1. MANUSIA MENURUT GAMBAR DAN RUPA ALLAH
Devanto Kurniawan Hinna Ndulla
STT Mawar Saron Lampung
Email : devantokurniawan4@gmail.com
Absatak
Manusia merupakan mahkuk ciptaan Allah yang sempurna. Manusia dikatakan sebagai
mahkluk yang sempurna diantara mahkluk ciptaan lainnya dikarenakan manusia diciptakan
segambar dan serupa dengan Allah. Hal tersebut jelas tertulis dalam kitab Kejadian. Allah
menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Allah, dan ini menyebabkan banyak
pandangan yang berbeda terhadap hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
mengenai pandangan yang benar tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan metode studi literatur. Hasil penelitian
mendapatkan bahwa manusia sebagai gambar dan rupa Allah adalah hal yang mutlak, karena
itu manusia layak dikatakan sempurna.
Kata Kunci: Alkitab, Ciptaan Allah, Gambar dan Rupa Allah,
Abstract
Humans are God's perfect creatures. Humans are said to be perfect creatures among other
created beings because humans are created in the image and likeness of God. This is clearly
written in the book of Genesis. God created man in the image and likeness of God, and this
has led to many different views on it. This study aims to explain the correct view of man as
the image and likeness of God. This research uses descriptive qualitative method with
literature study method. The results of the study found that humans as the image and likeness
of God are absolute, therefore humans deserve to be said to be perfect.
Keywords: Bible, God's Creation, Image and Likeness of God.
2. PENDAHULUAN
Teori evolusi merupakan teori yang dicetuskan oleh seorang ahli geologi yang
bernama Darwin, yang mengatakan bahwa semua mahkluk hidup yang ada didunia ini
berasal dari moyang yang sama dan mengalami perbuahan seriring dengan perkembangan
zaman, dan buah pikirannya itu menjadi sangat terkenal dan cukup menghebohkan sampai
masa sekarang. Namun hal tersebut menjadi suatu hal yang bertentangan dengan
kekristenan, hal tersebut bisa kita lihat dalam Alkitab yang mengatakan bahwa semua yang
ada dalam dunia ini berasal dari Allah. Mahkluk hidup di dunia ini, semuanya diciptakan
oleh Allah, dengan keberadaan dari tiap-tiap mahkluk hidup dapat memanfaatkan apa saja
yang ada dibumi ini. Mahkluk hidup tersebut terdiri dari manusia, hewan dan tumbuhan.
Manusia merupakan mahkluk hidup yang diciptakan segambar dan serupa dengan
Allah, atau lebih sering kita kenal dengan sebutan imago dei, kalimat ini dapat kita temui
dalam kitab Kejadian 1:26-27. Manusia diciptakan berbeda dengan mahkluk hidup yang
lainnya, bisa dibilang sebagai mahkluk yang paling istimewa diantara ciptaan lainnya.
Dikatakan berbeda karena manusia memiliki akal budi, yang dapat digunakan untuk berpikir
(menentukan hal yang baik dan yang jahat) serta dalam menentukan tindakan mana yang
harus dilakukan oleh diri manusia tersebut.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan
data-data tertentu dengan tujuan dapat dibuktikan,dideskripsikan, ditemukan dan
dikembangkan teori-teori yang sudah ada untuk bisa memahami ataupun memecahkan
masalah yang terjadi.
Maka dari itu, metode yang digunakan untuk mendukung judul tulisan ini adalah kulitatif
deskriptiptif dengan studi literatur, dimana penulis memahami setiap jurnal ataupun buku-
buku yang digunakan sebagai acuan atau sumber untuk bisa mendukung tulisan ini. Penulis
mengumpulkan berbagai sumber yang diangap relevan, seperti jurnal, majalah, buku,
makalah dan lainnya
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menjelaskan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang benar-benar
sempurna, namun dalam hal ini, kesempurnaan itu telah ternodai oleh dosa yang terjadi pada
nenek moyang manusia yaitu Adam dan Hawa dimana mereka adalah manusia pertama yang
diciptakan Allah. Manusia diciptakan Allah segambar dan serupa dengan-Nya, namun dari
3. hal ini timbul pandangan mengenai gambar dan rupa Allah ini. Banyaknya perbedaan
pendapat tersebut yang menjadikan adanya perbedaan pengajaran juga kepada jemaat-
jemaat Tuhan diberbagai denominasi gereja yang ada didunia ini. Dari hal inilah yang
menjadikan penulis memiliki keinginan untuk menulis jurnal ini. Penulis ingin menjelaskan
mengenai maksud dari gambar dan rupa Allah yang dimaksud dalam kitab Kejadian.
PEMBAHASAN
Ajaran tentang pemahaman manusia segambar dan serupa dengan Allah ini,
merupakan suatu ajaran yang sangat penting dalam teologi, sebab dengan gambar dan rupa
Allah ini, menjadikan manusia memiliki hubungan yang sangat istimewa dengan Allah.1
Dalam kata Ibrani menggunakan kata tselem yang diterjemahkan sebagai imago didalam
bahasa Latin, dan dalam bahasa Inggris image (gambar), kata tselem artinya ukiran, patung,
atau sebuah wujud yang kelihatan (segi jasmani).2
Adapun kata demuth yang berarti rupa
atau keserupaan yang dimiliki terhadap kualitas dari suatu objek tertentu. Dari kedua hal
tersebut bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan dari arti yang dimiliki dari kedua kata
tersebut, namun banyak pandangan yang mengatakan bahwa kedua hal tersebut merupakan
hal yang sangat berbeda, ditinjau dari kata yang ada dalam kejadian 1:26 yang menyebutkan
bahwa “Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya”,artinya manusia
sama dengan Allah, dari cara berpikir, kasih yang dimiliki, dan unsur-unsur yang lainnya.
Tetapi yang membedakan keduanya adalah dari segi kualitas yang ada pada keduannya,
dimana manusia tidak bisa menyamai kualitas yang dimiliki oleh Allah dikarenakan dosa
yang telah ada dari dulu sejak Adam ditaman Eden. Namun dalam ayat yang ke-27 hanya
menyebutkan “menurut gambar-Nya”, dari hal inilah maka timbul banyak perdebatan yang
mengatakan kedua hal ini adalah hal yang berbeda.
Adapun pandangan-pandangan yang ingin menjelaskan bahwasanya ada perbedaan
yang dimiliki oleh kata gambar dan rupa yang terdapat dalam penciptaan manusia dalam
kejadian 1:26-27 tersebut. Dan berikut merupakan pandangan-pandangan tersebut:
1. Pandangan Bapak-Bapak Gereja
Ada dua tokoh yang mengatakan bahwa “gambar” merujuk kepada tubuh
atau fisik yang dimiliki oleh manusia, sedangkan “rupa” lebih kepada sifat-sifat atau
1
Dolf Tiyono, “Memahami Imago Dei Sebagai ‘ Golden Seed ’” 1, no. 1 (2017): 39–54.
2
Stimson Hutagalung, “162-Article Text-469-1-10-20160407,” n.d.
4. kualitas spiritual yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia. Mereka adalah Irenius dan
Tertullian yang merupakan bapak-bapak gereja mula-mula.
Pelagius dan para pengikutnya, berpendapat bahwa, gambar hanyalah berkat
dari Allah yang merupakan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia sehingga mereka
bisa mengenal siapa itu Allah, dan hal tersebut bisa saja progresif dan bisa juga
statis.3
Dari beberapa pandangan diatas, sangat jelas bahwa adanya perbedaan diantara
kedua kata tersebut, dimana yang satu mengara kepada tubuh jasmani yang dimiliki oleh
manusia, sedangkan yang satunya adalah bagian rohani yang dimiliki oleh manusia. Tidak
hanya itu saja, aliran-aliran gereja juga banyak memberikan tanggapan terkait dengan kedua
kata tersebut:
1. Pandangan Gereja-Gereja
Pandangan Gereja Reformed Gereja-gereja Reformed yang mengikuti jejak Calvin
memiliki konsep yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang gambar dan rupa Allah jika
dibandingkan dengan Gereja-gereja Lutheran atau Gereja Roma Katolik. Akan tetapi
mereka juga tidak semuanya setuju pada isinya secara pasti, misalnya:
1. Dabney mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah tidak termasuk dalam segala
sesuatu yang mutlak esensial pada sifat manusia, sebab kehilangan gambar dan rupa
Allah itu akan membawa kehancuran sifat manusia; akan tetapi semata-mata dalam
beberapa kebetulan.
2. McPherson menegaskan bahwa gambar dan rupa Allah itu adalah milik sifat esensial
manusia. Jika gambar dan rupa Allah itu hilang, maka manusia akan berhenti
menjadi manusia. Dalam menjawab pertanyaan, apakah gambar dan rupa Allah
merupakan milik dari esensi manusia yang paling mendasar? Teologi Reformed
tidak ragu-ragu mengemukakan bahwa gambar dan ruPa Allah ini membentuk esensi
manusia. Akan tetapi teologi Reformed membedakan antara elemen-elemen dalam
gambar dan rupa Allah yang tidak mungkin hilang dari manusia tanPa berhenti
menjadi manusia, termasuk dalam kualitas esensial dan kekuatan dari jiwa manusia,
dan elemen-elemen yang dapat hilang dari manusia, tetapi tetaplah menjadi manusia,
yaitu kualitas etis yang baik dari jiwa dan kekuatannya. Gambar dan rupa Allah
3
Jermia Djadi, “Gambar Dan Rupa Allah” (1994): 3–7.
5. dalam arti sempit sama dengan kebenaran asali. Gambar dan rupa Allah ini adalah
kesempumaan yang mungkin hilang karena dosa.
Pandangan Gereja Lutheran
Konsep Gereja Lutheran yang masih dipegang sampai sekarang tentang gambar dan rupa
Allah berbeda secara materiai dengan konsep teologi Reformed. Teolog-teolog Lutheran
sebagian besar memiliki konsep tentang gambar dan rupa Allah dengan membatasinya
hanYa sebagai kualitas spiritual yang dikaruniakan kepada manusia, yaitu apa yang disebut
sebagai kebenaran asal. Manusia kehilangan gambar dan rupa Allah seluruhnya karena dosa
dan apa yang membedakan manusia dengan binatang-binatang secara teologis dan religius
tidaklah penting. Perbedaan besar antara keduanya terletak pada garnbar dan rupa Allah dan
sekarang manusia telah kehilangan gambar dan rupa Allah itu. Barth lebih dekat dengan
pandangan Gereja Lutheran, dia berkata bahwa gambar dan rupa Allah bukan saja
dirusakkan, tetapi menjadi hilang sama sekali karena dosa.
Pandangan Gereja Roma Katolik Orang-orang Roma Katolik sendiri tidak semuanya
memiliki konsep yang sama tentang gambar dan rupa Allah. Walaupun demikian, disini akan
dikemukakan hanya pendapat yang paling banyak diterima di antara mereka. Mereka
berpendapat bahwa ketika Allah menciptakan, Ia memberi manusia sejumlah karunia
natural, seperti: spiritualitas, jiwa dan kekekalan tubuh. Kerohanian, kebebasan
berkehendak, dan kekekalan adalah pemberian natural dan semua ini membentuk gambar
dan rupa alamiah manusia. Lebih jauh lagi Allah menyesuaikan kekuatan natural manusia
satu dengan yang lain, menempatkan yang lebih rendah di bawah yang lebih tinggi.
Keselarasan yang diperoleh kemudian disebut sebagai kebenaran asali. Akan tetapi tetaplah
tinggal dalam diri manusia suatu kecenderungan natural dari keinginan yang lebih rendah
serta nafsu-nafsu untuk melawan dan memberontak pada otoritas kekuatan yang lebih tinggi
dari pemikiran dan hati nurani. Kecenderungan itu sendiri bukanlah dosa, tetapi menjadi
dosa bila dilaksanakan dalam tindakan yang didorong oleh kehendak. Dalam upaya untuk
memungkinkan manusia untuk senantiasa menjaga sifat yang lebih rendah yang ada dalam
diri manusia, maka Allah menambahkan kesempurnaan supranatural kepada kesempurnaan
natural. Penambahan ini mencakup kesempurnaan supranatural dari kebenaran asali, yang
ditambahkan sebagai suatu pemberian asing bagi konstitusi asli manusia, baik secara
langsung pada waktu penciptaan maupun pada waktu selanjutnya sebagai anugerah karena
manusia memakai kekuatan naturalnya dengan tepat. Karunia-karunia supranatural ini
6. termasuk juga kesempurnaan supranatural dari kebenaran asali, kemudian hilang karena
dosa, tetapi ini tidaklah merusakan seluruh sifat esensial manusia.4
PERSPEKTIF ALKITAB
Melihat (dan memahami) manusia dari sudut pandang Alkitab, tidak sama dengan
cara pandang psikologi, sosiologi, dan filsafat. Alkitab (baca: teologi) melihat manusia
sebagai makhluk ciptaan yang utuh, yang terdiri atas tubuh dan jiwa/roh. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan sebuah keputusan ilahi yang luar biasa:
baiklah Kita menciptakan manusia menurut gambar-rupa Kita. Ia adalah ciptaan yang
mewarisi, tetapi juga sekaligus tidak mewarisi apa yang ada pada TUHAN. Dikatakan
‘mewarisi’ karena ia adalah makhluk yang mampu mewujudnyatakan cinta-kasih, keadilan,
kejujuran, kekudusan, dan lain sebagainya. Namun, di saat bersamaan (tanpa adanya jeda),
ia tidak bisa dikatakan makhluk yang maha adil, maha kudus, dan maha hadir. Ia tidak
mewarisi itu dari TUHAN. Ia punya kemampuan skill dan atau potensi (kuasa, pengaruh,
dst.). Tetapi itu tidak membuatnya untuk mengingkari naturnya sebagai ciptaan, bukan
Pencipta. Karena itu ia tetap akan terlihat sangat terbatas. Sebagai ciptaan Allah, manusia
tidak bereksistensi secara otonom atau independen. Soal-soal yang belakangan muncul
secara detail, dan sampai menimbulkan perdebatan panjang tentang diri dan potensinya—
apa dan bagaimana keduanya dipahami—adalah dampak dari pembahasan yang detail
tersebut.25 Artinya, Alkitab hanya menyebutkan bahwa manusia adalah pribadi yang utuh.
Atau mengutip pandangan Sihotang, “Manusia menjadi pribadi atau individu karena jiwa
dan badannya bersatu. Ia adalah jiwa yang berbadan (atau: bertubuh), dan badan (tubuh)
yang berjiwa.”5
Sekali lagi akan diulangi di sini bahwa Alkitab tidak bermaksud
memberikan peluang sedemikian luasnya untuk mempersoalkan siapa sebenarnya manusia
itu. Bahwa psikologi, sosiologi, filsafat, dan bahkan teologi dari perspektif ilmu
pengetahuan mendiskursuskannya adalah soal tersendiri. Semua diskursus yang lahir dari
disiplin ilmu di atas secara sederhana telah mengungkap fakta bahwa manusia bukanlah
ciptaan yang hanya terdiri atas unsur bendawi (tubuh) saja, melainkan juga unsur jiwa/roh.
Dari sudut pandang psikologi, yang menjadi perhatian adalah emosi dan afeksi. Rene
Descartes membuka pemahaman psikologi melalui ungkapan tertulisnya Cogito ergo sum
4
Djadi, “Gambar Dan Rupa Allah.”
5
Edward E Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH” 1, no. November (2019): 25–35.
7. (saya berpikir maka saya ada). Sihotang menengarai bahwa konsep persona menurut
Descartes diletakkan pada animus (atau jiwa).
Manusia juga adalah ciptaan yang dapat berelasi dengan baik dengan makhluk lain
(secara sosiologis). Berelasi dalam arti socius (menjadi sahabat). Ia mampu membangun
peradaban masyarakat dalam konteks yang berbeda. Misalnya, kebudayaan, bahasa, dan
suku. ‘Masyarakat’ adalah salah satu indikator yang kuat yang dapat dijadikan sebagai
wujud sosialitas manusia. Dari perspektif fislafat, pencarian jati diri manusia tertuju pada
pengakuan bahwa ia adalah ciptaan yang berhikmat/bijaksana. Ia bukan sekadar makhluk
ontologis (ber-ada).6
Kesadaran keber-ada-nya bukan saja melibatkan ‘diri-aku’, diri-
engkau’, tetapi juga ‘diri-dia’. Bahkan lebih dari itu, bukan sekadar adanya keterkaitan
‘diri—di sini’, namun juga ‘diri—di sana’. Relasi ke dalam dan ke luar, dalam ruang dan
waktu yang berbeda lahir dari sebuah pemikiran kritis dan berhikmat. Manusia mampu
melihat dirinya sebagai makhluk ‘metafisis’ (tak hanya terikat pada unsur tubuh/bendawi).
Di sinilah kemampuan manusia secara filosofis tampak begitu mengagumkan. Lebih dari
itu, manusia adalah ciptaan yang memiliki relasi dengan TUHAN.7
Relasi itu tidak
didasarkan pada naluri atau insting, seperti halnya pada hewan atau binatang, melainkan
pada kesadaran penuh bahwa ia adalah ciptaan yang segambar-serupa dengan Allah.
Pemaknaan relasi di atas lebih bersifat teologis, dari pada mendasarkannya pada aspek
psikologis, sosiologis, dan filosofis. Glen G. Scorgie tidak serta merta melihat bahwa
penciptaan manusia sebagai sebuah pembenaran bahwa TUHAN sangat memerlukan
manusia. Keserupaan dan kesegambarannya dengan Allah mengambil bagian pada Allah
Tritunggal yang berelasional. Karena itu menurut Scorgie, kita juga dirancang bagi sebuah
relationship yang mulia dan dinamis.8
Unsur rohani (spiritualitas) sangat krusial bagi manusia. Ia bukanlah sekadar sebuah
label yang menunjuk pada keunikannya. Menurut Sihotang, dengan dimensi rohani ini,
setiap manusia dapat menentukan pilihan yang berbeda, memiliki watak yang juga berbeda,
serta menghasilkan pikiran-pikiran yang mengagumkan. Dengan mengaitkan unsur rohani
kepada penentuan pilihan dan dihasilkannya pikiran-pikiran yang mengagumkan, maka
terlihat di sini ekspansi (perluasan) dari pengaruh spiritualitas manusia itu. Agak sulit
mengurung (atau membatasi) spiritualitas pada diri manusia, seperti seolah-olah ada periode
tertentu di mana spiritualitas itu timbul dan tenggelam. Tetapi, tidak bisa juga dianggap
6
Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH.”
7
Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH.”
8
Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH.”
8. keliru jika kerohanian manusia bermasalah, bila terjadi pemberontakan yang serius dari
manusia terhadap Penciptanya. Jika demikian halnya, benarkah apa yang dikatakan oleh Tart
bahwa “In spiritual language, we have lost the power, reality, and purity of our full nature;
we have gone through some kind of Fall from grace, so we live life in a narrow, constricted,
unhappy way?” Dengan kehidupan spiritualitas yang sehat dan benar, memungkinkan bagi
seseorang untuk mengenal dirinya dengan baik dan benar juga. Karena spiritualitas yang
sehat, juga benar itu, bertolak dari Allah sebagai Pencipta. Ini akan membawanya kepada
pengenalan akan Allah yang benar.9
Lalu pengenalan itu berdampak bagi pengenalan diri
manusia secara benar juga. Itu juga berarti bahwa segala potensinya akan tampak dengan
jelas dalam terang pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri sendiri. Dalam konteks
manakah tujuan pengembangan potensi diri digambarkan dalam Alkitab? Atau lebih
tepatnya, dalam orientasi apakah tuntutan pengembangan potensi diri dilakukan?
Secara implisit sudah disebut di atas bahwa ‘manusia’ sebagai ciptaan Allah telah
menegasikan pola hidup selfish (mementingkan diri sendiri), melainkan hidup berelasi, baik
dengan TUHAN maupun dengan sesamanya.10
Artinya, pengembangan diri dan potensinya
adalah perwujudan dari kasih kepada TUHAN. Kasih itu akan menempatkan TUHAN
sebagai yang pertama, lalu sesama manusia (orang lain, siapapun dia), dan yang terakhir
adalah diri sendiri. Inilah ordo (urutuan) pemahaman diri manusia. Benarlah perkataan rasuli
berikut ini: “Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri,
dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri” (Rm. 14:7). Dengan kata lain,
selama ia hidup, yang menjadi tujuan bukanlah keuntungan/kepentingan diri sendiri,
melainkan orang lain juga (1 Kor. 10:24). Bahwa manusia lebih mencintai diri sendiri adalah
suatu fakta yang tidak bisa disangkali (lih. 2 Tim. 3:2).11
Tselem dan Demuth
Ketika Allah menciptakan ciptaan lainnya, Allah menciptakannya menurut jenisnnya
artinya setiap jenis berasal dari jenisnya. Penciptaan ini jelas berbeda dengan penciptaan
manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dua kata yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah: tselem ( צלם ) dan demuth ( )דמות.12
9
Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH.”
10
Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH.”
11
Hanock, “POTENSI DIRI DAN GAMBAR-RUPA ALLAH.”
12
Tiyono, “Memahami Imago Dei Sebagai ‘ Golden Seed .’”
9. Dikatakan, bahwa ada dua saran telah dibuat untuk etimologi tselem, berasal dari
akar kata "memotong" atau "menebang," dibuktikan dalam bahasa Arab, atau dari akar kata
dalam bahasa Akkadia dan Arab, "menjadi gelap." Yang sebelumnya sesuai dengan ide
gambar fisik cukup baik, tapi sejauh tidak ada kata kerja dalam bahasa Ibrani Alkitab dari
akar ini yang dapat diklarifikasikan apakah yang dimaksud dengan penutur asli, artinya pasti
buram bagi mereka seperti untuk kita. Jadi, kata gambar tselem (Ibrani), image (Inggris),
berarti gambar yang dihias, suatu bentuk/figure yang representatif. Arti suatu gambar
memiliki bentuk atau pola tertentu13
. Hal ini bisa mengakibatkan kita cenderung berpikir
ada bentuk fisik Allah. Istilah tselem memang lebih mudah dimengerti dengan bentuk
materi-materi. Sementarai itu, demuth ()דמות memiliki arti pola (pattern), rupa, bentuk
(form, shape), sesuatu yang menyerupai (something like), gambar (image).14
Rupa atau demuth, memiliki makna yang transparan, memiliki akhiran yang
menyerupai kata benda abstrak dan jelas berkaitan dengan kata kerja damah yang berarti
menjadi seperti, menyerupai. Lalu apa sesungguhnya isi makna dari gambar dan rupa. Ada
beberapa pendapat yang dapat diajukan berkaitan dengan itu. Wenham menjelaskan bahwa
dua hal tersebut berbeda.
Dalam penafsiran tradisional gambar dan rupa dibedakan. Pendapat tersebut
setidaknya didukung Irenaeus pada tahun 180. Gambar mengacu pada kualitas alami dalam
diri manusia (alasan, kepribadian, dll) yang membuatnya menyerupai Tuhan, sementara rupa
mengacu pada rahmat supernatural, misalnya, etika. Sementara perbedaan ini mungkin
berguna, keduanya jelas tidak mengungkapkan makna aslinya. Pertukaran dari "gambar"
dan "rupa" (Kejadian 5: 3) menunjukkan bahwa perbedaan ini adalah asing dalam kitab
Kejadian, dan yang mungkin "rupa" hanya ditambahkan untuk menunjukkan nuansa yang
tepat dari "gambar" dalam konteks ini. Gambar mengacu pada kemampuan mental dan
spiritual bahwa manusia berbagi dengan penciptanya. Secara Intrinsik tampaknya
pandangan ini mungkin, tetapi sulit untuk dijabarkan kualitas yang dimaksudkan. Di antara
banyak saran, gambar Allah berada di alasan, kepribadian, kehendak bebas, kesadaran diri
manusia, atau kecerdasannya. Karena kurangnya referensi pada gambar ilahi dalam PL,
adalah mustahil untuk menunjukkan salah satu saran di atas. Dalam setiap kasus ada
kecurigaan bahwa komentator dapat membaca dengan nilai mereka sendiri ke dalam teks
seperti apa yang paling signifikan tentang manusia.15
Untuk alasan ini, sebagian besar
13
Tiyono, “Memahami Imago Dei Sebagai ‘ Golden Seed .’”
14
Tiyono, “Memahami Imago Dei Sebagai ‘ Golden Seed .’”
15
Tiyono, “Memahami Imago Dei Sebagai ‘ Golden Seed .’”
10. komentator modern telah meninggalkan upaya untuk mendefinisikan gambar, dengan
asumsi bahwa sifatnya terlalu umum untuk meminta definisi, atau mereka mencari petunjuk
lebih spesifik dalam Kejadian bagaimana gambar itu dipahami..
KESIMPULAN
Manusia merupakan mahkluk yang paling sempurna yang diciptakan Allah.
dikatakan sempurna karena dalam kejadian dikatakan bahwa manusia diciptakan segambar
dan serupa dengan Allah. Hal ini merupakan kebangaan tersendiri dari setiap manusia
karena menjadi mahkluk yang paling sempurna di antara ciptaan yang lainnya.
Manusia diciptakan memiliki akal dan budi, layaknya Allah juga memiliki kedua hal
tersebut, namun ada perbedaan yang dimiliki dari Allah dan juga manusia, yaitu Allah tidak
terbatas sedangkan manusia terbatas dalam setiap aspeknya. Hal tersebut terjadi karena dosa
yang telah ada dalam kehidupan manusia, yang berasal dari manusia pertama yang
diciptakan yaitu adam dan juga hawa. Hal tersebut yang menyebabkan manusia menjadi
terbatas.
Banyak pendapat yang mengemukakan manusia, dan lebih spesifik berbicara tentang
gambar dan rupa Allah. mulai dari pendapat dari gereja-gereja, para teolog-teolog, dan hal-
hal sebagainya. Ini menjadikan banyaknya pemahaman yang muncul tentang gambar dan
rupa Allah yang ada dalam kitab Kejadian tersebut. Namun sebagai orang kristen, kita tetap
menganggap semuanya itu adalah pandangan-pandangan yang tidak boleh dijadikan
perdebatan dan jadikan sebagai bahan pembelajaran. kita juga harus percaya bahwa kitalah
manusia yang smepurna, yang diciptakan Allah seturut dengan gambar dan rupa-Nya.
Allah mengasihi setiap manusia, dan Allah juga telah memberikan manusia tugas
untuk bisa memelihara bumi yang diciptakan-Nya. Allah tidak pernah berhenti berkarya,
meskipun kita tidak bisa melihat secara langsung penciptaan yang Allah lakukan, namun
kita percaya bahwa Allah selalu menyertai kita sebagai manusia yang sempurna.