1. i
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN.................................................................................. 4
1.1. Latar Belakang............................................................................. 4
1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 6
1.3. Tujuan........................................................................................... 8
1.4. Kegunaan..................................................................................... 8
2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 10
2.1. Penelitian Terdahulu .................................................................. 10
2.2. Perikanan ................................................................................... 11
2.3. Unit Penangkapan Ikan.............................................................. 13
2.4. Ekonomi Wilayah........................................................................ 21
2.5. Produk Domestik Regional Bruto............................................... 25
2.6. Konsep Basis Ekonomi.............................................................. 29
2.7. Location Qontient (LQ)............................................................... 29
2.8. Shift Share.................................................................................. 31
2.9. Faktor Pengganda (Multipllier effect)......................................... 32
4.3.1 Efek Pengganda Pendapatan Wilayah .................................. 33
4.3.2 Efek pengganda tenaga kerja ................................................ 34
2.10. Komoditas Unggulan.................................................................. 35
2.11. Kerangka Berfikir........................................................................ 36
3. METODOLOGI................................................................................... 39
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian.................................................... 39
3.2. Jenis Penelitian .......................................................................... 39
3.3. Batasan Masalah........................................................................ 39
3.4. Jenis dan Sumber Data.............................................................. 40
3.5. Metode Pengampilan Sampel.................................................... 41
3.6. Metode Pengambialan data ....................................................... 41
3.7. Metode Analisis Data................................................................. 42
3.7.1. kontribusi perikanan tangkap terhadap Pendapatan Daerah
Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Malang .................................. 42
3.7.2. Dimana posisi subsektor perikanan tangkap dalam kategori
basis ekonomi? .................................................................................. 43
3.7.3. Multiplier Effect yang dihasilkan oleh subsektor perikanan
tangkap di Kabupaten Malang ........................................................... 44
2. ii
3.7.4. Produk perikanan tangkap yang menjadi ungulan............. 45
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 46
4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lamongan .................................... 46
4.2. Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Malang......... 46
4.3. Kondisi Perekonomian Kabupaten Malang ............................... 46
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).......................... 46
4.3.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita........ 46
4.4. Peranan Subsektor Perikanan Tangkap Kabupaten Malang.... 46
4.4.1. LQ Subsektor Perikanan Tangkap ..................................... 46
4.4.2. LQ Subsektor Perikanan Tangkap Berdasarkan PDRB .... 46
4.5. Kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap Kabupaten Malang . 46
4.6. Dampak Subsektor Perikanan Tangkap Kabupaten Malang .... 46
4.6.1. Multipplier Effect Subsektor Perikanan Tangkap
Berdasarkan PDRB............................................................................ 46
4.6.2. Multipplier Effect Subsektor Perikanan Tangkap
Berdasarkan Tenaga Kerja ................................................................ 46
4.7. Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Kabupaten Malang .. 46
4.8. Produktifitas Unit Penangkapan Ikan Di Kabupaten Malang .... 46
4. 4
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah Indonesia saat ini sedang menggalangkan Indoensia
menjadi poros maritime dunia. Hal ini bisa dilihat dari adnya kebijakan
fiscal maupun non-fiskal yang tujuannya menigkatkan kesejahteraan
rakyat, tertama rakyat nelayan, meskipun demikian kebijakannya tidak
mengabaikan kelestarisan sumberdaya contohnya pembatasan alat
tangkap. Tujuan dari diberlakukan kebijakan yang telah dilakukan
adalah meningkatnya kontribusi dari sektor perikanan seperti;
meningkatnya lapangan kerja, ekspor dan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) (Samosir, 2014).
Dalam sektor perikanan, jumlah tangkapan tidak selalu
berbanding lurus dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
diperoleh Negara. Seperti misalnya produksi perikanan tangkap pada
tahun 2014 sebesar 6,70 ton lalu pada tahun 2015 sebesar 6,52 ton
sementara nilai produksinya angka sementara pada tahun tahun 2014
sebesar Rp 108,33 triliun kemudian pada tahun 2015 sebesar Rp 116,31
triliun. Jika dilihat peningkatan produksi dengan nillai produksi maka
terlihat tidak berbanding lurus.
Menurut data KKP tahun 2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dari sektor perikanan tangkap KKP bersumber dari penerimaan
Sumber Daya Alam (SDA) tahun 2014 Rp 214.445.203.505 tahun 2015
turun Rp 77.476.601.001. sementara untuk non SDA tahun 2014 sebesar
Rp 52.955.974.186 lalu 2015 sebesar Rp 59.624.880.004 (Kementrian
5. 5
Kelautan Dan Perikanan, 2015). Bila dilihat data tahun 2015 penerimaan
sebesar Rp 59.624.880.004 sementara nilai produksi perikanan tangkap
Rp 116,31 triliun berarti hanya 0,051 % yang masuk APBN. Persentase
ini tergolong kecil dibandingkan 2011 sebesar 0,26 %.
Padahal pedapatan yang dihasilkan tersebut akan dikembalikan
ke masing-masih daerah untuk pembangunan. Dengan demikian perlu
adanya pengoptimalan sektor perikanan terutama perikanan tangkap di
daerah sehingga dapat menigkatkan pendapatan, salah satu daerah
dengan potensi perikanan tangkap yang besar adalah Kabupaten
Malang.
Kabupaten Malang terletak di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten
Malang memiliki luas wilayah 3.534,86 Km2
menjadikan Kabupaten
Malang mejadi Kabupaten terluas kedua setelah Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Malang dibagi menjadi 33 kecamatan, 378
Desa, 12 Kelurahan. Kabupaten Malang dikenal sebagai daerah yang
kaya akan potensi alam diantaranya potensi pertanian, perkebunan,
perikanan dan lain sebagainya (Kabupaten Malang, 2016).
Dengan begitu banyaknya potensi yang dimiliki, Kabupaten
Malang mempunyai banyak sumber ekonomi yang bisa dikembangkan
salah satunya subsektor perikanan. Begitu pentingnya subsektor ini
membuat subsektor perikanan masuk kedalam kategori primer dalam
pembagian PDRB menurut lapangan usaha. Berdasarkan data statistik
ekonomi Kabupaten Malang, data sementara PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) subsektor perikanan berdasarkan lapangan usaha
6. 6
Tahun 2015 menyumbang sebesar Rp 1,203.78 Miliar atau
menyumbang 1,9 % (BPS Kabupaten Malang 2016).
Salah satu potensi perikanan yang ada di Kabupaten Malang
adalah perikanan tangkap. Potensi perikanan laut terdapat di 6 wilayah
kecamatan, yaitu Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Donomulyo,
Tirtoyudo, Bantur, Ampelgading dan Gedangan sedangkan sentra
perikanan tangkap berada di Pantai Sendangbiru Kecamatan
Sumbermanjing Wetan (DKP Kabupaten Malang, 2013). Pada tahun
2011 produksi perikanan tangkap mencapai 9.946,30 ton terdiri dari
perikanan tangkap laut sebesar 9.581,88 ton dan perairan umum 304,42
ton, sedangkan pada tahun 2015 produksi perikanan tangkap mencapai
11.727,62 ton atau meningkat 17,9 %, terdiri dari penangkapan ikan di
laut sebesar 11.318,93 ton atau meningkat 18,1 % dan perairan umum
408,09 ton atau meningkat 34,05 %. Jumlah ini terus mengalami
kenaikan dari tahun 2011 – 2015 (DKP Kabaupaten Malang, 2016).
Dengan melihat data perkembangan perikanan tangkap yang
cukup besar dan terus mengalami penigktan, maka subsektor perikanan
tangkap perlu dikembangkan lagi dengan melihat dampaknya bagi
PDRB. Sehingga kebijakan yang berhubungan dengan perikanan
tangkap bisa dikembangkan lagi. Sehingga subsektor ini akan menjadi
fokus dalam penelitian, terutama subsektor perikanan tangkap di
Kabupaten Malang yang masih memiliki potensi untuk dikebangkan.
1.2. Perumusan Masalah
Subsektor perikanan tangkap di Kabupaten Malang memiliki
potensi untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan secar optimal,
7. 7
terutama kontribusinya terhadap PDRB. Data PBRB Kabupaten Malang
tahun 2011-2015 berdasarkan harga berlaku menurut lapangan usaha,
nilai subsektor perikanan terus mengalami peningkatan bahkan
persentase nya juga mengalami peningkatan hal ini menunjukan tren
positif dan harus terus dijaga dengan cara menemukan strategi atau
membuat komoditas unggulan baru yang bisa dikembangkan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui peran
dampak subsektor perikana tangkap Kabupaten Malang, serta mencari
tahu dengan besarnya potensi perikana tangkap yang tersedia telah
memberikan kontribusi nyata terhadap PDRB di Kabupaten Malang dan
menjadi basis ekonomi dari segi pendapatan wilayah. Penelitian ini juga
akan menjawab pertanyaan tentang komoditas hasil tangkapan apa saja
yang dapat dikembangkan di Kabupaten Malang sehingga dapat
diketahui produktivitas unit penangkapan ikan yang dapat dikembangkan.
Permasalahan yang akan dibahas yaitu :
1) Dimana posisi subsektor perikanan tangkap dalam kategori basis
ekonomi?
2) Bagaimana kontribusi perikanan tangkap terhadap Pendapatan
Daerah Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Malang ?
3) Bagaimana dampak yang dihasilkan oleh subsektor perikanan
tangkap di Kabupaten Malang?
4) Apa saja produk perikanan tangkap yang menjadi ungulan?
8. 8
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan di Kabupaten Malang
ini sesuai dengan dengan masalah yang telah dirumuskan yakni:
1) Menganalisis posisi subsektor perikanan tangkap dalam kategori
basisi ekonomi.
2) Menganalisis kontribusi perikanan tangkap terhadap Pendapatan
Daerah Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Malang
3) Menganalisis multiplier effect yang dihasilkan oleh subsektor
perikanan tangkap di Kabupaten Malang.
4) Menganalisis produk perikanan tangkap yang menjadi ungulan.
1.4. Kegunaan
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi :
1. Pengusaha
Sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam meningkatkan dan
pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Malang
khususnya.
2. Akademisi (Perguruan Tinggi dan Mahasiswa)
Sebagai sumber pengetahuan dan referensi untuk penelitian di waktu
yang akan datang.
3. Instansi Pemerintahan
Sebagai sumber pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam
rangka menigkatkan ekonomi daerah. Melalui pemanfaatan
suberdaya yang ada.
4. Masyarakat Umum
9. 9
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk membuka usaha.
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dengan judul Peran Dan Dampak Subsektor Perikanan
tanngkap Terhadap Ekonomi Wilayah, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini
akan dilaksanakan pada bulan Februari 2017. Jadwal pelaksanaan
Penelitian sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Table 1. Waktu Pelaksanaan
NO Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
Januari 2017 Februari 2017 April 2017
I II II IV I II III IV I II III IV
1 Penyusunan
Proposal
√ √ √ √
2 Penelitian
√ √
3 Penyusunan
Laporan
√ √ √ √ √ √
10. 10
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian Ikawati (2013), dengan judul Pengaruh Investasi
Swasta Dan Tenaga Terhadap PDRB Sektor Pertanian, subbsektor
Tanaman Pangan, Perkebunan, Perternakan, dalam penelitian dikatakan
bahwa untuk menciptakan ketahanan nasional syarat penting adalah
perbaikan sektor pertanian disamping energy dan finansial karena
kontribusi PDB dari sektor pertanian saat ini masih sebesar 15 persen
dibawah industri manufaktur. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh investasi swasta dan jumlah tenaga kerja terhadap ekonomi
dari sektor pertanian. Metode yang digunakan Generalized Least Square
(GLS) untuk melihat pengaruh jumlah tenaga kerja , PMA dan PMDN
terhadap masing-masing sub-sektor. Hasil pengukuran menggunakan
PMA dan PMDN serta tenaga kerja berperan dalam mendorong kinerja
PDRB pada sektor pertanian, perkebunan, tanaman pangan dan
perternakan dengan masing-masing metode menunjukan nilai 0.020-
0.039 dan 0.031-0.065.
Peneleitian Quintero (2007) dengan judul Regional Economic
Development: An Economic Base Study and Shift-Share Analysis of Hays
County, Texas. Penelitian ini dilakukan pada kota Hays, Negara bagian
Texas Amerika Serikat yang memiliki permaslahan yakni koata Hays
merupakn kot yang sedang berkembang dan perlu adanya analisis
mengenai kekuatan atau peluang sektor yang bisa dikembangkan dan
menjadi basis. Metode yang digunakan ada dua yakni location quotie
11. 11
dan shift share. Temuan penelitian menyimpulkan bahwa Hays County
adalah berkembang pesat daerah terutama tergantung pada ritel,
perawatan kesehatan dan bantuan sosial, dan sektor manufaktur untuk
memajukan dan mempertahankan pembangunan ekonomi. Subangsing
ekonomi pada manufaktur di kota ini lebih berkembang disbanding
ekonomi AS.
Penelitian dengan judul Alternatif Kebijakan Peningkatan
Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan Di Indonesia oleh Nyak Ilham
(2007), sektor peternakan memiliki potensi sumber pertumbuhan baru
pada sektor pertanian hal ini berdasarkan PDRB dan efek pengganda.
Jadi perlu ada kajianjenis komoditas perternakan apa yang bisa dijadikan
komoditas unggulan. Hasilnya komoditas prioritas dari sektor peternakan
yang perlu dikembangkan antara lain sapi potong, ayam ras pedaging
dan ayam ras petelur dengan stategi melibatkan instansi Direktorat
Jenderal Peternakan, tapi juga lingkup subsektor lain dalam Departemen
Pertanian, dan lingkup luar Deptan melalui aspek teknis peternakan,
kelembagaan dan komunikasi.
2.2. Perikanan
Istilah perikanan tercantum dalam Undang Undang No 31 tahun
2004 pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Perikanan adalah semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan, lalu pada ayat (2) disebutkan Ikan adalah segala
jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada
12. 12
di dalam lingkungan perairan. Jadi perikanan adalah semua kegiatan
yang berhubungan dengan pemanfaatan organisme yang salah satu
siklus hidupnya di air. Menurut Hempel dan Pauly (2004) mendefinisikan
Perikanan sebagai sebuah kegiatan eksploitasi sumber daya hayati yang
berasal dari laut.
Sumber pemanfaatan dari perikanan itu bisa berasal dari 3
lingkungan yakni perikanan air tawar, payau dan juga asin (laut).
Sementara untuk mendapatkannya bisa bersal dari 2 kegiatan yakni
perikanan hasil tangkapan dan budidaya. Menurut Fauzi (2010) Sumber
daya perikanan dapat dikelompokan kedalam empat kelompok yang
didasarkan pada beberapa pemanfaatan sumberdaya hayati sebagai
mana terlihat padaTabel 1 berikut ini.
Table 2. Matriks Pemanfaatan Sumberdaya Perairan
Proses
Eksploitasi
Hunting
(berburu)
Gathering
(Mengumpulkan)
Husbandry
(farming)
Mobilitas
Sumberdaya
Fugitive
(bergerak)
Sedentary
(Menetap)
Contained
(dikendalikan)
Struktur Hak
Kepemilikan
Common property Private property
Klasifikasi
Sektor
Fishing Aquaculture
Sumber : Ekonomi Perikanan (Fauzi, 2010)
Dari sumber-sumber pemanfaatan perikanan diatas, sektor
perikanan tangkap memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan. Hal
ini dikarenakan luas wilayah perairan indonesia terutama laut yang
menjadi sumber perikanan tangkap cukup luas, berdasarkan dekalarasi
Djuanda 1957 yang menegaskan konsepsi Wawasan Nusantara
memberikan kita anugerah yang sangat luar biasa mulai dari laut, darat
maupun udara. Sebagai salah satu Negara Kepulauan terbesar di dunia,
13. 13
Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2
yang terdiri dari
wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2
. Selain itu, terdapat 17.504 pulau
di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (Direktorat
Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, 2014).
2.3. Unit Penangkapan Ikan
Pada pembahasan sebelumnya sudah dibahas bahwa perikanan
adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan
organisme perairan. Salah satunya adalah penangkapan, penangkapan
sendiri merupakan kegiatan mengambil ikan yang ada baik itu di fresh
water maupun air asin atau laut. Dalam melakukan kegiatan
penangkapan tentunya diperlukan beberapa alat atau unit yang bisa
mendukung kegiatan ini. Meurut monintja (1989), komponen yang
dibutuhkan dalam kegiatan perikanan tangkap antara lain: (1)
perahu/kapal; (2) alat tangkap ;(3) tenaga kerja.
a. Perahu/Kapal
Pada Undang Undang 45 tahun 2009 pasal 1 ayat (8) disebutkan
bahwa kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya
yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian ataupun eksplorasi
perikanan.
Perahu atau kapal menurut penggeraknya dibagi menjadi dua
yaitu kapal motor yang menggunakan mesin dan kapal tanpa motor
bisanya menggunakan tenaga manusia ataupun alam seperti angin.
14. 14
Sedangkan kapal menurut jenisnya dibagi menjadi 11 tipe dan kapal
perikanan lainnya dibagi menjadi 7. Klasifikasi kapal juga menggunakan
“singkatan standar” dan “kode ISSCFV” hal ini sesuai dengan standar
Internasional (Ronald et al, 2014).
b. Alat Tangkap
Dalam kegiatan menangkap ikan selain dibutuhkannya kapal juga
dibutuhkan sebuah alat untuk menangkap ikan. Misalnya jaring, pancing
dan lain sebagainya, akan tetapi alat bantu penangkapan telah diatur
dalam Undang Undang. Pada Undang Undang 45 tahun tahun 2009
pasal 7 ayat (1f) disebutkan bahwa Menteri menetapkan jenis, jumlah,
dan ukuran alat penangkapan ikan.
Selain itu lembaga pangan dunia atau yang disebut Foodand and
Agriculture Organization (FAO) menetapkan kriteria alat tangkap yang
ramah lingkungan. sebagai sebuah lembaga di bawah Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah pangan dan pertanian
dunia, pada tahun 1995 FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Seperti dikutip pada
Kementrian Kelautan Perikanan (2015) Sembilan kriteria tersebut adalah
sebagai berikut:
1) selektif tinggi terhadap tangkapan
2) menghasilkan tangkapan yang berkualitas (morfologi ikan
tidak rusak)
3) tidak merusak habitat sebagai temoat tinggal dan berkembang
biak ikan
4) tidak membahayakan nelayan
15. 15
5) hasil tangkapan tidak mebahayakan konsumen
6) by-catch rendah (minim membuang ikan bukan tangkapan)
7) dampak terhadap keanekaragaman rendah
8) tidak menangkap ikan dilindungi
9) dapat diterima secara social
Menurut Subani dan Barus (1989), alat tangkap digolongkan dalam
sepluh kategori antara lain:
1) Jaring Trawl (Pukat Hela)
Pada pengoprasiannya alat tangkap ini ditarik oleh kapal dengan
jumlah satu atau lebih. Selama pengoprasiaanya alat tangkap ini
dibedakan berdasarkan tata letaknya dalam perairan jika berda diatas
disebut dengan Surface Trawl, Jika berada ditengah disebut Mid Trawl,
sedang jika berada dibawah atau didasar disebut Bottom Trawl. Akan
tetapi yang sering digunakan biasanya Bottom Trawl yang digunakan
untuk menangkap ikan yang hidup didasar seperti kerang dan udang,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013).
Gambar 1. Trawl
16. 16
2) Pukat Kantong Lingkar (Bag Seine Nets)
Meurut Subani dan Barus (1989), alat tangkap pukat kantong ini
biasa deikenal dengan nama alat tangkap payang, alat tangkap ini terdiri
dari kantong, kantong dan sayap. Besar mata jaring nya berbeda dari
setiap bagiannya antara 1 – 40 cm. sama halnya dengan trawl alat
tangkap ini bergerak dengan cara mengejar ikan, pada bagian atas
jarring ini lebih pendek dibandingkan atasnya hal ini dikarenakan alat
tangkap ini mengejar ikan pelagis yang biasanya bergerak kebawah jika
merasa terancam.
Gambar 2. Payang
3) Pukat Cincin (Purse Seine and Their Kinds)
Pukat cincin atau yang biasa disebut Purse seine bentuknya
menyerupai celana dalam pada penggunaanya alat tangkap ini bersifat
pasif karena cara kerjanya dengan mendatangi gerombolan ikan. Dengan
cara mengitari gerombolan ikan tersebut lalu menjebaknya dengan
manarik tali bagian bawah.
alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagic atu
yang hidup di permukaan yang membentuk gerombolan. Karena berada
17. 17
dekat dengan permukaan dan densitas gerombolan yang biasanya tinggi,
yang artinya jarak ikan dengan ikan yang lainnya sangat dekat. Jadi cara
terbaik untuk menangkapnya adalah dengan melingkari gerombolan
dengan jaring, sehingga jaring tersebut membentuk dinding vertikal,
dengan demikian gerakan ikan ke arah bawah dapat dihalangi. Setelah
itu, bagian bawah jaring dikerucutkan untuk mrncegah ikan lari ke arah
bawah jarring, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013).
Gambar 3. purse seine
4) Perangkap (Trap)
Alat tangkap ini bersifat pasif karena dalam pengoprasiannya
tidak mengejar ikan. Alat tangkap ini biasanya dipasang secara
permanen dalam jangka waktu tertentu dengan cara kerja membuat ikan
mudah masuk namun sulit untuk keluar, bahan yang digunakan biasanya
18. 18
juga terbuat dari bahan alami seperti bamboo atau kayu contohnya dibuat
seperti sero, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013).
Menurut Subani dan Barus dalam Hrlyan (2015), Contoh alat
tangkap ini ada sero, jermal, bubu dan lainnya. Sero biasanya digunakan
pada daerah panti dengan memanfaatkan pasang surut laut. Pada saat
pasang ikan akan masuk kedalam sero sedangkan saat surut ikan akan
terjebak didalamnya.
Gambar 4. Sero
5) Alat Penangkap dan Penggiring
Alat tangkap ini biasanya digunakan secara tradisinonal antara
lain muro ami, jarring kalase, lari-larian, pukat rarape, pukat roa, jarring
klotok dan ambai, Subani dan Barus dalam Hrlyan (2015),
19. 19
6) Pancing dan Sejenisnya (Hook and Their Kinds)
Menurut Subani dan Barus dalam Hrlyan (2015), Contoh dari alat
ini ada pancing rawai, gandar, dan pancing tarik.
7) Pancing lainnya
Alat tangkap ini tergolong tradisional karena sudah diguakan sejak
dulu. Pada dasarnya alat yang dibutuhkan dalam penggunaan alat ini ada
tali tongkat dank ail, pada ujung kail diberi umpan supaya ikan memekan
kail tersebut dan terjerat. Alat ini biasanya dikenal dengan Huhate
(Skipjack pole and line) atau “pole and line” dan cara pemancingan
dengan menggunakan pancing yang dikhususkan untuk menangkap ikan
cakalang yang banyak digunakan di perairan Indonesia, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (2013).
8) Jaring Insang dan Sejenisnya (Gill Nets)
Sesuai dengan namanya, alat tangkap ini beroprasi dengan cara
menjerat ikan pada bahian insangnya. Menurut () ikan yang ditangkap
dengan gillnet terjerat pada mata jaring ataupun terbelit pada tubuh
jaring. Umumnya ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah jenis ikan
yang horizontal migration karena jarang bermigrasi dari atas ke bawah.
Dengan kata lain, migration dari ikan-ikan tersebut terbatas pada suatu
range layer-depth tertentu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(2013).
Menurut Subani dan Barus dalam Hrlyan (2015), Beberapa contoh
jarring insang ada jarring insang hanyut, jarring insang labuh, jarring
insang karang, jarring insang lingkar, jarring insang dua lapis, dan jarring
insang tiga lapis.
20. 20
9) Jala dan Sejenisnya (Cash Nets and Their Kinds)
Menurut Subani dan Barus dalam Hrlyan (2015), Jala ini ada dua
macam yang pertama jala tebar dan kedua jala besar. Jala besar ada
beberapa contoh seperti encircling gillnets dan stick held dipnet (jarring
angkat).
Gambar 5. Jaring Angkat
10) Alat Penangkap Lainnya
Menurut Subani dan Barus dalam Hrlyan (2015), Alat tangkap
lainnya ada beberapa cotoh misalnya jarring pelingkar, garuk, garing
terung, pesambet dan jarring hampar, senapan, panah, tobak, tombak
lempar, ladung tripang dan lain sebagainya.
21. 21
Gambar 6. Ercircling Net
2.4. Pelabuhan
Definisi pelabuhan tertulin pada Undang Undang 17 tahun 2007 pada
pasal 1, memiliki makna tempat yang terdiri atas daratan dan/atau
perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat
barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan
penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan
antarmoda transportasi.
Pada pasal 1 juga disebutkan bahwa pelabuhan dibagi menjadi
tiga. Ada pelabuhan utama yang berfungsi melayani angkautan laut baik
22. 22
kedalam maupun keluar neegri. Kemudian pelabuhan Pengumpul yang
berfungsi melayani kegiatan angkutan laut dalam domestic atau dalam
negri dalam jumlah menegah. Terakhir pelabuhan Pengumpan hampir
sama dengan Pelabuhan Pengumpul hanya saja dalam jumlah terbatas.
Ketiga pelabuhan tersebut melayani penumpang dan barang.
Selain pelabuhan penumpang dan barang ada juga pelabuhan
ikan. Menurut Triadmojo (2010) pelabuhan dibagi menjadi beberapa
kategori yang dibedakan menurut penggunaannya antara lain pelabuhan
ikan, pelabuhan minyak, pelabuhan barang, pelabuhan penumpang,
pelabuhan campuran, pelabuhan militer.
Berdasarkan Peraturan Mentri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 2012 pada pasal 1 ayat (1), Pelabuhan
Perikanan merupakan tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar
muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan
kegiatan penunjang perikanan.
Pada pasal 5 juga disebutkan bahwa Pelabuhan Perikanan
diklasifikasikan dalam empat kelas, mulai dari A – D. dengan nama
penyebutan secara berurut yakni Pelabuahan Perikanan Samudra (PPS).
Pelabuahan Perikanan Nusantara (PPN). Pelabuahan Perikanan Pantai
(PPP). Pelabuahan Perikanan Ikan (PPI). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada table berikut.
23. 23
Table 3. Pengelompokkan Pelabuhan Perikanan berdasarkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
PER.08/MEN/2012.
Kelas Sebutan
Pelabuhan
Kriteria
A Pelabuhan
Perikanan
Samudera
(PPS)
a) Kriteria teknis terdiri dari:
mampu melayani kapal perikanan yang
melakukan kegiatan perikanan di perairan
Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), dan laut lepas;
memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal
perikanan berukuran sekurangkurangnya 60 GT;
panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m,
dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya
minus 3 m;
mampu menampung kapal perikanan sekurang-
kurangnya 100 unit atau jumlah keseluruhan
sekurang-kurangnya 6.000 GT;
memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-
kurangnya 20 ha.
a) Kriteria operasional terdiri dari:
ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan
ekspor;
terdapat aktivitas bongkar muat ikan dan
pemasaran hasil perikanan rata-rata 50 ton per
hari;
terdapat industri pengolahan ikan dan industri
penunjang lainnya
B Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
(PPN)
a) Kriteria teknis terdiri dari:
mampu melayani kapal perikanan yang
melakukan kegiatan perikanan di perairan
Indonesia dan ZEEI;
memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal
perikanan berukuran sekurangkurangnya 30 GT;
panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m,
dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya
minus 3 m;
mampu... 8 4) mampu menampung kapal
perikanan sekurang-kurangnya 75 unit atau
jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250
GT;
memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-
kurangnya 10 ha.
b) Kriteria operasional terdiri dari:
terdapat aktivitas bongkar muat ikan dan
pemasaran hasil perikanan rata-rata 30 ton per
hari;
terdapat industri pengolahan ikan dan industri
penunjang lainnya.
C Pelabuhan
Perikanan
Pantai
(PPP)
a) Kriteria teknis terdiri dari:
mampu melayani kapal perikanan yang
melakukan kegiatan perikanan di perairan
Indonesia;
24. 24
Kelas Sebutan
Pelabuhan
Kriteria
memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal
perikanan berukuran sekurangkurangnya 10 GT;
panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m,
dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya
minus 2 m;
mampu menampung kapal perikanan sekurang-
kurangnya 30 unit atau jumlah keseluruhan
sekurang-kurangnya 300 GT;
memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-
kurangnya 5 ha.
b) Kriteria operasional terdiri dari:
terdapat aktivitas bongkar muat ikan dan
pemasaran hasil perikanan rata-rata 5 ton per
hari;
terdapat industri pengolahan ikan dan industri
penunjang lainnya.
D Pangkalan
Pendaratan
Ikan (PPI)
a) Kriteria teknis terdiri dari:
mampu melayani kapal perikanan yang
melakukan kegiatan perikanan di perairan
Indonesia;
memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal
perikanan berukuran sekurangkurangnya 5 GT;
panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m,
dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya
minus 1 m;
mampu menampung kapal perikanan sekurang-
kurangnya 15 unit atau jumlah keseluruhan
sekurang-kurangnya 75 GT;
memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-
kurangnya 1 ha.
b) Kriteria operasional yaitu terdapat aktivitas bongkar
muat ikan dan pemasaran hasil perikanan rata-rata
2 ton per hari.
2.5. Ekonomi Wilayah
Dalam sejarah umat manusia, kita tidak pernah lepas dari
kegiatan ekonomi. Misalnya kegiatan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya diantara sumberdaya yang terbatas, pada zaman dulu
kegiatan ini berupa pertukaran barang atau disebuta barter. Ekonomi
yang melibatkan ruang lingkup tertentu seperti desa, kota maupun
wilayah tertentu lainnya disebut dengan ekonomi regional.
25. 25
Ilmu ekonomi regional dapat diefinisikan sebagai sebagai cabang
ilmu yang menekankan analisisnya pada pengaruh aspek ruang ke dalam
analisa ekonomi. Ekonomi regional dikembangkan dari ekonomi
tradisional kepada aspek lokasi dan tata ruang, jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa ilmu regional gabungan dari ilmu ekonomi tradisional
dengan lokasi mencakup mikro maupun makro (Sjarizal, 2008)
Ilmu Ekonomi Regional dewasa ini tidak sama dengan Ilmu
Ekonomi Tradisonal. Karena terdapat tambahan unsur tata ruang
kedalam analisa, sehingga teori yang dihasilkan antara lain: Teori Harga
Spasial, Teori Produksi Spasial, Mobilitas Barang dan Faktor Produksi
Antar Daerah, Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional, Pusat
Pertumbuahan dan lainnya. Dalam metodelogi Ekonomi Regional
Menampilkan beberapa katarestik seperti: Analisa Konsentrasi Industri,
Regional Input-Output analysis, Shift Share Analysis, Interregional
Programming Model, Reginal Econometric Model, Gravitu Model, Land-
Use Model dan lainnya (Sjarizal, 2008).
2.6. Produk Domestik Regional Bruto
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia domestik mempunyai
makna yang berhungan dengan atau mengenai permasalahan dalam
negri atau bisa juga mengenai (bersifat) rumah tangga. Sedangkan kata
domestik PDRB dapat diartikan sebagai sebuah Propinsi atau Daerah
Kabupaten/Kota. Jadi Transaksi Ekonomi yang akan dihitung adalah
transaksi yang terjadi di wilayah domestik suatu daerah tanpa
memperhatikan apakah transaksi tersebut dilakukan oleh masyarakat
26. 26
(residen) dari daerah tersebut atau masyarakat (non-residen) dari
wilayah lain (Badan Pusat Statistik, 2017)
Kalimat Produk Domestik artinya semua barang atau jasa sebagai
hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah
domestik, tanpa memperdulikan faktor produksinya berasal dari atau
dimiliki oleh penduduk daerah tersebut atau merupakan produk domestik
daerah yang bersangkutan. Maka pendapatan yang timbul akibat adanya
kegiatan produksi tersebut disebut pendapatan domestik. Pada
kenyataannya sebagian dari faktor produksi yang digunakan dalam
kegiatan produksi di suatu daerah berasal dari daerah lain atau dari luar
negeri, demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimilki oleh
penduduk daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain
atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang
timbul di suatu daerah tidak sama dengan pendapatan yang diterima
penduduk daerah tersebut. Dengan adanya arus pendapatan yang
mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari dan ke luar negeri) yang
pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka
timbul perbedaan antara produk domestik dan produk regional (Badan
Pusat Statistik, 2017)
Produk regional sama dengan produk domestik hanya saja
ditambah dengan pendapatan dari dari faktor produksi yang didapat dari
luar daerah yang dikurangi dengan pendapatan dari faktor produksi yang
dibayar ke luar daerah. Maksudnya produk regional adalah produk yang
ditimbulkan dari faktor produksi yang dimiliki oleh residen (Badan Pusat
Statistik, 2017). Menurut Rustiadi (2009) Produk Domestik Regional Buto
27. 27
(PDRB) adalah total nilai barang atau jasa yang dihasilkan pada suatu
wilayah yang telah dihilangkan intermediate cost-nya atau bisa dikatakan
sebagai sebuah ukuran produktivitas wilayah yang paling diterima secara
luas sebagai standar ukuran pembangunan pada suatu wilayah.
Menurut Bank Indonesia (BI), sesuai dengan International Standard
Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) PDRB menurut
lapangan usaha dikelompokan dalam 9 sektor ekonomi yakni:
1) Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
a. Subsektor Tanaman bahan makanan
b. Subsektor Tanaman perkebunan
c. Subsektor Peternakan
d. Subsektor Kehutanan
e. Subsektor Perikanan
2) Sektor Pertambangan dan Penggalian
a. Subsektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
b. Subsektor Pertambangan Bukan Migas
c. Subsektor Penggalian
3) Sektor Industri Pengolahan
a. Subsektor Industri Migas
- Pengilangan Minyak Bumi
- Gas Alam Cair (LNG)
b. Subsektor Industri Bukan Migas
4) Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih
28. 28
a. Subsektor Listrik
b. Subsektor Gas
c. Subsektor Air Bersih
5) Sektor Konstruksi
6) Sektor Perdagangan, Hhotel dan Restoran
a. Subsektor Perdagangan Besar dan Eceran
b. Subsektor Hotel
c. Subsektor Restoran
7) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
a. Subsektor Pengangkutan
- Angkutan Rel
- Angkutan Jalan Raya
- Angkutan Laut
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyebrangan
- Angkutan Udara
- Jasa Penunjang Angkutan
b. Subsektor Komunikasi
8) Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
a. Sektor Bank
b. Subsektor Lembaga Keuangan Tanpa Bank
c. Subsektor Jasa Penunjang Keuangan
d. Subsektor Real Estate
29. 29
e. Subsektor Jasa Perusahaan
9) Jasa-Jasa
a. Subsektor Pemerintahan Umum
b. Subsektor Swasta
2.7. Konsep Basis Ekonomi
Menurut Glasson (1997), bahwa perekonomian regional dibagi
menjadi dua sektor yakni sektor kegiatan basis dan non-basis. Yang
dimaksud kegiatan basis adalah kegiatan yang berhubungan dengan
pengiriman barang atau jasa ke tempat lain contohnya ekspor barang dan
jasa ke tempat perbatasan. Sedangkan kegiatan non-basis adalah
kegiatan yang hanya menyiapkan dan menjual barang pada lingkungan
regional saja, dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang bertempat
tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Teori yang menganggap bahwa permintaan terhadap input hanya
dapat ditingkatkan melalui perluasan permintaan terhadap output yang
diproduksi oleh sektor basis dan sektor non-basis. Selain itu permintaan
juga akan meningkat apabila pendapatan pada masyarakat lokal juga
meningkat. Akan tetapi pendapatan masyarakat meningkat apabila
produk basis atau ekspor juga meningkat. Jadi menurut teori ekonomi
basis, ekspor merukan faktor yang sangat pent ng dalam meningkatkan
pembangunan ekonomi dalam suatu daerah (Rustiadi, 2009).
2.8. Location Qontient (LQ)
Metode ini biasanya digunakan untuk mengetahui potensi dari
aktivitas ekonomi yang salah satu outputnya basis dan non-basis seperti
30. 30
pada subbab sebelumnya, cara penggunaannya yaitu dengan cara
membandingkan antar kemampuan relative sektor yang sama dengan
sektor yang lebih luas asumsi yang dihasilkan memilki sedikit variasi
dalam pola pengeluaran secara geografi serta produktivitas tenaga kerja
selain itu masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang
seragam. Dlam penggunaanya dasar ukuran harus disesuaikan dengan
output yang ingin dihasilkan. Misalnya jika dalam penelitian yang ingin
dicari adalah kegiatan ekonomi yang dapat memberikan kesempatan
kerja maka ukuran yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja
sedangkan jika ingin output adalah hasil produksi maka jumlah produksi
yang dipilih (Ernan Rustiani, 2009)
Metode ini merupakan langkah awal untuk memahami sektor
yang menjadi pemicu awal pertumbuhan dalam model ekonomi basis.
Teknik LQ relevan jika digunakan dalam penentuan komoditas unggulan
khususnya dari segi penawaran (produksi atau populasi). Untuk
komoditas yang menggunakan lahan seperti farming, perkebunan dan
holtikultura maka perhitungannya didasarkan pada lahan (areal produksi).
Sedangka untuk komoditas yang tidak berbasis lahan perhitungannya
menggunakan populasi (Rachmat Hendayana, 2003). Untuk bisa
menganalisis dengan teknik LQ maka yang perlu dilakukan adalah
dengan cara membandingkan besarnya peran suatu sektoral disuatu
daerah dengan besarnya peranan sektoral secara total (Tarigan, 2007).
Rumus perhitungan dengan metode ini adalah sebagai berikut
𝑳𝑸 =
( 𝒙𝒊𝒋
𝒙𝒊
⁄ )
(
𝒙𝒊𝒋
𝒙𝒋⁄ )
31. 31
Keterangan:
Xij = Produksi komoditas pada wilayah yang diselidiki
Xi = Produksi total komoditas sektoral
Xj = Produksi komoditas total regional
X = Produksi total provinsi
Hasil perhitungan akan terbagi menjadi 3 berikut cara membacanya:
LQ > 1 artinya komoditas memiliki keunggulan yang komperatif menjadi
basis dan bisa untuk ekspor atau dikirim ke luar wilayah.
LQ > 1 artinya komoditas memiliki tidak keunggulan yang komperatif dan
menjadi sektor non-basis.komoditas tidak bisa untuk ekspor
namun masih bisa memenuhi kebutuha regional.
LQ > 1 artinya komoditas tidak memiliki keunggulan yang komperatif dan
menjadi sektor non-basis.sehingga tidak bisa untuk ekspor
bahkan impor karena kebutuhan regional tidak terpenuhi.
2.9. Shift Share
Metode analisis ini penting dalam penelitian studi perancanaan
wilayah. Dalam metode ini pendekatan yang dilakukan meliputi dua hal
pokok, antara lain unsure parssila dan sektoral dalam kerangka dimensi
waktu. Shift-share cenderung melakukan disagresi ekonomi pada
masing-masing sektoral. Hal ini dikareanakan karena pada masing-
masing sektoral tidaklah homogen ada sektoral yang tumbuh lebih cepat
dibanding sektor yang lain (Setiono, 2011)
Pada penggunannya data yang digunakan dalam metode shift
share antara lain lapangan kerja, populasi penduduk, pendapana dan lian
sebagainya. Namun yang biasa digunakan adalah data lapangan
32. 32
pekerjaan . Menurut Firdaus (2007), ada tiga komponen dlm analisis shift
share antar lain:
a. Komponen pertumbuhan skala nasional, dilihat dari perubahan
produksi atau tenaga kerja pada wilayah yang disebabkan oleh
perubahan produksi atau kesempatan kerja nasional, atau
perubahan yang memepengaruhi perekonomian sektoral dan
wilayah.
b. Komponen pertumbuhan proposional, perubahan yang terjadi
dalam hal permintaan produk akhir, ketersediaan bahan mentah,
kebijakan industri dn struktur keragaman pasar.
c. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah, yaitu pertumbuhan
PRDB atu kesempatan kerja dalam satu wilayah dengan wilayah
lainnya.
2.10. Faktor Pengganda (Multipllier effect)
Faktor ini merupakan efek penggandaan yang timbul akibat
penambahan iput ekonomi pada sektor atau kegiatan ekonomi. Misalnya,
pada sektor perikanan meningkat sebesar proposi tertentu, maka dampak
yang timbul pada ekonomi keseluruhan dapat dilihat dengan cara
mengalikan peningkatan tersebut dengan faktor pengganda (Setiono,
2011).
Menurut Glasson (1977), penigkatan kegiatan pada sektor yang
menjadi basis akan berbanding lurus pada pendapatan daerah yang
bersangkutan, kemudian juga menambah volume kegiatan yang bukan
menjadi basis. Pendapatan yang meningkat tentu akan menaikan tingkat
33. 33
konsumsi dan juga investsi keudian akhirnya kebutuhan tenaga kerja
juga kan menigkat.
2.9.1. Efek Pengganda Pendapatan Wilayah
Dengan menghitung efek pengganda pendapatan output yang
akan dihasilkan adalah dampak dari penigkatan ekonomi sektoral
terhadap total pendapatan. Sebagai contoh, jika kita ingin menghitung
seberapa besar efek pengganda pendapatan akibat dari dari
menigkatnya permintaan akhir sebesar satu satuan di sektor-1 (Dedi NS.
Setiono, 2011).
Penjelasan Galsson (1997), kesuruhan pendapatan wilayah (Y)
merupakan hasil agregat ari sektor basis (Yb) dan sektor non basis (Yn).
Pendapatan dari sektor basis akan dibelanjakan kembali di wilayah atau
untuk impor. Pendapatan yang dibelanjakan pada wilayah untuk produksi
lokal akan mengasilkan efek pengganda terhadap wilayah. Jika
pendapan sektor basis yang dibelanjakan sebesar “r”, maka total
pendapatan yang dibelanjakan sebesar (r) Yb. Kemudian pembelanjaan
kembali di wilayah akan menghasilkan total pendapatan sebesar (r2
) Yb,
lalu (r3
) da seterusnya. Keadaan ini ditulis dengan rumus:
Y- Yb + rYb + r2Yb
+ r3
Yb +. . .+ rnYb
Dan disederhanakan menjadi
Y = 𝑌𝑏 + [
1
1 − 𝑟
]
Faktor
1
1−𝑟
merupakan economic multiplie, yang artinya menimbulkan efek
pengganda.
Untuk mencarinya maka rumus tersebut dapat diturunkan menjadi:
34. 34
r =
𝑌 − 𝑌𝑏
𝑌
Y-Yb=Yn, maka
r =
𝑌𝑛
𝑌
maka economic multiplier dalam jangka pendek adalah
MSy =
𝑌
𝑌𝑏
Dimana
Msy : koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator pendapatan
Y : Jumlah total pendaptan wilayah
Yb : jumlah pendapatan sektor basis
Perubahan pendapatan wilayah akibat adanya peningkatan kegitan basis
dapat ditulis dengan rumus:
∆Y= ∆Yb (MSy)
Dimana
MSy : koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator pendapatan
∆Y : Perubahan Pendapatan Wilayah
∆Yb : Perubahan Pendapatan Sektor Basis
2.9.2. Efek pengganda tenaga kerja
Perhitungan ini dilakukan dengan cara seperti pada efek
pengganda pendapatan, pertama-tama hitung matriks vektor penigkatan
sektoral akibat adanya penigkatan permintaan akhir sebesar satu satuan
pada masing-masing sektor (Dedi NS. Setino, 2011).
35. 35
Penurunan rumus juga hampir sama denga rumus efek
pengganda pendapatan yaitu:
MSe =
𝐸
𝐸𝑏
Dimana
MSe : koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator pendapatan
E : Jumlah total tenaga kerja
Eb : jumlah tenaga kerja pada sektor basis
Perubahan jumlag tenaga tenaga kerja total pada wilayah akibat
adanya penigkatan jumlah tenaga kerja basis dapat ditulis dengan rumus:
∆E= ∆Eb (MSe)
Dimana
MSe : koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator tenaga kerja
∆E : Perubahan tenaga kerja wilayah
∆Eb : Perubahan tenaga kerja sektor perikanan dan ilmu kelautan
wilayah
2.10. Komoditas Unggulan
Komoditas unggulan pada suatu daerah haruslah disesuaikan
dengan potensi yang ada pada daerah tersebut. Dengan meningkatkan
komoditas yang ada maka dapat meningkatkan pendapatan pada suatu
daerah. Selain itu dalam penentuan komoditas unggulan haruslah
mempertimbangkan aspek lainnya. Salah satu aspek dalam penentuan
komoditas unggulan pada produk agrobisnis adalah nilai ekonomi, politis,
strategis, dan prestise dibandingkan dengan komoditas lainnya. Misalnya
salak adalah komoditas unggulan Kabupaten Sleman, lalu komoditas
36. 36
sawit menjadi komoditas unggulan Indonesia terutama Pulau Kalimantan
dan Pulau Sumatera. Komoditas-komoditas ini memenuhi aspek nilai
ekonomi, politis, strategis, dan prestise. Sedangkan bunga tulip bagi
Belanda memiliki nilai politis dan prestise (Setiono, 2011)
Faktor agroklimat atau yang sering disebut dengan mother eart
dapat menjadi pemicu lahirnya komoditas unggulan. Selain hal tersebut
komoditas juga bisa muncul dikarenakan oleh faktor budidaya yang intesif
seperti pemeliharaan sapi Kobe yang dalam pemeliharaannya
mempertimbankan kebahagiaan si hewan, seperti memijit dan memberi
pakan yang baik. (Rahmadi, 2003). Salah satu metode yang bisa
digunakan dalam penentuan komoditas unggulan tangkap adalah LQ.
Metode ini sederhana serta menunjukan “kekuatan” besar kecilnya
perana sektor di daerah satu dengan sektor di daerah lainnya
(Budhidarsono, 2001)
2.11. Kerangka Berfikir
Sebagai upaya untuk menigkatkan ekonomi di Kabupaten Malang
bisa dilakukan dengan peningkatan produktivitas sumber daya yang bisa
dijadikan komoditas unggulan. Salah satu sumber daya yang cukup besar
di Kabupaten Malang adalah subsektor perikanan, terutama perikanan
tangkap.
Dengan mengoptimalkan subsektor maka dapat pula menigkatkan
pendapatan atau menggerkan ekonomi di Kabupaten Malang. Salah satu
indikator untuk melihat seberapa besar kontribusi sektor perikanan
terhadap ekonomi adalah dengan melihat korelasi atau hubungan antara
sektor terhadap PDB. Salah satu yang digunakan adalah shift share.
37. 37
Langkah selanjutnya mengidentifikasi subsektor mana yang
menjadi basis, hal ini bisa dilihat dengan menggunakan metode LQ
dengan memanfaatkan data PDRB dan hasil tangkapan tangkap.
Perikanan tangkap menjadi dasar data karena output yang ingin dicapai
adalah sektor unggulan perikanan tangkap.
Jika sudah didapat subsektor basis, maka perlu ada penghitungan
multidlier effect pada wilayah keseluruhan. Dalam perhitungan ini akan
terlihat seberapa besar dampak subsektor yang menjadi basis. Indikator
yang digunakan adalah pendapan wilayah serta tenaga kerja.
Dari rangkain perhitungan tersebut maka akan menghasilkan hasil
seperti komoditas unggulan serta sektor yang bisa menjadi basis. Dari
masing hasil tersebut maka dapat dibuat pertimbangan dalam
penyusunan kebijakan bagi sekotor perikanan terutama perikanan
tangkap di Kabupaten Malang. Gambaran untuk kerangka berfikir dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut.
39. 39
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Maret
2017 dilakukan di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Data
diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Perikanan dan Badan Pusat
Statistik yang ada di Kabupaten Malang.
3.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah kuantitatif yakni dilakukan dengan cara
mengumpulkan data kemudian diolah. Hasil yang keluar akan
menentukan posisi subsektor yang dibahas dalam perekonomian
wilayah..
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif.
menurut (Hamdi, 2014) penelitian kuantitaif menekankan pada fenomena
yang ada dengan memaksimalkan objektivitas dengan menggunakan
angka-angka, statistik, dan terkontrol. Sementara deskriptif menunjukan
gambaran fenomena-fenomena yang ada, baik saat ini maupun masa
lampau.
3.3. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian dilakukan guna
menyederhanakan rung lingkup masalah dalam penelitian antara lain:
1) Objek dalam penelitian ini adalah subsektor perikanan tangkap di
Kabupaten Malang
40. 40
2) Data yang dibutuhkan berupa PDRB Kabupaten Malang yang
diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Malang selama lima tahun
terakhir
3) Selain PDRB juga dubutuhkan data tentang perikanan tangkap
meliputi jumlah produksi tangkapan, jumlah armada dan lain
sebagainya selama lima tahun terakhir.
3.4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini sumberdata yang diperoleh dan digunkan
hanya data skunder.
a) Data Skunder
Menurut Asep Hermawan (2005) data skunder terstruktur dari
data historis mengenai variable yang telah dikumpulkan dan diolah oleh
pihak lain. Data ini bisa diperoleh dari instasi, internet, Websites,
perpustakaan maupun lembaga lainnya. Contoh data skunder misalnya
jumlah kendaraan yang ada dan didapat dari Departemen Perhubungan.
Menurut Santoso dan Tjiptono (2002), data sekunder memiliki
beberapa kekurangan serta kelebihan. Kelebihan dari data sekunder
adalah hemat biaya karena waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan
data tidak selama data primer. Sementara kekurangannya yakni data
yang diperoleh terkadang kurang relevan dengan kebutuhan riset, akurasi
terkadang masih dipertanyakan.
Pada penelitian ini data skunder berupa data PDRB yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, kemudian juga
ada data hasil tangkapan yang didapat dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Malang.
41. 41
3.5. Metode Pengampilan Sampel
Menurut sistematik metode sampel terbagi menjadi dua yang
pertama probability sampling dan kedua nonprobability sampling. Yang
perlu diperhatikan dalan pengambilan sampel berapa banyak sampel
yang diambil dari populasi dan bagaimana teknik pengambilan sampel
(Husein Umar, 2002).
Untuk pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
teknik probability sampling. Pada prisipnya teknik ini memberikan
kesempatan pada pada populasi terpilih menjadi sampel atau tidak
terpilih terpilih menjadi sampel. Peneliti tidak bisa memutuskan apakah
individu dalam satu populasi lebih baik dari individu lainnya untuk
penelitan (Nursalam, 2008).
3.6. Teknik Pengambialan data
1. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data
dengan membawa catatan dan mempelajari dokumen yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti, dokumentasi merupakan
pengumpulan data meliputi gambar, surat, data dan lainnya. Data yang
tersedia dapat berupa surat-surat, catatan harian, laporan, kenang-
kenang dan lainnya yang dapat digali dengan dokumen, monument,
artifak, foto, mirofon, disc, tape dan lainnya (Bungin, 2001)
Dokumentasi pada penelitian ini berupa data PDRB yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, kemudian juga
ada data hasil tangkapan yang didapat dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Malang.
42. 42
2. Wawancara
Apabila peneliti ingin melakukan studi untuk menemukan
permasalahn yang akan diteliti, dan bila peneliti ingin mengetahui tentang
responden secara mendalam maka teknik yang digunkan dalam
pengumpulan data adalah wawancara, namun dengan syarat
repondennya sedikit/kecil (Sugiyno, 2014).
Dalam penelitian data yang diperoleh melalui wawancara
terhadap, pihak yang terlibat langsung yakni nelayan dan masyarakat.
Wancara ini digunakan untuk memperkuat data yang didapat melalui
dokumetasi yang didapat.
3. Metode Analisis Data
Satu rangkain variable dan keterkaitan antar variable yang telah
dirancang untuk mewakili sebagian atau keseluruhan system nyata dalam
proses disebut dengan metode analisi (Malthora, 2010). Pada penelitian
ini untuk menjawab rumusan masalah yang ada, metode analisis yang
digunakan ada tiga yang pertama analisis dengan metode Location
Quontient (LQ), keduan ada metode shift share. Dan ketiga metode
multiplier effect. Berikut ini penjelasan lebih lengkapnya.
3.7.1. kontribusi perikanan tangkap terhadap Pendapatan Daerah
Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Malang
Untuk melihat peranan dari sektor perikanan dapat digunakan
metode Location Quontient (LQ) dan metode kontribusi/ Shift Share.
Pada bab dua sudah dijelaskan bahwa metode shift share dapat melihat
seberapa besar kontribusi sebuah sektor dalam penelitian ini sektor
43. 43
perikanan terhadap PDRB dan nilai total PDRB, adapun rumus yang
digunakan:
Sh =
𝑃𝐷𝑅𝐵 (𝑃𝑡)
𝑃𝐷𝑅𝐵 (𝑇)
× 100% atau Sh =
𝑃𝐷𝑅𝐵 (𝑃)
𝑃𝐷𝑅𝐵 (𝑇)
× 100%
Dimana:
Sh : Nilai kontribusi
PDRB (Pt) : Nilai PDRB perikanan tangkap
PDRB (P) : Nilai PDRB perikanan
PDRB (T) : Total PDRB
3.7.2. Posisi subsektor perikanan tangkap dalam kategori basis
ekonomi
Posisi basis atau nonbasis dapat dilihat dengan metode LQ,
metode ini biasanya digunakan untuk melihat kondisi PDRB, laju
pertumbuhan serta tenaga kerja sehingga dapat selanjutnya dapat di
tentukan arah kebijakan serta program. Metode ini juga digunkan untuk
melhat seberapa besar peranan sektor perikanan terhadap ekonomi
regional. Besar kecilnya peranan sebuah sektor dapat dilihat dari
perikanan tersebut sebagai basis atau nonbasis (Kardiah, 1985).
Budiharsono (2001) menjelaskan metode LQ membandingkan
antara relative pendapatan terhadap pendapatan total wilayah dengan
pangsa relative pendaptan pada sektor perikanan pada tingkat kabupaten
tehadap pendapatsan total kabupaten. Rumus ini dapat ditulis:
LQi =
𝑣𝑖
𝑣𝑡⁄
𝑉𝑖
𝑉𝑡⁄
Dimana:
LQi : Locatioan Quotint subsektor perikanan tangkap
44. 44
𝑣𝑖 : volume produksi sektor perikan tangkp di Kabupaten Malang
𝑣𝑡 : total volume produksi sekor perikanan Kabupaten Malang
𝑉𝑖 : volume produksi subsektor perikanan tangkap Provinsi Jawa
Timur
𝑉𝑡 : volume produksi total sektor perikanan di Provinsi Jawa Timur
3.7.3. Multiplier Effect yang dihasilkan oleh subsektor perikanan
tangkap di Kabupaten Malang
Jika sudah diketahui posisi sektor perikanan merupakan basis
atau nonbasis selanjutnya adalah melihat dampak subsektor perikanan
tangkap. Dampak dari subsektor dapat dilihat dengan metode Mutiplier
Efect, hal ini dikarenakan setiap peningkatan pada sektor basis akan
akan mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan.
Glasson (1997) mengatakan multiplier effect untuk jangka pendek
dihitung berdasarkan nilai perubahan yang terjadi didasarkan pada
pendapatan regional adapun rumusnya:
MSy =
∆Y
∆Yb
Dimana:
MSy : koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator pendapatan
∆Y : Perubahan Pendapatan Wilayah
∆Yb : Perubahan Pendapatan Sektor Basis
Perubahan jumlah tenaga tenaga kerja total pada wilayah akibat
adanya peningkatan jumlah tenaga kerja basis dapat ditulis dengan
rumus:
∆E= ∆Eb (MSe)
Dimana
45. 45
MSe : koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator tenaga kerja
∆E : Perubahan tenaga kerja wilayah
∆Eb : Perubahan tenaga kerja sektor perikanan dan ilmu kelautan
wilayah
3.7.4. Produk perikanan tangkap yang menjadi ungulan
Untuk menentukan jenis ikan tangkapan yang menjadi unggulan
agar dapat digunkan sebagai prioritas dalam perikanan tangkap di
Kabupaten Malang, maka dibuat matrik dari rumus Location Quontint
(LQ). Seperti penjelasan sebelumnya mengenai LQ metode ini
mengunakan metode rasio presentase dari total dengan perikanan
tangkap, dengan model sebagai berikut.
LQ =
𝑞𝑖
𝑞𝑡⁄
𝑄𝑖
𝑄𝑡⁄
Dimana:
LQi : Locatioan Quotint
Qi : produksi ikan jenis ke-i di Kabupaten Malang
Qt :produksi total perikanan tangakap Kabupaten Malang
qi : produk jenis ke-i Provinsi Jawa Timur
qt : produksi total perikanan tangkap di Provinsi Jawa Timur
46. 46
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lamongan
a) Kondisi Geografis Dan Topografi Kabupaten Malang
b) Kondisi Demografi Dan Pendidikan Kabupaten Malang
4.2. Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Malang
4.3. Kondisi Perekonomian Kabupaten Malang
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
4.3.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita
4.4. Peranan Subsektor Perikanan Tangkap Kabupaten Malang
4.4.1. LQ Subsektor Perikanan Tangkap
4.4.2. LQ Subsektor Perikanan Tangkap Berdasarkan PDRB
4.5. Kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap Kabupaten Malang
4.6. Dampak Subsektor Perikanan Tangkap Kabupaten Malang
4.6.1. Multipplier Effect Subsektor Perikanan Tangkap Berdasarkan
PDRB
4.6.2. Multipplier Effect Subsektor Perikanan Tangkap Berdasarkan
Tenaga Kerja
4.7. Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Kabupaten Malang
4.8. Produktifitas Unit Penangkapan Ikan Di Kabupaten Malang
47. 47
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
[BI] Bank Indonesia. Meta Data Informasi Dasar Produk Domr=estik
Regional Bruto (PDRB). Jakarta. Departemen Statistik Ekonomi
dan Moneter
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Pengertian Pndapatan Nasional.
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/11. Diakses pada 10 Januari
2017.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang. 2006. Statistik Daerah
Kabupaten Malang 2016. Malang. BPS Kabupaten Malang.
Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian social (Format-Format
Kuantitatif dan Kualitatif). Airlangga University Press: Surabya.
Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.
Dedi NS. Setiono, 2011. Ekonomi Pengembanggn Wilayah (Teori dan
analisis, Jakarta Lembaga Penerbit Fakultas Ekoniomi UI).
[DKP] Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Malang. 2017. . Potensi.
http://kelautan.malangkab.go.id/konten-17.html diakses tanggal 10
Januari 2017.
[DKP] Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Malang. 2016. Rencana
Strategis.
http://kelautan.malangkab.go.id/downloads/RENSTRA_kelautan.p
df diakses tanggal 9 Januari 2017.
[DP3K] Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Keccil. 2014. Membangun
Kelautan Untuk Mengembalikan Kejayaan Sebagai Negara
Maritim http://www.ppkkp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/memba
ngun-kelautan-untuk-mengembalikan-kejayaan-sebagai-negara-
maritim.html (Direktorat Pendayagunan Pulau-pulau kecil, 2014).
[DPSMK] Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. 2013.
Dasar-Dasar Penagkapan Ikan, Penanganan dan Penyimpanan
Hasil Tangkap. Jakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ernan Rustiasi, Susunan Saefulhakim, dan Dyah R,. Punuju,
2009)Perencanaan dan Pengembangan Wilayah; Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
48. 48
F. Rahmadi, 2003 Cerdas Baragrobisnis Mengubah Rintangan Menjadi
Peluang, Agromedia Pustak jakarta28.
Fauzi A. 2001. Prinsip-Prinsip Penelitian : Panduan Singkat. Bogor :
Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. pp 28.
Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta: Universitas Terbuka.
Glasson J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Sitohang P.
Penerjemah. Di dalam Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis
Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta : PT. Pradnya
Paramitha.
Hamdi, Asep Saepul. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam
Pendidikan, Yogyakarta, Deepublish.
Harlyan, Ledhyane Ika. 2015. Klasifikasi Alat Tangkap
(http://ledhyane.lecture.ub.ac.id/files/2015/03/Klasifikasi-Alat-
Tangkap.pdf). Malang. FPIK.
Hempel G, Pauly D. 2004. Fisheries and Fisheries Science in Their Search
for Sustainability. Dalam Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan
Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Hermawan, Asep. 2004. Penelitian Bisnis Paradigma Kuantitatif. Jakarta.
PT Garasindo.
Husein Umar, 2002 Metode Riset Bisnis, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama.
.
Ikawati. 2013, Pengaruh Investasi Swasta Dan Tenaga Terhadap PDRB
Sektor Pertanian, Su-bsektor Tanaman Pangan, Perkebunan,
Perternakan.
Kardariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Fakultas Ekonomi. Universitas
Indonesia. Jakarta. 79 hal.
Kabupaten Malang. Kabupaten Malang, 2016, Selayang Pandang
http://www.malangkab.go.id/site/read/detail/79/selayang-
pandang.html (, 10 Mei 2016).
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. LAPORAN KINERJA
KEMENTRIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2015.
Malthora, Naresh.K 2010. Marketing Research: An Aplied Orintation, four
edition. Dodo Prastuti. 2010. Riset Pemasaran: Pendekatan
Terapa Jilid 2. Pt indeks. Jakarta.
49. 49
Monintja DR. 1989. Perikanan Tangkap Indonesia : Suatu Pengantar.
Bogor. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Nursalam, 2008 Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu
Keperawatan edisi 2, Jakarta, Slemba Medika.
Nyak Ilham (2007)Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB
Subsektor Peternakan Di Indonesia.
Quintero (2007) dengan judul Regional Economic Development: An
Economic Base Study and Shift-Share Analysis of Hays County,
Texas.
Rachmmat Hendayana (2003) Aplikasi Metode LQ Dalam Penentuan
Komoditas Unggulan Nasional, Peneliti muda, balai pengkajian
dan pengenbangnan teknologi pertanian bogor.
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA. 2012.
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG
KEPELABUHANAN PERIKANAN.
Ronald M H, S.T., M.T. Ir. Syaifuddin, M.Si. IR. Jonny Zain, M. Si. 2014
Buku Ajar Rancang Bangun Kapal Perikanan, Universitas Riau.
Samosir, Agus. 2013. Sektor Perikanan: PNPB yang terlupakan. Peneliti
Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI
Santoso, Singgih dan Fandy Tjiptono, 2002, Riset Pemasaran: Konsep dan
Aplikasi dengan SPSS, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Sjarizal 2008 Ekonomi regional: teori dan aplikasi. Publisher, Niaga
Swadaya, 2008.
Subani W, Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang di
Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Sugiyno, 2014 Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,
Bandung, Alfabeta.
Tarigan R. 2007. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi, Cetakan
keempat.Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Triadmojo, Bambang. 2010. Perencanaan Pelabuhan. Yogyakarta. Beta
Offset.
50. 50
Undang Undang No 31 tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang Undang 45 tahun 2009 Tentang Perikanan
http://www.pusluh.kkp.go.id/arsip/c/2193/?category_id=2