3. ii
Ketentuan Umum Proceedings
Setiap penulis mematuhi izin publikasi yang bertanggungjawab atas informasi dalam manuskrip masing-masing. Pihak penerbit berhak menyunting dan mengedit setiap tulisan yang masuk, tanpa mengurangi maksud dan tujuan tulisan. Semua informasi dalam karya ilmiah ini tidak mencerminkan kebijakan resmi Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD. Setiap naskah yang diterbitkan berada dalam wewenang Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD, dan tidak untuk dimuat di lembaga manapun. Hak milik tetap berada di tangan penulisnya.
Proceedings of Population and Human Resources Development adalah kumpulan karya ilmiah hasil konferensi nasional tahunan yang diadakan oleh Departemen Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran (UNPAD). Diterbitkan atas kerjasama Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press. Beralamat di Jl. Cimandiri No. 6 – 8 Bandung. Bagi pihak yang tertarik atau hendak berkomunikasi terkait Proceedings bisa menghubungi: Telepon (022) 4267779, Faximile (022) 4267780 atau email: mie@fe.unpad.ac.id. Website: http://mie.fe.unpad.ac.id.
4. iii
DAFTAR ISI
Lembar Judul i
Ketentuan Umum Proceedings ii
Daftar isi iii
1. Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi 1
Abdul Holik
2. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pengangguran 20
Abdul Holik dan Aisyah Rosadi
3. Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan 35
Galuh Tresna Murti, Aurora Angela dan Ernie Soedarwati
4. Monitoring dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit Serta Dampaknya terhadap Prioritas Pelayanan Rumah Sakit 48
Herny Nurhayati, Reinhard Chrismantsa dan Mawar Novita Yulianty
5. Analysis of High Education Labor towards GDP in Indonesia ―Analisis Tenaga Kerja Berpendidikan Terhadap GDP di Indonesia‖ 64
Ahmad Kafrawi Mahmud dan Galyn Ditya Manggala
6. Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Bank BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2005-2012 71
Galuh Tresna Murti dan Rakhmini Juwita
7. Pengaruh Fraud risk factors terhadap pendeteksian kemungkinan Fraudulent financial statement 85
Annisa Nurbaiti dan Heikal Muhammad Zakaria
8. Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat 94
Gallyn Ditya Manggala dan Ahmad Kafrawi Mahmud
9. Peranan Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi Terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen 102
Muhammad Syaifullah
10. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi 119
Dahlia, Aditya Amanda Pane dan Marissa Putriana
11. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik serta dampaknya terhadap Good Governance 133
Eka Nurmala Sari
12. Pro dan Kontra Pertumbuhan Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 153
Dian Lestari Siregar, Reti Anggraeini dan Retno Andrini
5. iv
DAFTAR ISI
13. Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 162
Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, dan Jacobus Cliff Diky Rijoly
14. Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal dan Kompetensi Pegawai terhadap Pencegahan Fraud 168
Hinny Herliany dan Firda Nur Aisha
6. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
1
Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi
Abdul Holik
Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Abstract
This research aims to find the fundamental relation between population growth, economic growth and consumption growth in Indonesia, from 1990 until 2011. It uses VECM (Vector Error Correction Model) to find the dynamic relation among them and co-integration in the long-run. This research uses variables such as GDP, population growth, and household final consumption expenditure per capita. Data taken from WDI and ADB. Based on the analysis, the result shows that economic growth (GDP) was supported positively by household final consumption per capita (HFC) and population growth in the long-run. Meanwhile in the short-run, economic growth can also be supported by population growth and HFC. However, neither population growth nor HFC were affected by economic growth. This finding reflects that consumption is still largest part of Indonesia’s GDP performance.
Keywords: population, economic growth, social welfare, food security.
Pendahuluan
Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia bertambah terus. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237,641,326 jiwa. Persentase laju pertumbuhan penduduk saat itu mencapai 1,49 persen per tahun. Sehingga jika diasumsikan tetap, maka pada setiap tahunnya akan terjadi kenaikan penduduk sebesar 3,5 juta jiwa. Secara garis besar, dapat kita lihat jumlah penduduk pada tabel di bawah ini:
1971
1980
1990
1995
2000
2010
119,208,229
147,490,298
179,378,946
194,754,808
206,264,595
237,641,326
Sumber: BPS
Namun masalah muncul, karena jumlah penduduk yang banyak itu tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan sosial di masyarakat. Orang miskin di Indonesia masih banyak, meskipun disinyalir mengalami penurunan. Ukuran pengeluaran yang menjadi tolok ukur garis kemiskinan di Indonesia hanya berubah sedikit. Berikut bagannya menurut data BPS:
Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin
Menurut Daerah, Maret 2011–Maret 2012
Garis Kemiskinan per kapita/ Rp/ Bulan
Daerah/ Tahun
Makanan
Bukan Makanan
Total
Jumlah Penduduk Miskin
Persentase Penduduk Miskin
Perkotaan
Maret 2011
177 342
75 674
253 016
11,05
9,23
Maret 2012
187 194
80 213
267 408
10,65
8,78
7. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
2
BPS menyebut seseorang disebut miskin jika pengeluarannya dalam sebulan tidak melebihi Rp233.740,- per kapita per bulan pada Maret 2011. Kemudian sejak Maret 2012 ukuran itu naik menjadi Rp248.707,- per kapita per bulan (BPS, 2012: 64). Di sini kendati ukuran tingkat kemiskinan meningkat, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar. Kemiskinan terus menjadi kendala bagi pembangunan Indonesia. Orang miskin yang tidak bisa memenuhi kehidupan layak, menjadi beban pembangunan. Nilai batas kemiskinan itu lebih rendah dari ketetapan Bank Dunia, yakni: US$2 per hari. Padahal, PDB per-kapita Indonesia terus naik:
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
6,775
6,918
7,123
7,353
7,610
7,924
8,237
8,631
9,015
9,294
9,736
10,219
Sumber: BPS (Data PDB Skala 1000)
Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan dalam menahan laju pertumbuhan penduduk, mengingat sebaran penduduk dan ketidaksetaraan pendapatan mereka cukup besar terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Prof. Widjodjo Nitisastro—ekonom yang melakukan transformasi perekonomian Indonesia pasca jatuhnya Soekarno—sempat mengingatkan Presiden Sekarno bahayanya ledakan penduduk. Namun Soekarno tidak peduli peringatan tersebut, karena baginya Indonesia membutuhkan jumlah penduduk yang besar sebagai modal kemandirian bangsa dalam bekerja. Soekarno saat itu melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai asset yang suatu saat bisa diberdayakan.
Berbeda dengan Soekarno, Presiden Soeharto menerima saran Nitisastro dan memberlakukan program KB (Keluarga Berencana). Program ini berhasil menahan laju pertumbuhan penduduk, sehingga rencana pembangunan bisa fokus pada upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, alih-alih sekedar meningkatkan kuantitas populasi. Nitisastro dan kelompoknya yang disebut ―mafia Berkeley—para ekonom lulusan Berkeley University—memperkuat basis perekonomian Orde Baru, bahkan pengaruhnya masih terasa sampai Kabinet Pembangunan V (Mudrajad Kuncoro, 2007: 86).
Kajian Pustaka
Dalam konteks kajian ekonomi makro, para ekonom umumnya sepakat apabila jumlah penduduk terlalu besar, akibatnya pertumbuhan perekonomian berjalan lamban. Akibatnya adalah peningkatan kemiskinan dan kelaparan. Food security menjadi amat krusial. Dalam buku, Population Bomb, terbit 1968, Paul R. Ehrlich meramalkan akan adanya bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dunia. Bencana itu disebabkan ketersediaan pangan yang semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia di muka bumi. Ramalan ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Malthus dalam bukunya, An Essay of Principle of Population, terbit tahun 1798. Bagi Malthus, manusia bertambah sejalan dengan deret ukur (geometri), sedangkan kebutuhan pangan bertambah sejalan dengan deret hitung (aritmetika).
Kekhawatiran akan munculnya kelaparan dan kemiskinan, serta kekacauan sosial tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan. India pada era 1960-an mengalami kekacauan, berupa kemiskinan dan kelaparan besar-besaran. Pemerintah negara itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya yang jumlahnya sangat besar. Kondisi yang hampir sama juga
Pedesaaan
Maret 2011
165 211
48 184
213 395
18,97
15,72
Maret 2012
177 521
51 705
229 226
18,48
15,12
Kota + Desa
Maret 2011
171 834
61 906
233 740
30,02
12,49
Maret 2012
182 796
65 910
248 707
29,13
11,96
8. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
3
terjadi di Pakistan—tetangga India (pada waktu itu Bangladesh belum ada). Akibat kelangkaan bahan pangan, perang India-Pakistan tidak terhindarkan. Perang memperebutkan sumber makanan pokok berlangsung selama bertahun-tahun, dan semakin memperburuk suasana. Sampai di sini, ramalan kekacauan sosial akibat ledakan penduduk memang terbukti.
Untuk mengatasi penduduknya yang amat besar, Deng Xiaoping pada 1979 berupaya melakukan reformasi perekonomian di antaranya dengan pembatasan jumlah kelahiran. Kebijakan ini merupakan adopsi pandangan Neo-Malthusian, yang mengajukan rumusan keterbatasan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertambahan penduduk. Cina menerapkan ―kebijakan satu keluarga satu anak‖ khusus pada suku Han—suku mayoritas Cina—bukan pada suku minoritas (Hongbin Li & Junsen Zhang, 2007: 110). Kebijakan itu nampaknya berhasil mendorong perekonomian Cina tumbuh dengan amat cepat.
Namun dalam wacana ekonomi makro pada decade 1950-an, sebagian para teoretis nampaknya cukup optimis dengan kondisi jumlah populasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Solow telah mengingatkan bahwa jumlah populasi yang besar dalam sebuah perekonomian dapat menjadi beban dalam jangka panjang, meskipun ditopang dengan simpanan cukup besar. Terlebih jika populasi itu hanya berisi kelompok masyarakat tidak terdidik. Tetapi Solow merasa yakin bahwa dengan peran ilmu dan teknologi, populasi tidak lagi menjadi beban. Ilmu dan teknologi yang terus berkembang dalam suatu masyarakat dapat memberdayakan populasi yang besar itu, sehingga bisa mendorong perekonomian, dan melaju pesat sampai Kaidah Emas (golden rule) (N. Gregory Mankiw, 2003: 205).
Sayangnya Solow tidak menjelaskan determinan teknologi secara detail. Solow dan para ekonom yang sependapat dengannya—seperti kritik Romer—menganggap teknologi di negara berkembang sama dengan kondisi teknologi di negara maju (Romer, 1994: 6). Teknologi dianggap sebagai variabel eksogen. Paul Romer dan para ekonom setelahnya menawarkan gagasan yang lebih maju dengan menjadikan teknologi sebagai variabel endogen. Ia menilai bahwa ketika perkembangan teknologi dapat dikendalikan dan diukur, melalui investasi dan sepenuhnya didukung oleh jumlah pekerja yang banyak, maka pertumbuhan populasi bisa sangat efektif dalam mendorong perekonomian (Romer, 2012: 110). Tapi, populasi saja tanpa teknologi tidak cukup mendorong pertumbuhan (Romer, 1990: S71). Secara sederhana, model pertumbuhan ekonomi Romer didefinisikan menjadi:
net output; perubahan level teknologi; stok modal (Romer, 2012: 123).
Masalah krusial karena pertumbuhan populasi yang teramat besar adalah kelangkaan sumber daya alam, terutama ketahanan pangan. Misalnya kasus kelaparan di India yang memicu peperangan dengan Pakistan. Namun, kondisi mengerikan itu berakhir ketika di akhir dekade 1960-an muncul Norman Bourlag—tokoh yang menggagas Revolusi Hijau. Green Revolution yang dimunculkan Norman berhasil menciptakan benih bahan pangan yang kuat dan tahan uji pada berbagai kondisi. Pencapaian dan temuan Bourlag sebenarnya sudah dimulai di Meksiko, saat negara itu terkena wabah kelaparan. Karena usahanya mewujudkan India sebagai negara swasembada pangan dan mengakhiri perang, Bourlag kemudian dianugerahkan hadiah Nobel Perdamaian. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, perang India- Pakistan akhirnya usai (Rizal Mallarangeng, 2008: 260–264). Kendati pertumbuhan perekonomian suatu negara perlu ditopang dengan populasi yang besar, tetapi jumlah populasi itu bisa menjadi beban, ketika inovasi teknologi sebagai elemen penting kemajuan masyarakat berjalan lamban atau malah stagnan.
Romer melihat output per pekerja adalah sama dengan perkembangan teknologi atau . Laju perkembangan disimbolkan dengan . Fungsi produksi untuk pengetahuan baru adalah: ̇( ) ( ( )) ( ) . Di mana adalah parameter pengubah; fraksi dari labor force yang dicurahkan untuk pengembangan pengetahuan; , dan adalah
9. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
4
parameter yang merefleksikan stok pengetahuan dalam kesuksesan R&D. Dalam persamaan tersebut asumsi kita mengikuti Cobb-Douglas. Romer mendefinisikan menjadi: ( ) ̇( ) ( )
( ) ( )
Dalam kelanjutannya, Romer melihat stok pengetahuan sebagai hal yang penting agar pertumbuhan berjalan optimal. Ketika stok lebih kecil dari 1, peran perubahan teknologi akan menjadi nol dan tidak bisa untuk mendorong pertumbuhan. Gambarnya seperti kurva di bawah ini:
̇
0
Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan ketika
Pada kurva di atas, ̇ adalah fungsi dari perkembangan . Pada awalnya output per pekerja bertambah seiring dengan naiknya teknologi. Namun dalam jangka panjang teknologi akan menurun, sehingga ̇ sama dengan yakni kondisi puncak kualitas output yang sama dengan nol. Selebihnya, jika labor force ditambah, maka yang terjadi adalah output tidak bisa bertambah, bahkan bertambahnya labor force justru mengembalikan titik jumlah output pada kondisi sebelum ditambahnya labor force. Contoh ini termasuk kondisi ketika populasi berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ilustrasinya seperti kurva di bawah ini:
̇
0
Efek Peningkatan ketika
Di sisi lain Romer mengingatkan kondisi ketika Pada kondisi ini, pengetahuan tambahan ternyata bisa mendorong pertumbuhan secara drastis. Bahkan pertumbuhan pada
10. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
5
titik ini tidak menunjukkan balanced-growth, tetapi fantastis luar biasa. Pengetahuan amat berguna dalam mendongkrak output. Pertambahan labor force dalam R&D akan semakin menaikkan pertumbuhan ekonomi. Di sini terlihat peran pentingnya populasi yang berkontribusi secara positif terhadap pembangunan perekonomian. Kurvanya seperti di bawah ini:
̇
0
Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan bila
Dalam ulasan selanjutnya, Romer melihat perubahan teknologi cukup proporsional dengan stok yang ada atau . Tampaknya teknologi yang ada cukup produktif dalam menghasilkan teknologi baru dan akhirnya mendorong perekonomian terus meningkat. Situasi ini mirip ketika . Tetapi dalam kasus ini, populasi bernilai positif. Jika populasi nol, justru pertumbuhan konstan, mengingat tidak ada orang yang mencurahkan dirinya dalam pengembangan teknologi baru (Romer, 2012: 109). Pada kasus ini kita dapat mendefinisikan ( ) ( ) dan ̇ ( ) ( ). Artinya, perubahan dan saving rate bisa mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Dalam hal ini, pertumbuhan disebut linear growth model, yang juga dinamai model ; teori dasar endogenous growth.
Tentunya para pengambil kebijakan ekonomi perlu berhati-hati melihat pertumbuhan populasi dan ekonomi, agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat. Hal ini terutama menyangkut pola konsumsi yang memuaskan kebutuhan mereka. Dalam kasus ini menarik jika kita menyimak gagasan pembagian pola konsumsi menurut beberapa ekonom.
Secara umum kita batasi dua pola konsumsi, yakni konsumsi di bawah pendapatan permanen dan konsumsi di bawah pendapatan tidak pasti. Dalam dua isu tersebut, Friedman melampaui John M. Keynes yang melihat konsumsi individu dalam jangka pendek. Bagi Keynes, konsumsi ditentukan oleh disposable income, atau pendapatan yang sudah dikurangi pajak. Semakin besar pendapatan seseorang, semakin tinggi pola konsumsinya. Bagi Keynes, kecenderungan rata-rata orang mengonsumsi (Average Propensity to Consume) turun ketika pendapatan naik. Hal ini karena orang kaya lebih banyak menabung, sedikit mengalokasikan uangnya untuk konsumsi daripada mereka yang miskin. Meskipun ia menganggap pengaruh suku bunga terhadap konsumsi sebatas teori. Secara matematis kita tulis: ̅
konsumsi; ̅ konstanta; disposable income ; kecenderungan marjinal
Keynes tidak melihat individu akan menahan utilitasnya tetap sama sepanjang hidup, karena itu fluktuasi konsumsi dimungkinkan adanya.
11. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
6
Bagi Friedman seseorang akan mengonsumsi sepanjang hidupnya secara sama dan tanpa penurunan. Utilitas sepanjang hidup sejak usia kerja dan mendapat penghasilan diasumsikan tetap. Pendapatan berlebih menjadi akumulasi kekayaan. Model persamaannya adalah: Σ ( ) Seorang menyesuaikan konsumsinya dengan pertimbangan, konsumsi tidak melebihi kekayaan awalnya dan pendapatannya ketika kerja: Σ Σ
Mengingat marjinal utilitas dari konsumsi selalu positif, maka seorang individu akan menyesuaikan budget constraint-nya secara sama. Dalam masa sepanjang hidup, individu akan memaksimalkan utilitasnya dalam model persamaan di bawah ini: Σ ( ) (Σ Σ ) )
First order condition of : ( ) . Dari persamaan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa marjinal utilitas individu itu selalu konstan atau tetap. Level konsumsi menentukan utilitas marjinalnya, sehingga pola konsumsi individu itu selalu konstan sepanjang masanya. Dengan demikian, konsumsi pada periode saat ini sama dengan waktu mendatang: . Dengan mensubstitusikan budget constraint di atas, maka didapat:
( Σ ) untuk semua (periode masa hidup). Ini konsumsi berpendapatan tetap setiap periodenya (Romer, 2012: 372 – 373). Sedangkan konsumsi pada pendapatan tidak tetap—seperti digagas Robert Hall—mengikuti ekspektasi rasional sebagai berikut: [ ] [Σ( ) ]
Di sini kita asumsikan bahwa suku bunga dan diskonto bernila nol. Individu menghadapi ketidakpastian pendapatan. Tapi ia harus memaksimalkan utilitasnya. Kekayaannya untuk konsumsi adalah rangkaian marjinal utilitas yang selalu bernilai positif. Budget constraint didefinisikan menjadi: Σ Σ artinya individu dalam kondisi ketidakpastian pendapatan akan mempertimbangkan pola konsumsinya tidak lebih banyak dari kekayaan awal yang ia miliki dan pendapatannya. Dengan demikian, ia akan menyesuaikan konsumsinya sepanjang waktu dengan dana yang ada. Harapannya menjadi: Σ [ ] Σ [ ] , dari sini kita dapat melihat konsumsi individu pada periode satu sebesar: [ Σ( ) ] . Individu akan terus berupaya agar utilitas sepanjang hidupnya tidak turun. Maka harapan dalam konsumsi periode ke-2, dapat dilihat sebagai berikut: ( Σ [ ] ) ( Σ [ ] )
Diketahui . Kita bisa masukkan harapan pendapatan pada periode ke-2, yakni Σ ( ) sebagai harapan kuantitas pendapatan periode ke-1: Σ ( ) ditambah informasi yang didapat antara periode 1 dan periode 2: Σ ( ) Σ ( ) . Maka: [ Σ ( ) (Σ ( ) Σ ( ) ) ]
Dari pola konsumsi pada periode 1, diketahui bahwa Σ ( ) sama dengan , sehingga persamaan di atas dapat dibentuk menjadi:
12. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
7
[ (Σ ( ) Σ ( ) )] (Σ ( ) Σ ( ) )
Dari persamaan di atas, diketahui bahwa perubahan dalam konsumsi antara periode 1 dan periode 2 sama dengan perubahan dalam perkiraan sumber daya sepanjang hidup dibagi jumlah periode masa hidup yang tersedia. Dari sini didapat bahwa pola konsumsi tidak mempertimbangkan apakah pendapatannya tetap atau tidak. Ketidakpastian tidak mempengaruhi pola konsumsi: ( ) [ ( )] . Nilai utilitas marjinal konsumsi yang diharapakan sama dengan utilitas marjinal konsumsi yang diharapkan: ( ) ( [ ]), atau sama dengan : [ ]. Konsumsi saat ini sama dengan harapan konsumsi di masa depan (Romer, 2012: 372 – 375).
Penelitian Sebelumnya
No
Nama
Judul
Thn
Masalah
Metodologi
Temuan
1
Tim Hazledine & R. Scott Moreland
Population & Economic Growth: A World Cross-Section Study
1977
Asumsi The Neo-Malthusian: low-level equilibrium trap
OLS
Ledakan populasi memperburuk perekonomian
2
Hongbin Li & Junsen Zhang
Do High Birth Rates Hamper Economic Growth?
2007
Pemberlakuan satu anak pada suku Han di Cina
Panel & IV- Method
Kelahiran tinggi perekonomian turun.
3
Paul Beaudry, Fabrice Collard & David A. Green
Demographics & Recent Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons
2005
Perkembangan teknologi dan institusi dalam mengintensifkan pekerja dan pengaruhnya pada populasi
OLS & IV- Method
Perkembangan teknologi menaikkan performa pekerja, sejalan dengan naiknya populasi
4
David E. Bloom, Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry
Geography, Demography & Economic Growth in Africa
1998
Kemiskinan dan pertumbuhan yang lamban ditopang oleh iklim tropis, populasi dan institusi sosial yang lemah
Panel & GMM system estimation
Afrika jauh dari terknologi. Iklim, geografi, populasi, penyakit, penyebab utama lemahnya ekonomi. Lemahnya institusi sebab berikutnya
5
Jonathan A. Parker & Bruce Preston
Precautionary Saving & Consumption Fluctuation
2005
Pola konsumsi ditentukan kekayaan sekarang, bunga, informasi, & pendapatan
GMM system estimation
Ketidaksempurnaan pasar mempengaruhi fluktuasi konsumsi dan simpanan
13. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
8
Metodologi
Penelitian ini menggunakan data WDI (World Development Indicator) of World Bank, dan ADB (Asian Development Bank) dari tahun 1990 sampai 2011. Data diambil pada tahun 2012. Terdiri dari PDB (dari ADB), population growth, dan household final consumption growth per capita (dari WDI). Metode analisisnya adalah VECM (Vector Error Correction Model). Hal ini karena pada mulanya yang hendak dicari dari penelitian ini adalah hubungan dinamis jangka pendek antar variabel, dan respon variasi antar variabel di masa depan. Tapi setelah dilakukan test cointegration, ternyata didapat hubungan jangka panjang, sehingga VECM lebih dipilih dalam proses analisis.
Melalui metode VECM, hubungan dinamis antar variabel dalam jangka pendek, juga jangka panjang, pengaruh suatu shock dari masing-masing variabel yang diamati dapat ditemukan. Modelnya terdiri dari tiga bentuk:
1)
2)
3)
Dimana
Sebelum menjalankan regresi, dilakukan beberapa pengujian berikut: Uji stasioneritas. Pengujian ini dilakukan agar data yang diteliti tidak mengandung unit root, yang dapat menyebabkan spurious regression. Data yang dianalisis stasioner pada first difference. Tabelnya lihat di lampiran.
Lag pada analisis disesuaikan menurut penilaian AIC dan SIC agar tidak menghabiskan degree of freedom dan tidak ada bias spesification. Kemudian dilakukan uji kointegrasi melalui pendekatan Søren Johansen, untuk kelayakan VECM. Hasilnya lihat di lampiran. Dari tabel analisis diketahui terdapat 1 hubungan kointegrasi pada model. Dengan begitu, VECM adalah metode yang layak dalam menganalisis.
Hasil dan Pembahasan
1. Analisis VECM
Dari hasil perhitungan, diketahui R2 dan adj-R2 menandakan angka yang cukup besar, secara berturut-turut yakni: 90% dan 88%. Dalam jangka panjang variabel populasi dan HFC mempengaruhi variabel PDB dengan nilai t-statistik yang cukup signifikan. Artinya ketika terjadi kenaikan populasi sebesar 1% akan menaikkan PDB sebesar 32.2%. Begitu juga jika terjadi kenaikan pada konsumsi sebesar 1%, akan menyebabkan 2.2% kenaikan PDB. Ini adalah bukti di Indonesia PDB masih cukup besar ditopang sisi konsumsi, dan besarnya populasi yang menentukan itu semua. Untuk lebih jelasnya, hasil regresi lihat di lampiran.
Di Indonesia sektor konsumsi masih menduduki porsi yang besar dalam total Produk Domestik Bruto, sedangkan sektor investasi relatif rendah. Berikut data yang dirilis ADB:
Tahun
1994
1999
2008
2010
2011
Porsi Konsumsi/ PDB
59,7
73,9
60,6
56,7
54,6
Investasi/ PDB
31,1
11,4
27,8
32,5
32,8
14. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
9
Dalam analisis jangka pendek, diketahui terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan kointegrasi: pada variabel PDB sebesar -1.6%, sedangkan pada HFC dan variabel Population tidak signifikan. Lihat tabel di lampiran.
Pada hasil perhitungan VECM, dalam jangka pendek PDB ditentukan secara positif oleh HFC dan populasi, secara berturt-turut sebesar: 6% dan 55.8%. Hal ini wajar, terutama jika kita melihat sektor konsumsi yang menjadi penopang PDB selama bertahun-tahun. Bahkan populasi yang besar sama sekali tidak berdampak buruk pada perekonomian. Kasus yang menarik jika dibandingkan dengan di beberapa negara. Kesuksesan program-program pembangunan di era 1990-an telah menghasilkan kelompok terdidik yang saat ini sedang berada pada usia produktif. Sehingga sebagaimana yang diyakini ekonom endogenous growth, jika populasi yang besar ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih besar, populasi bisa sangat efektif mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi.
Namun, baik pertumbuhan populasi maupun HFC sama sekali tidak dipengaruhi PDB. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, konsumsi tidak mempengaruhi populasi. Artinya semakin tinggi konsumsi seseorang, tidak lantas menjadikannya memiliki keluarga yang banyak. Malah justru yang terjadi sebaliknya, orang yang berpenghasilan tinggi dengan pola konsumsi yang tinggi pula, lebih memilih anak yang sedikit. Inilah fenomena modernitas.
2. Analisis Granger Causality
Dari hasil hitung, null hypotheses of Population growth dan HFC does not granger cause PDB tak dapat diterima, karena p-value keduanya tidak lebih dari 5%. Sebaliknya, null hypotheses of PDB and HFC does not granger cause Population growth dapat diterima, karena p-value menandakan lebih dari 5%. Juga null hypotheses of PDB and Population growth does not granger cause HFC dapat diterima, karena p-value melebihi 5%. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa PDB Indonesia didukung penuh pola konsumsi yang tinggi, dengan populasi yang besar. Tapi tidak sebaliknya. Keterangan lengkap lihat di lampiran.
3. Analisis Impulse Response
Dari hasil analisis Impulse Response, pada tabel pertama diketahui bahwa goncangan variabel pertumbuhan PDB berdampak pada PDB 0.147420 SSD (Satuan Standar Deviasi) di periode 1. Lalu nilainya menjadi mengecil, bahkan negatif dan terus berfluktuasi sampai periode ke-10. Pengaruh goncangan pertumbuhan populasi terhadap PDB adalah 0 pada periode ke-1. Lalu goncangan itu menjadi negatif sampai periode ke-10. Hal ini menandakan dalam jangka panjang ke depan, populasi tak lagi menjadi anugerah pada perekonomian. Justru yang terjadi adalah hambatan. Peran kelompok usia produktif saat ini, dalam tempo beberapa tahun ke depan semakin berkurang, dan akhirnya menjadi minus. Goncangan HFC terhadap PDB adalah 0 di periode ke-1. Lalu menjadi negatif, dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Hal ini menandakan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga dalam tahun-tahun ke depan beban ekonomi menjadi semakin tinggi.
Pada tabel kedua, terlihat guncangan PDB bernilai positif dan terus berfluktuasi mempengaruhi Populasi sampai periode ke-10. Perekonomian yang baik, bisa berdampak positif pada jumlah populasi. Terlihat juga pada tabel ke-3, guncangan PDB kembali berdampak positif terhadap HFC, meskipun nilainya tidak lebih besar dari HFC sendiri.
4. Analisis Variance Decomposition
Dalam analisis ini, informasi hubungan dinamis jangka panjang antar variabel dan seberapa besar pengaruh acak guncangan masing-masing variabel terhadap variabel endogen dapat ditemukan. Pada tabel pertama, PDB ternyata di periode ke-1 lebih banyak dipengaruhi oleh PDB sendiri sebesar 100% lalu periode ke-2 sebesar 71.85%, nilainya kemudian turun dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian diikuti HFC, dan Populasi dengan nilai
15. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
10
yang berfluktuasi. Hanya sampai periode ke-10, populas menjadi lebih dominan. Pada tabel kedua dan ketiga, populasi lebih banyak dipengaruhi variabel populasi, dan HFC lebih banyak dipengaruhi HFC, dengan nilai yang berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian disusul PDB pada posisi kedua yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Sedangkan antara variabel HFC dan populasi kurang begitu kuat pengaruhnya. Keterangan selengkapnya bisa dilihat di lampiran.
5. Uji Asumsi Klasik
Hasil analisis dalam penelitian ini, sudah melewati pelbagai pengujian, termasuk tak ada satu pun asumsi klasik yang dilanggar. Data sudah terdistribusi secara normal, tidak terdapat autokorelasi, juga tidak terjadi multikolineraritas, serta tak ada heteroskedastisitas. Untuk lebih detail lihat di lampiran.
Solusi Mengatasi Ledakan dan Pemerataan Penduduk di Indonesia
Kondisi pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Pemerintah harus segera melancarkan langkah-langkah strategis menanganinya. Beberapa kiat berikut perlu disimak, sebagai solusi ledakan penduduk yang kurang terkontrol:
1) Menerapkan kembali program Keluarga Berencana (KB) secara intensif di tengah- tengah masyarakat. Kebijakan ini juga harus ditopang pada peningkatan kualitas anak, melalui penyuluhan kesehatan bayi, ibu hamil dan pembinaan menyeluruh kepada masyarakat.
2) Kembali menggalakkan program transmigrasi antar pulau di Nusantara. Pemerintah mendorong pemerataan penduduk di berbagai wilayah Indonesia yang luas, dengan perpindahan secara terorganisir, dengan pembekalan dan pembinaan secara teratur. Saat ini masih banyak tanah-tanah Indonesia yang belum terjamah tangan-tangan manusia, tetapi memiliki potensi yang belum diberdayakan. Sehingga pemerataan penduduk di berbagai wilayah menjadi cukup urgen.
3) Pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerataan ini diperlukan agar pembangunan tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi ke berbagai daerah lainnya.
4) Peningkatan pelayanan kesehatan publik bagi ibu hamil dan bayi. Saat ini kondisi kesehatan wanita hamil masih cukup mengkhawatirkan. Misalnya, di desa Bangsalrejo banyak wanita hamil terkena gondok, padahal desa itu wilayah ladang garam (http://m.detik.com). Ketika persoalan kebutuhan dasar semacam ini belum selesai, maka prestasi pembangunan ekonomi di Indonesia harus dipertanyakan.
Penutup
Pertumbuhan penduduk tidak menjadi masalah jika ditopang sumber daya manusia yang lebih baik. Sehingga populasi yang besar dan produktif akhirnya bisa menjadi pendorong pembangunan secara berkelanjutan. Tapi jika kemajuan ilmu pengetahuan kalah cepat dibandingkan pertambahan penduduk, yang terjadi justru munculnya masalah kemanusiaan seperti kelaparan dan peperangan. Hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan konsumsi masyarakat, akibat pertambahan anggota keluarga tidak sebanding dengan penghasilan.
Pertumbuhan populasi yang besar di Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kendati hasil penelitian menemukan pertumbuhan populasi berperan besar mendorong perekonomian, namun dalam prediksi di masa mendatang pertumbuhan populasi justru berdampak negatif terhadap pembangunan. Pasalnya, tingginya perekonomian
16. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
11
Indonesia ternyata ditopang oleh sisi konsumsi yang menandakan masyarakat lebih konsumtif alih-alih memperbesar sektor lain sebagai penopang perekonomian. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ekonom sebelumnya. Ledakan jumlah penduduk itu akan berdampak buruk pada pembangunan. Yang didapat dari penelitian ini adalah pola konsumsi masyarakat Indonesia berfluktuasi, tidak konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih mengikuti gagasan Keynes, dan bukan Friedman atau R. Hall. Yang juga harus disimak di sini adalah soal pembatasan angka kelahiran, untuk menstabilkan perekonomian dalam jangka panjang, agar persoalan kemanusiaan yang sering diramalkan ekonom klasik tidak pernah terjadi.
Daftar Pustaka
BPS, ―Data Strategis‖, Jakarta: BPS, 2012.
Beaudry, Paul, Fabrice Collard & David A. Green, (2005), ―Demographics & Recent Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons‖, The Canadian Journal of Economics, Vol. 38, No. 2, 309 – 344.
Bloom, David E., Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry, (1998), ―Geography, Demography & Economic Growth in Africa‖, Brooking Papers in Economic Activity, Vol. 1998, No. 2, 207 – 295.
Hazledine, Tim & R. Scott Moreland, (1977), ―Population & Economic Growth: A World Cross-Section Study‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 59, No. 3, 253 – 263.
Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?, Yogyakarta: Andi, 2007.
Li, Hongbin & Junsen Zhang, (2007), ―Do High Birth Rates Hamper Economic Growth?‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 89, No. 1, 110 – 117.
Mallarangeng, Rizal, (2008) Dari Langit, Gramedia: Jakarta.
Mankiw, N. Gregory, (2003), Teori Makroekonomi, terj., Jakarta: Erlangga, 2003.
―Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan‖, Media Indonesia, 13/12/2012.
Parker, Jonathan A., & Bruce Preston, (2005), ―Precautionary Saving & Consumption Fluctuation‖, The American Economic Review, Vol. 95, No. 4, 1119 – 1143.
Romer, David, (2012), Advanced Macroeconomics, New York: McGraw-Hill.
Romer, Paul, (1986), ―Increasing Returns and Long-Run Growth‖, Journal of Political Economy, Vol. 94, 1002 – 1037.
----------------, (1990), ―Endogenous Technological Change‖, Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, part 2, S71 – S102.
----------------, (1994), ―Origins of Endogenous Growth‖, Journal of Economic Perspectives, Vol. 8, No. 1, 3 – 22.
http://m.detik.com/health/read/2012/12/18/082940/2121031/746/ironis-banyak-wanita- hamil-kena-gondok-di-ladang-garam-desa-desa-bangsalrejo
17. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
12
Lampiran
Uji Stasioneritas (Data belum Stasioner)
Null Hypothesis: PDB has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
-0.008244
0.9476
Test critical values:
1% level
-3.788030
5% level
-3.012363
10% level
-2.646119
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PDB)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:09
Sample (adjusted): 1991 2011
Included observations: 21 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDB(-1)
-0.000525
0.063659
-0.008244
0.9935
C
105.3426
85.12386
1.237521
0.2310
R-squared
0.000004
Mean dependent var
104.7619
Adjusted R-squared
-0.052628
S.D. dependent var
213.5194
S.E. of regression
219.0659
Akaike info criterion
13.70701
Sum squared resid
911807.5
Schwarz criterion
13.80649
Log likelihood
-141.9237
Hannan-Quinn criter.
13.72860
F-statistic
6.80E-05
Durbin-Watson stat
2.136122
Prob(F-statistic)
0.993508
Null Hypothesis: HFC has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
0.551562
0.9844
Test critical values:
1% level
-3.788030
5% level
-3.012363
10% level
-2.646119
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(HFC)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:05
Sample (adjusted): 1991 2011
Included observations: 21 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
HFC(-1)
0.014671
0.026600
0.551562
0.5877
C
3.51E+09
2.87E+09
1.224487
0.2357
R-squared
0.015759
Mean dependent var
5.04E+09
Adjusted R-squared
-0.036043
S.D. dependent var
3.32E+09
S.E. of regression
3.38E+09
Akaike info criterion
46.81302
Sum squared resid
2.18E+20
Schwarz criterion
46.91250
Log likelihood
-489.5367
Hannan-Quinn criter.
46.83461
F-statistic
0.304220
Durbin-Watson stat
1.801303
Prob(F-statistic)
0.587678
18. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
13
Null Hypothesis: POP has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
1.762614
0.9993
Test critical values:
1% level
-3.788030
5% level
-3.012363
10% level
-2.646119
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(POP)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:12
Sample (adjusted): 1991 2011
Included observations: 21 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
POP(-1)
0.020340
0.011540
1.762614
0.0940
C
-1.249206
2.396613
-0.521238
0.6082
R-squared
0.140536
Mean dependent var
2.961905
Adjusted R-squared
0.095301
S.D. dependent var
0.911853
S.E. of regression
0.867315
Akaike info criterion
2.643564
Sum squared resid
14.29247
Schwarz criterion
2.743042
Log likelihood
-25.75742
Hannan-Quinn criter.
2.665153
F-statistic
3.106809
Durbin-Watson stat
1.663060
Prob(F-statistic)
0.094045
Data sudah Stasioner : 1) PDB
Null Hypothesis: DLPDB has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
-4.604345
0.0018
Test critical values:
1% level
-3.808546
5% level
-3.020686
10% level
-2.650413
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DLPDB)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:11
Sample (adjusted): 1992 2011
Included observations: 20 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DLPDB(-1)
-1.082143
0.235026
-4.604345
0.0002
C
0.116467
0.069887
1.666491
0.1129
R-squared
0.540816
Mean dependent var
-0.001148
Adjusted R-squared
0.515306
S.D. dependent var
0.417870
S.E. of regression
0.290921
Akaike info criterion
0.463109
Sum squared resid
1.523429
Schwarz criterion
0.562682
Log likelihood
-2.631085
Hannan-Quinn criter.
0.482546
F-statistic
21.20000
Durbin-Watson stat
2.033780
Prob(F-statistic)
0.000220
19. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
14
Data sudah Stasioner: 2) HFC
Null Hypothesis: DLHFC has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
-3.646429
0.0141
Test critical values:
1% level
-3.808546
5% level
-3.020686
10% level
-2.650413
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DLHFC)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:07
Sample (adjusted): 1992 2011
Included observations: 20 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DLHFC(-1)
-0.836020
0.229271
-3.646429
0.0018
C
0.040417
0.014301
2.826229
0.0112
R-squared
0.424855
Mean dependent var
-0.001378
Adjusted R-squared
0.392902
S.D. dependent var
0.049085
S.E. of regression
0.038245
Akaike info criterion
-3.594970
Sum squared resid
0.026328
Schwarz criterion
-3.495397
Log likelihood
37.94970
Hannan-Quinn criter.
-3.575532
F-statistic
13.29644
Durbin-Watson stat
2.022031
Prob(F-statistic)
0.001846
Data sudah Stasioner: 3) Populasi
Null Hypothesis: DLPOP has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
-3.588389
0.0159
Test critical values:
1% level
-3.808546
5% level
-3.020686
10% level
-2.650413
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DLPOP)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:14
Sample (adjusted): 1992 2011
Included observations: 20 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DLPOP(-1)
-0.835023
0.232701
-3.588389
0.0021
C
0.011736
0.003391
3.461331
0.0028
R-squared
0.417033
Mean dependent var
5.54E-06
Adjusted R-squared
0.384646
S.D. dependent var
0.005130
S.E. of regression
0.004025
Akaike info criterion
-8.098163
Sum squared resid
0.000292
Schwarz criterion
-7.998590
Log likelihood
82.98163
Hannan-Quinn criter.
-8.078725
F-statistic
12.87654
Durbin-Watson stat
1.953075
Prob(F-statistic)
0.002101
20. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
15
Uji Kointegrasi
Date: 05/11/13 Time: 18:20
Sample (adjusted): 1993 2011
Included observations: 19 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: DLPDB DLPOP DLHFC
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
Trace
0.05
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**
None *
0.884237
62.90258
42.91525
0.0002
At most 1
0.585270
21.93463
25.87211
0.1431
At most 2
0.239916
5.212205
12.51798
0.5662
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
Max-Eigen
0.05
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**
None *
0.884237
40.96795
25.82321
0.0003
At most 1
0.585270
16.72243
19.38704
0.1170
At most 2
0.239916
5.212205
12.51798
0.5662
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Hasil Analisis VEC Model
Vector Error Correction Estimates
Date: 05/11/13 Time: 18:20
Sample (adjusted): 1993 2011
Included observations: 19 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
DLPDB(-1)
1.000000
DLPOP(-1)
32.26742
(9.49119)
[ 3.39972]
DLHFC(-1)
2.276558
(0.74839)
[ 3.04195]
@TREND(90)
0.015722
(0.00390)
[ 4.02627]
C
-0.858188
Error Correction:
D(DLPDB)
D(DLPOP)
D(DLHFC)
CointEq1
-1.641442
0.004296
-0.016057
(0.17892)
(0.00559)
(0.05500)
[-9.17395]
[ 0.76875]
[-0.29195]
D(DLPDB(-1))
0.449016
-0.002265
0.008150
(0.12509)
(0.00391)
(0.03845)
[ 3.58945]
[-0.57959]
[ 0.21197]
D(DLPOP(-1))
55.82650
-0.781802
1.824307
(9.42410)
(0.29436)
(2.89682)
[ 5.92380] [-2.65598]
[ 0.62976]
D(DLHFC(-1))
6.086553
-0.015284
-0.499821
(0.76527)
(0.02390)
(0.23523)
[ 7.95349]
[-0.63941] [-2.12481]
23. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
18
8
0.086104
20.71775
1.472213
77.81004
9
0.090550
20.69002
1.369126
77.94085
10
0.094834
20.68236
1.254871
78.06277
Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC
Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
VEC Residual Normality Tests
Orthogonalization: Cholesky (Lutkepohl)
Null Hypothesis: residuals are multivariate normal
Date: 05/11/13 Time: 18:55
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Component
Skewness
Chi-sq
df
Prob.
1
0.032034
0.003249
1
0.9545
2
0.997991
3.153957
1
0.0757
3
-1.127519
4.025782
1
0.0448
Joint
7.182988
3
0.0663
Component
Kurtosis
Chi-sq
df
Prob.
1
1.969354
0.840933
1
0.3591
2
4.284763
1.306737
1
0.2530
3
3.148937
0.017561
1
0.8946
Joint
2.165231
3
0.5388
Component
Jarque-Bera
df
Prob.
1
0.844182
2
0.6557
2
4.460694
2
0.1075
3
4.043343
2
0.1324
Joint
9.348219
6
0.1549
Uji Ketiadaan Autokorelasi
VEC Residual Portmanteau Tests for Autocorrelations
Null Hypothesis: no residual autocorrelations up to lag h
Date: 05/11/13 Time: 18:53
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Lags
Q-Stat
Prob.
Adj Q-Stat
Prob.
df
1
7.466693
NA*
7.881510
NA*
NA*
2
13.04184
0.1607
14.11256
0.1184
9
3
17.41623
0.4947
19.30715
0.3731
18
*The test is valid only for lags larger than the VAR lag order.
df is degrees of freedom for (approximate) chi-square distribution
24. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
19
Uji Ketiadaan Multikolinearitas
VEC Residual Serial Correlation LM Tests
Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h
Date: 05/11/13 Time: 18:52
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Lags
LM-Stat
Prob
1
7.277553
0.6082
2
12.12773
0.2062
3
6.718789
0.6664
Probs from chi-square with 9 df.
Uji Ketiadaan Heteroskedastisitas
VEC Residual Heteroskedasticity Tests: No Cross Terms (only levels and squares)
Date: 05/11/13 Time: 18:57
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Joint test:
Chi-sq
df
Prob.
48.80527
48
0.4405
Individual components:
Dependent
R-squared
F(8,10)
Prob.
Chi-sq(8)
Prob.
res1*res1
0.278722
0.483036
0.8427
5.295727
0.7256
res2*res2
0.239049
0.392681
0.9008
4.541925
0.8052
res3*res3
0.200228
0.312945
0.9435
3.804325
0.8743
res2*res1
0.292633
0.517117
0.8191
5.560032
0.6964
res3*res1
0.208533
0.329347
0.9356
3.962136
0.8605
res3*res2
0.356514
0.692544
0.6923
6.773764
0.5612
25. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
20
Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap Pengangguran
Abdul Holik
Aisyah Rosadi
Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Abstract
This research purposes to analyze monetary policies—inflation, money supply, exchange rate and interest rate—toward unemployment rate in Indonesia, using OLS (Ordinary Least Square) method. Based on the result, gross domestic product (GDP), interest rate, exchange rate, and inflation are significant in affecting unemployment rate in 10 percent level. Meanwhile, money supply cannot have significant effect toward unemployment rate. It is evidence that Indonesia adopts inflation targeting framework in controlling unemployment rate conducted by monetary authority, other than monetary variables targeting.
Keywords: monetary policies, inflation targeting, unemployment, gross domestic products.
Pendahuluan
Salah satu instrumen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan kestabilan jangka panjang adalah melalui kebijakan moneter, terutama penargetan inflasi. Kebijakan ini cenderung dipilih sejumlah negara seperti Indonesia, alih-alih penargetan moneter secara total. Hal ini juga umum diberlakukan di sejumlah negara ASEAN khususnya pasca krisis moneter 1997 di Thailand yang menimbulkan contagion effect di kawasan dan akhirnya menyebabkan tingginya angka pengangguran. Dalam kasus di Indonesia, isu pengangguran menjadi masalah yang cukup besar dan menjadi penghambat pencapaian kesejahteraan optimal masyarakat. Indonesia menurut sejumlah pengamat cenderung lambat—dibandingkan negara-negara semisal Malaysia, Korea Selatan, Thailand—dalam upaya mencapai stabilisasi perekonomian pasca krisis.
Dalam kajian ekonomi makro, pembangunan ekonomi tidak dapat diukur semata-mata dari tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (Todaro, 2006). Namun, harus pula melihat bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dan mengetahui siapa yang mendapat manfaat dari pembangunan tersebut. Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu di antaranya adalah tingkat pengangguran. Selain itu dengan tingkat pengangguran, dapat dilihat pula ketimpangan atau kesenjangan distribusi pendapatan yang diterima suatu masyarakat negara tersebut. Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup luas, serta penyerapan tenaga kerja yang cenderung kecil persentasenya. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan penciptaan lapangan kerja di sektor riil untuk menampung tenaga kerja yang siap bekerja.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980, penduduk Indonesia berjumlah 146.777.000 jiwa. Tahun 2007 jumlah itu meningkat menjadi sebesar 224.904.000 jiwa (BPS, 1980 dan 2007). Kenaikan tersebut juga diikuti oleh kenaikan jumlah pengangguran. Hal ini menunjukkan kenaikan jumlah penduduk usia kerja tidak terserap sepenuhnya ke lapangan pekerjaan
26. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
21
sehingga jumlah pengangguran pun naik. Grafik pengangguran digambarkan dalam bagan di bawah ini:
Sumber: World Bank
Dari data di atas diketahui bahwa pengangguran di Indonesia masih cukup besar. Terlebih ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar subsidi di tahun 2005. Sampai tahun 2010, pengangguran terus menurun. Hanya saja, penurunan itu belum berhasil mencapai titik seperti sebelum krisis 1997. Bahkan, pertumbuhan pasca krisis 1997 tidak dibarengi turunnya tingkat pengangguran. Penelitian di Amerika Serikat pasca krisis mengindikasikan koefisien hasil yang beragam (Weber, 1995).
Maka di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi jumlah usia kerja yang setiap tahun terus bertambah.Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berorientasi pada upaya mendorong pertumbuhan iklim investasi di sektor riil, dan bukan sektor finansial semata. Dalam hal ini BI (Bank Indonesia) memainkan peranan penting dalam mengatur tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, mengontrol laju inflasi, serta menjaga agar aliran modal yang ada di dalam negeri agar tidak lari keluar.
Mengingat Indonesia adalah negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small open economy), maka wajar jika akhirnya penetapan suku bunga domestik melibatkan pertimbangan suku bunga di dunia. Suku bunga ini dipatok berdasarkan suku bunga yang ditetapkan The Federal Reserve Fund Rate, di Amerika Serikat. Kebijakan ini diambil agar aliran modal asing tetap bertahan, dan terus digalakkan dalam meningkatkan investasi (Pilbeam, 1998). Selain itu, pilhan nilai tukar mengambang bebas (floated exchange rate system) juga menjadi pilihan yang paling baik, di mana pasar dapat dengan sendirinya menentukan sisi permintaan dan penawaran kurs mata uang rupiah (Arifien, 2008).
Dengan semakin baiknya iklim berinvestasi di Indonesia, maka ketersediaan lapangan kerja formal semakin banyak. Dengan begitu, penduduk usia kerja bisa terserap dan pengangguran bisa turun. Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek-proyek pemerintah tidak bisa menyerap semua supply pekerja. Sehingga peran sektor swasta amat dibutuhkan.
Oleh karena itu, peran sektor pemerintah dan peran swasta amat dibutuhkan dalam hal penyedia lapangan pekerjaan. Isu pengangguran telah menjadi bahasan utama dalam perencanaan ekonomi jangka panjang di banyak negara, termasuk di negara maju sekalipun.
0
2
4
6
8
10
12
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pengangguran Dari Total Angkatan Kerja
Pengangguran Dari
Total Angkatan Kerja
27. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
22
Kajian Pustaka
Salah satu target utama kebijakan moneter adalah penyediaan lapangan pekerjaan. Dalam diskursus ekonomi makro, kondisi lapangan kerja penuh (full employment) merupakan kondisi yang diharapkan untuk dicapai. Masalahnya adalah bagaimana kinerja otoritas moneter berupaya menurunkan angka pengangguran sampai titik terendah.
Dalam kenyataannya kondisi lapangan kerja penuh tidak selamanya berarti bebas dari pengangguran. Proses keluar masuk seseorang mencari pekerjaan akan menyebabkannya menganggur untuk beberapa saat. Dibutuhkan waktu penyesuaian antara pekerja dan pengusaha yang akan mempekerjakannya. Pengangguran friksional yang melibatkan waktu penyesuaian ini menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan perekonomian.
Di sisi lain terdapat pengangguran struktural, yakni pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara keahlian yang dibutuhkan dan kemampuan pekerja. Dalam kasus ini, kebijakan moneter hanya sedikit bisa menanggulangi pengangguran semacam itu.
Dalam beberapa literatur, kondisi lapangan kerja penuh didefinisikan sebagai keadaan dengan tingkat pengangguran di atas nol, yang selaras dengan sisi penawaran dan permintaan tenaga kerja pada periode tertentu. Artinya, tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) boleh tidak melebihi 4% dari total angkatan kerja, meskipun nilai tersebut masih diperdebatkan kalangan ekonom (Mishkin, 2007). Cukup sulit mencapai angka tersebut.
Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa inflasi, kendati prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Keynes mengajukan 4 bentuk kondisi terkait kekakuan nominal dengan berpijak pada kondisi pasar untuk barang dan pekerja, yang nantinya diselaraskan dengan kebijakan moneter (David Romer, 2012):
1) kondisi ketika upah bersifat kaku, harga fleksibel, dan pasar barang sangat kompetitif. Dalam kondisi ini, upah disimbolkan dengan ̅. Karena harga fleksibel, maka perusahaan mempekerjakan karyawan sampai (marginal product of labor) sama dengan upah riil: ( ) .
Melalui asumsi ini, peningkatan demand menaikkan output. Perusahaan memproduksi komoditas dengan lebih giat. Ketika supply uang naik, maka berangsur-angsur harga naik. Mengingat kondisi upah yang tetap, perusahaan bisa menaikkan buruh untuk mengerjakan permintaan pasar yang melonjak. Karena upah riil berada di atas market-clearing level, maka supply pekerja dapat bertambah dan pekerja pun dengan senang hati mau memenuhi kebutuhan produsen. Dengan demikian angka pengangguran bisa menurun.
Akan tetapi, pandangan sisi supply ini akhirnya bisa mendorong countercyclical real wage (perekonomian turun karena upah yang dipaksakan untuk tetap) dalam merespon aggregate demand shock. Perusahaan akan berhenti mempekerjakan karyawan ketika sama dengan upah. Kita bisa melihat penjelasan ini dalam kurva. Level awal pekerjaan ditentukan oleh permintaan pekerja dan upah riil yang ditujukan poin E, sedangkan pengangguran berada pada perbedaaan supply dan demand upah riil (jarak EA):
28. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
23
Dari kurva di atas pengangguran awalnya bisa turun, dengan naiknya lapangan
pekerjaan. Tapi akhirnya dengan upah yang kaku memaksa perusahaan harus mengurangi
upah dari titik menjadi di titik . Dalam kasus ini perekonomian dalam kondisi tidak stabil
dan tidak menemukan dukungan untuk mencapai procyclical pertumbuhan.
2) kondisi ketika harga-harga kaku, upah fleksibel, dan pasar pekerja kompetitif.
Dalam kasus ini, diasumsikan perusahaan-perusahaan memiliki kekuatan pasar sehingga
harga yang memaksimalkan keuntungan bisa melampaui biaya marjinal. Tapi sebenarnya
menerapkan upah fleksibel berangsur-angsur menyebabkan perusahaan merugi. Peningkatan
demand yang terus-menerus akhirnya mendorong countercyclical atas biaya marjinal.
Terutama ketika naiknya permintaan pasar. Mungkin demand yang besar dapat
menggerakkan peningkatan pekerja terdidik, tetapi akhirnya mendorong kenaikan upah.
Kondisi ini ditunjukan dengan E` pada kurva sebagai berikut:
Dalam konteks ini, kebijakan penetapan upah fleksibel dan harga kaku tidak
mendukung procyclical pada perekonomian. Pada akhirnya harga-harga harus naik, karena
jika tidak akan merugikan produsen.
3) kondisi ketika harga kaku, upah fleksibel dan pasar kerja tidak sempurna. Dalam
kasus ini persamaan upah kita definisikan menjadi:
( ). Dalam contoh kasus ini,
peningkatan demand menaikkan output sampai biaya marjinal sama dengan level harga.
Pekerjaan dan upah riil ditentukan melalui perpotongan kurva demand pekerja efektif dan
fungsi upah riil. Lapangan pekerjaan akan bertambah dengan naiknya demand atas output.
29. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
24
Pengangguran dapat turun. Jarak EA menandakan pengangguran. Gambar kurvanya sebagai
berikut:
Akan tetapi demand yang semakin tinggi dan upah fleksibel akhirnya akan memaksa
harga-harga naik, karena jika tidak berakibat kerugian produsen.
4) kondisi ketika upah tetap, harga tetap dan pasar barang tidak sempurna. Dalam
kasus ini harga dibentuk dengan adanya markup: ( )
( )
; di mana ⁄ ( ) adalah
biaya marjinal; adalah markup. Maka upah riil didefinisikan menjadi: ( )⁄ ( ). Jika
constant, maka upah riil berlaku countercyclical karena adanya penurunan . Jika ( )
kecil, upah riil akan menjadi procyclical bahkan jika kekakuan nominal berlaku pada pasar
pekerja. Dalam situasi ini, upah dan harga tidak ditentukan dari perubahan . Tapi dari .
Pekerjaan akan ditentukan oleh demand pekerja efektif dari produsen.
Level demand menentukan wilayah perekonomian itu berada. Pengangguran berada di
antara perbedaan supply pekerja dan pekerjaan pada upah riil yang berlaku. Terdapat tiga
contoh kurva yang menggambarkan kondisi upah:
a. Menurun; b. Konstan; c. Naik.
30. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
25
Dalam analisis lebih lanjut, Keynes menguraikan konsep aggregate demand yang
menggambarkan hubungan negatif antara harga dan output. Pada kondisi ini diasumsikan
jumlah uang yang beredar adalah konstan. Jika pemerintah melakukan kebijakan moneter
ekspansif maka kurva AD akan bergeser ke kanan. Sedangkan AS menggambarkan hubungan
positif antara harga dan output. Hal yang dapat menyebabkan kurva ini bergeser ke kanan
adalah kenaikan biaya produksi. Interaksi antara kurva AD dan kurva AS terjadi pada jangka
pendek. Hal tersebut tercermin pada kurva di bawah ini:
31. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
26
Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa
inflasi. Dalam prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Ahli ekonomi klasik telah
membuat simulasi empiris bahwa apabila tingkat pengangguran rendah, biasanya dibarengi
tingkat inflasi yang tinggi. Pada tahun 1950-an, A.W. Phillips, ekonom Inggris, melakukan
studi mengenai kebijakan stabilisasi perekonomian mengenai tingkat inflasi upah buruh dan
tingkat pengangguran. Ia membuat kurva sebagai berikut:
Namun, kedua konsep yang dikemukakan baik oleh Philips dan Keynes hanya berlaku
dalam jangka pendek. Milton Friedman menyatakan bahwa rezim moneter yang tidak bisa
menahan inflasi kronis takkan bisa menurunkan angka pengangguran. Dalam jangka panjang
inflasi berakibat sangat buruk pada perekonomian (Friedman, 1968). Contoh ekstrem seperti
Y
P
AD
AS
Gam
bar
32. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
27
kasus hyperinflation di Jerman pada dekade 1930-an. Inflasi dalam jangka panjang dapat menghancurkan perekonomian.
Gagasan Philips sebenarnya merupakan trade off antara pengangguran dan inflasi. Baginya ketika pembuat kebijakan ekonomi menginginkan tingkat inflasi yang rendah, mereka harus membayarnya dengan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya, ketika tingkat inflasi tinggi, pengangguran bisa turun.
Pertumbuhan ekonomi yang baik memiliki hubungan erat dengan penurunan pengangguran. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hukum Okun, yakni suatu hubungan terbalik antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Ketika perekonomian suatu negara mencapai pertumbuhan yang signifikan, maka tingkat pengangguran dapat ditekan. Dalam beberapa penelitian misalnya, asumsi Okun tersebut terbukti. Namun setelah masa krisis yang dalam, hukum Okun membutuhkan beberapa penjelasan lanjutan (Weber, 1995).
Friedman sendiri mengakui bahwa kebijakan moneter mempunyai lag (rentang waktu) agar bisa berpengaruh pada output riil. Di Amerika misalnya, kebijakan moneter mempunyai waktu satu tahun guna mempengaruhi output dan waktu dua tahun dalam mempengaruhi inflasi secara signifikan. Sedangkan di negara-negara yang mengalami inflasi tinggi, di mana harga-harga lebih fleksibel, selang waktu bisa lebih pendek (Mishkin, 2007).
Kebijakan penargetan inflasi juga diterapkan pada berbagai negara maju dengan nilai yang berbeda-beda. Berikut tabelnya:
Negara & Tahun Berlaku
Definisi Rangkaian Target
Tingkat penargetan
Jangka waktu
Australia (1993)
Komponen IHK ( buah&sayuran, solar, harga- harga sektor publik, dan harga-harga yang fluktuatif)
2-3%
sepanjang masa
Kanada (Februari 1991)
Komponen utama IHK (makanan, energi, dan pajak tidak langsung)
1-3%
18 bulan
Finlandia (Februari 1993)
Komponen IHK ( subsidi pemerintah, pajak tidak langsung, harga rumah dan tingkat bunga cicilan rumah)
sekitar 2%
sepanjang masa
Selandia Baru (Maret 1990)
Komponen IHK (perubahan pada pajak tidak langsung atau pengeluaran pemerintah, perubahan pada harga ekspor dan impor, bencana alam)
0-3%
1 tahun
Spanyol (Januari 1995)
IHK (perubahan pajak tidak langsung)
Dibawah 3%
Setelah krisis 1997
Swedia (Januari 1993)
IHK
1-3%
sepanjang masa
Inggris (Oktober 1992)
tingkat bunga cicilan property
Dibawah 2.5%
sampai berakhir parlemen
Tabel dikutip dari (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997)
Pertumbuhan ekonomi yang ideal ditandai dengan terpenuhinya stabilisasi harga. Stabilisasi harga tidak diartikan sebagai perekonomian tanpa inflasi. Tapi biasanya diartikan mendekati 2 persen per tahun (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997). Dalam jangka panjang, inflasi yang tinggi tidak pernah berkaitan erat dengan turunnya pengangguran. Stabilisasi harga adalah pilihan kebijakan yang ideal dalam menangani pengangguran di jangka panjang. Meskipun pada sisi lain, stabilisasi harga dalam jangka
33. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
28
pendek justru bertentangan dengan tujuan penyediaan lapangan kerja dan stabilisasi suku bunga.
Secara umum terdapat tiga bentuk mekanisme kebijakan untuk mencapai stabilisas harga: penargetan moneter (monetary targetting), penargetan inflasi (inflation targetting), kebijakan moneter dengan jangkar implisit—bukan eksplisit (Mishkin, 2007). Berikut penjelasan detailnya:
1. Penargetan Moneter (Monetary Targetting).
Kebijakan ini dilakukan dengan menargetkan pencapaian angka dan nilai tertentu dari tingkat pertumbuhan tahunan agregat moneter. Misalnya, 5% tingkat pertumbuhan M1 dan atau 6% tingkat pertumbuhan M2. Dalam hal ini, bank sentral akan berupaya secara maksimal memenuhi target yang sudah ditetapkan tersebut.
Melalui mekanisme kebijakan ini, bank sentral bisa secara langsung memberi sinyal-sinyal kepada publik dan pasar khususnya terkait arah kebijakan moneter dan inflasi ke depan. Pada kelanjutannya, sinyal dari bank sentral ini bisa membantu memperbaiki perkiraan inflasi dan menghasilkan inflasi yang lebih rendah. Penargetan moneter juga menunjukkan akuntabilitas kebijakan moneter untuk mempertahankan inflasi yang rendah, sehingga membantu membatasi para pengambil kebijakan moneter agar tidak terperangkap pada ketidakkonsistenan waktu.
Namun, di sisi lain penargetan moneter juga memiliki sejumlah kendala. Hal ini bisa dilihat apabila tujuan dan penargetan moneter tidak sejalan. Jika hubungan antara agregat moneter dan variabel tujuan lemah, penargetan moneter tidak bisa bekerja. Contoh kasusnya seperti di Amerika Serikat. Pada negara ini hubungan antara penargetan aggregat moneter dan variabel tujuan tidak kuat. Maka penargetan moneter tidak membantu memperbaiki perkiraan inflasi dan sama sekali tidak merupakan petunjuk yang baik dalam menilai akuntabilitas bank sentral, sehingga komunikasi yang terpercaya antara pihak bank sentral dan publik secara luas tidak bisa terpenuhi. Terkadang bahkan kestabilan besaran moneter sulit dikendalikan, yakni ketidak stabilan hubungan tingkat perputaran uang.
2. Penargetan Inflasi (Inflation Targetting).
Penargetan inflasi termasuk salah satu instrumen untuk mencapai stabilisasi harga. Penargetan inflasi mencakup beberapa unsur: 1) pengumuman kepada publik mengenai target-target numerik jangka panjang menengah untuk inflasi; 2) komitmen institusi atas stabilisasi harga sebagai tujuan utama dan jangka panjang kebijakan moneter dan komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi; 3) pendekatan penyertaan informasi (infomation- inclusive approach) di mana banyak variabel (tidak hanya aggregat moneter) digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan moneter; 4) transparansi mengenai strategi kebijakan moneter yang meningkat melalui komunikasi dengan publik dan pasar mengenai rencana dan tujuan pengambil keputusan moneter; 5) akuntabilitas bank sentral yang meningkat untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi.
Penargetan inflasi memiliki manfaat semisal otoritas moneter bisa menggunakan semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan terbaik terkait kebijakan moneter yang bakal diambil. Penargetan inflasi juga bisa lebih mudah dipahami publik dan lebih transparan, dibandingkan dengan penargetan moneter yang tidak mampu memberikan sinyal secara akurat.
3. Kebijakan Moneter dengan Jangkar Nominal Implisit.
Strategi kebijakan ini memberlakukan pengontrolan terhadap inflasi dalam jangka panjang, dan memiliki orientasi ke depan (forward looking). Otoritas moneter memantau secara ketat laju inflasi dan melakukan intervensi secara efisien dengan mempertimbangkan informasi terkait sinyal-sinyal target inflasi di masa depan. Namun, sifat dari kebijakan ini tidak diumumkan secara terbuka kepada publik, sehingga bersifat rahasia atau sekedar implicit policy.
34. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
29
Penargetan Inflasi di Indonesia
Penargetan inflasi di Indonesia diatur sepenuhnya oleh Bank Indonesia. Tapi, sejak keluarnya UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah. Bank Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah menetapkan target atau sasaran inflasi. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) (www.bi.go.id).
Penargetan inflasi diharapkan dijadikan acuan bagi masyarakat secara luas. Penargetan itu ditujukan agar geliat perekonomian berjalan lebih optimal, mengingat kondisi kenaikan harga menjadi lebih stabil dan terukur. Masyarakat diharapkan bisa mengacu pada nilai yang sudah ditargetkan tersebut. Berikut tabel inflasi aktual dan penargetan inflasi selama beberapa tahun:
Perbandingan Inflasi Aktual dan Penargetannya
Tahun
Aktual
Target
2001
12.55
6
2002
10.03
10
2003
5.06
10
2004
6.4
6.5
2005
17.11
7
2006
6.6
9
2007
6.59
7
2008
11.06
6
2009
2.78
6.5
2010
6.96
6
Berikut ini mari perhatikan grafik IHK (Indeks Harga Konsumen) Indonesia menurut World Bank di bawah ini:
Dari grafik IHK diketahui adanya kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). Hal itu bukan berarti penargetan inflasi gagal dalam mengontrol kenaikan harga dalam jangka panjang. Stabilisasi harga dalam prakteknya bukan berarti inflasi bernilai nol. Akan tetapi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
IHK
IHK
35. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
30
biasanya tingkat rata-rata kenaikan harga bernilai mendekati 2% per tahun (Bernanke & Miskin, 1997).
Dalam penelitian lanjutan, didapat hasil berikut ini:
Negara Jangka Waktu Disinflasi (thn) Inflasi Awal (%) Inflasi Akhir (%) Sacrifice Ratio Selandia Baru 6.25 15.38 1.13 2.05 Kanada 2.75 5.25 1.09 3.04 Australia 3.75 7.62 1.4 1.87 Inggris 3.75 8.64 2.16 2.19 Swedia 2.75 9.55 3.21 0.53
Sumber dari (Ben S. Bernanke et.all, 1999)
Penelitian Sebelumnya
Beberapa studi empiris telah memberikan bukti adanya hubungan signifikan antara variabel-variabel moneter terhadap pengangguran dan variabel riil lainnya.
36. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
31
No
Nama
Judul
Tahun
Masalah
Metodologi
Temuan
1
Christian E. Weber
Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and Okun's Coefficient
1995
Pengujian hukum okun di Amerika pasca krisis
Dynamic VAR
Pengangguran dan Pertumbuhan ekonomi
2
Michael Parkin
Unemployment, Inflation, and Monetary Policy
1998
Kebijakan moneter mempengaruhi pengangguran dan inflasi
Model DGE (Dynamic General Economy Equilibrium) Monetary
Kebijakan stabilisasi moneter menstabilkansektor riil.
3
Fajar Bambang Hirawan
Efektivitas Quantum Channel Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Studi Kasus Indonesia Tahun 1993- 2005
2007
Mekanisme quantum channeldi Indonesia masa sebelum krisis, masa krisis, dan masa setelah krisis. Bagaimanakah quantum channel mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
Analisis standar deviasi dan koefisien variasi, koefisien korelasi, dan granger causality test
Pada masa sebelum krisis, metode quantum channel yang stabil adalah jalur kredit. Di masa krisis, metode quantum channel yang lebih stabil adalah jalur uang. Pasca krisis, metode quantum channel yang lebih stabil dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur kredit.
4
Charles Onyeiwu
Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria
2012
Peran kebijakan moneter Nigeria terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Ordinary Least Square(OLS)
Kebijakan moneter tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi di Nigeria
37. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
32
Metodologi
Pada penelitian ini, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS) antara berbagai variabel, yakni: pengangguran, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar, nilai tukar, tingkat suku bunga dan inflasi. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 1996 sampai tahun 2010. Data diambil dari World Bank dan Badan Pusat Statistik.
Penelitian ini menggunakan metode OLS karena untuk melihat seberapa besar efektifitas pengaruh variabel moneter dengan fokus pada kebijakan penargetan inflasi terhadap pengangguran Indonesia. Penelitian ini tidak bermaksud melihat shock (guncangan) pada satu variabel terhadap variabel yang lain secara timbal balik. Mengingat penargetan inflasi adalah kebijakan untuk stabilisasi harga jangka panjang, maka metode OLS lebih tepat digunakan sebagai alat analisis.
Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Unemt = Rirt + Xratet + Inflasit + M2t + PDBt + et
Dimana:
Unempt adalah variabel unemployment pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
Rirt adalah variabel real interest rate pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
Xratet adalah variabel exchange rate pada periode t. Data diukur dalam satuan rupiah per dollar.
Inflasit adalah variabel inflasi pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
M2t adalah variabel money supply pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
PDBt adalah variabel Produk Domestik Bruto pada periode t, diukur triliun rupiah.
Sebelum dilakukan estimasi maka data dicek terlebih dahulu apakah stasioner atau tidak. Setelah semua data stasioner maka dilakukan estimasi regresi dengan metode OLS yakni meminimumkan nilai error sehingga didapatkan hasil yang efisien. Hasil estimasi yang didapat kemudian dilakukan uji asumsi klasik agar tidak mengandung masalah dalam model.
Hasil dan Pembahasan
Dependent Variable: UNEM
Method: Least Squares
Date: 03/14/13 Time: 11:02
Sample (adjusted): 1998 2010
Included observations: 13 after adjustments
Convergence achieved after 16 iterations
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-1.308268
0.379512
-3.447239
0.0137
RIR
0.008406
0.003534
2.378409
0.0549
XRATE
8.96E-05
3.09E-05
2.897104
0.0274
INFLASI
0.769501
0.383433
2.006872
0.0916
M2_GROWTH
0.388278
0.341643
1.136503
0.2991
PDB
-1.32E-07
3.33E-08
-3.958174
0.0075
AR(1)
0.132136
0.287040
0.460340
0.6615
R-squared
0.869159
Mean dependent var
0.031733
Adjusted R-squared
0.738318
S.D. dependent var
0.125091
S.E. of regression
0.063990
Akaike info criterion
-2.356445
Sum squared resid
0.024568
Schwarz criterion
-2.052241
Log likelihood
22.31689
Hannan-Quinn criter.
-2.418972
F-statistic
6.642866
Durbin-Watson stat
1.774342
Prob(F-statistic)
0.018233
Inverted AR Roots
.13
38. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
33
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan bahwa koefisien dari variabel real interest rate, exchange rate, inflasi, dan GDP bernilai signifikan, sedangkan variabel money supply bernilai tidak signifikan terhadap pengangguran pada derajat 10%. Pada perhitungan kasar di atas terdapat masalah autokorelasi. Maka melalui pengolahan data, memungkinkan kita menghilangkannya.
Nilai koefisien real interest rate adalah 0,008406 yang berarti bahwa ketika bank sentral menaikkan tingkat suku bunga sebesar 1% maka akan meningkatkan pengangguran sebesar 0,008406% dari total labor force. Hal ini menunjukkan ketika pemerintah memberlakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menaikkan tingkat suku bunga, akan ada peningkatkan pengangguran.Tentu saja kondisi sebaliknya akan dipilih untuk menurunkan pengangguran.
Koefisien Variabel exchange rate bernilai positif terhadap pengangguran sebesar 0,000000896%. Saat nilai tukar mata uang rupiah terapresiasi sebesar 1 rupiah terhadap dolar Amerika, pengangguran akan meningkat. Hal itu terjadi karena saat ini Indonesia sedang bersaing dengan negara lain meningkatkan ekspor produk-produknya ke luar negeri. Jika nilai tukar terapresiasi, produk-produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar internasional, sehingga sektor industri domestik menjadi kurang baik.
Indonesia sejak krisis 1997 tidak menerapkan penargetan nilai tukar (exchange rate targeting). Berbeda dengan Cina yang dengan sengaja merendahkan nilai tukar Yuan terhadap dolar Amerika, guna mendorong ekspor produknya. Hal ini karena Indonesia menganut perekonomian terbuka kecil, dengan mobilitas dana luar negeri yang cukup tinggi. Akibat buruknya kebijakan moneter menjadi tidak independen, rentan terhadap tindakan spekulasi dan terkena dampak buruk jika di salah satu negara besar terjadi gunjangan.
Koefisien variabel inflasi menunjukkan angka sebesar 0,769501. Hal ini menandakan saat tingkat inflasi naik sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan menurun, dan pada akhirnya meningkatkan pengangguran sebesar 0,769501%. Bank sentral melalui kebijakan targeting inflation framework dapat mengontrol laju inflasi yang pada gilirannya dapat menekan laju pengangguran.
Hasil estimasi Pertumbuhan money supply bernilai 0,388278. Berdasarkan hasil pengolahan data di atas didapatkan hasil bahwa variabel jumlah uang yang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Ini sebagai penegas bahwa sebenarnya otoritas moneter di Indonesia lebih memilih pengontrolan inflasi sebagai upaya tercapainya stabilisasi harga, dan bukan pengontrolan aggregat moneter berupa money supply.
Koefisien Gross Domestic Product bernilai -0,000000132. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika GDP menurun sebesar 1 triliun rupiah, pengangguran akan meningkat sebesar 0,00000000132%. Ringkasnya adalah negara mengalami penurunan produktifitas. Sebagai contoh saat anggaran belanja pemerintah berkurang, maka akan semakin sedikit lapangan pekerjaan yang tersedia dan pada gilirannya pengangguran akan meningkat.
Penutup
Tulisan ini menganalisis efek dari kebijakan penargetan inflasi terhadap pengangguran. Hasil penelitian dengan metode OLS menemukan hubungan signifikan antara tingkat suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan PDB terhadap pengangguran. Sedangkan jumlah uang beredar tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan moneter Indonesia, yakni mengendalikan inflasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah dan sektor swasta dapat berperan secara maksimal menentukan kebijakan yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan menekan laju pengangguran di jangka panjang.
39. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
34
Daftar Pustaka
Arifin, Sjamsul (ed.), (2008), Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah Krisis, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Bernanke, Ben S. and Frederic S. Mishkin, ( Spring1997), ―Inflation Targeting: A New Framework for Monetary Policy?‖, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 11, No. 2, 97 – 116.
Bernanke, Ben S. et. all, (1999) Inflation Targeting –Lesson from the International Experience, Princeton University Press.
BPS (Badan Pusat Statistik).
Christiano, Lawrence J., (Feb. 1996), ―The Effects of Monetary Policies: Evidence from the Flow of Funds‖, The Review of Economics and Statistics, vol. 78, No. 1, 16 – 34.
Friedman, Milton, (March 1968), ―The Role of Monetary Policy‖, American Economic Review, vol. 1, No. 58, 1 – 17.
Hirawan, Fajar Bambang, (Januari 2007), ―Efektivitas Quantum Channel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter‖, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, vol. 7, No. 02, 53 – 73.
Hoover, Kevin D., (March 1988), ―Money, Prices and Finance in the New Monetary Economics‖, Oxford Economic Papers, vol. 40, No. 1, 150 – 167.
Mishkin, Frederic S., (2007), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Boston: Pearson International Edition.
Onyeiwu, Charles, (2012), ―Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria‖, Journal of Economics and Sustainable Development, vol. 3, No. 7, 62 – 69.
Parkin, Michael, (Nov. 1998), ―Unemployment, Inflation, and Monetary Policy‖, The Canadian Journal of Economics, vol. 13, No. 5, 1003 – 1032.
Pilbeam, Keith, (2006), International Finance, New York: Palgrave.
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, (2006), Pembangunan Ekonomi, terj., Andri Yelvi, jilid 1 & 2, Jakarta: Erlangga.
Weber, Christian E., (Oct. – Dec. 1995), ―Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and Okun‘s Coefficient: A new Approach‖, Journal of Applied Econometrics, vol. 10, No. 4, 433 – 445.
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Bank+Indonesia+dan+Inflasi/pengendalian.htm
40. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
35
PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN PENGEMBANGAN KARIR TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN
Galuh Tresna Murti
Aurora Angela
Ernie Soedarwati
Magister Ilmu Ekonomi dan Bisnis
Universitas Padjadjaran
Abstract
This purpose of this research is to examine the human resources behavioral that accour in an corporation and how it’s affect the company performance. In this research, writer simply to choose an indicator of the company performance by using ROA ( return on assets ) and performance indicators of an employee with discipline of work and career development in Koperasi Usaha Pupuk Kujang with employees as a respondents. Method research used is survey method. The research concludes that there is a positive and significant influence between the disiplines of work with the company performance. There are also positive and significant influence between the career development with the performance of the company. And there is a positive and significant influence between the disiplince of work and career development with the performance of the company.
Keywords : Dicipline of Work, Career Development, and Return on Assets (ROA)
I. PENDAHULUAN
Pengembangan koperasi dalam dimensi pembangunan nasional yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah kesenjangan pendapatan antar golongan dan antar pelaku, ataupun penyerapan tenaga kerja. Lebih dari itu, pengembangan koperasi diharapkan mampu memperluas basis ekonomi dan dapat memberikan kontribusi dalam mempercepat perubahan struktural, yaitu dengan meningkatnya perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional.
Diantara berbagai sumber daya yang dimiliki koperasi adalah sumber daya manusia. Hal ini yang paling penting dan strategis karena merupakan faktor penggerak kegiatan koperasi. Disamping itu, hanya manusia yang memiliki perilaku, sifat, karakteristik yang bervariasi, memiliki kemampuan berfikir rasional dan kreatif, memiliki kepribadian serta nilai-nilai yang perlu dihargai dan dikembangkan, dapat dikatakan kunci keberhasilan setiap organisasi saat ini terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.
Mengingat betapa organisasi sangat berkepentingan dengan kinerja pegawai, peningkatan kinerja tidak dapat diserahkan kepada pegawai semata. Organisasi harus mengembangkan suatu program atau kebijakan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Faktor kepemimpinan yang bisa mengarahkan, membimbing dan memberikan suri tauladan yang baik bagi pegawai dalam melaksanakan aturan-aturan perusahaan juga merupakan salah satu faktor meningkatnya kinerja karyawan. Selain itu faktor ketersediaan pengembangan karir yang jelas disertai dengan bimbingan karir bagi pegawai sangat menentukan tingkat kinerja pegawai, karena dengan adanya pengembangan karir yang jelas, pegawai termotivasi untuk dapat meraih karir yang mereka inginkan, dan tentu saja hal tersebut meningkatkan kinerjanya. Kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugasnya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kinerja pegawai yang bersangkutan.
41. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
36
Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang telah diperoleh fakta bahwa kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami fluktuasi, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.
Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu
periode 2006 – 2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11
Tingkat produktivitas laba bersih per individu
Rp juta/orang/tahun
Na
na
7,8
2,4
4,1
16,75
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu periode 2006 – 2011
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang mengalami penurunan dari Rp. 7.800.000,- per orang selama tahun 2008 menjadi Rp. 2.400.000,- per orang selama tahun 2009, kemudian mengalami peningkatan sebesar Rp. 4.100.000,- per orang selama tahun 2010, dan mengalami peningkatan yang drastis pada tahun 2011 sebesar Rp. 16.750.000,- per orang, sementara untuk tahun 2006 dan 2007 belum adanya data yang akurat yang bisa menggambarkan tingkat produktivitas laba bersih per individu.
Tingkat produktivitas laba bersih per individu yang mengalami fluktuasi tersebut mengindikasikan adanya permasalahan mengenai kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Tingkat produktivitas sering dihubungkan dengan kinerja, performansi dengan memberikan penekanan pada efisiensi.
Survey awal selanjutnya yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang telah diperoleh fakta bahwa disiplin karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator disiplin kerja yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat kehadiran dan tingkat keterlambatan masuk kerja periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Pencapaian tingkat kehadiran karyawan dan tingkat keterlambatan masuk kerjapun mengalami fluktuasi, hal ini mengindikasikan adanya
0
5
10
15
20
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tingkat produktifitas
laba bersih per individu
42. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
37
permasalahan mengenai disiplin kerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011.
Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011
Key Performance Indicators
(KPI)
UoM
06
07
08
09
10
11
Tk. Kehadiran
% Rata-rata
96
95
94,4
94
96,8
96,4
Tk, Keterlambatan Masuk Kerja
% Rata-rata
7,5
4
4,7
3,5
8,64
4,16
Sumber: Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Fakta selanjutnya adalah pengembangan karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator pengembangan karyawan yang dicerminkan dalam jam pelatihan periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Jam pelatihan karyawan koperasi yang berfluktuasi tersebut mengindikasikan permasalahan mengenai pengembangan pegawai di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011.
Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11
Jam Pelatihan Karyawan
Cumm.jam/orang/tahun
18,7
25
29,2
17,6
na
na
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
0
20
40
60
80
100
120
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tingkat kehadiran
pegawai
0
5
10
15
20
25
30
35
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Jam Pelatihan
43. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
38
Permasalahan-permasalahan diatas dapat menyebabkan turunnya kinerja karyawan serta secara keseluruhan adalah penurunan kinerja Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dan berdampak pada pelayanan yang diberikan terhadap anggota Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selaku stock holders dan semua pihak yang berkepentingan (stake holders).
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang dapat diukur menggunakan pendekatan Key Performance Indicator (KPI), dalam penelitian ini penulis hanya memilih indikator disiplin kerja dan pengembangan karir di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang.
II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Pengukuran Kinerja Perusahaan
Stoner dan Freeman (1992:6) memberikan penjelasan mengenai kinerja organisasi sebagai :
―The measure of how well organizations do their job.‖
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya kinerja organisasi dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan.
Dalam hubungannya dengan hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan, maka perlu dilakukan penilaian atas hasil kinerja tersebut. Atkinson,et.al., (1995 : 46) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut :
―Performance measurement is measure the performance of each activity in the process (value chain) from the perpective of customer requirement while assuring that the overall performance of activities meets the requirements of the organization’s other stakeholders‖.
Martin et al., (1995: 138) menyatakan bahwa profitabilitas juga berfungsi sebagai indikator kinerja pengelolaan perusahaan, efektivitas manajemen, alat untuk memproyeksi laba dan sebagai alat pengendalian manajemen. Profitabilitas jangka panjang sangat penting untuk diamati mengingat keuntungan yang memadai diperlukan untuk mempertahankan arus sumber – sumber modal perusahaan dan untuk kelangsungan hidup perusahaan (going concern). Teknik analisis profitabilitas melibatkan hubungan antara pos – pos tertentu dalam laporan keuangan, yaitu pada laporan laba rugi untuk memperoleh ukuran – ukuran yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai efisiensi dan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba.
Gaspersz (2002:40) menyatakan bahwa untuk menilai profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui rasio profitabilitas perusahaan itu sendiri. Menurut Gaspersz (2002:40) rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan melalui keuntungan (laba) yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan yang sering digunakan untuk menggambarkan profitabilitas suatu perusahaan, yaitu Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE). Dalam penelitian ini peneliti memilih mengunakan indikator ROA untuk mengukur kinerja perusahaan.
Return On Asset (ROA) merupakan perbandingan antara net income dengan total assets, rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar. Perhitungan ROA terdiri dari:
1. Menghitung Earning Before Tax (EBT) laba perusahaan (bank) sebelum dikurangi pajak.
2. Menghitung keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh bank yang terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap.
Formula perhitungan ROA yang digunakan sebagai berikut:
44. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7
39
2.2 Disiplin Kerja
Menurut Henry Simamora (1995:565), disiplin adalah ―bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di dalam suatu organisasi.‖ Kedisiplinan harus ditegakkan dalam organisasi, karena tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, maka sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedisiplinan merupakan kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dalam menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu perusahaan dengan harapan karyawan mengerjakan pekerjaannya dengan seefektif dan seefesien mungkin sehingga pada akhirnya kinerja perusahaan diharapkan meningkat.
2.3 Pengembangan Karir
Pengembangan karir menurut Andrew J. Furbin (1982:197) sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Prabu (2007:77) adalah : ―Career Development, from the standpoint of the organization, is the personnel activity which helps individuals plan their future career within enterprise, in order to help the entreprise achieve and the employee achieve maximum self- development‖. Berdasarkan pendapat Andrew J. Durbin ini, pengembangan karir adalah aktivitas kepegawaian yang membantu pegawai merencanakan karir masa depannya di perusahaan, agar perusahaan dan pegawai dapat mengembangkan diri secara maksimum.
Sementara menurut Henry Simamora (1995:410), pengembangan karir adalah ―pendekatan formal yang diambil suatu organisasi untuk memastikan bahwa orang-orang dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan.‖ Pengertian Pengembangan karir menurut Bernandin & Russel (1993:341) sebagaimana yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:215) adalah sebagai berikut :
―A Career development system is a formal, organized, planned effort to achieve a balance between individual career needs and organizational workforce requirement. It is mechanism for meeting the present and future human resources needs of an organization.‖
Dua proses utama dalam pengembangan karir dikemukakan oleh pendapat dari Bernandin & Russel (1993:341) yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:214), yakni :
a. Career planning
b. Career management
2.4 Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Disiplin Kerja terhadap Kinerja Perusahaan
Disiplin kerja pegawai sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, hal tersebut terlihat dari pendapat-pendapat dari pakar berikut ini : Malayu S.P Hasibuan (2001:190) dengan jelas mengatakan bahwa :
―Semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal.‖
Menurut Prijodarminto (1994:23) ―Disiplin merupakan suatu kondisi yang terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.‖ Dengan indikator penelitian sebagai berikut :
1. Pegawai datang tepat waktu.
2. Pegawai pulang tepat waktu.
3. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik .
Return on Assets (ROA) =Laba sebelum pajakRata-rata total aset