1. PEMANFAATAN Trichoderma spp.
DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT TANAMAN
Hasil-hasil penelitian tentang Trichoderma spp. dan kemampuannya sebagai
agen pengendalian hayati telah banyak dilaporkan. Trichoderma spp. yang
dinfestasikan kedalam tanah dilaporkan oleh Rifai,dkk., (1996) mampu menekan
serangan Phytium sp pada tanaman Kedelai.
Data mereka menunjukkan bahwa semakin panjangnya jarak antara infestasi
Trichoderma sp dengan saat saat dating Phytium cenderung semakin menurunkan
intensitas dan persentase bibit
dan benih yang terserang Phytium spp. Penelitian lainnya dilakukan oleh
Sulistiyowati, dkk., (1997) dengan menggunakan cendawan uji Sclerotium roflsii.
Hasil pengujian secara invitro Trichoderma spp.. mampu menghambat
pertumbuhan S. rolfsii sebesar 53,89%. Sedangkan hasil pengujian di rumah kaca
menunjukkan bahwa cara aplikasi Trichoderma spp. melalui tanah yang
menyebabkan saat penyakit lebih lambat yakni 12-14 hari dibandingkan dengan
cara penyelaputan benih (7-8 hari). Talanca, dkk., (1998) dengan mengutip
beberapa penulis lain memberikan penjelasan bahwa kemampuan antagonis
Trichoderma spp. berhubungan dengan mekanisme-mekanisme berikut :
a.Trichoderma spp. mengeluarkan toksin yang menyebabkan terlambatnya
pertumbuhan bahkan mematikan inangnya
b.Trichoderma spp. menghasilkan enzim hidrolitik -1,3 glukanase, kitinase dan
selulase. Menurut Ismujiwanto, et.al., (1996),
Aplikasi Trichoderma dengan kompos jerami dapat menurunkan intensitas
serangan Fusarium oxysporum pada pangkal batang dan akar tanaman vanili.
Penelitian yang dilakukan oleh Darmono (1994) tentang aplikasi Trichoderma
spp..
dengan menggunakan dedak ternyata dapat menekan serangan
Phytophthora spp. di dalam jaringan buah kakao. Hasil penelitian Djatmiko dan
Rohadi (1997) menunjukkan pelet T. harzianum yang diperbanyak dalam sekam
padi dan bekatul mempunyai kemampuan menekan patogenitas Plasmodiophora
brassicea dan penyakit akar gada, baik pada tanah andosol maupun latosol. Pelet
T. harzianum 61 g/pot, merupakan perlakuan paling baik dalam memperkecil
diameter akar gada, bobot akar gada dan intensitas penyakit akar gada.
2. Penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang yang disebabkan oleh
cendawan P. infestans merupakan masalah yang sangat serius untuk petani
kentang, hal ini disebabkan sangat pentingnya penyakit ini dalam merusak
jaringan tanaman, dan serangan patogen yang dapat mencapai 90% penurunan
produksi dari total produksi kentang. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Purwantisari dan Hastuti (2009), menunjukkan bahwa penghambatan cendawan
Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan cendawan P. infestans pada
medium PDA. Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap
pertumbuhan P. infestans.
Pengamatan penghambatan pertumbuhan P. infestans dilakukan sejak
inkubasi 3 hari sampai hari ketujuh. Pada hari pertama dan kedua selama
pengamatan, belum terjadi mekanisme penghambatan oleh kedua cendawan, pada
hari ketiga barulah tampak bahwa pertumbuhan kedua biakan saling mendekati,
sehingga terbentuklah zona penghambatan bagi P. infestans (lebih dari 5 mm).
Zona penghambatan ini tidak tetap selama pengamatan, sampai hari ketujuh lebar
zona bening yang terbentuk semakin menyempit (kurang dari 5 mm).
Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme ini adalah
antibiosis dan hiperparasit yang ditandai dengan terbentuknya zona bening yang
merupakan zona penghambatan pertumbuhan P. infestans (antibiosis) dan
pertumbuhan miselium Trichoderma spp. yang menutupi seluruh permukaan
medium termasuk koloni P. infestans (hiperparasit). Adanya hambatan
perkembangan koloni patogen P. infestans oleh cendawan antagonis Trichoderma
spp. disebabkan karena pertumbuhan cendawan Trichodermaspp. lebih cepat
dibanding cendawan patogen. Hal ini didukung oleh pernyataan Golfarb, et.al.,
(1989) dalam Purwantisari dan Hastuti (2009) bahwa cendawan yang tumbuh
cepat mampu menggunguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya dapat
menekan pertumbuhan cendawan lawannya. Selain itu diduga karena selulase
yang dimiliki oleh Trichoderma spp.. Akan merusak dinding sel selulosa
cendawan patogen P. infestans, sesuai dengan pernyataan Salma dan Gunarto
(1999) bahwa Trichoderma spp.. Mampu menghasilkan selulase untuk mengurai
selulosa menjadi glukosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel cendawan patogen P.infestans.
Sclerotium roflsii Sacc merupakan cendawan patogen tular tanah dan
bersifat polifag. Menurut Hardiningsih (1993) dalam Sulistyowati, dkk., (1997)
melaporkan bahwa penyakit busuk batang yang disebabkan oleh infeksiS. roflsii
yang menyerang tanaman kedelai pada masa vegetative dapat menyebabkan
tanaman mati. Menurut Semangun (1994), bahwa S. roflsii menghasilkan
sklerotia yang tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Bahkan di dalam tanah
dapat bertahan 6-7 tahun. Hal ini menimbulkan kesulitan besar bagi usaha
3. mengurangi inokulum penyakit dalam tanah. Upaya pengendalian penyakit
tanaman yang disebabkan oleh cendawan S. roflsii dapat dilakukan dengan
memanfaatkan Trichoderma spp.. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Papavizaz (1985) dalam Sulistyowati, dkk., (1997), bahwa pengendalian
penyakit busuk batang sklerotium juga dapat dilakukan secara hayati dengan
menggunakan cendawan antagonis, misalnya Trichoderma spp.. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian Nurhayati (2001), dimana dapat diketahui bahwa daya
hambat Trichoderma spp. terhadap infeksi S. roflsii pada akar bibit cabai.
Trichoderma spp. pada hari ke 21 (20,18%) meningkat sebesar 9,28% pada
hari ke 28 menjadi 30%. Sedangkan pada hari ke 35 intensitas daya hambat
meningkat 0,80% menjadi 30,80%. Dalam penelitian ini penghambatan
Trichoderma spp. terhadap infeksi S. roflsii terus meningkat. Secara umum hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian Trichoderma spp. ke dalam tanah
menghambat daya infeksi S. roflsii. Mekanisme penghambatan dari Trichoderma
spp. terhadap infeksi S. roflsii dapat terjadi melalui beberapa mekanisme
diantaranya dengan memproduksi senyawa gliotoksin dan viridian yang bersifat
toksik terhadap cendawan lain (Cook dan Baker, 1989 dalam Sumartini, dkk.,
1994).
Penyakit yang sering menyerang tanaman Cabai adalah busuk buah yang
disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici. Cendawan C. capsici dapat
bertahan dilapangan pada sisa tanaman sakit. Apabila keadaan atau kondisi
lingkungan sesuai seperti hujan terus menerus dan kelembaban tinggi, maka
perkembangan penyakit lebih cepat dari lahan satu ke lahan lainnya
(sastrahidayat, 1988). Dari hasil penelitian Baharia (2000) menunjukkan bahwa
Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan C. capsici pada media PSA
maupun pada buah Cabai. Salah satu factor yang menyebabkan pertumbuhan C.
capsici terhambat karena cendawan Trichoderma spp. dapat mengeluarkan toksin
yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan bahkan mematikan inangnya.
Dari hasil penelitian Nurhaedah (2002), tentang pengaruh aplikasi Trichoderma
spp. dan mulsa terhadap persentase serangan penyakit antraknosa pada buah
tanaman cabai merah besar.
Hasil analisis statistik pada panen I, menunjukkan bahwa perlakuan
Trichoderma spp. tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase
serangan penyakit antraknosa. Penyebab terjadinya hal tersebut, diduga karena
Trichoderma spp. belum berinteraksi dengan cendawan C. capsici sebagai akibat
dari : (1) ruang tumbuh yang masih cukup untuk pertumbuhan Trichoderma spp.
dan (2) media tumbuh yang mengandung bahan organik sehingga Trichoderma
spp. masih memanfaatkan nutrisi yang ada pada media tersebut. Litshitz,et.al.,
4. (1986) dalam Talanca (1998) mengemukakan bahwa mekanisme antagonis antara
Trichoderma spp. terhadap patogen merupakan interaksi bersifat mikroparasitisme
yang dimulai setelah hifa parasit melakukan kontak fisik dengan hifa inang.
Selanjutnya aktivitas biologis dalam tanah terjadi karena mikroorganisme
antagonis berkompetisi dalam hal makanan, menghaislkan antibiotik yang bersifat
racun dan melakukan parasitisme terhadap patogen (Djafaruddin, 2000). Pada
Panen kedua dan ketiga perlakuan Trichoderma spp. berpengaruh nyata terhadap
persentase serangan penyakit antraknosa. Hal tersebut dibuktikan dengan
rendahnya persentase serangan penyakit pada perlakuan Trichoderma spp. (P1)
yaitu rata-rata 35,71% bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa Trichoderma
spp. (P0) yaitu mencapai 47,14% pada panen kedua. Pada panen ketiga
persentase serangan rata-rata 30,14% pada perlakuan Trichoderma spp. sedangkan
pada perlakuan tanpa Trichoderma spp. rata-rata 44,53%. Terjadinya penurunan
persentase serangan penyakit berarti bahwa Trichoderma spp. telah mampu
menekan pertumbuhan patogen antraknosa. Hal ini diduga disebabkan oleh
pertumbuhan yang cepat dan adanya sifat antagonis dari cendawan Trichoderma
spp.. Mukerji dan Garg (1986) dalam Djatmiko dan Rohadi (1997) melaporkan
bahwa mikroorganisme antagonis terutama Trichoderma spp.. Mempunyai
kemampuan berkompetisi dengan patogen terbawa tanah terutama dalam
mendapatkan nitrogen dan karbon. Selain itu, cendawan Trichoderma spp..
Mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim hidrolitik 1,3 glukanase,
kitinase dan selulase. Enzim-enzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel
jamur yang sebagian besar tersusun dari 1,3 glukan ( linamirin) dan kitin sehingga
dengan mudah jamur Trichoderma spp.. Dapat melakukan penetrasi ke dalam
hifa jamur inangnya (Harman dan Elad, 1983 dalam Talanca,dkk., 1998).
KESIMPULAN
Dari penulisan diatas dapat disimpulkan bahwa Trichoderma spp. mempunyai
potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai agens hayati dalam pengendalian
penyakit tanaman, hal ini dikarenakan sifat Trichoderma spp. sebagai cendawan
antagonis yang dianggap aman bagi lingkungan karena cendawan ini berasal dari
tanah dan dapat berfungsi sebagai pengurai unsur hara tanaman serta dalam
pengendalian penyakit memberikan hasil yang cukup memuaskan
Sumber : Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian, mendukung Program
Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi Utara
5. Trichoderma sp bukan hanya digunakan untuk pupuk biologi/fungisida biologi
saja tetapi ada manfaat yang lain, maspary di Gerbang Pertanian ini kembali
memosting tentang jamur yang satu ini.
Ketersediaan agens hayati di alam yang melimpah tentu menjadi potensi yang
sangat besar. Hal ini perlu diketahui dan terus disebar luaskan kepada petani,
penyuluh, dan stakeholder pertanian lainnya. Agens hayati yang akan kita bahas
saat ini adalah jamur Trichoderma. Potensi jamur Trichoderma sebagai jamur
antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan penyakit tanamantelah
menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam usaha
pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Disamping karakternya
sebagai antagonis diketahui pula bahwa Trichoderma,sp. Juga berfungsi
sebagaidekomposer dalam pembuatan pupuk organik. Aplikasi jamur
Trichoderma pada pembibitan tanaman guna mengantisipasi serangan OPT sedini
mungkin membuktikan bahwa tingkat kesadaran petani akan arti penting
perlindungan preventif perlahan telah tumbuh.
Jamur
Trichoderma
sp
sering
digunakan
untuk mengendalikan
Fusariumoxysporum (penyebab penyakit busuk batang pada tanaman
Vanili), Phytophtora sp (penyebab penyakit busuk pangkal batang pada
tanaman Lada) dan Rigidoporus lignosus ( penyebab penyakit Jamur akar
putih pada tanaman Karet). Selain itu juga efektif mengendalikan Phytium sp
yang merupakan patogen tular tanah penyebab penyakit rebah kecambah
pada kacang-kacangan.
Jamur ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1.
Mudah diisolasi, dikembangkan, dan daya adaptasinya luas
6. 2. Mudah ditemukan di tanah areal pertanaman, shg pertumbuhan pd saat
aplikasi
lebih mudah.
3.
Dapat tumbuh secara cepat pada berbagai substrat.
4.
Memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas.
5.
pada umumnya tidak patoen pada tanaman.
Jamur Trichoderma mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kecepatan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama kemampuannya untuk
menyebabkan produksi perakaran sehat dan meningkatkan angka kedalaman akar
(lebih dalam di bawah permukaan tanah). Akar yang lebih dalam ini
menyebabkan tanaman menjadi lebih resisten terhadap kekeringan, seperti pada
tanaman jagung dan tanaman hias.
Mekanisme antagonis jamur ini dapat difahami sebagai berikut. Saat mikroba
patogen sedang dalam masa dorman, serangan antagonis jamur Trichoderma
dapat menyebabkan kerusakan biologis inokulum patogen. Mekanisme antagonis
ini dapat berupa predasi, perparasi, dan parasitisme propagul. Bentuk lain dari
antagonisme adalah dengan penekanan perkecambahan propagul melalui
kompetisi karbon, nitrogen, ion besi, oksigen dan unsur penting lainnya.
Sedangkan antagonis pada permukaan tanman meliputi antibiosis, kompetisi dan
predasi.
Mikoparasitisme dari Trichoderma Sp. merupakan suatu proses yang kompleks
dan terdiri dari beberapa tahap dalam menyerang inangnya. Interaksi awal dari
Trichoderma Sp. yaitu dengan cara hifanya membelok ke arah jamur inang yang
diserangnya, Ini menunjukkan adanya fenomena respon kemotropik pada
Trichoderma Sp. karena adanya rangsangan dari hyfa inang ataupun senyawa
kimia yang dikeluarkan oleh jamur inang. Ketika mikoparasit itu mencapai
inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut
dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure), mikoparasit ini juka
terkadang mempenetrasi miselium inang dengan mendegradasi sebagian dinding
sel inang.
Mekanisme kerja Trichoderma spp. (salah satunya adalah T. koningii) adalah
menekan perkembangan JAP dengan cara pembentukan antibiotik dan
mikroparasitisme, kompetisi dan kolonisasi rizomorfa. Mekanisme penghancuran
Jamur Akar Putih (JAP) terjadi melalui proses lisis miselium dan rizomorfa. Lisis
merupakan proses enzimatik oleh enzim selulose yang dihasilkan oleh T. koningii.
Trichoderma harzianum menekan pertumbuhan jamur phythoptora infestan pada
tanaman kentang.Jamur trichoderma harsianum ini merupakan jamur isolat
lokal,jadi apabila menggunakan kompos akan mendukung berkembang biaknya
7. jamur trichoderma ini sehingga dapat menekan pertumbuhan phythopthora
dilahan kentang.
Jamur trichoderma merupakan salah satu jenis jamur mikroparasitik/bersifat
parasit terhadap jenis jamur lain.Nah karena sifat2 inilah maka trichoderma dapat
kita manfaatkan sebagai agen biokontrol terhadap jenis2 jamur fitopatogen.
Keuntungan dan keunggulanya adalah mudah dimonitor dan dapat berkembang
biak,sehingga keberadaanya di lingkungan dapat bertahan.
Ketergantungan kita terhadap bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan
yang bersifat sebagai racun (insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera
kita tinggalkan. Kita harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita
manfaatkan untuk mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita
kembali ke alam. Banyak mikroorganisme yang dapat kita manfaatkan untuk
proses kelestarian lingkungan kita.
Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis
tanah dan biofungisida adalah jamur Trichoderma sp. Mikroorganisme ini adalah
jamur penghuni tanah yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman lapangan.
Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi
sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies
Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti T. Harzianum, T.
Viridae, dan T. Konigii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian.
Biakan jamur Trichoderma dalam media aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke
areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah
organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu.
Serta dapat berlaku sebagai biofungisida. Trichoderma sp dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman antara lain
Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii,
dll.
Sifat antagonis Trichoderma meliputi tiga tipe :
1. Trichoderma menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler beta (1,3)
glukonase dan kitinase yang dapat melarutkan dinding sel patogen
2. Beberapa anggota trichoderma sp menghasilkan toksin trichodermin.
Toksin tersebut dapat menyerang dan menghancurkan propagul yang
berisi spora-spora patogen disekitarnya
3. Jenis Trichoderma viridae menghasilkan antibiotik gliotoksin dan viridin
yang dapat melindungi bibit tanaman dari serangan penyakit rebah
kecambah
Pupuk biologis dan biofungisida Trichoderma sp dapat dibuat dengan inokulasi
biakan murni pada media aplikatif, misalnya dedak. Sedangkan biakan murni
8. dapat dibuat melalui isolasi dari perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan
diremajakan kembali pada media PDA (Potato Dextrose Agar). Isolasi banyak
dilakukan oleh kalangan peneliti maupun produsen pupuk, tetapi masih terlalu
merepotkan untuk diadopsi oleh petani. Sebagai petani, untuk lebih efisiennya
dapat memproduksi pupuk biologis yang siap aplikasi saja, sehingga hanya perlu
membeli dan memperbanyak sendiri biakan murninya dan diinokulasikan pada
media aplikatif. Atau jika menginginkan kepraktisan dapat membeli pupuk yang
siap tebar untuk setiap kali aplikasi.
Dari beberapa literatur yang pernah saya baca dengan penambahan pupuk
biologis Trichoderma sp akan meningkatkan efisiensi pemupupukan. Pada tanah
yang tandus pemberian pupuk organik Trichoderma sp dan pupuk kimia secara
bersamaan akan memberikan hasil yang maksimal daripada pemberian pupuk
organik atau pupuk kimia secara terpisah walaupun dengan jumlah yang banyak.
Dengan pemberian pupuk organik akan menghemat penggunaan pupuk kimia.
Biasanya penyakit layu dan busuk pangkal batang pada tanaman disebabkan oleh
jamur fusarium sangat sulit dikendalikan dengan fungisida kimia. Oleh karena itu
tidak ada salahnya kita mencoba mengaplikasikan pupuk biologis dan
biofungisidaTrichoderma sp pada tanaman kita untuk mencegah penyakit akar
dan busuk pangkal batang yang dapat menyebabkan layu tanaman.
Kemampuan dan mekanisme ''Trichoderma'' dalam menghambat pertumbuhan
patogen secara rinci bervariasi pada setiap spesiesnya.<ref name="g">{{en}}
Laskin AI, Bennett JW, Gadd GM.Advances in Applied Microbiology. San
Diego:Elsevier Academy Press.Hlm 314.</ref> Perbedaan kemampuan ini
disebabkan oleh faktor [[ekologi]] yang membuat produksi bahan [[metabolit]]
yang bervariasi pula.