1. PERTUMBUHAN EKONOMI, PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
DAN KRISIS EKONOMI
Tujuan utama pembanguan nasional adalah untuk meningkakkan kesejahteraan
masyarakat.
Tingkat kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek ekonominya, dapat diukur dengan
pendapatan nasional (PN) per kapita.
Untuk dapat meningkatkan PN, pertumbuhan ekonomi, diukur dengan pertumbuhan
PDB, menjdai salah satu target penting yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi.
Oleh karena itu, tidak heran jika pada awal pembangunan ekonomi, umumnya di banyak
Negara perencanaan pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada pertumbuhan, bukan
distribusi pendapatan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi harus lebih besar daripada pertumbuhan penduduk, agar
peningkatan pendapatan per kapita dapat tercapai.
Dalam jangka panjang pertumbuhan yang berkesinambungan membawa perubahan
struktur ekonomi lewat efek dari sisi permintaan (peningkatan pendapatan masyarakat)
dan pada gilirannya perubahan tersebut menjadi factor pemicu pertumbuhan ekonomi.
PERTUMBUHAN EKONOMI
Arti pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau
suatu keharusan bagi kelangsungan pembanguan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan.
Karena penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya
kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan
penambahan pendapatan setiap tahun.
Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga
membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan
ekonomi tanpa dibarengi penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan
ketimpangan dalam pembagian dari pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang
selanjutnya akan menciptkan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan
kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya
bias dicapai dengan penigkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terusmenerus.
KONSEP PENDAPATAN NASIONAL:
Ada dua arti dari PN:
1. Arti sempit: Pendapatan Nasional (PN) adalah Pendapatan Nasional
2. Arti luas: PN dapat merujuk ke PDB, atau merujuk ke produk nasional bruto
(PNB)
2. Sesuai metode yang standar, penghitungan PN diawali dengan penghitungan PDB.
Hubungan antara PDB dan PN dapat dijelaskan melalui beberapa persamaan sederhana
sebagai berikut:
PNB = PDB + F
PNN = PNB – D
PN = PNN – Ttl
Dimana:
F pendapatan neto atas factor luar negeri (yaitu pendapatan yang diterima dari
pendapatan yang dibayarkan ke luar negeri) atas factor produksi. Misalnya
gaji tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan ddividen
dari investasi asing atau gaji konsultan asing di Indonesia.
D = penyusutan
Ttl = pajak tak langsung neto
Jika tiga persamaan di atas digabungkan, akan didapat persamaan berikut:
PDB = PN + Trl + D – F
Atau
PN = PDB + F – D – Ttl
PDB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan:
1 Pendekatan produksi
2 Pendekatan pendapatan
3 Pendekatan pengeluaran
Pendekanta pertama dan kedua adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan
pendekatan ketiga (pengeluaran) adalah penghitungan PDB dari sisi permintaan agregat.
Menurut pendekatan produksi, PDB adalah jumlah nilai output dari semua sektor
ekonomi atau lapangan usaha. Berdasarkan satu digit, Biro Pusat Statistik (BPS)
membagi ekonomi nasional ke dalam 9 sektor:
1. Pertanian, pertambangan dan penggalian
2. Industri manufaktur
3. Listrik, gas dan air bersih
4. Bangunan
5. Perdaganan
6. Hotel, Restoran
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, sewa dan jasa perusahaan
9. jasa-jasa
Jadi PDB adalah jumlah NO dari dari ke sembilan sector tersebut
PDB = ∑ NOi
i = 1,2, …9
3. Sedangakan melalui pendekatan Pendapatan, PDB adalah jumlah pendapatan yang
diterima oleh factor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masingmasing sektor, seperti:
1. Tenaga kerja (gaji/upah)
2. Pemilik modal (bunga/hasil investasi)
3. Pemilik tanah (hasil jual/sewa tanah)
4. Pengusaha (keuntungan bisnis/perusahaan)
Semua pendapatan ini dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak-pajak
langsung lainnya. Dalam pendekatan ini, penghitungan PDB juga mencakup penyusutan
dan pajak-pajak tidak langsung neto. Oleh sebab itu, dalam pendekatan pendapatan,
PDB adalah jumlah dari nilai tambah bruto (NTB) dari ke sembilan sector tersebut.
PDB = NTB1 + NTB2 + ………. NTB9
Adapun menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah dari semua komponen
dari permintaan akhir, yakni pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta
non-profit oriented (C), pembentukan modal tetap domestic bruto, termasuk perubahan
stok (I), pengeluaran konsumsi pemerintah (G), ekspor (X), dan impor (M):
PDB = C + I + G + X – M
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN
Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari pertumbuhan permintaan agregat (AD)
atau/dan pertumbuhan penawaran agregrat (AS).
Dari sisi AD, peningkatan AD di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN, yang terdiri atas
permintaan masyarakat (konsumen), perusahaan, dan pemerintah, meningkat. Sisi AD
(penggunaan PDB) terdiri atas empat komponen: konsumsi rumah tangga, investasi
(termasuk perubahan stok), konsumsi/pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto (ekspor
barang dan jasa minus impor barang dan jasa)
Sisi AD di dalam suatu ekonomi bisa digambarkan dalam suatu model ekonomi makro
sebagai berikut:
Y=C+I+G+X–M
C = cY+Ca
I = -ir + Ia
G = Ga
X = Xa
M = mY + Ma
(3.1)
(3.2)
(3.3)
(3.4)
(3.5)
(3.6)
Persamaan (3.1) menggambarkan keseimbangan antara AS (total output/PDB) dan AD
yang terdiri atas empat komonen tersebut.
4. Persamaan (3.2) adalah besarnya konsumsi rumah tangga yang ditentukan oleh tingkat
pendapatan dan factor otonom (tidak tergantung pada tingkat/perubahan pendapatan: “c”
adalah koefisien konsumsi (marginal propensity to comsume; MPC) dengan nilai positif
0 dan 1, yang artinya sekamin tinggi pendapatan semakin besar pengeluaran konsumsi
rumah tangga.
Persamaan (3.3) menunjukkan nilai atau jumlah invenstasi (misalnya dalam jumlah
proyek) sangat ditentukan oleh tingkat suku bunga (i) di dalam negeri, selain juga oleh
sejumlah faktor-faktor lain yang bersifat otonom (I). Semakin tinggi i, dengan asumsi
faktor-faktor lain tetap (tidak berubah), semakin mahal biaya alternative dari investasi,
semakin kecil jumlah investasi di dalam ekonomi yang dicerminkan oleh tanda negative
di depan koefisien ‘r’.
Persamaan (3.4) adalah pengeluaran pemerintah yang sifatnya otomon: besar-kecilnya
pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor lain (di antaranya factor politik) di
luar model tersebut.
Persamaan (3.5) karena Indonesia adalah Negara kecil dilihat dari pangsa perdagangan
luar negerinya di dalam jumlah volume perdaganan dunia, maka pertumbuhan ekspor
Indonesia lebih ditentukan oleh factor-faktor eksternal di luar pengaruh Indonesia seperti
permintaan di negara-negara tujuan ekspor.
Persamaan (3.6) menggambarkan bahwa impor ditentukan oleh tingkat pendapatan di
dalam negeri, selain juga oleh factor otonom. Semakin tinggi pendapatan masayrakat di
Indonesia, semakin besar permintaan pasar dalam negeri terhadap impor, yang terdiri atas
barang dan jasa untuk keperluan konsumsi dan kegiatan proses produksi di dalam negeri.
Dari sisi AS, pertumbuhan output bisa disebabkan oleh peningkatan volume dari faktorfaktor produksi yang digunakan, seperti tenaga kerja, modal (capital), tanah, faktor
produksi terakhir ini khususnya penting bagi skctor pertanian dan energi. Pertumbuhan
output juga bisa didorong oleh peningkatan produktivitas dari factor-faktor tersebut. Jadi
relasi antara output dengan factor-faktor produksi dapat ditulis dalam suatu fungsi
sederhana sebagai berikut:
Q = f(X1, X2, X3,………. Xn,)
Di mana Q mewakili volume output dan X1, X2,………. Xn adalah volume dari faktorfaktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Tanda-tanda positif
di bawah setiap X menandakan hubungan antara setiap factor produksi tersebut dengan
output adalah positif: jika jumlah X1, meningkat, output juga meningkat.
TEORI-TEORI DAN MODEL-MODEL PERTUMBUHAN
A. TEORI Klasik
1. Teori Pertumbuhan Adam Smith
2. Teori Pertumbuhan David Ricardo
3. Teori Pertumbuhan dari Thomas Robert Malthus
4. Teori Marx
5. B. TEORI Neo-Keynes
C. TEORI Neo-Klasik
1. Model Pertumbuhan A. Lewis
2. Model Pertumbuhan Paul A.Baran
3. Teori Ketergantungan Neokolonial
4. Model Pertumbuhan WW. Rostow
5. Model Pertumbuhan Solow
D. TEORI Modern
A. Teori KLASIK
Ada dua aliran utama pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi (dilihat dari sisi
AS/produksi), yakni teori klasik dan teori modern dan di antara kedua ini, teroi klasik
neo-Keynes dan teori neo-Klasik
Dasar pemikiran dari teori kasik adalah pembangunan ekonomi dilandasi oleh
system liberal, yang mana pertumbuhan ekonomi dipacu oleh semangat untuk
mendapatkan keuntungan maksinal. Jika keuntungan meningkat, tabungan akan
meningkat, dan investasi juga akan bertambah. Hal ini akan meningkatkan stok
modal yang ada. Skala produksi meningkat dan meningkatkan permintaan terhadap
tenaga kerja sehingga tingkat upah juga meningkat. Yang terakhir ini selanjutnya
mengakibatkan jumlah suplai tenaga kerja meningkat yang akhirnya akan
menurunkan tingkat produktivitas dan keuntungan karena berlakunya hukum
tambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return) karena terbatasnya
jumlah sumber daya alam (SDA), seperti luan tanah.
Proses ini selanjutnya
mengakibatkan produksi, permintaan tenaga kerja, dan juga tingkat upah menurun.
Menurut pemikiran klasik, pada kondisi seperti ini perekonomian mengalami tingkat
kejenuhan atau keadaan stasioner. Ini adalah sebuah keadaan di mana perekonomian
telah dewasa, mapan, dan masyarakat telah sejahtera, tetapi tanpa perkembangan
lebih lanjut.
Beberapa teori klasik antara lain:
1) Teori Pertumbuhan Adam Smith
Di dalam teori ini, ada tiga factor penentu proses produksi/pertumbuhan, yakni:
SDA, SDM dan BARANG MODAL
2) Teori Pertumbuhan David Ricardo
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh SDA (dalam arti tanah)
yang terbatas jumlahnya, dan jumlah penduduk yang menghasilkan jumlah tenaga
kerja yang menyesuaikan diri dengan tingkat upah, di atas atau di bawah tingkat
upah alamiah (atau minimal). David Ricardo juga melihat adanya perubahan
teknologi yang selalu terjadi, yang membuat meningkatnya produktivitas tenaga
krja dan memperlambat proses diminishing return kemerosotan tingkat upah dan
keuntungan kearah tingkat minimumnya. David Ricardo juga melihat pertaian
sebagai sector utama sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
3) Teori Pertumbuhan dari Thomas Robert Malthus
Menurut teori Thomas Robert Malthus, ukuran keberhasilan suatu perekonomian
adalah kesejahteraan Negara, yakni jika PNB potensialnya meningkat. Sektor
6. yang dominant adalah pertanian dan industri. Jika di kedua sector tersebut
ditingkatkan, maka PNB potensialnya akan bias ditingkatkan. Ada dua kelompok
factor yang sangat menentukan pertumbuhan, yakni factor-faktor ekonomi, seperti
tanah, tenaga kerja, modal, dan organisasi; dan factor-faktor nonekonomi, seperti
keamanan atas kekakyan, konstitusi dan hokum yang pasti, etos kerja dan disiplin
pekerja tinggi. Diantara factor-faktor ekonomi tersebut, yang paling berbengaruh
adalah factor akumulasi modal. Tanpa penambahan modal (peningkatan
investasi), proses produksi akan berhenti dan berarti PNB potensial akan
berkurang atau hilang. Sumber utama akumulasi modal adalah keuntungan dari
pengusaha, bukan penghematan konsumsi atau tabungan masyarakat.
4) Teori Marx
Ada lima tahapan perkembangan sebuah perekonomian, menurut Marx yakni:
i) Perekonomian komunal primitive
ii) Perekonomian perbudakan
iii) Perekonomian feudal
iv) Perekonomian kapitalis
v) Perekonomian sosialis
Jika dirangkum teori-teori klasik ini, maka ada dua hal penting yang
membedakannya dengan teroi-teori lainnya yang muncul setelah itu, yakni:
1. Faktor-faktor produksi utama adalah tenaga kerja, tanah, dan modal
2. Peran teknologi dan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas dari tenaga
kerja dan dari input-input produksi lainnya terhadap pertumbuhan output
tidak mendapat perhatian secara eksplisit atau dianggap konstan (teknologi
dianggap suatu koefisien yang tetap, tedak berubah)
B. Teori NEO-KEYNES
Model pertumbuhan yang masuk di dalam kelompok teori neo-Kaynes adalah modal
dari Harrod dan Domar yang memcoba memperluas teori Keynes mengenai
keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka panjang dengan
melihat pengaruh dari investasi, baik pada AD maupun pada perluasan kapasitas
produksi AS, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan Ekonomi.
Dapat dikatakan bahwa model pertumbuhan dari Harrod-Domar (dikenal dengan
sebutan H-O) adalah suatu gabungan dengan modifikasi dari model pertumbuhan dari
Domar dan model pertubuhan dari Harrod.
Model dari Domar lebih memfokuskan pada laju pertumbuhan investasi (DI/I). Di
dalam modelnya, investasi (I) ditetapkan harus tumbuh dalam satu persentase yang
konstan, sejak s (marginal property to save, yakni rasio tambahan stok capital
terhadap tambahan output (∆K/∆Y) = k, kedua-duanya konstan. Jadi formulasinya
adalah sebagai berikut:
(DI/I = (1/ICOR)s
(3.7)
Sedangkan penekanan dari model Harrod pada pertumbuhan Y jangka panjang. Di
dalam modelnya, laju pertubumbuhan keseimbangan (disebut: warranted growth)
7. yang membuat besarnya S yang direncanakan ditetapkan selalu sama dengan
besarnya I yang direncanakan. Asumsi-asumsinya adalah sebagai berikut:
-hasrat menabung adalah bagian proporsional dari pendapatan nasional:
s = S/Y
(3.8)
-Tambahan capital untuk satu periode tertentu besarnya sama dengan investasi yang
ada:
∆K = I
(3.9)
-Seluruh tabungan tersalur dalam investasi netro:
S = I = ∆K
(3.10)
Sehingga:
s= S/Y = I/Y
(3.11)
- Maka pertumbuhan dirumuskan sebagai berikut:
g = ∆Y/Y = (∆Y/I) = (I/Y)(I/∆Y) = (S/Y)/( ∆K/∆Y) = s/k
(3.12)
Persamaan (3.12) merupakan persamaan dasar model Harrod. Rumus dasar ini
mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam satu kurun waktu akan tergantung
pada tabungan (s) dan efisiensi capital (k). Dengan demikian, jika laju pertumbuhan
ekonomi ingin ditingkatkan, maka bisa dengan dua cara, yakni meningkatkan
tabungan (memperbesar s) dan/ atau meningkatkan efisiensi/produktitivitas capital
(memperkecil k)
C. Teori NEO-KLASIK
Teori ini muncul karena kelemahan-kelemahan yang terdapat pada teori klasik yang
dibahas di atas. Beberapa model neo-kalisk adalah antara lain sebagai berikut:
1) Model Pertumbuhan Paul A. Lewis.
Model ini menjelaskan bagaimana pertubuhan ekonomi dimulai di sebuah Negara
Sedang Berkembang (NSB) yang mempunyai dua sector dan dengan sifat yang
berbeda, yakni pertanian tradisional yang subsistem di pedesaan dan industri yang
modern di perkotaan.
Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi terjadi karena pertumbuhan industri
dengan proses akumulasi modal yang pesat, sedangkan di pertanian
pertumbuhannya relative rendah dengan akumulasi capital yang rendah sekali.
Keunggulan komparatif di sector industri adalah upah buruh yang murah
dikarenakan suplai tenaga kerja yang berlimpah dari pertanian. Akibat terlalu
banyaknya tenaga kerja di pertanian (sehingga upah murah sekali) membuat
rendahnya marjinal produktivitas tenaga kerja di sector tersebut, sehingga
perpindahan tenaga kerja dari pertanian ke industri tidak sampai mengakibatkan
turunnya produksi di pertanian.
8. 2) Model Pertumbuhan Paul A. Baran
Model ini dikenal sebagai teroi pertumbuhan dan stagnasi ekonomi.
Baran berpendapat bahwa akibat pengaruh dari NM, ekonomi NSB akan menajdi
Buruk. Menurut Baran, proses kapitalisme di NSB berbeda dengan yang terjadi
di NM. Di NM, proses kapitalisme yang memakan waktu cukup panjang
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut;
a) Pertumbuhan ekonomi (atau produksi) meningkat bersamaan dengan
perpindahan masyarakat petani dari pedesaan ke industri di perkotaan;
b) Peningkatan produksi barang dan jasa berbarengan dengan terjadinya
pembagian dan spesialisasi kerja. Sebagian menjadi buruh dan sulit
berkembang dan sebagian lainnya menjadi kaya dan terus menumpuk capital.
Sedangkan, di NSB proses akumulasi modal tidak terjadi. Yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu modal asing yang dating ke NSB justru mengambil surplus
ekonomi yang terjadi, sehingga capital yang ada justru berkurang, dan masyarakat
menjadi miskin karena tidak menikmati surplus tersebut.
3) Teori ketergantungan Neokolonial
Dasar pemikiran dari teori ini adalah pembangunan ekonomi di NSB sangat
tergantung pada NM, terutama dalam investasi langsung (PMA) di sektor
pertambangan dan impor barang-barang industri.
Pekerja-pekerja di NSB
(disebut Negara-negara periferi/pinggiran) dipekerjakan sebagai buruh di
perusahaan-perusahaan asing yang berlokasi di NSB di sector pertanian dan
pertambangan, sementara semua kebutuhan produk-produk manufaktur, mulai
dari barang-barang konsumsi hingga peralatan dan mesin-mesin di impor dari NM
(disebut Negara-negara inti/pusat). Ini membuat NSB hanya bisa berspesialisasi
di produk-produk primer yang nilai tambahnya rendah, sementara NM
bersprsialisasi dalam produk-produk industri yang menghasilkan nilai tambah
besar. Walupun sekarang ini, sudah banyak NSB yang bersipesalisasi dalam
industri manufaktur, tetapi ketergantungannya terhadap NM tetap tinggi, bahkan
menjadi lebih tergantung, terutama dalam pinjaman (ULN) dan teknologi
4) Model Pertumbuhan WW Rostow
Menurut Rostow, pembangunan di manapun juga merupakan proses yang
bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat terbelakan ke
masyarakat maju. Proses ini, dengan pelbagai variasinya, pada dasarnya
berlangsung sama di manapun dan kapanpun juga. Vaiasi yang ada bukan
merupakan perubahan yang mendasar dari proses tersebut. Dalam modelnya,
proses pembangunan terdiri atas lima tahapan yaitu;
1. Masyarakat tradisional
2. Prakondisi untuk lepas landas
3. Lepas landas
4. Menuju kedewasaan
5. Era konsumsi missal tinggi
Kriteria yang digunakan untuk membedakan tahap satu dengan tahap berikutnya
adalah perubahan yang terjadi dalam kondisi ekonomi, social, politik, serta
budaya dalam sebuah perekonomian.
9. 5) Model Pertumbuhan Solow
Model ini merupakan penyempurnaan model pertumbuhan Harrod-Domar.
Dalam model ini, proposisi factor produksi diasumsikan dapat berubah (jumlah
capital dan tenaga kerja atau rasio dari kedua factor ini dalam sebuah proses
produksi/produk tidak harus konstan, atau bisa saling mensubsitusi) dan tingkat
upah tenaga kerja dan suku bunga juga bisa berubah. Jika jumlah tenaga kerja
tumbuh melebihi jumlah stok capital, upah akan turun relative terhadap suku
bunga. Atau sebaliknya, jika pertumbuhan capital melebihi pertumbuhan tenaga
kerja, suku bunga akan turun relative terhadap upah. Fleksibilitas harga factor
produksi ini yang memungkinkan jalur pertumbuhan dalam model in bisa menjdai
stabil; berbeda dengan model H-O yang bisa mengalami ketidakstabilan yang
berkepanjangan jika syarat-syarat untuk mencapai pertumbuhan warranted tidak
terpenuhi.
Model ini menganalisis pertumbuhan ekonomi (Y) dengan
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan dua factor produksi, yakni
capital (K) dan tenaga kerja (L), dapat tumbuh pada tumbuh pada tingkat yang
berdeba:
Y = Kα(AL)β
(3.13)
Dimana A = Konstanta yang nilainya berbeda-beda untuk perekonomian yang
berbeda, dan α dan β adalah elastisitas output terhadap capital dan tenaga kerja.
Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, α + β = 1 – α (atau β = 1 – α), yang artinya
bahwa penginkatan output sama persis dengan produktivitas fisik marginal dari
kedua factor produksi tersebut dikalikan dengan kenaikannya.
Hal ini
mengimplikasikan skala hasil yang konstan.
D) Teori MODERN
Akibat kelemahan dari teori-teroi di atas muncul paradigma baru yang memberi
penekanan pada pengtingnya pengaruh dari progress teknologi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Model-model berdasarkan paradigma baru ini disebut
model-model pertubuhan baru/modern.
Dalam teori modern ini, factor-faktor produksi yang krusial tidak hanya
banyaknya tenaga kerja dan modal, tetapi juga kualitas SDM dan kemajuan
teknologi (yang terkandung di dalam barang modal atau mesin), enerji
(khususnya enerji alternative), kewirausahaan, bahan baku, dan material.
Bahkan dalam era globalisasi dan perdaganan bebas dunia saat ini, kualitas SDM
dan teknologi merupakan dua factor dalam satu paket yang menjadi penentu
utama keberhasilan suatu bangsa/Negara.
Selain yang disebutkan di atas, factor-faktor lain yang penting menurut teori
modern juga dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum serta peraturan-peraturan,
stabilitas politik, kebijakan pemerintah (yang antara lain dicerminkan oleh
besarnya pengeluaran pemerintah), birokrasi, dan dasar tukar internasional (terms
10. of trade; ToT). Pentingnya factor-faktor ini terhadap pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat dari kasus Negara-negara di Afrika, terutama Sub-Sahara Afrika. Menurut
studi yang ada, terhentinya pembangunan ekonomi di Negara-negara tersebut
disebabkan antara lain oleh kualitas tenaga kerjanya yang sangat rendah, politik
yang tidak stabil, peperangan, deficit keuangan pemerintah, dan keterbatasan
infrastruktur.
Jadi model-model pertumbuhan baru memasuki aspek-aspek endogenitis dan
eksternalitas di dalam proses pembangunan ekonomi. Salah satu asumsi penting
dari teori moderen ini adalah sifat keberadaan teknologi yang tidak lagi eksogen
(given), tetapi merupakan salah satu factor produksi yang dinamis. Demikian
juga factor manusia; tenaga kerja di dalam fungsi produksi tidak lagi merupakan
suatu factor yang eksogen, tetapi bisa ‘berkembang’ mengikuti perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan (iptek). Kemajuan iptek serta SDM mendaji
sumber-sumber penting pertumbuhan, yang efeknya lewat peningkatan
produktivitas dari input-input yang digunakan dalam proses produksi.
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE
BARU HINGGA SEKARANG
Pada tahun 1968 PN per kapita masih sangat rendah hanya sekitar US$60.
Sejak Repelita I dimulai PN Indonesia per kapita mengalami peningkatan yang relative
tinggi setiap tahun dan pada akhir decade 1980-an telah mendekati US$500. Hal ini
disebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata per tahun juga tinggi 7% - 8% selama 1970an dan turun ke 3% - 4% per tahun selama 1980-an.
Selama pertengahan pertama 1990-an, rata-rata pertumbuhan per tahun antara 7,3%
hingga 8,2%, membuat Indonesia termasuk Negara ASEAN dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Pada tahun 1993 rata-rata pendapatan per kapita di Indonesia naik
pesat yaitu melewati angka 800 US$
Pada saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya, yakni tahun 1998, laju pertumbuhan
PDB jatuh drastic hingga 13.1%. Namun pada tahun 1999 kembali positif walaupun
sangat kecil sekitar 0,8% dan tahun 2000 ekonomi Indonesia sempat mengalami laju
pertumbuhan yang tinggi hamper mencapai 5%. Tahun 2001 laju pertumbuhan ekonomi
kembali merosot hingga 3.8% akibat gejolak politik yang sempat memanas kembali dan
sejak tahun 2002 pertumbuhan mulai membaik kembali dan pada tahun 2007 laju
pertumbuhan tercatat di atas 6% (lihat gambar pertumbuhan PDB Indonesia: 1998 –
2007
Pertumbuhan PDB Indonesia: 1998 – 2007:
1998 = -13,1
1999 = 0,8
2000 = 4,9
2001 = 3,8
2002 = 4,4
12. ekonomi, dengan asumsi factor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti
manusia (tenaga kerja), bahan baku, dan teknologi, tersedia.
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi, umum disebut transformasi
structural, dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu
dengan yang lainnya dalam komposisi AD, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor),
AS (produksi dan penggunaan factor-faktor produksi yang diperlukan guna mendukung
proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan).
1. Teori dan Bukti Empris
Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur
ekonomi, yakni dari Arthur Lewis (teroi migrasi) dan Holis Chenery (teori
transformasi stuktural)
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang
terjadi di pedesaan dan perkotaan. Menurut Lewis perekonomian suatu Negara terbagi
dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi sector pertanian dan
perekonomian modern di perkotaan dengan industri sebagai sector utama. Di pedesaan,
karena pertumbuhan penduduknya tinggi maka terjadi kelebihan suplai tenaga kerja, dan
tingkat hidup masyarakatnya berada pada kondisi subsistens akibat perekonomian yang
sifatnya juga subsistens. Kelebihan tenaga kerja ini ditandai dengan produk marjinalnya
yang nilainya nol dan tingkat upah riil (w) yang rendah. Relasi antara upah riil dan
jumlah tenaga kerja di dalam perekonomian perdesaan (sector pertanian) dapat dijelaskan
dengan menggunakan sebuah model ekonometris sedrhana mengenai dinamika pasar
tenaga kerja yang terdiri dari tiga persamaan:
LPD = Fd(wp,Yp)
(3.14)
LPS = Fs(wp)
(3.15)
LPS = Fs(wp)
(3.16)
Persamaan (3.14) adalah permintaan tenaga kerja L PD yang merupakan suatu fungsi
negative dari tingkat upah (wp) (Fd’ wp>0),* dan positif dari volume produksi pertanian
(Yp) (Fd’Yp>0)**
(*Berdasarkan prinsip profit maximalization (teori produser), titik keseimbangan dicapai pada saat produk marjinal
(MP) = biaya marjinal (MC) = w. Maka, semakin tinggi upah nominal (W) atau w dengan harga tetap tidak berubah,
semakin sedikit permintaan perusahaan terhadap L, karena W membentuk MC>MP
(** semakin banyak produksi yang (akan) dibuat semakin banyak dibutuhkan tenaga kerja (L) dari perusahaan yang
bersangkutan.
Persamaan (3.15) adalah penawaran tenaga kerja (LPS) yang merupakan suatu fungsi
positip dari tingkat upah (Fw’wp)***
(***Di dalam teori utilitas dinyatakan bahwa, dengan waktu 24 jam sehari, seserong akan mencari suatu titik
kombinasi antara lamanya jam bekerja (work) dan lamanya jam tidak bekerja (leisure) yang memberikan kepuasan
paling tinggi baginya. Berdasarkan prinsip utility maximalization ini, ia akan lebih menggunakan waktunya untuk
bekerja apabila opportunity cost atau kerugian akibat pendapatan yang hilang karena tidak bekerja lebih besar daripada
keungungan (dihitung dalam uang) dari tidak bekerja. Besarnya biaya altlernatif ini ditentukan oleh tingkat upah per
13. jam dikali berapa jam bekerja. Maka, pada tingkat makro, semakin tinggi upah yang ditawarkan oleh sebuah
perusahaan, semakin banyak orang yang ingin bekerja di perusahaan tersebut.
Persamaan (3.16), mencerminkan keseimbangan di pasar tenaga kerja, yang
menghasilkan tingkat w (W setelah dikoreksi dengan inflasi) dan jumlah tenaga kerja
tertentu. Model ini juga bisa diterapkan untuk sector industri di perkotaan.
Nilai MP nol, artinya fungsi produksi di sector pertanian (disebut juga sector perdesaan),
seperti yang digambarkan di persamaan (3.17) telah sampai pada tingkat optimal, dan jika
jumlah tenaga kerja lebih besar daripada di titik optimal tersebut maka berlaku hukum
penghasilan menurun: semakin banyak orang bekerja di sector pertanian, semakin rendah
tingkat produktivitas tenaga kerja (Yp/Lp), atau total produksi yang dihasilkan di sector
tersebut (Fy’’<0)
Yp = Fyp(Lp)
Dalam kondisi seperti ini, pengurangan jumlah tenaga kerja tidak akan mengurangi
jumlah output di sector tersebut, karena proporsi tenaga kerja terlalu banyak
dibangingkan proporsi input, seperti tanah dan capital. Akibat kelebihan pekerja ini,
upah atau tingkat pendapatan di pertanian/perdesaan menjadi sangat rendah. Sebaliknya,
di perkotaan, sector industri mengalami kekurangan pekerja (LiS<LiD. Dalam kondisi
pasar tenaga kerja seperti ini, produktivitas tenaga kerja sangat tinggi dan nilai MP dari
tenaga kerja positif, yang menunjukkan bahwa fungsi produksinya belum berada pada
tingkat optimal yang dapat dicapai.
Sesuai hukum pasar, tingginya produktivitas
membuat tingkat w/L di sector perkotaan juga tinggi.
Perbedaan upah di pertanian/perdesaan dengan di industri/perkotaan (Wp<Wi), menarik
banyak tenaga kerja pindah dari sector pertama ke sector ke dua; maka terjadilah suatu
proses migrasi dan urbanisasi. Tenaga kerja yang pindah ke industri memdapat
penghasilan yang lebih tinggi daripada sewaktu masih bekerja di pertanian (Y i>Yp).
Secara agregat, berpindahnya sebagian tenaga kerja dari sector dengan upah rendah ke
sector dengan upah tinggi membuat pendapatan di Negara bersangkutan meningkat.
Bersamaan dengan peningkatan pendapatan tersebut, permintaan terhadap makanan (D)
meningkat, dan ini menjadi factor pendorong utama pertumbuhan output di sector
tersebut dari sisi AD; dan dalam jangka panjang perekonomian perdesaan mengalami
pertumbuhan. Di pihak lain, terjadi pola perubahan permintaan konsumen: masyarakat
atau pekerja yang mengalami peningkatan pendapatan mengkonsumsikan sebagian besar
pendapatannya untuk berbagai macam produk-produk industri dan jasa (D). Perubahan
pola konsumsi ini menjadi motor utama pertumbuhan output dan diversifikasi produksi di
sector-ektor nonpertanian tersebut.
Kerangka pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama seperti di modal Lewis. Teori
Chenery, dikenal dengan teori pattern of development, memfokuskan pada perubahan
struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di NSB, yang mengalami transformasi
dari pertanian tradisional (subsistens) ke sector industri sebagai mesin utama penggerak
pertumbuhan ekonomi.
14. Di dalam kelompok Negara-negara sedang berkembang (NSB), banyak Negara yang juga
mengalami transisi ekonomi yang pesat dalam tiga decade terakhir ini, walaupun pola
dan prosesnya berbeda antarnegara. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan antarnegara
dalam sejumlah factor internal seperti berikut:
a) Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri (basis ekonomi)
Semua negara yang pada awal pembangunan ekonomi/industrialisasinya sudah
memiliki industri-industri dasar, seperti mesin, besi dan baja yang relative kuat akan
mengalami proses industrialisasi lebih pesat/cepat dibandingkan Negara yang hanya
memiliki industri-industri ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan, dan
minuman.
b) Besarnya pasar dalam negeri
Besarnya pasar domestic ditntukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat
pendapatan riil per kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan
jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang (walapun tingkat pedapatan per kapita
rendah), merupakan salah satu factor insentif bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi,
termasuk industri, karena menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam
proses produksi (dengan asumsi bahwa factor-faktor penentu lainnya mendukung)
c) Pola distribusi pendapatan
Faktor ini sangat mendukung factor pasar di atas. Walaupun tingkat pendapatan ratarata per kapita naik pesat, tetapi kalau distribusinya sangat pincang, kenaikan
pendapatan tersebut tidak terlalu berarti bagi pertumbuhan industri-industri selain
industri-industri yang membaut barang-barang sederhana makanan dan minuman,
sepatu dan pakaian jadi (tekstil). Misalnya, kalau 20% dari PDB atau PN dinikmati
oleh 80% dari jumlah penduduk (berarti kelompok kaya 20% dari jumlah populasi),
maka sesuai teori Engel mengenai perbedaan elastisitas pendapatan terhadap
permintaan antara barang-barang dari kategori ferior dan inferior, maka permintaan
efektif terhadap barang-barang dari kategori pertama tersebut kecil, dan ini tidak
terlalu merangsang pertumbuhan industri-industri yang membuat barang-barang
tersebut.
d) Karakteristik dari industrialisasi
Misalnya, cara pelaksanaan atau strategi pengembangan industri yang diterapkan,
jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan industri, dan insentif yang
diberikan. Aspek-aspek ini biasanya berbeda antarnegara yang menghasilkan pola
industrialisasi yang juga berbeda antarnegara.
e) Keberadaan SDA
Ada kecenderungan bahwa Negara yang kaya SDA mengalami pertumbuhan
ekonomi yang lebih rendah atau terlambat melakukan industrialisasi atau tidak
berhasil melakukan diversifikasi ekonomi (perubahan struktur) daripada Negara yang
miskin SDA. Contoh Indonesia yang awalnya sangat mengandalkan kekayaan SDAnya terutama migas, dapat dikatakan relative terlambat melakukan industrialisasi
dibandingkan Negara-negara kecil dan miskin SDA di Asia Tenggara dan Timur,
seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.
f. Kebijakan perdagangan luar negeri
Fakta menunjukkan bahwa di Negara yang menerapkan kebijakan ekonomi tertutup
(inward looking), pola dan hasil industrialisasi berbeda dibandingkan di Negaranegara yang menerapkan kebijakan ekonomi terbuka (outward looking). Banyak
15. NSB, termasuk Indonesia, pada awal pembangunan menerapkan kebijakan protektif
terhadap sector industrinya, kebijakan yang umum disebut kebijakan subsitusi impor.
Hasilnya, sector industri mereka berkembang tidak efisien, sangat tergantung pada,
dan tingkat diversifiksi rendah, khususnya lemah di kelompok industri-industri
tengah, seperti industri barang modal, input perantara, dan komponen-komponen
untuk kelompok industri-industri hilir, pada umumnya menerapkan system produksi
assembling. Sedangkan Negara-negara berpendapatan di Asia Tenggara dan Timur,
seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, yang menerapkan
kebijakan ekonomi terbuka atau kebijakan promosi ekspor sangat berhasil dalam
struktur ekonomi mereka dengan tingkat efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dalam periode yang relative tidak terlalu lama.
2. Kasus Indonesia
Kalau dilihat sejak awal era pemerintahan orde baru hingga sekarang, dapat dikatakan
bahwa proses perubahan struktur ekonomi Indonesia cukup pesat. Pada tahun 1970, nilai
tambah bruto (NTB) dari sector pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
menyumbang sekitar 45% terhadap pembentukan PDB, dan pada decade 1990-an hanya
tinggal sekitar 16% hingga 20%, dan tahun 2006 tinggal 12,9% (Lihat Tabel di bawah).
Sedangkan sumbangan output dari industri manufaktur terhadap PDB pada tahun 2006
tercatat sekitar 28%; jadi sudah lebih besar daripada pertanian, dan ini jelas merupakan
bahwa ekonomi nasional telah mengalami suatu perubahan secara structural dalam 3
dekade belakangan ini. Namun demikian, penurunan rasio output pertanian terhadap
PDB tersebut tidak berarti bahwa volume produksi di sector terebut berkurang selama
periode tersebut (atau pertumbuhan rata-rata per tahun negative)
Persentase Distribusi dari PDB atas Harga-harga Pasar yang Berlaku
menurut Sektor, 2003 – 2006
Sektor
2003 2004 2005 2006
Pertanian, peternakan, kehutanan & Perikantgan
15,2 14,3 13,1 12,9
Pertambangan dan penggalian
8,3
8,9 11,1 10,6
Industri manufaktur
28,3 28,1 27,7 28,0
Listrik, gas & Air
1,0
1,0
1,0
0,9
Bangunan
6,2
6,6
7,0
7,5
Perdagangan, hotel & restoran
16,6 16,1 15,4 14,9
Transportasi & Komunikasi
5,9
6,2
6,5
6,9
Keuangan, penyewaan, & jasa-jasa bisnis
8,6
8,5
8,3
8,1
Jasa lainnya
9,9 10,3
9,9 10,1
PDB
100, 100, 100,
100,0
0
0
0
PDB nonmigas
91,4 90,7 88,6 89,2
Sumber BPS
KRISIS EKONOMI 1997/1998
Pata tahun 1998 PDB merosot tajam hingga 13 % yang membuat pendapatan perkapita
juga menurun drastis.
Sektor keuangan/perbankan yang pada masa orde baru
berkembang sangat pesat, terutama sejak deregulasi pertama di sector tersebut pada awal
16. decade 1980-an (geberakan Sumarlin I) hancur sama sekali, terutama karena kredit macet
antar bank. Dari sisi suplai, sector industri manufaktur dan sector konstruksi (bangunan),
yang pada era orde baru bukan saja berkembang sangat pesat, tetapi juga sebagai motor
utama peertumbuhan ekonomi juga mengalami penurunan produksi signifikan. Praktis
hampir semua sector ekonomi mengalami pertumbuhan negate.
Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan positif selama 1998 hanya pertanian dengan
1,3%, listirk, gas, dan air bersih 3,11%
Krisis ekonomi diawali oleh krisis keuangan terumata kurs rupiah. Kenapa rupiah tibatiba mengalami depresiasi pada pertengahan tahun 1997 dan terus berlangsung hingga
tahun 1998, jawabnya ialah terjadi pelarian modal (dalam dolar AS) secara mendadak
dan dalam jumlah yang sangat besar, yang membuat permintaaan dolar AS di pasar
domestic meningkat tajam yang akhirnya, sesuai mekanisme pasar, mendorong ke atas
kurs rupiah terhadap dolar AS.
Kenapa tiba-tiba dolar AS dalam jumlah yang sangat besar meninggalkan Indonesia, dan
siapa pemilik dolar tersebut? Kebanyakan modal asing yang masuk dalam bentuk jangka
pendek (umumnya disebut investasi portofolio), bukan jangka panjang, yang sebenarnya
sangat berbahaya, apalagi jika motivasi di belakang masuknya modal asing tersebut
adalah spekulatif, yang artinya setiap saat bisa kabur lagi.
Netto tabungan investasi negative menandakan bahwa dinegara-negara (Indonesia,
Thiland, Malaysia, dan Korea Selatan) tersebut, menjelang krisis telah terjadi kelebihan
investasi di sector-sektor yang tidak diperdagangkan secara internasional, seperti:
apartemen, pertokoan, dan konstruksi lainnya.
Neraca fiscal yang menjelang 1998 semaking deficit dan ini biasanya menimbulkan
kenaikan utang, khususnya dari luar negeri. Defisit kekuangan pemerintah yang
berkelanjutan atau cenderung membesar terus bisa memberi suatu indikasi bahwa suatu
saat pemerintah tidaksanggup lagi berperan di dalam ekonomi lewat pengeluarannya
secara optimal, dan suatu hal yang negative bagi kelangsungan ekonomi, khususnya
ekonomi yang masih sangat tergantung pada pengeluaran pemerintah.
Kecenderungan ekonomi dari Negara-negara tersebut mamanas, yang akhirnya bisa
meledak, membuat para investor asing yang memegang saham-saham dari perusahaanperusahaan besar di Negara-negara itu mulai khawatir. Mereka meyakini bahwa tidak
lama lagi ekonomi dari Negara-negara tersebut, terutama Indonesia dan Thailand, yang
pada waktu itu disebut-sebut sebagai calon-calon macan baru Asia mengikuti macanmacan yang sudah ada, seperti: Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong, akan
meledak. Akhirnya para investor asing tersebut menjual semua saham-saham yang
mereka pegang.
Tanggal 14 Agustus 1997 BI terpaksa menghapus rentang intervensinya (11 Juli 1997 BI
memperlebar rentang intervensi rupiah sebesar 50% dari 8% menjadi 12%) yang berarti
melepas system penentuan kurs bebas terkendali yang telah diterapkan sejak orde baru.
17. Perkembangan kurs rupiah terhadap USD setelah kurs rupiah ditentukan oleh pasar
adalah sebagai berikut:
1990 = Rp. 1.842,81 per 1 Dolar AS
1995 = Rp. 2.248,61 per 1 Dolar AS
1996 = Rp. 2.342,30 per 1 Dolar AS
1997 = Rp. 2.909,38 per 1 Dolar AS
1998 = Rp.10.013,6 per 1 Dolar AS
1999 = Rp. 7.855,15 per 1 Dolar AS
2000 = Rp. 8.421,78 per 1 Dolar AS
2001 = Rp.10.260,90 per 1 Dolar AS
2002 = Rp. 9.311,19 per 1 Dolar AS
2003 = Rp. 8.577,13 per 1 Dolar AS
2004 = Rp. 8.939,95 per 1 Dolar AS
2005 = Rp. 9.704,74 per 1 Dolar AS
2006 = Rp. 9.159,32 per 1 Dolar AS
2007 = Rp. 9.143,36 per 1 Dolar AS
Sumber ADB database
Kenapa depresiasi rupiah sampai mengakibatkan krisis keuangan? Jawabnya, selama
orde baru banyak perusahaan, khususnya konglomerat, di dalam negeri yang membuat
utang luar negeri. Lihat Tabel di bawah menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand, dan
Malasyia, sector swasta nonblank adalah pihak terbesar yang menerima pinjaman luar
negeri pada akhir tahun 1997, dan jumlah tersebut di atas rata-rata pinjaman luar negeri
oleh NSB yang sedikit di bawah 50%. Berbeda sekali dengan di tiga Negara tersebut, di
Korea Selatan, sekitar 65% dari jumlah pinjaman luar negeri adalah oleh bank-bank
komersial, dibandingkan dengan hanya 31% oleh perusahaan-perusahaan nonblank.
Sedangkan pinjaman pemerintah di keempat Negara tersebut waktu itu relative rendah,
dan paling rendah adalah di Korea Selatan dan Malaysia, walaupun data yang ada tidak
membedakan antara pinjaman oleh BUMN dan pinjaman oleh perusahaan-perusahaan
swasta.
Kebanyakan pinjaman internasional oleh swasta tersebut adalah pinjaman jangka pendek
yang dipakai untuk membiayai pembangunan proyek-proyek jangka panjang. Ini satu
kesalahan besar.
Kesalahan besar lainnya, perusahaan-perusahaan yang banyak
meminjam uang dari luar negeri tidak melindungi pinjamannya dalam bentuk melakukan
hedging, karena para pemilik perusahaan tersebut sangat percaya bahwa Soeharto akan
terus bertahan sebagai peresiden dan dia akan tetap konsisten dengan system penentuan
kurs “setengah tetap” (atau managed floating), yang artinya kurs rupiah tidak akan
mengalami perubahan besar selama Soeharto berkuasa.
Tabel
Pinjaman yang Disalurkan oleh Bank-Bank Internasional (yang Melapor ke BIS) ke
Indonesia, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, dan NSB,
akhir Juni 1997 (miliar dolar AS
Sektor
Indonesia Korea Selatan Malaysia
Thailand
NSB
Total pinjaman:
58,6
103,4
28,9
79,4
743,8
18. Yang mana:
Bank
12,4 (21,1)*
67,3 (65,1)
10,5 (36,3)
Swasta nonbank
39,7 (67,7)
31,7 (30,6)
16,5 (57,1)
Pemerintah
6,5 (11,1)
4,4 (4,3)
1,9 (6,6)
Keterangan: *Persentase Sumber Tabel 2 di Sundaram (2008) (data BIS)
26,1 (32,9)
41,3 (52,0)
12,0 (15,1)
275,3 (37,0)
352,9 (47,4)
115,6 (15,5)
Bank-bank nasional yang pinjam uang dari luar negeri juga tidak melakukan hedging.
Bank-bank nasional yang goncang akibat depresiasi rupiah menjadi tambah parah lagi
akibat banyaknya perusahaan sebagai debiturnya yang tidak bisa memenuhi kewajiban
mereka, yang dimaksud dengan kredit macet (non-performing loan atauNPL)
Tabel
Non-performing loan dari Perbankan di ASEAN (% dari jumlah pinjaman kotor)
Negara
2000
2001
2002
2003 2004 2005 2006
Brunei Darussalam
Kamboja
Indonesia
34,4
31,9
24,0
19,4
14,2
14,8
13,1
Lao PDR
Malaysia
15,4
17,8
15,9
13,9
11,7
9,5
8,5
Myanmar
Filipina
24,0
27,7
26,5
26,1
24,7
19,7
18,6
Singapura
3,4
8,0
7,7
6,7
5,0
3,8
2,8
Thailand
17,7
11,5
15,7
12,9
10,9
8,3
7,5
Vietnam
-
2007
13,5
8,2
2,5
-
Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sangat tergantung pada impor untuk
berproduksi juga tidak melakukan hedging. Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS dengan sendirinya membuat biaya impor yang berarti juga biaya produksi
meningkat tajam. Banyak perusahaan yang tidak sanggup menanggung ekstra beban
biaya tersebut terpaksa mengurangi impor yang berarti mengurangi volume produksinya.
Bahkan banyak juga perusahaan yang terpaksa tutup, yang selanjutnya mengakibatkan
jumlah pengangguran dan tinkat kemiskinan meningkat meningkat.
Sedangkan
perusahaan-perusahaan yang mau tetap impor juga mengalami kesulitan karena letter of
credit (L/C) yang dikeluarkan oleh bank-bank nasional titolak oleh bank-bank di luar
negeri, setelah mereka mengetahui bahwa bank-bank di Indonesia sedang mengalami
kebangkrutan.
Dari pengalaman krisis yang pernah terjadi, maka langkah-langkah yang harus diambil
agar krisis serupa tidak terulang lagi adalah sebagai berikut:
a) Ekspor diperkuat
b) Ketergantungan pada ULN, impor, dan investasi jangka pendek atau bermotivasi
spekulasi dihilangkan.
c) Sektor perbankan diperkuat
d) Menerapkan kembali mekanisme penentuan kurs berdasarkan system bebas
terkendali, dan
19. e) Menyiapkan cara/kebijakan penanggulangan krisis yang bagus dengan memerhatikan
semua factor yang secara teori sangat memungkinkan munculnya suatu krisis serupa.
Gambar terjadinya Krisis Ekonomi di Indonesia
Modal (dolar AS) lari dari Thailang
Bath depresiasi
Modal (dolar AS) lari dari Indonesia
Harga impor (dolar AS
Rupiah depresiasi
Krisis keuangan perusahaan
Impor berkurang
Perusahaan Bangkrkut
Output menurun
PDB menurun
Inflasi meningkat
Krisis keuangan perbankan
Perbankan hancur
Pengangguran meningkat
Kemiskinan meningkat
Permintaan menurun
Suatu system atau mekanisme penanggulangan krisis yang baik, banyak sekali
prasyaratnya, yang salah satunya adalah adanya harmonisasi antarlembaga pemerintah
terkait, khususnya Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan
Luar Negeri.
Metode Penghitungan Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam nilai absolute dan nilai relative (persentase).
Pertumbuhan dalam nilai absolute dinyatakan dalam rupiah, misalnya PDB tahun 2000
20. tumbuh 2 triliun rupiah dibandingkan PDB tahun 1999. Sedangkan, pertumbuhan dalam
persentase, dapat dihitung dengan cara sederhana sebagai berikut:
DPDB (t) = [PDB(t) – PDB(t-1)/PDB(t-1)] x 100%
dimana DPDB (t) = pertumbuhan ekonomi tahun (t) tertentu dalam nilai absolute;
t-1 = tahun sebelumnya.
Sedangkan untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun selama,
misalnya decade 1990-an, menggunakan rumus sebagai berikut:
r = [(n-1 םtn/t0)-1] x 100%
atau dengan faktor penggabungan:
tn = t0(1+r) n-1
dimana r = laju pertumbuhan PDB rata-rata per tahun
n = jumlah tahun (misalnya untuk periode 1990-an, n = 10)
tn = tahun terakhir periode
t0 = tahun awal periode
(1+r) n-1 = menggambarkan factor penggabungan.
Pertumbuhan ekonomi dalam nilai absolute selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai
nominal berdasarkan harga berlaku dan nilai riil (nyata) berdasarkan harga konstan.
Menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa yang dihasilkan (yang totalnya
membentuk PDB) dihitung berdasarkan harga pasar pada tahun bersangkjutan, yang
berarti kenaikan harga-harga (efek inflasi) turut dihitung.
Sedangkan menurut harga konstan nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada
‘tahun dasar’ (indeks harga konsumen atau IHK = 100). Jadi, pertumbuhan PDB dalam
nilai riil tidak dipengaruhi oleh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat
ekonomi (PDB).
Ada tiga metode untuk mengubah angka menurut harga berlaku menjadi angka menurut
harga konstan, yakni:
1 Metode revaluasi
2 Metode ekstrapolasi dan
3 Metode Deflasi.
METODE REVALUASI, dilakukan dengan cara menilai produksi masing-masing tahun
dengan memakai harga tahun tertentu yang dijadikan tahun dasar.
METODE EKSTRAPOLASI, dilakukan dengan cara memperbaharui nilai tahun dasar
dengan indeks produksi atau tingkat pertumbuhan riil dari tahun sebelumnya.
METODE DEFLASI, dilakukan dengan cara membagi nilai produksi masing-masing
tahun dengan harga relative yang sesuai (indeks harga x 1/100) (Dumairy, 1996.
21. Jadi secara sederhana,
Cara menghitung PDB menurut harga konstan dapat dilakukan dengan rumus sebagai
berikut:
PDBHK(t) = [100/IHKt] x PDBHB(t)
Cara menghitung PDB menurut harga berlaku:
PDBHB(t) = [PDBHK(t) x IHKt]/100
dimana: HKt = harga konstan
HBt = harga berlaku
IHKt = indeks harga konsumen
100 = IHK tahun dasar
t = tahun tertentu
Dalam menganalisa kinerja ekonomi suatu Negara, sebaiknya yang dilihat adalah
pertumbuhan PDB atau PNB dalam nilai riil, bukan nilai nominal. Karena, bisa saja
misalnya pertumbuhan PDB dalam nilai nominal sekitar 4%, tetapi sepenuhnya
disebabkan oleh laju infalsi yang tinggi, sedangkan volume out-put-nya relative sama
atau tidak ada peningkatan yang berarti. Sedangkan pertumbuhan PDB dalam nilai riil
menunjukkan pertumbuhan output yang sebenarnya.