1. ANALISA KASUS SIPADAN-LIGITAN
Data-data
13 Desember 1857 Deklarasi Juanda yang melakukan konsep Wawasan Nusantara.
18 Februari 1960 Perpu no 4 Tahun 1960 mengetur kapal-kapal asing yang berlayar di perairan
Indonesia
1967 Indonesia-Malaysia melakukan pertemuan baik formal maupun informal secara bilateral
dan regional (ASEAN) dalam rangka penyelesaian sengketa Sipadan-Ligitan secara damai.
1969 Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia-Malaysia membicarakan batas dasar laut antara
kedua negara.
1974 Malaysia mulai membangun infrastruktur Sipadan-Ligitan lengkap dengan resort wisata.
21 Desember 1979 Malaysia mengukuhkan Peta zaman Belanda yang mencakup landas laut dan
perairannya hingga Laut Sulawesi sejauh 200 mil dari perbatasan maritime Malaysia.
21 Maret 1980 Pemerintah Indonesia mengumumkan ZEE sejauh 200 mil diukur dari garis dasar
pantai.
26 Maret 1980 Pertemuan Soeharto dan Dato Hussen Onn di Kuantan memutuskan untuk
menyelesaikan masalah melalui rundingan, namun usaha tersebut gagal.
1989 Pembicaraan kembali Presiden Soeharto dan P.M Mahathir Muhammad masalah Sipadan
dan Ligitan.
1990 Malaysia menempatkan satu regu polisi hutan untuk menjaga kepentingan warga Sipadan
dari gangguan “mundu” bajak laut dari Filipina Selatan
1992 Pertemuan pejabat tinggi kedua negara menghasilkan kesepakatan pembentukan Komisi
Bersama (Joint Commission/JC) dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG).
Tetapi dari serangkaian pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Indonesia menunjuk
Mensesneg Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil
Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali
pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai kesepakatan.
6-7 Oktober 1996 Presiden Soeharto dan PM Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus.
31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the International Court of
Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia Concerning the Sovereignty over P. Sipadan
and P. Ligitan.
2 November 1998 Special Agreement disampaikan secara resmi ke Mahkamah Internasional
(ICJ) dan mulai diproses di ICJ.
2 Novenber 1999 Kedua negara menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written
Pleading” kepada Mahkamah Memorial
2 Agustus 2000 Counter Memorial
2 Maret 2001 Reply
3-12 Juni 2002 “Oral Hearing” dari kedua negara bersengketa. Wakil Malaysia dan Indonesia
saling mempertahankan hak kedaulatan atas pulau-pulau tersebut di edpan MAhkamah
Internasional.
17 Desember 2002 Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) memberi hak kedaulatan terhadap
wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap Malaysia.
Pertanyaan-Pertanyaan
1. Mengapa Sipadan dan Ligitan menjadi sengketa Indonesia dan Malaysia?
2. Mengapa Indonesia kalah di depan Mahkamah Internasional?
2. Kemungkinan Penyebab Kasus
1. Malaysia ingin mencari kekuasaan dan kekayaan yaitu dengan cara memperluas wilayahnya.
2. Indonesia merasa memiliki hak atas Sipadan dan Ligitan karena masuk dalam wilayah
Nusantara (Laut Territorial dan ZEE).
3. Kecerobohan Indonesia dalam hal tidak memperhatikan pembangunan wilayah-wilayahnya.
4. Kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga atau departemen-departemen terkait
pengelolaan kedua pulau ini.
5. Mahkamah Internasional membuat keputusan dengan mengutamakan continuous presence,
effective occupation, dan ecology preservation.
Level Analisa
States Level:
• Malaysia ingin mencari kekuasaan dan kekayaan yaitu dengan cara memperluas wilayahnya.
• Indonesia merasa memiliki hak atas Sipadan dan Ligitan karena masuk dalam wilayah
Nusantara.
• Kecerobohan Indonesia dalam hal tidak memperhatikan pembangunan wilayah-wilayahnya.
• Kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga atau departemen-departemen terkait
pengelolaan kedua pulau ini.
International Level:
• Mahkamah Internasional membuat keputusan dengan mengutamakan continuous presence,
effective occupation, dan ecology preservation
TEORI
Realisme/Neorealisme
• Pengakuan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan merupakan upaya Malaysia dalam power
seeking. Dengan mengambil alih P.Sipadan dan Ligitan berarti wilayahnya bertambah luas dan
tentunya Malaysia berhak mengelola segala sesuatu (Sumber Daya Alam) yang ada di kedua
pulau maupun yang terkandung di dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan untuk mengakui
wilayah lain di Indonesia sebagai miliknya. Padahal Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut
merupakan wilayah Indonesia, hal ini terbukti melalui peta zaman belanda yang dikukuhkan
Malaysia pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian
dari wilayah Indonesia.
• Indonesia berusaha mempertahankan kawasan tersebut sebab secara historis dalam Peta zaman
Penjajahan Belanda kedua pulau tersebut masuk dalam wilayah Indonesia walaupun tidak tertera
pada peta yang menjadi lampiran Perpu No 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis
Indonesia.
• Indonesia beranggapan bahwa penduduk yang ada di kedua pulau tersebut adalah penduduk
Indonesia. Alasan ini tidak kuat sebab seperti yang diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia
merupakan satu rumpun yaitu Rumpun Melayu sehingga sangatlah susah untuk membedakan
hanya dari cirri fisik dan bahasa yang dipergunakan. Apalagi penduduk yang berada di daerah
perbatasan merupakan campuran dari kedua negara bersangkutan.
• Baik Malaysia maupun Indonesia sama-sama berusaha memperjuangkan haknya atas kedua
Pulau tersebut. Ketika Indonesia sibuk mencari dasar hukum dan fakta histories serta bukti lain
yang mendukun, Malaysia sibuk membangun infrastruktur dan mengelola kedua pulau itu
bahkan latihan perang Tentera Diraja Malaysia dilaksanakan di Sipadan. Walaupun pada saat itu
3. ada peraturan bagi kedua negara agar tidak mengelola kedua pulau itu karena dalam status quo.
Namun hal ini juga dapat dianggap sebagai kelalaian Indonesia karena tidak bisa menjamin
kesejahteraan penduduknya.
• Kesalahan bukan hanya pada pemimpin negara pada saat itu atau pada departemen Luar Negeri
tetapi juga pada semua departemen yang berkaitan dengan pengelolaaan kedua pulau tersebut.
Kurangnya koordinasi dan partisipasi aktif dari Departemen Luar Negeri, TNI terutama
Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan
lembaga lain terkait berdampak pada tidak adanya pengelolaan terhadap kedua pulau tersebut.