SlideShare a Scribd company logo
1 of 183
Download to read offline
0
i 
PROCEEDINGS 
of 
“Population and Human Resources Development” 
Volume 2 
National Conference 
April 24 and 25th, 2013 
Master of Economic Sciences 
Padjadjaran University, Bandung 
Hak Cipta © 2013 pada Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press 
Disusun oleh : Tim Ahli National Conference 2013 
Editor : Tim Ahli National Conference 2013 
Desain Sampul : Tim Ahli National Conference 2013 
ISBN 978–602–9238–45–7 
Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi karya ilmiah ini serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press. 
© HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG
ii 
Ketentuan Umum Proceedings 
Setiap penulis mematuhi izin publikasi yang bertanggungjawab atas informasi dalam manuskrip masing-masing. Pihak penerbit berhak menyunting dan mengedit setiap tulisan yang masuk, tanpa mengurangi maksud dan tujuan tulisan. Semua informasi dalam karya ilmiah ini tidak mencerminkan kebijakan resmi Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD. Setiap naskah yang diterbitkan berada dalam wewenang Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD, dan tidak untuk dimuat di lembaga manapun. Hak milik tetap berada di tangan penulisnya. 
Proceedings of Population and Human Resources Development adalah kumpulan karya ilmiah hasil konferensi nasional tahunan yang diadakan oleh Departemen Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran (UNPAD). Diterbitkan atas kerjasama Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press. Beralamat di Jl. Cimandiri No. 6 – 8 Bandung. Bagi pihak yang tertarik atau hendak berkomunikasi terkait Proceedings bisa menghubungi: Telepon (022) 4267779, Faximile (022) 4267780 atau email: mie@fe.unpad.ac.id. Website: http://mie.fe.unpad.ac.id.
iii 
DAFTAR ISI 
Lembar Judul i 
Ketentuan Umum Proceedings ii 
Daftar isi iii 
1. Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi 1 
Abdul Holik 
2. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pengangguran 20 
Abdul Holik dan Aisyah Rosadi 
3. Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan 35 
Galuh Tresna Murti, Aurora Angela dan Ernie Soedarwati 
4. Monitoring dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit Serta Dampaknya terhadap Prioritas Pelayanan Rumah Sakit 48 
Herny Nurhayati, Reinhard Chrismantsa dan Mawar Novita Yulianty 
5. Analysis of High Education Labor towards GDP in Indonesia ―Analisis Tenaga Kerja Berpendidikan Terhadap GDP di Indonesia‖ 64 
Ahmad Kafrawi Mahmud dan Galyn Ditya Manggala 
6. Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Bank BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2005-2012 71 
Galuh Tresna Murti dan Rakhmini Juwita 
7. Pengaruh Fraud risk factors terhadap pendeteksian kemungkinan Fraudulent financial statement 85 
Annisa Nurbaiti dan Heikal Muhammad Zakaria 
8. Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat 94 
Gallyn Ditya Manggala dan Ahmad Kafrawi Mahmud 
9. Peranan Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi Terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen 102 
Muhammad Syaifullah 
10. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi 119 
Dahlia, Aditya Amanda Pane dan Marissa Putriana 
11. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik serta dampaknya terhadap Good Governance 133 
Eka Nurmala Sari 
12. Pro dan Kontra Pertumbuhan Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 153 
Dian Lestari Siregar, Reti Anggraeini dan Retno Andrini
iv 
DAFTAR ISI 
13. Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 162 
Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, dan Jacobus Cliff Diky Rijoly 
14. Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal dan Kompetensi Pegawai terhadap Pencegahan Fraud 168 
Hinny Herliany dan Firda Nur Aisha
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
1 
Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi 
Abdul Holik 
Magister Ilmu Ekonomi 
Universitas Padjadjaran 
Abstract 
This research aims to find the fundamental relation between population growth, economic growth and consumption growth in Indonesia, from 1990 until 2011. It uses VECM (Vector Error Correction Model) to find the dynamic relation among them and co-integration in the long-run. This research uses variables such as GDP, population growth, and household final consumption expenditure per capita. Data taken from WDI and ADB. Based on the analysis, the result shows that economic growth (GDP) was supported positively by household final consumption per capita (HFC) and population growth in the long-run. Meanwhile in the short-run, economic growth can also be supported by population growth and HFC. However, neither population growth nor HFC were affected by economic growth. This finding reflects that consumption is still largest part of Indonesia’s GDP performance. 
Keywords: population, economic growth, social welfare, food security. 
Pendahuluan 
Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia bertambah terus. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237,641,326 jiwa. Persentase laju pertumbuhan penduduk saat itu mencapai 1,49 persen per tahun. Sehingga jika diasumsikan tetap, maka pada setiap tahunnya akan terjadi kenaikan penduduk sebesar 3,5 juta jiwa. Secara garis besar, dapat kita lihat jumlah penduduk pada tabel di bawah ini: 
1971 
1980 
1990 
1995 
2000 
2010 
119,208,229 
147,490,298 
179,378,946 
194,754,808 
206,264,595 
237,641,326 
Sumber: BPS 
Namun masalah muncul, karena jumlah penduduk yang banyak itu tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan sosial di masyarakat. Orang miskin di Indonesia masih banyak, meskipun disinyalir mengalami penurunan. Ukuran pengeluaran yang menjadi tolok ukur garis kemiskinan di Indonesia hanya berubah sedikit. Berikut bagannya menurut data BPS: 
Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin 
Menurut Daerah, Maret 2011–Maret 2012 
Garis Kemiskinan per kapita/ Rp/ Bulan 
Daerah/ Tahun 
Makanan 
Bukan Makanan 
Total 
Jumlah Penduduk Miskin 
Persentase Penduduk Miskin 
Perkotaan 
Maret 2011 
177 342 
75 674 
253 016 
11,05 
9,23 
Maret 2012 
187 194 
80 213 
267 408 
10,65 
8,78
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
2 
BPS menyebut seseorang disebut miskin jika pengeluarannya dalam sebulan tidak melebihi Rp233.740,- per kapita per bulan pada Maret 2011. Kemudian sejak Maret 2012 ukuran itu naik menjadi Rp248.707,- per kapita per bulan (BPS, 2012: 64). Di sini kendati ukuran tingkat kemiskinan meningkat, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar. Kemiskinan terus menjadi kendala bagi pembangunan Indonesia. Orang miskin yang tidak bisa memenuhi kehidupan layak, menjadi beban pembangunan. Nilai batas kemiskinan itu lebih rendah dari ketetapan Bank Dunia, yakni: US$2 per hari. Padahal, PDB per-kapita Indonesia terus naik: 
2000 
2001 
2002 
2003 
2004 
2005 
2006 
2007 
2008 
2009 
2010 
2011 
6,775 
6,918 
7,123 
7,353 
7,610 
7,924 
8,237 
8,631 
9,015 
9,294 
9,736 
10,219 
Sumber: BPS (Data PDB Skala 1000) 
Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan dalam menahan laju pertumbuhan penduduk, mengingat sebaran penduduk dan ketidaksetaraan pendapatan mereka cukup besar terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Prof. Widjodjo Nitisastro—ekonom yang melakukan transformasi perekonomian Indonesia pasca jatuhnya Soekarno—sempat mengingatkan Presiden Sekarno bahayanya ledakan penduduk. Namun Soekarno tidak peduli peringatan tersebut, karena baginya Indonesia membutuhkan jumlah penduduk yang besar sebagai modal kemandirian bangsa dalam bekerja. Soekarno saat itu melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai asset yang suatu saat bisa diberdayakan. 
Berbeda dengan Soekarno, Presiden Soeharto menerima saran Nitisastro dan memberlakukan program KB (Keluarga Berencana). Program ini berhasil menahan laju pertumbuhan penduduk, sehingga rencana pembangunan bisa fokus pada upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, alih-alih sekedar meningkatkan kuantitas populasi. Nitisastro dan kelompoknya yang disebut ―mafia Berkeley—para ekonom lulusan Berkeley University—memperkuat basis perekonomian Orde Baru, bahkan pengaruhnya masih terasa sampai Kabinet Pembangunan V (Mudrajad Kuncoro, 2007: 86). 
Kajian Pustaka 
Dalam konteks kajian ekonomi makro, para ekonom umumnya sepakat apabila jumlah penduduk terlalu besar, akibatnya pertumbuhan perekonomian berjalan lamban. Akibatnya adalah peningkatan kemiskinan dan kelaparan. Food security menjadi amat krusial. Dalam buku, Population Bomb, terbit 1968, Paul R. Ehrlich meramalkan akan adanya bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dunia. Bencana itu disebabkan ketersediaan pangan yang semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia di muka bumi. Ramalan ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Malthus dalam bukunya, An Essay of Principle of Population, terbit tahun 1798. Bagi Malthus, manusia bertambah sejalan dengan deret ukur (geometri), sedangkan kebutuhan pangan bertambah sejalan dengan deret hitung (aritmetika). 
Kekhawatiran akan munculnya kelaparan dan kemiskinan, serta kekacauan sosial tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan. India pada era 1960-an mengalami kekacauan, berupa kemiskinan dan kelaparan besar-besaran. Pemerintah negara itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya yang jumlahnya sangat besar. Kondisi yang hampir sama juga 
Pedesaaan 
Maret 2011 
165 211 
48 184 
213 395 
18,97 
15,72 
Maret 2012 
177 521 
51 705 
229 226 
18,48 
15,12 
Kota + Desa 
Maret 2011 
171 834 
61 906 
233 740 
30,02 
12,49 
Maret 2012 
182 796 
65 910 
248 707 
29,13 
11,96
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
3 
terjadi di Pakistan—tetangga India (pada waktu itu Bangladesh belum ada). Akibat kelangkaan bahan pangan, perang India-Pakistan tidak terhindarkan. Perang memperebutkan sumber makanan pokok berlangsung selama bertahun-tahun, dan semakin memperburuk suasana. Sampai di sini, ramalan kekacauan sosial akibat ledakan penduduk memang terbukti. 
Untuk mengatasi penduduknya yang amat besar, Deng Xiaoping pada 1979 berupaya melakukan reformasi perekonomian di antaranya dengan pembatasan jumlah kelahiran. Kebijakan ini merupakan adopsi pandangan Neo-Malthusian, yang mengajukan rumusan keterbatasan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertambahan penduduk. Cina menerapkan ―kebijakan satu keluarga satu anak‖ khusus pada suku Han—suku mayoritas Cina—bukan pada suku minoritas (Hongbin Li & Junsen Zhang, 2007: 110). Kebijakan itu nampaknya berhasil mendorong perekonomian Cina tumbuh dengan amat cepat. 
Namun dalam wacana ekonomi makro pada decade 1950-an, sebagian para teoretis nampaknya cukup optimis dengan kondisi jumlah populasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Solow telah mengingatkan bahwa jumlah populasi yang besar dalam sebuah perekonomian dapat menjadi beban dalam jangka panjang, meskipun ditopang dengan simpanan cukup besar. Terlebih jika populasi itu hanya berisi kelompok masyarakat tidak terdidik. Tetapi Solow merasa yakin bahwa dengan peran ilmu dan teknologi, populasi tidak lagi menjadi beban. Ilmu dan teknologi yang terus berkembang dalam suatu masyarakat dapat memberdayakan populasi yang besar itu, sehingga bisa mendorong perekonomian, dan melaju pesat sampai Kaidah Emas (golden rule) (N. Gregory Mankiw, 2003: 205). 
Sayangnya Solow tidak menjelaskan determinan teknologi secara detail. Solow dan para ekonom yang sependapat dengannya—seperti kritik Romer—menganggap teknologi di negara berkembang sama dengan kondisi teknologi di negara maju (Romer, 1994: 6). Teknologi dianggap sebagai variabel eksogen. Paul Romer dan para ekonom setelahnya menawarkan gagasan yang lebih maju dengan menjadikan teknologi sebagai variabel endogen. Ia menilai bahwa ketika perkembangan teknologi dapat dikendalikan dan diukur, melalui investasi dan sepenuhnya didukung oleh jumlah pekerja yang banyak, maka pertumbuhan populasi bisa sangat efektif dalam mendorong perekonomian (Romer, 2012: 110). Tapi, populasi saja tanpa teknologi tidak cukup mendorong pertumbuhan (Romer, 1990: S71). Secara sederhana, model pertumbuhan ekonomi Romer didefinisikan menjadi: 
net output; perubahan level teknologi; stok modal (Romer, 2012: 123). 
Masalah krusial karena pertumbuhan populasi yang teramat besar adalah kelangkaan sumber daya alam, terutama ketahanan pangan. Misalnya kasus kelaparan di India yang memicu peperangan dengan Pakistan. Namun, kondisi mengerikan itu berakhir ketika di akhir dekade 1960-an muncul Norman Bourlag—tokoh yang menggagas Revolusi Hijau. Green Revolution yang dimunculkan Norman berhasil menciptakan benih bahan pangan yang kuat dan tahan uji pada berbagai kondisi. Pencapaian dan temuan Bourlag sebenarnya sudah dimulai di Meksiko, saat negara itu terkena wabah kelaparan. Karena usahanya mewujudkan India sebagai negara swasembada pangan dan mengakhiri perang, Bourlag kemudian dianugerahkan hadiah Nobel Perdamaian. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, perang India- Pakistan akhirnya usai (Rizal Mallarangeng, 2008: 260–264). Kendati pertumbuhan perekonomian suatu negara perlu ditopang dengan populasi yang besar, tetapi jumlah populasi itu bisa menjadi beban, ketika inovasi teknologi sebagai elemen penting kemajuan masyarakat berjalan lamban atau malah stagnan. 
Romer melihat output per pekerja adalah sama dengan perkembangan teknologi atau . Laju perkembangan disimbolkan dengan . Fungsi produksi untuk pengetahuan baru adalah: ̇( ) ( ( )) ( ) . Di mana adalah parameter pengubah; fraksi dari labor force yang dicurahkan untuk pengembangan pengetahuan; , dan adalah
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
4 
parameter yang merefleksikan stok pengetahuan dalam kesuksesan R&D. Dalam persamaan tersebut asumsi kita mengikuti Cobb-Douglas. Romer mendefinisikan menjadi: ( ) ̇( ) ( ) 
( ) ( ) 
Dalam kelanjutannya, Romer melihat stok pengetahuan sebagai hal yang penting agar pertumbuhan berjalan optimal. Ketika stok lebih kecil dari 1, peran perubahan teknologi akan menjadi nol dan tidak bisa untuk mendorong pertumbuhan. Gambarnya seperti kurva di bawah ini: 
̇ 
0 
Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan ketika 
Pada kurva di atas, ̇ adalah fungsi dari perkembangan . Pada awalnya output per pekerja bertambah seiring dengan naiknya teknologi. Namun dalam jangka panjang teknologi akan menurun, sehingga ̇ sama dengan yakni kondisi puncak kualitas output yang sama dengan nol. Selebihnya, jika labor force ditambah, maka yang terjadi adalah output tidak bisa bertambah, bahkan bertambahnya labor force justru mengembalikan titik jumlah output pada kondisi sebelum ditambahnya labor force. Contoh ini termasuk kondisi ketika populasi berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ilustrasinya seperti kurva di bawah ini: 
̇ 
0 
Efek Peningkatan ketika 
Di sisi lain Romer mengingatkan kondisi ketika Pada kondisi ini, pengetahuan tambahan ternyata bisa mendorong pertumbuhan secara drastis. Bahkan pertumbuhan pada
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
5 
titik ini tidak menunjukkan balanced-growth, tetapi fantastis luar biasa. Pengetahuan amat berguna dalam mendongkrak output. Pertambahan labor force dalam R&D akan semakin menaikkan pertumbuhan ekonomi. Di sini terlihat peran pentingnya populasi yang berkontribusi secara positif terhadap pembangunan perekonomian. Kurvanya seperti di bawah ini: 
̇ 
0 
Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan bila 
Dalam ulasan selanjutnya, Romer melihat perubahan teknologi cukup proporsional dengan stok yang ada atau . Tampaknya teknologi yang ada cukup produktif dalam menghasilkan teknologi baru dan akhirnya mendorong perekonomian terus meningkat. Situasi ini mirip ketika . Tetapi dalam kasus ini, populasi bernilai positif. Jika populasi nol, justru pertumbuhan konstan, mengingat tidak ada orang yang mencurahkan dirinya dalam pengembangan teknologi baru (Romer, 2012: 109). Pada kasus ini kita dapat mendefinisikan ( ) ( ) dan ̇ ( ) ( ). Artinya, perubahan dan saving rate bisa mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Dalam hal ini, pertumbuhan disebut linear growth model, yang juga dinamai model ; teori dasar endogenous growth. 
Tentunya para pengambil kebijakan ekonomi perlu berhati-hati melihat pertumbuhan populasi dan ekonomi, agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat. Hal ini terutama menyangkut pola konsumsi yang memuaskan kebutuhan mereka. Dalam kasus ini menarik jika kita menyimak gagasan pembagian pola konsumsi menurut beberapa ekonom. 
Secara umum kita batasi dua pola konsumsi, yakni konsumsi di bawah pendapatan permanen dan konsumsi di bawah pendapatan tidak pasti. Dalam dua isu tersebut, Friedman melampaui John M. Keynes yang melihat konsumsi individu dalam jangka pendek. Bagi Keynes, konsumsi ditentukan oleh disposable income, atau pendapatan yang sudah dikurangi pajak. Semakin besar pendapatan seseorang, semakin tinggi pola konsumsinya. Bagi Keynes, kecenderungan rata-rata orang mengonsumsi (Average Propensity to Consume) turun ketika pendapatan naik. Hal ini karena orang kaya lebih banyak menabung, sedikit mengalokasikan uangnya untuk konsumsi daripada mereka yang miskin. Meskipun ia menganggap pengaruh suku bunga terhadap konsumsi sebatas teori. Secara matematis kita tulis: ̅ 
konsumsi; ̅ konstanta; disposable income ; kecenderungan marjinal 
Keynes tidak melihat individu akan menahan utilitasnya tetap sama sepanjang hidup, karena itu fluktuasi konsumsi dimungkinkan adanya.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
6 
Bagi Friedman seseorang akan mengonsumsi sepanjang hidupnya secara sama dan tanpa penurunan. Utilitas sepanjang hidup sejak usia kerja dan mendapat penghasilan diasumsikan tetap. Pendapatan berlebih menjadi akumulasi kekayaan. Model persamaannya adalah: Σ ( ) Seorang menyesuaikan konsumsinya dengan pertimbangan, konsumsi tidak melebihi kekayaan awalnya dan pendapatannya ketika kerja: Σ Σ 
Mengingat marjinal utilitas dari konsumsi selalu positif, maka seorang individu akan menyesuaikan budget constraint-nya secara sama. Dalam masa sepanjang hidup, individu akan memaksimalkan utilitasnya dalam model persamaan di bawah ini: Σ ( ) (Σ Σ ) ) 
First order condition of : ( ) . Dari persamaan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa marjinal utilitas individu itu selalu konstan atau tetap. Level konsumsi menentukan utilitas marjinalnya, sehingga pola konsumsi individu itu selalu konstan sepanjang masanya. Dengan demikian, konsumsi pada periode saat ini sama dengan waktu mendatang: . Dengan mensubstitusikan budget constraint di atas, maka didapat: 
( Σ ) untuk semua (periode masa hidup). Ini konsumsi berpendapatan tetap setiap periodenya (Romer, 2012: 372 – 373). Sedangkan konsumsi pada pendapatan tidak tetap—seperti digagas Robert Hall—mengikuti ekspektasi rasional sebagai berikut: [ ] [Σ( ) ] 
Di sini kita asumsikan bahwa suku bunga dan diskonto bernila nol. Individu menghadapi ketidakpastian pendapatan. Tapi ia harus memaksimalkan utilitasnya. Kekayaannya untuk konsumsi adalah rangkaian marjinal utilitas yang selalu bernilai positif. Budget constraint didefinisikan menjadi: Σ Σ artinya individu dalam kondisi ketidakpastian pendapatan akan mempertimbangkan pola konsumsinya tidak lebih banyak dari kekayaan awal yang ia miliki dan pendapatannya. Dengan demikian, ia akan menyesuaikan konsumsinya sepanjang waktu dengan dana yang ada. Harapannya menjadi: Σ [ ] Σ [ ] , dari sini kita dapat melihat konsumsi individu pada periode satu sebesar: [ Σ( ) ] . Individu akan terus berupaya agar utilitas sepanjang hidupnya tidak turun. Maka harapan dalam konsumsi periode ke-2, dapat dilihat sebagai berikut: ( Σ [ ] ) ( Σ [ ] ) 
Diketahui . Kita bisa masukkan harapan pendapatan pada periode ke-2, yakni Σ ( ) sebagai harapan kuantitas pendapatan periode ke-1: Σ ( ) ditambah informasi yang didapat antara periode 1 dan periode 2: Σ ( ) Σ ( ) . Maka: [ Σ ( ) (Σ ( ) Σ ( ) ) ] 
Dari pola konsumsi pada periode 1, diketahui bahwa Σ ( ) sama dengan , sehingga persamaan di atas dapat dibentuk menjadi:
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
7 
[ (Σ ( ) Σ ( ) )] (Σ ( ) Σ ( ) ) 
Dari persamaan di atas, diketahui bahwa perubahan dalam konsumsi antara periode 1 dan periode 2 sama dengan perubahan dalam perkiraan sumber daya sepanjang hidup dibagi jumlah periode masa hidup yang tersedia. Dari sini didapat bahwa pola konsumsi tidak mempertimbangkan apakah pendapatannya tetap atau tidak. Ketidakpastian tidak mempengaruhi pola konsumsi: ( ) [ ( )] . Nilai utilitas marjinal konsumsi yang diharapakan sama dengan utilitas marjinal konsumsi yang diharapkan: ( ) ( [ ]), atau sama dengan : [ ]. Konsumsi saat ini sama dengan harapan konsumsi di masa depan (Romer, 2012: 372 – 375). 
Penelitian Sebelumnya 
No 
Nama 
Judul 
Thn 
Masalah 
Metodologi 
Temuan 
1 
Tim Hazledine & R. Scott Moreland 
Population & Economic Growth: A World Cross-Section Study 
1977 
Asumsi The Neo-Malthusian: low-level equilibrium trap 
OLS 
Ledakan populasi memperburuk perekonomian 
2 
Hongbin Li & Junsen Zhang 
Do High Birth Rates Hamper Economic Growth? 
2007 
Pemberlakuan satu anak pada suku Han di Cina 
Panel & IV- Method 
Kelahiran tinggi perekonomian turun. 
3 
Paul Beaudry, Fabrice Collard & David A. Green 
Demographics & Recent Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons 
2005 
Perkembangan teknologi dan institusi dalam mengintensifkan pekerja dan pengaruhnya pada populasi 
OLS & IV- Method 
Perkembangan teknologi menaikkan performa pekerja, sejalan dengan naiknya populasi 
4 
David E. Bloom, Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry 
Geography, Demography & Economic Growth in Africa 
1998 
Kemiskinan dan pertumbuhan yang lamban ditopang oleh iklim tropis, populasi dan institusi sosial yang lemah 
Panel & GMM system estimation 
Afrika jauh dari terknologi. Iklim, geografi, populasi, penyakit, penyebab utama lemahnya ekonomi. Lemahnya institusi sebab berikutnya 
5 
Jonathan A. Parker & Bruce Preston 
Precautionary Saving & Consumption Fluctuation 
2005 
Pola konsumsi ditentukan kekayaan sekarang, bunga, informasi, & pendapatan 
GMM system estimation 
Ketidaksempurnaan pasar mempengaruhi fluktuasi konsumsi dan simpanan
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
8 
Metodologi 
Penelitian ini menggunakan data WDI (World Development Indicator) of World Bank, dan ADB (Asian Development Bank) dari tahun 1990 sampai 2011. Data diambil pada tahun 2012. Terdiri dari PDB (dari ADB), population growth, dan household final consumption growth per capita (dari WDI). Metode analisisnya adalah VECM (Vector Error Correction Model). Hal ini karena pada mulanya yang hendak dicari dari penelitian ini adalah hubungan dinamis jangka pendek antar variabel, dan respon variasi antar variabel di masa depan. Tapi setelah dilakukan test cointegration, ternyata didapat hubungan jangka panjang, sehingga VECM lebih dipilih dalam proses analisis. 
Melalui metode VECM, hubungan dinamis antar variabel dalam jangka pendek, juga jangka panjang, pengaruh suatu shock dari masing-masing variabel yang diamati dapat ditemukan. Modelnya terdiri dari tiga bentuk: 
1) 
2) 
3) 
Dimana 
Sebelum menjalankan regresi, dilakukan beberapa pengujian berikut: Uji stasioneritas. Pengujian ini dilakukan agar data yang diteliti tidak mengandung unit root, yang dapat menyebabkan spurious regression. Data yang dianalisis stasioner pada first difference. Tabelnya lihat di lampiran. 
Lag pada analisis disesuaikan menurut penilaian AIC dan SIC agar tidak menghabiskan degree of freedom dan tidak ada bias spesification. Kemudian dilakukan uji kointegrasi melalui pendekatan Søren Johansen, untuk kelayakan VECM. Hasilnya lihat di lampiran. Dari tabel analisis diketahui terdapat 1 hubungan kointegrasi pada model. Dengan begitu, VECM adalah metode yang layak dalam menganalisis. 
Hasil dan Pembahasan 
1. Analisis VECM 
Dari hasil perhitungan, diketahui R2 dan adj-R2 menandakan angka yang cukup besar, secara berturut-turut yakni: 90% dan 88%. Dalam jangka panjang variabel populasi dan HFC mempengaruhi variabel PDB dengan nilai t-statistik yang cukup signifikan. Artinya ketika terjadi kenaikan populasi sebesar 1% akan menaikkan PDB sebesar 32.2%. Begitu juga jika terjadi kenaikan pada konsumsi sebesar 1%, akan menyebabkan 2.2% kenaikan PDB. Ini adalah bukti di Indonesia PDB masih cukup besar ditopang sisi konsumsi, dan besarnya populasi yang menentukan itu semua. Untuk lebih jelasnya, hasil regresi lihat di lampiran. 
Di Indonesia sektor konsumsi masih menduduki porsi yang besar dalam total Produk Domestik Bruto, sedangkan sektor investasi relatif rendah. Berikut data yang dirilis ADB: 
Tahun 
1994 
1999 
2008 
2010 
2011 
Porsi Konsumsi/ PDB 
59,7 
73,9 
60,6 
56,7 
54,6 
Investasi/ PDB 
31,1 
11,4 
27,8 
32,5 
32,8
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
9 
Dalam analisis jangka pendek, diketahui terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan kointegrasi: pada variabel PDB sebesar -1.6%, sedangkan pada HFC dan variabel Population tidak signifikan. Lihat tabel di lampiran. 
Pada hasil perhitungan VECM, dalam jangka pendek PDB ditentukan secara positif oleh HFC dan populasi, secara berturt-turut sebesar: 6% dan 55.8%. Hal ini wajar, terutama jika kita melihat sektor konsumsi yang menjadi penopang PDB selama bertahun-tahun. Bahkan populasi yang besar sama sekali tidak berdampak buruk pada perekonomian. Kasus yang menarik jika dibandingkan dengan di beberapa negara. Kesuksesan program-program pembangunan di era 1990-an telah menghasilkan kelompok terdidik yang saat ini sedang berada pada usia produktif. Sehingga sebagaimana yang diyakini ekonom endogenous growth, jika populasi yang besar ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih besar, populasi bisa sangat efektif mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi. 
Namun, baik pertumbuhan populasi maupun HFC sama sekali tidak dipengaruhi PDB. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, konsumsi tidak mempengaruhi populasi. Artinya semakin tinggi konsumsi seseorang, tidak lantas menjadikannya memiliki keluarga yang banyak. Malah justru yang terjadi sebaliknya, orang yang berpenghasilan tinggi dengan pola konsumsi yang tinggi pula, lebih memilih anak yang sedikit. Inilah fenomena modernitas. 
2. Analisis Granger Causality 
Dari hasil hitung, null hypotheses of Population growth dan HFC does not granger cause PDB tak dapat diterima, karena p-value keduanya tidak lebih dari 5%. Sebaliknya, null hypotheses of PDB and HFC does not granger cause Population growth dapat diterima, karena p-value menandakan lebih dari 5%. Juga null hypotheses of PDB and Population growth does not granger cause HFC dapat diterima, karena p-value melebihi 5%. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa PDB Indonesia didukung penuh pola konsumsi yang tinggi, dengan populasi yang besar. Tapi tidak sebaliknya. Keterangan lengkap lihat di lampiran. 
3. Analisis Impulse Response 
Dari hasil analisis Impulse Response, pada tabel pertama diketahui bahwa goncangan variabel pertumbuhan PDB berdampak pada PDB 0.147420 SSD (Satuan Standar Deviasi) di periode 1. Lalu nilainya menjadi mengecil, bahkan negatif dan terus berfluktuasi sampai periode ke-10. Pengaruh goncangan pertumbuhan populasi terhadap PDB adalah 0 pada periode ke-1. Lalu goncangan itu menjadi negatif sampai periode ke-10. Hal ini menandakan dalam jangka panjang ke depan, populasi tak lagi menjadi anugerah pada perekonomian. Justru yang terjadi adalah hambatan. Peran kelompok usia produktif saat ini, dalam tempo beberapa tahun ke depan semakin berkurang, dan akhirnya menjadi minus. Goncangan HFC terhadap PDB adalah 0 di periode ke-1. Lalu menjadi negatif, dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Hal ini menandakan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga dalam tahun-tahun ke depan beban ekonomi menjadi semakin tinggi. 
Pada tabel kedua, terlihat guncangan PDB bernilai positif dan terus berfluktuasi mempengaruhi Populasi sampai periode ke-10. Perekonomian yang baik, bisa berdampak positif pada jumlah populasi. Terlihat juga pada tabel ke-3, guncangan PDB kembali berdampak positif terhadap HFC, meskipun nilainya tidak lebih besar dari HFC sendiri. 
4. Analisis Variance Decomposition 
Dalam analisis ini, informasi hubungan dinamis jangka panjang antar variabel dan seberapa besar pengaruh acak guncangan masing-masing variabel terhadap variabel endogen dapat ditemukan. Pada tabel pertama, PDB ternyata di periode ke-1 lebih banyak dipengaruhi oleh PDB sendiri sebesar 100% lalu periode ke-2 sebesar 71.85%, nilainya kemudian turun dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian diikuti HFC, dan Populasi dengan nilai
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
10 
yang berfluktuasi. Hanya sampai periode ke-10, populas menjadi lebih dominan. Pada tabel kedua dan ketiga, populasi lebih banyak dipengaruhi variabel populasi, dan HFC lebih banyak dipengaruhi HFC, dengan nilai yang berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian disusul PDB pada posisi kedua yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Sedangkan antara variabel HFC dan populasi kurang begitu kuat pengaruhnya. Keterangan selengkapnya bisa dilihat di lampiran. 
5. Uji Asumsi Klasik 
Hasil analisis dalam penelitian ini, sudah melewati pelbagai pengujian, termasuk tak ada satu pun asumsi klasik yang dilanggar. Data sudah terdistribusi secara normal, tidak terdapat autokorelasi, juga tidak terjadi multikolineraritas, serta tak ada heteroskedastisitas. Untuk lebih detail lihat di lampiran. 
Solusi Mengatasi Ledakan dan Pemerataan Penduduk di Indonesia 
Kondisi pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Pemerintah harus segera melancarkan langkah-langkah strategis menanganinya. Beberapa kiat berikut perlu disimak, sebagai solusi ledakan penduduk yang kurang terkontrol: 
1) Menerapkan kembali program Keluarga Berencana (KB) secara intensif di tengah- tengah masyarakat. Kebijakan ini juga harus ditopang pada peningkatan kualitas anak, melalui penyuluhan kesehatan bayi, ibu hamil dan pembinaan menyeluruh kepada masyarakat. 
2) Kembali menggalakkan program transmigrasi antar pulau di Nusantara. Pemerintah mendorong pemerataan penduduk di berbagai wilayah Indonesia yang luas, dengan perpindahan secara terorganisir, dengan pembekalan dan pembinaan secara teratur. Saat ini masih banyak tanah-tanah Indonesia yang belum terjamah tangan-tangan manusia, tetapi memiliki potensi yang belum diberdayakan. Sehingga pemerataan penduduk di berbagai wilayah menjadi cukup urgen. 
3) Pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerataan ini diperlukan agar pembangunan tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi ke berbagai daerah lainnya. 
4) Peningkatan pelayanan kesehatan publik bagi ibu hamil dan bayi. Saat ini kondisi kesehatan wanita hamil masih cukup mengkhawatirkan. Misalnya, di desa Bangsalrejo banyak wanita hamil terkena gondok, padahal desa itu wilayah ladang garam (http://m.detik.com). Ketika persoalan kebutuhan dasar semacam ini belum selesai, maka prestasi pembangunan ekonomi di Indonesia harus dipertanyakan. 
Penutup 
Pertumbuhan penduduk tidak menjadi masalah jika ditopang sumber daya manusia yang lebih baik. Sehingga populasi yang besar dan produktif akhirnya bisa menjadi pendorong pembangunan secara berkelanjutan. Tapi jika kemajuan ilmu pengetahuan kalah cepat dibandingkan pertambahan penduduk, yang terjadi justru munculnya masalah kemanusiaan seperti kelaparan dan peperangan. Hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan konsumsi masyarakat, akibat pertambahan anggota keluarga tidak sebanding dengan penghasilan. 
Pertumbuhan populasi yang besar di Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kendati hasil penelitian menemukan pertumbuhan populasi berperan besar mendorong perekonomian, namun dalam prediksi di masa mendatang pertumbuhan populasi justru berdampak negatif terhadap pembangunan. Pasalnya, tingginya perekonomian
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
11 
Indonesia ternyata ditopang oleh sisi konsumsi yang menandakan masyarakat lebih konsumtif alih-alih memperbesar sektor lain sebagai penopang perekonomian. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ekonom sebelumnya. Ledakan jumlah penduduk itu akan berdampak buruk pada pembangunan. Yang didapat dari penelitian ini adalah pola konsumsi masyarakat Indonesia berfluktuasi, tidak konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih mengikuti gagasan Keynes, dan bukan Friedman atau R. Hall. Yang juga harus disimak di sini adalah soal pembatasan angka kelahiran, untuk menstabilkan perekonomian dalam jangka panjang, agar persoalan kemanusiaan yang sering diramalkan ekonom klasik tidak pernah terjadi. 
Daftar Pustaka 
BPS, ―Data Strategis‖, Jakarta: BPS, 2012. 
Beaudry, Paul, Fabrice Collard & David A. Green, (2005), ―Demographics & Recent Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons‖, The Canadian Journal of Economics, Vol. 38, No. 2, 309 – 344. 
Bloom, David E., Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry, (1998), ―Geography, Demography & Economic Growth in Africa‖, Brooking Papers in Economic Activity, Vol. 1998, No. 2, 207 – 295. 
Hazledine, Tim & R. Scott Moreland, (1977), ―Population & Economic Growth: A World Cross-Section Study‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 59, No. 3, 253 – 263. 
Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?, Yogyakarta: Andi, 2007. 
Li, Hongbin & Junsen Zhang, (2007), ―Do High Birth Rates Hamper Economic Growth?‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 89, No. 1, 110 – 117. 
Mallarangeng, Rizal, (2008) Dari Langit, Gramedia: Jakarta. 
Mankiw, N. Gregory, (2003), Teori Makroekonomi, terj., Jakarta: Erlangga, 2003. 
―Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan‖, Media Indonesia, 13/12/2012. 
Parker, Jonathan A., & Bruce Preston, (2005), ―Precautionary Saving & Consumption Fluctuation‖, The American Economic Review, Vol. 95, No. 4, 1119 – 1143. 
Romer, David, (2012), Advanced Macroeconomics, New York: McGraw-Hill. 
Romer, Paul, (1986), ―Increasing Returns and Long-Run Growth‖, Journal of Political Economy, Vol. 94, 1002 – 1037. 
----------------, (1990), ―Endogenous Technological Change‖, Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, part 2, S71 – S102. 
----------------, (1994), ―Origins of Endogenous Growth‖, Journal of Economic Perspectives, Vol. 8, No. 1, 3 – 22. 
http://m.detik.com/health/read/2012/12/18/082940/2121031/746/ironis-banyak-wanita- hamil-kena-gondok-di-ladang-garam-desa-desa-bangsalrejo
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
12 
Lampiran 
Uji Stasioneritas (Data belum Stasioner) 
Null Hypothesis: PDB has a unit root 
Exogenous: Constant 
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) 
t-Statistic 
Prob.* 
Augmented Dickey-Fuller test statistic 
-0.008244 
0.9476 
Test critical values: 
1% level 
-3.788030 
5% level 
-3.012363 
10% level 
-2.646119 
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 
Augmented Dickey-Fuller Test Equation 
Dependent Variable: D(PDB) 
Method: Least Squares 
Date: 05/11/13 Time: 19:09 
Sample (adjusted): 1991 2011 
Included observations: 21 after adjustments 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
PDB(-1) 
-0.000525 
0.063659 
-0.008244 
0.9935 
C 
105.3426 
85.12386 
1.237521 
0.2310 
R-squared 
0.000004 
Mean dependent var 
104.7619 
Adjusted R-squared 
-0.052628 
S.D. dependent var 
213.5194 
S.E. of regression 
219.0659 
Akaike info criterion 
13.70701 
Sum squared resid 
911807.5 
Schwarz criterion 
13.80649 
Log likelihood 
-141.9237 
Hannan-Quinn criter. 
13.72860 
F-statistic 
6.80E-05 
Durbin-Watson stat 
2.136122 
Prob(F-statistic) 
0.993508 
Null Hypothesis: HFC has a unit root 
Exogenous: Constant 
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) 
t-Statistic 
Prob.* 
Augmented Dickey-Fuller test statistic 
0.551562 
0.9844 
Test critical values: 
1% level 
-3.788030 
5% level 
-3.012363 
10% level 
-2.646119 
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 
Augmented Dickey-Fuller Test Equation 
Dependent Variable: D(HFC) 
Method: Least Squares 
Date: 05/11/13 Time: 19:05 
Sample (adjusted): 1991 2011 
Included observations: 21 after adjustments 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
HFC(-1) 
0.014671 
0.026600 
0.551562 
0.5877 
C 
3.51E+09 
2.87E+09 
1.224487 
0.2357 
R-squared 
0.015759 
Mean dependent var 
5.04E+09 
Adjusted R-squared 
-0.036043 
S.D. dependent var 
3.32E+09 
S.E. of regression 
3.38E+09 
Akaike info criterion 
46.81302 
Sum squared resid 
2.18E+20 
Schwarz criterion 
46.91250 
Log likelihood 
-489.5367 
Hannan-Quinn criter. 
46.83461 
F-statistic 
0.304220 
Durbin-Watson stat 
1.801303 
Prob(F-statistic) 
0.587678
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
13 
Null Hypothesis: POP has a unit root 
Exogenous: Constant 
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) 
t-Statistic 
Prob.* 
Augmented Dickey-Fuller test statistic 
1.762614 
0.9993 
Test critical values: 
1% level 
-3.788030 
5% level 
-3.012363 
10% level 
-2.646119 
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 
Augmented Dickey-Fuller Test Equation 
Dependent Variable: D(POP) 
Method: Least Squares 
Date: 05/11/13 Time: 19:12 
Sample (adjusted): 1991 2011 
Included observations: 21 after adjustments 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
POP(-1) 
0.020340 
0.011540 
1.762614 
0.0940 
C 
-1.249206 
2.396613 
-0.521238 
0.6082 
R-squared 
0.140536 
Mean dependent var 
2.961905 
Adjusted R-squared 
0.095301 
S.D. dependent var 
0.911853 
S.E. of regression 
0.867315 
Akaike info criterion 
2.643564 
Sum squared resid 
14.29247 
Schwarz criterion 
2.743042 
Log likelihood 
-25.75742 
Hannan-Quinn criter. 
2.665153 
F-statistic 
3.106809 
Durbin-Watson stat 
1.663060 
Prob(F-statistic) 
0.094045 
Data sudah Stasioner : 1) PDB 
Null Hypothesis: DLPDB has a unit root 
Exogenous: Constant 
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) 
t-Statistic 
Prob.* 
Augmented Dickey-Fuller test statistic 
-4.604345 
0.0018 
Test critical values: 
1% level 
-3.808546 
5% level 
-3.020686 
10% level 
-2.650413 
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 
Augmented Dickey-Fuller Test Equation 
Dependent Variable: D(DLPDB) 
Method: Least Squares 
Date: 05/11/13 Time: 19:11 
Sample (adjusted): 1992 2011 
Included observations: 20 after adjustments 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
DLPDB(-1) 
-1.082143 
0.235026 
-4.604345 
0.0002 
C 
0.116467 
0.069887 
1.666491 
0.1129 
R-squared 
0.540816 
Mean dependent var 
-0.001148 
Adjusted R-squared 
0.515306 
S.D. dependent var 
0.417870 
S.E. of regression 
0.290921 
Akaike info criterion 
0.463109 
Sum squared resid 
1.523429 
Schwarz criterion 
0.562682 
Log likelihood 
-2.631085 
Hannan-Quinn criter. 
0.482546 
F-statistic 
21.20000 
Durbin-Watson stat 
2.033780 
Prob(F-statistic) 
0.000220
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
14 
Data sudah Stasioner: 2) HFC 
Null Hypothesis: DLHFC has a unit root 
Exogenous: Constant 
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) 
t-Statistic 
Prob.* 
Augmented Dickey-Fuller test statistic 
-3.646429 
0.0141 
Test critical values: 
1% level 
-3.808546 
5% level 
-3.020686 
10% level 
-2.650413 
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 
Augmented Dickey-Fuller Test Equation 
Dependent Variable: D(DLHFC) 
Method: Least Squares 
Date: 05/11/13 Time: 19:07 
Sample (adjusted): 1992 2011 
Included observations: 20 after adjustments 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
DLHFC(-1) 
-0.836020 
0.229271 
-3.646429 
0.0018 
C 
0.040417 
0.014301 
2.826229 
0.0112 
R-squared 
0.424855 
Mean dependent var 
-0.001378 
Adjusted R-squared 
0.392902 
S.D. dependent var 
0.049085 
S.E. of regression 
0.038245 
Akaike info criterion 
-3.594970 
Sum squared resid 
0.026328 
Schwarz criterion 
-3.495397 
Log likelihood 
37.94970 
Hannan-Quinn criter. 
-3.575532 
F-statistic 
13.29644 
Durbin-Watson stat 
2.022031 
Prob(F-statistic) 
0.001846 
Data sudah Stasioner: 3) Populasi 
Null Hypothesis: DLPOP has a unit root 
Exogenous: Constant 
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) 
t-Statistic 
Prob.* 
Augmented Dickey-Fuller test statistic 
-3.588389 
0.0159 
Test critical values: 
1% level 
-3.808546 
5% level 
-3.020686 
10% level 
-2.650413 
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 
Augmented Dickey-Fuller Test Equation 
Dependent Variable: D(DLPOP) 
Method: Least Squares 
Date: 05/11/13 Time: 19:14 
Sample (adjusted): 1992 2011 
Included observations: 20 after adjustments 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
DLPOP(-1) 
-0.835023 
0.232701 
-3.588389 
0.0021 
C 
0.011736 
0.003391 
3.461331 
0.0028 
R-squared 
0.417033 
Mean dependent var 
5.54E-06 
Adjusted R-squared 
0.384646 
S.D. dependent var 
0.005130 
S.E. of regression 
0.004025 
Akaike info criterion 
-8.098163 
Sum squared resid 
0.000292 
Schwarz criterion 
-7.998590 
Log likelihood 
82.98163 
Hannan-Quinn criter. 
-8.078725 
F-statistic 
12.87654 
Durbin-Watson stat 
1.953075 
Prob(F-statistic) 
0.002101
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
15 
Uji Kointegrasi 
Date: 05/11/13 Time: 18:20 
Sample (adjusted): 1993 2011 
Included observations: 19 after adjustments 
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) 
Series: DLPDB DLPOP DLHFC 
Lags interval (in first differences): 1 to 1 
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) 
Hypothesized 
Trace 
0.05 
No. of CE(s) 
Eigenvalue 
Statistic 
Critical Value 
Prob.** 
None * 
0.884237 
62.90258 
42.91525 
0.0002 
At most 1 
0.585270 
21.93463 
25.87211 
0.1431 
At most 2 
0.239916 
5.212205 
12.51798 
0.5662 
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level 
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level 
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) 
Hypothesized 
Max-Eigen 
0.05 
No. of CE(s) 
Eigenvalue 
Statistic 
Critical Value 
Prob.** 
None * 
0.884237 
40.96795 
25.82321 
0.0003 
At most 1 
0.585270 
16.72243 
19.38704 
0.1170 
At most 2 
0.239916 
5.212205 
12.51798 
0.5662 
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level 
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level 
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 
Hasil Analisis VEC Model 
Vector Error Correction Estimates 
Date: 05/11/13 Time: 18:20 
Sample (adjusted): 1993 2011 
Included observations: 19 after adjustments 
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] 
Cointegrating Eq: 
CointEq1 
DLPDB(-1) 
1.000000 
DLPOP(-1) 
32.26742 
(9.49119) 
[ 3.39972] 
DLHFC(-1) 
2.276558 
(0.74839) 
[ 3.04195] 
@TREND(90) 
0.015722 
(0.00390) 
[ 4.02627] 
C 
-0.858188 
Error Correction: 
D(DLPDB) 
D(DLPOP) 
D(DLHFC) 
CointEq1 
-1.641442 
0.004296 
-0.016057 
(0.17892) 
(0.00559) 
(0.05500) 
[-9.17395] 
[ 0.76875] 
[-0.29195] 
D(DLPDB(-1)) 
0.449016 
-0.002265 
0.008150 
(0.12509) 
(0.00391) 
(0.03845) 
[ 3.58945] 
[-0.57959] 
[ 0.21197] 
D(DLPOP(-1)) 
55.82650 
-0.781802 
1.824307 
(9.42410) 
(0.29436) 
(2.89682) 
[ 5.92380] [-2.65598] 
[ 0.62976] 
D(DLHFC(-1)) 
6.086553 
-0.015284 
-0.499821 
(0.76527) 
(0.02390) 
(0.23523) 
[ 7.95349] 
[-0.63941] [-2.12481]
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
16 
C 
-0.018660 
0.000114 
-0.000783 
(0.03411) 
(0.00107) 
(0.01049) 
[-0.54700] 
[ 0.10717] 
[-0.07464] 
R-squared 0.908287 
0.372056 
0.341601 
Adj. R-squared 0.882083 
0.192643 
0.153487 
Sum sq. resids 
0.304256 
0.000297 
0.028748 
S.E. equation 
0.147420 
0.004605 
0.045314 
F-statistic 
34.66239 
2.073742 
1.815925 
Log likelihood 
12.31626 
78.17476 
34.72975 
Akaike AIC 
-0.770133 
-7.702606 
-3.129447 
Schwarz SC 
-0.521597 
-7.454070 
-2.880911 
Mean dependent 
-0.000376 
-0.000263 
0.000980 
S.D. dependent 
0.429306 
0.005125 
0.049252 
Determinant resid covariance (dof adj.) 
7.26E-10 
Determinant resid covariance 
2.90E-10 
Log likelihood 
127.7428 
Akaike information criterion 
-11.44661 
Schwarz criterion 
-10.50217 
Uji Granger Causality 
VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests 
Date: 05/11/13 Time: 18:34 
Sample: 1990 2011 
Included observations: 19 
Dependent variable: D(DLPDB) 
Excluded 
Chi-sq 
df 
Prob. 
D(DLPOP) 
35.09146 
1 
0.0000 
D(DLHFC) 
63.25799 
1 
0.0000 
All 
72.35624 
2 
0.0000 
Dependent variable: D(DLPOP) 
Excluded 
Chi-sq 
df 
Prob. 
D(DLPDB) 
0.335925 
1 
0.5622 
D(DLHFC) 
0.408841 
1 
0.5226 
All 
0.558990 
2 
0.7562 
Dependent variable: D(DLHFC) 
Excluded 
Chi-sq 
df 
Prob. 
D(DLPDB) 
0.044930 
1 
0.8321 
D(DLPOP) 
0.396601 
1 
0.5288 
All 
0.421886 
2 
0.8098 
TabeI Impulse Response 
Response of DLPDB: 
Period 
DLPDB 
DLPOP 
DLHFC 
1 
0.147420 
0.000000 
0.000000 
2 
0.022017 
0.002876 
0.093241 
3 
-0.180005 
-0.216803 
-0.216863 
4 
-0.004775 
-0.080601 
-0.033915 
5 
-0.011894 
-0.062665 
-0.040619 
6 
-0.048655 
-0.105154 
-0.059639 
7 
-0.053015 
-0.103249 
-0.078396 
8 
-0.031982 
-0.092890 
-0.055489 
9 
-0.037340 
-0.089901 
-0.058869 
10 
-0.042712 
-0.099098 
-0.063814 
Response of DLPOP: 
Period 
DLPDB 
DLPOP 
DLHFC 
1 
4.44E-06 
0.004605 
0.000000 
2 
0.000183 
0.001667 
-0.000218
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
17 
3 
0.000727 
0.004112 
0.000617 
4 
0.000146 
0.002434 
-4.94E-05 
5 
0.000342 
0.003311 
0.000190 
6 
0.000322 
0.002841 
9.60E-05 
7 
0.000386 
0.003184 
0.000225 
8 
0.000295 
0.002934 
0.000104 
9 
0.000344 
0.003076 
0.000165 
10 
0.000332 
0.003006 
0.000142 
Response of DLHFC: 
Period 
DLPDB 
DLPOP 
DLHFC 
1 
0.021437 
-0.004383 
0.039682 
2 
0.008779 
0.003982 
0.018397 
3 
0.013640 
-0.006590 
0.027341 
4 
0.012571 
0.002955 
0.024030 
5 
0.013015 
-0.003841 
0.025652 
6 
0.012631 
0.000734 
0.024840 
7 
0.012639 
-0.002568 
0.024919 
8 
0.012906 
-0.000174 
0.025193 
9 
0.012667 
-0.001764 
0.024938 
10 
0.012791 
-0.000773 
0.025098 
Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC 
Tabel Variance Decomposition 
Variance Decomposition of DLPDB: 
Period 
S.E. 
DLPDB 
DLPOP 
DLHFC 
1 
0.147420 
100.0000 
0.000000 
0.000000 
2 
0.175839 
71.85560 
0.026752 
28.11765 
3 
0.396679 
34.71090 
29.87652 
35.41258 
4 
0.406231 
33.11151 
32.42473 
34.46376 
5 
0.413209 
32.08542 
33.63873 
34.27585 
6 
0.433271 
30.44406 
36.48597 
33.06997 
7 
0.455346 
28.91922 
38.17542 
32.90536 
8 
0.469117 
27.71110 
39.88790 
32.40099 
9 
0.482714 
26.77033 
41.14101 
32.08866 
10 
0.498728 
25.81220 
42.48960 
31.69820 
Variance Decomposition of DLPOP: 
Period 
S.E. 
DLPDB 
DLPOP 
DLHFC 
1 
0.004605 
9.31E-05 
99.99991 
0.000000 
2 
0.004905 
0.139444 
99.66239 
0.198163 
3 
0.006471 
1.341238 
97.63657 
1.022196 
4 
0.006915 
1.218877 
97.88094 
0.900186 
5 
0.007677 
1.187547 
98.02069 
0.791762 
6 
0.008193 
1.196820 
98.09419 
0.708993 
7 
0.008801 
1.229272 
98.09090 
0.679831 
8 
0.009283 
1.205802 
98.17061 
0.623585 
9 
0.009786 
1.208366 
98.20217 
0.589463 
10 
0.010244 
1.208090 
98.23460 
0.557314 
Variance Decomposition of DLHFC: 
Period 
S.E. 
DLPDB 
DLPOP 
DLHFC 
1 
0.045314 
22.38018 
0.935658 
76.68417 
2 
0.049848 
21.59643 
1.411439 
76.99213 
3 
0.058837 
20.87610 
2.267510 
76.85639 
4 
0.064854 
20.93956 
2.073937 
76.98651 
5 
0.071051 
20.80186 
2.020243 
77.17790 
6 
0.076324 
20.76583 
1.759982 
77.47419 
7 
0.081318 
20.70926 
1.650158 
77.64059
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
18 
8 
0.086104 
20.71775 
1.472213 
77.81004 
9 
0.090550 
20.69002 
1.369126 
77.94085 
10 
0.094834 
20.68236 
1.254871 
78.06277 
Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC 
Uji Asumsi Klasik 
Uji Normalitas 
VEC Residual Normality Tests 
Orthogonalization: Cholesky (Lutkepohl) 
Null Hypothesis: residuals are multivariate normal 
Date: 05/11/13 Time: 18:55 
Sample: 1990 2011 
Included observations: 19 
Component 
Skewness 
Chi-sq 
df 
Prob. 
1 
0.032034 
0.003249 
1 
0.9545 
2 
0.997991 
3.153957 
1 
0.0757 
3 
-1.127519 
4.025782 
1 
0.0448 
Joint 
7.182988 
3 
0.0663 
Component 
Kurtosis 
Chi-sq 
df 
Prob. 
1 
1.969354 
0.840933 
1 
0.3591 
2 
4.284763 
1.306737 
1 
0.2530 
3 
3.148937 
0.017561 
1 
0.8946 
Joint 
2.165231 
3 
0.5388 
Component 
Jarque-Bera 
df 
Prob. 
1 
0.844182 
2 
0.6557 
2 
4.460694 
2 
0.1075 
3 
4.043343 
2 
0.1324 
Joint 
9.348219 
6 
0.1549 
Uji Ketiadaan Autokorelasi 
VEC Residual Portmanteau Tests for Autocorrelations 
Null Hypothesis: no residual autocorrelations up to lag h 
Date: 05/11/13 Time: 18:53 
Sample: 1990 2011 
Included observations: 19 
Lags 
Q-Stat 
Prob. 
Adj Q-Stat 
Prob. 
df 
1 
7.466693 
NA* 
7.881510 
NA* 
NA* 
2 
13.04184 
0.1607 
14.11256 
0.1184 
9 
3 
17.41623 
0.4947 
19.30715 
0.3731 
18 
*The test is valid only for lags larger than the VAR lag order. 
df is degrees of freedom for (approximate) chi-square distribution
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
19 
Uji Ketiadaan Multikolinearitas 
VEC Residual Serial Correlation LM Tests 
Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h 
Date: 05/11/13 Time: 18:52 
Sample: 1990 2011 
Included observations: 19 
Lags 
LM-Stat 
Prob 
1 
7.277553 
0.6082 
2 
12.12773 
0.2062 
3 
6.718789 
0.6664 
Probs from chi-square with 9 df. 
Uji Ketiadaan Heteroskedastisitas 
VEC Residual Heteroskedasticity Tests: No Cross Terms (only levels and squares) 
Date: 05/11/13 Time: 18:57 
Sample: 1990 2011 
Included observations: 19 
Joint test: 
Chi-sq 
df 
Prob. 
48.80527 
48 
0.4405 
Individual components: 
Dependent 
R-squared 
F(8,10) 
Prob. 
Chi-sq(8) 
Prob. 
res1*res1 
0.278722 
0.483036 
0.8427 
5.295727 
0.7256 
res2*res2 
0.239049 
0.392681 
0.9008 
4.541925 
0.8052 
res3*res3 
0.200228 
0.312945 
0.9435 
3.804325 
0.8743 
res2*res1 
0.292633 
0.517117 
0.8191 
5.560032 
0.6964 
res3*res1 
0.208533 
0.329347 
0.9356 
3.962136 
0.8605 
res3*res2 
0.356514 
0.692544 
0.6923 
6.773764 
0.5612
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
20 
Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap Pengangguran 
Abdul Holik 
Aisyah Rosadi 
Magister Ilmu Ekonomi 
Universitas Padjadjaran 
Abstract 
This research purposes to analyze monetary policies—inflation, money supply, exchange rate and interest rate—toward unemployment rate in Indonesia, using OLS (Ordinary Least Square) method. Based on the result, gross domestic product (GDP), interest rate, exchange rate, and inflation are significant in affecting unemployment rate in 10 percent level. Meanwhile, money supply cannot have significant effect toward unemployment rate. It is evidence that Indonesia adopts inflation targeting framework in controlling unemployment rate conducted by monetary authority, other than monetary variables targeting. 
Keywords: monetary policies, inflation targeting, unemployment, gross domestic products. 
Pendahuluan 
Salah satu instrumen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan kestabilan jangka panjang adalah melalui kebijakan moneter, terutama penargetan inflasi. Kebijakan ini cenderung dipilih sejumlah negara seperti Indonesia, alih-alih penargetan moneter secara total. Hal ini juga umum diberlakukan di sejumlah negara ASEAN khususnya pasca krisis moneter 1997 di Thailand yang menimbulkan contagion effect di kawasan dan akhirnya menyebabkan tingginya angka pengangguran. Dalam kasus di Indonesia, isu pengangguran menjadi masalah yang cukup besar dan menjadi penghambat pencapaian kesejahteraan optimal masyarakat. Indonesia menurut sejumlah pengamat cenderung lambat—dibandingkan negara-negara semisal Malaysia, Korea Selatan, Thailand—dalam upaya mencapai stabilisasi perekonomian pasca krisis. 
Dalam kajian ekonomi makro, pembangunan ekonomi tidak dapat diukur semata-mata dari tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (Todaro, 2006). Namun, harus pula melihat bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dan mengetahui siapa yang mendapat manfaat dari pembangunan tersebut. Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu di antaranya adalah tingkat pengangguran. Selain itu dengan tingkat pengangguran, dapat dilihat pula ketimpangan atau kesenjangan distribusi pendapatan yang diterima suatu masyarakat negara tersebut. Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup luas, serta penyerapan tenaga kerja yang cenderung kecil persentasenya. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan penciptaan lapangan kerja di sektor riil untuk menampung tenaga kerja yang siap bekerja. 
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980, penduduk Indonesia berjumlah 146.777.000 jiwa. Tahun 2007 jumlah itu meningkat menjadi sebesar 224.904.000 jiwa (BPS, 1980 dan 2007). Kenaikan tersebut juga diikuti oleh kenaikan jumlah pengangguran. Hal ini menunjukkan kenaikan jumlah penduduk usia kerja tidak terserap sepenuhnya ke lapangan pekerjaan
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
21 
sehingga jumlah pengangguran pun naik. Grafik pengangguran digambarkan dalam bagan di bawah ini: 
Sumber: World Bank 
Dari data di atas diketahui bahwa pengangguran di Indonesia masih cukup besar. Terlebih ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar subsidi di tahun 2005. Sampai tahun 2010, pengangguran terus menurun. Hanya saja, penurunan itu belum berhasil mencapai titik seperti sebelum krisis 1997. Bahkan, pertumbuhan pasca krisis 1997 tidak dibarengi turunnya tingkat pengangguran. Penelitian di Amerika Serikat pasca krisis mengindikasikan koefisien hasil yang beragam (Weber, 1995). 
Maka di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi jumlah usia kerja yang setiap tahun terus bertambah.Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berorientasi pada upaya mendorong pertumbuhan iklim investasi di sektor riil, dan bukan sektor finansial semata. Dalam hal ini BI (Bank Indonesia) memainkan peranan penting dalam mengatur tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, mengontrol laju inflasi, serta menjaga agar aliran modal yang ada di dalam negeri agar tidak lari keluar. 
Mengingat Indonesia adalah negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small open economy), maka wajar jika akhirnya penetapan suku bunga domestik melibatkan pertimbangan suku bunga di dunia. Suku bunga ini dipatok berdasarkan suku bunga yang ditetapkan The Federal Reserve Fund Rate, di Amerika Serikat. Kebijakan ini diambil agar aliran modal asing tetap bertahan, dan terus digalakkan dalam meningkatkan investasi (Pilbeam, 1998). Selain itu, pilhan nilai tukar mengambang bebas (floated exchange rate system) juga menjadi pilihan yang paling baik, di mana pasar dapat dengan sendirinya menentukan sisi permintaan dan penawaran kurs mata uang rupiah (Arifien, 2008). 
Dengan semakin baiknya iklim berinvestasi di Indonesia, maka ketersediaan lapangan kerja formal semakin banyak. Dengan begitu, penduduk usia kerja bisa terserap dan pengangguran bisa turun. Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek-proyek pemerintah tidak bisa menyerap semua supply pekerja. Sehingga peran sektor swasta amat dibutuhkan. 
Oleh karena itu, peran sektor pemerintah dan peran swasta amat dibutuhkan dalam hal penyedia lapangan pekerjaan. Isu pengangguran telah menjadi bahasan utama dalam perencanaan ekonomi jangka panjang di banyak negara, termasuk di negara maju sekalipun. 
0 
2 
4 
6 
8 
10 
12 
1996 
1997 
1998 
1999 
2000 
2001 
2002 
2003 
2004 
2005 
2006 
2007 
2008 
2009 
2010 
Pengangguran Dari Total Angkatan Kerja 
Pengangguran Dari 
Total Angkatan Kerja
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
22 
Kajian Pustaka 
Salah satu target utama kebijakan moneter adalah penyediaan lapangan pekerjaan. Dalam diskursus ekonomi makro, kondisi lapangan kerja penuh (full employment) merupakan kondisi yang diharapkan untuk dicapai. Masalahnya adalah bagaimana kinerja otoritas moneter berupaya menurunkan angka pengangguran sampai titik terendah. 
Dalam kenyataannya kondisi lapangan kerja penuh tidak selamanya berarti bebas dari pengangguran. Proses keluar masuk seseorang mencari pekerjaan akan menyebabkannya menganggur untuk beberapa saat. Dibutuhkan waktu penyesuaian antara pekerja dan pengusaha yang akan mempekerjakannya. Pengangguran friksional yang melibatkan waktu penyesuaian ini menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan perekonomian. 
Di sisi lain terdapat pengangguran struktural, yakni pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara keahlian yang dibutuhkan dan kemampuan pekerja. Dalam kasus ini, kebijakan moneter hanya sedikit bisa menanggulangi pengangguran semacam itu. 
Dalam beberapa literatur, kondisi lapangan kerja penuh didefinisikan sebagai keadaan dengan tingkat pengangguran di atas nol, yang selaras dengan sisi penawaran dan permintaan tenaga kerja pada periode tertentu. Artinya, tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) boleh tidak melebihi 4% dari total angkatan kerja, meskipun nilai tersebut masih diperdebatkan kalangan ekonom (Mishkin, 2007). Cukup sulit mencapai angka tersebut. 
Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa inflasi, kendati prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Keynes mengajukan 4 bentuk kondisi terkait kekakuan nominal dengan berpijak pada kondisi pasar untuk barang dan pekerja, yang nantinya diselaraskan dengan kebijakan moneter (David Romer, 2012): 
1) kondisi ketika upah bersifat kaku, harga fleksibel, dan pasar barang sangat kompetitif. Dalam kondisi ini, upah disimbolkan dengan ̅. Karena harga fleksibel, maka perusahaan mempekerjakan karyawan sampai (marginal product of labor) sama dengan upah riil: ( ) . 
Melalui asumsi ini, peningkatan demand menaikkan output. Perusahaan memproduksi komoditas dengan lebih giat. Ketika supply uang naik, maka berangsur-angsur harga naik. Mengingat kondisi upah yang tetap, perusahaan bisa menaikkan buruh untuk mengerjakan permintaan pasar yang melonjak. Karena upah riil berada di atas market-clearing level, maka supply pekerja dapat bertambah dan pekerja pun dengan senang hati mau memenuhi kebutuhan produsen. Dengan demikian angka pengangguran bisa menurun. 
Akan tetapi, pandangan sisi supply ini akhirnya bisa mendorong countercyclical real wage (perekonomian turun karena upah yang dipaksakan untuk tetap) dalam merespon aggregate demand shock. Perusahaan akan berhenti mempekerjakan karyawan ketika sama dengan upah. Kita bisa melihat penjelasan ini dalam kurva. Level awal pekerjaan ditentukan oleh permintaan pekerja dan upah riil yang ditujukan poin E, sedangkan pengangguran berada pada perbedaaan supply dan demand upah riil (jarak EA):
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
23 
Dari kurva di atas pengangguran awalnya bisa turun, dengan naiknya lapangan 
pekerjaan. Tapi akhirnya dengan upah yang kaku memaksa perusahaan harus mengurangi 
upah dari titik menjadi di titik . Dalam kasus ini perekonomian dalam kondisi tidak stabil 
dan tidak menemukan dukungan untuk mencapai procyclical pertumbuhan. 
2) kondisi ketika harga-harga kaku, upah fleksibel, dan pasar pekerja kompetitif. 
Dalam kasus ini, diasumsikan perusahaan-perusahaan memiliki kekuatan pasar sehingga 
harga yang memaksimalkan keuntungan bisa melampaui biaya marjinal. Tapi sebenarnya 
menerapkan upah fleksibel berangsur-angsur menyebabkan perusahaan merugi. Peningkatan 
demand yang terus-menerus akhirnya mendorong countercyclical atas biaya marjinal. 
Terutama ketika naiknya permintaan pasar. Mungkin demand yang besar dapat 
menggerakkan peningkatan pekerja terdidik, tetapi akhirnya mendorong kenaikan upah. 
Kondisi ini ditunjukan dengan E` pada kurva sebagai berikut: 
Dalam konteks ini, kebijakan penetapan upah fleksibel dan harga kaku tidak 
mendukung procyclical pada perekonomian. Pada akhirnya harga-harga harus naik, karena 
jika tidak akan merugikan produsen. 
3) kondisi ketika harga kaku, upah fleksibel dan pasar kerja tidak sempurna. Dalam 
kasus ini persamaan upah kita definisikan menjadi: 
( ). Dalam contoh kasus ini, 
peningkatan demand menaikkan output sampai biaya marjinal sama dengan level harga. 
Pekerjaan dan upah riil ditentukan melalui perpotongan kurva demand pekerja efektif dan 
fungsi upah riil. Lapangan pekerjaan akan bertambah dengan naiknya demand atas output.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
24 
Pengangguran dapat turun. Jarak EA menandakan pengangguran. Gambar kurvanya sebagai 
berikut: 
Akan tetapi demand yang semakin tinggi dan upah fleksibel akhirnya akan memaksa 
harga-harga naik, karena jika tidak berakibat kerugian produsen. 
4) kondisi ketika upah tetap, harga tetap dan pasar barang tidak sempurna. Dalam 
kasus ini harga dibentuk dengan adanya markup: ( ) 
( ) 
; di mana ⁄ ( ) adalah 
biaya marjinal; adalah markup. Maka upah riil didefinisikan menjadi: ( )⁄ ( ). Jika 
constant, maka upah riil berlaku countercyclical karena adanya penurunan . Jika ( ) 
kecil, upah riil akan menjadi procyclical bahkan jika kekakuan nominal berlaku pada pasar 
pekerja. Dalam situasi ini, upah dan harga tidak ditentukan dari perubahan . Tapi dari . 
Pekerjaan akan ditentukan oleh demand pekerja efektif dari produsen. 
Level demand menentukan wilayah perekonomian itu berada. Pengangguran berada di 
antara perbedaan supply pekerja dan pekerjaan pada upah riil yang berlaku. Terdapat tiga 
contoh kurva yang menggambarkan kondisi upah: 
a. Menurun; b. Konstan; c. Naik.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
25 
Dalam analisis lebih lanjut, Keynes menguraikan konsep aggregate demand yang 
menggambarkan hubungan negatif antara harga dan output. Pada kondisi ini diasumsikan 
jumlah uang yang beredar adalah konstan. Jika pemerintah melakukan kebijakan moneter 
ekspansif maka kurva AD akan bergeser ke kanan. Sedangkan AS menggambarkan hubungan 
positif antara harga dan output. Hal yang dapat menyebabkan kurva ini bergeser ke kanan 
adalah kenaikan biaya produksi. Interaksi antara kurva AD dan kurva AS terjadi pada jangka 
pendek. Hal tersebut tercermin pada kurva di bawah ini:
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
26 
Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa 
inflasi. Dalam prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Ahli ekonomi klasik telah 
membuat simulasi empiris bahwa apabila tingkat pengangguran rendah, biasanya dibarengi 
tingkat inflasi yang tinggi. Pada tahun 1950-an, A.W. Phillips, ekonom Inggris, melakukan 
studi mengenai kebijakan stabilisasi perekonomian mengenai tingkat inflasi upah buruh dan 
tingkat pengangguran. Ia membuat kurva sebagai berikut: 
Namun, kedua konsep yang dikemukakan baik oleh Philips dan Keynes hanya berlaku 
dalam jangka pendek. Milton Friedman menyatakan bahwa rezim moneter yang tidak bisa 
menahan inflasi kronis takkan bisa menurunkan angka pengangguran. Dalam jangka panjang 
inflasi berakibat sangat buruk pada perekonomian (Friedman, 1968). Contoh ekstrem seperti 
Y 
P 
AD 
AS 
Gam 
bar
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
27 
kasus hyperinflation di Jerman pada dekade 1930-an. Inflasi dalam jangka panjang dapat menghancurkan perekonomian. 
Gagasan Philips sebenarnya merupakan trade off antara pengangguran dan inflasi. Baginya ketika pembuat kebijakan ekonomi menginginkan tingkat inflasi yang rendah, mereka harus membayarnya dengan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya, ketika tingkat inflasi tinggi, pengangguran bisa turun. 
Pertumbuhan ekonomi yang baik memiliki hubungan erat dengan penurunan pengangguran. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hukum Okun, yakni suatu hubungan terbalik antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Ketika perekonomian suatu negara mencapai pertumbuhan yang signifikan, maka tingkat pengangguran dapat ditekan. Dalam beberapa penelitian misalnya, asumsi Okun tersebut terbukti. Namun setelah masa krisis yang dalam, hukum Okun membutuhkan beberapa penjelasan lanjutan (Weber, 1995). 
Friedman sendiri mengakui bahwa kebijakan moneter mempunyai lag (rentang waktu) agar bisa berpengaruh pada output riil. Di Amerika misalnya, kebijakan moneter mempunyai waktu satu tahun guna mempengaruhi output dan waktu dua tahun dalam mempengaruhi inflasi secara signifikan. Sedangkan di negara-negara yang mengalami inflasi tinggi, di mana harga-harga lebih fleksibel, selang waktu bisa lebih pendek (Mishkin, 2007). 
Kebijakan penargetan inflasi juga diterapkan pada berbagai negara maju dengan nilai yang berbeda-beda. Berikut tabelnya: 
Negara & Tahun Berlaku 
Definisi Rangkaian Target 
Tingkat penargetan 
Jangka waktu 
Australia (1993) 
Komponen IHK ( buah&sayuran, solar, harga- harga sektor publik, dan harga-harga yang fluktuatif) 
2-3% 
sepanjang masa 
Kanada (Februari 1991) 
Komponen utama IHK (makanan, energi, dan pajak tidak langsung) 
1-3% 
18 bulan 
Finlandia (Februari 1993) 
Komponen IHK ( subsidi pemerintah, pajak tidak langsung, harga rumah dan tingkat bunga cicilan rumah) 
sekitar 2% 
sepanjang masa 
Selandia Baru (Maret 1990) 
Komponen IHK (perubahan pada pajak tidak langsung atau pengeluaran pemerintah, perubahan pada harga ekspor dan impor, bencana alam) 
0-3% 
1 tahun 
Spanyol (Januari 1995) 
IHK (perubahan pajak tidak langsung) 
Dibawah 3% 
Setelah krisis 1997 
Swedia (Januari 1993) 
IHK 
1-3% 
sepanjang masa 
Inggris (Oktober 1992) 
tingkat bunga cicilan property 
Dibawah 2.5% 
sampai berakhir parlemen 
Tabel dikutip dari (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997) 
Pertumbuhan ekonomi yang ideal ditandai dengan terpenuhinya stabilisasi harga. Stabilisasi harga tidak diartikan sebagai perekonomian tanpa inflasi. Tapi biasanya diartikan mendekati 2 persen per tahun (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997). Dalam jangka panjang, inflasi yang tinggi tidak pernah berkaitan erat dengan turunnya pengangguran. Stabilisasi harga adalah pilihan kebijakan yang ideal dalam menangani pengangguran di jangka panjang. Meskipun pada sisi lain, stabilisasi harga dalam jangka
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
28 
pendek justru bertentangan dengan tujuan penyediaan lapangan kerja dan stabilisasi suku bunga. 
Secara umum terdapat tiga bentuk mekanisme kebijakan untuk mencapai stabilisas harga: penargetan moneter (monetary targetting), penargetan inflasi (inflation targetting), kebijakan moneter dengan jangkar implisit—bukan eksplisit (Mishkin, 2007). Berikut penjelasan detailnya: 
1. Penargetan Moneter (Monetary Targetting). 
Kebijakan ini dilakukan dengan menargetkan pencapaian angka dan nilai tertentu dari tingkat pertumbuhan tahunan agregat moneter. Misalnya, 5% tingkat pertumbuhan M1 dan atau 6% tingkat pertumbuhan M2. Dalam hal ini, bank sentral akan berupaya secara maksimal memenuhi target yang sudah ditetapkan tersebut. 
Melalui mekanisme kebijakan ini, bank sentral bisa secara langsung memberi sinyal-sinyal kepada publik dan pasar khususnya terkait arah kebijakan moneter dan inflasi ke depan. Pada kelanjutannya, sinyal dari bank sentral ini bisa membantu memperbaiki perkiraan inflasi dan menghasilkan inflasi yang lebih rendah. Penargetan moneter juga menunjukkan akuntabilitas kebijakan moneter untuk mempertahankan inflasi yang rendah, sehingga membantu membatasi para pengambil kebijakan moneter agar tidak terperangkap pada ketidakkonsistenan waktu. 
Namun, di sisi lain penargetan moneter juga memiliki sejumlah kendala. Hal ini bisa dilihat apabila tujuan dan penargetan moneter tidak sejalan. Jika hubungan antara agregat moneter dan variabel tujuan lemah, penargetan moneter tidak bisa bekerja. Contoh kasusnya seperti di Amerika Serikat. Pada negara ini hubungan antara penargetan aggregat moneter dan variabel tujuan tidak kuat. Maka penargetan moneter tidak membantu memperbaiki perkiraan inflasi dan sama sekali tidak merupakan petunjuk yang baik dalam menilai akuntabilitas bank sentral, sehingga komunikasi yang terpercaya antara pihak bank sentral dan publik secara luas tidak bisa terpenuhi. Terkadang bahkan kestabilan besaran moneter sulit dikendalikan, yakni ketidak stabilan hubungan tingkat perputaran uang. 
2. Penargetan Inflasi (Inflation Targetting). 
Penargetan inflasi termasuk salah satu instrumen untuk mencapai stabilisasi harga. Penargetan inflasi mencakup beberapa unsur: 1) pengumuman kepada publik mengenai target-target numerik jangka panjang menengah untuk inflasi; 2) komitmen institusi atas stabilisasi harga sebagai tujuan utama dan jangka panjang kebijakan moneter dan komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi; 3) pendekatan penyertaan informasi (infomation- inclusive approach) di mana banyak variabel (tidak hanya aggregat moneter) digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan moneter; 4) transparansi mengenai strategi kebijakan moneter yang meningkat melalui komunikasi dengan publik dan pasar mengenai rencana dan tujuan pengambil keputusan moneter; 5) akuntabilitas bank sentral yang meningkat untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi. 
Penargetan inflasi memiliki manfaat semisal otoritas moneter bisa menggunakan semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan terbaik terkait kebijakan moneter yang bakal diambil. Penargetan inflasi juga bisa lebih mudah dipahami publik dan lebih transparan, dibandingkan dengan penargetan moneter yang tidak mampu memberikan sinyal secara akurat. 
3. Kebijakan Moneter dengan Jangkar Nominal Implisit. 
Strategi kebijakan ini memberlakukan pengontrolan terhadap inflasi dalam jangka panjang, dan memiliki orientasi ke depan (forward looking). Otoritas moneter memantau secara ketat laju inflasi dan melakukan intervensi secara efisien dengan mempertimbangkan informasi terkait sinyal-sinyal target inflasi di masa depan. Namun, sifat dari kebijakan ini tidak diumumkan secara terbuka kepada publik, sehingga bersifat rahasia atau sekedar implicit policy.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
29 
Penargetan Inflasi di Indonesia 
Penargetan inflasi di Indonesia diatur sepenuhnya oleh Bank Indonesia. Tapi, sejak keluarnya UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah. Bank Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah menetapkan target atau sasaran inflasi. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) (www.bi.go.id). 
Penargetan inflasi diharapkan dijadikan acuan bagi masyarakat secara luas. Penargetan itu ditujukan agar geliat perekonomian berjalan lebih optimal, mengingat kondisi kenaikan harga menjadi lebih stabil dan terukur. Masyarakat diharapkan bisa mengacu pada nilai yang sudah ditargetkan tersebut. Berikut tabel inflasi aktual dan penargetan inflasi selama beberapa tahun: 
Perbandingan Inflasi Aktual dan Penargetannya 
Tahun 
Aktual 
Target 
2001 
12.55 
6 
2002 
10.03 
10 
2003 
5.06 
10 
2004 
6.4 
6.5 
2005 
17.11 
7 
2006 
6.6 
9 
2007 
6.59 
7 
2008 
11.06 
6 
2009 
2.78 
6.5 
2010 
6.96 
6 
Berikut ini mari perhatikan grafik IHK (Indeks Harga Konsumen) Indonesia menurut World Bank di bawah ini: 
Dari grafik IHK diketahui adanya kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). Hal itu bukan berarti penargetan inflasi gagal dalam mengontrol kenaikan harga dalam jangka panjang. Stabilisasi harga dalam prakteknya bukan berarti inflasi bernilai nol. Akan tetapi 
0 
20 
40 
60 
80 
100 
120 
140 
160 
2001 
2002 
2003 
2004 
2005 
2006 
2007 
2008 
2009 
2010 
IHK 
IHK
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
30 
biasanya tingkat rata-rata kenaikan harga bernilai mendekati 2% per tahun (Bernanke & Miskin, 1997). 
Dalam penelitian lanjutan, didapat hasil berikut ini: 
Negara Jangka Waktu Disinflasi (thn) Inflasi Awal (%) Inflasi Akhir (%) Sacrifice Ratio Selandia Baru 6.25 15.38 1.13 2.05 Kanada 2.75 5.25 1.09 3.04 Australia 3.75 7.62 1.4 1.87 Inggris 3.75 8.64 2.16 2.19 Swedia 2.75 9.55 3.21 0.53 
Sumber dari (Ben S. Bernanke et.all, 1999) 
Penelitian Sebelumnya 
Beberapa studi empiris telah memberikan bukti adanya hubungan signifikan antara variabel-variabel moneter terhadap pengangguran dan variabel riil lainnya.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
31 
No 
Nama 
Judul 
Tahun 
Masalah 
Metodologi 
Temuan 
1 
Christian E. Weber 
Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and Okun's Coefficient 
1995 
Pengujian hukum okun di Amerika pasca krisis 
Dynamic VAR 
Pengangguran dan Pertumbuhan ekonomi 
2 
Michael Parkin 
Unemployment, Inflation, and Monetary Policy 
1998 
Kebijakan moneter mempengaruhi pengangguran dan inflasi 
Model DGE (Dynamic General Economy Equilibrium) Monetary 
Kebijakan stabilisasi moneter menstabilkansektor riil. 
3 
Fajar Bambang Hirawan 
Efektivitas Quantum Channel Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Studi Kasus Indonesia Tahun 1993- 2005 
2007 
Mekanisme quantum channeldi Indonesia masa sebelum krisis, masa krisis, dan masa setelah krisis. Bagaimanakah quantum channel mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 
Analisis standar deviasi dan koefisien variasi, koefisien korelasi, dan granger causality test 
Pada masa sebelum krisis, metode quantum channel yang stabil adalah jalur kredit. Di masa krisis, metode quantum channel yang lebih stabil adalah jalur uang. Pasca krisis, metode quantum channel yang lebih stabil dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur kredit. 
4 
Charles Onyeiwu 
Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria 
2012 
Peran kebijakan moneter Nigeria terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. 
Ordinary Least Square(OLS) 
Kebijakan moneter tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi di Nigeria
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
32 
Metodologi 
Pada penelitian ini, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS) antara berbagai variabel, yakni: pengangguran, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar, nilai tukar, tingkat suku bunga dan inflasi. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 1996 sampai tahun 2010. Data diambil dari World Bank dan Badan Pusat Statistik. 
Penelitian ini menggunakan metode OLS karena untuk melihat seberapa besar efektifitas pengaruh variabel moneter dengan fokus pada kebijakan penargetan inflasi terhadap pengangguran Indonesia. Penelitian ini tidak bermaksud melihat shock (guncangan) pada satu variabel terhadap variabel yang lain secara timbal balik. Mengingat penargetan inflasi adalah kebijakan untuk stabilisasi harga jangka panjang, maka metode OLS lebih tepat digunakan sebagai alat analisis. 
Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 
Unemt = Rirt + Xratet + Inflasit + M2t + PDBt + et 
Dimana: 
Unempt adalah variabel unemployment pada periode t. Data diukur dalam satuan %. 
Rirt adalah variabel real interest rate pada periode t. Data diukur dalam satuan %. 
Xratet adalah variabel exchange rate pada periode t. Data diukur dalam satuan rupiah per dollar. 
Inflasit adalah variabel inflasi pada periode t. Data diukur dalam satuan %. 
M2t adalah variabel money supply pada periode t. Data diukur dalam satuan %. 
PDBt adalah variabel Produk Domestik Bruto pada periode t, diukur triliun rupiah. 
Sebelum dilakukan estimasi maka data dicek terlebih dahulu apakah stasioner atau tidak. Setelah semua data stasioner maka dilakukan estimasi regresi dengan metode OLS yakni meminimumkan nilai error sehingga didapatkan hasil yang efisien. Hasil estimasi yang didapat kemudian dilakukan uji asumsi klasik agar tidak mengandung masalah dalam model. 
Hasil dan Pembahasan 
Dependent Variable: UNEM 
Method: Least Squares 
Date: 03/14/13 Time: 11:02 
Sample (adjusted): 1998 2010 
Included observations: 13 after adjustments 
Convergence achieved after 16 iterations 
Variable 
Coefficient 
Std. Error 
t-Statistic 
Prob. 
C 
-1.308268 
0.379512 
-3.447239 
0.0137 
RIR 
0.008406 
0.003534 
2.378409 
0.0549 
XRATE 
8.96E-05 
3.09E-05 
2.897104 
0.0274 
INFLASI 
0.769501 
0.383433 
2.006872 
0.0916 
M2_GROWTH 
0.388278 
0.341643 
1.136503 
0.2991 
PDB 
-1.32E-07 
3.33E-08 
-3.958174 
0.0075 
AR(1) 
0.132136 
0.287040 
0.460340 
0.6615 
R-squared 
0.869159 
Mean dependent var 
0.031733 
Adjusted R-squared 
0.738318 
S.D. dependent var 
0.125091 
S.E. of regression 
0.063990 
Akaike info criterion 
-2.356445 
Sum squared resid 
0.024568 
Schwarz criterion 
-2.052241 
Log likelihood 
22.31689 
Hannan-Quinn criter. 
-2.418972 
F-statistic 
6.642866 
Durbin-Watson stat 
1.774342 
Prob(F-statistic) 
0.018233 
Inverted AR Roots 
.13
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
33 
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan bahwa koefisien dari variabel real interest rate, exchange rate, inflasi, dan GDP bernilai signifikan, sedangkan variabel money supply bernilai tidak signifikan terhadap pengangguran pada derajat 10%. Pada perhitungan kasar di atas terdapat masalah autokorelasi. Maka melalui pengolahan data, memungkinkan kita menghilangkannya. 
Nilai koefisien real interest rate adalah 0,008406 yang berarti bahwa ketika bank sentral menaikkan tingkat suku bunga sebesar 1% maka akan meningkatkan pengangguran sebesar 0,008406% dari total labor force. Hal ini menunjukkan ketika pemerintah memberlakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menaikkan tingkat suku bunga, akan ada peningkatkan pengangguran.Tentu saja kondisi sebaliknya akan dipilih untuk menurunkan pengangguran. 
Koefisien Variabel exchange rate bernilai positif terhadap pengangguran sebesar 0,000000896%. Saat nilai tukar mata uang rupiah terapresiasi sebesar 1 rupiah terhadap dolar Amerika, pengangguran akan meningkat. Hal itu terjadi karena saat ini Indonesia sedang bersaing dengan negara lain meningkatkan ekspor produk-produknya ke luar negeri. Jika nilai tukar terapresiasi, produk-produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar internasional, sehingga sektor industri domestik menjadi kurang baik. 
Indonesia sejak krisis 1997 tidak menerapkan penargetan nilai tukar (exchange rate targeting). Berbeda dengan Cina yang dengan sengaja merendahkan nilai tukar Yuan terhadap dolar Amerika, guna mendorong ekspor produknya. Hal ini karena Indonesia menganut perekonomian terbuka kecil, dengan mobilitas dana luar negeri yang cukup tinggi. Akibat buruknya kebijakan moneter menjadi tidak independen, rentan terhadap tindakan spekulasi dan terkena dampak buruk jika di salah satu negara besar terjadi gunjangan. 
Koefisien variabel inflasi menunjukkan angka sebesar 0,769501. Hal ini menandakan saat tingkat inflasi naik sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan menurun, dan pada akhirnya meningkatkan pengangguran sebesar 0,769501%. Bank sentral melalui kebijakan targeting inflation framework dapat mengontrol laju inflasi yang pada gilirannya dapat menekan laju pengangguran. 
Hasil estimasi Pertumbuhan money supply bernilai 0,388278. Berdasarkan hasil pengolahan data di atas didapatkan hasil bahwa variabel jumlah uang yang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Ini sebagai penegas bahwa sebenarnya otoritas moneter di Indonesia lebih memilih pengontrolan inflasi sebagai upaya tercapainya stabilisasi harga, dan bukan pengontrolan aggregat moneter berupa money supply. 
Koefisien Gross Domestic Product bernilai -0,000000132. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika GDP menurun sebesar 1 triliun rupiah, pengangguran akan meningkat sebesar 0,00000000132%. Ringkasnya adalah negara mengalami penurunan produktifitas. Sebagai contoh saat anggaran belanja pemerintah berkurang, maka akan semakin sedikit lapangan pekerjaan yang tersedia dan pada gilirannya pengangguran akan meningkat. 
Penutup 
Tulisan ini menganalisis efek dari kebijakan penargetan inflasi terhadap pengangguran. Hasil penelitian dengan metode OLS menemukan hubungan signifikan antara tingkat suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan PDB terhadap pengangguran. Sedangkan jumlah uang beredar tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan moneter Indonesia, yakni mengendalikan inflasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah dan sektor swasta dapat berperan secara maksimal menentukan kebijakan yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan menekan laju pengangguran di jangka panjang.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
34 
Daftar Pustaka 
Arifin, Sjamsul (ed.), (2008), Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah Krisis, Jakarta: Elex Media Komputindo. 
Bernanke, Ben S. and Frederic S. Mishkin, ( Spring1997), ―Inflation Targeting: A New Framework for Monetary Policy?‖, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 11, No. 2, 97 – 116. 
Bernanke, Ben S. et. all, (1999) Inflation Targeting –Lesson from the International Experience, Princeton University Press. 
BPS (Badan Pusat Statistik). 
Christiano, Lawrence J., (Feb. 1996), ―The Effects of Monetary Policies: Evidence from the Flow of Funds‖, The Review of Economics and Statistics, vol. 78, No. 1, 16 – 34. 
Friedman, Milton, (March 1968), ―The Role of Monetary Policy‖, American Economic Review, vol. 1, No. 58, 1 – 17. 
Hirawan, Fajar Bambang, (Januari 2007), ―Efektivitas Quantum Channel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter‖, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, vol. 7, No. 02, 53 – 73. 
Hoover, Kevin D., (March 1988), ―Money, Prices and Finance in the New Monetary Economics‖, Oxford Economic Papers, vol. 40, No. 1, 150 – 167. 
Mishkin, Frederic S., (2007), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Boston: Pearson International Edition. 
Onyeiwu, Charles, (2012), ―Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria‖, Journal of Economics and Sustainable Development, vol. 3, No. 7, 62 – 69. 
Parkin, Michael, (Nov. 1998), ―Unemployment, Inflation, and Monetary Policy‖, The Canadian Journal of Economics, vol. 13, No. 5, 1003 – 1032. 
Pilbeam, Keith, (2006), International Finance, New York: Palgrave. 
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, (2006), Pembangunan Ekonomi, terj., Andri Yelvi, jilid 1 & 2, Jakarta: Erlangga. 
Weber, Christian E., (Oct. – Dec. 1995), ―Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and Okun‘s Coefficient: A new Approach‖, Journal of Applied Econometrics, vol. 10, No. 4, 433 – 445. 
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Bank+Indonesia+dan+Inflasi/pengendalian.htm
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
35 
PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN PENGEMBANGAN KARIR TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN 
Galuh Tresna Murti 
Aurora Angela 
Ernie Soedarwati 
Magister Ilmu Ekonomi dan Bisnis 
Universitas Padjadjaran 
Abstract 
This purpose of this research is to examine the human resources behavioral that accour in an corporation and how it’s affect the company performance. In this research, writer simply to choose an indicator of the company performance by using ROA ( return on assets ) and performance indicators of an employee with discipline of work and career development in Koperasi Usaha Pupuk Kujang with employees as a respondents. Method research used is survey method. The research concludes that there is a positive and significant influence between the disiplines of work with the company performance. There are also positive and significant influence between the career development with the performance of the company. And there is a positive and significant influence between the disiplince of work and career development with the performance of the company. 
Keywords : Dicipline of Work, Career Development, and Return on Assets (ROA) 
I. PENDAHULUAN 
Pengembangan koperasi dalam dimensi pembangunan nasional yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah kesenjangan pendapatan antar golongan dan antar pelaku, ataupun penyerapan tenaga kerja. Lebih dari itu, pengembangan koperasi diharapkan mampu memperluas basis ekonomi dan dapat memberikan kontribusi dalam mempercepat perubahan struktural, yaitu dengan meningkatnya perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional. 
Diantara berbagai sumber daya yang dimiliki koperasi adalah sumber daya manusia. Hal ini yang paling penting dan strategis karena merupakan faktor penggerak kegiatan koperasi. Disamping itu, hanya manusia yang memiliki perilaku, sifat, karakteristik yang bervariasi, memiliki kemampuan berfikir rasional dan kreatif, memiliki kepribadian serta nilai-nilai yang perlu dihargai dan dikembangkan, dapat dikatakan kunci keberhasilan setiap organisasi saat ini terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. 
Mengingat betapa organisasi sangat berkepentingan dengan kinerja pegawai, peningkatan kinerja tidak dapat diserahkan kepada pegawai semata. Organisasi harus mengembangkan suatu program atau kebijakan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Faktor kepemimpinan yang bisa mengarahkan, membimbing dan memberikan suri tauladan yang baik bagi pegawai dalam melaksanakan aturan-aturan perusahaan juga merupakan salah satu faktor meningkatnya kinerja karyawan. Selain itu faktor ketersediaan pengembangan karir yang jelas disertai dengan bimbingan karir bagi pegawai sangat menentukan tingkat kinerja pegawai, karena dengan adanya pengembangan karir yang jelas, pegawai termotivasi untuk dapat meraih karir yang mereka inginkan, dan tentu saja hal tersebut meningkatkan kinerjanya. Kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugasnya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kinerja pegawai yang bersangkutan.
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
36 
Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang telah diperoleh fakta bahwa kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami fluktuasi, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. 
Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu 
periode 2006 – 2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11 
Tingkat produktivitas laba bersih per individu 
Rp juta/orang/tahun 
Na 
na 
7,8 
2,4 
4,1 
16,75 
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 
Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu periode 2006 – 2011 
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 
Pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang mengalami penurunan dari Rp. 7.800.000,- per orang selama tahun 2008 menjadi Rp. 2.400.000,- per orang selama tahun 2009, kemudian mengalami peningkatan sebesar Rp. 4.100.000,- per orang selama tahun 2010, dan mengalami peningkatan yang drastis pada tahun 2011 sebesar Rp. 16.750.000,- per orang, sementara untuk tahun 2006 dan 2007 belum adanya data yang akurat yang bisa menggambarkan tingkat produktivitas laba bersih per individu. 
Tingkat produktivitas laba bersih per individu yang mengalami fluktuasi tersebut mengindikasikan adanya permasalahan mengenai kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Tingkat produktivitas sering dihubungkan dengan kinerja, performansi dengan memberikan penekanan pada efisiensi. 
Survey awal selanjutnya yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang telah diperoleh fakta bahwa disiplin karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator disiplin kerja yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat kehadiran dan tingkat keterlambatan masuk kerja periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Pencapaian tingkat kehadiran karyawan dan tingkat keterlambatan masuk kerjapun mengalami fluktuasi, hal ini mengindikasikan adanya 
0 
5 
10 
15 
20 
2006 
2007 
2008 
2009 
2010 
2011 
Tingkat produktifitas 
laba bersih per individu
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
37 
permasalahan mengenai disiplin kerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. 
Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011 
Key Performance Indicators 
(KPI) 
UoM 
06 
07 
08 
09 
10 
11 
Tk. Kehadiran 
% Rata-rata 
96 
95 
94,4 
94 
96,8 
96,4 
Tk, Keterlambatan Masuk Kerja 
% Rata-rata 
7,5 
4 
4,7 
3,5 
8,64 
4,16 
Sumber: Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 
Pencapaian Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011 
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 
Fakta selanjutnya adalah pengembangan karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator pengembangan karyawan yang dicerminkan dalam jam pelatihan periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Jam pelatihan karyawan koperasi yang berfluktuasi tersebut mengindikasikan permasalahan mengenai pengembangan pegawai di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. 
Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11 
Jam Pelatihan Karyawan 
Cumm.jam/orang/tahun 
18,7 
25 
29,2 
17,6 
na 
na 
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 
Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011 
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 
0 
20 
40 
60 
80 
100 
120 
2006 
2007 
2008 
2009 
2010 
2011 
Tingkat kehadiran 
pegawai 
0 
5 
10 
15 
20 
25 
30 
35 
2006 
2007 
2008 
2009 
2010 
2011 
Jam Pelatihan
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
38 
Permasalahan-permasalahan diatas dapat menyebabkan turunnya kinerja karyawan serta secara keseluruhan adalah penurunan kinerja Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dan berdampak pada pelayanan yang diberikan terhadap anggota Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selaku stock holders dan semua pihak yang berkepentingan (stake holders). 
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang dapat diukur menggunakan pendekatan Key Performance Indicator (KPI), dalam penelitian ini penulis hanya memilih indikator disiplin kerja dan pengembangan karir di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang. 
II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 
2.1 Pengukuran Kinerja Perusahaan 
Stoner dan Freeman (1992:6) memberikan penjelasan mengenai kinerja organisasi sebagai : 
―The measure of how well organizations do their job.‖ 
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya kinerja organisasi dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan. 
Dalam hubungannya dengan hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan, maka perlu dilakukan penilaian atas hasil kinerja tersebut. Atkinson,et.al., (1995 : 46) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut : 
―Performance measurement is measure the performance of each activity in the process (value chain) from the perpective of customer requirement while assuring that the overall performance of activities meets the requirements of the organization’s other stakeholders‖. 
Martin et al., (1995: 138) menyatakan bahwa profitabilitas juga berfungsi sebagai indikator kinerja pengelolaan perusahaan, efektivitas manajemen, alat untuk memproyeksi laba dan sebagai alat pengendalian manajemen. Profitabilitas jangka panjang sangat penting untuk diamati mengingat keuntungan yang memadai diperlukan untuk mempertahankan arus sumber – sumber modal perusahaan dan untuk kelangsungan hidup perusahaan (going concern). Teknik analisis profitabilitas melibatkan hubungan antara pos – pos tertentu dalam laporan keuangan, yaitu pada laporan laba rugi untuk memperoleh ukuran – ukuran yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai efisiensi dan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. 
Gaspersz (2002:40) menyatakan bahwa untuk menilai profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui rasio profitabilitas perusahaan itu sendiri. Menurut Gaspersz (2002:40) rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan melalui keuntungan (laba) yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan yang sering digunakan untuk menggambarkan profitabilitas suatu perusahaan, yaitu Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE). Dalam penelitian ini peneliti memilih mengunakan indikator ROA untuk mengukur kinerja perusahaan. 
Return On Asset (ROA) merupakan perbandingan antara net income dengan total assets, rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar. Perhitungan ROA terdiri dari: 
1. Menghitung Earning Before Tax (EBT) laba perusahaan (bank) sebelum dikurangi pajak. 
2. Menghitung keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh bank yang terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap. 
Formula perhitungan ROA yang digunakan sebagai berikut:
Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 
Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 
39 
2.2 Disiplin Kerja 
Menurut Henry Simamora (1995:565), disiplin adalah ―bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di dalam suatu organisasi.‖ Kedisiplinan harus ditegakkan dalam organisasi, karena tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, maka sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedisiplinan merupakan kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. 
Dalam menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu perusahaan dengan harapan karyawan mengerjakan pekerjaannya dengan seefektif dan seefesien mungkin sehingga pada akhirnya kinerja perusahaan diharapkan meningkat. 
2.3 Pengembangan Karir 
Pengembangan karir menurut Andrew J. Furbin (1982:197) sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Prabu (2007:77) adalah : ―Career Development, from the standpoint of the organization, is the personnel activity which helps individuals plan their future career within enterprise, in order to help the entreprise achieve and the employee achieve maximum self- development‖. Berdasarkan pendapat Andrew J. Durbin ini, pengembangan karir adalah aktivitas kepegawaian yang membantu pegawai merencanakan karir masa depannya di perusahaan, agar perusahaan dan pegawai dapat mengembangkan diri secara maksimum. 
Sementara menurut Henry Simamora (1995:410), pengembangan karir adalah ―pendekatan formal yang diambil suatu organisasi untuk memastikan bahwa orang-orang dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan.‖ Pengertian Pengembangan karir menurut Bernandin & Russel (1993:341) sebagaimana yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:215) adalah sebagai berikut : 
―A Career development system is a formal, organized, planned effort to achieve a balance between individual career needs and organizational workforce requirement. It is mechanism for meeting the present and future human resources needs of an organization.‖ 
Dua proses utama dalam pengembangan karir dikemukakan oleh pendapat dari Bernandin & Russel (1993:341) yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:214), yakni : 
a. Career planning 
b. Career management 
2.4 Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis 
2.4.1 Pengaruh Disiplin Kerja terhadap Kinerja Perusahaan 
Disiplin kerja pegawai sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, hal tersebut terlihat dari pendapat-pendapat dari pakar berikut ini : Malayu S.P Hasibuan (2001:190) dengan jelas mengatakan bahwa : 
―Semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal.‖ 
Menurut Prijodarminto (1994:23) ―Disiplin merupakan suatu kondisi yang terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.‖ Dengan indikator penelitian sebagai berikut : 
1. Pegawai datang tepat waktu. 
2. Pegawai pulang tepat waktu. 
3. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik . 
Return on Assets (ROA) =Laba sebelum pajakRata-rata total aset
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013
PROCEEDINGS MIE 2013

More Related Content

What's hot

Bab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATAN
Bab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATANBab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATAN
Bab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATAN
xNet8
 
Makalah pengangguran
Makalah pengangguranMakalah pengangguran
Makalah pengangguran
Neo Fakhlur
 
Perkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatan
Perkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatanPerkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatan
Perkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatan
Reinhart Tresnadiputra
 
Judul judul kti tentang ekonomi
Judul judul kti tentang ekonomiJudul judul kti tentang ekonomi
Judul judul kti tentang ekonomi
Yasirecin Yasir
 
Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...
Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...
Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...
Bambang Deswantoro
 

What's hot (16)

Pertumbuhan & kemiskinan
Pertumbuhan & kemiskinanPertumbuhan & kemiskinan
Pertumbuhan & kemiskinan
 
Makalah pertumbuhan ekonbomi
Makalah pertumbuhan ekonbomiMakalah pertumbuhan ekonbomi
Makalah pertumbuhan ekonbomi
 
Makalah pengangguran
Makalah pengangguran Makalah pengangguran
Makalah pengangguran
 
Bab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATAN
Bab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATANBab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATAN
Bab 4 kemiskinan dan KESENJANGAN PENDAPATAN
 
Makalah demografi
Makalah demografiMakalah demografi
Makalah demografi
 
Makalah pengangguran
Makalah pengangguranMakalah pengangguran
Makalah pengangguran
 
Perkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatan
Perkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatanPerkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatan
Perkondo kemiskinan & kesenjangan pendapatan
 
135703705 02-indikator-pembangunan
135703705 02-indikator-pembangunan135703705 02-indikator-pembangunan
135703705 02-indikator-pembangunan
 
Pengangguran
Pengangguran Pengangguran
Pengangguran
 
Judul judul kti tentang ekonomi
Judul judul kti tentang ekonomiJudul judul kti tentang ekonomi
Judul judul kti tentang ekonomi
 
Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...
Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...
Makalah industri kreatif solusi mengatasi pengangguran terdidik di kalimantan...
 
TR__9 TREND DEMOGRAFI.pdf
TR__9 TREND DEMOGRAFI.pdfTR__9 TREND DEMOGRAFI.pdf
TR__9 TREND DEMOGRAFI.pdf
 
Pengangguran
PengangguranPengangguran
Pengangguran
 
Bonus Demografi
Bonus DemografiBonus Demografi
Bonus Demografi
 
Strategi pemberdayaan pn_pm-libre
Strategi pemberdayaan pn_pm-libreStrategi pemberdayaan pn_pm-libre
Strategi pemberdayaan pn_pm-libre
 
94035530 definisi-pembangunan-ekonomi
94035530 definisi-pembangunan-ekonomi94035530 definisi-pembangunan-ekonomi
94035530 definisi-pembangunan-ekonomi
 

Similar to PROCEEDINGS MIE 2013

Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa TimurSustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
Tri Cahyono
 

Similar to PROCEEDINGS MIE 2013 (20)

Kontribusi unsur unsur perkembangan ekonomi indonesia terhadap kemiskinan di ...
Kontribusi unsur unsur perkembangan ekonomi indonesia terhadap kemiskinan di ...Kontribusi unsur unsur perkembangan ekonomi indonesia terhadap kemiskinan di ...
Kontribusi unsur unsur perkembangan ekonomi indonesia terhadap kemiskinan di ...
 
Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa TimurSustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
Sustainable livelihood approach Pada Nelayan di Jawa Timur
 
Kemiskinan dan Kesenjangan (Perekonomian Indonesia BAB 3)
Kemiskinan dan Kesenjangan (Perekonomian Indonesia BAB 3)Kemiskinan dan Kesenjangan (Perekonomian Indonesia BAB 3)
Kemiskinan dan Kesenjangan (Perekonomian Indonesia BAB 3)
 
804-1273-1-PB.pdf
804-1273-1-PB.pdf804-1273-1-PB.pdf
804-1273-1-PB.pdf
 
Ilmu Pengetahuan Sosial - Sumber Daya Manusia
Ilmu Pengetahuan Sosial - Sumber Daya ManusiaIlmu Pengetahuan Sosial - Sumber Daya Manusia
Ilmu Pengetahuan Sosial - Sumber Daya Manusia
 
135703705 02-indikator-pembangunan
135703705 02-indikator-pembangunan135703705 02-indikator-pembangunan
135703705 02-indikator-pembangunan
 
05.2 bab 2.docx
05.2 bab 2.docx05.2 bab 2.docx
05.2 bab 2.docx
 
05.2 bab 2.docx
05.2 bab 2.docx05.2 bab 2.docx
05.2 bab 2.docx
 
Makalah Dampak Kemiskinan IPAS.docx
Makalah Dampak Kemiskinan IPAS.docxMakalah Dampak Kemiskinan IPAS.docx
Makalah Dampak Kemiskinan IPAS.docx
 
94035530 definisi-pembangunan-ekonomi
94035530 definisi-pembangunan-ekonomi94035530 definisi-pembangunan-ekonomi
94035530 definisi-pembangunan-ekonomi
 
Mr_KEl3_Kemiskinan.pptx
Mr_KEl3_Kemiskinan.pptxMr_KEl3_Kemiskinan.pptx
Mr_KEl3_Kemiskinan.pptx
 
Kependudukan dan pengangguran
Kependudukan dan pengangguranKependudukan dan pengangguran
Kependudukan dan pengangguran
 
Policy Brief Pembangunan Wawasan Kependudukan
Policy Brief Pembangunan Wawasan KependudukanPolicy Brief Pembangunan Wawasan Kependudukan
Policy Brief Pembangunan Wawasan Kependudukan
 
Pembangunan dan Kemiskinan_materi 9.pptx
Pembangunan dan Kemiskinan_materi 9.pptxPembangunan dan Kemiskinan_materi 9.pptx
Pembangunan dan Kemiskinan_materi 9.pptx
 
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomiPembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
 
SKRIPSI YOLANDA ASLI.docx
SKRIPSI YOLANDA ASLI.docxSKRIPSI YOLANDA ASLI.docx
SKRIPSI YOLANDA ASLI.docx
 
TUWEB 1.pptx
TUWEB 1.pptxTUWEB 1.pptx
TUWEB 1.pptx
 
TUGAS EKONOMI ( PEMBANGUNAN EKONOMI).pptx
TUGAS EKONOMI ( PEMBANGUNAN EKONOMI).pptxTUGAS EKONOMI ( PEMBANGUNAN EKONOMI).pptx
TUGAS EKONOMI ( PEMBANGUNAN EKONOMI).pptx
 
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan
 
Isu pengembangan wilayah
Isu pengembangan wilayah  Isu pengembangan wilayah
Isu pengembangan wilayah
 

Recently uploaded

presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
HALIABUTRA1
 
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Riyadh +966572737505 get cytotec
 
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalelaDAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
armanamo012
 
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh ImplementasiPengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
GustiAdityaR
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
galuhmutiara
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
jaanualu31
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
langkahgontay88
 

Recently uploaded (20)

Introduction fixed asset (Aset Tetap).ppt
Introduction fixed asset (Aset Tetap).pptIntroduction fixed asset (Aset Tetap).ppt
Introduction fixed asset (Aset Tetap).ppt
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
 
KEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNIS
KEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNISKEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNIS
KEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNIS
 
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
 
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalelaDAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
 
Cara memulai bisnis/usaha baru bagi wirausaha
Cara memulai bisnis/usaha baru bagi wirausahaCara memulai bisnis/usaha baru bagi wirausaha
Cara memulai bisnis/usaha baru bagi wirausaha
 
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh ImplementasiPengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
 
MOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptx
MOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptxMOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptx
MOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptx
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
 
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
 
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxPSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
 
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxPERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
 

PROCEEDINGS MIE 2013

  • 1. 0
  • 2. i PROCEEDINGS of “Population and Human Resources Development” Volume 2 National Conference April 24 and 25th, 2013 Master of Economic Sciences Padjadjaran University, Bandung Hak Cipta © 2013 pada Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press Disusun oleh : Tim Ahli National Conference 2013 Editor : Tim Ahli National Conference 2013 Desain Sampul : Tim Ahli National Conference 2013 ISBN 978–602–9238–45–7 Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi karya ilmiah ini serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press. © HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG
  • 3. ii Ketentuan Umum Proceedings Setiap penulis mematuhi izin publikasi yang bertanggungjawab atas informasi dalam manuskrip masing-masing. Pihak penerbit berhak menyunting dan mengedit setiap tulisan yang masuk, tanpa mengurangi maksud dan tujuan tulisan. Semua informasi dalam karya ilmiah ini tidak mencerminkan kebijakan resmi Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD. Setiap naskah yang diterbitkan berada dalam wewenang Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD, dan tidak untuk dimuat di lembaga manapun. Hak milik tetap berada di tangan penulisnya. Proceedings of Population and Human Resources Development adalah kumpulan karya ilmiah hasil konferensi nasional tahunan yang diadakan oleh Departemen Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran (UNPAD). Diterbitkan atas kerjasama Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press. Beralamat di Jl. Cimandiri No. 6 – 8 Bandung. Bagi pihak yang tertarik atau hendak berkomunikasi terkait Proceedings bisa menghubungi: Telepon (022) 4267779, Faximile (022) 4267780 atau email: mie@fe.unpad.ac.id. Website: http://mie.fe.unpad.ac.id.
  • 4. iii DAFTAR ISI Lembar Judul i Ketentuan Umum Proceedings ii Daftar isi iii 1. Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi 1 Abdul Holik 2. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pengangguran 20 Abdul Holik dan Aisyah Rosadi 3. Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan 35 Galuh Tresna Murti, Aurora Angela dan Ernie Soedarwati 4. Monitoring dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit Serta Dampaknya terhadap Prioritas Pelayanan Rumah Sakit 48 Herny Nurhayati, Reinhard Chrismantsa dan Mawar Novita Yulianty 5. Analysis of High Education Labor towards GDP in Indonesia ―Analisis Tenaga Kerja Berpendidikan Terhadap GDP di Indonesia‖ 64 Ahmad Kafrawi Mahmud dan Galyn Ditya Manggala 6. Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Bank BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2005-2012 71 Galuh Tresna Murti dan Rakhmini Juwita 7. Pengaruh Fraud risk factors terhadap pendeteksian kemungkinan Fraudulent financial statement 85 Annisa Nurbaiti dan Heikal Muhammad Zakaria 8. Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat 94 Gallyn Ditya Manggala dan Ahmad Kafrawi Mahmud 9. Peranan Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi Terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen 102 Muhammad Syaifullah 10. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi 119 Dahlia, Aditya Amanda Pane dan Marissa Putriana 11. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik serta dampaknya terhadap Good Governance 133 Eka Nurmala Sari 12. Pro dan Kontra Pertumbuhan Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 153 Dian Lestari Siregar, Reti Anggraeini dan Retno Andrini
  • 5. iv DAFTAR ISI 13. Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 162 Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, dan Jacobus Cliff Diky Rijoly 14. Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal dan Kompetensi Pegawai terhadap Pencegahan Fraud 168 Hinny Herliany dan Firda Nur Aisha
  • 6. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 1 Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi Abdul Holik Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran Abstract This research aims to find the fundamental relation between population growth, economic growth and consumption growth in Indonesia, from 1990 until 2011. It uses VECM (Vector Error Correction Model) to find the dynamic relation among them and co-integration in the long-run. This research uses variables such as GDP, population growth, and household final consumption expenditure per capita. Data taken from WDI and ADB. Based on the analysis, the result shows that economic growth (GDP) was supported positively by household final consumption per capita (HFC) and population growth in the long-run. Meanwhile in the short-run, economic growth can also be supported by population growth and HFC. However, neither population growth nor HFC were affected by economic growth. This finding reflects that consumption is still largest part of Indonesia’s GDP performance. Keywords: population, economic growth, social welfare, food security. Pendahuluan Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia bertambah terus. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237,641,326 jiwa. Persentase laju pertumbuhan penduduk saat itu mencapai 1,49 persen per tahun. Sehingga jika diasumsikan tetap, maka pada setiap tahunnya akan terjadi kenaikan penduduk sebesar 3,5 juta jiwa. Secara garis besar, dapat kita lihat jumlah penduduk pada tabel di bawah ini: 1971 1980 1990 1995 2000 2010 119,208,229 147,490,298 179,378,946 194,754,808 206,264,595 237,641,326 Sumber: BPS Namun masalah muncul, karena jumlah penduduk yang banyak itu tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan sosial di masyarakat. Orang miskin di Indonesia masih banyak, meskipun disinyalir mengalami penurunan. Ukuran pengeluaran yang menjadi tolok ukur garis kemiskinan di Indonesia hanya berubah sedikit. Berikut bagannya menurut data BPS: Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, Maret 2011–Maret 2012 Garis Kemiskinan per kapita/ Rp/ Bulan Daerah/ Tahun Makanan Bukan Makanan Total Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin Perkotaan Maret 2011 177 342 75 674 253 016 11,05 9,23 Maret 2012 187 194 80 213 267 408 10,65 8,78
  • 7. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 2 BPS menyebut seseorang disebut miskin jika pengeluarannya dalam sebulan tidak melebihi Rp233.740,- per kapita per bulan pada Maret 2011. Kemudian sejak Maret 2012 ukuran itu naik menjadi Rp248.707,- per kapita per bulan (BPS, 2012: 64). Di sini kendati ukuran tingkat kemiskinan meningkat, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar. Kemiskinan terus menjadi kendala bagi pembangunan Indonesia. Orang miskin yang tidak bisa memenuhi kehidupan layak, menjadi beban pembangunan. Nilai batas kemiskinan itu lebih rendah dari ketetapan Bank Dunia, yakni: US$2 per hari. Padahal, PDB per-kapita Indonesia terus naik: 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 6,775 6,918 7,123 7,353 7,610 7,924 8,237 8,631 9,015 9,294 9,736 10,219 Sumber: BPS (Data PDB Skala 1000) Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan dalam menahan laju pertumbuhan penduduk, mengingat sebaran penduduk dan ketidaksetaraan pendapatan mereka cukup besar terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Prof. Widjodjo Nitisastro—ekonom yang melakukan transformasi perekonomian Indonesia pasca jatuhnya Soekarno—sempat mengingatkan Presiden Sekarno bahayanya ledakan penduduk. Namun Soekarno tidak peduli peringatan tersebut, karena baginya Indonesia membutuhkan jumlah penduduk yang besar sebagai modal kemandirian bangsa dalam bekerja. Soekarno saat itu melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai asset yang suatu saat bisa diberdayakan. Berbeda dengan Soekarno, Presiden Soeharto menerima saran Nitisastro dan memberlakukan program KB (Keluarga Berencana). Program ini berhasil menahan laju pertumbuhan penduduk, sehingga rencana pembangunan bisa fokus pada upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, alih-alih sekedar meningkatkan kuantitas populasi. Nitisastro dan kelompoknya yang disebut ―mafia Berkeley—para ekonom lulusan Berkeley University—memperkuat basis perekonomian Orde Baru, bahkan pengaruhnya masih terasa sampai Kabinet Pembangunan V (Mudrajad Kuncoro, 2007: 86). Kajian Pustaka Dalam konteks kajian ekonomi makro, para ekonom umumnya sepakat apabila jumlah penduduk terlalu besar, akibatnya pertumbuhan perekonomian berjalan lamban. Akibatnya adalah peningkatan kemiskinan dan kelaparan. Food security menjadi amat krusial. Dalam buku, Population Bomb, terbit 1968, Paul R. Ehrlich meramalkan akan adanya bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dunia. Bencana itu disebabkan ketersediaan pangan yang semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia di muka bumi. Ramalan ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Malthus dalam bukunya, An Essay of Principle of Population, terbit tahun 1798. Bagi Malthus, manusia bertambah sejalan dengan deret ukur (geometri), sedangkan kebutuhan pangan bertambah sejalan dengan deret hitung (aritmetika). Kekhawatiran akan munculnya kelaparan dan kemiskinan, serta kekacauan sosial tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan. India pada era 1960-an mengalami kekacauan, berupa kemiskinan dan kelaparan besar-besaran. Pemerintah negara itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya yang jumlahnya sangat besar. Kondisi yang hampir sama juga Pedesaaan Maret 2011 165 211 48 184 213 395 18,97 15,72 Maret 2012 177 521 51 705 229 226 18,48 15,12 Kota + Desa Maret 2011 171 834 61 906 233 740 30,02 12,49 Maret 2012 182 796 65 910 248 707 29,13 11,96
  • 8. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 3 terjadi di Pakistan—tetangga India (pada waktu itu Bangladesh belum ada). Akibat kelangkaan bahan pangan, perang India-Pakistan tidak terhindarkan. Perang memperebutkan sumber makanan pokok berlangsung selama bertahun-tahun, dan semakin memperburuk suasana. Sampai di sini, ramalan kekacauan sosial akibat ledakan penduduk memang terbukti. Untuk mengatasi penduduknya yang amat besar, Deng Xiaoping pada 1979 berupaya melakukan reformasi perekonomian di antaranya dengan pembatasan jumlah kelahiran. Kebijakan ini merupakan adopsi pandangan Neo-Malthusian, yang mengajukan rumusan keterbatasan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertambahan penduduk. Cina menerapkan ―kebijakan satu keluarga satu anak‖ khusus pada suku Han—suku mayoritas Cina—bukan pada suku minoritas (Hongbin Li & Junsen Zhang, 2007: 110). Kebijakan itu nampaknya berhasil mendorong perekonomian Cina tumbuh dengan amat cepat. Namun dalam wacana ekonomi makro pada decade 1950-an, sebagian para teoretis nampaknya cukup optimis dengan kondisi jumlah populasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Solow telah mengingatkan bahwa jumlah populasi yang besar dalam sebuah perekonomian dapat menjadi beban dalam jangka panjang, meskipun ditopang dengan simpanan cukup besar. Terlebih jika populasi itu hanya berisi kelompok masyarakat tidak terdidik. Tetapi Solow merasa yakin bahwa dengan peran ilmu dan teknologi, populasi tidak lagi menjadi beban. Ilmu dan teknologi yang terus berkembang dalam suatu masyarakat dapat memberdayakan populasi yang besar itu, sehingga bisa mendorong perekonomian, dan melaju pesat sampai Kaidah Emas (golden rule) (N. Gregory Mankiw, 2003: 205). Sayangnya Solow tidak menjelaskan determinan teknologi secara detail. Solow dan para ekonom yang sependapat dengannya—seperti kritik Romer—menganggap teknologi di negara berkembang sama dengan kondisi teknologi di negara maju (Romer, 1994: 6). Teknologi dianggap sebagai variabel eksogen. Paul Romer dan para ekonom setelahnya menawarkan gagasan yang lebih maju dengan menjadikan teknologi sebagai variabel endogen. Ia menilai bahwa ketika perkembangan teknologi dapat dikendalikan dan diukur, melalui investasi dan sepenuhnya didukung oleh jumlah pekerja yang banyak, maka pertumbuhan populasi bisa sangat efektif dalam mendorong perekonomian (Romer, 2012: 110). Tapi, populasi saja tanpa teknologi tidak cukup mendorong pertumbuhan (Romer, 1990: S71). Secara sederhana, model pertumbuhan ekonomi Romer didefinisikan menjadi: net output; perubahan level teknologi; stok modal (Romer, 2012: 123). Masalah krusial karena pertumbuhan populasi yang teramat besar adalah kelangkaan sumber daya alam, terutama ketahanan pangan. Misalnya kasus kelaparan di India yang memicu peperangan dengan Pakistan. Namun, kondisi mengerikan itu berakhir ketika di akhir dekade 1960-an muncul Norman Bourlag—tokoh yang menggagas Revolusi Hijau. Green Revolution yang dimunculkan Norman berhasil menciptakan benih bahan pangan yang kuat dan tahan uji pada berbagai kondisi. Pencapaian dan temuan Bourlag sebenarnya sudah dimulai di Meksiko, saat negara itu terkena wabah kelaparan. Karena usahanya mewujudkan India sebagai negara swasembada pangan dan mengakhiri perang, Bourlag kemudian dianugerahkan hadiah Nobel Perdamaian. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, perang India- Pakistan akhirnya usai (Rizal Mallarangeng, 2008: 260–264). Kendati pertumbuhan perekonomian suatu negara perlu ditopang dengan populasi yang besar, tetapi jumlah populasi itu bisa menjadi beban, ketika inovasi teknologi sebagai elemen penting kemajuan masyarakat berjalan lamban atau malah stagnan. Romer melihat output per pekerja adalah sama dengan perkembangan teknologi atau . Laju perkembangan disimbolkan dengan . Fungsi produksi untuk pengetahuan baru adalah: ̇( ) ( ( )) ( ) . Di mana adalah parameter pengubah; fraksi dari labor force yang dicurahkan untuk pengembangan pengetahuan; , dan adalah
  • 9. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 4 parameter yang merefleksikan stok pengetahuan dalam kesuksesan R&D. Dalam persamaan tersebut asumsi kita mengikuti Cobb-Douglas. Romer mendefinisikan menjadi: ( ) ̇( ) ( ) ( ) ( ) Dalam kelanjutannya, Romer melihat stok pengetahuan sebagai hal yang penting agar pertumbuhan berjalan optimal. Ketika stok lebih kecil dari 1, peran perubahan teknologi akan menjadi nol dan tidak bisa untuk mendorong pertumbuhan. Gambarnya seperti kurva di bawah ini: ̇ 0 Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan ketika Pada kurva di atas, ̇ adalah fungsi dari perkembangan . Pada awalnya output per pekerja bertambah seiring dengan naiknya teknologi. Namun dalam jangka panjang teknologi akan menurun, sehingga ̇ sama dengan yakni kondisi puncak kualitas output yang sama dengan nol. Selebihnya, jika labor force ditambah, maka yang terjadi adalah output tidak bisa bertambah, bahkan bertambahnya labor force justru mengembalikan titik jumlah output pada kondisi sebelum ditambahnya labor force. Contoh ini termasuk kondisi ketika populasi berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ilustrasinya seperti kurva di bawah ini: ̇ 0 Efek Peningkatan ketika Di sisi lain Romer mengingatkan kondisi ketika Pada kondisi ini, pengetahuan tambahan ternyata bisa mendorong pertumbuhan secara drastis. Bahkan pertumbuhan pada
  • 10. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 5 titik ini tidak menunjukkan balanced-growth, tetapi fantastis luar biasa. Pengetahuan amat berguna dalam mendongkrak output. Pertambahan labor force dalam R&D akan semakin menaikkan pertumbuhan ekonomi. Di sini terlihat peran pentingnya populasi yang berkontribusi secara positif terhadap pembangunan perekonomian. Kurvanya seperti di bawah ini: ̇ 0 Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan bila Dalam ulasan selanjutnya, Romer melihat perubahan teknologi cukup proporsional dengan stok yang ada atau . Tampaknya teknologi yang ada cukup produktif dalam menghasilkan teknologi baru dan akhirnya mendorong perekonomian terus meningkat. Situasi ini mirip ketika . Tetapi dalam kasus ini, populasi bernilai positif. Jika populasi nol, justru pertumbuhan konstan, mengingat tidak ada orang yang mencurahkan dirinya dalam pengembangan teknologi baru (Romer, 2012: 109). Pada kasus ini kita dapat mendefinisikan ( ) ( ) dan ̇ ( ) ( ). Artinya, perubahan dan saving rate bisa mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Dalam hal ini, pertumbuhan disebut linear growth model, yang juga dinamai model ; teori dasar endogenous growth. Tentunya para pengambil kebijakan ekonomi perlu berhati-hati melihat pertumbuhan populasi dan ekonomi, agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat. Hal ini terutama menyangkut pola konsumsi yang memuaskan kebutuhan mereka. Dalam kasus ini menarik jika kita menyimak gagasan pembagian pola konsumsi menurut beberapa ekonom. Secara umum kita batasi dua pola konsumsi, yakni konsumsi di bawah pendapatan permanen dan konsumsi di bawah pendapatan tidak pasti. Dalam dua isu tersebut, Friedman melampaui John M. Keynes yang melihat konsumsi individu dalam jangka pendek. Bagi Keynes, konsumsi ditentukan oleh disposable income, atau pendapatan yang sudah dikurangi pajak. Semakin besar pendapatan seseorang, semakin tinggi pola konsumsinya. Bagi Keynes, kecenderungan rata-rata orang mengonsumsi (Average Propensity to Consume) turun ketika pendapatan naik. Hal ini karena orang kaya lebih banyak menabung, sedikit mengalokasikan uangnya untuk konsumsi daripada mereka yang miskin. Meskipun ia menganggap pengaruh suku bunga terhadap konsumsi sebatas teori. Secara matematis kita tulis: ̅ konsumsi; ̅ konstanta; disposable income ; kecenderungan marjinal Keynes tidak melihat individu akan menahan utilitasnya tetap sama sepanjang hidup, karena itu fluktuasi konsumsi dimungkinkan adanya.
  • 11. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 6 Bagi Friedman seseorang akan mengonsumsi sepanjang hidupnya secara sama dan tanpa penurunan. Utilitas sepanjang hidup sejak usia kerja dan mendapat penghasilan diasumsikan tetap. Pendapatan berlebih menjadi akumulasi kekayaan. Model persamaannya adalah: Σ ( ) Seorang menyesuaikan konsumsinya dengan pertimbangan, konsumsi tidak melebihi kekayaan awalnya dan pendapatannya ketika kerja: Σ Σ Mengingat marjinal utilitas dari konsumsi selalu positif, maka seorang individu akan menyesuaikan budget constraint-nya secara sama. Dalam masa sepanjang hidup, individu akan memaksimalkan utilitasnya dalam model persamaan di bawah ini: Σ ( ) (Σ Σ ) ) First order condition of : ( ) . Dari persamaan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa marjinal utilitas individu itu selalu konstan atau tetap. Level konsumsi menentukan utilitas marjinalnya, sehingga pola konsumsi individu itu selalu konstan sepanjang masanya. Dengan demikian, konsumsi pada periode saat ini sama dengan waktu mendatang: . Dengan mensubstitusikan budget constraint di atas, maka didapat: ( Σ ) untuk semua (periode masa hidup). Ini konsumsi berpendapatan tetap setiap periodenya (Romer, 2012: 372 – 373). Sedangkan konsumsi pada pendapatan tidak tetap—seperti digagas Robert Hall—mengikuti ekspektasi rasional sebagai berikut: [ ] [Σ( ) ] Di sini kita asumsikan bahwa suku bunga dan diskonto bernila nol. Individu menghadapi ketidakpastian pendapatan. Tapi ia harus memaksimalkan utilitasnya. Kekayaannya untuk konsumsi adalah rangkaian marjinal utilitas yang selalu bernilai positif. Budget constraint didefinisikan menjadi: Σ Σ artinya individu dalam kondisi ketidakpastian pendapatan akan mempertimbangkan pola konsumsinya tidak lebih banyak dari kekayaan awal yang ia miliki dan pendapatannya. Dengan demikian, ia akan menyesuaikan konsumsinya sepanjang waktu dengan dana yang ada. Harapannya menjadi: Σ [ ] Σ [ ] , dari sini kita dapat melihat konsumsi individu pada periode satu sebesar: [ Σ( ) ] . Individu akan terus berupaya agar utilitas sepanjang hidupnya tidak turun. Maka harapan dalam konsumsi periode ke-2, dapat dilihat sebagai berikut: ( Σ [ ] ) ( Σ [ ] ) Diketahui . Kita bisa masukkan harapan pendapatan pada periode ke-2, yakni Σ ( ) sebagai harapan kuantitas pendapatan periode ke-1: Σ ( ) ditambah informasi yang didapat antara periode 1 dan periode 2: Σ ( ) Σ ( ) . Maka: [ Σ ( ) (Σ ( ) Σ ( ) ) ] Dari pola konsumsi pada periode 1, diketahui bahwa Σ ( ) sama dengan , sehingga persamaan di atas dapat dibentuk menjadi:
  • 12. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 7 [ (Σ ( ) Σ ( ) )] (Σ ( ) Σ ( ) ) Dari persamaan di atas, diketahui bahwa perubahan dalam konsumsi antara periode 1 dan periode 2 sama dengan perubahan dalam perkiraan sumber daya sepanjang hidup dibagi jumlah periode masa hidup yang tersedia. Dari sini didapat bahwa pola konsumsi tidak mempertimbangkan apakah pendapatannya tetap atau tidak. Ketidakpastian tidak mempengaruhi pola konsumsi: ( ) [ ( )] . Nilai utilitas marjinal konsumsi yang diharapakan sama dengan utilitas marjinal konsumsi yang diharapkan: ( ) ( [ ]), atau sama dengan : [ ]. Konsumsi saat ini sama dengan harapan konsumsi di masa depan (Romer, 2012: 372 – 375). Penelitian Sebelumnya No Nama Judul Thn Masalah Metodologi Temuan 1 Tim Hazledine & R. Scott Moreland Population & Economic Growth: A World Cross-Section Study 1977 Asumsi The Neo-Malthusian: low-level equilibrium trap OLS Ledakan populasi memperburuk perekonomian 2 Hongbin Li & Junsen Zhang Do High Birth Rates Hamper Economic Growth? 2007 Pemberlakuan satu anak pada suku Han di Cina Panel & IV- Method Kelahiran tinggi perekonomian turun. 3 Paul Beaudry, Fabrice Collard & David A. Green Demographics & Recent Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons 2005 Perkembangan teknologi dan institusi dalam mengintensifkan pekerja dan pengaruhnya pada populasi OLS & IV- Method Perkembangan teknologi menaikkan performa pekerja, sejalan dengan naiknya populasi 4 David E. Bloom, Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry Geography, Demography & Economic Growth in Africa 1998 Kemiskinan dan pertumbuhan yang lamban ditopang oleh iklim tropis, populasi dan institusi sosial yang lemah Panel & GMM system estimation Afrika jauh dari terknologi. Iklim, geografi, populasi, penyakit, penyebab utama lemahnya ekonomi. Lemahnya institusi sebab berikutnya 5 Jonathan A. Parker & Bruce Preston Precautionary Saving & Consumption Fluctuation 2005 Pola konsumsi ditentukan kekayaan sekarang, bunga, informasi, & pendapatan GMM system estimation Ketidaksempurnaan pasar mempengaruhi fluktuasi konsumsi dan simpanan
  • 13. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 8 Metodologi Penelitian ini menggunakan data WDI (World Development Indicator) of World Bank, dan ADB (Asian Development Bank) dari tahun 1990 sampai 2011. Data diambil pada tahun 2012. Terdiri dari PDB (dari ADB), population growth, dan household final consumption growth per capita (dari WDI). Metode analisisnya adalah VECM (Vector Error Correction Model). Hal ini karena pada mulanya yang hendak dicari dari penelitian ini adalah hubungan dinamis jangka pendek antar variabel, dan respon variasi antar variabel di masa depan. Tapi setelah dilakukan test cointegration, ternyata didapat hubungan jangka panjang, sehingga VECM lebih dipilih dalam proses analisis. Melalui metode VECM, hubungan dinamis antar variabel dalam jangka pendek, juga jangka panjang, pengaruh suatu shock dari masing-masing variabel yang diamati dapat ditemukan. Modelnya terdiri dari tiga bentuk: 1) 2) 3) Dimana Sebelum menjalankan regresi, dilakukan beberapa pengujian berikut: Uji stasioneritas. Pengujian ini dilakukan agar data yang diteliti tidak mengandung unit root, yang dapat menyebabkan spurious regression. Data yang dianalisis stasioner pada first difference. Tabelnya lihat di lampiran. Lag pada analisis disesuaikan menurut penilaian AIC dan SIC agar tidak menghabiskan degree of freedom dan tidak ada bias spesification. Kemudian dilakukan uji kointegrasi melalui pendekatan Søren Johansen, untuk kelayakan VECM. Hasilnya lihat di lampiran. Dari tabel analisis diketahui terdapat 1 hubungan kointegrasi pada model. Dengan begitu, VECM adalah metode yang layak dalam menganalisis. Hasil dan Pembahasan 1. Analisis VECM Dari hasil perhitungan, diketahui R2 dan adj-R2 menandakan angka yang cukup besar, secara berturut-turut yakni: 90% dan 88%. Dalam jangka panjang variabel populasi dan HFC mempengaruhi variabel PDB dengan nilai t-statistik yang cukup signifikan. Artinya ketika terjadi kenaikan populasi sebesar 1% akan menaikkan PDB sebesar 32.2%. Begitu juga jika terjadi kenaikan pada konsumsi sebesar 1%, akan menyebabkan 2.2% kenaikan PDB. Ini adalah bukti di Indonesia PDB masih cukup besar ditopang sisi konsumsi, dan besarnya populasi yang menentukan itu semua. Untuk lebih jelasnya, hasil regresi lihat di lampiran. Di Indonesia sektor konsumsi masih menduduki porsi yang besar dalam total Produk Domestik Bruto, sedangkan sektor investasi relatif rendah. Berikut data yang dirilis ADB: Tahun 1994 1999 2008 2010 2011 Porsi Konsumsi/ PDB 59,7 73,9 60,6 56,7 54,6 Investasi/ PDB 31,1 11,4 27,8 32,5 32,8
  • 14. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 9 Dalam analisis jangka pendek, diketahui terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan kointegrasi: pada variabel PDB sebesar -1.6%, sedangkan pada HFC dan variabel Population tidak signifikan. Lihat tabel di lampiran. Pada hasil perhitungan VECM, dalam jangka pendek PDB ditentukan secara positif oleh HFC dan populasi, secara berturt-turut sebesar: 6% dan 55.8%. Hal ini wajar, terutama jika kita melihat sektor konsumsi yang menjadi penopang PDB selama bertahun-tahun. Bahkan populasi yang besar sama sekali tidak berdampak buruk pada perekonomian. Kasus yang menarik jika dibandingkan dengan di beberapa negara. Kesuksesan program-program pembangunan di era 1990-an telah menghasilkan kelompok terdidik yang saat ini sedang berada pada usia produktif. Sehingga sebagaimana yang diyakini ekonom endogenous growth, jika populasi yang besar ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih besar, populasi bisa sangat efektif mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi. Namun, baik pertumbuhan populasi maupun HFC sama sekali tidak dipengaruhi PDB. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, konsumsi tidak mempengaruhi populasi. Artinya semakin tinggi konsumsi seseorang, tidak lantas menjadikannya memiliki keluarga yang banyak. Malah justru yang terjadi sebaliknya, orang yang berpenghasilan tinggi dengan pola konsumsi yang tinggi pula, lebih memilih anak yang sedikit. Inilah fenomena modernitas. 2. Analisis Granger Causality Dari hasil hitung, null hypotheses of Population growth dan HFC does not granger cause PDB tak dapat diterima, karena p-value keduanya tidak lebih dari 5%. Sebaliknya, null hypotheses of PDB and HFC does not granger cause Population growth dapat diterima, karena p-value menandakan lebih dari 5%. Juga null hypotheses of PDB and Population growth does not granger cause HFC dapat diterima, karena p-value melebihi 5%. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa PDB Indonesia didukung penuh pola konsumsi yang tinggi, dengan populasi yang besar. Tapi tidak sebaliknya. Keterangan lengkap lihat di lampiran. 3. Analisis Impulse Response Dari hasil analisis Impulse Response, pada tabel pertama diketahui bahwa goncangan variabel pertumbuhan PDB berdampak pada PDB 0.147420 SSD (Satuan Standar Deviasi) di periode 1. Lalu nilainya menjadi mengecil, bahkan negatif dan terus berfluktuasi sampai periode ke-10. Pengaruh goncangan pertumbuhan populasi terhadap PDB adalah 0 pada periode ke-1. Lalu goncangan itu menjadi negatif sampai periode ke-10. Hal ini menandakan dalam jangka panjang ke depan, populasi tak lagi menjadi anugerah pada perekonomian. Justru yang terjadi adalah hambatan. Peran kelompok usia produktif saat ini, dalam tempo beberapa tahun ke depan semakin berkurang, dan akhirnya menjadi minus. Goncangan HFC terhadap PDB adalah 0 di periode ke-1. Lalu menjadi negatif, dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Hal ini menandakan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga dalam tahun-tahun ke depan beban ekonomi menjadi semakin tinggi. Pada tabel kedua, terlihat guncangan PDB bernilai positif dan terus berfluktuasi mempengaruhi Populasi sampai periode ke-10. Perekonomian yang baik, bisa berdampak positif pada jumlah populasi. Terlihat juga pada tabel ke-3, guncangan PDB kembali berdampak positif terhadap HFC, meskipun nilainya tidak lebih besar dari HFC sendiri. 4. Analisis Variance Decomposition Dalam analisis ini, informasi hubungan dinamis jangka panjang antar variabel dan seberapa besar pengaruh acak guncangan masing-masing variabel terhadap variabel endogen dapat ditemukan. Pada tabel pertama, PDB ternyata di periode ke-1 lebih banyak dipengaruhi oleh PDB sendiri sebesar 100% lalu periode ke-2 sebesar 71.85%, nilainya kemudian turun dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian diikuti HFC, dan Populasi dengan nilai
  • 15. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 10 yang berfluktuasi. Hanya sampai periode ke-10, populas menjadi lebih dominan. Pada tabel kedua dan ketiga, populasi lebih banyak dipengaruhi variabel populasi, dan HFC lebih banyak dipengaruhi HFC, dengan nilai yang berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian disusul PDB pada posisi kedua yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Sedangkan antara variabel HFC dan populasi kurang begitu kuat pengaruhnya. Keterangan selengkapnya bisa dilihat di lampiran. 5. Uji Asumsi Klasik Hasil analisis dalam penelitian ini, sudah melewati pelbagai pengujian, termasuk tak ada satu pun asumsi klasik yang dilanggar. Data sudah terdistribusi secara normal, tidak terdapat autokorelasi, juga tidak terjadi multikolineraritas, serta tak ada heteroskedastisitas. Untuk lebih detail lihat di lampiran. Solusi Mengatasi Ledakan dan Pemerataan Penduduk di Indonesia Kondisi pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Pemerintah harus segera melancarkan langkah-langkah strategis menanganinya. Beberapa kiat berikut perlu disimak, sebagai solusi ledakan penduduk yang kurang terkontrol: 1) Menerapkan kembali program Keluarga Berencana (KB) secara intensif di tengah- tengah masyarakat. Kebijakan ini juga harus ditopang pada peningkatan kualitas anak, melalui penyuluhan kesehatan bayi, ibu hamil dan pembinaan menyeluruh kepada masyarakat. 2) Kembali menggalakkan program transmigrasi antar pulau di Nusantara. Pemerintah mendorong pemerataan penduduk di berbagai wilayah Indonesia yang luas, dengan perpindahan secara terorganisir, dengan pembekalan dan pembinaan secara teratur. Saat ini masih banyak tanah-tanah Indonesia yang belum terjamah tangan-tangan manusia, tetapi memiliki potensi yang belum diberdayakan. Sehingga pemerataan penduduk di berbagai wilayah menjadi cukup urgen. 3) Pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerataan ini diperlukan agar pembangunan tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi ke berbagai daerah lainnya. 4) Peningkatan pelayanan kesehatan publik bagi ibu hamil dan bayi. Saat ini kondisi kesehatan wanita hamil masih cukup mengkhawatirkan. Misalnya, di desa Bangsalrejo banyak wanita hamil terkena gondok, padahal desa itu wilayah ladang garam (http://m.detik.com). Ketika persoalan kebutuhan dasar semacam ini belum selesai, maka prestasi pembangunan ekonomi di Indonesia harus dipertanyakan. Penutup Pertumbuhan penduduk tidak menjadi masalah jika ditopang sumber daya manusia yang lebih baik. Sehingga populasi yang besar dan produktif akhirnya bisa menjadi pendorong pembangunan secara berkelanjutan. Tapi jika kemajuan ilmu pengetahuan kalah cepat dibandingkan pertambahan penduduk, yang terjadi justru munculnya masalah kemanusiaan seperti kelaparan dan peperangan. Hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan konsumsi masyarakat, akibat pertambahan anggota keluarga tidak sebanding dengan penghasilan. Pertumbuhan populasi yang besar di Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kendati hasil penelitian menemukan pertumbuhan populasi berperan besar mendorong perekonomian, namun dalam prediksi di masa mendatang pertumbuhan populasi justru berdampak negatif terhadap pembangunan. Pasalnya, tingginya perekonomian
  • 16. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 11 Indonesia ternyata ditopang oleh sisi konsumsi yang menandakan masyarakat lebih konsumtif alih-alih memperbesar sektor lain sebagai penopang perekonomian. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ekonom sebelumnya. Ledakan jumlah penduduk itu akan berdampak buruk pada pembangunan. Yang didapat dari penelitian ini adalah pola konsumsi masyarakat Indonesia berfluktuasi, tidak konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih mengikuti gagasan Keynes, dan bukan Friedman atau R. Hall. Yang juga harus disimak di sini adalah soal pembatasan angka kelahiran, untuk menstabilkan perekonomian dalam jangka panjang, agar persoalan kemanusiaan yang sering diramalkan ekonom klasik tidak pernah terjadi. Daftar Pustaka BPS, ―Data Strategis‖, Jakarta: BPS, 2012. Beaudry, Paul, Fabrice Collard & David A. Green, (2005), ―Demographics & Recent Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons‖, The Canadian Journal of Economics, Vol. 38, No. 2, 309 – 344. Bloom, David E., Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry, (1998), ―Geography, Demography & Economic Growth in Africa‖, Brooking Papers in Economic Activity, Vol. 1998, No. 2, 207 – 295. Hazledine, Tim & R. Scott Moreland, (1977), ―Population & Economic Growth: A World Cross-Section Study‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 59, No. 3, 253 – 263. Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?, Yogyakarta: Andi, 2007. Li, Hongbin & Junsen Zhang, (2007), ―Do High Birth Rates Hamper Economic Growth?‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 89, No. 1, 110 – 117. Mallarangeng, Rizal, (2008) Dari Langit, Gramedia: Jakarta. Mankiw, N. Gregory, (2003), Teori Makroekonomi, terj., Jakarta: Erlangga, 2003. ―Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan‖, Media Indonesia, 13/12/2012. Parker, Jonathan A., & Bruce Preston, (2005), ―Precautionary Saving & Consumption Fluctuation‖, The American Economic Review, Vol. 95, No. 4, 1119 – 1143. Romer, David, (2012), Advanced Macroeconomics, New York: McGraw-Hill. Romer, Paul, (1986), ―Increasing Returns and Long-Run Growth‖, Journal of Political Economy, Vol. 94, 1002 – 1037. ----------------, (1990), ―Endogenous Technological Change‖, Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, part 2, S71 – S102. ----------------, (1994), ―Origins of Endogenous Growth‖, Journal of Economic Perspectives, Vol. 8, No. 1, 3 – 22. http://m.detik.com/health/read/2012/12/18/082940/2121031/746/ironis-banyak-wanita- hamil-kena-gondok-di-ladang-garam-desa-desa-bangsalrejo
  • 17. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 12 Lampiran Uji Stasioneritas (Data belum Stasioner) Null Hypothesis: PDB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.008244 0.9476 Test critical values: 1% level -3.788030 5% level -3.012363 10% level -2.646119 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB) Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 19:09 Sample (adjusted): 1991 2011 Included observations: 21 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PDB(-1) -0.000525 0.063659 -0.008244 0.9935 C 105.3426 85.12386 1.237521 0.2310 R-squared 0.000004 Mean dependent var 104.7619 Adjusted R-squared -0.052628 S.D. dependent var 213.5194 S.E. of regression 219.0659 Akaike info criterion 13.70701 Sum squared resid 911807.5 Schwarz criterion 13.80649 Log likelihood -141.9237 Hannan-Quinn criter. 13.72860 F-statistic 6.80E-05 Durbin-Watson stat 2.136122 Prob(F-statistic) 0.993508 Null Hypothesis: HFC has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.551562 0.9844 Test critical values: 1% level -3.788030 5% level -3.012363 10% level -2.646119 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(HFC) Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 19:05 Sample (adjusted): 1991 2011 Included observations: 21 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. HFC(-1) 0.014671 0.026600 0.551562 0.5877 C 3.51E+09 2.87E+09 1.224487 0.2357 R-squared 0.015759 Mean dependent var 5.04E+09 Adjusted R-squared -0.036043 S.D. dependent var 3.32E+09 S.E. of regression 3.38E+09 Akaike info criterion 46.81302 Sum squared resid 2.18E+20 Schwarz criterion 46.91250 Log likelihood -489.5367 Hannan-Quinn criter. 46.83461 F-statistic 0.304220 Durbin-Watson stat 1.801303 Prob(F-statistic) 0.587678
  • 18. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 13 Null Hypothesis: POP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.762614 0.9993 Test critical values: 1% level -3.788030 5% level -3.012363 10% level -2.646119 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(POP) Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 19:12 Sample (adjusted): 1991 2011 Included observations: 21 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. POP(-1) 0.020340 0.011540 1.762614 0.0940 C -1.249206 2.396613 -0.521238 0.6082 R-squared 0.140536 Mean dependent var 2.961905 Adjusted R-squared 0.095301 S.D. dependent var 0.911853 S.E. of regression 0.867315 Akaike info criterion 2.643564 Sum squared resid 14.29247 Schwarz criterion 2.743042 Log likelihood -25.75742 Hannan-Quinn criter. 2.665153 F-statistic 3.106809 Durbin-Watson stat 1.663060 Prob(F-statistic) 0.094045 Data sudah Stasioner : 1) PDB Null Hypothesis: DLPDB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.604345 0.0018 Test critical values: 1% level -3.808546 5% level -3.020686 10% level -2.650413 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DLPDB) Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 19:11 Sample (adjusted): 1992 2011 Included observations: 20 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLPDB(-1) -1.082143 0.235026 -4.604345 0.0002 C 0.116467 0.069887 1.666491 0.1129 R-squared 0.540816 Mean dependent var -0.001148 Adjusted R-squared 0.515306 S.D. dependent var 0.417870 S.E. of regression 0.290921 Akaike info criterion 0.463109 Sum squared resid 1.523429 Schwarz criterion 0.562682 Log likelihood -2.631085 Hannan-Quinn criter. 0.482546 F-statistic 21.20000 Durbin-Watson stat 2.033780 Prob(F-statistic) 0.000220
  • 19. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 14 Data sudah Stasioner: 2) HFC Null Hypothesis: DLHFC has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.646429 0.0141 Test critical values: 1% level -3.808546 5% level -3.020686 10% level -2.650413 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DLHFC) Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 19:07 Sample (adjusted): 1992 2011 Included observations: 20 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLHFC(-1) -0.836020 0.229271 -3.646429 0.0018 C 0.040417 0.014301 2.826229 0.0112 R-squared 0.424855 Mean dependent var -0.001378 Adjusted R-squared 0.392902 S.D. dependent var 0.049085 S.E. of regression 0.038245 Akaike info criterion -3.594970 Sum squared resid 0.026328 Schwarz criterion -3.495397 Log likelihood 37.94970 Hannan-Quinn criter. -3.575532 F-statistic 13.29644 Durbin-Watson stat 2.022031 Prob(F-statistic) 0.001846 Data sudah Stasioner: 3) Populasi Null Hypothesis: DLPOP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.588389 0.0159 Test critical values: 1% level -3.808546 5% level -3.020686 10% level -2.650413 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DLPOP) Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 19:14 Sample (adjusted): 1992 2011 Included observations: 20 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLPOP(-1) -0.835023 0.232701 -3.588389 0.0021 C 0.011736 0.003391 3.461331 0.0028 R-squared 0.417033 Mean dependent var 5.54E-06 Adjusted R-squared 0.384646 S.D. dependent var 0.005130 S.E. of regression 0.004025 Akaike info criterion -8.098163 Sum squared resid 0.000292 Schwarz criterion -7.998590 Log likelihood 82.98163 Hannan-Quinn criter. -8.078725 F-statistic 12.87654 Durbin-Watson stat 1.953075 Prob(F-statistic) 0.002101
  • 20. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 15 Uji Kointegrasi Date: 05/11/13 Time: 18:20 Sample (adjusted): 1993 2011 Included observations: 19 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: DLPDB DLPOP DLHFC Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05 No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.884237 62.90258 42.91525 0.0002 At most 1 0.585270 21.93463 25.87211 0.1431 At most 2 0.239916 5.212205 12.51798 0.5662 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized Max-Eigen 0.05 No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.884237 40.96795 25.82321 0.0003 At most 1 0.585270 16.72243 19.38704 0.1170 At most 2 0.239916 5.212205 12.51798 0.5662 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Hasil Analisis VEC Model Vector Error Correction Estimates Date: 05/11/13 Time: 18:20 Sample (adjusted): 1993 2011 Included observations: 19 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 DLPDB(-1) 1.000000 DLPOP(-1) 32.26742 (9.49119) [ 3.39972] DLHFC(-1) 2.276558 (0.74839) [ 3.04195] @TREND(90) 0.015722 (0.00390) [ 4.02627] C -0.858188 Error Correction: D(DLPDB) D(DLPOP) D(DLHFC) CointEq1 -1.641442 0.004296 -0.016057 (0.17892) (0.00559) (0.05500) [-9.17395] [ 0.76875] [-0.29195] D(DLPDB(-1)) 0.449016 -0.002265 0.008150 (0.12509) (0.00391) (0.03845) [ 3.58945] [-0.57959] [ 0.21197] D(DLPOP(-1)) 55.82650 -0.781802 1.824307 (9.42410) (0.29436) (2.89682) [ 5.92380] [-2.65598] [ 0.62976] D(DLHFC(-1)) 6.086553 -0.015284 -0.499821 (0.76527) (0.02390) (0.23523) [ 7.95349] [-0.63941] [-2.12481]
  • 21. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 16 C -0.018660 0.000114 -0.000783 (0.03411) (0.00107) (0.01049) [-0.54700] [ 0.10717] [-0.07464] R-squared 0.908287 0.372056 0.341601 Adj. R-squared 0.882083 0.192643 0.153487 Sum sq. resids 0.304256 0.000297 0.028748 S.E. equation 0.147420 0.004605 0.045314 F-statistic 34.66239 2.073742 1.815925 Log likelihood 12.31626 78.17476 34.72975 Akaike AIC -0.770133 -7.702606 -3.129447 Schwarz SC -0.521597 -7.454070 -2.880911 Mean dependent -0.000376 -0.000263 0.000980 S.D. dependent 0.429306 0.005125 0.049252 Determinant resid covariance (dof adj.) 7.26E-10 Determinant resid covariance 2.90E-10 Log likelihood 127.7428 Akaike information criterion -11.44661 Schwarz criterion -10.50217 Uji Granger Causality VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 05/11/13 Time: 18:34 Sample: 1990 2011 Included observations: 19 Dependent variable: D(DLPDB) Excluded Chi-sq df Prob. D(DLPOP) 35.09146 1 0.0000 D(DLHFC) 63.25799 1 0.0000 All 72.35624 2 0.0000 Dependent variable: D(DLPOP) Excluded Chi-sq df Prob. D(DLPDB) 0.335925 1 0.5622 D(DLHFC) 0.408841 1 0.5226 All 0.558990 2 0.7562 Dependent variable: D(DLHFC) Excluded Chi-sq df Prob. D(DLPDB) 0.044930 1 0.8321 D(DLPOP) 0.396601 1 0.5288 All 0.421886 2 0.8098 TabeI Impulse Response Response of DLPDB: Period DLPDB DLPOP DLHFC 1 0.147420 0.000000 0.000000 2 0.022017 0.002876 0.093241 3 -0.180005 -0.216803 -0.216863 4 -0.004775 -0.080601 -0.033915 5 -0.011894 -0.062665 -0.040619 6 -0.048655 -0.105154 -0.059639 7 -0.053015 -0.103249 -0.078396 8 -0.031982 -0.092890 -0.055489 9 -0.037340 -0.089901 -0.058869 10 -0.042712 -0.099098 -0.063814 Response of DLPOP: Period DLPDB DLPOP DLHFC 1 4.44E-06 0.004605 0.000000 2 0.000183 0.001667 -0.000218
  • 22. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 17 3 0.000727 0.004112 0.000617 4 0.000146 0.002434 -4.94E-05 5 0.000342 0.003311 0.000190 6 0.000322 0.002841 9.60E-05 7 0.000386 0.003184 0.000225 8 0.000295 0.002934 0.000104 9 0.000344 0.003076 0.000165 10 0.000332 0.003006 0.000142 Response of DLHFC: Period DLPDB DLPOP DLHFC 1 0.021437 -0.004383 0.039682 2 0.008779 0.003982 0.018397 3 0.013640 -0.006590 0.027341 4 0.012571 0.002955 0.024030 5 0.013015 -0.003841 0.025652 6 0.012631 0.000734 0.024840 7 0.012639 -0.002568 0.024919 8 0.012906 -0.000174 0.025193 9 0.012667 -0.001764 0.024938 10 0.012791 -0.000773 0.025098 Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC Tabel Variance Decomposition Variance Decomposition of DLPDB: Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC 1 0.147420 100.0000 0.000000 0.000000 2 0.175839 71.85560 0.026752 28.11765 3 0.396679 34.71090 29.87652 35.41258 4 0.406231 33.11151 32.42473 34.46376 5 0.413209 32.08542 33.63873 34.27585 6 0.433271 30.44406 36.48597 33.06997 7 0.455346 28.91922 38.17542 32.90536 8 0.469117 27.71110 39.88790 32.40099 9 0.482714 26.77033 41.14101 32.08866 10 0.498728 25.81220 42.48960 31.69820 Variance Decomposition of DLPOP: Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC 1 0.004605 9.31E-05 99.99991 0.000000 2 0.004905 0.139444 99.66239 0.198163 3 0.006471 1.341238 97.63657 1.022196 4 0.006915 1.218877 97.88094 0.900186 5 0.007677 1.187547 98.02069 0.791762 6 0.008193 1.196820 98.09419 0.708993 7 0.008801 1.229272 98.09090 0.679831 8 0.009283 1.205802 98.17061 0.623585 9 0.009786 1.208366 98.20217 0.589463 10 0.010244 1.208090 98.23460 0.557314 Variance Decomposition of DLHFC: Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC 1 0.045314 22.38018 0.935658 76.68417 2 0.049848 21.59643 1.411439 76.99213 3 0.058837 20.87610 2.267510 76.85639 4 0.064854 20.93956 2.073937 76.98651 5 0.071051 20.80186 2.020243 77.17790 6 0.076324 20.76583 1.759982 77.47419 7 0.081318 20.70926 1.650158 77.64059
  • 23. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 18 8 0.086104 20.71775 1.472213 77.81004 9 0.090550 20.69002 1.369126 77.94085 10 0.094834 20.68236 1.254871 78.06277 Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas VEC Residual Normality Tests Orthogonalization: Cholesky (Lutkepohl) Null Hypothesis: residuals are multivariate normal Date: 05/11/13 Time: 18:55 Sample: 1990 2011 Included observations: 19 Component Skewness Chi-sq df Prob. 1 0.032034 0.003249 1 0.9545 2 0.997991 3.153957 1 0.0757 3 -1.127519 4.025782 1 0.0448 Joint 7.182988 3 0.0663 Component Kurtosis Chi-sq df Prob. 1 1.969354 0.840933 1 0.3591 2 4.284763 1.306737 1 0.2530 3 3.148937 0.017561 1 0.8946 Joint 2.165231 3 0.5388 Component Jarque-Bera df Prob. 1 0.844182 2 0.6557 2 4.460694 2 0.1075 3 4.043343 2 0.1324 Joint 9.348219 6 0.1549 Uji Ketiadaan Autokorelasi VEC Residual Portmanteau Tests for Autocorrelations Null Hypothesis: no residual autocorrelations up to lag h Date: 05/11/13 Time: 18:53 Sample: 1990 2011 Included observations: 19 Lags Q-Stat Prob. Adj Q-Stat Prob. df 1 7.466693 NA* 7.881510 NA* NA* 2 13.04184 0.1607 14.11256 0.1184 9 3 17.41623 0.4947 19.30715 0.3731 18 *The test is valid only for lags larger than the VAR lag order. df is degrees of freedom for (approximate) chi-square distribution
  • 24. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 19 Uji Ketiadaan Multikolinearitas VEC Residual Serial Correlation LM Tests Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h Date: 05/11/13 Time: 18:52 Sample: 1990 2011 Included observations: 19 Lags LM-Stat Prob 1 7.277553 0.6082 2 12.12773 0.2062 3 6.718789 0.6664 Probs from chi-square with 9 df. Uji Ketiadaan Heteroskedastisitas VEC Residual Heteroskedasticity Tests: No Cross Terms (only levels and squares) Date: 05/11/13 Time: 18:57 Sample: 1990 2011 Included observations: 19 Joint test: Chi-sq df Prob. 48.80527 48 0.4405 Individual components: Dependent R-squared F(8,10) Prob. Chi-sq(8) Prob. res1*res1 0.278722 0.483036 0.8427 5.295727 0.7256 res2*res2 0.239049 0.392681 0.9008 4.541925 0.8052 res3*res3 0.200228 0.312945 0.9435 3.804325 0.8743 res2*res1 0.292633 0.517117 0.8191 5.560032 0.6964 res3*res1 0.208533 0.329347 0.9356 3.962136 0.8605 res3*res2 0.356514 0.692544 0.6923 6.773764 0.5612
  • 25. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 20 Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap Pengangguran Abdul Holik Aisyah Rosadi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran Abstract This research purposes to analyze monetary policies—inflation, money supply, exchange rate and interest rate—toward unemployment rate in Indonesia, using OLS (Ordinary Least Square) method. Based on the result, gross domestic product (GDP), interest rate, exchange rate, and inflation are significant in affecting unemployment rate in 10 percent level. Meanwhile, money supply cannot have significant effect toward unemployment rate. It is evidence that Indonesia adopts inflation targeting framework in controlling unemployment rate conducted by monetary authority, other than monetary variables targeting. Keywords: monetary policies, inflation targeting, unemployment, gross domestic products. Pendahuluan Salah satu instrumen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan kestabilan jangka panjang adalah melalui kebijakan moneter, terutama penargetan inflasi. Kebijakan ini cenderung dipilih sejumlah negara seperti Indonesia, alih-alih penargetan moneter secara total. Hal ini juga umum diberlakukan di sejumlah negara ASEAN khususnya pasca krisis moneter 1997 di Thailand yang menimbulkan contagion effect di kawasan dan akhirnya menyebabkan tingginya angka pengangguran. Dalam kasus di Indonesia, isu pengangguran menjadi masalah yang cukup besar dan menjadi penghambat pencapaian kesejahteraan optimal masyarakat. Indonesia menurut sejumlah pengamat cenderung lambat—dibandingkan negara-negara semisal Malaysia, Korea Selatan, Thailand—dalam upaya mencapai stabilisasi perekonomian pasca krisis. Dalam kajian ekonomi makro, pembangunan ekonomi tidak dapat diukur semata-mata dari tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (Todaro, 2006). Namun, harus pula melihat bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dan mengetahui siapa yang mendapat manfaat dari pembangunan tersebut. Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu di antaranya adalah tingkat pengangguran. Selain itu dengan tingkat pengangguran, dapat dilihat pula ketimpangan atau kesenjangan distribusi pendapatan yang diterima suatu masyarakat negara tersebut. Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup luas, serta penyerapan tenaga kerja yang cenderung kecil persentasenya. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan penciptaan lapangan kerja di sektor riil untuk menampung tenaga kerja yang siap bekerja. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980, penduduk Indonesia berjumlah 146.777.000 jiwa. Tahun 2007 jumlah itu meningkat menjadi sebesar 224.904.000 jiwa (BPS, 1980 dan 2007). Kenaikan tersebut juga diikuti oleh kenaikan jumlah pengangguran. Hal ini menunjukkan kenaikan jumlah penduduk usia kerja tidak terserap sepenuhnya ke lapangan pekerjaan
  • 26. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 21 sehingga jumlah pengangguran pun naik. Grafik pengangguran digambarkan dalam bagan di bawah ini: Sumber: World Bank Dari data di atas diketahui bahwa pengangguran di Indonesia masih cukup besar. Terlebih ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar subsidi di tahun 2005. Sampai tahun 2010, pengangguran terus menurun. Hanya saja, penurunan itu belum berhasil mencapai titik seperti sebelum krisis 1997. Bahkan, pertumbuhan pasca krisis 1997 tidak dibarengi turunnya tingkat pengangguran. Penelitian di Amerika Serikat pasca krisis mengindikasikan koefisien hasil yang beragam (Weber, 1995). Maka di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi jumlah usia kerja yang setiap tahun terus bertambah.Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berorientasi pada upaya mendorong pertumbuhan iklim investasi di sektor riil, dan bukan sektor finansial semata. Dalam hal ini BI (Bank Indonesia) memainkan peranan penting dalam mengatur tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, mengontrol laju inflasi, serta menjaga agar aliran modal yang ada di dalam negeri agar tidak lari keluar. Mengingat Indonesia adalah negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small open economy), maka wajar jika akhirnya penetapan suku bunga domestik melibatkan pertimbangan suku bunga di dunia. Suku bunga ini dipatok berdasarkan suku bunga yang ditetapkan The Federal Reserve Fund Rate, di Amerika Serikat. Kebijakan ini diambil agar aliran modal asing tetap bertahan, dan terus digalakkan dalam meningkatkan investasi (Pilbeam, 1998). Selain itu, pilhan nilai tukar mengambang bebas (floated exchange rate system) juga menjadi pilihan yang paling baik, di mana pasar dapat dengan sendirinya menentukan sisi permintaan dan penawaran kurs mata uang rupiah (Arifien, 2008). Dengan semakin baiknya iklim berinvestasi di Indonesia, maka ketersediaan lapangan kerja formal semakin banyak. Dengan begitu, penduduk usia kerja bisa terserap dan pengangguran bisa turun. Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek-proyek pemerintah tidak bisa menyerap semua supply pekerja. Sehingga peran sektor swasta amat dibutuhkan. Oleh karena itu, peran sektor pemerintah dan peran swasta amat dibutuhkan dalam hal penyedia lapangan pekerjaan. Isu pengangguran telah menjadi bahasan utama dalam perencanaan ekonomi jangka panjang di banyak negara, termasuk di negara maju sekalipun. 0 2 4 6 8 10 12 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pengangguran Dari Total Angkatan Kerja Pengangguran Dari Total Angkatan Kerja
  • 27. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 22 Kajian Pustaka Salah satu target utama kebijakan moneter adalah penyediaan lapangan pekerjaan. Dalam diskursus ekonomi makro, kondisi lapangan kerja penuh (full employment) merupakan kondisi yang diharapkan untuk dicapai. Masalahnya adalah bagaimana kinerja otoritas moneter berupaya menurunkan angka pengangguran sampai titik terendah. Dalam kenyataannya kondisi lapangan kerja penuh tidak selamanya berarti bebas dari pengangguran. Proses keluar masuk seseorang mencari pekerjaan akan menyebabkannya menganggur untuk beberapa saat. Dibutuhkan waktu penyesuaian antara pekerja dan pengusaha yang akan mempekerjakannya. Pengangguran friksional yang melibatkan waktu penyesuaian ini menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan perekonomian. Di sisi lain terdapat pengangguran struktural, yakni pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara keahlian yang dibutuhkan dan kemampuan pekerja. Dalam kasus ini, kebijakan moneter hanya sedikit bisa menanggulangi pengangguran semacam itu. Dalam beberapa literatur, kondisi lapangan kerja penuh didefinisikan sebagai keadaan dengan tingkat pengangguran di atas nol, yang selaras dengan sisi penawaran dan permintaan tenaga kerja pada periode tertentu. Artinya, tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) boleh tidak melebihi 4% dari total angkatan kerja, meskipun nilai tersebut masih diperdebatkan kalangan ekonom (Mishkin, 2007). Cukup sulit mencapai angka tersebut. Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa inflasi, kendati prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Keynes mengajukan 4 bentuk kondisi terkait kekakuan nominal dengan berpijak pada kondisi pasar untuk barang dan pekerja, yang nantinya diselaraskan dengan kebijakan moneter (David Romer, 2012): 1) kondisi ketika upah bersifat kaku, harga fleksibel, dan pasar barang sangat kompetitif. Dalam kondisi ini, upah disimbolkan dengan ̅. Karena harga fleksibel, maka perusahaan mempekerjakan karyawan sampai (marginal product of labor) sama dengan upah riil: ( ) . Melalui asumsi ini, peningkatan demand menaikkan output. Perusahaan memproduksi komoditas dengan lebih giat. Ketika supply uang naik, maka berangsur-angsur harga naik. Mengingat kondisi upah yang tetap, perusahaan bisa menaikkan buruh untuk mengerjakan permintaan pasar yang melonjak. Karena upah riil berada di atas market-clearing level, maka supply pekerja dapat bertambah dan pekerja pun dengan senang hati mau memenuhi kebutuhan produsen. Dengan demikian angka pengangguran bisa menurun. Akan tetapi, pandangan sisi supply ini akhirnya bisa mendorong countercyclical real wage (perekonomian turun karena upah yang dipaksakan untuk tetap) dalam merespon aggregate demand shock. Perusahaan akan berhenti mempekerjakan karyawan ketika sama dengan upah. Kita bisa melihat penjelasan ini dalam kurva. Level awal pekerjaan ditentukan oleh permintaan pekerja dan upah riil yang ditujukan poin E, sedangkan pengangguran berada pada perbedaaan supply dan demand upah riil (jarak EA):
  • 28. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 23 Dari kurva di atas pengangguran awalnya bisa turun, dengan naiknya lapangan pekerjaan. Tapi akhirnya dengan upah yang kaku memaksa perusahaan harus mengurangi upah dari titik menjadi di titik . Dalam kasus ini perekonomian dalam kondisi tidak stabil dan tidak menemukan dukungan untuk mencapai procyclical pertumbuhan. 2) kondisi ketika harga-harga kaku, upah fleksibel, dan pasar pekerja kompetitif. Dalam kasus ini, diasumsikan perusahaan-perusahaan memiliki kekuatan pasar sehingga harga yang memaksimalkan keuntungan bisa melampaui biaya marjinal. Tapi sebenarnya menerapkan upah fleksibel berangsur-angsur menyebabkan perusahaan merugi. Peningkatan demand yang terus-menerus akhirnya mendorong countercyclical atas biaya marjinal. Terutama ketika naiknya permintaan pasar. Mungkin demand yang besar dapat menggerakkan peningkatan pekerja terdidik, tetapi akhirnya mendorong kenaikan upah. Kondisi ini ditunjukan dengan E` pada kurva sebagai berikut: Dalam konteks ini, kebijakan penetapan upah fleksibel dan harga kaku tidak mendukung procyclical pada perekonomian. Pada akhirnya harga-harga harus naik, karena jika tidak akan merugikan produsen. 3) kondisi ketika harga kaku, upah fleksibel dan pasar kerja tidak sempurna. Dalam kasus ini persamaan upah kita definisikan menjadi: ( ). Dalam contoh kasus ini, peningkatan demand menaikkan output sampai biaya marjinal sama dengan level harga. Pekerjaan dan upah riil ditentukan melalui perpotongan kurva demand pekerja efektif dan fungsi upah riil. Lapangan pekerjaan akan bertambah dengan naiknya demand atas output.
  • 29. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 24 Pengangguran dapat turun. Jarak EA menandakan pengangguran. Gambar kurvanya sebagai berikut: Akan tetapi demand yang semakin tinggi dan upah fleksibel akhirnya akan memaksa harga-harga naik, karena jika tidak berakibat kerugian produsen. 4) kondisi ketika upah tetap, harga tetap dan pasar barang tidak sempurna. Dalam kasus ini harga dibentuk dengan adanya markup: ( ) ( ) ; di mana ⁄ ( ) adalah biaya marjinal; adalah markup. Maka upah riil didefinisikan menjadi: ( )⁄ ( ). Jika constant, maka upah riil berlaku countercyclical karena adanya penurunan . Jika ( ) kecil, upah riil akan menjadi procyclical bahkan jika kekakuan nominal berlaku pada pasar pekerja. Dalam situasi ini, upah dan harga tidak ditentukan dari perubahan . Tapi dari . Pekerjaan akan ditentukan oleh demand pekerja efektif dari produsen. Level demand menentukan wilayah perekonomian itu berada. Pengangguran berada di antara perbedaan supply pekerja dan pekerjaan pada upah riil yang berlaku. Terdapat tiga contoh kurva yang menggambarkan kondisi upah: a. Menurun; b. Konstan; c. Naik.
  • 30. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 25 Dalam analisis lebih lanjut, Keynes menguraikan konsep aggregate demand yang menggambarkan hubungan negatif antara harga dan output. Pada kondisi ini diasumsikan jumlah uang yang beredar adalah konstan. Jika pemerintah melakukan kebijakan moneter ekspansif maka kurva AD akan bergeser ke kanan. Sedangkan AS menggambarkan hubungan positif antara harga dan output. Hal yang dapat menyebabkan kurva ini bergeser ke kanan adalah kenaikan biaya produksi. Interaksi antara kurva AD dan kurva AS terjadi pada jangka pendek. Hal tersebut tercermin pada kurva di bawah ini:
  • 31. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 26 Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa inflasi. Dalam prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Ahli ekonomi klasik telah membuat simulasi empiris bahwa apabila tingkat pengangguran rendah, biasanya dibarengi tingkat inflasi yang tinggi. Pada tahun 1950-an, A.W. Phillips, ekonom Inggris, melakukan studi mengenai kebijakan stabilisasi perekonomian mengenai tingkat inflasi upah buruh dan tingkat pengangguran. Ia membuat kurva sebagai berikut: Namun, kedua konsep yang dikemukakan baik oleh Philips dan Keynes hanya berlaku dalam jangka pendek. Milton Friedman menyatakan bahwa rezim moneter yang tidak bisa menahan inflasi kronis takkan bisa menurunkan angka pengangguran. Dalam jangka panjang inflasi berakibat sangat buruk pada perekonomian (Friedman, 1968). Contoh ekstrem seperti Y P AD AS Gam bar
  • 32. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 27 kasus hyperinflation di Jerman pada dekade 1930-an. Inflasi dalam jangka panjang dapat menghancurkan perekonomian. Gagasan Philips sebenarnya merupakan trade off antara pengangguran dan inflasi. Baginya ketika pembuat kebijakan ekonomi menginginkan tingkat inflasi yang rendah, mereka harus membayarnya dengan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya, ketika tingkat inflasi tinggi, pengangguran bisa turun. Pertumbuhan ekonomi yang baik memiliki hubungan erat dengan penurunan pengangguran. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hukum Okun, yakni suatu hubungan terbalik antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Ketika perekonomian suatu negara mencapai pertumbuhan yang signifikan, maka tingkat pengangguran dapat ditekan. Dalam beberapa penelitian misalnya, asumsi Okun tersebut terbukti. Namun setelah masa krisis yang dalam, hukum Okun membutuhkan beberapa penjelasan lanjutan (Weber, 1995). Friedman sendiri mengakui bahwa kebijakan moneter mempunyai lag (rentang waktu) agar bisa berpengaruh pada output riil. Di Amerika misalnya, kebijakan moneter mempunyai waktu satu tahun guna mempengaruhi output dan waktu dua tahun dalam mempengaruhi inflasi secara signifikan. Sedangkan di negara-negara yang mengalami inflasi tinggi, di mana harga-harga lebih fleksibel, selang waktu bisa lebih pendek (Mishkin, 2007). Kebijakan penargetan inflasi juga diterapkan pada berbagai negara maju dengan nilai yang berbeda-beda. Berikut tabelnya: Negara & Tahun Berlaku Definisi Rangkaian Target Tingkat penargetan Jangka waktu Australia (1993) Komponen IHK ( buah&sayuran, solar, harga- harga sektor publik, dan harga-harga yang fluktuatif) 2-3% sepanjang masa Kanada (Februari 1991) Komponen utama IHK (makanan, energi, dan pajak tidak langsung) 1-3% 18 bulan Finlandia (Februari 1993) Komponen IHK ( subsidi pemerintah, pajak tidak langsung, harga rumah dan tingkat bunga cicilan rumah) sekitar 2% sepanjang masa Selandia Baru (Maret 1990) Komponen IHK (perubahan pada pajak tidak langsung atau pengeluaran pemerintah, perubahan pada harga ekspor dan impor, bencana alam) 0-3% 1 tahun Spanyol (Januari 1995) IHK (perubahan pajak tidak langsung) Dibawah 3% Setelah krisis 1997 Swedia (Januari 1993) IHK 1-3% sepanjang masa Inggris (Oktober 1992) tingkat bunga cicilan property Dibawah 2.5% sampai berakhir parlemen Tabel dikutip dari (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997) Pertumbuhan ekonomi yang ideal ditandai dengan terpenuhinya stabilisasi harga. Stabilisasi harga tidak diartikan sebagai perekonomian tanpa inflasi. Tapi biasanya diartikan mendekati 2 persen per tahun (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997). Dalam jangka panjang, inflasi yang tinggi tidak pernah berkaitan erat dengan turunnya pengangguran. Stabilisasi harga adalah pilihan kebijakan yang ideal dalam menangani pengangguran di jangka panjang. Meskipun pada sisi lain, stabilisasi harga dalam jangka
  • 33. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 28 pendek justru bertentangan dengan tujuan penyediaan lapangan kerja dan stabilisasi suku bunga. Secara umum terdapat tiga bentuk mekanisme kebijakan untuk mencapai stabilisas harga: penargetan moneter (monetary targetting), penargetan inflasi (inflation targetting), kebijakan moneter dengan jangkar implisit—bukan eksplisit (Mishkin, 2007). Berikut penjelasan detailnya: 1. Penargetan Moneter (Monetary Targetting). Kebijakan ini dilakukan dengan menargetkan pencapaian angka dan nilai tertentu dari tingkat pertumbuhan tahunan agregat moneter. Misalnya, 5% tingkat pertumbuhan M1 dan atau 6% tingkat pertumbuhan M2. Dalam hal ini, bank sentral akan berupaya secara maksimal memenuhi target yang sudah ditetapkan tersebut. Melalui mekanisme kebijakan ini, bank sentral bisa secara langsung memberi sinyal-sinyal kepada publik dan pasar khususnya terkait arah kebijakan moneter dan inflasi ke depan. Pada kelanjutannya, sinyal dari bank sentral ini bisa membantu memperbaiki perkiraan inflasi dan menghasilkan inflasi yang lebih rendah. Penargetan moneter juga menunjukkan akuntabilitas kebijakan moneter untuk mempertahankan inflasi yang rendah, sehingga membantu membatasi para pengambil kebijakan moneter agar tidak terperangkap pada ketidakkonsistenan waktu. Namun, di sisi lain penargetan moneter juga memiliki sejumlah kendala. Hal ini bisa dilihat apabila tujuan dan penargetan moneter tidak sejalan. Jika hubungan antara agregat moneter dan variabel tujuan lemah, penargetan moneter tidak bisa bekerja. Contoh kasusnya seperti di Amerika Serikat. Pada negara ini hubungan antara penargetan aggregat moneter dan variabel tujuan tidak kuat. Maka penargetan moneter tidak membantu memperbaiki perkiraan inflasi dan sama sekali tidak merupakan petunjuk yang baik dalam menilai akuntabilitas bank sentral, sehingga komunikasi yang terpercaya antara pihak bank sentral dan publik secara luas tidak bisa terpenuhi. Terkadang bahkan kestabilan besaran moneter sulit dikendalikan, yakni ketidak stabilan hubungan tingkat perputaran uang. 2. Penargetan Inflasi (Inflation Targetting). Penargetan inflasi termasuk salah satu instrumen untuk mencapai stabilisasi harga. Penargetan inflasi mencakup beberapa unsur: 1) pengumuman kepada publik mengenai target-target numerik jangka panjang menengah untuk inflasi; 2) komitmen institusi atas stabilisasi harga sebagai tujuan utama dan jangka panjang kebijakan moneter dan komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi; 3) pendekatan penyertaan informasi (infomation- inclusive approach) di mana banyak variabel (tidak hanya aggregat moneter) digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan moneter; 4) transparansi mengenai strategi kebijakan moneter yang meningkat melalui komunikasi dengan publik dan pasar mengenai rencana dan tujuan pengambil keputusan moneter; 5) akuntabilitas bank sentral yang meningkat untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi. Penargetan inflasi memiliki manfaat semisal otoritas moneter bisa menggunakan semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan terbaik terkait kebijakan moneter yang bakal diambil. Penargetan inflasi juga bisa lebih mudah dipahami publik dan lebih transparan, dibandingkan dengan penargetan moneter yang tidak mampu memberikan sinyal secara akurat. 3. Kebijakan Moneter dengan Jangkar Nominal Implisit. Strategi kebijakan ini memberlakukan pengontrolan terhadap inflasi dalam jangka panjang, dan memiliki orientasi ke depan (forward looking). Otoritas moneter memantau secara ketat laju inflasi dan melakukan intervensi secara efisien dengan mempertimbangkan informasi terkait sinyal-sinyal target inflasi di masa depan. Namun, sifat dari kebijakan ini tidak diumumkan secara terbuka kepada publik, sehingga bersifat rahasia atau sekedar implicit policy.
  • 34. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 29 Penargetan Inflasi di Indonesia Penargetan inflasi di Indonesia diatur sepenuhnya oleh Bank Indonesia. Tapi, sejak keluarnya UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah. Bank Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah menetapkan target atau sasaran inflasi. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) (www.bi.go.id). Penargetan inflasi diharapkan dijadikan acuan bagi masyarakat secara luas. Penargetan itu ditujukan agar geliat perekonomian berjalan lebih optimal, mengingat kondisi kenaikan harga menjadi lebih stabil dan terukur. Masyarakat diharapkan bisa mengacu pada nilai yang sudah ditargetkan tersebut. Berikut tabel inflasi aktual dan penargetan inflasi selama beberapa tahun: Perbandingan Inflasi Aktual dan Penargetannya Tahun Aktual Target 2001 12.55 6 2002 10.03 10 2003 5.06 10 2004 6.4 6.5 2005 17.11 7 2006 6.6 9 2007 6.59 7 2008 11.06 6 2009 2.78 6.5 2010 6.96 6 Berikut ini mari perhatikan grafik IHK (Indeks Harga Konsumen) Indonesia menurut World Bank di bawah ini: Dari grafik IHK diketahui adanya kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). Hal itu bukan berarti penargetan inflasi gagal dalam mengontrol kenaikan harga dalam jangka panjang. Stabilisasi harga dalam prakteknya bukan berarti inflasi bernilai nol. Akan tetapi 0 20 40 60 80 100 120 140 160 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 IHK IHK
  • 35. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 30 biasanya tingkat rata-rata kenaikan harga bernilai mendekati 2% per tahun (Bernanke & Miskin, 1997). Dalam penelitian lanjutan, didapat hasil berikut ini: Negara Jangka Waktu Disinflasi (thn) Inflasi Awal (%) Inflasi Akhir (%) Sacrifice Ratio Selandia Baru 6.25 15.38 1.13 2.05 Kanada 2.75 5.25 1.09 3.04 Australia 3.75 7.62 1.4 1.87 Inggris 3.75 8.64 2.16 2.19 Swedia 2.75 9.55 3.21 0.53 Sumber dari (Ben S. Bernanke et.all, 1999) Penelitian Sebelumnya Beberapa studi empiris telah memberikan bukti adanya hubungan signifikan antara variabel-variabel moneter terhadap pengangguran dan variabel riil lainnya.
  • 36. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 31 No Nama Judul Tahun Masalah Metodologi Temuan 1 Christian E. Weber Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and Okun's Coefficient 1995 Pengujian hukum okun di Amerika pasca krisis Dynamic VAR Pengangguran dan Pertumbuhan ekonomi 2 Michael Parkin Unemployment, Inflation, and Monetary Policy 1998 Kebijakan moneter mempengaruhi pengangguran dan inflasi Model DGE (Dynamic General Economy Equilibrium) Monetary Kebijakan stabilisasi moneter menstabilkansektor riil. 3 Fajar Bambang Hirawan Efektivitas Quantum Channel Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Studi Kasus Indonesia Tahun 1993- 2005 2007 Mekanisme quantum channeldi Indonesia masa sebelum krisis, masa krisis, dan masa setelah krisis. Bagaimanakah quantum channel mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Analisis standar deviasi dan koefisien variasi, koefisien korelasi, dan granger causality test Pada masa sebelum krisis, metode quantum channel yang stabil adalah jalur kredit. Di masa krisis, metode quantum channel yang lebih stabil adalah jalur uang. Pasca krisis, metode quantum channel yang lebih stabil dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur kredit. 4 Charles Onyeiwu Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria 2012 Peran kebijakan moneter Nigeria terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Ordinary Least Square(OLS) Kebijakan moneter tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi di Nigeria
  • 37. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 32 Metodologi Pada penelitian ini, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS) antara berbagai variabel, yakni: pengangguran, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar, nilai tukar, tingkat suku bunga dan inflasi. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 1996 sampai tahun 2010. Data diambil dari World Bank dan Badan Pusat Statistik. Penelitian ini menggunakan metode OLS karena untuk melihat seberapa besar efektifitas pengaruh variabel moneter dengan fokus pada kebijakan penargetan inflasi terhadap pengangguran Indonesia. Penelitian ini tidak bermaksud melihat shock (guncangan) pada satu variabel terhadap variabel yang lain secara timbal balik. Mengingat penargetan inflasi adalah kebijakan untuk stabilisasi harga jangka panjang, maka metode OLS lebih tepat digunakan sebagai alat analisis. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Unemt = Rirt + Xratet + Inflasit + M2t + PDBt + et Dimana: Unempt adalah variabel unemployment pada periode t. Data diukur dalam satuan %. Rirt adalah variabel real interest rate pada periode t. Data diukur dalam satuan %. Xratet adalah variabel exchange rate pada periode t. Data diukur dalam satuan rupiah per dollar. Inflasit adalah variabel inflasi pada periode t. Data diukur dalam satuan %. M2t adalah variabel money supply pada periode t. Data diukur dalam satuan %. PDBt adalah variabel Produk Domestik Bruto pada periode t, diukur triliun rupiah. Sebelum dilakukan estimasi maka data dicek terlebih dahulu apakah stasioner atau tidak. Setelah semua data stasioner maka dilakukan estimasi regresi dengan metode OLS yakni meminimumkan nilai error sehingga didapatkan hasil yang efisien. Hasil estimasi yang didapat kemudian dilakukan uji asumsi klasik agar tidak mengandung masalah dalam model. Hasil dan Pembahasan Dependent Variable: UNEM Method: Least Squares Date: 03/14/13 Time: 11:02 Sample (adjusted): 1998 2010 Included observations: 13 after adjustments Convergence achieved after 16 iterations Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.308268 0.379512 -3.447239 0.0137 RIR 0.008406 0.003534 2.378409 0.0549 XRATE 8.96E-05 3.09E-05 2.897104 0.0274 INFLASI 0.769501 0.383433 2.006872 0.0916 M2_GROWTH 0.388278 0.341643 1.136503 0.2991 PDB -1.32E-07 3.33E-08 -3.958174 0.0075 AR(1) 0.132136 0.287040 0.460340 0.6615 R-squared 0.869159 Mean dependent var 0.031733 Adjusted R-squared 0.738318 S.D. dependent var 0.125091 S.E. of regression 0.063990 Akaike info criterion -2.356445 Sum squared resid 0.024568 Schwarz criterion -2.052241 Log likelihood 22.31689 Hannan-Quinn criter. -2.418972 F-statistic 6.642866 Durbin-Watson stat 1.774342 Prob(F-statistic) 0.018233 Inverted AR Roots .13
  • 38. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 33 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan bahwa koefisien dari variabel real interest rate, exchange rate, inflasi, dan GDP bernilai signifikan, sedangkan variabel money supply bernilai tidak signifikan terhadap pengangguran pada derajat 10%. Pada perhitungan kasar di atas terdapat masalah autokorelasi. Maka melalui pengolahan data, memungkinkan kita menghilangkannya. Nilai koefisien real interest rate adalah 0,008406 yang berarti bahwa ketika bank sentral menaikkan tingkat suku bunga sebesar 1% maka akan meningkatkan pengangguran sebesar 0,008406% dari total labor force. Hal ini menunjukkan ketika pemerintah memberlakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menaikkan tingkat suku bunga, akan ada peningkatkan pengangguran.Tentu saja kondisi sebaliknya akan dipilih untuk menurunkan pengangguran. Koefisien Variabel exchange rate bernilai positif terhadap pengangguran sebesar 0,000000896%. Saat nilai tukar mata uang rupiah terapresiasi sebesar 1 rupiah terhadap dolar Amerika, pengangguran akan meningkat. Hal itu terjadi karena saat ini Indonesia sedang bersaing dengan negara lain meningkatkan ekspor produk-produknya ke luar negeri. Jika nilai tukar terapresiasi, produk-produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar internasional, sehingga sektor industri domestik menjadi kurang baik. Indonesia sejak krisis 1997 tidak menerapkan penargetan nilai tukar (exchange rate targeting). Berbeda dengan Cina yang dengan sengaja merendahkan nilai tukar Yuan terhadap dolar Amerika, guna mendorong ekspor produknya. Hal ini karena Indonesia menganut perekonomian terbuka kecil, dengan mobilitas dana luar negeri yang cukup tinggi. Akibat buruknya kebijakan moneter menjadi tidak independen, rentan terhadap tindakan spekulasi dan terkena dampak buruk jika di salah satu negara besar terjadi gunjangan. Koefisien variabel inflasi menunjukkan angka sebesar 0,769501. Hal ini menandakan saat tingkat inflasi naik sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan menurun, dan pada akhirnya meningkatkan pengangguran sebesar 0,769501%. Bank sentral melalui kebijakan targeting inflation framework dapat mengontrol laju inflasi yang pada gilirannya dapat menekan laju pengangguran. Hasil estimasi Pertumbuhan money supply bernilai 0,388278. Berdasarkan hasil pengolahan data di atas didapatkan hasil bahwa variabel jumlah uang yang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Ini sebagai penegas bahwa sebenarnya otoritas moneter di Indonesia lebih memilih pengontrolan inflasi sebagai upaya tercapainya stabilisasi harga, dan bukan pengontrolan aggregat moneter berupa money supply. Koefisien Gross Domestic Product bernilai -0,000000132. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika GDP menurun sebesar 1 triliun rupiah, pengangguran akan meningkat sebesar 0,00000000132%. Ringkasnya adalah negara mengalami penurunan produktifitas. Sebagai contoh saat anggaran belanja pemerintah berkurang, maka akan semakin sedikit lapangan pekerjaan yang tersedia dan pada gilirannya pengangguran akan meningkat. Penutup Tulisan ini menganalisis efek dari kebijakan penargetan inflasi terhadap pengangguran. Hasil penelitian dengan metode OLS menemukan hubungan signifikan antara tingkat suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan PDB terhadap pengangguran. Sedangkan jumlah uang beredar tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan moneter Indonesia, yakni mengendalikan inflasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah dan sektor swasta dapat berperan secara maksimal menentukan kebijakan yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan menekan laju pengangguran di jangka panjang.
  • 39. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 34 Daftar Pustaka Arifin, Sjamsul (ed.), (2008), Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah Krisis, Jakarta: Elex Media Komputindo. Bernanke, Ben S. and Frederic S. Mishkin, ( Spring1997), ―Inflation Targeting: A New Framework for Monetary Policy?‖, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 11, No. 2, 97 – 116. Bernanke, Ben S. et. all, (1999) Inflation Targeting –Lesson from the International Experience, Princeton University Press. BPS (Badan Pusat Statistik). Christiano, Lawrence J., (Feb. 1996), ―The Effects of Monetary Policies: Evidence from the Flow of Funds‖, The Review of Economics and Statistics, vol. 78, No. 1, 16 – 34. Friedman, Milton, (March 1968), ―The Role of Monetary Policy‖, American Economic Review, vol. 1, No. 58, 1 – 17. Hirawan, Fajar Bambang, (Januari 2007), ―Efektivitas Quantum Channel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter‖, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, vol. 7, No. 02, 53 – 73. Hoover, Kevin D., (March 1988), ―Money, Prices and Finance in the New Monetary Economics‖, Oxford Economic Papers, vol. 40, No. 1, 150 – 167. Mishkin, Frederic S., (2007), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Boston: Pearson International Edition. Onyeiwu, Charles, (2012), ―Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria‖, Journal of Economics and Sustainable Development, vol. 3, No. 7, 62 – 69. Parkin, Michael, (Nov. 1998), ―Unemployment, Inflation, and Monetary Policy‖, The Canadian Journal of Economics, vol. 13, No. 5, 1003 – 1032. Pilbeam, Keith, (2006), International Finance, New York: Palgrave. Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, (2006), Pembangunan Ekonomi, terj., Andri Yelvi, jilid 1 & 2, Jakarta: Erlangga. Weber, Christian E., (Oct. – Dec. 1995), ―Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and Okun‘s Coefficient: A new Approach‖, Journal of Applied Econometrics, vol. 10, No. 4, 433 – 445. http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Bank+Indonesia+dan+Inflasi/pengendalian.htm
  • 40. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 35 PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN PENGEMBANGAN KARIR TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN Galuh Tresna Murti Aurora Angela Ernie Soedarwati Magister Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Abstract This purpose of this research is to examine the human resources behavioral that accour in an corporation and how it’s affect the company performance. In this research, writer simply to choose an indicator of the company performance by using ROA ( return on assets ) and performance indicators of an employee with discipline of work and career development in Koperasi Usaha Pupuk Kujang with employees as a respondents. Method research used is survey method. The research concludes that there is a positive and significant influence between the disiplines of work with the company performance. There are also positive and significant influence between the career development with the performance of the company. And there is a positive and significant influence between the disiplince of work and career development with the performance of the company. Keywords : Dicipline of Work, Career Development, and Return on Assets (ROA) I. PENDAHULUAN Pengembangan koperasi dalam dimensi pembangunan nasional yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah kesenjangan pendapatan antar golongan dan antar pelaku, ataupun penyerapan tenaga kerja. Lebih dari itu, pengembangan koperasi diharapkan mampu memperluas basis ekonomi dan dapat memberikan kontribusi dalam mempercepat perubahan struktural, yaitu dengan meningkatnya perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional. Diantara berbagai sumber daya yang dimiliki koperasi adalah sumber daya manusia. Hal ini yang paling penting dan strategis karena merupakan faktor penggerak kegiatan koperasi. Disamping itu, hanya manusia yang memiliki perilaku, sifat, karakteristik yang bervariasi, memiliki kemampuan berfikir rasional dan kreatif, memiliki kepribadian serta nilai-nilai yang perlu dihargai dan dikembangkan, dapat dikatakan kunci keberhasilan setiap organisasi saat ini terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. Mengingat betapa organisasi sangat berkepentingan dengan kinerja pegawai, peningkatan kinerja tidak dapat diserahkan kepada pegawai semata. Organisasi harus mengembangkan suatu program atau kebijakan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Faktor kepemimpinan yang bisa mengarahkan, membimbing dan memberikan suri tauladan yang baik bagi pegawai dalam melaksanakan aturan-aturan perusahaan juga merupakan salah satu faktor meningkatnya kinerja karyawan. Selain itu faktor ketersediaan pengembangan karir yang jelas disertai dengan bimbingan karir bagi pegawai sangat menentukan tingkat kinerja pegawai, karena dengan adanya pengembangan karir yang jelas, pegawai termotivasi untuk dapat meraih karir yang mereka inginkan, dan tentu saja hal tersebut meningkatkan kinerjanya. Kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugasnya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kinerja pegawai yang bersangkutan.
  • 41. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 36 Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang telah diperoleh fakta bahwa kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami fluktuasi, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu periode 2006 – 2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11 Tingkat produktivitas laba bersih per individu Rp juta/orang/tahun Na na 7,8 2,4 4,1 16,75 Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu periode 2006 – 2011 Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 Pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang mengalami penurunan dari Rp. 7.800.000,- per orang selama tahun 2008 menjadi Rp. 2.400.000,- per orang selama tahun 2009, kemudian mengalami peningkatan sebesar Rp. 4.100.000,- per orang selama tahun 2010, dan mengalami peningkatan yang drastis pada tahun 2011 sebesar Rp. 16.750.000,- per orang, sementara untuk tahun 2006 dan 2007 belum adanya data yang akurat yang bisa menggambarkan tingkat produktivitas laba bersih per individu. Tingkat produktivitas laba bersih per individu yang mengalami fluktuasi tersebut mengindikasikan adanya permasalahan mengenai kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Tingkat produktivitas sering dihubungkan dengan kinerja, performansi dengan memberikan penekanan pada efisiensi. Survey awal selanjutnya yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang telah diperoleh fakta bahwa disiplin karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator disiplin kerja yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat kehadiran dan tingkat keterlambatan masuk kerja periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Pencapaian tingkat kehadiran karyawan dan tingkat keterlambatan masuk kerjapun mengalami fluktuasi, hal ini mengindikasikan adanya 0 5 10 15 20 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tingkat produktifitas laba bersih per individu
  • 42. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 37 permasalahan mengenai disiplin kerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11 Tk. Kehadiran % Rata-rata 96 95 94,4 94 96,8 96,4 Tk, Keterlambatan Masuk Kerja % Rata-rata 7,5 4 4,7 3,5 8,64 4,16 Sumber: Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 Pencapaian Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011 Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 Fakta selanjutnya adalah pengembangan karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator pengembangan karyawan yang dicerminkan dalam jam pelatihan periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Jam pelatihan karyawan koperasi yang berfluktuasi tersebut mengindikasikan permasalahan mengenai pengembangan pegawai di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011 Key Performance Indicators (KPI) UoM 06 07 08 09 10 11 Jam Pelatihan Karyawan Cumm.jam/orang/tahun 18,7 25 29,2 17,6 na na Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011 Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011 0 20 40 60 80 100 120 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tingkat kehadiran pegawai 0 5 10 15 20 25 30 35 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jam Pelatihan
  • 43. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 38 Permasalahan-permasalahan diatas dapat menyebabkan turunnya kinerja karyawan serta secara keseluruhan adalah penurunan kinerja Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dan berdampak pada pelayanan yang diberikan terhadap anggota Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selaku stock holders dan semua pihak yang berkepentingan (stake holders). Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang dapat diukur menggunakan pendekatan Key Performance Indicator (KPI), dalam penelitian ini penulis hanya memilih indikator disiplin kerja dan pengembangan karir di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang. II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Pengukuran Kinerja Perusahaan Stoner dan Freeman (1992:6) memberikan penjelasan mengenai kinerja organisasi sebagai : ―The measure of how well organizations do their job.‖ Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya kinerja organisasi dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan. Dalam hubungannya dengan hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan, maka perlu dilakukan penilaian atas hasil kinerja tersebut. Atkinson,et.al., (1995 : 46) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut : ―Performance measurement is measure the performance of each activity in the process (value chain) from the perpective of customer requirement while assuring that the overall performance of activities meets the requirements of the organization’s other stakeholders‖. Martin et al., (1995: 138) menyatakan bahwa profitabilitas juga berfungsi sebagai indikator kinerja pengelolaan perusahaan, efektivitas manajemen, alat untuk memproyeksi laba dan sebagai alat pengendalian manajemen. Profitabilitas jangka panjang sangat penting untuk diamati mengingat keuntungan yang memadai diperlukan untuk mempertahankan arus sumber – sumber modal perusahaan dan untuk kelangsungan hidup perusahaan (going concern). Teknik analisis profitabilitas melibatkan hubungan antara pos – pos tertentu dalam laporan keuangan, yaitu pada laporan laba rugi untuk memperoleh ukuran – ukuran yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai efisiensi dan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Gaspersz (2002:40) menyatakan bahwa untuk menilai profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui rasio profitabilitas perusahaan itu sendiri. Menurut Gaspersz (2002:40) rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan melalui keuntungan (laba) yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan yang sering digunakan untuk menggambarkan profitabilitas suatu perusahaan, yaitu Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE). Dalam penelitian ini peneliti memilih mengunakan indikator ROA untuk mengukur kinerja perusahaan. Return On Asset (ROA) merupakan perbandingan antara net income dengan total assets, rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar. Perhitungan ROA terdiri dari: 1. Menghitung Earning Before Tax (EBT) laba perusahaan (bank) sebelum dikurangi pajak. 2. Menghitung keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh bank yang terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap. Formula perhitungan ROA yang digunakan sebagai berikut:
  • 44. Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013 Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7 39 2.2 Disiplin Kerja Menurut Henry Simamora (1995:565), disiplin adalah ―bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di dalam suatu organisasi.‖ Kedisiplinan harus ditegakkan dalam organisasi, karena tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, maka sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedisiplinan merupakan kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu perusahaan dengan harapan karyawan mengerjakan pekerjaannya dengan seefektif dan seefesien mungkin sehingga pada akhirnya kinerja perusahaan diharapkan meningkat. 2.3 Pengembangan Karir Pengembangan karir menurut Andrew J. Furbin (1982:197) sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Prabu (2007:77) adalah : ―Career Development, from the standpoint of the organization, is the personnel activity which helps individuals plan their future career within enterprise, in order to help the entreprise achieve and the employee achieve maximum self- development‖. Berdasarkan pendapat Andrew J. Durbin ini, pengembangan karir adalah aktivitas kepegawaian yang membantu pegawai merencanakan karir masa depannya di perusahaan, agar perusahaan dan pegawai dapat mengembangkan diri secara maksimum. Sementara menurut Henry Simamora (1995:410), pengembangan karir adalah ―pendekatan formal yang diambil suatu organisasi untuk memastikan bahwa orang-orang dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan.‖ Pengertian Pengembangan karir menurut Bernandin & Russel (1993:341) sebagaimana yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:215) adalah sebagai berikut : ―A Career development system is a formal, organized, planned effort to achieve a balance between individual career needs and organizational workforce requirement. It is mechanism for meeting the present and future human resources needs of an organization.‖ Dua proses utama dalam pengembangan karir dikemukakan oleh pendapat dari Bernandin & Russel (1993:341) yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:214), yakni : a. Career planning b. Career management 2.4 Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis 2.4.1 Pengaruh Disiplin Kerja terhadap Kinerja Perusahaan Disiplin kerja pegawai sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, hal tersebut terlihat dari pendapat-pendapat dari pakar berikut ini : Malayu S.P Hasibuan (2001:190) dengan jelas mengatakan bahwa : ―Semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal.‖ Menurut Prijodarminto (1994:23) ―Disiplin merupakan suatu kondisi yang terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.‖ Dengan indikator penelitian sebagai berikut : 1. Pegawai datang tepat waktu. 2. Pegawai pulang tepat waktu. 3. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik . Return on Assets (ROA) =Laba sebelum pajakRata-rata total aset