Stratifikasi sosial di Sumba ditandai oleh adanya dua kelompok utama, yaitu kelompok bangsawan (maramba) dan kelompok budak (ata). Maramba memiliki kendali atas ekonomi, sosial, dan budaya sementara ata sangat tergantung dan memiliki posisi sosial rendah. Hubungan antara kedua kelompok ini ditandai oleh kewajiban timbal balik, dimana maramba bertanggung jawab atas kebutuhan dasar ata namun ata har
4. 1. Stratifikasi Sosial
2. Kelas
3. Deskripsi Stratifikasi Sosial di Sumba
(menurut Hoskins, Twikromo)
4. Stratifikasi Sosial di Sumba vs. Teori
Kelas
6. Ada dua perpektif dasar mengenai stratifikasi sosial (Nanda dan
Warms):
1. Functionalism (Fungsionalisme)
Stratifikasi sosial pada umumnya menguntungkan seluruh
masyarakat dimana ada imbalan (reward) untuk masyarakat
secara sosial dan ekonomi apabila mereka bekerja lebih
giat, berani mengambil risiko, melakukan pekerjaan yang sulit
dan sebagainya. Namun terkadang imbalan yang diberikan
tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan sehingga teori ini
pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan
ketimpangan atau ketidakmerataan (inequality)
7. 2. Teori Konflik
Stratifikasi sosial merupakan hasil dari perjuangan terus
menerus demi mendapatkan barang dan jasa yang terbatas.
ketidakmerataan muncul karena individu dan kelompok yang
memiliki kekuasaan, kekayaan dan presise menggunakan aset
– aset dan kekuasaan mereka untuk mempertahankan
kekuasaan atas sistem produksi dan aparatur negara.
Hal ini merupakan inti dari teori Karl Marx
8. 1. Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke
dalam kelompok budaya dan sosial berdasarkan karakteristiknya
masing – masing atau yang diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dimana karakteristik tersebut mewujud dalam fungsi
kehidupan sehari – hari dalam konteks sosial dan budaya tertentu
(Ember dan Ember)
2. Hirarki sosial yang terbentuk dari distribusi barang dan layanan yang
secara relatif dan permanen tidak sama dalam suatu masyarakat
(Nanda dan Warms)
3. Struktur evaluasi dan “hadiah”, yang berbeda, yang melekat pada
peran dalam pembagian kerja (Plotnicov dan Tuden)
Peran – peran penting dalam masyarakat Ch‟ing secara fungsional
dibagi ke dalam (1) peran yang dinilai tinggi, (2) peran yang nilainya
menengah, serta (3) peran yang dinilai rendah
9. 4. Stratifikasi sosial merupakan sistem dimana akses terhadap
sumber daya, otonomi, kekuasaan serta status berbeda.
(Hoggart dan Kofman)
5. Stratifikasi sosial adalah produk dari diferensiasi dan evaluasi
sosial dan tidak menyiratkan kelas atau kasta tertentu, tetapi
hanya bahwa cara kerja normal masyarakat telah
menghasilkan perbedaan sistematis antara lembaga-lembaga
atau orang-orang tertentu dan bentuk-bentuk ini berbeda dalam
status atau prestise dan diberi tingkatan (ranked) berdasarkan
kesepakatan umum (Labov)
10. 6. Stratifikasi sosial menyangkut sebuah masyarakat yang
memiliki dua atau lebih kelompok yang berbeda peringkat
dimana masing - masing kelompok yang terdiferensiasi
tersebut memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang
tidak sama (Srivastava)
Ketidaksamaan kekuasaan, keistimewaan dan prestise ini tidak
bisa disamakan dengan social inequality (ketimpangan sosial)
karena,menurut Srivastava, ketimpangan sosial lebih mengacu
pada ketimpangan antar individu dan bukannya sebagai anggota
dan/atau kelompok
Social stratification berbicara pada tataran kelompok
Social inequality berbicara pada tataran individu
11. Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka
ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan
sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing –
masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut berada dalam
tingkatan yang berbeda serta memiliki kekuasaan ,
keistimewaan dan prestise yang tidak sama pula (penggabungan
definisi menurut Ember dan Ember, Labov, serta Srivasta)
13. Weinberg dan Lyons mengajukan 4 (empat) pemahaman akan kelas yang dapat
dipilih oleh peneliti berdasarkan kepentingan utamanya, yaitu
1. Salah satu jenis dalam stratifikasi sosial,
2. Perangkat heuristis yang memfasilitasi eksaminasi karakteristik dari situasi
sosial dan bukannya karakteristik kelompok – kelompok,
3. Perangkat empiris untuk mengidentifikasi kelompok sosial atau kelompok
kuasi, serta
4. Sesuatu yang (sama sekali) berseberangan dengan (pemahaman akan)
stratifikasi sosial
Weinberg dan Lyons pada akhirnya menegaskan bahwa dimensi properti relevan
bagi análisis kelas dalam artian bahwa properti digunakan untuk meraih
kekuasaan.
.
14. 1. Karl Marx
Kelas – kelas dalam masyarakat itu timbul sebagai akibat
paling logis dari ketidakadilan itu sendiri – ketika orang mulai
mengambil hasil lebih yang diproduksi orang lain, tidak bisa
tidak, hal itu akan membelah masyarakat (Kusumandaru) dan
kelas seseorang ditunjukkan berdasarkan pada hubungan dan
kekuasaanya atas alat – alat produksi (Hoggart dan Kofman)
Ide utama dalam kelas Karl Marx adalah gagasan adanya
suatu kelompok yang semufakat yang berlawanan dengan
kelas sosial lainnya (Svalastoga).
15. 2. Max Weber
Kelas, kelompok (dengan) status (tertentu) serta partai politik
(parties) merupakan fenomena distribusi kekuasaan di dalam
komunitas (Weber) yang ditunjukkan dengan posisinya dalam
pasar (Hoggart dan Kofman)
3. Kaare Svalastoga (Sosiolog)
Merupakan salah satu model dalam diferensiasi sosial,
terutama diferensiasi tingkatan dalam masyarakat, yang derajat
ketembusannya sekitar 40% dari maksimum.
17. Untuk melihat sistem tingkatan di Sumba dapat dilihat dalam sistem pernikahan dimana
sistem pernikahan merupakan arena utama dimana status sosial “bermain”
Pengantin Perempuan Perempuan Ata
(Perempuan Maramba)
Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan Gadis budak 'diberikan dalam keadaan
dalam keadaan telanjang' karena ia telanjang', karena „harga‟ awalnya tidak
memiliki seorang ayah dan saudara- dapat dilunasi dengan kontra-pembayaran
saudara yang akan mempertahankan siklus yang nantinya akan secara dialektika
pembayaran yang sesuai (penyerahan mempengaruhi persepi dan
perempuan ini “berpakaian” dan mentransformasi pertukaran jauh dari
reproduktif) komoditas dan hadiah (budak dalam
keadaan 'telanjang' dan terputus dari
resiprositas lebih lanjut, karena dia tidak
memiliki keluarga untuk melanjutkan
transaksi demi menyeimbangkan nilai
pembayaran di masa depan)
18. Kata ‘Ata’ berarti manusia (Sumba Barat) dan juga budak (Sumba Timur dan Kodi)
- Perbudakan diyakini sebagai lembaga (masyarakat suku*) yang dikonstruksikan oleh
masyarakat suku (Matt Childs (2010), Andrea Major (2012))
- Perbudakan adalah lembaga adat yang begitu tertanam dalam karakter orang
Sumba sehingga akan sulit untuk memberhentikannya secara tiba-tiba. Suatu
kekuatan penguasa tergantung pada kekuasaannya atas budak, yang tenaga
kerja untuk budidaya sawah dan yang mana statusnya ditandai dengan ritual dan
subordinasi hukum
* Hoskins menuliskan kutipan Roos dengan istilah Indigenous institution namun saya
akan menggunakan usulan Persoon untuk menggunakan istilah masyarakat suku
(tribal people), dalam memahami kata indigenous, yang dinilainya lebih netral serta
dirasa cukup penting dimana pemahaman antropologis dari „tribe‟ atau „tribal‟ atau
kesukuan mencakup bahasa, agama, kepemimpinan secara politis dan juga
kewenangan dalam bidang hukum
19. Ata memiliki perspektif kosmologis dalam artian bahwa mereka diciptakan untuk
menduduki posisi bawah dari tingkatan manusia serta perpektif historis dimana mereka
adalah orang – orang yang selalu kalah dalam pertempuran tertentu (pecundang).
Budak di Sumba, menurut Hoskins, ada dua jenis yaitu (1) ata mema (budak asli), yang
di Sumba Timur jumlahnya 40 – 80% dari populasi sementara di Sumba Barat
jumlahnya sekitar 20% dari populasi, dan (2) ata pa kahi (tawanan perang).
Sumba Timur
- hirarki paling kuat tertanam
- banyak budak tampaknya telah menerima peran mereka sebagai bawahan.
- perbudakan menunjukkan berlanjutnya rasa hormat kepada hirarki dan presise
keluarga bangsawan
Sumba Barat
budak diperlakukan sebagai saudara yang lebih miskin, namun pernikahan dengan
mereka masih saja “bermasalah” karena mereka masih teringat pada “belenggu” dan
“tali” yang mengekang mereka
20. Kal Muller (1997)
Sumba Timur:
1. Terdapat kelas – kelas bangsawan, kaum biasa dan budak yang diwariskan
2. Hirarki sosialnya kaku
3. Rumah bangsawan serta desa para pendahulu mereka merupakan wilayah politik
dan ritual
4. Kekayaan didapat dari ekspor kuda, ternak, kain (dibuat oleh perempuan
bangsawan)
5. Otoritas dipertegas dengan melaksanakan ritual – ritual yang meriah
Sumba Barat
1. Hirarki tidak kaku
2. Status utamanya diperoleh melalui senioritas, hubungan dengan pendahulu, serta
kemampuan (kemampuan dalam ritual, kapasitas untuk menggerakkan tenaga kerja
yang lebih banyak juga memobilisasi kekayaan)
21. Kebangsawanan meliputi kewajiban untuk memberikan tanggungan kepada
seseorang, yang meliputi mengatur pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang
pria yang kaya tetapi tidak bertanggung jawab secara sosial dipandang rendah
Bangsawan yang tidak memiliki budak dan hanya kaya saja tidak memiliki pengaruh
sosial
22. 1. Orang Sumba berkelompok – kelompok ke dalam unit yang disebut uma
(rumah)
2. Melalui pelacakkan garis keturunan tergarislah dua tingkatan yaitu (1)
tingkat bangsawan (maramba) dan (2) tingkat budak (ata)
3. Tingkatan sosial ini menjadi “social guidance” bagaimana harus
bertindak dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan posisi
sosialnya
4. Posisi sosial menentukan kewajiban
Cue: Ada “perbedaan yang tegas antara kaum budak dan kaum
bangsawan” (hal. 138)
23. Konteks Budak (Ata) Bangsawan (Maramba)
Kendali atas ekonomi, sosial Tidak punya kendali atas modal Memiliki kendali dengan
maupun budaya ekonomi, sosial maupun budaya menggunakan kekuasaan
eksternal, internal, serta institusi
eksternal
Ketergantungan Tergantung vertikal dengan para Mempunyai budak untuk
tuan membantu kabihu mereka serta
untuk menunjukkan kekayaan,
status, gengsi dan pengaruh
mereka yang besar
Kepentingan politik negara Kurang memiliki bargaining Memiliki bargaining position yang
position kuat
Reformasi Memberi ruang yang lebih luas
bagi para elit daerah untuk
memantapkan posisi politik
mereka dengan berpijak pada
tradisi atau budaya lokal
24. Konteks Budak (Ata) Bangsawan (Maramba)
Dampak nilai ekonomi modern Memaksimalkan eksploitasi pada
para budaj sebagai tenaga kerja
terikat dan sekaligus memperkecil
keajiban dalam menjamin
kebutuhan sehari – hari bagi para
budak mereka
Menyuarakan pendapat Tidak mempunyai kesempatan
untuk mengungkapkan pendapat
yang berbeda di depan para tuan
mereka atau di forum terbuka
Pengambilan keputusan (Dinilai) tidak memiliki
pengetahuan cukup dalam
pengambilan keputusan
Menduduki posisi sosial penting di Jarang mendapat kesempatan
desa untuk menduduki posisi sosial
penting di desa
Kondisi kehidupan Didasarkan pada kepribadian dan
bukannya kekayaan tuan mereka
25. Budak (Ata) Bangsawan (Maramba)
Bekerja tanpa gaji Membantu mendapatkan istri dan tempat tinggal
Menghormati tuannya (selalu mendukung gagasan Membayar mas kawin pengantin perempuan
para tuan mereka, dll)
Menyediakan kebutuhan dasar untuk upacara
penguburan, pakaian, makanan
26. - Jelas tergaris adanya kelompok masyarakat di tingkat bangsawan (maramba)
dan tingkat budak (ata).
- Hubungan maramba dengan ata yang digambarkan Twikromo di”ikat” dengan
apa yang disebut dengan kewajiban timbal-balik
- Apabila kewajiban dari tuan tidak dipenuhi, maka para ata melakukan strategi
tandingan, dalam bentuk guyonan atau pun tindakan – tindakan yang
mengakibatkan minor damage, yang kemudian dinilai (oleh penulis) sebagai
pengetahuan bersama diantara para ata
27. Maramba dan ata merupakan “rangkaian dua yang berlawanan tapi toh saling isi-
mengisi” (Koentjaraningrat dalam Wouden)
Isi-mengisi ini, dituliskan oleh Hoskins dan Twikromo, dalam bentuk kewajiban.
Hoskins (kewajiban untuk menanggung seseorang demi pengaruh sosial)
Twikromo (kewajiban timbal balik tuan – budak)
29. - Teori Kelas Karl Marx dan Weber berbicara mengenai
ketimpangan sosial (social inequality).
- Kelas sebagai salah satu model diferensiasi sosial Svalastoga
tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial namun dia
menyatakan bahwa selama bagian – bagian sistem sosial
(masyarakat) mempertahankan hubungan saling tergantung,
maka akan tetap tercipta kesamaan.
- Hoskins dan Twikromo tidak berbicara mengenai ketimpangan
sosial. Mereka berbicara mengenai isi-mengisi antara
bangsawan dan budak di Sumba.
30. Dengan demikian stratifikasi sosial di Sumba tidak bisa diterangkan dengan teori
kelas Marx maupun Weber karena pemahaman akan kelas Marx dan Weber,
seperti poin 4 pemahaman akan kelas yang diusulkan Weinberg dan Lyons,
merupakan sesuatu yang (sama sekali ) berseberangan dengan (pemahaman
akan) stratifikasi sosial di Sumba.
Stratifikasi sosial di Sumba merupakan cara masyarakat Sumba mengorganisir diri
mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan
sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing-masing kelompok
yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda serta memiliki
kekuasaan, keistimewaan dan prestise yang tidak sama, dan hubungan antar
kelompok tersebut diikat dengan apa yang disebut dengan hubungan kewajiban
timbal-balik.
31. Pembentukan kelas sebagai hasil dari otonomi regional
Analisa politik terhadap orang Sumba, dalam hal jejaring yang
menghubungkan kelas – kelas perorangan diantara individu
yang memiliki kekuasaan, menunjukkan bahwa anggota jejaring
ini mulai membentuk kelas sosial yang terpisah.
Elit politik tidak lah sama dengan kelas politik
32. Elit Politik
Kelompok orang – orang kaya dan cenderung kecil dalam hal
jumlah yang memiliki nilai dan kepentingan yang sama dimana
kepentingan ini secara efektif dapat mendikte tujuan – tujuan
utama (jika bukan tujuan, paling tidak mendikte alat dan detil yang
praktis) atas semua kebijakan pemerintah yang penting (mereka
juga mendominasi kegiatan media massa utama dan organisasi
pendidikan/kultural di dalam masyarakat) dengan kata lain elit
politik dikaitkan dengan kapasitasnya dalam mengarahkan serta
dilatarbelakangi motivasi yang berbau kepentingan politik
33. Kelas Politik
Didefinisikan sebagai bagian dari stratifikasi sosial dan
dilatarbelakangi motivasi demi mencapai ketahanan pangan
dan keamanan sosial.
Kelas politik berada di lapisan paling atas dari masyarakat
Kelas politik juga mencakup orang – orang yang tidak memiliki
posisi formal yang memiliki kapasitas untuk mengatur sumber
daya negara termasuk di dalamnya pelaku usaha
(businessmen), (beberapa) pensiunan PNS, serta para
isri, ibu, saudara perempuan dan keturunan para laki-laki yang
memegang posisi kunci dalam jejaring
34. Kelas Politik (Contd.)
- Demokrasi, secara umum, serta desentralisasi administratif secara
khusus memfasilitasi pertumbuhan kelas politik
- Terdiri dari mereka yang berada dalam posisi pengambil keputusan
terhadap alokasi sumber daya milik negara (uang , pekerjaan, ijin
dan kekerasan)
- Jejaring orang – orang yang berada dalam kelas politik akan
nampak pada upacara – upacara khusus dan pertemuan publik
(polisi akan bertindak sebagaimana mestinya pada saat diperintah
oleh anggota dari kelas politik ini)
- Anggotanya dapat saja kehilangan pengaruh
35. Publik (yang ber-) Politik
- Orang – orang yang berada di tengah (kelas menengah) dari
keefektifan politik
- Orang – orang selain elit politik yang merasa mampu untuk
mengambil tindakan yang dapat mempengaruhi politik serta
kepemerintahan nasional (kabupaten)
36. Kelas Tani
- Berada di bagian paling luar dari lingkaran masyarakat
(positioned in the outer circle)
- Anggotanya merasa mereka bersatus sangat rendah untuk aktif
dalam dunia politik
- 2/3 (dua per tiga) populasi Sumba mendefinisikan diri mereka
sendiri sebagai orang – orang yang tidak memiliki pengaruh
dalam alokasi sumber daya milik negara
37. 1. Batas antara „kelas politik‟, „publik (yang ber-) politik, serta
kelas tani tidaklah digariskan dengan sangat jelas
2. Kelas tani dan kelas politik saling bergantung. Kelas tani
menguasai bahan makanan serta tanah, tenaga kerja serta
ternak, yang merupakan sumber – sumber daya penting bagi
semua masyarakat Sumba.
3. Kelas politik memiliki uang dan akses bagi kesempatan untuk
memperbaiki livelihood melalui pendidikan dan jejaring yang
telah melebar hingga ke luar Sumba.
4. Politikus merupakan anggota kelas politik, namun mereka
membutuhkan penduduk pedesaan untuk menjadi konstituen
mereka.
38. Kekerasan di Waikabubak („Kamis Berdarah‟) bukanlah perang
suku namun merupakan kekerasan yang ditujukan pada negara
dan mereka yang mengatur sumber – sumber daya negara demi
keuntungan anggota kelas mereka yang sedikit jumlahnya
DENGAN KATA LAIN
Kelompok yang ambil bagian dalam kekerasan ini adalah kelompok
orang – orang yang menguasai sumber – sumber daya negara
dengan kelompok yang tidak memiliki akses atas sumber – sumber
daya negara
39. 1. Masyarakat asli Sumba Timur mempertahankan sistem kasta
tiga lapis yang terdiri dari (1) bangsawan (maramba), (2) orang
biasa (kabihu), serta (3) budak (ata).
2. Semenjak Sumba masuk ke dalam sistem nasional Indonesia:
a. kaum maramba tidak dapat lagi menerapkan dengan ketat
hukum adat (uku marapu) namun tetap memegang kontrol
sosial
b. kasta maramba masih memiliki banyak sumber daya seperti
tana (tanah), banda luri (ternak), dan tetap menunjukkan
status mereka.
40. “Masyarakat Sumba dibagi dalam tiga golongan, yaitu bangsawan
(maramba), orang merdeka (kabihu), dan hamba (ata)” (hal: 35)
BANGSAWAN (maramba)
- Memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi dan memberi
kesejahteraan terhadap warga kampungnya
- Para bangsawan adalah kunci masuk ke dalam masyarakat
Sumba
- Pada umumnya kaya dan memiliki sejumlah hamba
41. BANGSAWAN (maramba)
Bangsawan tinggi
- Golongan inilah yang menjadi raja
- Menjadi bangsawan tinggi karena merupakan keturunan
bangsawan tinggi
Bangsawan biasa
- Bangsawan mendamu (hasil perwakinan seorang laki-laki
golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal
dari golongan orang merdeka)
- Bangsawan kalawihi (hasil perwakinan seorang laki-laki
golongan bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal
dari golongan hamba)
42. Bangsawan kalawihi (hasil perwakinan seorang laki-laki golongan
bangsawan tinggi kawin dengan wanita yang berasal dari golongan
hamba)
Anak laki – laki raja yang dilahirkan oleh selir dari kaum budak (ata)
bisa mewarisi kekayaan dan tanah tetapi orang – orang akan selalu
me”labeli”nya sebagai orang yang berdarah budak
(Slaves, Brides and Other „Gifts‟: Resistance, Marriage and Rank in
Eastern Indonesia, Janet Hoskins, p: 5)
43. ORANG MERDEKA (KABIHU)
- Golongan yang terbanyak dalam masyarakat
- Lapisan yang kedua dalam masyarakat Sumba
- Rekan kerja para bangsawan dalam hidup bermasyarakat
Merdeka Besar (Kabihu Bokulu) – Penopang negeri dan
pengampu padang (tulaku paraingu-lindiku marada)
Penasihat golongan bangsawan, pemimpin perang dalam suatu
Peperangan
Merdeka Kecil (Kabihu Kudu)
Kurang memiliki pengaruh namun kedudukan mereka lebih tinggi
daripada golongan hamba ,orang merdeka yang miskin
44. HAMBA (ATA)
Lapisan terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba
Hamba Pusaka (Ata Memang, Ata Ndai)
- Golongan yang sejak semula memang hamba
- Disebut juga Hamba Besar (Ata Bokulu)
- Kebutuhan hidup, perkawinan dan kematian serta penguburan
mereka dibiayai oleh tuannya. Sering kali mereka lebih kaya
dibanding orang merdeka besar
Hamba yang Baru (Ata Bidi)
- Golongan yang sebelumnya tidak termasuk anggota rumah raja
atau bangsawan
- Disebut juga Hamba Kecil (Ata Kudu)
45. Hamba yang Baru (Ata Bidi)
- Hamba yang dibeli disebut Hamba Belian (Ata Pakei)
- Hamba yang diperoleh karena tertawan dalam peperangan
disebut Hamba Tawanan (Ata Payappa)
Merupakan manusia pekerja
Menggarap ladang dan sawah serta menjaga dan memelihara
ternak dan tuannya
- Hamba yang diberikan oleh orangtua perempuan atau laki-laki
kepada anak mereka ketika mereka kawin disebut juga Hamba
Bawaan (Ata Ngandi) – pada umunya berasal dari golongan
hamba pusaka dan tidak termasuk sebagai mas kawin (belis)
46. 1. Anenshensel, Carol S. dan Phelan, Jo C. 2006. Handbook of the Sociology of
Mental Health. Springer Science+Business Meida, LLC, USA.
2. Childs, Matt. 2010. Atlantic Slavery: Oxford Bibliographies Online Research
Guide. Oxford University Press.
3. Ember, Carol L. dan Ember, Melvin. 2003. Encyclopedia of Medical
Anthropology: Health and Illness in the World’s Cultures Topics – Volume 1.
Kluwer Academic/Plenum Publishers, NY.
4. Forshee, Jill. 2001. Between the Folds: Stories of Cloth, Lives, and Travels from
Sumba. University of Hawai‟i Press, Honolulu.
5. Hoggart, Keith dan Kofman, Eleonore Kofman. 1986. Politics, Geography & Social
Stratification. Croom Helm.
6. Hoskins, Janet. 2004. “Slaves, Brides and Other „Gifts‟: Resistance, Marriage and
Rank in Eastern Indonesia.” Slavery and Abolition 25 (2)(August 2004): 90-107.
47. 7. Kusumandaru, Ken Budha. 2003. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme:
Sanggahan terhadap Frans Magnis-Suseno. Insist Press, Yogyakarta
8. Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. University of
Pennsylvania Press Inc., USA.
9. Major, Andrea. 2012. Slavery, Abolitionism and Empire in India, 1772-1843.
Liverpool University Press.
10. Muller, Kal. 1997. East of Bali: from Lombok to Timor. Tuttle Publishing.
11. Nanda, Serena dan Warms, Richard L. 2010. Cultural Anthropology, Tenth
Edition. Wadsworth, Cengage Learning, USA.
12. Plotnicov, Leonard dan Tuden, Arthur. 1970. Essays in Comparative Social
Stratification. University of Pittsburgh Press, USA.
48. 13. Srivasta, A. R. N. 2005. Essentials of Cultural Anthropology. Prentice-Hal of India
Private Limited, New Delhi.
14. Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Bina Aksara, Jakarta.
15. Twikromo, Y. Argo. 2009. “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum
Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur
Sumba.” Dalam Jurnal Renai (Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora), Tahun IX, No.
2, 2009. Halaman 135-167
16. Vel, Jacqueline A. C. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West
Sumba, Indonesia, 1986-2006. KITLV Pres, Leiden.
17. Weber, Max. Class, Status and Party. Dalam Class Status, and Power: Social
Stratification in Comparative Perspective, Second Edition disunting oleh Reinhard
Bendix dan Seymour Martin Lipset. 1966. The Free Press, USA.
18. Weinberg, Aubrey and Lyons, Frank. Class Theory and Practice. The British Journal of
Sociology, Vol. 23, No. 1, (Mar., 1972), pp. 51-65 Published by: Blackwell Publishing on
behalf of The London School of Economics and Political Science
49. 19. Wellem, F. D. 2004. Injil dan Marapu Suatu Studi Historis-Teologis tentang
Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876 – 1990. PT
BPK Gunung Mulia, Jakarta.
20. Wouden, F. A. E. 1981. Kelompok-Kelompok Setempat dan Garis
Keturunan Kembar di Kodi Sumba Barat. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.