1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai
jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan
merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan juga
dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau sekelompok orang atau keluarga memilih
makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan
sosial (Suhardjo, 1989).
Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan
dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan.
Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat
menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat
pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang. Sehingga status gizi seseorang akan lebih
baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan dari penyakit (Baliwati,
dkk., 2004).
2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan
1. Pengetahuan ibu mengenai makanan yang bergizi
Pengetahuan ibu tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka
pemberian makanan untuk keluarga biasa dipilih bahan-bahan makanan yang hanya
dapat mengenyangkan perut saja tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau
tidak, sehingga kebutuhan gizi energi dan zat gizi masyarakat dan anggota keluarga
tidak tercukupi (Herlianty, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2. 2. Pendidikan ibu
Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya.
Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan yang
dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarganya lainnya.
Pendidikan gizi ibu bertujuan meningkatkan penggunaan sumber daya
makanan yang tersedia. Hal ini dapat diasumsikan bahwa tingkat kecukupan zat gizi
pada anak tinggi bila pendidikan ibu tinggi.
3. Pendapatan Keluarga
Pendapatan salah satu faktor dalam menentukan kualitas dan kuantitas
makanan.Tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan
tambahan uang tersebut. Orang miskin membelanjakan sebagian pendapatan
tambahan untuk makanan sedangkan orang kaya jauh lebih rendah (Agoes, 2003).
Menurut pendapat Den Hartog dan Hautvast diikuti oleh Almatsier (2004),
makanan mempunyai peranan sosiokultur yaitu:
1. Makanan untuk kenikmatan
Manusia makan untuk kenikmatan. Kesukaan akan makanan berbeda dari satu
bangsa lain dan dari daerah/suku ke daerah/suku lain. Makanan yang disukai
adalah makanan yang memenuhi selera atau citarasa, yaitu dalam hal rupa, warna,
bau, rasa dan tekstur.
2. Makanan sebagai fungsi menyatakan jati diri
Makanan sering dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati diri,
seorang atau kelompok orang, misalnya di Jepang ikan mentah merupakan
makanan terhormat untuk disajikan kepada tamu-tamu.
Universitas Sumatera Utara
3. 3. Makanan sebagai fungsi religi
Banyak simbol religi dan magis yang dikaitkan pada makanan, misalnya
masyarakat Jawa pada berbagai upacara selamatan dihidangkan nasi tumpeng.
4. Makanan sebagai fungsi komunikasi
Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia berhubungan satu sama
lain. Di dalam keluarga kehangatan hubungan antar anggotanya terjadi pada waktu
makan bersama.
5. Makanan sebagai fungsi ekonomi
Makanan sering digunakan untuk menunjukkan prestise dan status ekonomi,
misalnya makan beras dianggap lebih berprestise daripada makan jagung dan
umbi-umbian.
6. Makanan sebagai fungsi simbol kekuasaan
Melalui makanan seseorang atau sekelompok masyarakat dapat menunjukkan
kekuasaan terhadap orang atau kelompok masyarakat lain, misalnya majikan
memberi makanan yang berbeda kepada pembantunya.
2.3. Pola Makan Bayi
Pola makan disesuaikan dengan umurnya. Penggunaan bahan makanan juga
harus seimbang. Selain itu air susu ibu harus tetap diberikan selain makanan
tambahan. Makanan tambahan untuk bayi sebaiknya cukup energi dan protein,
diterima dengan baik, harga murah dapat diproduksi dari bahan-bahan lokal. Pola
makan yang teratur lebih baik dari pada menurut keinginan. Terlalu ketat juga kurang
baik melainkan disesuaikan dengan keadaan. Jarak antara pemberian makanan yang
Universitas Sumatera Utara
4. satu dengan berikutnya adalah 2 sampai 3 jam, tergantung pada keadaan bayi. Ada
yang kuat makannya dan ada yang sedikit (Husaini, 1999).
2.4. Jenis Makanan Bayi
2.4.1. Air Susu Ibu (ASI)
ASI adalah cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar mamae wanita melalui
proses laktasi. ASI juga mengandung sejumlah zat penolak bibit penyakit antara lain
laktoferin, immunoglobulin, dan zat lainnya yang melindungi bayi dari berbagai
penyakit infeksi.
Pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa
tambahan cairan/ makanan. Pemberian ASI secara ekslusif dianjurkan untuk jangka
waktu setidaknya selama 6 bulan. ASI dapat diberikan sampai berusia 2 tahun
(Moehyi, 2008).
Tabel 2.1. Kandungan berbagai zat gizi dalam ASI
Macam zat gizi Kadar gizi dalam 100 ml ASI
Protein 1,2 g
Lemak 3,8 g
Laktose 7,0 g
Kalori 75,0 kal
Besi 0,15 mg
Vitamin A 53,0 Kl
Vitamin B 1 0,11 mg
Vitamin C 4,3 mg
Sumber : Moehyi, S., 2008
Universitas Sumatera Utara
5. 2.4.2. Susu Formula
Menurut Yayah dan Husaini (2001), susu formula adalah susu komersil yang
dijual dipasar atau ditoko, biasanya terbuat dari susu sapi atau susu kedelai
diperuntukkan khusus untuk bayi.
Susu formula dapat diberikan sebagai pengganti ASI dalam keadaan sebagai
berikut:
a. ASI tidak keluar sama sekali sebagai pengganti ASI adalah susu formula.
b. Ibu meninggal sewaktu melahirkan.
c. ASI keluar tetapi jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Selain susu bayi yang diberikan kepada bayi sehat, produsen susu bayi juga
membuat formula-formula khusus untuk diberikan kepada bayi dengan kelainan
metabolisme tertentu agar bayi tersebut tetap dapat tumbuh normal, baik fisik atau
kejiwaanya. Susu formula semacam ini dikenal dengan formula diit atau special
formula (Moehyi, 2008).
2.4.3 Makanan Pendamping ASI
Bayi usia 6 - 11 bulan membutuhkan makanan pendamping ASI. Makanan
pendamping ASI adalah makanan tambahan yang diberikan kepada bayi sejak usia 6
bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Peranan makanan pendamping ASI sama sekali
bukan menggantikan ASI, melainkan hanya untuk melengkapi ASI. Jadi dalam hal ini
makanan pendamping ASI berbeda dengan makanan sapihan karena makanan sapihan
diberikan ketika bayi tidak lagi mengkonsumsi ASI (Krisnatuti, 2000).
Penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa
Tengah, dimana praktek-praktek pemberian makan pada bayi sebelum usia 1 bulan mencapai
Universitas Sumatera Utara
6. 32,4% dan 66,7% jenis makanan yang diberikan adalah pisang (Irawati, 2003). Dari
hasil penelitian Sulastri (2004) di Kecamatan Medan Marelan mengenai pemberian
MP-ASI dimana 80 responden terdapat 2,5% pemberian MP-ASI baik dan 97,5%
dengan pemberian MP-ASI yang tidak baik.
Sesudah bayi berumur enam bulan secara berangsur-angsur perlu makanan
tambahan berupa sari buah, makanan lunak dan akhirnya makanan lembek. Tujuan
pemberian makanan tambahan adalah :
a. Melengkapi zat gizi ASI yang kurang.
b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima macam-macam makanan
dengan berbagai rasa dan bentuk.
c. Mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan (Moehyi, 2008).
Tujuan pengaturan pemberian makanan pada bayi :
1. Lambung bayi kosong 3 jam setelah makan, artinya setelah 3 jam bayi benar-
benar memerlukan makanan.
2. Bagi ibu menyusui, jarak 3 jam akan memberi kesempatan kepada kelenjer-
kelenjer air susu untuk menghasilkan air susu yang cukup. Bila bayi lapar, semua
ASI akan terhisap habis ini merupakan rangsangan untuk pembuatan ASI
kembali.
3. Bayi dilatih berdisiplin, sehingga menangis/ lapar pada waktu tertentu.
4. Mempermudah tugas ibu (Suharjo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
7. Menurut Sulistijani (2001), dalam menentukan makanan yang tepat untuk
bayi, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Makanan yang diberikan mengandung mengandung zat-zat gizi dalam kualitas
dan kuantitas yang dibutuhkan sesuai dengan umur dan berat badan bayi.
b. Frekuensi pemberian makan sebaiknya sering, tapi dalam porsi sedikit setiap kali
diberikan sampai terpenuhinya semua kebutuhannya.
c. Bentuk makanan yang diberikan disesuaikan dengan umur bayi. Apabila sulit
menerima makanan sebaiknya diberikan makanan cair.
d. Makanan yang diberikan haruslah mudah dibuat/praktis, hangat dan segar.
Pemberian makanan padat pertama pada bayi sebaiknya dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Mutu bahan makanan
Bahan makanan yang bermutu tinggi akan menjalin kualitas zat gizi yang baik.
b. Tekstur dan konsistensi (kekentalan)
Pada umur enam bulan bayi diberikan makanan lunak misalnya bubur susu atau
bubur buah (pisang, pepaya). Secara bertahap, makanan bayi dapat diberikan
lebih kasar dan padat. Bayi yang telah berusia sembilan bulan bisa diberikan
makanan lembek misalnya nasi tim dengan zat gizi yang lengkap.
c. Jenis makanan
Bayi sebaiknya diperkenalkan satu per satu jenis makanan sampai ia mengenalnya
dengan baik, tunggu paling tidak empat hari sebelum memperkenalkan jenis
makanan lainnya. Selain bayi akan mengenal dan dapat menerima jenis makanan
yang baru, maka ibu juga bisa mengetahui ada tidaknya reaksi alergi pada bayi.
Universitas Sumatera Utara
8. d. Jumlah atau porsi makan
Pada awalnya, bayi mau menerima 1-2 sendok teh makanan. Bila telah semakin
besar, maka ibu dapat memberikan porsi makan lebih banyak.
e. Urutan pemberian makanan
Urutan pemberian makan pendamping ASI biasanya buah-buahan, tepung-
tepungan, lalu sayuran. Daging, ikan dan telur sebaiknya diberikan setelah bayi
berumur sembilan bulan. Bila bayi menunjukkan gejala alergi, telur biasanya
diberikan setelah usianya satu tahun.
f. Jadwal makan
Jadwal waktu makan harus sesuai dengan keadaan lapar atau haus yang berkaitan
dengan keadaan lambungnya. Dengan demikian, saluran cerna bayi lebih siap
untuk menerima, mencerna, dan menyerap makanan pada waktu-waktu tertentu
(Hayati, 2009).
2.5. Frekuensi Makan Bayi
Bayi memerlukan makanan untuk dimakan setiap 2 jam, begitu ia terbangun
(Arisman, 2004). Menurut (Departemen Kesehatan RI, 2003), anjuran pemberian
makan bayi usia 6 - 11 bulan adalah sebagai berikut :
1. Beri ASI setiap kali bayi menginginkan.
2. Beri bubur nasi 3 kali sehari.
3. Beri makan selingan 2 kali sehari, diantara waktu makan, seperti bubur kacang
hijau, pisang, biskuit, dan nagasari.
Universitas Sumatera Utara
9. Tabel 2.2. Susunan Makanan Bayi
Umur Jenis Makanan
0-6 bulan ASI/ Susu Formula
- ASI
- Bubur Susu
- Buah segar / Jus Buah
- Bubur susu
Mulai 6-9 bulan
- ASI
- Biskuit
- Bubur susu
- ASI
- ASI
- Nasi tim
- Buah segar / biskuit
- Nasi Tim
9-11 bulan
- ASI
- Jus buah / biskuit
- Nasi Tim
- ASI
Sumber: Hayati, 2009
2.6. Kebutuhan Zat Gizi Pada Bayi
Setiap bayi memerlukan nutrisi yang baik dan seimbang. Artinya, setiap bayi
memerlukan nutrisi dengan menu seimbang dan porsi yang tepat, tidak berlebihan
dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuhnya. Jika pemberian nutrisi pada bayi
kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya maka pertumbuhan dan
perkembangannya akan berjalan lambat. Sebaliknya, jika pemberian nutrisi melebihi
kapasitas yang dibutuhkan akan menyebabkan kegemukan yang mengakibatkan
pertumbuhan dan perkembangan bayi menjadi terganggu.
Universitas Sumatera Utara
10. Energi atau kalori sangat berpengaruh terhadap laju pembelahan sel dan
pembentukkan struktur organ-organ tubuh. Apabila energi berkurang maka proses
pembelahan sel akan terganggu dapat mengakibatkan organ-organ tubuh dan otak
bayi mempunyai sel-sel yang lebih sedikit dari pada pertumbuhan normal.
Protein sebagai zat pembangun sangat diperlukan bayi untuk pembuatan sel-
sel baru dan merupakan unsur pembentukkan berbagai struktur organ tubuh
(Asydhad, 2006).
2.7. Pengaruh Pemberian Makanan Pada Bayi Usia < 6 bulan
Bayi yang terlalu cepat diberi makanan padat akan menanggung sejumlah
resiko masalah kesehatan pada usia dewasa kelak (Nadesul, 2005). Hal tersebut dapat
memicu terjadinya sejumlah penyakit seperti :
a. Kegemukan (Obesitas)
Kalori makanan yang diberikan lebih besar dari yang terkandung dalam susu,
sehingga anak beresiko mengalami kegemukan. Akibatnya, jumlah maupun
ukuran sel-sel tubuhnya akan terbentuk lebih besar dari ukuran normal.
b. Gangguan Pencernaan
Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan
maupun secara psikologis, pada usia 6-9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai
diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka
makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan reaksi
yang tidak menyenangkan (gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi dll).
Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung
Universitas Sumatera Utara
11. dan pepsin dibuang pada saat kelahiran dan baru dalam 4 sampai 6 bulan terakhir
jumlahnya meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa. Amilase, enzim
yang diproduksi oleh pankreas belum mencapai jumlah yang cukup untuk
mencernakan makanan kasar sampai usia sekitar 6 bulan. Dan enzim pencernaan
karbohidrat seperti maltase, isomaltase, dan sukrase belum mencapai level orang
dewasa sebelum usia 7 bulan. Bayi juga memiliki jumlah lipase dalam jumlah
yang sedikit, sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa
sebelum usia 6-9 bulan.
b. Alergi
Pemberian makanan padat terlalu dini dapat mengakibatkan terjadinya alergi dari
alergen (zat penyebab alergi) yang mungkin terkandung dalam makanan, terutama
dari makanan berprotein.
c. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
Dalam makanan padat terkandung garam dapur, pengawet, penyedap, bumbu, dan
pewarna buatan. Garam dapur yang dikonsumsi terlalu dini beresiko terkena
darah tinggi setelah berusia lanjut. Selain itu, cita rasa asin anak sudah terbentuk
sejak kecil, sehingga garam yang dikonsumsi cenderung diminta lebih dari
kebutuhan tubuh.
d. Jantung Koroner
Terlalu dini memberi makanan pada bayi membuat pembuluh darah tubuh tak
sehat. Kelebihan kolesterol darah mungkin sudah muncul sejak usia kanak-kanak.
Masalah selanjutnya adalah pembuluh aorta umumnya sudah berkarat lemak
(Atherosclerosis) sejak anak berusia 20 tahun. Ini yang kelak mengantarkan anak
Universitas Sumatera Utara
12. beresiko terserang jantung koroner pada usia muda (30-50 tahun) (Nadesul,
2005).
2.8. Penilaian Status Gizi
Menurut Supariasa (2002) status gizi adalah ekspresi dari keadaan,
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Pemantauan status gizi pada bayi
menggunakan metode antropometri sebagai cara untuk menilai status gizi.
Penggunaan indeks antropometri gizi pada bayi antara lain berat badan menurut umur
(BB/U), panjang badan menurut umur (PB/U) dan berat badan menurut panjang
badan (BB/PB).
Dari berbagai jenis indeks tersebut diatas, untuk menginterprestasikannya
dibutuhkan ambang batas yang dapat disajikan ke dalam 3 cara yaitu persen terhadap
median, persentil dan standar deviasi unit. Dalam penelitian penulis akan
menggunakan cara Standar Deviasi (SD).
Standar Deviasi (SD) disebut juga Z-Skor. WHO memberikan gambaran
perhitungan SD unit terhadap baku 2005. Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi
dinyatakan dalam positif dan negative 2 SD unit (Z-Skor) dari median.
Nilai Individu Subjek − Nilai Median Baku Rujukan
Z – Skor =
Nilai Simpangan Baku Rujukan
Universitas Sumatera Utara
13. 2.9. Kerangka Konsep
Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka
kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Pola Makan
- Susunan makanan
- Bentuk makanan
- Frekuensi makan
Status gizi bayi
- Frekuensi menyusui
- Umur pertama kali diberikan
makanan
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
Pola makan pada bayi meliputi susunan makanan, bentuk makanan, frekuensi
makan, frekuensi menyusui, dan umur pertama kali diberikan makanan
mempengaruhi status gizi bayi.
Universitas Sumatera Utara