2. kitab Nizham al-Islam merupakan kitab yang
mencoba menggambarkan sistem kehidupan
Islam (nizham al-islam) secara komprehensif
dalam sebuah sistem Khilafah. Namun
sebagaimana Rasulullah SAW dahulu
menegakkan pemerintahan Islam berdasarkan
Aqidah Islam, Hizbut Tahrir pun meneladani
Rasulullah SAW dengan menjadikan Aqidah
Islam sebagai pondasi bagi sistem kehidupan
Islam itu.
3. THORIQUL IMAN
menjelaskan bagaimana metode
memperoleh keimanan yang benar, yaitu
diperoleh dengan jalan berpikir cemerlang
(mustanir), bukan lewat jalan wijdan
(naluri) semata. Dengan kata lain, Aqidah
Islam hendaknya didasarkan pada dalil
akli, bukan hanya didasarkan pada naluri
fitri (h. 8-9).
4. Berdasarkan dalil akli itu yang digunakan untuk
memahami bukti-bukti empiris, akan diperoleh
iman adanya Allah, iman bahwa Al-Qur`an
kalamullah, dan iman bahwa Muhammad SAW
rasul Allah. Ketiga perkara keimanan inilah yang
selanjutnya menjadi dasar penetapan dalil nakli
(Al-Qur`an dan As-Sunnah) untuk mengimani
perkara-perkara yang gaib, seperti adanya Hari
Kiamat, surga, neraka, malaikat, jin, setan, dan
sebagainya (h. 12).
5. materi Aqidah seperti Thariqul Iman tersebut
sebenarnya bukanlah semata-mata materi
mengenai Aqidah Islam an sich. Lebih dari itu,
materi Thariqul Iman ingin meletakkan Aqidah
Islam sebagai landasan bagi ideologi dan
peradaban Islam (h. 13). Jadi, materi Thariqul
Iman ini agak berbeda fokusnya dengan
pembahasan berjudul Al-Aqidah al-Islamiyah
dalam kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz
I.
6. dalam materi Thariqul Iman, Syaikh an-Nabhani
hendak mengkontekstualisasikan Aqidah Islam
dalam realitas masa kini, yakni meletakkan
aqidah Islam sebagai asas ideologi dan
peradaban Islam. Hal ini dikarenakan Islam
telah kehilangan sifatnya sebagai idelogi dan
peradaban, setelah Khilafah Islam di Turki
tahun 1924 dihancurkan oleh Mustafa Kamal
Ataturk yang murtad.
Di sinilah keistimewaan materi Thariqul Iman.
Ia bukanlah semata penjelasan Aqidah Islam,
melainkan juga peletakan Aqidah Islam dalam
sebuah konteks ruang dan waktu tertentu pada
saat kaum muslimin hidup di bawah tindasan
ideologi-ideologi asing di abad ke-20 ini.
7. Pada titik inilah kita dapat memahami mengapa
banyak para aktivis Hizbut Tahrir yang
kemudian men-syarah lebih jauh materi
Thariqul Iman menjadi banyak kitab yang
membicarakan kebangkitan. Tercatat ada kitab
Thariqul Iman karya Samih Athif az-Zain
(1983), kitab an-Nahdhah karya Ustadz Hafizh
Shalih (1988), dan kitab Usus an-Nahdhah ar-
Rasyidah karya Ahmad al-Qashash (1995).
9. Adapun materi Qadha`-Qadar, menjelaskan
bagaimana kita memahami persoalan Qadha`-
Qadar secara tepat dan proporsional, di tengah
perbedaan pendapat dalam persoalan ini pada
kalangan Jabariyah, Mu’tazilah, dan Ahlus
Sunnah (h. 14-21). Yang fundamental, Syaikh
an-Nabhani meletakkan paradigma baru dalam
pembahasan Qadha`-Qadar. Yaitu, membahas
perbuatan manusia secara relevan dengan
pahala dan dosa, bukan lagi membahas
perbuatan manusia dari segi-segi lain yang
tidak relevan dengan pahala dan dosa,
misalnya dari segi penciptaan perbuatan (khalq
al-‘af’al) dan tertulisnya perbuatan manusia
dalam Lauhul Mahfuzh (h. 15).
10. Maka Syaikh an-Nabhani lalu
menelaah fakta perbuatan manusia
itu dari segi apakah manusia dipaksa
untuk berbuat (musayyar) atau diberi
hak pilih (mukhayyar). Fakta
menunjukkan, ada dua jenis
perbuatan manusia,YAITU:
11. Pertama, adakalanya manusia itu musayyar,
misalnya ia tidak bisa terbang dengan tubuhnya
sendiri atau ia mengalami suatu kecelakaan di
luar kuasanya. Segala perbuatan atau fakta di
saat manusia berstatus musayyar inilah yang
disebut Qadha`. Yang menetapkan Qadha`
adalah Allah dan manusia tidak akan dihisab
tentang Qadha` dari Allah itu. Tidak ada
perhitungan dosa dan pahala di sini.
12. Kedua, adakalanya manusia mukhayyar,
misalnya ia makan nasi, minum khamr, mencari
nafkah dengan jalan mencuri, sesuai kehendak
dan pilihannya sendiri. Di sinilah manusia
dikatakan telah memanfaatkan Qadar, yakni
karakter khusus yang melekat pada segala
sesuatu, misalnya sifat menghasilkan kalori
pada nasi, atau adanya hasrat ingin memiliki
harta (hubbut tamalluk) pada naluri manusia.
Yang menetapkan Qadar adalah Allah semata,
namun manusia tetap akan dihisab tentang
pemanfaatan Qadar dari Allah itu. Tetap ada
perhitungan dosa dan pahala di sini (h. 18-19).
14. Materi ini pada dasarnya
membicarakan dua hal. Pertama,
melakukan studi komparatif pada
dataran normatif (konseptual) antara
ideologi Kapitalisme, Sosialisme, dan
Islam. Kedua, melakukan studi
historis-empiris untuk menjelaskan
penerapan ideologi Islam sepanjang
sejarah umat Islam.
15. Pada studi komparatif-normatif itu, Syaikh an-
Nabhani memaparkan secara meyakinkan
bahwa ideologi Islam lebih unggul daripada
Kapitalisme dan Sosialisme. Beliau menjelaskan
hal itu dengan membandingkan aqidah (asas
ideologi) masing-masing ideologi. Berdasarkan
kriteria umum bahwa suatu asas ideologi
haruslah memuaskan akal, sesuai fitrah, dan
menentramkan hati, terbukti bahwa asas
ideologi Kapitalisme (yakni sekularisme) dan
asas ideologi Sosialisme (yakni materialisme)
telah gagal memenuhi kriteria tersebut. Hanya
asas ideologi Islam (yakni Aqidah Islam) yang
mampu lulus dari batu ujian berupa ketiga
kriteria universal itu (h. 42-43).
16. Keunggulan Islam juga didasarkan pada
perbandingan pada aspek-aspek lainnya,
yaitu (1) bagaimana lahirnya peraturan
hidup dari aqidah, (2) standar perbuatan,
(3) pandangan terhadap individu dan
masyarakat, dan (4) pandangan terhadap
metode
17. penerapan peraturan hidup (h. 34-39).
Sementara studi historis-empiris yang dilakukan
Syaikh an-Nabhani, dilakukan untuk menjawab
satu pertanyaan kritis,"Kalau ideologi Islam itu
satu-satunya yang benar, apakah ia pernah
diterapkan dalam kenyataan?" Di sinilah Syaikh
an-Nabhani lalu membentangkan penerapan
Islam sebagai ideologi dan prestasi-prestasi
keberhasilannya dalam rentang sejarahnya
yang panjang, sejak tahun 622 ketika
Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah hingga
tahun 1917 ketika Daulah Islam yang terakhir
jatuh di tangan penjajah (h. 43-44)
18. Adapun materi-materi selanjutnya, semuanya
adalah uraian lebih jauh tentang hal-hal yang
terkait dengan materi al-Qiyadah al-Fikriyah.
Mungkin kita bertanya, bagaimana metode
mewujudkan kembali Islam sebagai sebuah
kepemimpinan ideologi (al-Qiyadah al-Fikriyah)
dalam Khilafah? Jawabannya ada pada materi
tentang cara mengemban dakwah Islam
(Kaifiyah Haml ad-Da’wah al-Islamiyah) pada
halaman 58-62.
19. Materi-materi selanjutnya semakin merinci
bagaimana wujud sistem kehidupan Islam itu,
termasuk perbedaan kontrasnya dengan gaya
kehidupan Barat. Materi al-Hadharah al-
Islamiyah (h. 63 dst) dan materi Nizham al-
Islam (h. 69 dst) menerangkan perbedaan
tajam antara sistem kehidupan Islam dan
sekularisme.
20. Materi-materi selanjutnya menjelaskan
hukum syara’ (yang terpancar dari Aqidah
Islam) sebagai substansi peraturan dalam
sistem kehidupan Islam (h. 75-79). Teori-
teori umum seperti definisi dan macam-
macam hukum syara’ kemudian dilanjutkan
dengan rincian secara mendetail mengenai
penerapan sistem kehidupan Islam secara
nyata. Ini dijelaskan dalam bab Masyru’ ad-
Dustur, sebuah rancangan konstitusi negara
Khilafah yang terdiri dari 186 pasal (h. 90-
128).
21. Kitab Nizham al-Islam ditutup dengan bab
Akhlaq. Bab ini menjelaskan posisi akhlaq
dalam Islam dan peran akhlaq dalam
masyarakat serta bahaya berdakwah focus
pada akhlak (h. 129-132).