SlideShare a Scribd company logo
1 of 49
Diyah Perwitosari
Stratifikasi Sosial: Kasus Sumba
Deskripsi singkat stratifikasi sosial di
Sumba dengan teori kelas yang (menurut
saya) relevan
1.   Stratifikasi Sosial

2.   Kelas

3.   Deskripsi Stratifikasi Sosial di Sumba
     (menurut Hoskins, Twikromo)

4.   Stratifikasi Sosial di Sumba vs. Teori
     Kelas
STRATIFIKASI SOSIAL
Ada dua perpektif dasar mengenai stratifikasi sosial (Nanda dan
Warms):

1.   Functionalism (Fungsionalisme)

     Stratifikasi sosial pada umumnya menguntungkan seluruh
     masyarakat dimana ada imbalan (reward) untuk masyarakat
     secara sosial dan ekonomi apabila mereka bekerja lebih
     giat, berani mengambil risiko, melakukan pekerjaan yang sulit
     dan sebagainya. Namun terkadang imbalan yang diberikan
     tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan sehingga teori ini
     pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan
     ketimpangan atau ketidakmerataan (inequality)
2.   Teori Konflik

     Stratifikasi sosial merupakan hasil dari perjuangan terus
     menerus demi mendapatkan barang dan jasa yang terbatas.

     ketidakmerataan muncul karena individu dan kelompok yang
     memiliki kekuasaan, kekayaan dan presise menggunakan aset
     – aset dan kekuasaan mereka untuk mempertahankan
     kekuasaan atas sistem produksi dan aparatur negara.

     Hal ini merupakan inti dari teori Karl Marx
1.   Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke
     dalam kelompok budaya dan sosial berdasarkan karakteristiknya
     masing – masing atau yang diteruskan dari satu generasi ke generasi
     berikutnya dimana karakteristik tersebut mewujud dalam fungsi
     kehidupan sehari – hari dalam konteks sosial dan budaya tertentu
     (Ember dan Ember)

2.   Hirarki sosial yang terbentuk dari distribusi barang dan layanan yang
     secara relatif dan permanen tidak sama dalam suatu masyarakat
     (Nanda dan Warms)

3.   Struktur evaluasi dan “hadiah”, yang berbeda, yang melekat pada
     peran dalam pembagian kerja (Plotnicov dan Tuden)

     Peran – peran penting dalam masyarakat Ch‟ing secara fungsional
     dibagi ke dalam (1) peran yang dinilai tinggi, (2) peran yang nilainya
     menengah, serta (3) peran yang dinilai rendah
4.   Stratifikasi sosial merupakan sistem dimana akses terhadap
     sumber daya, otonomi, kekuasaan serta status berbeda.
     (Hoggart dan Kofman)

5.   Stratifikasi sosial adalah produk dari diferensiasi dan evaluasi
     sosial dan tidak menyiratkan kelas atau kasta tertentu, tetapi
     hanya bahwa cara kerja normal masyarakat telah
     menghasilkan perbedaan sistematis antara lembaga-lembaga
     atau orang-orang tertentu dan bentuk-bentuk ini berbeda dalam
     status atau prestise dan diberi tingkatan (ranked) berdasarkan
     kesepakatan umum (Labov)
6.   Stratifikasi sosial menyangkut sebuah masyarakat yang
     memiliki dua atau lebih kelompok yang berbeda peringkat
     dimana masing - masing kelompok yang terdiferensiasi
     tersebut memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang
     tidak sama (Srivastava)

Ketidaksamaan kekuasaan, keistimewaan dan prestise ini tidak
bisa disamakan dengan social inequality (ketimpangan sosial)
karena,menurut Srivastava, ketimpangan sosial lebih mengacu
pada ketimpangan antar individu dan bukannya sebagai anggota
dan/atau kelompok

Social stratification berbicara pada tataran kelompok
Social inequality berbicara pada tataran individu
Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka
ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan
sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing –
masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut berada dalam
tingkatan yang berbeda serta memiliki kekuasaan ,
keistimewaan dan prestise yang tidak sama pula (penggabungan
definisi menurut Ember dan Ember, Labov, serta Srivasta)
KELAS
Weinberg dan Lyons mengajukan 4 (empat) pemahaman akan kelas yang dapat
dipilih oleh peneliti berdasarkan kepentingan utamanya, yaitu

1.   Salah satu jenis dalam stratifikasi sosial,

2.   Perangkat heuristis yang memfasilitasi eksaminasi karakteristik dari situasi
     sosial dan bukannya karakteristik kelompok – kelompok,

3.   Perangkat empiris untuk mengidentifikasi kelompok sosial atau kelompok
     kuasi, serta

4.   Sesuatu yang (sama sekali) berseberangan dengan (pemahaman akan)
     stratifikasi sosial

Weinberg dan Lyons pada akhirnya menegaskan bahwa dimensi properti relevan
bagi análisis kelas dalam artian bahwa properti digunakan untuk meraih
kekuasaan.
     .
1.   Karl Marx
     Kelas – kelas dalam masyarakat itu timbul sebagai akibat
     paling logis dari ketidakadilan itu sendiri – ketika orang mulai
     mengambil hasil lebih yang diproduksi orang lain, tidak bisa
     tidak, hal itu akan membelah masyarakat (Kusumandaru) dan
     kelas seseorang ditunjukkan berdasarkan pada hubungan dan
     kekuasaanya atas alat – alat produksi (Hoggart dan Kofman)

     Ide utama dalam kelas Karl Marx adalah gagasan adanya
     suatu kelompok yang semufakat yang berlawanan dengan
     kelas sosial lainnya (Svalastoga).
2. Max Weber
   Kelas, kelompok (dengan) status (tertentu) serta partai politik
   (parties) merupakan fenomena distribusi kekuasaan di dalam
   komunitas (Weber) yang ditunjukkan dengan posisinya dalam
   pasar (Hoggart dan Kofman)

3. Kaare Svalastoga (Sosiolog)
   Merupakan salah satu model dalam diferensiasi sosial,
   terutama diferensiasi tingkatan dalam masyarakat, yang derajat
   ketembusannya sekitar 40% dari maksimum.
DESKRIPSI STRATIFIKASI
SOSIAL DI SUMBA MENURUT
HOSKINS DAN TWIKROMO
Untuk melihat sistem tingkatan di Sumba dapat dilihat dalam sistem pernikahan dimana
sistem pernikahan merupakan arena utama dimana status sosial “bermain”


            Pengantin Perempuan                            Perempuan Ata
            (Perempuan Maramba)
 Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan   Gadis budak 'diberikan dalam keadaan
 dalam keadaan telanjang' karena ia          telanjang', karena „harga‟ awalnya tidak
 memiliki seorang ayah dan saudara-          dapat dilunasi dengan kontra-pembayaran
 saudara yang akan mempertahankan siklus     yang nantinya akan secara dialektika
 pembayaran yang sesuai (penyerahan          mempengaruhi persepi dan
 perempuan ini “berpakaian” dan              mentransformasi pertukaran jauh dari
 reproduktif)                                komoditas dan hadiah (budak dalam
                                             keadaan 'telanjang' dan terputus dari
                                             resiprositas lebih lanjut, karena dia tidak
                                             memiliki keluarga untuk melanjutkan
                                             transaksi demi menyeimbangkan nilai
                                             pembayaran di masa depan)
Kata ‘Ata’ berarti manusia (Sumba Barat) dan juga budak (Sumba Timur dan Kodi)

-   Perbudakan diyakini sebagai lembaga (masyarakat suku*) yang dikonstruksikan oleh
    masyarakat suku (Matt Childs (2010), Andrea Major (2012))

-   Perbudakan adalah lembaga adat yang begitu tertanam dalam karakter orang
    Sumba sehingga akan sulit untuk memberhentikannya secara tiba-tiba. Suatu
    kekuatan penguasa tergantung pada kekuasaannya atas budak, yang tenaga
    kerja untuk budidaya sawah dan yang mana statusnya ditandai dengan ritual dan
    subordinasi hukum

*   Hoskins menuliskan kutipan Roos dengan istilah Indigenous institution namun saya
    akan menggunakan usulan Persoon untuk menggunakan istilah masyarakat suku
    (tribal people), dalam memahami kata indigenous, yang dinilainya lebih netral serta
    dirasa cukup penting dimana pemahaman antropologis dari „tribe‟ atau „tribal‟ atau
    kesukuan mencakup bahasa, agama, kepemimpinan secara politis dan juga
    kewenangan dalam bidang hukum
Ata memiliki perspektif kosmologis dalam artian bahwa mereka diciptakan untuk
menduduki posisi bawah dari tingkatan manusia serta perpektif historis dimana mereka
adalah orang – orang yang selalu kalah dalam pertempuran tertentu (pecundang).

Budak di Sumba, menurut Hoskins, ada dua jenis yaitu (1) ata mema (budak asli), yang
di Sumba Timur jumlahnya 40 – 80% dari populasi sementara di Sumba Barat
jumlahnya sekitar 20% dari populasi, dan (2) ata pa kahi (tawanan perang).

Sumba Timur
- hirarki paling kuat tertanam
- banyak budak tampaknya telah menerima peran mereka sebagai bawahan.
- perbudakan menunjukkan berlanjutnya rasa hormat kepada hirarki dan presise
  keluarga bangsawan

Sumba Barat
budak diperlakukan sebagai saudara yang lebih miskin, namun pernikahan dengan
mereka masih saja “bermasalah” karena mereka masih teringat pada “belenggu” dan
“tali” yang mengekang mereka
Kal Muller (1997)
Sumba Timur:
1. Terdapat kelas – kelas bangsawan, kaum biasa dan budak yang diwariskan
2. Hirarki sosialnya kaku
3. Rumah bangsawan serta desa para pendahulu mereka merupakan wilayah politik
    dan ritual
4. Kekayaan didapat dari ekspor kuda, ternak, kain (dibuat oleh perempuan
    bangsawan)
5. Otoritas dipertegas dengan melaksanakan ritual – ritual yang meriah



Sumba Barat
1. Hirarki tidak kaku
2. Status utamanya diperoleh melalui senioritas, hubungan dengan pendahulu, serta
   kemampuan (kemampuan dalam ritual, kapasitas untuk menggerakkan tenaga kerja
   yang lebih banyak juga memobilisasi kekayaan)
   Kebangsawanan meliputi kewajiban untuk memberikan tanggungan kepada
    seseorang, yang meliputi mengatur pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang
    pria yang kaya tetapi tidak bertanggung jawab secara sosial dipandang rendah

   Bangsawan yang tidak memiliki budak dan hanya kaya saja tidak memiliki pengaruh
    sosial
1.   Orang Sumba berkelompok – kelompok ke dalam unit yang disebut uma
     (rumah)

2.   Melalui pelacakkan garis keturunan tergarislah dua tingkatan yaitu (1)
     tingkat bangsawan (maramba) dan (2) tingkat budak (ata)

3.   Tingkatan sosial ini menjadi “social guidance” bagaimana harus
     bertindak dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan posisi
     sosialnya

4.   Posisi sosial menentukan kewajiban

Cue: Ada “perbedaan yang tegas antara kaum budak dan kaum
bangsawan” (hal. 138)
Konteks                     Budak (Ata)                  Bangsawan (Maramba)

Kendali atas ekonomi, sosial   Tidak punya kendali atas modal    Memiliki kendali dengan
maupun budaya                  ekonomi, sosial maupun budaya     menggunakan kekuasaan
                                                                 eksternal, internal, serta institusi
                                                                 eksternal

Ketergantungan                 Tergantung vertikal dengan para   Mempunyai budak untuk
                               tuan                              membantu kabihu mereka serta
                                                                 untuk menunjukkan kekayaan,
                                                                 status, gengsi dan pengaruh
                                                                 mereka yang besar

Kepentingan politik negara     Kurang memiliki bargaining        Memiliki bargaining position yang
                               position                          kuat

Reformasi                                                        Memberi ruang yang lebih luas
                                                                 bagi para elit daerah untuk
                                                                 memantapkan posisi politik
                                                                 mereka dengan berpijak pada
                                                                 tradisi atau budaya lokal
Konteks                           Budak (Ata)                  Bangsawan (Maramba)

Dampak nilai ekonomi modern                                            Memaksimalkan eksploitasi pada
                                                                       para budaj sebagai tenaga kerja
                                                                       terikat dan sekaligus memperkecil
                                                                       keajiban dalam menjamin
                                                                       kebutuhan sehari – hari bagi para
                                                                       budak mereka
Menyuarakan pendapat                 Tidak mempunyai kesempatan
                                     untuk mengungkapkan pendapat
                                     yang berbeda di depan para tuan
                                     mereka atau di forum terbuka
Pengambilan keputusan                (Dinilai) tidak memiliki
                                     pengetahuan cukup dalam
                                     pengambilan keputusan
Menduduki posisi sosial penting di   Jarang mendapat kesempatan
desa                                 untuk menduduki posisi sosial
                                     penting di desa
Kondisi kehidupan                    Didasarkan pada kepribadian dan
                                     bukannya kekayaan tuan mereka
Budak (Ata)                             Bangsawan (Maramba)

Bekerja tanpa gaji                              Membantu mendapatkan istri dan tempat tinggal

Menghormati tuannya (selalu mendukung gagasan   Membayar mas kawin pengantin perempuan
para tuan mereka, dll)
                                                Menyediakan kebutuhan dasar untuk upacara
                                                penguburan, pakaian, makanan
- Jelas tergaris adanya kelompok masyarakat di tingkat bangsawan (maramba)
      dan tingkat budak (ata).

-     Hubungan maramba dengan ata yang digambarkan Twikromo di”ikat” dengan
      apa yang disebut dengan kewajiban timbal-balik

-     Apabila kewajiban dari tuan tidak dipenuhi, maka para ata melakukan strategi
      tandingan, dalam bentuk guyonan atau pun tindakan – tindakan yang
      mengakibatkan minor damage, yang kemudian dinilai (oleh penulis) sebagai
      pengetahuan bersama diantara para ata
Maramba dan ata merupakan “rangkaian dua yang berlawanan tapi toh saling isi-
mengisi” (Koentjaraningrat dalam Wouden)

Isi-mengisi ini, dituliskan oleh Hoskins dan Twikromo, dalam bentuk kewajiban.

Hoskins (kewajiban untuk menanggung seseorang demi pengaruh sosial)
Twikromo (kewajiban timbal balik tuan – budak)
STRATIFIKASI SOSIAL DI SUMBA

            vs.

        TEORI KELAS
-   Teori Kelas Karl Marx dan Weber berbicara mengenai
    ketimpangan sosial (social inequality).

-   Kelas sebagai salah satu model diferensiasi sosial Svalastoga
    tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial namun dia
    menyatakan bahwa selama bagian – bagian sistem sosial
    (masyarakat) mempertahankan hubungan saling tergantung,
    maka akan tetap tercipta kesamaan.

-   Hoskins dan Twikromo tidak berbicara mengenai ketimpangan
    sosial. Mereka berbicara mengenai isi-mengisi antara
    bangsawan dan budak di Sumba.
Dengan demikian stratifikasi sosial di Sumba tidak bisa diterangkan dengan teori
kelas Marx maupun Weber karena pemahaman akan kelas Marx dan Weber,
seperti poin 4 pemahaman akan kelas yang diusulkan Weinberg dan Lyons,
merupakan sesuatu yang (sama sekali ) berseberangan dengan (pemahaman
akan) stratifikasi sosial di Sumba.

Stratifikasi sosial di Sumba merupakan cara masyarakat Sumba mengorganisir diri
mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan
sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing-masing kelompok
yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda serta memiliki
kekuasaan, keistimewaan dan prestise yang tidak sama, dan hubungan antar
kelompok tersebut diikat dengan apa yang disebut dengan hubungan kewajiban
timbal-balik.
   Pembentukan kelas sebagai hasil dari otonomi regional

   Analisa politik terhadap orang Sumba, dalam hal jejaring yang
    menghubungkan kelas – kelas perorangan diantara individu
    yang memiliki kekuasaan, menunjukkan bahwa anggota jejaring
    ini mulai membentuk kelas sosial yang terpisah.

   Elit politik tidak lah sama dengan kelas politik
Elit Politik
Kelompok orang – orang kaya dan cenderung kecil dalam hal
jumlah yang memiliki nilai dan kepentingan yang sama dimana
kepentingan ini secara efektif dapat mendikte tujuan – tujuan
utama (jika bukan tujuan, paling tidak mendikte alat dan detil yang
praktis) atas semua kebijakan pemerintah yang penting (mereka
juga mendominasi kegiatan media massa utama dan organisasi
pendidikan/kultural di dalam masyarakat) dengan kata lain elit
politik dikaitkan dengan kapasitasnya dalam mengarahkan serta
dilatarbelakangi motivasi yang berbau kepentingan politik
Kelas Politik

   Didefinisikan sebagai bagian dari stratifikasi sosial dan
    dilatarbelakangi motivasi demi mencapai ketahanan pangan
    dan keamanan sosial.

   Kelas politik berada di lapisan paling atas dari masyarakat

   Kelas politik juga mencakup orang – orang yang tidak memiliki
    posisi formal yang memiliki kapasitas untuk mengatur sumber
    daya negara termasuk di dalamnya pelaku usaha
    (businessmen), (beberapa) pensiunan PNS, serta para
    isri, ibu, saudara perempuan dan keturunan para laki-laki yang
    memegang posisi kunci dalam jejaring
Kelas Politik (Contd.)

-   Demokrasi, secara umum, serta desentralisasi administratif secara
    khusus memfasilitasi pertumbuhan kelas politik

-   Terdiri dari mereka yang berada dalam posisi pengambil keputusan
    terhadap alokasi sumber daya milik negara (uang , pekerjaan, ijin
    dan kekerasan)

-   Jejaring orang – orang yang berada dalam kelas politik akan
    nampak pada upacara – upacara khusus dan pertemuan publik
    (polisi akan bertindak sebagaimana mestinya pada saat diperintah
    oleh anggota dari kelas politik ini)

-   Anggotanya dapat saja kehilangan pengaruh
Publik (yang ber-) Politik

-   Orang – orang yang berada di tengah (kelas menengah) dari
    keefektifan politik

-   Orang – orang selain elit politik yang merasa mampu untuk
    mengambil tindakan yang dapat mempengaruhi politik serta
    kepemerintahan nasional (kabupaten)
Kelas Tani

-   Berada di bagian paling luar dari lingkaran masyarakat
    (positioned in the outer circle)

-   Anggotanya merasa mereka bersatus sangat rendah untuk aktif
    dalam dunia politik

-   2/3 (dua per tiga) populasi Sumba mendefinisikan diri mereka
    sendiri sebagai orang – orang yang tidak memiliki pengaruh
    dalam alokasi sumber daya milik negara
1.   Batas antara „kelas politik‟, „publik (yang ber-) politik, serta
     kelas tani tidaklah digariskan dengan sangat jelas

2.   Kelas tani dan kelas politik saling bergantung. Kelas tani
     menguasai bahan makanan serta tanah, tenaga kerja serta
     ternak, yang merupakan sumber – sumber daya penting bagi
     semua masyarakat Sumba.

3.   Kelas politik memiliki uang dan akses bagi kesempatan untuk
     memperbaiki livelihood melalui pendidikan dan jejaring yang
     telah melebar hingga ke luar Sumba.

4.   Politikus merupakan anggota kelas politik, namun mereka
     membutuhkan penduduk pedesaan untuk menjadi konstituen
     mereka.
Kekerasan di Waikabubak („Kamis Berdarah‟) bukanlah perang
suku namun merupakan kekerasan yang ditujukan pada negara
dan mereka yang mengatur sumber – sumber daya negara demi
keuntungan anggota kelas mereka yang sedikit jumlahnya

DENGAN KATA LAIN

Kelompok yang ambil bagian dalam kekerasan ini adalah kelompok
orang – orang yang menguasai sumber – sumber daya negara
dengan kelompok yang tidak memiliki akses atas sumber – sumber
daya negara
1.   Masyarakat asli Sumba Timur mempertahankan sistem kasta
     tiga lapis yang terdiri dari (1) bangsawan (maramba), (2) orang
     biasa (kabihu), serta (3) budak (ata).

2.   Semenjak Sumba masuk ke dalam sistem nasional Indonesia:
     a. kaum maramba tidak dapat lagi menerapkan dengan ketat
        hukum adat (uku marapu) namun tetap memegang kontrol
        sosial

     b. kasta maramba masih memiliki banyak sumber daya seperti
        tana (tanah), banda luri (ternak), dan tetap menunjukkan
        status mereka.
“Masyarakat Sumba dibagi dalam tiga golongan, yaitu bangsawan
(maramba), orang merdeka (kabihu), dan hamba (ata)” (hal: 35)


BANGSAWAN (maramba)

-   Memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi dan memberi
    kesejahteraan terhadap warga kampungnya

-   Para bangsawan adalah kunci masuk ke dalam masyarakat
    Sumba

-   Pada umumnya kaya dan memiliki sejumlah hamba
BANGSAWAN (maramba)

Bangsawan tinggi
-  Golongan inilah yang menjadi raja
-  Menjadi bangsawan tinggi karena merupakan keturunan
   bangsawan tinggi

Bangsawan biasa
-  Bangsawan mendamu (hasil perwakinan seorang laki-laki
   golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal
   dari golongan orang merdeka)
-  Bangsawan kalawihi (hasil perwakinan seorang laki-laki
   golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal
   dari golongan hamba)
Bangsawan kalawihi (hasil perwakinan seorang laki-laki golongan
bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal dari golongan
hamba)

Anak laki – laki raja yang dilahirkan oleh selir dari kaum budak (ata)
bisa mewarisi kekayaan dan tanah tetapi orang – orang akan selalu
me”labeli”nya sebagai orang yang berdarah budak

(Slaves, Brides and Other „Gifts‟: Resistance, Marriage and Rank in
Eastern Indonesia, Janet Hoskins, p: 5)
ORANG MERDEKA (KABIHU)

- Golongan yang terbanyak dalam masyarakat
- Lapisan yang kedua dalam masyarakat Sumba
- Rekan kerja para bangsawan dalam hidup bermasyarakat


Merdeka Besar (Kabihu Bokulu) – Penopang negeri dan
pengampu padang (tulaku paraingu-lindiku marada)
Penasihat golongan bangsawan, pemimpin perang dalam suatu
Peperangan

Merdeka Kecil (Kabihu Kudu)
Kurang memiliki pengaruh namun kedudukan mereka lebih tinggi
daripada golongan hamba ,orang merdeka yang miskin
HAMBA (ATA)

Lapisan terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba

Hamba Pusaka (Ata Memang, Ata Ndai)
- Golongan yang sejak semula memang hamba
- Disebut juga Hamba Besar (Ata Bokulu)
- Kebutuhan hidup, perkawinan dan kematian serta penguburan
  mereka dibiayai oleh tuannya. Sering kali mereka lebih kaya
  dibanding orang merdeka besar

Hamba yang Baru (Ata Bidi)
- Golongan yang sebelumnya tidak termasuk anggota rumah raja
  atau bangsawan
- Disebut juga Hamba Kecil (Ata Kudu)
Hamba yang Baru (Ata Bidi)

- Hamba yang dibeli disebut Hamba Belian (Ata Pakei)
- Hamba yang diperoleh karena tertawan dalam peperangan
  disebut Hamba Tawanan (Ata Payappa)
  Merupakan manusia pekerja
  Menggarap ladang dan sawah serta menjaga dan memelihara
  ternak dan tuannya
- Hamba yang diberikan oleh orangtua perempuan atau laki-laki
  kepada anak mereka ketika mereka kawin disebut juga Hamba
  Bawaan (Ata Ngandi) – pada umunya berasal dari golongan
  hamba pusaka dan tidak termasuk sebagai mas kawin (belis)
1.   Anenshensel, Carol S. dan Phelan, Jo C. 2006. Handbook of the Sociology of
     Mental Health. Springer Science+Business Meida, LLC, USA.

2.   Childs, Matt. 2010. Atlantic Slavery: Oxford Bibliographies Online Research
     Guide. Oxford University Press.

3.   Ember, Carol L. dan Ember, Melvin. 2003. Encyclopedia of Medical
     Anthropology: Health and Illness in the World’s Cultures Topics – Volume 1.
     Kluwer Academic/Plenum Publishers, NY.

4.   Forshee, Jill. 2001. Between the Folds: Stories of Cloth, Lives, and Travels from
     Sumba. University of Hawai‟i Press, Honolulu.

5.   Hoggart, Keith dan Kofman, Eleonore Kofman. 1986. Politics, Geography & Social
     Stratification. Croom Helm.

6.   Hoskins, Janet. 2004. “Slaves, Brides and Other „Gifts‟: Resistance, Marriage and
     Rank in Eastern Indonesia.” Slavery and Abolition 25 (2)(August 2004): 90-107.
7.    Kusumandaru, Ken Budha. 2003. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme:
      Sanggahan terhadap Frans Magnis-Suseno. Insist Press, Yogyakarta

8.    Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. University of
      Pennsylvania Press Inc., USA.

9.    Major, Andrea. 2012. Slavery, Abolitionism and Empire in India, 1772-1843.
      Liverpool University Press.

10.   Muller, Kal. 1997. East of Bali: from Lombok to Timor. Tuttle Publishing.

11.   Nanda, Serena dan Warms, Richard L. 2010. Cultural Anthropology, Tenth
      Edition. Wadsworth, Cengage Learning, USA.

12.   Plotnicov, Leonard dan Tuden, Arthur. 1970. Essays in Comparative Social
      Stratification. University of Pittsburgh Press, USA.
13.   Srivasta, A. R. N. 2005. Essentials of Cultural Anthropology. Prentice-Hal of India
      Private Limited, New Delhi.

14.   Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Bina Aksara, Jakarta.

15.   Twikromo, Y. Argo. 2009. “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum
      Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur
      Sumba.” Dalam Jurnal Renai (Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora), Tahun IX, No.
      2, 2009. Halaman 135-167

16.   Vel, Jacqueline A. C. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West
      Sumba, Indonesia, 1986-2006. KITLV Pres, Leiden.

17.   Weber, Max. Class, Status and Party. Dalam Class Status, and Power: Social
      Stratification in Comparative Perspective, Second Edition disunting oleh Reinhard
      Bendix dan Seymour Martin Lipset. 1966. The Free Press, USA.

18.   Weinberg, Aubrey and Lyons, Frank. Class Theory and Practice. The British Journal of
      Sociology, Vol. 23, No. 1, (Mar., 1972), pp. 51-65 Published by: Blackwell Publishing on
      behalf of The London School of Economics and Political Science
19.   Wellem, F. D. 2004. Injil dan Marapu Suatu Studi Historis-Teologis tentang
      Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876 – 1990. PT
      BPK Gunung Mulia, Jakarta.

20.   Wouden, F. A. E. 1981. Kelompok-Kelompok Setempat dan Garis
      Keturunan Kembar di Kodi Sumba Barat. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

More Related Content

What's hot

Hubungan filsafat dengan ilmu lain
Hubungan filsafat dengan ilmu  lainHubungan filsafat dengan ilmu  lain
Hubungan filsafat dengan ilmu lain
Nick V
 
Modul proses terjadinya pelangi/sitinasity
Modul proses terjadinya pelangi/sitinasityModul proses terjadinya pelangi/sitinasity
Modul proses terjadinya pelangi/sitinasity
sitinasityy
 

What's hot (20)

MAKALAH peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)
MAKALAH peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)MAKALAH peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)
MAKALAH peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)
 
Intergrasi ilmu dan agama serta gagasan islamisasi ilmu pengetahuan (makalah)
Intergrasi ilmu dan agama serta gagasan islamisasi ilmu pengetahuan (makalah)Intergrasi ilmu dan agama serta gagasan islamisasi ilmu pengetahuan (makalah)
Intergrasi ilmu dan agama serta gagasan islamisasi ilmu pengetahuan (makalah)
 
Kebenaran ilmiah 2
Kebenaran ilmiah 2Kebenaran ilmiah 2
Kebenaran ilmiah 2
 
Hubungan filsafat dengan ilmu lain
Hubungan filsafat dengan ilmu  lainHubungan filsafat dengan ilmu  lain
Hubungan filsafat dengan ilmu lain
 
PPKN – Peran Advokat dalam Penegakan Hukum
PPKN – Peran Advokat dalam Penegakan Hukum PPKN – Peran Advokat dalam Penegakan Hukum
PPKN – Peran Advokat dalam Penegakan Hukum
 
Bab ii 9
Bab ii 9Bab ii 9
Bab ii 9
 
Keragaman dan kesetaraan
Keragaman dan kesetaraanKeragaman dan kesetaraan
Keragaman dan kesetaraan
 
PPT PKN Demokrasi di Indonesia
PPT PKN Demokrasi di IndonesiaPPT PKN Demokrasi di Indonesia
PPT PKN Demokrasi di Indonesia
 
Proposal Kerjasama Vakisnasi
Proposal Kerjasama VakisnasiProposal Kerjasama Vakisnasi
Proposal Kerjasama Vakisnasi
 
BAB I - IV (PEMBUATAN TEMPE MENJES) ARDISIA DKK
BAB I - IV (PEMBUATAN TEMPE MENJES) ARDISIA DKKBAB I - IV (PEMBUATAN TEMPE MENJES) ARDISIA DKK
BAB I - IV (PEMBUATAN TEMPE MENJES) ARDISIA DKK
 
PKN Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia
PKN Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa IndonesiaPKN Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia
PKN Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia
 
Sejarah demokrasi di indonesia
Sejarah demokrasi di indonesiaSejarah demokrasi di indonesia
Sejarah demokrasi di indonesia
 
Proposal Makanan Tradisional Berbahan Dasar Nabati
Proposal Makanan Tradisional Berbahan Dasar Nabati Proposal Makanan Tradisional Berbahan Dasar Nabati
Proposal Makanan Tradisional Berbahan Dasar Nabati
 
Aristoteles
AristotelesAristoteles
Aristoteles
 
Pancasila sebagai sistem filsafat kel.5
Pancasila sebagai sistem filsafat kel.5Pancasila sebagai sistem filsafat kel.5
Pancasila sebagai sistem filsafat kel.5
 
Pancasila sebagai sumber hukum dasar negara indonesia
Pancasila sebagai sumber hukum dasar negara indonesiaPancasila sebagai sumber hukum dasar negara indonesia
Pancasila sebagai sumber hukum dasar negara indonesia
 
Modul proses terjadinya pelangi/sitinasity
Modul proses terjadinya pelangi/sitinasityModul proses terjadinya pelangi/sitinasity
Modul proses terjadinya pelangi/sitinasity
 
Mutagen
MutagenMutagen
Mutagen
 
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INIBUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
 
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Kabinet Ali Sastroamidjojo IIKabinet Ali Sastroamidjojo II
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
 

Similar to Stratifikasi Sosial di Sumba (Hoskins dan Twikromo)

Materi 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptx
Materi 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptxMateri 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptx
Materi 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptx
Riskiamelia18
 
Bab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fix
Bab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fixBab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fix
Bab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fix
RezaWahyuni5
 
04.struktur sosial smk final 2009
04.struktur sosial smk final 200904.struktur sosial smk final 2009
04.struktur sosial smk final 2009
iljang
 
Stratifikasi sosial by vicho
Stratifikasi sosial by vichoStratifikasi sosial by vicho
Stratifikasi sosial by vicho
Vicho Taidi
 
Kelompok 5 stratifikasi sosial agb a
Kelompok 5 stratifikasi sosial agb aKelompok 5 stratifikasi sosial agb a
Kelompok 5 stratifikasi sosial agb a
helenapakpahan
 

Similar to Stratifikasi Sosial di Sumba (Hoskins dan Twikromo) (20)

Perspektif Sosiologi
Perspektif SosiologiPerspektif Sosiologi
Perspektif Sosiologi
 
IV-Stratifikasi Sosial.ppt
IV-Stratifikasi Sosial.pptIV-Stratifikasi Sosial.ppt
IV-Stratifikasi Sosial.ppt
 
Materi 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptx
Materi 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptxMateri 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptx
Materi 2 Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial pert 2.pptx
 
Bab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fix
Bab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fixBab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fix
Bab 3 perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial std fix
 
SOSIOLOGI BAB 3 kesetaraan sosial dalam masyarakat indonesia kelas 11.
SOSIOLOGI BAB 3 kesetaraan sosial dalam masyarakat indonesia kelas 11.SOSIOLOGI BAB 3 kesetaraan sosial dalam masyarakat indonesia kelas 11.
SOSIOLOGI BAB 3 kesetaraan sosial dalam masyarakat indonesia kelas 11.
 
Ilmu sosial budaya
Ilmu sosial budayaIlmu sosial budaya
Ilmu sosial budaya
 
M9_Stratifikasi dan diferensiasi.pptx
M9_Stratifikasi dan diferensiasi.pptxM9_Stratifikasi dan diferensiasi.pptx
M9_Stratifikasi dan diferensiasi.pptx
 
Stratifikasi sosial 2016
Stratifikasi sosial 2016Stratifikasi sosial 2016
Stratifikasi sosial 2016
 
Stratifikasi sosial 2017
Stratifikasi sosial 2017Stratifikasi sosial 2017
Stratifikasi sosial 2017
 
04.struktur sosial smk final 2009
04.struktur sosial smk final 200904.struktur sosial smk final 2009
04.struktur sosial smk final 2009
 
Dinamika Malaysia - Konsep sejarah [hamidah[k] 2011
Dinamika Malaysia - Konsep sejarah [hamidah[k] 2011Dinamika Malaysia - Konsep sejarah [hamidah[k] 2011
Dinamika Malaysia - Konsep sejarah [hamidah[k] 2011
 
Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni
Perbedaan, Kesetaraan dan HarmoniPerbedaan, Kesetaraan dan Harmoni
Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni
 
Stratifikasi sosial by vicho
Stratifikasi sosial by vichoStratifikasi sosial by vicho
Stratifikasi sosial by vicho
 
Bab 5 l
Bab 5 lBab 5 l
Bab 5 l
 
Budaya dan kuasa
Budaya dan kuasaBudaya dan kuasa
Budaya dan kuasa
 
Ilmu sosial dan budaya dasar
Ilmu sosial dan budaya dasarIlmu sosial dan budaya dasar
Ilmu sosial dan budaya dasar
 
Materi Kuliah Sosiologi Stratifikasi Sosial Bagi Mahasiswa Keperawatan
Materi Kuliah Sosiologi Stratifikasi Sosial Bagi Mahasiswa KeperawatanMateri Kuliah Sosiologi Stratifikasi Sosial Bagi Mahasiswa Keperawatan
Materi Kuliah Sosiologi Stratifikasi Sosial Bagi Mahasiswa Keperawatan
 
Pelapisan sosial dan kesamaan derajat
Pelapisan sosial dan kesamaan derajatPelapisan sosial dan kesamaan derajat
Pelapisan sosial dan kesamaan derajat
 
Kelompok 5 stratifikasi sosial agb a
Kelompok 5 stratifikasi sosial agb aKelompok 5 stratifikasi sosial agb a
Kelompok 5 stratifikasi sosial agb a
 
Struktur Sosial - IPS SMK XI (KTSP)
Struktur Sosial - IPS SMK XI (KTSP)Struktur Sosial - IPS SMK XI (KTSP)
Struktur Sosial - IPS SMK XI (KTSP)
 

More from Diyah Perwitosari

Seklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi strauss
Seklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi straussSeklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi strauss
Seklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi strauss
Diyah Perwitosari
 
'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...
'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...
'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...
Diyah Perwitosari
 
Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...
Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...
Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...
Diyah Perwitosari
 
Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...
Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...
Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...
Diyah Perwitosari
 

More from Diyah Perwitosari (14)

Seklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi strauss
Seklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi straussSeklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi strauss
Seklumit pehamahaman terhadap efektifitas simbol levi strauss
 
Siapa yang sesat
Siapa yang sesatSiapa yang sesat
Siapa yang sesat
 
'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...
'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...
'Konco Wingking' - Wanita dalam Subordinasi Laki-Laki vs. Wanita sebagai Deci...
 
Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...
Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...
Review ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’ tulisan M...
 
Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...
Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...
Seklumit pemahaman terhadap 'Pahlawan Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya ...
 
Seklumit pemahaman terhadap 'The Nuer'
Seklumit pemahaman terhadap 'The Nuer'Seklumit pemahaman terhadap 'The Nuer'
Seklumit pemahaman terhadap 'The Nuer'
 
Alokasi Waktu dan Uang
Alokasi Waktu dan UangAlokasi Waktu dan Uang
Alokasi Waktu dan Uang
 
Ramadhan puasa lebaran
Ramadhan puasa lebaranRamadhan puasa lebaran
Ramadhan puasa lebaran
 
Perempuan
PerempuanPerempuan
Perempuan
 
Pasar
PasarPasar
Pasar
 
Komunitas
KomunitasKomunitas
Komunitas
 
Reog dan Jathilan
Reog dan JathilanReog dan Jathilan
Reog dan Jathilan
 
Ritual dan Tradisi
Ritual dan TradisiRitual dan Tradisi
Ritual dan Tradisi
 
Syawalan dan Halal Bihalal
Syawalan dan Halal BihalalSyawalan dan Halal Bihalal
Syawalan dan Halal Bihalal
 

Stratifikasi Sosial di Sumba (Hoskins dan Twikromo)

  • 3. Deskripsi singkat stratifikasi sosial di Sumba dengan teori kelas yang (menurut saya) relevan
  • 4. 1. Stratifikasi Sosial 2. Kelas 3. Deskripsi Stratifikasi Sosial di Sumba (menurut Hoskins, Twikromo) 4. Stratifikasi Sosial di Sumba vs. Teori Kelas
  • 6. Ada dua perpektif dasar mengenai stratifikasi sosial (Nanda dan Warms): 1. Functionalism (Fungsionalisme) Stratifikasi sosial pada umumnya menguntungkan seluruh masyarakat dimana ada imbalan (reward) untuk masyarakat secara sosial dan ekonomi apabila mereka bekerja lebih giat, berani mengambil risiko, melakukan pekerjaan yang sulit dan sebagainya. Namun terkadang imbalan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan sehingga teori ini pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan ketimpangan atau ketidakmerataan (inequality)
  • 7. 2. Teori Konflik Stratifikasi sosial merupakan hasil dari perjuangan terus menerus demi mendapatkan barang dan jasa yang terbatas. ketidakmerataan muncul karena individu dan kelompok yang memiliki kekuasaan, kekayaan dan presise menggunakan aset – aset dan kekuasaan mereka untuk mempertahankan kekuasaan atas sistem produksi dan aparatur negara. Hal ini merupakan inti dari teori Karl Marx
  • 8. 1. Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial berdasarkan karakteristiknya masing – masing atau yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dimana karakteristik tersebut mewujud dalam fungsi kehidupan sehari – hari dalam konteks sosial dan budaya tertentu (Ember dan Ember) 2. Hirarki sosial yang terbentuk dari distribusi barang dan layanan yang secara relatif dan permanen tidak sama dalam suatu masyarakat (Nanda dan Warms) 3. Struktur evaluasi dan “hadiah”, yang berbeda, yang melekat pada peran dalam pembagian kerja (Plotnicov dan Tuden) Peran – peran penting dalam masyarakat Ch‟ing secara fungsional dibagi ke dalam (1) peran yang dinilai tinggi, (2) peran yang nilainya menengah, serta (3) peran yang dinilai rendah
  • 9. 4. Stratifikasi sosial merupakan sistem dimana akses terhadap sumber daya, otonomi, kekuasaan serta status berbeda. (Hoggart dan Kofman) 5. Stratifikasi sosial adalah produk dari diferensiasi dan evaluasi sosial dan tidak menyiratkan kelas atau kasta tertentu, tetapi hanya bahwa cara kerja normal masyarakat telah menghasilkan perbedaan sistematis antara lembaga-lembaga atau orang-orang tertentu dan bentuk-bentuk ini berbeda dalam status atau prestise dan diberi tingkatan (ranked) berdasarkan kesepakatan umum (Labov)
  • 10. 6. Stratifikasi sosial menyangkut sebuah masyarakat yang memiliki dua atau lebih kelompok yang berbeda peringkat dimana masing - masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang tidak sama (Srivastava) Ketidaksamaan kekuasaan, keistimewaan dan prestise ini tidak bisa disamakan dengan social inequality (ketimpangan sosial) karena,menurut Srivastava, ketimpangan sosial lebih mengacu pada ketimpangan antar individu dan bukannya sebagai anggota dan/atau kelompok Social stratification berbicara pada tataran kelompok Social inequality berbicara pada tataran individu
  • 11. Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing – masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda serta memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang tidak sama pula (penggabungan definisi menurut Ember dan Ember, Labov, serta Srivasta)
  • 12. KELAS
  • 13. Weinberg dan Lyons mengajukan 4 (empat) pemahaman akan kelas yang dapat dipilih oleh peneliti berdasarkan kepentingan utamanya, yaitu 1. Salah satu jenis dalam stratifikasi sosial, 2. Perangkat heuristis yang memfasilitasi eksaminasi karakteristik dari situasi sosial dan bukannya karakteristik kelompok – kelompok, 3. Perangkat empiris untuk mengidentifikasi kelompok sosial atau kelompok kuasi, serta 4. Sesuatu yang (sama sekali) berseberangan dengan (pemahaman akan) stratifikasi sosial Weinberg dan Lyons pada akhirnya menegaskan bahwa dimensi properti relevan bagi análisis kelas dalam artian bahwa properti digunakan untuk meraih kekuasaan. .
  • 14. 1. Karl Marx Kelas – kelas dalam masyarakat itu timbul sebagai akibat paling logis dari ketidakadilan itu sendiri – ketika orang mulai mengambil hasil lebih yang diproduksi orang lain, tidak bisa tidak, hal itu akan membelah masyarakat (Kusumandaru) dan kelas seseorang ditunjukkan berdasarkan pada hubungan dan kekuasaanya atas alat – alat produksi (Hoggart dan Kofman) Ide utama dalam kelas Karl Marx adalah gagasan adanya suatu kelompok yang semufakat yang berlawanan dengan kelas sosial lainnya (Svalastoga).
  • 15. 2. Max Weber Kelas, kelompok (dengan) status (tertentu) serta partai politik (parties) merupakan fenomena distribusi kekuasaan di dalam komunitas (Weber) yang ditunjukkan dengan posisinya dalam pasar (Hoggart dan Kofman) 3. Kaare Svalastoga (Sosiolog) Merupakan salah satu model dalam diferensiasi sosial, terutama diferensiasi tingkatan dalam masyarakat, yang derajat ketembusannya sekitar 40% dari maksimum.
  • 16. DESKRIPSI STRATIFIKASI SOSIAL DI SUMBA MENURUT HOSKINS DAN TWIKROMO
  • 17. Untuk melihat sistem tingkatan di Sumba dapat dilihat dalam sistem pernikahan dimana sistem pernikahan merupakan arena utama dimana status sosial “bermain” Pengantin Perempuan Perempuan Ata (Perempuan Maramba) Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan Gadis budak 'diberikan dalam keadaan dalam keadaan telanjang' karena ia telanjang', karena „harga‟ awalnya tidak memiliki seorang ayah dan saudara- dapat dilunasi dengan kontra-pembayaran saudara yang akan mempertahankan siklus yang nantinya akan secara dialektika pembayaran yang sesuai (penyerahan mempengaruhi persepi dan perempuan ini “berpakaian” dan mentransformasi pertukaran jauh dari reproduktif) komoditas dan hadiah (budak dalam keadaan 'telanjang' dan terputus dari resiprositas lebih lanjut, karena dia tidak memiliki keluarga untuk melanjutkan transaksi demi menyeimbangkan nilai pembayaran di masa depan)
  • 18. Kata ‘Ata’ berarti manusia (Sumba Barat) dan juga budak (Sumba Timur dan Kodi) - Perbudakan diyakini sebagai lembaga (masyarakat suku*) yang dikonstruksikan oleh masyarakat suku (Matt Childs (2010), Andrea Major (2012)) - Perbudakan adalah lembaga adat yang begitu tertanam dalam karakter orang Sumba sehingga akan sulit untuk memberhentikannya secara tiba-tiba. Suatu kekuatan penguasa tergantung pada kekuasaannya atas budak, yang tenaga kerja untuk budidaya sawah dan yang mana statusnya ditandai dengan ritual dan subordinasi hukum * Hoskins menuliskan kutipan Roos dengan istilah Indigenous institution namun saya akan menggunakan usulan Persoon untuk menggunakan istilah masyarakat suku (tribal people), dalam memahami kata indigenous, yang dinilainya lebih netral serta dirasa cukup penting dimana pemahaman antropologis dari „tribe‟ atau „tribal‟ atau kesukuan mencakup bahasa, agama, kepemimpinan secara politis dan juga kewenangan dalam bidang hukum
  • 19. Ata memiliki perspektif kosmologis dalam artian bahwa mereka diciptakan untuk menduduki posisi bawah dari tingkatan manusia serta perpektif historis dimana mereka adalah orang – orang yang selalu kalah dalam pertempuran tertentu (pecundang). Budak di Sumba, menurut Hoskins, ada dua jenis yaitu (1) ata mema (budak asli), yang di Sumba Timur jumlahnya 40 – 80% dari populasi sementara di Sumba Barat jumlahnya sekitar 20% dari populasi, dan (2) ata pa kahi (tawanan perang). Sumba Timur - hirarki paling kuat tertanam - banyak budak tampaknya telah menerima peran mereka sebagai bawahan. - perbudakan menunjukkan berlanjutnya rasa hormat kepada hirarki dan presise keluarga bangsawan Sumba Barat budak diperlakukan sebagai saudara yang lebih miskin, namun pernikahan dengan mereka masih saja “bermasalah” karena mereka masih teringat pada “belenggu” dan “tali” yang mengekang mereka
  • 20. Kal Muller (1997) Sumba Timur: 1. Terdapat kelas – kelas bangsawan, kaum biasa dan budak yang diwariskan 2. Hirarki sosialnya kaku 3. Rumah bangsawan serta desa para pendahulu mereka merupakan wilayah politik dan ritual 4. Kekayaan didapat dari ekspor kuda, ternak, kain (dibuat oleh perempuan bangsawan) 5. Otoritas dipertegas dengan melaksanakan ritual – ritual yang meriah Sumba Barat 1. Hirarki tidak kaku 2. Status utamanya diperoleh melalui senioritas, hubungan dengan pendahulu, serta kemampuan (kemampuan dalam ritual, kapasitas untuk menggerakkan tenaga kerja yang lebih banyak juga memobilisasi kekayaan)
  • 21. Kebangsawanan meliputi kewajiban untuk memberikan tanggungan kepada seseorang, yang meliputi mengatur pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang pria yang kaya tetapi tidak bertanggung jawab secara sosial dipandang rendah  Bangsawan yang tidak memiliki budak dan hanya kaya saja tidak memiliki pengaruh sosial
  • 22. 1. Orang Sumba berkelompok – kelompok ke dalam unit yang disebut uma (rumah) 2. Melalui pelacakkan garis keturunan tergarislah dua tingkatan yaitu (1) tingkat bangsawan (maramba) dan (2) tingkat budak (ata) 3. Tingkatan sosial ini menjadi “social guidance” bagaimana harus bertindak dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan posisi sosialnya 4. Posisi sosial menentukan kewajiban Cue: Ada “perbedaan yang tegas antara kaum budak dan kaum bangsawan” (hal. 138)
  • 23. Konteks Budak (Ata) Bangsawan (Maramba) Kendali atas ekonomi, sosial Tidak punya kendali atas modal Memiliki kendali dengan maupun budaya ekonomi, sosial maupun budaya menggunakan kekuasaan eksternal, internal, serta institusi eksternal Ketergantungan Tergantung vertikal dengan para Mempunyai budak untuk tuan membantu kabihu mereka serta untuk menunjukkan kekayaan, status, gengsi dan pengaruh mereka yang besar Kepentingan politik negara Kurang memiliki bargaining Memiliki bargaining position yang position kuat Reformasi Memberi ruang yang lebih luas bagi para elit daerah untuk memantapkan posisi politik mereka dengan berpijak pada tradisi atau budaya lokal
  • 24. Konteks Budak (Ata) Bangsawan (Maramba) Dampak nilai ekonomi modern Memaksimalkan eksploitasi pada para budaj sebagai tenaga kerja terikat dan sekaligus memperkecil keajiban dalam menjamin kebutuhan sehari – hari bagi para budak mereka Menyuarakan pendapat Tidak mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda di depan para tuan mereka atau di forum terbuka Pengambilan keputusan (Dinilai) tidak memiliki pengetahuan cukup dalam pengambilan keputusan Menduduki posisi sosial penting di Jarang mendapat kesempatan desa untuk menduduki posisi sosial penting di desa Kondisi kehidupan Didasarkan pada kepribadian dan bukannya kekayaan tuan mereka
  • 25. Budak (Ata) Bangsawan (Maramba) Bekerja tanpa gaji Membantu mendapatkan istri dan tempat tinggal Menghormati tuannya (selalu mendukung gagasan Membayar mas kawin pengantin perempuan para tuan mereka, dll) Menyediakan kebutuhan dasar untuk upacara penguburan, pakaian, makanan
  • 26. - Jelas tergaris adanya kelompok masyarakat di tingkat bangsawan (maramba) dan tingkat budak (ata). - Hubungan maramba dengan ata yang digambarkan Twikromo di”ikat” dengan apa yang disebut dengan kewajiban timbal-balik - Apabila kewajiban dari tuan tidak dipenuhi, maka para ata melakukan strategi tandingan, dalam bentuk guyonan atau pun tindakan – tindakan yang mengakibatkan minor damage, yang kemudian dinilai (oleh penulis) sebagai pengetahuan bersama diantara para ata
  • 27. Maramba dan ata merupakan “rangkaian dua yang berlawanan tapi toh saling isi- mengisi” (Koentjaraningrat dalam Wouden) Isi-mengisi ini, dituliskan oleh Hoskins dan Twikromo, dalam bentuk kewajiban. Hoskins (kewajiban untuk menanggung seseorang demi pengaruh sosial) Twikromo (kewajiban timbal balik tuan – budak)
  • 28. STRATIFIKASI SOSIAL DI SUMBA vs. TEORI KELAS
  • 29. - Teori Kelas Karl Marx dan Weber berbicara mengenai ketimpangan sosial (social inequality). - Kelas sebagai salah satu model diferensiasi sosial Svalastoga tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial namun dia menyatakan bahwa selama bagian – bagian sistem sosial (masyarakat) mempertahankan hubungan saling tergantung, maka akan tetap tercipta kesamaan. - Hoskins dan Twikromo tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial. Mereka berbicara mengenai isi-mengisi antara bangsawan dan budak di Sumba.
  • 30. Dengan demikian stratifikasi sosial di Sumba tidak bisa diterangkan dengan teori kelas Marx maupun Weber karena pemahaman akan kelas Marx dan Weber, seperti poin 4 pemahaman akan kelas yang diusulkan Weinberg dan Lyons, merupakan sesuatu yang (sama sekali ) berseberangan dengan (pemahaman akan) stratifikasi sosial di Sumba. Stratifikasi sosial di Sumba merupakan cara masyarakat Sumba mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing-masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda serta memiliki kekuasaan, keistimewaan dan prestise yang tidak sama, dan hubungan antar kelompok tersebut diikat dengan apa yang disebut dengan hubungan kewajiban timbal-balik.
  • 31. Pembentukan kelas sebagai hasil dari otonomi regional  Analisa politik terhadap orang Sumba, dalam hal jejaring yang menghubungkan kelas – kelas perorangan diantara individu yang memiliki kekuasaan, menunjukkan bahwa anggota jejaring ini mulai membentuk kelas sosial yang terpisah.  Elit politik tidak lah sama dengan kelas politik
  • 32. Elit Politik Kelompok orang – orang kaya dan cenderung kecil dalam hal jumlah yang memiliki nilai dan kepentingan yang sama dimana kepentingan ini secara efektif dapat mendikte tujuan – tujuan utama (jika bukan tujuan, paling tidak mendikte alat dan detil yang praktis) atas semua kebijakan pemerintah yang penting (mereka juga mendominasi kegiatan media massa utama dan organisasi pendidikan/kultural di dalam masyarakat) dengan kata lain elit politik dikaitkan dengan kapasitasnya dalam mengarahkan serta dilatarbelakangi motivasi yang berbau kepentingan politik
  • 33. Kelas Politik  Didefinisikan sebagai bagian dari stratifikasi sosial dan dilatarbelakangi motivasi demi mencapai ketahanan pangan dan keamanan sosial.  Kelas politik berada di lapisan paling atas dari masyarakat  Kelas politik juga mencakup orang – orang yang tidak memiliki posisi formal yang memiliki kapasitas untuk mengatur sumber daya negara termasuk di dalamnya pelaku usaha (businessmen), (beberapa) pensiunan PNS, serta para isri, ibu, saudara perempuan dan keturunan para laki-laki yang memegang posisi kunci dalam jejaring
  • 34. Kelas Politik (Contd.) - Demokrasi, secara umum, serta desentralisasi administratif secara khusus memfasilitasi pertumbuhan kelas politik - Terdiri dari mereka yang berada dalam posisi pengambil keputusan terhadap alokasi sumber daya milik negara (uang , pekerjaan, ijin dan kekerasan) - Jejaring orang – orang yang berada dalam kelas politik akan nampak pada upacara – upacara khusus dan pertemuan publik (polisi akan bertindak sebagaimana mestinya pada saat diperintah oleh anggota dari kelas politik ini) - Anggotanya dapat saja kehilangan pengaruh
  • 35. Publik (yang ber-) Politik - Orang – orang yang berada di tengah (kelas menengah) dari keefektifan politik - Orang – orang selain elit politik yang merasa mampu untuk mengambil tindakan yang dapat mempengaruhi politik serta kepemerintahan nasional (kabupaten)
  • 36. Kelas Tani - Berada di bagian paling luar dari lingkaran masyarakat (positioned in the outer circle) - Anggotanya merasa mereka bersatus sangat rendah untuk aktif dalam dunia politik - 2/3 (dua per tiga) populasi Sumba mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai orang – orang yang tidak memiliki pengaruh dalam alokasi sumber daya milik negara
  • 37. 1. Batas antara „kelas politik‟, „publik (yang ber-) politik, serta kelas tani tidaklah digariskan dengan sangat jelas 2. Kelas tani dan kelas politik saling bergantung. Kelas tani menguasai bahan makanan serta tanah, tenaga kerja serta ternak, yang merupakan sumber – sumber daya penting bagi semua masyarakat Sumba. 3. Kelas politik memiliki uang dan akses bagi kesempatan untuk memperbaiki livelihood melalui pendidikan dan jejaring yang telah melebar hingga ke luar Sumba. 4. Politikus merupakan anggota kelas politik, namun mereka membutuhkan penduduk pedesaan untuk menjadi konstituen mereka.
  • 38. Kekerasan di Waikabubak („Kamis Berdarah‟) bukanlah perang suku namun merupakan kekerasan yang ditujukan pada negara dan mereka yang mengatur sumber – sumber daya negara demi keuntungan anggota kelas mereka yang sedikit jumlahnya DENGAN KATA LAIN Kelompok yang ambil bagian dalam kekerasan ini adalah kelompok orang – orang yang menguasai sumber – sumber daya negara dengan kelompok yang tidak memiliki akses atas sumber – sumber daya negara
  • 39. 1. Masyarakat asli Sumba Timur mempertahankan sistem kasta tiga lapis yang terdiri dari (1) bangsawan (maramba), (2) orang biasa (kabihu), serta (3) budak (ata). 2. Semenjak Sumba masuk ke dalam sistem nasional Indonesia: a. kaum maramba tidak dapat lagi menerapkan dengan ketat hukum adat (uku marapu) namun tetap memegang kontrol sosial b. kasta maramba masih memiliki banyak sumber daya seperti tana (tanah), banda luri (ternak), dan tetap menunjukkan status mereka.
  • 40. “Masyarakat Sumba dibagi dalam tiga golongan, yaitu bangsawan (maramba), orang merdeka (kabihu), dan hamba (ata)” (hal: 35) BANGSAWAN (maramba) - Memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi dan memberi kesejahteraan terhadap warga kampungnya - Para bangsawan adalah kunci masuk ke dalam masyarakat Sumba - Pada umumnya kaya dan memiliki sejumlah hamba
  • 41. BANGSAWAN (maramba) Bangsawan tinggi - Golongan inilah yang menjadi raja - Menjadi bangsawan tinggi karena merupakan keturunan bangsawan tinggi Bangsawan biasa - Bangsawan mendamu (hasil perwakinan seorang laki-laki golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal dari golongan orang merdeka) - Bangsawan kalawihi (hasil perwakinan seorang laki-laki golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal dari golongan hamba)
  • 42. Bangsawan kalawihi (hasil perwakinan seorang laki-laki golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal dari golongan hamba) Anak laki – laki raja yang dilahirkan oleh selir dari kaum budak (ata) bisa mewarisi kekayaan dan tanah tetapi orang – orang akan selalu me”labeli”nya sebagai orang yang berdarah budak (Slaves, Brides and Other „Gifts‟: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia, Janet Hoskins, p: 5)
  • 43. ORANG MERDEKA (KABIHU) - Golongan yang terbanyak dalam masyarakat - Lapisan yang kedua dalam masyarakat Sumba - Rekan kerja para bangsawan dalam hidup bermasyarakat Merdeka Besar (Kabihu Bokulu) – Penopang negeri dan pengampu padang (tulaku paraingu-lindiku marada) Penasihat golongan bangsawan, pemimpin perang dalam suatu Peperangan Merdeka Kecil (Kabihu Kudu) Kurang memiliki pengaruh namun kedudukan mereka lebih tinggi daripada golongan hamba ,orang merdeka yang miskin
  • 44. HAMBA (ATA) Lapisan terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba Hamba Pusaka (Ata Memang, Ata Ndai) - Golongan yang sejak semula memang hamba - Disebut juga Hamba Besar (Ata Bokulu) - Kebutuhan hidup, perkawinan dan kematian serta penguburan mereka dibiayai oleh tuannya. Sering kali mereka lebih kaya dibanding orang merdeka besar Hamba yang Baru (Ata Bidi) - Golongan yang sebelumnya tidak termasuk anggota rumah raja atau bangsawan - Disebut juga Hamba Kecil (Ata Kudu)
  • 45. Hamba yang Baru (Ata Bidi) - Hamba yang dibeli disebut Hamba Belian (Ata Pakei) - Hamba yang diperoleh karena tertawan dalam peperangan disebut Hamba Tawanan (Ata Payappa) Merupakan manusia pekerja Menggarap ladang dan sawah serta menjaga dan memelihara ternak dan tuannya - Hamba yang diberikan oleh orangtua perempuan atau laki-laki kepada anak mereka ketika mereka kawin disebut juga Hamba Bawaan (Ata Ngandi) – pada umunya berasal dari golongan hamba pusaka dan tidak termasuk sebagai mas kawin (belis)
  • 46. 1. Anenshensel, Carol S. dan Phelan, Jo C. 2006. Handbook of the Sociology of Mental Health. Springer Science+Business Meida, LLC, USA. 2. Childs, Matt. 2010. Atlantic Slavery: Oxford Bibliographies Online Research Guide. Oxford University Press. 3. Ember, Carol L. dan Ember, Melvin. 2003. Encyclopedia of Medical Anthropology: Health and Illness in the World’s Cultures Topics – Volume 1. Kluwer Academic/Plenum Publishers, NY. 4. Forshee, Jill. 2001. Between the Folds: Stories of Cloth, Lives, and Travels from Sumba. University of Hawai‟i Press, Honolulu. 5. Hoggart, Keith dan Kofman, Eleonore Kofman. 1986. Politics, Geography & Social Stratification. Croom Helm. 6. Hoskins, Janet. 2004. “Slaves, Brides and Other „Gifts‟: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia.” Slavery and Abolition 25 (2)(August 2004): 90-107.
  • 47. 7. Kusumandaru, Ken Budha. 2003. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme: Sanggahan terhadap Frans Magnis-Suseno. Insist Press, Yogyakarta 8. Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. University of Pennsylvania Press Inc., USA. 9. Major, Andrea. 2012. Slavery, Abolitionism and Empire in India, 1772-1843. Liverpool University Press. 10. Muller, Kal. 1997. East of Bali: from Lombok to Timor. Tuttle Publishing. 11. Nanda, Serena dan Warms, Richard L. 2010. Cultural Anthropology, Tenth Edition. Wadsworth, Cengage Learning, USA. 12. Plotnicov, Leonard dan Tuden, Arthur. 1970. Essays in Comparative Social Stratification. University of Pittsburgh Press, USA.
  • 48. 13. Srivasta, A. R. N. 2005. Essentials of Cultural Anthropology. Prentice-Hal of India Private Limited, New Delhi. 14. Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Bina Aksara, Jakarta. 15. Twikromo, Y. Argo. 2009. “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur Sumba.” Dalam Jurnal Renai (Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora), Tahun IX, No. 2, 2009. Halaman 135-167 16. Vel, Jacqueline A. C. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. KITLV Pres, Leiden. 17. Weber, Max. Class, Status and Party. Dalam Class Status, and Power: Social Stratification in Comparative Perspective, Second Edition disunting oleh Reinhard Bendix dan Seymour Martin Lipset. 1966. The Free Press, USA. 18. Weinberg, Aubrey and Lyons, Frank. Class Theory and Practice. The British Journal of Sociology, Vol. 23, No. 1, (Mar., 1972), pp. 51-65 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The London School of Economics and Political Science
  • 49. 19. Wellem, F. D. 2004. Injil dan Marapu Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876 – 1990. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. 20. Wouden, F. A. E. 1981. Kelompok-Kelompok Setempat dan Garis Keturunan Kembar di Kodi Sumba Barat. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.