Sengketa kepemilikan blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung lama, dimulai sejak 1969 ketika kedua negara menandatangani perjanjian Tapal Batas. Malaysia kemudian membuat peta sendiri pada 1979 yang mengklaim blok Ambalat sebagai wilayahnya. Pada 2002, Mahkamah Internasional memberikan kemenangan kepada Malaysia atas sengketa Sipadan-Ligitan. Untuk menyelesaikan sengketa Ambalat, diplomasi merupakan jalan
1. PENYELESAIAN SENGKETA BLOK AMBALAT
Kentos R. Artoko
Abstrak
Perseteruan perebutan wilayah atau yang lebih dikenal dalam perspektif politik
internasional sebagai sengketa wilayah, antara Indonesia dan Malaysia sudah
kerap terjadi. Sejatinya, kesepakatan perbatasan bilateral antara Indonesia dan
Malaysia telah diteken pada 1969 yang dikenal dengan perjanjian ‘Tapal Batas’.
Namun, pada 1970 Malaysia meratifikasi perjanjian tersebut, karena diketahui
telah membuat peta sendiri yang bersumber dari penjajahan Inggris di wilayah
itu. Pada 1998, Malaysia mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional untuk
mengakui wilayah Sipadan-Ligitan sebagai bagian dari kedaulatan negeri jiran
itu. Pada 2002, Mahkamah Internasional memenangkan gugatan Malaysia. Kini
Malaysia pun hendak kembali mengklaim wilayah Ambalat sebagai bagian dari
kedaulatannya, di sisi lain Indonesia pun berkeinginan serupa. Perseteruan ini
masih berlangsung hingga kini. Kalangan ahli geologi berpendapat wilayah ini
kaya dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas. Rupanya Malaysia
berupaya mengincar Ambalat karena wilayah ini sangat seksi, demikian pula
dengan Indonesia. Bagaimana agar Indonesai tidak lagi mengalami kekalahan
dalam forum internasional?
Kata kunci: Politik Internasional, Sengketa, Negosiasi, Diplomasi.
1. PENDAHULUAN.
Sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah terjadi
sejak 1967, saat itu kedua negara melakukan pertemuan teknis terkait dengan
hukum laut perbatasan antara kedua negara. Kedua negara sepakat
2. menandatangani kesepakatan yang dikenal dengan ‘Perjanjian Tapal Batas’ pada
1969.
Pada 7 November 1969, kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi.
Anehnya pada tidak lama berselang, masih pada tahun yang sama, Malaysia
membuat peta baru yang memasukkan pulau Sipadan, Ligitan dan Bau Puteh
(Pedra Blanca) sebagai bagian dari yurisdiksinya.
Tentu saja hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura, mengapa dan
untuk tujuan apa Malaysia membuat peta baru itu. 17 Maret 1970, Indonesia-
Malaysia meratifikasi perjanjian tapal batas. Hal yang sama kemudian berulang,
pada 1979 Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan
maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri
dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan
memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik.1
Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk
pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan
Persetujuan Tapal batas Laut tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha
secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap
wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan
1 Kentos R. Artoko, Incar Migas Malaysia Siap Rebut Ambalat, TNI Jangan Ragu Pamer Kekuatan,
www suarakarya.id/2015/06/26
3. Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia
oleh Mahkamah Internasional dengan mengacu pada peta yang dibuat Malaysia
pada 1979 itu.
Timbul pertanyaan, mengapa Malaysia sangat agresif untuk mengambil
wilayah yang berbatasan dengan Indonesia? Bukankah negeri jiran itu telah
menang dalam perebutan pulau Sipadan dan Ligitan? Kemudian bagaimana
mengatasi persoalan ini dari sisi Indonesia?
Dalam kerangka diplomasi, bagaimana kekuatan yang dimiliki oleh
Indonesa dan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh Indonesia untuk
memenangi sengketa wilayah tersebut?
2. PEMBAHASAN.
Sengketa kepemilikan pulau Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, hingga
kini belum mendapatkan titik terang. Berbagai cara diplomasi telah dilakukan,
namun Mahkamah Internasional belum memutuskan blok Ambalat sebagai
bagian dari negara mana?
Indonesia mengklaim wilayah ini, karena blok Ambalat masuk dalam lingkup
Laut Sulawesi dan masih merupakan bagian dari selat yang membatasi wilayah
pulau Kalimantan dan Sulawesi. Jika ditinjau dari sisi hukum internasional,
wilayah ini berada diluar kedaulatan maritim Indonesia (12 mil dari garis pantai
4. terluar), demikian pula dengan Malaysia, wilayah ini pun tidak masuk dalam garis
12 mil pantai terluar yang dimiliki oleh Malaysia.
Untuk lebih mempermudah pemahaman, maka penulis akan memberikan
gambar dimanakah letak sesungguhnya dari blok Ambalat tersebut dan mengapa
dipersengketakan antara Indonesia-Malaysia?2
Gambar:
Melalui gambar diatas sangat jelas bahwa, blok yang berwarna coklat
muda merupakan wilayah yang dipersengketakan antara Indonesia (berwarna
putih) dan Malaysia yang berwarna merah tua.
Malaysia sendiri, telah memberikan sejumlah konsesi pengeboran dan
eksplorasi minyak mentah kepada British Petroleeum dan Shell, di wilayah yang
2 Kentos R. Artoko, Nasib AmbalatTak Boleh Seperti Sipadan-Ligitan,www.suarakarya.id/2015/06.
5. berwarna merah tua. Sedangkan menurut para ahli geologi, wilayah yang
memiliki cadangan minyak terbesar adalah wilayah yang masih dipersengketakan.
Mungkinkah Indonesia, harus kembali menerima kekalahan dari Malaysia,
setelah luluh lantak untuk mempertahankan Sipadan dan Ligitan? Jika memang
belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan
Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang
ditandatangani Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa
kolinialisasi (Morgenthau, 1990).3
Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah
Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal
ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan
RI dengan Timor Leste.
Bahwa Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang
diproduksi tahun 1979, menurut Prescott (2004), peta tersebut memuat klaim
Malaysia atas landas kontinen di Ambalat di mana klaim tersebut secara
kesuluruhan melewati median line.
3 Hans J. Morgenthau, PoliticsAmong Nations,dialihbahasa,Yayasan Obor,1990,hal.40.
6. Deviasi maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam
membuat klaim dasar laut ini Malaysia mengabaikan beberapa titik garis pangkal
Indonesia yang sudah sah.
Di luar pandangan tersebut di atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana
sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam
mengklaim suatu wilayah.
Tentang hal ini, Clive Schofield, mantan Direktur International Boundary
Research Unit (IBRU) berpendapat, “peta laut tertentu harus dilaporkan dan
diserahkan ke PBB, misalnya peta laut yang memuat jenis garis pangkal dan batas
laut. Namun begitu suatu Negara yang mengeluarkan peta laut tentu saja tidak
bisa memaksa Negara lain kecuali memang disetujui.”
Intinya, penggunaan peta laut tahun 1979 oleh Malaysia harus didasarkan
pada kaidah ilmiah dan hukum yang bisa diterima. Jika peta laut ini hanya
memenuhi kepentingan dan keyakinan sepihak tanpa memperhatikan kedaulatan
Negara tetangga, jelas hal ini tidak bisa dibenarkan.
Sayang sekali, sebagai salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi
1891, nampaknya tidak akan membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini.
Seperti halnya Sipadan dan Ligitan,
7. Konvensi itu kemungkinan besar tidak mengatur secara tegas kepemilikan
Ambalat. Hal ini terjadi karena Konvensi 1891 hanya menyebutkan bahwa Inggris
dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang berlokasi di garis lintang 4° 10’ ke
arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa lebih rinci menyebutkan
kelanjutannya.
Tentu saja ini meragukan karena Ambalat, seperti juga Sipadan dan Ligitan
berada di sebelah tenggara titik akhir garis yang dimaksud. Jika garis tersebut,
sederhananya, diperpanjang lurus ke timur, memang Ambalat, termasuk juga
Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak Indonesia. Namun demikian, menarik
garis batas dengan cara ini, tanpa dasar hukum, tentu saja tidak bisa diterima
begitu saja.
Melihat kondisi di atas, diplomasi , merupakan solusi untuk mengatasi
sengketa perbatasan yang serumpun ini. Ada tiga cara diplomasi yang lebih tepat
digunakan dalam penyelesaian Blok Ambalat.
Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi yang biasanya mewakili
suatu negara atau organisasi. Kata diplomasi ini berkaitan langsung dengan
praktik politik internasional. Diplomasi itu sendiri dapat dibagi menjadi 3 (tiga)
yaitu (Soelhi, 2001):
1. Negosiasi
8. Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak
ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh
pihak-pihak terkait yakni Indonesia dan Malaysia. Perbedaan persepsi yang
dimiliki oleh kedua negara diharapkan akan diperoleh jalan keluar dan
menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk
dipecahkan. Bilamana jalan keluar ditemukan kedua belah pihak, maka akan
berlanjut pada pemberian konsesi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
2. Mediasi
Mediasi yang merupakan bentuk penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga,
dalam hal ini pihak ketiga bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator). Mediator
memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan
terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
3. Inquiry
Inquiry yaitu ketika terdapat sengketa antara Indonesia dan Malaysia maka untuk
menyelesaikannya sengketa tersebut, kedua belah pihak dapat mendirikan
sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan
mendengarkan semua bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan yang
dipersengketakan.
9. Komisi atau badan ini sering disebut Komisi Pencari Fakta yang dengan dasar
bukti-bukti yang dikumpulkannya, kemudian dapat mengeluarkan sebuah fakta
yang sebenarnya dan disertai dengan penyelesaiannya.
3. KESIMPULAN.
Perseteruan dalam memperebutkan wilayah Ambalat antara Indonesia-
Malaysia sebenarnya telah terjadi sejak 1969. Pada tahun ini, kedua negara
menandatangani kesepakatan ‘Tapal Batas’. Pada 1970 Malaysia meratifikasi
batas wilayahnya dengan membuat peta sendiri. Hal yang sama pun dilakukan
pada 1979 yang kemudian dijadikan dasar untuk mengklaim sebagian wilayah
yang berbatasan langsung dengan Indonesia di Mahkamah Internasional,
khususnya pulau Sipadan dan Ligitan.
INDONESIA MALAYSIA
AMBALAT
DIPLOMASI
10. Pada 1998, Mahkamah Internasional melakukan persidangan untuk
membahas sengketa Sipadan-Ligitan, hasilnya pada 2002 Malaysia berhak atas
pulau Sipadan-Ligitan dengan dasar peta yang dibuatnya sendiri. Usai
memenangkan sengketa itu, kini Malaysia hendak mengambil wilayah Ambalat.
Ambalat adalah pulau yang berada di laut Sulawesi dan berada diluar batas
territorial Indonesia dan Malaysia (12 mil). Oleh karena itu, baik Indonesia dan
Malaysia masih berhak untuk mengklaim wilayah ini sebagai bagian dari
yurisdiksinya. Namun, ternyata Malaysia telah memberikan konsensi pengeboran
minyak dan eksplorasi kepada British Petroleum dan Shell khusus di wilayah yang
dipersengketakan.
Tentu saja hal ini membuat pihak Indonesia berang, karena belum ada
keputusan Mahkamah Internasional terhadap wilayah ini, negeri jiran telah
memberikan izin tersebut.
Berbagai ‘show of force’ dar militer Malaysia dan Indonesia telah dilakukan,
bahkan kerap kali Malaysia masuk di wilayah yang dipersengketakan itu sekedar
untuk memberikan shock therapy kepada Indonesia. Solusi untuk mengatasi
masalah ini adalah dengan jalan negosiasi.
Negosiasi yang dilakukan, tentu saja harus melibatkan perwakilan negara.
Karena melibatka negara maka praktik negosiasi itu dikenal dengan nama
11. diplomasi. Diplomasi itu bisa dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu, Negosiasi antara
negara dengan negara, Mediasi (dengan mengikutsertakan negara lain sebagai
mediator) dan Inquiry (pendirian komisi bersama untuk menyelesaikan masalah).
PUSTAKA
1. Hans J. Morgenthau, Politik Among Nations, diterjemahkan Yayasan
Obor, 2009.
2. Mohammad Soelhi, Diplomasi Praktis Komunikasi Internasional,
Simbiosa Rektama Media, 2001.
Jurnal:
1. Mohammad Aden Saputra, Border Dispute of Indonesia-Malaysia in
Ambalat Territory, Digital Library, Unila, 2014.
2. Diplomasi Publik Sebagai Pendukung Hubungan-Indonesia Malaysia,
Jurnal Ilmiah, www.unpar.ac.id, 2014.
3. Kentos R. Artoko, Incar Migas Malaysia Siap Rebut Ambalat, TNI Jangan
Ragu Pamer Kekuatan, www suarakarya.id/2015/06/26