan wali kota) melalui mekanisme partai. Bahkan, proses seleksi dan pemilihan hampir semua anggota lembaga tinggi dan komisi negara melibatkan DPR (partai secara tidak langsung). Dengan situasi maraknya korupsi di berbagai institusi saat ini, maka tak berlebihan jika menyematkan posisi parpol sebagai biang utama (episentrum) korupsi-nepotisme.
  • 12. Pada titik inilah, partai semakin menjadi episentrum praktik korupsi-nepotisme di republik ini. Kondisi ini tentu akan membahayakan masa depan demokrasi karena partai tidak kunjung terinstitusionalisasi (terlembaga) sebagai organisasi modern dan demokratis. Karena itu, membereskan persoalan bangsa ini harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan perilaku partai politik. Oleh : Hanta Yuda AR Sumber : Kompas, 28 Juni 2010
  • 13. Rapor Merah DPR Ulang tahun ke-65 Dewan Perwakilan Rakyat miskin apresiasi dan sepi ucapan selamat dari rakyat. Kendati Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan beberapa prestasi DPR dalam pidatonya, Senin (30/8/2010), tetap sulit bagi kita memberikan apresiasi positif atas kinerja dan perilaku anggota DPR belakangan ini. Selain kinerja tak begitu menggembirakan, masih banyak perilaku tidak terhormat yang ditampilkan para wakil rakyat yang menyandang status terhormat itu. Potret buram DPR periode sebelumnya—terjerat korupsi, tersandung skandal seks, dan rendahnya tingkat kehadiran—ternyata masih mendominasi wajah DPR periode 2009-2014. Alih-alih memperbaiki citra, wajah DPR yang 70 persen diisi pendatang baru itu justru semakin memperburuk wajah DPR dengan rencana pembangunan gedung baru yang disertai fasilitas ruang rekreasi, kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang spa. Pembangunan gedung mewah ini akan menguras APBN Rp 1,6 triliun sama dengan biaya Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk 22 juta penduduk miskin (Kompas, 1/9/2010). Ini jelas mencederai rasa keadilan masyarakat dan kian mendegradasi kepercayaan publik kepada DPR. Rapor merah Jika integritas (perilaku koruptif), disiplin (tingkat kehadiran), dan empati para wakil rakyat masih dinilai rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana dengan kinerja DPR dalam menjalankan fungsi esensialnya—legislasi, pengawasan, dan penganggaran—sebagai anggota parlemen? Siapa paling bertanggung jawab atas wajah buram DPR hari-hari ini? Kinerja DPR 2009-2014 dalam menjalankan fungsi-fungsi kedewanan masih penuh rapor merah. Paling tidak, ada tiga potret masih merahnya rapor dilihat dari aspek fungsi utama parlemen. Pertama, rendahnya produktivitas dalam menjalankan fungsi legislasi. Delapan bulan pertama 2010, DPR baru menyelesaikan pembahasan tujuh RUU. Itu pun hanya satu RUU, yakni RUU revisi UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang masuk Program Legislasi Nasional (Kompas, 31/8/2010). Kedua, dalam menjalankan fungsi penganggaran, DPR seolah hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan kurang berempati terhadap kondisi masyarakat yang sedang mengalami tekanan ekonomi. Hal ini terlihat dari ide kontroversial pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6 triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun), serta rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan Rp 3,3 triliun untuk infrastruktur). Ironisnya, semua anggaran itu ditanggung rakyat melalui APBN.
  • 14. Ketiga, fungsi pengawasan seolah hanya jadi alat bagi partai dan DPR bernegosiasi dengan pemerintah. Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century jadi potret paling terang dari ketidakseriusan DPR. Padahal, gegap gempita skandal ini telah menguras energi bangsa dan mengganggu jalannya pemerintahan. Ketiga rapor merah ini kian menggerogoti citra kelembagaan DPR yang sebenarnya sudah buruk di mata rakyat. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia, DPR dan parpol masih merupakan lembaga terkorup dalam persepsi publik. Hasil jajak pendapat Kompas beberapa bulan lalu menunjukkan, DPR dan parpol memiliki tingkat kepercayaan publik yang sangat rendah. Kegagalan partai Merosotnya citra DPR merupakan potret kegagalan parpol. Rendahnya kualitas dan produktivitas DPR merupakan tanggung jawab partai sebab semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme partai. Karena itu, penyimpangan (malafungsi) partai berpengaruh terhadap kualitas dan produktivitas para wakil rakyat. Paling tidak, ada lima potret malafungsi partai yang menyebabkan buramnya wajah DPR secara bervariasi: akibat rapuhnya sistem perekrutan dan penjaringan calon anggota legislatif (caleg), dampak ketidakjelasan sumber pemasukan keuangan partai, efek disfungsi aspirasi dan artikulasi partai, implikasi dari macetnya fungsi pendidikan politik, serta kekeliruan sistem komunikasi politik partai dalam kampanye. Rendahnya integritas dan kualitas kinerja anggota DPR jelas mengindikasikan ada yang keliru dengan sistem perekrutan. Sistem penjaringan caleg di beberapa partai terperangkap pada praktik politik uang akibat kebutuhan finansial partai dan biaya kampanye. Sementara kompetensi, rekam jejak, dan integritas menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan. Apalagi, setelah terpilih, juga diwajibkan memenuhi setoran ke partai. Pada situasi seperti inilah—pendekatan politik uang dalam penjaringan caleg, mahalnya ongkos kampanye, serta beban setoran ke partai—jadi pintu masuk perilaku koruptif anggota DPR karena korupsi jadi jalan pintas untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan. Disfungsi artikulasi dan agregasi kepentingan oleh partai juga mendorong penyimpangan di DPR. Selain tugas partai, fungsi aspirasi juga memang jadi tugas DPR, tetapi tidaklah pantas jika sumber dananya diambil dari uang rakyat (APBN). Fungsi pendidikan politik juga tak dijalankan partai. Alih-alih memberikan pendidikan politik, elite partai justru menularkan pragmatisme politik kepada pemilih dengan membangun relasi bersifat transaksional sehingga relasi wakil rakyat-konstituen dibangun dengan uang. Karena itu, tak mengherankan, wakil rakyat kerap didatangi proposal permintaan bantuan akibat pragmatisme konstituen. Kekeliruan sistem komunikasi politik, terutama metode mengumbar janji dalam kampanye, menyebabkan problem bawaan bagi para anggota DPR. Akibatnya, partai dan caleg terjebak
  • 15. janji kampanye sendiri. Padahal, fungsi DPR bukan eksekutor kebijakan. Tuntutan konstituen atas janji-janji kampanye ini mendorong perilaku menyimpang anggota DPR. Malafungsi partai ini mendorong penyimpangan di DPR sehingga kualitas dan citra DPR tidak kunjung membaik. Karena itu, rapor merah DPR hakikatnya juga rapor merah bagi partai karena potret buram DPR merupakan cerminan kegagalan partai-partai di DPR. Karena itu, untuk membereskan persoalan di DPR, harus dimulai dengan mereformasi sistem kelembagaan internal dan perilaku partai melalui UU Partai Politik dan UU Pemilu. Selain revisi UU, perlu juga kesadaran para elite partai dan anggota DPR untuk segera mereformasi diri. Jika partai dan DPR tidak segera berbenah, ulang tahun DPR sejatinya belum layak dirayakan rakyat, melainkan hanya pantas dirayakan sendiri oleh politisi di Senayan. Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Sumber : Kompas, 2 September 2010
  • 16. Setahun Pemerintah Tersandera Satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono ramai disambut berbagai aksi demonstrasi kekecewaan, tetapi sepi apresiasi dari rakyat. Meskipun SBY telah menyampaikan berbagai capaian pemerintah dalam satu tahun ini, agak sulit untuk memberikan apresiasi positif atas kinerja pemerintah di tengah banyaknya tumpukan persoalan. Menjelang satu tahun pemerintahan, rakyat justru ”dihadiahi” kenaikan harga kebutuhan pokok dan tarif dasar listrik. Rumah-rumah penduduk ”dikirimi teror” ledakan tabung gas. Selain itu, persoalan kemiskinan, pengangguran, dan korupsi yang seharusnya mendesak dibereskan justru masih menjadi tumpukan problem bangsa yang tidak kunjung membaik. Di bidang hukum dan pemberantasan korupsi, beberapa kasus yang mendapatkan perhatian publik, seperti kasus Bank Century, rekening ”gendut” pejabat kepolisian, kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan penganiayaan aktivis antikorupsi Indonesia Corruption Watch, mengambang hingga saat ini. Padahal, SBY menegaskan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di negeri ini. Pemberantasan korupsi terkesan masih sebatas retorika. Wajar jika tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY-Boediono hari-hari ini kian menurun. Indikator menurunnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah terlihat dari berbagai hasil survei beberapa lembaga survei belakangan ini. Empat sumbatan Situasi seperti ini tentu memunculkan pertanyaan penting: mengapa kinerja pemerintah masih kurang efektif dan terkesan tersumbat kinerjanya, lalu bagaimana upaya jalan keluarnya? Salah satu indikasi penyebab utama rendahnya kinerja dan kurang efektifnya pemerintahan karena selama ini pemerintah tersandera secara politik. Paling tidak, ada empat sumbatan politik yang berpotensi menyandera jalannya pemerintahan secara bervariasi. Pertama, pemerintah tersandera politik pencitraan berbasis retorika yang menjadi andalan utama SBY dalam memimpin pemerintahan. Kedua, tersandera politik akomodatif yang melahirkan koalisi kebesaran yang dijalankan SBY dalam membangun legitimasi politik. Ketiga, tersandera politik kompromi yang melahirkan kabinet kompromi partai-partai. Keempat, tersandera politik transaksional (barter politik) yang menjadi basis relasi partai-partai mitra koalisi. Keempat sumbatan ini semuanya bersumber dari personalitas SBY.
  • 17. Kungkungan politik pencitraan berbasis verbal (pidato) menyebabkan SBY seolah masih menjadi kandidat presiden di musim pemilu, dan belum menjadi presiden sesungguhnya yang berkuasa dan memerintah. Kekuatan presiden hanya sebatas imbauan dan anjuran, dan kerap tak menjadi realitas. Presiden seolah masih sibuk membangun persepsi publik tentang citra pemerintah. Pandangan bahwa persepsi politik jauh lebih penting dan menentukan ketimbang realitas sesungguhnya—yang seharusnya dijadikan paradigma dalam kampanye pemenangan pemilu—masih dijadikan paradigma SBY dalam memimpin pemerintahan. Hal inilah yang menyebabkan jalannya pemerintahan seolah tersandera politik pencitraan. Politik akomodatif yang sangat mementingkan keseimbangan dan harmoni politik menyebabkan SBY cenderung merangkul dan memuaskan semua kalangan dengan keinginan mengakomodasi semua partai di pemerintahan. Politik akomodatif SBY ini cenderung tidak menghendaki ”oposisi” dan membutuhkan pengaman (sekuritas) politik yang berlebihan dengan membangun koalisi sebesar-besarnya. Pilihan memperluas koalisi dengan merangkul Partai Golkar pada awal pemerintahan— bahkan sebenarnya PDI-Perjuangan juga ditawari—untuk bergabung dalam koalisi setidaknya memperkuat itu. Implikasinya postur koalisi menjadi kebesaran (oversized coalition) dengan menguasai 75 persen kursi di parlemen. Koalisi kebesaran dengan persilangan kepentingan yang luas seperti inilah yang menyebabkan pemerintah tersandera kepentingan partai-partai. Politik kompromi yang melahirkan ”kabinet kompromi partai” juga menyandera jalannya pemerintahan selama ini. Logika politik dengan mengedepankan kompromi dengan melibatkan para petinggi partai-partai ke dalam kabinet memang memiliki korelasi secara mutualistik. Partai-partai mendapat keuntungan akses kekuasaan beserta keuntungan ekonomi-politik. Sementara, SBY memperoleh penguatan dukungan untuk memenuhi kebutuhan sekuritas politik dalam berhadapan dengan parlemen. Namun, konsekuensi melibatkan para petinggi partai dalam kabinet akan melahirkan loyalitas ganda (split loyalty). Di satu sisi loyalitas pada presiden, di sisi lain tetap loyal kepada partai asal. Pada situasi seperti inilah kinerja kabinet tersandera dualisme loyalitas menteri dan agenda politik partai-partai koalisi di dalam kabinet. Pemerintah juga tersandera ”koalisi transaksional” yang berbasis barter politik. Tarik ulur sikap politik Golkar terhadap kasus Bank Century, pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi menjadi salah satu contoh paling gamblang tentang tersanderanya pemerintahan akibat politik transaksional dan barter politik.
  • 18. Belakangan, keberadaan setgab koalisi terbukti justru jadi blunder politik bagi SBY karena kerap mengintervensi (merecoki) pemerintah dengan menjadikan setgab sebagai alat bagi partai-partai mitra koalisi—terutama Partai Golkar—untuk bernegosiasi dengan Presiden. Di titik inilah pemerintah semakin tersandera pola relasi politik transaksional. Empat solusi Setidaknya ada empat solusi yang perlu ditempuh untuk melepas empat sumbatan politik itu agar pemerintah tidak tersandera. Pertama, SBY harus segera meninggalkan politik pencitraan berbasis retorika verbal dan mulai beralih mengandalkan politik pencitraan berbasis kinerja dan kerja keras yang lebih tulus dan sungguh-sungguh. Kedua, reorientasi koalisi, dari pendekatan kuantitas (jumlah partai koalisi) ke kualitas (soliditas koalisi). Konsekuensinya, diperlukan perampingan koalisi melalui evaluasi terhadap partai mitra koalisi. Partai yang rendah komitmennya layak dikeluarkan dari koalisi. Ketiga, perampingan koalisi harus disertai upaya penguatan soliditas dan komitmen melalui revisi kontrak koalisi. Masalahnya, kontrak koalisi selama ini masih terlalu normatif dan umum, menyebabkan partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda. Karena itu, perlu revisi kontrak koalisi yang lebih jelas, konkret, rinci, dan disertai sanksi. Keempat, diperlukan reshuffle kabinet berbasis evaluasi kinerja. Menteri yang berkinerja buruk perlu diganti. Jika SBY tidak responsif dan tidak segera berubah haluan—dengan meninggalkan politik pencitraan berbasis retorika, mengurangi politik akomodatif dan politik kompromi, serta meninggalkan politik transaksional— maka hampir dipastikan empat tahun mendatang pemerintahan tetap tersandera. Akhirnya, semua berpulang kepada SBY. Apakah evaluasi setahun pemerintahan akan menjadi momentum untuk keluar dari ”problematik pemerintah yang tersandera” atau sebaliknya justru semakin memperkuat ”gurita politik penyandera pemerintah”? Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Sumber : Kompas, 27 Oktober 2010
  • 19. The problem of presidential-multiparty system The discourse on the need to increase the level of parliamentary threshold — the minimum threshold that is required to gain seats in the parliament — from 2.5 percent in the 2009 legislative elections to 5 percent in the 2014 elections in the revised elections law has been increasingly discussed. The main argument to increase the parliamentary threshold is to simplify the number of political parties, while at the same time improving the quality of democracy and the effectiveness of the presidential government. The problem is that the extreme multiparty system is considered as one culprit that inhibits the workings of the presidential government and disrupts the quality of democracy. This condition raises important questions. First, how does the fragmented multiparty system influence the political stability and the work of the presidential system in Indonesia? Juan Linz and Arturo Velenzuela (1994) build an interesting thesis that the presidential system applied over a multiparty political structure tends to result in a conflict between presidential and parliamentary institutions and will present an unstable democracy. This view is also strengthened by Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart (1997), who believe that this combination will give birth to a minority president and a divided government, a condition in which the president is very difficult to get political support in the parliament. In 1998, the reform has led to democracy and the purification of the presidential system in Indonesia. However, the formulation of the purer presidentialism mandated is also difficult to implement when it is combined with the multiparty political structure. The combination of the vulnerable presidential system and the multiparty system had been proven strong enough in the five years of the administration of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) — Jusuf Kalla (JK), as well as in the one-year of the era of the SBY-Boediono administration. At least, there are three political facts that portrait the instability and vulnerability of the government. First, the control of the parliament over the government is so strong, so the policies of the President is very difficult to gain political support in the parliament.
  • 20. The questionnaire rights and the threat of withdrawing support for example have always been tools for the parties in the House to negotiate with the President. The second fact, in the process of forming and reshuffling the Cabinet, the political parties — especially the parties in the House of Representatives — have cut the prerogative right of the President to intervene. The third fact, the support of the government coalition of political parties is not effective. Although quantitatively the percentage of a coalition of parties supporting the government is very high — 75 percent of the seats in the House — it is very fragile and easily cracked. The Bank Century case becomes the clearest portrait of the fragility. This political reality is proof of the vulnerability of the combination of presidential and multiparty systems. Moreover, the personality and leadership style of Yudhoyono are ones that are compromising and accommodating. This is what has caused the presidentialism in the era of the SBY-JK and SBY-Boediono administrations be run half-heartedly (the half-hearted presidentialism). Then, is there any compromise that still allows the establishment of parties and that ensures the government runs effectively and stable? The multiparty extreme (the high number of political parties), as it is now, needs to be pushed into a simple multiparty system, especially in regards to the number of parties in the parliament, on a daily basis, the President deals with the parties in the parliament, not the parties participating in the elections. Therefore, what needs to be simplified is the number of parties in the parliament, not the number participating in the elections, to guarantee democracy and freedom. At least, there is a five-tiered strategy of simplifying the parliament through institutional engineering: to apply the district electoral system (plurality/majority system) or mixed systems (mixed proportional); to minimize the number of electoral districts (district magnitude); to apply the threshold of seats in the parliament (parliamentary threshold); to simplify the number of factions in the parliament through the tightening of requirements for the formation of a faction (factional threshold), as well as making regulations to be directed to the formation of two political blocs (supporters and opposition). The implementation of the electoral system — the First Past The Post system (FPTP), in which one representative is elected from each electoral district — based on proven experience of some countries will limit the number of parties. An alternative solution if the district system still experiences resistance is to combine the district system and the proportional to become the mixed system. The German experience provides some lessons that are interesting enough for Indonesia.
  • 21. Strategies to reduce the scope of electoral districts will also be a catalyst toward the simplification of political parties. Because the smaller the scale of electoral districts and the less number of seats contested, the smaller also the opportunity for small parties to gain seats. The increase of the parliamentary threshold in the 2014 elections will also simplify the parliament. If the parliamentary threshold, is consistently applied, the number of political parties will continue to decrease until the ideal number, approximately five political parties in parliament. After that, the need to simplify the number of factions through the tightening of requirements for the formation of factions. Ideally, there are only about three or four factions in the House so that the government can run more effectively. The next stage, the factions in the House need to be engineered institutionally into the “two- party system” in the parliament, that is, the two blocs of permanent coalitions in the parliament, the coalition government and opposition supporters. The main objective is to simplify the polarization of political forces in the parliament to make the political process more efficient and stable. Writer : Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute Source : The Jakarta Post, 03 August 2010
  • 22. Corruption and the high-cost district head elections President Susilo Bambang Yudhoyono’s concern about practices of money politics in the district head elections and high-cost democracy had been expressed again in the state address in the Joint Session of the House of Representatives and the Regional Representatives Council on Aug. 16, 2010. The phenomenon of high-cost district head elections was previously mentioned by Home Minister Gamawan Fauzi. It is a paradox of the expensive cost of district head elections and the demand of a government that is clean from corruption. To become a governor, one needs funding of around Rp 100 billion (US$11.14 million), while the governor’s salary is only Rp 8.7 million per month. This phenomenon has a correlation with a recent report of the Indonesia Corruption Watch (ICW) that states that the regional budget has become the biggest contributor to the potential losses to the state due to corruption cases that have occurred in the first half of 2010. According to ICW data, corruption cases of the regional budget in 2010 have cost the state about Rp 596.23 billion, out of a total of Rp 1.2 trillion in state losses due to corruption. The spread of corruption to the area and the many regional heads that have been arrested for corruption clearly indicate that there is something wrong with the system and the district head election process, because district head elections are then also often accompanied by the practices of money politics. It is money politics that has caused the cost of district head elections and the cost of democracy to increase. At least, there are four factors causing money politics and the high cost of the district head election: the impact of the liberalization of the district head election system; the effect from the failure of the parties to bind constituency and the failure of a candidate of a district head to lure voters; the impact of the strengthening of pragmatism of party members and voters; and the implication of a strong oligarchy and the fragility of the internal recruitment system of a candidate for a district head. The system of the district head elections has increased administration costs, the cost of political campaigns, and the nomination fees. The General Election Commission calculated that the cost of implementation of the district head elections during 2010-2014 reached Rp 15 trillion. Furthermore, there are also fees for political consultants.
  • 23. The failure of the party to bind the constituency and the inability of a candidate of a district head to lure voters also have caused the high political cost in the district head elections. The inability to lure and bind these constituencies has provoked the party elite and the candidate for a district head to use an instant way through money politics. Such a practice has clearly caused the cost of the district head election to inflate. The strengthening of political pragmatism and the decline of the militancy members of the party — which have caused the the party organization machinery to not run optimally — have also encouraged the proliferation of money politics. It is coupled with the pragmatism voter factor. This situation has led to the use of the power of money as an instant strategy to move forward the party machinery or as a replacement of the performance organization machinery in the district head election campaign. This of course has also led to the more expensive cost of the district head elections. The opportunities of money politics and the more expensive cost of district head elections have also been encouraged by the proliferation of oligarchy, the centralization of party policy, and the fragility of the system of members and the party’s internal recruitment. The recruitment system of the district head election, that is not done in a democratic and transparent way, will invite money politics in the nomination process. The party leaders tend to set high tariffs in the nomination of a district head. They see this district head election as a source of income for the elite and the party organization. The cost spent in the nomination process is usually higher than the component of the campaign fund of the district head election. All four of these factors have caused the proliferation of money politics practices and the more expensive cost of district head elections. This condition will further erode the quality and moral integrity of the elected district heads. Because the selection system of district head elections that relies on the strength of money will incite the corrupt behavior of the head districts. A candidate for district head that does not have much money and has spent much in the elections surely thinks that the political costs must be recovered. At this point, the regional budget corruption will be a shortcut to recover the capital that has been used. Therefore, there are three aspects of the administration of the district head election that needs to be reorganized. First, the aspect of system implementation. It is necessary to pool the executive and legislative elections at the local level. There should be integration of the implementation of district head elections throughout Indonesia. If the executive and
  • 24. legislative elections are united, it means that there are only two elections, the national and local elections. The unification and integration of district head elections and Regional Legislative Council elections will obviously save money in the management, supervision or security of the elections. The separation of the national and local elections will also encourage local issues to appear on the surface, and that will be in accordance with the spirit of regional autonomy. Second, from the aspect of campaign funds, there should be necessary rules limiting the total spending and spending in the campaigns of district head elections. The expenditures of the candidates for district head elections should be limited to the implementation of the district head elections. This is to minimize the occurrence of corrupt practices in the regional budget, as the candidates for district heads tend to recover the capital when they are elected. The rules about the limitations of these expenditures should be regulated in the legislation. Third, from the political party point of view, the candidates of district heads should have internal awareness — which will be enforced through regulatory legislation — for the parties to implement the recruitment system of candidates for district heads democratically and transparently. This is to avoid money politics in the process of nomination by the party. Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute Source : The Jakarta Post, 27 August 2010
  • 25. Kerentanan Presidensial-Multipartai Written by Poltracking on 29 January 2014. Kerisauan publik atas problem efektivitas pemerintahan akibat banyaknya partai tecermin dalam hasil jajak pendapat Kompas, Senin (26/7). Mayoritas publik (94 persen) menyetujui jika jumlah parpol di Indonesia disederhanakan. Pasalnya, penyelenggaraan negara dengan model banyak partai seperti sekarang ini dalam kemasan sistem pemerintahan presidensial dianggap kurang efektif. Berbagai studi menunjukkan, paduan sistem presidensial dengan multipartai memang problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart (1997) bahwa presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hasil studi di Amerika Latin ini memunculkan pertanyaan penting bagi kita: bagaimana praktik presidensial-multipartai di Indonesia? Kerentanan multipartai Ternyata sistem presidensial produk amandemen konstitusi juga sulit diimplementasikan di atas struktur politik multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam presidensial-multipartai. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Ditambah lagi faktor personalitas dan karakter kepemimpinan presiden yang cenderung kompromistis dan akomodatif menyebabkan presidensialisme kian tereduksi dan dijalankan setengah hati (presidensialisme setengah hati). Kekhawatiran tentang kerentanan presidensial-multipartai terbukti selama lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta hampir satu tahun pemerintahan SBY-Boediono. Paling tidak ada empat fakta politik yang menjadi potret kerentanan multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet. Pada pembentukan dan reshuffle kabinet, parpol— terutama partai-partai di DPR—kerap memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi. Sebaliknya presiden cenderung selalu mengakomodasi kepentingan parpol. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai pendukung pemerintahan sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century potret paling anyar
  • 26. kerapuhan itu. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulit—perlu waktu terlalu lama— untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan akan selalu menjadi alat bagi partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden. Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment. Isu ”cabut mandat” pada masa SBY-JK dan ”pemakzulan” pada era SBY-Boediono cukup menguras energi politik bangsa. Menariknya, sikap kompromistis dan akomodatif SBY justru jadi faktor pengaman kursi kepresidenan dari ancaman itu. Meskipun kenyataannya ancaman-ancaman itu sulit terealisasi, bahkan mungkin tidak akan terjadi, ancaman semacam ini tetap saja akan memengaruhi efektivitas jalannya pemerintahan. Keempat realitas politik inilah bukti kerentanan presidensial-multipartai pada periode pertama ataupun kedua kepresidenan SBY. Bagaimana mengantisipasi situasi seperti ini? Di satu sisi multipartai merupakan keniscayaan dari pluralitas masyarakat dan kebebasan berpartai tetap harus dibuka. Namun, di sisi lain, multipartai ekstrem (jumlah partai sangat banyak) terbukti menyebabkan kerentanan dan ketidakefektifan sistem pemerintahan presidensial? Menuju ”dwipartai” Solusi jalan tengahnya, kebebasan mendirikan partai tetap dibuka, tetapi perlu segera didorong jadi multipartai sederhana, bahkan ”dwipartai” di parlemen. Sebab, dalam politik kesehariannya, presiden berhadapan dengan partai di parlemen, bukan partai-partai peserta pemilu. Oleh karena itu, yang perlu disederhanakan jadi sistem ”dwipartai” adalah partai di parlemen, bukan jumlah peserta pemilu, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin. Ada lima paket strategi penyederhanaan parlemen–penataan ulang desain institusi politik— melalui rekayasa institusional yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah melalui revisi UU Politik. Pertama, menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem campuran (mixed member proportional). Penerapan sistem distrik, tepatnya sistem First Past The Post (FPTP)—satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan—berdasarkan pengalaman beberapa negara terbukti ampuh mengurangi jumlah partai. Solusi alternatif jika sistem distrik masih mengalami resistensi adalah menggabungkan sistem distrik dan proporsional menjadi sistem campuran. Pengalaman Jerman menerapkan sistem pemilu campuran menarik untuk dijadikan pelajaran. Kedua, memperkecil besaran daerah pemilihan (district magnitude). Strategi memperkecil daerah pemilihan (dapil) secara evolutif juga akan menjadi katalisator menuju penyederhanaan parpol. Semakin kecil besaran dapil dan semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan, semakin kecil pula peluang bagi partai gurem mendapatkan kursi.
  • 27. Ketiga, menaikkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold). Peningkatan angka parliamentary threshold di Pemilu 2014 juga akan semakin menyederhanakan parlemen. Jika parliamentary threshold diterapkan secara konsisten, jumlah parpol akan terus berkurang secara alamiah sampai dengan jumlah yang ideal, sekitar lima partai di parlemen. Keempat, selanjutnya perlu penyederhanaan jumlah fraksi melalui pengetatan persyaratan ambang batas minimal pembentukan fraksi (fractional threshold). Idealnya hanya sekitar 3 atau 4, bahkan 2 fraksi saja di DPR agar pemerintahan berjalan lebih efektif. Kelima, tahapan selanjutnya, jika fraksi di parlemen masih lebih dari dua, fraksi di DPR perlu direkayasa dan ”dipaksa” secara konstitusional menjadi dua blok politik melalui regulasi koalisi permanen. Model dua kekuatan politik inilah strategi kita menuju sistem ”dwipartai” di parlemen, yaitu hanya ada dua blok koalisi besar permanen di parlemen: pendukung pemerintah dan di luar pemerintahan. Tujuan utama menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen menjadi ”dwipartai” agar proses politik lebih efisien dan stabil. Di luar itu pemerintahan juga perlu didukung personalitas serta gaya kepemimpinan presiden yang kuat. Dengan konstruksi presidensial seperti ini, harapannya proporsi energi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan bernegosiasi dengan partai, dengan begitu demokrasi akan lebih bermanfaat bagi rakyat. Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Sumber : Kompas, 28 Juli 2010
  • 28. The Golkar factional competition Who will replace outgoing Vice President Jusuf Kalla as the next chairman of Golkar when the party holds its congress in October? Some figures are certainly ahead in the race. They are, among others, Aburizal Bakrie (a business tycoon and the current chief welfare minister), media tycoon Surya Paloh, and upstart Golkar legislator Yuddy Chrisnandi. Finally, all of a sudden the youngest son of former president Soeharto, Hutomo "Tommy" Mandala Putra, also announced his intention to join the race. Tommy's sister, Siti "Tutut" Hardiyati Rukmana may also join her brother win the chairmanship of the party, which was founded by their father, Soeharto. Tommy's financial power will be able to change the party constellation. There are least possibilities for the congress. First, there could be four factions: Aburizal, Paloh, Yuddy and Cendana (the Soeharto clan). Of these four factions, Aburizal's and Paloh's seem to be the most prepared in terms of power and strategy. In addition, they meet all the organizational requirements. Second, there might only be three factions: Aburizal, Paloh and Cendana. This could happen if Tutut joins the race, while Tommy and Yuddy quit. Yuddy will likely support Tutut. All of them have similar power, political capital, personality, financial strength. With the political map like this, the three factions have relatively balanced power. Third, the race could crystallize into two blocs: Aburizal and Paloh. This could happen if the Cendana candidates are stopped by the party's rules. The next question is, if Tommy is hampered by the organizational requirements, to whom will he divert his support? It seems the Cendana clan do not want the Golkar Party to be controlled by Aburizal and his supporters (Akbar Tandjung, Agung Laksono and Ginandjar Kartasasmita), who are considered traitors by the Cendana clan. The family would throw their weight behind Surya Paloh. Therefore, the pattern of the Golkar congress five years ago in Bali would be likely happen again: a discourse that the Triple-A alliance (Aburizal, Akbar and Agung) would be matched by the new alliance of Paloh, Yuddy and Tommy/Tutut. If the Triple-A tend to direct Golkar to join the government, the alliance of Paloh-Tommy- Yuddy is based on similar ideas to make the party an independent one, free from power. If this alliance could be achieved, the convention will be interesting to see. In a situation like this, it is not impossible for Paloh to win the larger battle.
  • 29. Apart from the leadership issue, Golkar needs to remember it is experiencing a political famine. The indications were seen from the decline in votes from election to election during the reform era. In the 1999 elections, votes from Golkar decreased drastically from 74.1 percent to 22.3 percent. The percentage of votes dropped again in the 2004 elections, to 21.5 percent, and in the 2009 elections to 14 percent. The Golkar Party also failed in the presidential election of July 8, 2009, with candidate Kalla taking only 12 percent of votes. There are at least four diseases eroding away at the number of votes for Golkar in the 2009 elections. The diseases are supposed to be work for the new management. First, the political engine of the organization is less effective, because the elite are too busy enjoying the power. The political energy of the elite has been drained for external affairs, so the internal affairs lack attention. Second, the prolonged elite factionalism has led to the weakening of the organization. Since the fall of the New Order, divisions in Golkar continue to occur. In presidential elections from 1999 to 2009, the Golkar elite have never been united in their support of presidential and vice presidential candidates. Third, pragmatism has undermined the militancy of Golkar members, thus causing the political engine of the organization not to run optimally. Fourth is the decline in the quality of the recruitment system. The elite are too busy securing high positions in the government. As a result, many do not operate effectively. Some have jumped the fence, joining other parties. In addition, the pattern of recruitment of members is not based on the merit system, thus strengthening the practice of nepotism in the elite environment of the Golkar Party. Golkar needs to take major measures to stem its declining popularity among voters. First, reconciliation amongst factions. The momentum of defeat has to be used to consolidate the party. Second, the ideology of revitalization to improve the militancy of the party should not undermine the organization. Third, the regeneration of cadres should be conducted to refresh the party. Fourth, the restructuring of the organizational structure and the organizations under the party should also be performed. Fifth, the reorientation of the leadership of the party. The leadership of the party should also pay attention to internal matters. Therefore, Golkar's future leader should be visionary, transformative, innovative and qualified in performing managerial roles.
  • 30. Sixth, political repositioning should also be considered. By being outside the government, the Golkar Party will have the space and time to make corrections internally. The six agendas of this rescue can only be done by a leader who is oriented toward bringing independence to the Golkar Party. Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute Source : The Jakarta Post, 26 September 2009
  • 31. PAN congress: A momentum to round out SBY’s victory The National Mandate Party (PAN) is almost certain to elect Coordinating Economic Minister Hatta Rajasa as its new chairman, with strong backing from party founder Amien Rais. President Susilo Bambang Yudhoyono also clearly supports his close aide. Hatta has shown strong intent to control the PAN. In addition to being used for political bargaining when dealing with Yudhoyono, control of the party will minimize the potential opposition to the government. Yudhoyono has also an interest in keeping the PAN as a solid part of his coalition. Besides the Yudhoyono factor, Amien as the charismatic leader of the PAN will play a role in determining who chairs the party. Amien has an interest in gaining clout over the PAN leadership. Although Hatta’s chances are better than those of other contenders, winning the race without Amien’s consent would not be a perfect victory. Therefore the Amien factor can also be regarded as key in rounding out the victory. This factor is quite important in the race for party chairman. Based on experiences from the leadership race in the party’s 2005 congress, Amien gave his blessings to Soetrisno Bachir and shunned Hatta’s bid. However, his position and influence at this 2010 PAN congress are not as strong as in the previous congress, especially now with the Yudhoyono factor in the equation. Therefore Hatta’s chances of winning are safe. Hatta is also renowned as an accomplished lobbyist, an expert in political communication and a staunch supporter of Yudhoyono’s. Amien’s stance of challenging the PAN’s place in Yudhoyono’s coalition seems to be unrealistic. If he challenged Yudhoyono directly and lost, he would lose all credibility within the party. If Hatta wins the chair, as expected, the victory would complete Yudhoyono’s victory. The next question then becomes, who really won the competition? Officially, it would be Hatta.
  • 32. However, the real winner from the PAN congress would actually be Yudhoyono. The President’s position as chief patron of the Democratic Party clearly gives him some interest in increasing the party’s clout. One way to do this Democratic Party would be to check the development of other parties. Hence Yudhoyono’s move to call up the chairpersons of coalition parties to his Cabinet is a way of shoring up the government and keeping the parties under his influence. Therefore, if Hatta won the PAN chair, it would complete the power of the coalition supporting Yudhoyono. United Development Party (PPP) chairman Suryadharma Ali is already under the control of Yudhoyono, through his appointment as minister of religious affairs. The National Awakening Party’s (PKB) Muhaimin Iskandar is also towing the line, after being named the minister of manpower and transmigration. Tifatul Sembiring, the minister of information and communications, had been the chairman of the Prosperous Justice Party (PKS) at the time of his appointment, but has since stepped down from the party post. Golkar Party chairman Aburizal Bakrie a former coordinating economic minister and coordinating public welfare minister, is also close to Yudhoyono. Thus not only does Yudhoyono control the Democratic Party, he also controls other parties indirectly. In this context, the Democrats benefit from this situation, whereas the other parties are actually at a disadvantage. This means there is a risk the PAN will fall under the shadow of Yudhoyono, and in the long term this situation will taint the party’s image ahead of the 2014 elections. The PAN will no longer be perceived by traditional and potential voters as a party that carries the spirit of reform, should this image of being part of the ruling coalition persist. Even if the government’s image improves, the PAN will not share the improvement in image. This will affect the PAN’s chances at the polls in 2014. Writer : Hanta Yuda AR, Director Executive Pol-Tracking Institute Source : The Jakarta Post, 08 January 2010
  • 33. Golkar: Electoral strength and dilemma It is predicted the Golkar Party will have difficulty meeting the target to garner 30 percent of the votes in the 2009 elections, at least according to several poll results. In December 2008 the Indonesian Survey Institute (LSI) indicated that support for the Golkar Party had dramatically decreased to 13.3 percent, while support for the Democratic Party (PD) experienced a significant jump, to 23 percent. The position of Golkar is still below that of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), who has 17.7 percent. Golkar’s electoral strength is showing a decreasing trend. In the 1997 election, the last election of the New Order era, Golkar won an absolute victory, with 74.1 percent of the vote. In the 1999 election, Golkar’s vote dropped dramatically to 22.3 percent of the vote. Golkar’s percentage decreased yet again in the 2004 legislative elections, with only 21.5 percent of vote, while the PDI-P garnered 18.5 percent and Democratic Party (PD) 7.4 percent. As indicated by the LSI’s survey results of 13.3 percent, Golkar has fallen into a danger zone; it could go from having the status of a major political party to being just a medium-sized contender. (It is important to note however, that the LSI is also working for a major political party.) One interesting phenomenon is that as the support for Golkar decreases, the support for the Democrat Party is likely to rise significantly. Both parties are in fact governing parties. The Golkar Party is led by the Vice President, which suggests that the Democratic Party is more appealing than the Golkar Party. Why has this happened? If the government is considered successful, the popularity and the reelection chances of President Yudhoyono will increase, and this will have a positive impact on the perception of the Democratic Party: Its popularity will also increase. Meanwhile, Golkar will not necessarily get maximum sympathy from the people, perhaps because of the strategic position of Yudhoyono, which is considered greater than that of Jusuf Kalla and the Golkar Party. However, if the government is considered to have failed, the Golkar Party will still be directly affected. This is because the public cannot simply set aside the reality that Jusuf Kalla is the Vice President and his party supports the government: This could cause trouble for Golkar. Public support for the Golkar Party is not only influenced by external factors like the government’s popularity, but is also influenced by internal factors. There are two potential threats from inside the Golkar Party.
  • 34. First, the potential fractionalization among the elite. The fractionalization could undermine the solidity of the party, making it susceptible to internal conflicts, which would be counterproductive for Golkar in the 2009 election. Second, the pattern of undemocratic practices and aspirations. The Golkar Party still selects its leaders, especially the candidates for regional heads, on the basis of their economic contributions. On the other hand, the intervention of party officials from the central board (DPP) is still strong. The selection process of regional leaders does not apply transparent democratic principles; it still depends heavily on the desires of the party elite rather than those of the constituents. There are two possible scenarios for the Golkar Party in the upcoming elections. First, a fall in the number of votes in the legislative elections would have an impact on Jusuf Kalla’s leadership of the Golkar Party. Kalla would be perceived as the one most responsible for the defeat of Golkar. If this happens, the political bargaining power of Golkar in the presidential election race would decrease. Jusuf Kalla could benefit from this, as he could still run as a vice presidential candidate. Second, if the number of votes exceed that of the 2004 elections or reach 30 percent, the party would nominate its own presidential candidate, it could not simply nominate a vice presidential candidate, as this would undermine its political prestige. By strengthening the demand for Golkar to nominate its own prominent figure as a presidential candidate and not just a vice presidential candidate, this victory would create a dilemma for Jusuf Kalla. The popularity and electability of Jusuf Kalla are still in doubt; he may not be strong enough to compete with the other candidates. Golkar’s political strategy to overcome the political competition will be severely tested. The Golkar Party, which is ideologically a center party, has two strong competitors: The PDI-P and the Democrat Party. It is unlikely Golkar can obtain 30 percent of the vote. It seems more plausible that it will maintain the same number of votes as in 2004. In addition, Golkar’s electoral strength will also depend on the perception of voters, which is closely related to their strategy and the innovation of the image projection of the party. Without political innovation, the voters will have difficulty distinguishing the Golkar Party from other political parties. Writer : Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute Source : The Jakarta Post, 05 March 2009
  • 35. Problem Gigantisme Demokrat Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa faktor utama kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lebih disebabkan kuatnya daya magnet personalitas Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang faktor kinerja pengorganisasian mesin partai. Padahal, partai yang kelahirannya dibidani SBY ini belum genap berusia delapan tahun, tetapi berhasil meraih prestasi elektoral secara gemilang: menjadi pemenang pemilu legislatif—memperoleh suara 20,8 persen dan 148 kursi DPR— sekaligus memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran. Kemenangan spektakuler ini menjadi berita gembira, sekaligus kabar buruk bagi Partai Demokrat karena akan menjadi "ancaman" bagi masa depan partai. Pasalnya, postur politik elektoral—dukungan suara di pemilu—yang bongsor itu menyebabkan Partai Demokrat mengidap "politik gigantisme", suatu kondisi di mana postur elektoral partai sangat besar dalam waktu cepat, tetapi kondisi organisasi kurang sehat. Hal itu disebabkan bobot politik elektoral "meraksasa" dalam rentang usia yang relatif pendek, sementara postur kelembagaan—infrastruktur, jaringan, dan sumber daya organisasi—tidak sanggup mengimbanginya. Efek gigantisme Seperti halnya manusia yang mengalami gigantisme—kondisi kelebihan pertumbuhan, dengan besar dan tinggi tubuh di atas normal—berisiko menderita berbagai macam penyakit. Politik gigantisme —imbas dari popularitas dan elektabilitas SBY—yang dialami Partai Demokrat, tentu juga mengandung beberapa risiko komplikasi politik secara bervariasi: problem kepemimpinan akibat ketergantungan pada SBY, ancaman faksionalisme (konflik internal), krisis pengakaran partai, serta problem identitas partai. Problem kepemimpinan partai muncul akibat ketergantungan Partai Demokrat pada nama besar SBY. Hal ini memang menjadi "berkah politik", tetapi sekaligus akan menjadi "bencana". Menjadi berkah karena popularitas SBY berkontribusi "meraksasakan" bobot elektoral partai. Menjadi bencana karena secara kelembagaan partai jadi sangat bergantung kepada SBY. Jika dilihat dari perspektif institusionalisasi partai, ini jelas tak sehat. Kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan terpusat pada "keinginan" SBY sebagai pemilik "veto" di partai. Problem ini akan menjadi kendala terbesar bagi Partai Demokrat untuk bertransformasi menjadi partai modern dan demokratis.
  • 36. Ketergantungan terhadap sosok dan karisma SBY juga menyimpan potensi konflik dan faksionalisme internal. Posisi SBY sebagai "Bapak" bagi semua "kelompok" dan faksi politik di internal Partai Demokrat menyebabkan elite partai tidak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Kelemahan penyelesaian secara "adat"—pendekatan politik patron—menyebabkan sumber konflik itu sendiri tidak pernah tuntas. Kondisi seperti ini akan menjadi ancaman serius bagi Partai Demokrat ketika SBY tidak lagi memiliki kekuatan karisma dan kekuasaan. Kemunculan problem pengakaran partai juga disebabkan faktor utama kemenangan partai lebih disebabkan kuatnya popularitas dan elektabilitas figur SBY ketimbang prestasi pengorganisasian jaringan struktur partai. Hal ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat sesungguhnya didukung mayoritas massa mengambang (swing voters) sehingga basis konstituennya sangat cair, dan akar partai di masyarakat amat rapuh. Partai seperti ini akan lebih mudah menjadi partai mengambang dan cepat mengalami degradasi kekuatan elektoral. Problem identitas partai juga dialami Partai Demokrat sejak kelahirannya hingga menjadi pemenang Pemilu 2009 karena terpersonalisasi oleh sosok SBY. Sejak berdiri, partai ini sangat identik dengan SBY ketimbang identitas ideologis dan orientasi program. Wacana "nasionalis-religus" dan "partai tengah" yang diusung partai, tenggelam oleh persepsi bahwa "Partai Demokrat adalah partainya SBY". Lagi-lagi, dalam jangka pendek persepsi seperti ini memang menguntungkan, tetapi jadi ancaman dalam perspektif masa depan partai. Institusionalisasi Keempat problem internal inilah menyebabkan Partai Demokrat tidak kunjung terlembaga sebagai partai yang kuat dan modern, sementara postur politik elektoralnya telanjur mengalami gigantisme. Pada titik inilah, politik gigantisme menjadi problematik bagi masa depan Partai Demokrat. Oleh karena itu, kongres seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kelembagaan dan memodernisasi sistem internal partai. Paling tidak ada beberapa agenda institusionalisasi organisasi (memperkuat postur kelembagaan) untuk mengimbangi postur elektoral partai. Pertama, melakukan modernisasi organisasi dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial (modern party), sembari perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pada figur SBY. Kedua, mengakarkan partai di masyarakat melalui pengakaran program dan ideologi partai agar dapat diterima masyarakat, serta mengintensifkan hubungan antara partai dan konstituen (party rooting). Ketiga, menegaskan identitas partai melalui revitalisasi ideologi dan platform partai. Strategi "menjual" popularitas SBY mulai ditransformasikan dengan strategi menawarkan platform dan program yang menarik dan inovatif (bertransformasi menjadi partai berorientasi program dan kinerja).
  • 37. Keempat, reformasi dan demokratisasi sistem internal, terutama memperbaiki sistem kaderisasi dan mekanisme perekrutan. Hal itu terkait dengan sejauh mana partai mampu menciptakan prosedur internal yang demokratis dan memerhatikan faktor meritokrasi dalam sistem kaderisasi dan penjaringan. Jika merujuk peta politik menjelang Kongres Partai Demokrat II, kandidat ketua umum tampaknya telah mengerucut pada Andi Mallarangeng (47) dan Anas Urbaningrum (41). Seandainya kedua "darah muda" di Partai Demokrat ini berduet —sebagai ketua umum dan sekjen—maka dengan segala keunggulan dan potensi yang dimiliki keduanya akan menjadi angin segar bagi proses transisi dan transformasi Partai Demokrat menjadi partai modern yang berbasis pada sistem kelembagaan yang demokratis itu. Akhirnya, semua berpulang kepada SBY dan elite Partai Demokrat. Apakah kongres akan menjadi momentum untuk keluar dari problematik politik gigantisme— memperkuat kelembagaan partai—atau hanya sekadar ajang suksesi kepengurusan? Selamat berkongres! Oleh : Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Sumber : Kompas, 21 Mei 2010
  • 38. Reorientasi Koalisi Tiga partai mitra koalisi—Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan—berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintah sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR. Meskipun ketiga partai ini telah menandatangani kontrak koalisi dan mendapatkan jatah posisi menteri di kabinet, tetapi mengambil posisi diametral dengan pemerintah dalam voting Rapat Paripurna DPR tentang Angket Bank Century. Fenomena koalisi politik dua kaki seperti ini juga kerap dijumpai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) lima tahun silam. Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan SBY- Boediono sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—tetapi sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century menjadi potret paling anyar tentang kerapuhan itu. Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan: mengapa koalisi mudah retak (terancam pecah), padahal usia pemerintahan belum genap setengah tahun? Sumber keretakan Paling tidak ada empat jawaban—sumber keretakan koalisi dalam menyikapi kasus Century—yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, imbas dari kerentanan kombinasi sistem presidensial-multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi sistem presidensial justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi multipartai. Kebutuhan akan koalisi inilah yang menjadi pemicu awal sistem presidensial sering tampil dengan gaya parlementer (presidensialisme setengah hati), dan pemerintah kerap terserimpung oleh manuver politik dua kaki partai-partai, seperti halnya sikap Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century. Kedua, efek dari lemahnya ideologi partai dan kuatnya kepentingan pragmatisme untuk investasi politik 2014. Hal inilah yang menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, sangat oportunistis, dan pragmatis. Akibatnya, koalisi yang terbangun akan selalu rapuh dan cair karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatisme kekuasaan ketimbang kedekatan ideologi atau persamaan platform. Ketiga, akibat dari terlalu lenturnya kontrak koalisi. Kontrak politik yang seharusnya menjadi pengikat sekaligus pedoman dalam berkoalisi terlalu normatif dan general. Karena itu pula tidak mengherankan jika partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing- masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi. Keempat, implikasi dari akumulasi beberapa kekeliruan komunikasi politik SBY dan Partai Demokrat dengan mitra koalisi. SBY patut diakui sangat terampil membangun komunikasi
  • 39. publik—politik pencitraan—tetapi kurang pandai dalam mengelola komunikasi elite. Fungsi komunikasi elite yang sebelumnya sering diperankan JK kini menjadi celah kelemahan SBY. Hal ini diperparah beberapa pernyataan kontroversial—kurang bersahabat—dan gertak reshuffle yang dilontarkan beberapa politisi Partai Demokrat yang justru semakin merusak hubungan komunikasi dengan mitra koalisi. Reorientasi Karakter personal SBY yang sangat mementingkan keseimbangan (harmoni politik) dan ingin memuaskan semua pihak mendorongnya merangkul hampir semua partai ke dalam kabinet. Hal ini menyebabkan SBY dan Partai Demokrat terperangkap pada logika kuantitas, yaitu lebih sibuk memperbesar jumlah anggota koalisi ketimbang membina soliditasnya. Padahal, sebesar apa pun koalisi, tanpa membina soliditas dan memperbaiki aturan main dalam berkoalisi, partai-partai tetap berpotensi menjalankan politik dua kaki. Inilah salah satu kekeliruan orientasi koalisi yang dibangun SBY dan Partai Demokrat selama ini, terlalu terfokus pada orientasi kuantitas (merangkul partai sebanyak-banyaknya, tetapi tidak solid) ketimbang kualitas (kohesivitas dan soliditas koalisi). Karena itu, ke depan orientasi untuk memenuhi kebutuhan pengaman pemerintahan (politik sekuritas) perlu direvisi, dari orientasi kuantitas (persentase) ke orientasi kualitas (soliditas). Untuk konteks ini, me-reshuffle kabinet dan melibatkan PDI Perjuangan ke dalam koalisi tak begitu relevan karena tak ada jaminan koalisi akan lebih solid. Reorientasi koalisi ini juga perlu diikuti beberapa langkah praktis. Pertama, kontrak koalisi (MOU) perlu direvisi agar lebih konkret, jelas, dan disertai sanksi. Kedua, diperlukan forum koordinasi anggota koalisi yang bersifat permanen dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY atau setidaknya petinggi Partai Demokrat. Peran ini tidak lagi diserahkan kepada Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), yang justru dapat membuat ”ketersinggungan” partai-partai lain. Ketiga, mengubah strategi komunikasi ”gertakan” dan ”ancaman” menjadi lebih kompromistis dan dua arah (komunikasi simetris), dengan memperlakukan mitra koalisi sebagai pihak yang saling membutuhkan (simbiosis politik mutualisme). Di titik inilah sangat diperlukan keterampilan berkomunikasi dan seni berkompromi dalam membina soliditas koalisi. Sikap kompromistis SBY, yang dianggap sebagian pengamat sebagai kelemahan, justru akan menjadi kekuatan dalam memimpin koalisi. Memang hal ini akan mereduksi prinsip sistem presidensial, tetapi inilah konsekuensi yang harus ditempuh oleh Presiden yang berkuasa dalam sistem berdemokrasi yang belum sempurna (presidensialisme setengah hati). Kata kuncinya terletak pada tiga hal: komunikasi, koordinasi, dan kompromi. Oleh : Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Sumber : Kompas, 13 April 2010
  • 40. Too many parties weaken political leaders The General Elections Commission (KPU) has approved 18 new political parties to contest the 2009 general elections. There will therefore be a total of 34 political parties contesting next year's elections, compared to only 24 in the 2004 elections. The effort to simplify the multiparty system has failed. Some believe that a multiplicity of parties presents obstacles to the effectiveness of government. The combination of presidential and multiparty systems with many parties tends to generate political instability, making the President's position weaker. In a fragmented multi-party system, it is difficult for one party to form the basis for government. If there is no single powerful party, the possibility of a deadlock between the legislative and executive branches of government is also greater (Scott Mainwaring, 1993). This thesis is also illustrated in the case of the combined presidential and multi-party system in the SBY-JK administration. Interpellations have been frequently launched by the DPR (House of Representatives). The right of parliamentary questioning of the executive, combined with the threat of withdrawal of support have become the means for political parties to pressure the President. The combination of presidential and multi-party systems comprising many parties presents a difficulty. It has been shown to make democracy unstable. Referring to the study of Juan Linz and Arturo Velenzuela (1994) in Latin America, the Presidential system, superimposed on a multi-party structure with many parties may undermine the process of strengthening democracy, as it tends to create conflicts between the president and parliament. This thesis is strengthened by the argument of Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart (1997) that this combination also tends to form a divided government, in which the President will have difficulties in getting enough political support in parliament. The experience of Latin American countries shows that the combination of presidential and multi- party systems comprising a multiplicity of parties has sometimes led to political failures and helped create unstable democracies. The two-party system can actually be more flexible than a multiplicity of parties. The experience of some countries with two parties, alongside the presidential system, shows that it tends to produce a stable government, as in the United States. Two main parties alongside the parliamentary system also tends to produce stable government, as in the United Kingdom. The development of a multiplicity of parties in Indonesia tends to be illustrative of divergence and fragility. This has been so since 1998. On many occasions political parties
  • 41. have split into smaller parties. If the members of the parties do not agree, they just form a new party. The tendency of parties to fractionalize is related to weak ideology and weak membership. Undemocratic trends in the formation of political elites, alongside conflicting aspirations, often triggers the break-up of political parties, especially over selection of party leaders. Arguments over leadership and succession often generate discontent about mechanisms and decision-making. This is reinforced by the tendency of the political elite to come from, or become part of, a political oligarchy and the personalization of leadership roles in party organizations. Ideally, to maintain stability in a presidential system, the president should belong to the majority party, which is the party that is supported by the majority of seats in the parliament. This majority then strengthens the stability of the government and makes it easier for the President to get support from the parliament to launch political initiatives. This operating majority is difficult for the President to mobilize when there are many parties, unless the President can pull together a coalition. In a presidential system combined with a multiparty system with many parties, a coalition becomes a necessity and weak coalitions can lead to weak government. The fragility of coalitions can be caused by several factors. First, in a coalition, the parties' ideology or policy platform is not the main determining factor. Coalition-building relies more on balancing political interests. Second, the composition of parties in a coalition tends to be dynamic (reflecting relative strengths and election results). The composition of the cabinet reflects the shape of the coalition that supports the government. The presidential system ordained by the 1945 Constitution to be applied alongside the multi- party system tends to lead to political compromises. The nature and progress of the Yudhoyono-Kalla administration reflects these compromises. There are five detectable characteristics or trends tending to lead to compromises when the presidential system works in the context of a multi-party system comprising many parties. First, the underlying fragile coalition in the parliament. Second, the interventions and positions of the political parties combined with the President's accommodation of their interests in the course of cabinet formation. This tends to reduce the President's room for maneuver. Third, evolution of composition of the cabinet reflecting the shape of the coalition is difficult to avoid and leads to ministers having dual loyalties. Fourth, the extent of influence of parliament upon the government tends to be exaggerated and can undermine the stability of government (or lead to ups and downs in the relations
  • 42. between the government and parliament). Finally all of this can lead to some disharmony in relations between the President and the Vice President. The combination of a presidential and multi-party system with many parties will be complicated and produces an unstable democracy. This combination also tends to produce a minority president, with a divided government, where the President will find it difficult to get political support in the parliament. Writer: Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute Source: The Jakarta Post, 25 August 2008
  • 43. Again on independent candidates The discourse on independent candidates has led to a dispute. The small number of candidates, two, who will contest the Jakarta gubernatorial election has become one of the triggers in the debate. The possibility of independent candidates running for president in 2009 will also create dispute. However, the independent candidate proposal is not a new thing in Indonesian political discourse. Learning from elections of regional leaders in various areas in Indonesia, the nomination of candidates by political parties has been based on economic and pragmatic considerations, not on the long-term interests of the public. It is no secret that these days the nominations of candidates are based on who will provide the biggest economic advantage to the political parties. The tradition of independent candidates can be found in several countries in the world. For example, in the U.S. candidates from outside the Democratic Party and the Republican Party have participated in elections since the period of president Roosevelt in 1912. There was John B Anderson in 1980 and also Ross Perot in 1992. The nomination of independent candidates in the presidential system is different from that of a parliamentary system. The parliamentary system is applied in most European countries like England, the Netherlands and Germany. The role of parties is absolute in determining figures who will occupy leadership at the local and national levels. Hence, it is likely that career politicians with unwavering allegiance to the party will be tapped. Therefore, the problem of whether candidates will be determined by independent candidates or political parties comes from different logics between the presidential and parliamentary systems. The two logics overlap in the Indonesian political system. All presidential candidates should have the same opportunity. The participation of candidates without political party backgrounds will increase the level of competition. Of course, only candidates who have an emotional bond with their constituents will win the election. The more serious problem is to prepare bureaucrats to implement the rules. If an independent candidate were to win the presidential election, but there is no purification of the presidential system, the winner would be trapped in a deadlock with the legislative.
  • 44. Independent candidates will not be effective in doing their job because there is no strong support from the parliament. The case of President Susilo Bambang Yudhoyono is one example. Yudhoyono, who only has minor support in the parliament, is not as strong and as effective as he would be in a pure presidential system. The problem is exacerbated with the involvement of economic, security and prosperity dimensions. Indonesia has big security and economic problems to deal with that make the President's political position very vulnerable. The President should have a strong political position, guaranteed by the Constitution. The presidential system gives authority to the President to decide and implement the government's agenda. To strengthen the position of the President in a checks and balance function with Parliament, the president should be provided with veto power. Veto power gives the president the right in the legislative area to refuse draft laws sent by parliament to the President. But the parliament can cancel the veto (override) with majority support (about a two-third vote in the parliament). In the U.S., which adopts the disassociation system of power into the executive, legislative and judiciary, they control but do not dominate each other. The president has the veto right to kill laws proposed by the Congress. Besides the problems of independent candidates and the veto right for the president, to maintain stability in the presidential system, the president needs to have a strong personality, which is sustained by toughness, compromise, good lobbying and courage to use the prerogative rights according to the Constitution. Writer: Hanta Yuda AR, Executive Director Pol-Tracking Institute Source: The Jakarta Post, 12 July 2007
  • 45. Dinastitokrasi dan Oligarki Politik Kronisme dan nepotisme masih menjadi isu sentral politik era reformasi. Hal itu terlihat dari menguatnya kecenderungan para petinggi partai dalam menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Fenomena politik keluarga ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah (caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota). Cengkeraman elite Fenomena politik keluarga ini setidaknya disebabkan empat hal. Pertama, imbas dari sistem pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dan ketokohan sejumlah keluarga petinggi parpol diyakini dapat menjadi modal meraup suara. Kedua, potret kegagalan parpol dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga elite partai. Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekrutmen di internal parpol, terutama mekanisme dalam penentuan caleg. Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite parpol, terutama elite di tingkat pusat. Dari keempat faktor itu, yang paling dominan menyuburbiakkan politik keluarga adalah faktor keempat, kuatnya daya cengkeram kekuasaan elite. Maraknya politik keluarga di tubuh parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern dan demokratis. Dinastitokrasi politik tidak hanya akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar- benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai. Pada tahap itulah akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik di internal parpol. Realitas politik itu seolah menguatkan tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite.
  • 46. Memutus rantai Selain diperlukan perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal partai, agenda demokratisasi untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi politik adalah memutus mata rantai oligarki elite di tubuh partai. Ini terutama rantai proses kebijakan penentuan caleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftar caleg (hulu proses rekrutmen) maupun kekuasaan dalam menentukan caleg terpilih (hilir proses rekrutmen). Mekanisme penetapan caleg terpilih yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut berkontribusi dalam menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal itu terselamatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Untuk jangka panjang, keputusan MK ini akan memutus mata rantai oligarki elite parpol meski tidak serta- merta memberantas semuanya. Kewenangan elite partai yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih otomatis akan berkurang. Namun, cengkeraman kekuasaan elite partai masih cukup kuat dalam proses menyusun daftar caleg yang merupakan bagian hulu dari rantai kebijakan dalam proses rekrutmen caleg. Untuk memutus mata rantai oligarki yang kedua ini, penyusunan daftar caleg di parpol seharusnya dipilih lewat proses internal yang transparan, bukan lagi kewenangan penuh elite partai. Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemilu internal yang melibatkan kader dan konstituen partai untuk memilih bakal caleg atau pejabat publik dari suatu partai. Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh karismatik dan elite oligarki yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol. Sebelum takhta kekuasaan partai itu diserahkan kepada dinasti keluarganya, demokratisasi parpol merupakan agenda mendesak bagi masa depan kepartaian di Indonesia, setidaknya untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi dan oligarki politik. Oleh: Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Sumber: Kompas, 6 Februari 2009