Dokumen tersebut membahas pentingnya tabungan dan investasi dalam perekonomian Indonesia. Indonesia membutuhkan modal baru berupa investasi asing karena kekurangan tabungan domestik untuk pemulihan ekonomi pasca krisis 1998. Pemerintah berupaya meningkatkan iklim investasi dengan kebijakan seperti Inpres Nomor 3/2006 tentang perbaikan iklim investasi dan promosi ke negara investor. Investasi asing sangat dibutuhkan untuk proyek infrastruktur dan pertumbuhan ekon
1. TABUNGAN DAN INVESTASI DALAM PEREKONOMIAN TERBUKA
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi adalah bagian penting dari pembangunan sebuah negara,
bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator penting untuk menjelaskan bahwa
suatu negara itu mampu secara finansial atau sejahtera. Keberhasilan tidak akan terlihat
tanpa adanya hasil riil berupa pertumbuhan dari sesuatu yang dibangun oleh
pemerintah di bidang ekonomi, begitu juga tanpa pertumbuhan ekonomi maka
pembangunan suatu negara tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Pada kondisi ini,
pertumbuhan ditandai dengan masuknya dana kedalam sistem ekonomi suatu negara.
Begitu juga dengan pengalaman Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini
sesudah terjadinya masa krisis ekonomi pada tahun 1998. Kondisi tersebut bukan hanya
merusak sistem ekonomi yang terbangun selama dekade sebelumnya tetapi juga aspek
lain seperti politik, hukum, dan pemerintahan. Kita dihadapkan pada banyak pilihan
yang sebenarnya tidak mengijinkan kita memilih atas kehendak dan keinginan sendiri.
Kondisi ini menandakan bahwa posisi tawar kita tidak menguntungkan baik secara
internal maupun eksternal. Secara sederhana, Indonesia memerlukan dan dan dukungan
finansial yang besar untuk bisa membangun kembali apa yang sudah hancur dan
mempertahankan yang masih ada.
Sejumlah pemikiran untuk perbaikan pun sudah digulirkan, sampai akhirnya
pemerintah mengambil pilihan untuk memberikan sebagian hak dan wewenang
tersebut kepada lembaga-lembaga finansial internasional dan sejumlah negara lain.
Sebenarnya apa yang dibutuhkan? Sederhana, Indonesia memerlukan ‘dana baru’ dalam
bentuk investasi. Mengapa harus investasi? Karena secara perhitungan ekonomi saat itu
Indonesia tidak mempunyai ‘saving’ atau tabungan untuk meredam gejolak ekonomi
saat itu. Oleh karena itu, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bantuan
lembaga finansial internasional dan mengundang sejumlah investor untuk mulai
menanamkan modalnya di Indonesia.
Lantas, bila sejumlah dana sudah bisa ditarik masuk ke dalam dan kepercayaan
terhadap kondisi ekonomi Indonesia sudah pulih, apakah hal itu sudah menjadi bukti
bahwa kita sudah berada pada level yang aman? atau apakah status sebagai negara
miskin/terbelakang sudah lepas dari kita? ternyata tidak demikian, karena sejumlah
konsep mengatakan bahwa kesejahteraan sebuah negara tidak bisa hanya diukur
dengan jumlah dana yang terserap, peningkatan GDP, atau kurs mata uang yang
menguat, tetapi perubahan kehidupan masyarakatnya. Hal ini pun tidak bisa dinafikan.
Begitu pentingnya peran dan dukungan dari investasi terhadap kelanjutan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat disadari betul oleh
pemerintah. Sebab sejumlah proyek infrastruktur membutuhkan dukungan dana yang
besar, bukan hanya infrastruktur ekonomi tetapi juga infrastruktur bidang sosial dan
2. kehidupan masyarakat. Peran serta dan dukungan non materiil pun dibutuhkan, di
semua level pemerintahan pusat dan daerah, serta di semua level masyarakat kota dan
pedesaan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah perubahan dan perbaikan tidak hanya
bisa digantungkan pada besarnya dana yang masuk tetapi juga kesiapan/kualitas
internal. Peran pemerintah baik pusat maupun daerah sangat penting, ‘nilai jual’ daerah
terhadap investor sangat ditentukan oleh kondisi daerah dan nasional. Kondisi yang
dimaksud adalah kualitas SDM pemerintah, manajemen pelayanan, kualitas masyarakat,
fasilitas dan kemudahan yang diberikan, serta stabilitas politik dan penegakan hukum.
Sinkronisasi arah dan kehendak dari pemerintah pusat dan daerah pun mutlak
diperlukan. Daerah dengan wewenang dan keinginannya pun tidak bisa dikesampingkan
begitu saja, sebaliknya peran pemerintah pusat pun sebagai koordinasi sentral pun perlu
ditegaskan kembali.
Berdasarkan hal-hal diatas perlu kiranya untuk menyimak kembali kondisi kebijakan
investasi yang dijalankan oleh pemerintah selama ini, berkaitan dengan tujuan
perbaikan dan perubahan perekonomian Indonesia beserta sejumlah permasalahan
yang mengikutinya.
Konsep dan Tujuan Pembangunan Secara Umum
Arah dan tujuan suatu negara tidak bisa dilepaskan dari konsep pembangunan
yang dirancangnya. Istilah pembangunan tetap dan masih akan menjadi aspek penting
dalam merancang setiap kebijakan pemerintah. Konsep pembangunan yang dirancang
setidaknya bukan hanya menonjolkan keberhasilan ekonomi sebagai faktor yang
dominan tetapi juga memasukkan faktor lain yang tidak bisa diabaikan. Faktor-faktor
yang mendukung tersebut berupa perbaikan pada bidang pendidikan, pengurangan
tingkat kemiskinan, tingkat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, serta masih
banyak faktor lain.
Mudrajad Kuncoro setidaknya menjelaskan hal diatas sebagai apa yang disebut
‘indikator kunci pembangunan’. Selain itu pula proses pembangunan yang dijalankan
bukan hanya dilihat dari segi fisik (physical result) tetapi juga harus membawa sejumlah
perubahan (growth with change) yang sifatnya non material. Setidaknya ada 3
perubahan yang perlu terjadi dalam proses pembangunan, yaitu perubahan struktur
ekonomi (misalnya dari pertanian kepada industri lalu ke bidang jasa), perubahan
kelembagaan (misalnya reformasi birokrasi dan SDM), dan perubahan kenaikan
pendapatan perkapita (GNP riil dibagi jumlah penduduk).
Indikator kunci yang dimaksud di atas adalah indikator ekonomi dan indikator
sosial. Beberapa variabel yang masuk dalam indikator ekonomi antara lain GNP
perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan variabel dalam indikator social
antara lain Human Development Index dan (Physical Quality Life Index) Indeks Mutu
3. hidup Bahkan indicator-indikator ini digunakan sebagai acuan terhadap
pengelompokkan Negara tersebut dalam kaitannya dengan sistem ekonomi global.i
Namun kenyataan yang terjadi tidak bisa disederhanakan dengan hanya
mengandalkan kedua indikator tersebut, sebab sebenarnya proses pembangunan yang
berjalan bersifat kompleks. Ada sejumlah permasalahan baru dan laten yang tidak bisa
diselesaikan begitu saja, bahkan untuk memetakan permasalahannya juga cukup sulit.
Permasalahan tersebut bisa berasal dari pemerintah sendiri sebagai pelaksana dan
penggagas pembangunan, juga dari sector swasta atau masyarakat sendiri. Bahkan
dipercaya bahwa pembangunan sudah gagal untuk bisa menjadi jawaban dalam
memperbaiki permasalahan-permasalahan laten seperti kemiskinan dan
keterbelakangan.
Dikatakan bahwa pertumbuhan (pembangunan) semata tidak banyak
menyelesaikan persoalan dan kadang-kadang mempunyai akibat yang tidak
menguntungkan. BahkanTodaro mengatakan bahwa pembangunan adalah proses
multidimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur social,
sikap-sikap rakyat dan lembaga-lembaga nasional, dan juga akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality) dan pemberantasan kemiskinan
absolut (Bryant,1989). Dapat dimengerti bahwa pembangunan bukanlah konsep statis
melainkan dinamis dan merupakan proses tiada akhir.
Bila kita berkaca dari hal diatas, maka apa yang dialami oleh Indonesia tidak jauh
berbeda. Isu-isu yang diangkat seputar pembangunan yang dijalankan adalah
pengentasan kemiskinan, peningkatan daya beli dan pendapatan masyarakat,
penurunan tingkat pengangguran, dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu sudah pasti
bahwa pemerintah perlu merancang konsep dan arah pembangunan apa yang menjadi
pilihan kita kedepan.
Sejumlah pihak mengatakan bahwa konsep ekonomi kita berbeda dengan negara
lain di dunia. Kita mengenal adanya sistem ekonomi Pancasila, sebagian lagi
memasukkan istilah ekonomi kerakyatanii. Namun semua itu pada prinsipnya bermuara
pada kepentingan dan perbaikan dalam kehidupan masarakat. Setidaknya ada beberapa
karakteristik dari ekonomi Pancasila atau pun kerakyatan tersebut yang diberikan oleh
penggagasnya. Dengan mengutip pendapat Mubyarto bahwa ciri dari sistem ekonomi
Pancasila adalah roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, social dan
moral, kehendak kuat untuk pemerataan, nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan
ekonomi, koperasi merupakan sokoguru, dan imbangan yang tegas antara perencanaan
di tingkat nasional dan desentralisasi (Kuncoro,1997).
Saat ini kita mengetahui penjabaran konsep dan arah pembangunan melalui
beberapa kebijakan yang dijalankan pemerintah. Salah satu kebijakan yang ada tertuang
dalam peraturan perundang-undangan. Setidaknya ada dua peraturan perundang-
undangan yang mengatur bidang permbangunan secara makro yaitu UU Nomor 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dan UU
4. Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Selain itu
dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.
Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah sudah membuat RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang) nasional, yang diharapkan nantinya itu akan menjadi
arah dan acuan bagi kebijakan pembangunan ke depan. RPJP tersebut kemudian
direalisasikan kedalam bentuk RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)
nasional yang kemudian diterjemahkan lagi menjadi RKP (Rencana Kerja Pemerintah)
yang sifatnya tahunan. Dalam Rancangan terakhirnya pemerintah melalui Bappenas
sudah menyusun bebrerapa hal pokok yang menjadi sasaran pembangunan ekonomi
Untuk 20 tahun kedepan. Sasaran tersebut adalah
Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh dimana pertanian (dalam arti luas)
dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-
produk secara efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global
menjadi motor penggerak perekonomian, dan jasa menjadi perekat ketahanan
ekonomi.
Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$ 6000 dengan tingkat
pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen.
Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam kualitas gizi
yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah
tangga.
Kelanjutan operasionalisasi dari RPJM 2004-2009 yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 7 tahun 2005 dan kemudian diwujudkan dalam bentuk RKP
Pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 dan Perpres
19 tahun 2006 sebagai peraturan pelaksana. Fungsi dari RPJM adalah menjadi pedoman
umum bagi pemerintah pusat (diwakili oleh kementrian dan lembaga) serta pemerintah
daerah dalam menyusun rencana kerjanya masing-masing.
B. KEBIJAKAN INVESTASI INDONESIA
Salah satu ciri umum negara terbelakang adalah kelangkaan modal. Sebab utama
kelangkaan modal adalah kecilnya tabungan atau lebih tepat kurangnya investasi di
dalam sarana produksi yang mampu menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Maka
bila dibandingkan dengan Indonesia, keadaan tersebutlah yang terjadi saat ini, hal ini
dapat dilihat dari sejumlah fakta seperti tertundanya keinginan pemerintah untuk
membangun sejumlah infrastruktur akibat kurangnya dana yang dimiliki oleh
pemerintah, tingkat produktivitas dan kemampuan individual masyarakat juga rendah,
ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah, serta kurangnya sarana
produksi yang dimiliki masyarakat dan sector swasta. Akibatnya adalah derajat ekonomi,
kesehatan, serta tingkat pengganguran yang tinggi.
Keadaan tersebut bisa dikurangi jika pemerintah bisa membangun dan
menciptakan sarana produksi tadi. Pembangunan dan penciptaan sarana produksi
5. tersebut adalah dengan membangun infrastruktur yang mendukung program tersebut.
permasalahannya adalah dana untuk merealisasikannya tidak mencukupi. Dalam hal ini
sebenarnya sector swasta dalam negeri mempunyai peran yang strategis yaitu dengan
membantu pemerintah dalam mengumpulkan dana tersebut. Namun kondisi sector
swastapun tidak mampu untuk memikul tanggung jawab itu. Sehingga kebutuhan akan
penyediaan dana dari luar menjadi pilihan utama kebijakan pembangunan ekonomi.
kebijakan tersebut cukup realities mengingat pemerintah tidak lagi mempunyai
pilihan lain yang mendukung. oleh karena itu, pemerintah dengan segala daya upaya
mencoba untuk menegaskannya dalam sebuah kebijakan, yang salah satunya dengan
mengeluarkan Inpres Nomor 3 tahun 2006 tentang paket kebijakan perbaikan iklim
investasi. selain itu sejumlah pertemuan baik bilateral maupun multilateral juga sudah
dilaksanakan, salah satunya dengan menyelenggarakan Infrastructure Summit for
Indonesia, ditambah dengan serangkaian promosi ke berbagai negara investor.
Berikut ini disajikan Nilai Neto PMA ke Indonesia, sebagai perbandingannya.
Nilai Neto Arus PMA ke Indonesia, 1990-2004 (juta dollar AS)
Tahun Nilai
1990 1.093
1991 1.482
1992 1.777
1993 2.004
1994 2.109
1995 4.346
1996 6.194
1997 4.667
1998 - 356
1999 -2.745
2000 -4.550
2001 -2.978
2002 145
2003 -597
2004 423
Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika
dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam
kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak
krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000.
Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada
periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam
modal mereka di Indonesia. (Kadin-Indonesia Jetro, 2006)
Dalam hal ini, pemerintah sebaiknya memaksimalkan peran dan posisinya sebagai
penentu kemana arah pembangunan ekonomi diarahkan dengan kewenangan
regulatorynya dan fasilitasinya. iklim usaha dan investasi yang kondusif merupakan
6. factor terpenting dalam menyelenggarakan kegiatan usaha. Sebagaimana dikatakan
Jhingan, bahwa adalah menjadi tanggung jawab negara untuk melakukan investasi yang
paling menguntungkan masyarakat. Pola optimum investasi sebagian besar tergantung
pada iklim investasi yang tersedia di negeri itu dan pada produktivitas marginal social
dari berbagai jenis investasi. sehingga jenis investasi apapun yang masuk harus
mengacu kepada perencanaan dan kebijakan yang sudah dibuat, dan sebisa mungkin
diarahkan kepada penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan sarana produksi.
Beberapa bulan yang lalu sebelumnya juga pemerintah sudah menetapkan
setidaknya ada tiga pilar perbaikan Investasi adalah: paket kebijakan iklim investasi;
penyelesaian beberapa high profile projects untuk memberi effect snow ball; dan
menekan cost of financing. Ketiga pilar perbaikan tersebut hendaknya dilaksanakan
bukan secara parsial namun bersamaan dan menyeluruh. Oleh karena itu, setiap
tindakan dan kebijakan operasional yang dilakukan pemerintah cukup focus kepada
ketiga hal tersebut.
Ada beberapa isu penting yang menjadi focus kerja pemerintah berkaitan dengan
program investasi yang direncanakan kedepan, antara lain : kelembagaan, regulasi, Bea
cukai, Pajak, tenaga kerja, dan UKMK. Paket Kebijakan dan Program yang dijalankan
pemerintah dapat dilihat pada table di bawah. Selain Program, pemerintah juga
menurunkannya dalam bentuk poin-poin tindakan yang akan direalisasikan. Dari sekian
program tersebut maka ada kurang lebih 85 tindakan yang akan diambil untuk
mendorong keberhasilan investasi. Beberapa program tersebut antara lain revisi
terhadap regulasi yang ada, membuat regulasi kembali, evaluasi terhadap wewenang
pemerintah daerah sebagai daerah otonom, koordinasi serta pengawasan dan
pengendalian.
Paket Kebijakan Investasi Indonesia
Kebijakan Program
UMUM
A. Memperkuat kelembagaan 1. Mengubah Undang-Undang (UU) Penanaman Modal yang
pelayanan investasi. memuat prinsip-prinsip dasar, antara lain: perluasan definisi
modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan
asing (di luar Negative List) dan Dispute Settlement.
2. Mengubah peraturan yang terkait dengan penanaman
modal.
3. Revitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan
Peningkatan Investasi.
4. Percepatan perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal
serta pembentukan perusahaan
B. Sinkronisasi Peraturan Pusat Peninjauan Perda-Perda yang Menghambat investasi.
dan Peraturan Daerah (Perda).
C. Kejelasan Ketentuan mengenai Perubahan keputusan Menteri Negara (Kepmeneg) Lingkungan
kewajiban analisa mengenai Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Wajib
dampak lingkungan (AMDAL). AMDAL.
KEPABEANAN DAN CUKAI
7. A. Percepatan arus barang. 1. Percepatan Proses pemeriksaan kepabeanan.
2. Percepatan Pemrosesan kargo dan pengurangan biaya di
Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Internasional
Soekarno Hatta.
B. Pengembangan Peranan 1. Perluasan fungsi Tempat Penimbunan Berikat (TPB) dan
Kawasan Berikat. perubahan beberapa konsep tentang Kawasan Berikat agar
menarik bagi investor untuk melakukan investasi.
2. Penyempurnaan Ketentuan TPB.
3. Otomasi kegiatan di TPB
4. Peningkatan Pemberian fasilitas kepabeanan di kawasan
berikat.
C. Pemberantasan Penyelundupan. Peningkatan Kegiatan pemberantasan penyelundupan.
D. Debirokratisasi di Bidang Cukai. Mempercepat proses registrasi dan permohonan fasilitas cukai.
PERPAJAKAN
A. Insentif Perpajakan Untuk 1. Melakukan penyempurnaan atas UU tentang Ketentuan
investasi. Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, dan
Pajak Pertambahan Nilai Barang & Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
2. Pemberian fasilitas pajak penghasilan kepada bidang-bidang
usaha tertentu.
3. Menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi
menyebabkan kenaikan harga/jasa.
B. Melaksanakan sistem quot;self 1. Mengubah tariff PPh.
assesmentquot; secara konsisten. 2. Peninjauan Ketentuan pembayaran pajak bulanan
(prepayment/installment).
3. Perbaikan jasa pelayanan pajak untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pembayaran pajak.
C. Perubahan Pajak Pertambahan 1. Menghapus penalti PPN.
Nilai (PPN) untuk 2. Meningkatkan daya saing ekspor jasa.
mempromosikan ekspor. 3. Meningkatan daya saing produk pertanian (Primer).
D. Melindungi hak wajib pajak. 1. Menerapkan Kode Etik Petugas/Pejabat Pajak
2. Mereformasi Sistem Pembayaran Pajak.
E. Mempromosikan Transparansi 1. Tax Audit, Investigation dan Disclosure.
dan disclosure. 2. Meningkatkan Pengetahuan masyarakat mengenai Pajak.
KETENAGAKERJAAN
A. Menciptakan Iklim Hubungan 1. Mengubah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Industrial yang Mendukung Ketenagakerjaan.
perluasan lapangan kerja. 2. Mengubah peraturan Pelaksanaan UU Nomor 13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
B. Perlindungan Dan penempatan Mengubah UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan
TKI di luar negeri. Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
C. Penyelesaian Berbagai
perselisihan hubungan Implementasi UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
industrial secara cepat, murah Perselisihan Hubungan Industrial.
dan berkeadilan.
D. Mempercepat Menkum &
HAM. Proses penerbitan Mengubah UU/ Peraturan/Surat Keputusan/Surat Edaran terkait.
perizinan ketenagakerjaan.
E. Penciptaan pasar tenaga kerja
Pengembangan Bursa Kerja dan Informasi Pasar Kerja.
fleksibel dan produktif.
F. Terobosan Paradigma
pembangunan transmigrasi
Mengubah UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
dalam rangka perluasan
lapangan kerja.
USAHA KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI
Pemberdayaan Usaha Kecil, 1. Penyempurnaan peraturan yang terkait dengan perijinan
Menengah dan Koperasi/UKMK bagi UKMK.
2. Pengembangan Jasa Konsultasi Bagi Industri Kecil dan
8. Menengah (IKM).
3. Peningkatan akses UKMK kepada sumber daya financial dan
sumber daya produktif lainnya.
4. Penguatan Kemitraan Usaha Besar dan UKMK.
(Sumber : INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006)
Keluarnya paket kebijakan investasi tersebut diharapkan mampu mendongkrak
kinerja investasi di Indonesia. Sebab, pemerintah menyadari bahwa investasi dapat
diharapkan memberikan nilai bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kisaran angka 6-
7% merupakan target pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Kabinet Persatuan.
Hal ini wajar, karena sebelum dilanda krisis pada 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia
berada pada 7,8%. Untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi, tak pelak bahwa
investasi harus menjadi program yang dikelola secara serius. Berdasarkan sumber di
Bappenas dan BKPM untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 4,8% di tahun 2004
dibutuhkan nilai investasi Rp 479,9 triliun, pertumbuhan ekonomi 5,0% di tahun 2005
dibutuhkan investasi Rp 379,8 triliun, dan pada tahun 2006 untuk pertumbuhan
ekonomi 5,5% dibutuhkan investasi Rp 471,4 triliun. (Pikiran Rakyat, 20 Maret 2006)
Selain Inpres No. 3 tahun 2006, Indonesia juga sebenarnya sudah mempunyai
peraturan khusus yang mengatur mengenai investasi atau penanaman modal, baik asing
maupun dalam negeri. bahkan saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas
Rancangan UU Penanaman Modal sebagai pengganti UU Penanaman Modal yang lama.
UU penanaman modal yang sekarang berlaku adalah UU Nomor 1 tahun 1967 tentang
penanaman modal asing yang kemudian diubah dengan UU 11 tahun 1970 dan UU
Nomor 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri yang kemudian diubah
juga dengan UU nomor 12 tahun 1970. Selain itu juga banyak peraturan pelaksana dari
kedua UU tersebut serta UU sektoral yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
investasi.
Saat ini kedua UU tersebut dirasakan kurang relevan lagi dalam perkembangan
perekonomian baik nasional, regional maupun gobal. Oleh sebab itu DPR dan
pemerintah sedang membahas mengenai UU baru (RUU penanaman modal) untuk
mengganti kedua UU sebelumnya. UU yang baru nanti dirasakan dapat mewakili
kehendak dan kepentingan pemerintah dalam mengatur pengelolaan investasi baik
yang bersumber dari luar maupun dalam negeri. Sehingga akan ada penyatuan kedua
substansi UU yang lama kedalam UU yang baru nanti.
Penyebab tidak relevannya UU penanaman modal yang lama adalah adanya
beberapa isu penting yang muncul selama beberapa tahun proses reformasi dan
demokrasi selama ini. Beberapa isu penting tersebut berada dalam bidang ekonomi
(regional dan global), munculnya UU 22 tahun 1999 dan UU 25 tahun 1999 yang
kemudian diganti dengan UU 32 tahun 2004 dan U 33 tahun 2004, peningkatan
kesejahteraaan masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan, peningkatan daya
saing dan perekonomian local (daerah), lingkungan hidup (sustainable environment),
adanya wacana Corporate Social Responsibility, dan yang terpenting adalah
9. pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Itu artinya UU yang baru diharapkan
dapat menyesuiakan dengan peraturan-peraturan yang baru serta mewakili isu-isu
penting kontemporer lainnya.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, paket kebijakan investasi juga
menjadi salah satu substansi penting. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Perpres 19
tahun 2006, langkah-langkah yang akan direncanakan pemerintah dalam kaitanya
dengan kebijakan investasi terutama untuk perbaikan iklim investasi adalah
a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan penanaman
modal, yang diharapkan dapat diundangkan pada tahun 2006;
b. Penyederhanaan prosedur dan peningkatan pelayanan penanaman modal baik di
tingkat pusat maupun daerah;
c. Peningkatan promosi investasi terintegrasi baik di dalam maupun di luar negeri;
d. Peningkatan fasilitasi terwujudnya kerjasama investasi PMA dan PMDN dengan
UKM (match-making);
e. Penanganan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (penegakan hukum dan kerja sama
dengan instansi terkait);
f. Penyusunan rancangan amandemen UU No. 5 Tahun 1999;
g. Memprakarsai dan mengkoordinasikan pembangunan kawasan industri.
Selain itu sejumlah kebijakan lain pun telah digulirkan oleh pemerintah dalam hal
‘cepat tanggap’ perbaikan investasi. Dalam hal ini, kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah tersebut antara lain Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2006 tentang tim
nasional peningkatan ekspor dan peningkatan investasi, dan Keputusan Presiden Nomor
29 tahun 2004 tentang penyelenggaraan penanaman modal melalui sistem satu atap,
serta peraturan-peraturan lainnya yang relevan. Namun tetap saja sejumlah
permasalahan terjadi dan pada akhirnya mengahambat proses perbaikan investasi
tersebut. peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak mampu menanggulangi
permasalahan-permasalahan itu.
Muculnya sebuah kebijakan memang pada dasarnya untuk menanggulangi dan
melancarkan setiap tindakan pemerintah kedepan. Namun yang perlu digarisbawahi
adalah kebijakan tersebut hendaknya merupakan bagian dari perencanaan menyeluruh,
artinya sebelum kebijakan itu benar-benar dilaksanakan pemerintah sudah mempunyai
‘planning map’ yang memandu secara manajerial. Pembangunan ekonomi sudah pasti
bersifat menyeluruh walaupun pelaksanaannya dilaksanakan secara leluasa dan
bertahap. leluasa berarti pemerintah perlu memberikan sedikit kebebasan kepada
daerah dalam merumuskan hal-hal yang paling prioritas dalam membangun daerah dan
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.
Paket kebijakan tersebut merupakan bagian kecil dari sejumlah peranan pemerintah
dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, good will pemerintah dalam
segala bidang sangat diperlukan sebab pembangunan sifatnya menyeluruh meskipun
10. dijalankan secara bertahap. beberapa hal tersebut adalah perubahan terhadap kerangka
kelembagaan, perubahan organisasi, pembangunan overhead social dan ekonomi
(infrastruktur social dan ekonomi), pembangunan pertanian untuk menunjang kesediaan
pangan dalam negeri, memacu perkembangan industri, kebijaksanaan moneter dan
fiscal, dan peningkatan perdagangan luar negeri (Jhingan, 1997:431)
Beberapa Permasalahan dalam Kebijakan Investasi Dalam Kaitannya Dengan
Daerah
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi
di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial,
tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan
prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja
(termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan
biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan
kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan
investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Dalam hal ini permasalahan
tersebut dilihat dalam konteksnya dengan daerah.
Patut diakui bahwa rencana dan pelaksanaan sejumlah kebijakan invetasi selama
ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Meskipun pemerintah sudah melalakukan
beberapa tindakan konkret untuk menarik investasi masuk ke Indonesia. Beberapa
permasalahan tersebut menyangkut kesiapan pemerintah dalam hal ini kualitas SDM,
kelembagaan, kemampuan dalam manajemen pembangunan daerah, dan
regulasi/deregulasi.
Dalam Laporan WEF (The World Economic Forum) tahun 2005 terlihat ada sejumlah
factor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi ke dalam negeri.
Problem Utama dalam Investasi (%)
Problem Th M S ID F V In
Kondisi infrastruktur buruk 15,6 23,6 3,1 54,7 75,5 63,8 72,2
Kebijakan tidak jelas & tidak pasti 9,5 16,5 6,3 67,7 47,9 61,3 14,8
Perpajakan sulit dan rumit 46,3 11,0 12,5 72,0 20,9 40,0 55,6
Kesulitan & rumitnya prosedur perdagangan 62,8 33,9 21,4 67,6 37,1 56,8 58,5
Upah makin mahal 41,6 52,1 54,0 86,4 36,5 29,5 55,7
Isu tenaga kerja/buruh (seperti demonstrasi), dll. 7,1 6,6 1,1 37,0 25,7 11,5 26,6
Sumber: Jetro (dikutip dari Kompas, 2006).
WEF dalam laporannya menyajikan bahwa salah satu indiakator penilaian suatu
negara dianggap menarik adalah lama hari pelayanan izin. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa dibandingkan dengan sejumlah negara lain Indonesia belum memberikan
‘pemikat’ maksimal. Jumlah prosedur yang harus dilewati sekitar 11-12 prosedur dengan
11. lama hari 151 hari (+ 5 bulan). Selainitu ada beberapa ijin yang harus dilengkapi terlebih
dahulu, antara lain : ijin keselamatan kerja, ijin prinsip, ijin gangguan, ijin lokasi, IMB, dan
ijin lingkungan hidup. (Kadin-Jetro, 2006)
Indikator Kemudahan Melakukan Bisnis di Beberapa Negara
Negara Jml prosedur Jml hari Biaya* Modal mimimum*
Bangladesh 8 35 91,0 0,0
Kamboja 11 94 480,1 394,0
China 12 41 14,5 1.104,2
Hongkong 5 11 3,4 0,0
India 11 89 49,5 0,0
Indonesia 12 151 130,7 125,6
Korea Selatan 12 22 17,7 332,0
Laos 9 198 18,5 28,5
Malaysia 9 30 25,1 0,0
Filipina 11 50 19,5 2,2
Singapura 7 8 1,2 0,0
Sri Lanka 88 50 10,7 0,0
Taiwan 8 48 6,3 224,7
Thailand 11 33 6,7 0,0
Vietnam 56 28,6 0,0
Catatan: * = sebagai % dari pendapatan per kapita.
(dikutip dari : Kadin-Jetro, 2006)
Namun dalam konteks kaitannya dengan daerah, maka perlu untuk melihat
permasalahan tersebut dengan lebih spesifik. walaupun hal ini merupakan bagian dari
keseluruhan permasalahan. salah satu pemicu mengapa keberadaan daerah menjadi
kian penting dalam memecahkan permasalahan ini adalah kualitas dan kecepatan
pelayanan daerah terhadap investasi. selain itu peran penting lainnya juga adalah karena
asset dan potensi pembangunan sebenarnya ada dalam wilayah local. sehingga
kepentingan local pun tidak bisa diabaikan. Beberapa permasalahan tersebut akan
dibahas di bawah ini.
Penguatan Kelembagaan Publik Pemerintah Pusat dan Daerah
Ada tiga alasan mengatakan bahwa sebuah kebijakan dikatakan berhasil, pertama
memang kebijakannya efektif baik secara substantive maupun teknis, kedua ‘operating
board’ nya yang bagus, artinya kinerja mereka dilaksanakan secara efisien, efektif,
terencana, dan berhasil. Ketiga, kebijakan dan badan pelaksananya memang bagus. dari
hal di atas setidaknya minimal ada dua bagian penting dalam menjalankan sebuah
kebijakan yaitu kebijakan itu sendiri dan lembaga yang menjalankannya. berdasarkan
hal tersebut, paling tidak ketiga kondisi tersebut secara sederhana menggambarkan
factor-faktor apa yang sebenarnya mendasari sebuah kebijakan bisa berhasil.
Hal tersebut relevan bila dikaitkan dengan kebijakan investasi yang dilakukan olen
pemerintah. Pemerintah sebagai inisiator kebijakan dituntut yakin dalam menjalankan
setiap kebijakan yang diambilnya. keyakinan tersebut melandasi apa yang akan
dilakukan oleh pemerintah ditengah-tengah pelaksanaan kebijakannya. Kemampuan
untuk menjalankan kebijakan secara efektif dan efisien membutuhkan kelembagaan
12. pemerintah yang kuat. Penguatan institusi merupakan hal yang wajib jika pemerintah
hendak menyerahkan sebagian atau semua wewenangnya kepada lembaga pelaksana
untuk merealisasikan kebijakannya.
Hal tersebut juga menjadi salah satu indicator untuk menarik investasi ke dalam
negeri. seperti yang dijelaskan dalam laporan WEF mengenai kinerja kelembagaan
public Indonesia dibandingkan dengan kelembagaan public di beberapa negara di
ASEAN.
Peringkat Indonesia untuk Kelembagaan Publik
Dengan Beberapa Negara ASEAN
berdasarkan The Global Competitiveness Report
2005-2006 (104 negara) dan 2005-2006 (117 negara)
Berdasarkan laporan di atas tentunya sudah jelas bahwa pemerintah perlu
membenahi sector kelembagaan ini. Perubahan tersebut tidak hanya dilakukan pada
lembaga-lembaga yang menunjang langsung kebijakan investasi tersebut, tetapi juga
terhadap keseluruhan system kelembagan pemerintah. Namun pemerintah perlu
membuat prioritas dalam melaksanakannya. Kebijakan investasi melibatkan dua level
pemerintahan yaitu pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi diletakkan pada
pemerintah pusat melalui Departemen teknis dan BKPM. Penyebaran sebagian
wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan diberikan kepada daerah. Dalam hal ini
pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam berinovasi demi menarik sejumlah
investor ke daerah.
Kebebasan tersebut diberikan kepada daerah agar daerah dapat mempromosikan
asset dan potensi daerahnya kepada investor. Daerah diharapkan mampu membangun
pertumbuhan ekonominya berdasarkan potensinya sendiri. Kepercayaan tersebut
seharusnya membuat daerah membangun inisiatif dan inovasi pemerintahan dan
ekonomi dalam menunjang keberhasilan kebijakan investasi tersebut. Namun
permasalahannya apakah pemerintah pusat dan daerah sudah cukup siap dalam
kelembagaan dan perangkatnya? Pembangunan dan perbaikan kapasitas (capacity
13. building) perlu dilakukan sebab hal tersebut sangat menunjang keberhasilan kebijakan.
Sebagaimana dikatakan Jhingan bahwa pembangunan ekonomi memerlukan suatu
system administrasi yang tepat untuk melaksanakan rencana yang dicantumkan didalam
peraturan perundang-undangan (Jhingan, 2003:56).
Tingkat Pemerintah Pusat
Penguatan kelembagaan juga harus dilakukan dalam tingkat pemerintah pusat.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat antara lain
yaitu, 1) high cost economy yang terjadi di lingkungan pusat; 2) kepastian hukum; 3)
penciptaan iklim ekonomi yang kondusif secara makro; 4) kemampuan promosi
pemerintah; 5) Inovasi pelayanan. Perbaikan terhadap beberapa permasalahan tersebut
berkaitan dengan tanggung jawab dan peran lembaga-lembaga teknis terkait di pusat.
Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan, yang
salah satunya adalah dengan membentuk tim khusus. Hal ini tertuang dalam Keputusan
Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor Dan
Peningkatan Investasi yang menggantikan Kepres Nomor 87 Tahun 2003. Tugas Tim ini
sendiri adalah a) merumuskan kebijakan umum peningkatan ekspor dan peningkatan
investasi; b) menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka peningkatan
ekspor dan peningkatan investasi; c) mengkaji dan menetapkan langkah-langkah
penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam proses peningkatan ekspor dan
peningkatan investasi.
Namun tindakan tesebut tidaklah cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi terutama di lapangan. Dalam urusan ekspor-impor atau perdagangan, pungutan
liar dan biaya-biaya siluman di pelabuhan nasional atau internasional tetap banyak
terjadi. Tidak hanya itu, dalam hal pemberian ijin di tingkat departemenpun pungutan-
pungutan seperti itu juga ada. Bikrorasi memang menajdi masalah tersediri yang sulit
untuk dibenahi, aspek pengawasan dan akuntabilitas terhadap biaya-biaya yang
sewajarnya tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya.
KADIN dalam laporannya menyatakan bahwa kebijakan dan perilaku pemerintah
yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung biaya investasi
adalah mulai dari korupsi, besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif,
jasa-jasa publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor, birokrasi dalam
pengurusan izin, kebijakan moneter yang mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi,
hingga pengeluaran pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur.
Besarnya pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu bervariasi menurut
sektor atau jenis kegiatan ekonomi dan kondisi (terutama keuangan) perusahaan yang
melakukan investasi. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang biasanya
memakai sumber eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya suku
bunga di dalam negeri tidak terlalu masalah. Atau, bagi perusahaan-perusahaan asing
yang melakukan kegiatan ekonomi di dalam negeri yang tidak terlalu tergantung pada
14. impor untuk bahan bakunya, mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu
mengganggu kegiatan mereka. (KADIN-Jetro; 2006)
Kebijakan dan Perilaku Pemerintah yang memperngaruhi keputusan investasi
Permasalahan-permasalahan tersebut harus secepatnya dibenahi melalui kebijakan
yang nyata dan efektif. Kebijakan investasi yang dikeluarkan pemerintah tidak akan
berjalan tanpa rentetan kebijakan lainnya yang mendukung. Selain itu penyelesaian
permasalahan dalam ijin, perdagangan, dan konflik kepentingan antara pemerintah dan
investor membutuhkan penyelesaian secepatnya. Kelemahan institusi pengadilan kita
dalam mengadili kasus perdagangan perlu dibenahi. Akibat yang terjadi adalah
penyelesaian menjadi lambat dan kepastian aturan hukum yang digunakan juga
beragam. Sedangkan investasi atau dunia usaha membutuhkan petunjuk yang bisa
diprediksi secara tepat dan pasti.
Dunia usaha terutama investasi sangat memerlukan iklim ekonomi yang kondusif.
Tentu saja dalam hal ini peran pemerintah pusat sangat penting, sebab secara makro
pemerintah bertanggung jawab menjaga agar posisi perekonomian tidak menurun.
Kebijakan tersebut dapat dilihat dalam konteks Fiskal dan moneter. UU 32 Tahun 2004
tidak memberikan kewenangan tersebut kepada daerah sebab kewenangan itu
merupakan kewenangan yang sepenuhnya dipegang pemerintah pusat. Oleh sebab itu,
Pemerintah patut menjamin bahwa investor tidak akan dirugikan ketika dana dialirkan.
Pengelolaan iklim investasi memerlukan kemampuan manajerial dalam menjaga
iklim tetap kondusif. Kemampuan tersebut antara lain kemampuan dalam menjaga
hubungan harmonis dengan pemerintah daerah sebagai bagian dari koordinasi internal;
kemampuan ‘cepat tanggap’ terhadap permasalahan yang membutuhkan penyelesaian
yang cepat; kemampuan untuk menyelesaikan program realisasi fisik yang didanai dari
15. investasi secara tepat waktu; menjaga agar stabiilitas fiscal dan moneter tetap
terkendali; dan kemampuan untuk membuat sejumlah terobosan atau inovasi yang
efektif menarik investor.
Berdasarkan hal tersebut, salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah dalam
bidang pelayanan. Pelayanan dalam hal apapun, terutama yang menyangkut perijinan,
fasilitas insentif, dan berbagai kemudahan-kemudahan lain. Namun tetap, hal tersebut
jangan sampai merugikan dan memberikan damapk balik yang buruk. Salah satu inovasi
yang dilakukan adalah konsep pelayanan satu atap. Tujuannya adalah agar pusat dan
daerah bisa memberikan pelayanan kepada investor dengan cepat, sehingga rentang
waktu untuk mengurus perijinan tidak lama dan berbelit-belit. Tetapi kenyataannya, hal
tersebut tidak cukup memberikan pengaruh yang signifikan, sebab pungutan liar tetap
ada walaupun sistem pelayanannya sudah diubah.
Tingkat Pemerintah Daerah
Untuk tingkat pemerintahan daerah ada beberapa hal yang perlu dibenahi :
a. Infrastruktur Daerah
Salah satu kekurangan besar dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia
terletak pada minimnya infrastruktur yang mendukung proses tersebut. Infrastruktur
tersebut bukan hanya dalam lingkup overhead ekonomi tetapi juga overhead social.
Oleh karena itu sangat sulit mengharapkan daerah bisa menampung dan mengelola
dana investasi yang masuk, karena dari segi fasilitas tidak memungkinkan. Selain itu
pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan juga menyerap dana yang besar,
sehingga logis bila dana yang dimiliki daerah lebih banyak digunakan untuk
menyediakan fasilitas tersebut.
Namun tidak semua daerah mengalami hal tersebut. Ada ‘conditonal gap’ di
setiap daerah dari sisi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini juga
terjadi dalam penyediaan infrastruktur. Daerah di Jawa cenderung siap dalam hal
sumber daya alam dan sumber daya manusia serta infrastruktur, berbeda dengan
daerah Kawasan Timur Indonesia, yang sangat unggul dalam sumber daya alam
namun minim dalam kapasitas SDM dan infrastruktur. Tetapi pada kenyataannya, hal
tersebut tidak menjadi masalah berarti sebab daerah mulai menyadari bahwa inovasi
dan kreatifitas dalam mengelola potensi daerahnya adalah kuncinya.
Selain penyediaan infrastruktur, permasalahan lainnya adalah penyediaan lahan
atau tanah yang pantas untuk dijadikan proyek investasi. Salah satu sebabnya adalah
pemerintah pusat belum bisa melepaskan sepenuhnya kewenangan tersebut kepada
daerah. Rencana Tata Ruang Daerah tetap harus menginduk pada Rencana Tata
Ruang Nasional. Dalam Hukum Pertanahan juga ada kendala berkaitan dengan
status tanah, seperti tanah ulayat atau tanah adat. Kendala tersebut menyebabkan
pemerintah tidak bisa mengklaim bahwa tanah-tanah dalam wilayah daerah
16. sepenunya penguasaan daerah. Oleh karena itu reformasi agraria perlu dilakukan
dengan tetap menghargai status tanah ulayat masyarakat adat.
Permasalahan lainnya adalah ketersediaan pasar di daerah. Pasar mutlak harus
tersedia di daerah, sebab disitulah terjadi proses penawaran dan pembelian. Luas
lingkup pasar atau ‘market range’ juga perlu dibangun. Daerah harus mampu
menyediakan keterhubungan pasar di wilayahnya dengan pasar di wilayah lain, baik
dalam lingkup nasional, regional maupun internasional. Daya saing daerah dan
diferensiasi produk/jasa dari daerah bisa terjadi bila pasar cukup luas dan mampu
mempengaruhi kreativitas iklim usaha di daerah. Oleh karena itu, salah satu factor
pembangun dan penyangga kemampuan pasar adalah ketersediaan infrastruktur
ekonomi dan social.
b. Sinkronisasi Regulasi dan ‘Infrastuktur’ Regulasi
Diberikannya kewenangan dan kebebasan kepada daerah untuk memperbaiki
kondisi sosial dan ekonomi daerahnya mengundang sejumlah permasalahan. Salah
satunya adalah tumpang tindih antara peraturan pusat dengan peraturan daerah,
terutama dalam bidang ekonomi. Departemen Dalam Negeri serta KPPOD
menyatakan bahwa terdapat ratusan Perda yang tidak sinkron dengan peraturan di
atasnya. Perda bermasalah tersebut melanggar asas perundang-undangan secara
materil. Ketidaksinkronan tersebut menyebabkan sejumlah peraturan pusat tidak
mempunyai pengaruh, sebaliknya perda yang diterbitkan oleh daerah dipandang
sebagi regulasi tunggal daerah.
Dalam hal ini, tugas Depdagri sebagai lembaga pemerintah yang berwenang
untuk membatalkan perda-perda bermasalah tersebut. Untuk mengawasi munculnya
perda-perda semacam itu, maka pemerintah perlu melibatkan sejumlah lembaga
independent atau asosiasi masyarakat/pengusaha. Bahkan seharusnya, pemerintah
daerah perlu melibatkan organisasi semacam itu untuk membuat suatu kebijakan,
sebab dampak yang dirasakan adalah berakibat langsung kepada proses
perekonomian daerah dan stabilitas pasar.
Namun bukan berarti pemerintah daerah tidak boleh menjalankan
wewenangya sebagai pengatur dalam perekonomian daerahnya. Fungsi regulasi
sudah pasti dan mutlak berada di tangan pemerintah daerah. Karena wewenang
tersebut erat kaitannya denga tanggung jawab pemerintah terhadap pencapaian
tujuan pemerintah daerah demi keseahteraan masyarakat dan daya saing.
Pemerintah daerah perlu membuat blue print kebijakan dan economic and
development planning daerah beberapa tahun ke depan. Sehingga segala kebijakan
dan program yang akan dibangun disesuaikan dengan blue print tersebut. Sehingga
pembangunan ekonomi daerah jelas arah dan tujuannya.
Sebenarnya pemerintah pusat sudah merealisasikan hal tersebut melalui
UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
17. (sisrenbangnas). Dalam UU tersebut dikatakan bahwa Daerah melalui Bapeda wajib
menyusun Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang dituangkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah untuk jangka waktu satu tahun. Oleh karena UU tersebut
menghendaki adanya system pembangunan terpadu maka sudah sepatutnya bila
daerah turut menyesuaikan regulasi dan perdanya dengan regulasi diatasnya.
Pemerintah daerah hendaknya tidak memandang peningkatan ekonomi
dengan indicator tunggal yang semu yaitu peningkatan PAD, dengan menerbitkan
pajak dan retribusi yang beragam. Terdapat kurang lebih 500 perda tentang pajak
dan retribusi daerah yang sedang ditelaah Departemen Keuangan. Dari jumlah itu
terdapat 40 Perda yang telah dibatalkan. Dari 40 perda tadi, pada intinya
menetapkan retribusi yang sebetulnya tidak perlu dan terdapat pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan yang di atasnya. Seringkali terdapat
kekeliruan dalam menerapkan asas lahirnya perda tersebut, yaitu dengan
menggunakan asas lex spesialis derogat lex generalis - ketentuan khusus
mengensampingkan ketentuan umum. Padahal asas itu harus digunakan terhadap
suatu ketentuan yang sederajat. Artinya kalau undang-undang mau disimpangi
dengan asas lex spesialis, haruslah oleh UU lagi. (PR, Senin, 20 Maret 2006)
Jumlah Perda Pungutan setelah Otda
Sumber : Hasil Penelitian SMERU, 2003
Sebagai bagian dari proses pembangunan, peran regulasi dalam mengatur proses
perekonomian sudah pasti sangat berpengaruh. Terlihat dari beberapa kendala yang
terjadi dalam hubungan antara pusat dan daerah seperti dijelaskan diatas. Ada tiga
kondisi dimana regulasi menjadi salah satu factor penentu perbaikan ekonomi daerah.
18. Pertama, regulasi dapat menjadi ‘pintu masuk’ bagi investasi ke daerah. Hal ini terjadi
bila regulasi tersebut mengatur sejumlah fasilitas dan kemudahan yang disediakan
daerah atau perlindungan kepada investor. Tersedia rule of game dunia usaha yang
jelas (fair) dan tidak mengandung konflik/masalah ke depannya baik hubungannya
dengan masyarakat serta dengan pemerintah. Artinya ada jaminan kepastian dan
kenyamanan berusaha. Kedua, Regulasi digunakan sebagai sarana diplomasi
kepentingan daerah dengan pihak investor. Sebenarnya melalui jenis regulasi seperti ini
economic interests pemerintah daerah terhadap keberadaan investor di daerah
tergambarkan, apakah murni untuk peningkatan ekonomi atau malah digunakan
sebagai sumber penggalian PAD. Melalui regulasi ini pemerintah daerah bisa
memasukan isu CSR (Corporate Social Responsibility) seperti pendidikan, social,
kesejahteraan, partisipasi masyarakat dan lain hal mendukung perbaikan SDM daerah.
Dengan ketentuan pemerintah daerah perlu memberikan ‘jenjang waktu’ dan ketentuan
lunak sampai dunia usaha siap merealisasikan hal tersebut. Peran ‘mengajak’ dan
‘mengundang’ perlu ditunjukkan dengan niat baik dan professional.
Ketiga, Regulasi bisa digunakan sebagai media membangun dunia usaha yang
berjiwa professional. Hubungan yang baik antara pemerintah daerah dan investor perlu
dibangun. Perwujudannya tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan dunia usaha dan
masyarakat (sepihak dari pemerintah). Sehingga tidak ada lagi istilah ‘ganti pemimpin
ganti kebijakan’ karena imbasnya adalah ketidakpastian ‘rule of game’ di daerah. Yang
dibangun bukan kebijakan berdasarkan keinginan dan personifikasi pemimpin yang
sifatnya parsial, melainkan kebijakan-kebijakan yang terangkum dalam sistem kebijakan
dunia usaha dan siapapun pemimpinnya sistemnya tetap ada.
Oleh karena itu, regulasi yang dikeluarkan perlu disusun dengan baik, dari segi
substansial dan legal formalnya serta pelibatan partisipasi dunia usaha dan masyarakat
daerah.
c. Reformasi Birokrasi di Daerah
Permasalahan penting lainnya menyangkut pelaksanaan kebijakan investasi
adalah peran dan fungsi birokrasi daerah. Birokrasi mempunyai pengaruh yang kuat
dalam menentukan iklim dan budaya wilayah kerjanya. Hal tersebut tentu saja sangat
bersentuhan dengan segala aspek baik internal maupun eksternal. Dalam lingkungan
eksternal masyarakat dan pelaku usaha merupakan pihak yang merasakan langsung
tingkah laku dan kebijakan birokrasi. Sebab bangunan lembaga birokrasi terdiri dari
SDM, wewenang dan tanggung jawab, serta struktur dan budaya kerja tersendiri.
Hal ini seperti yang diungkapkan Miftah Toha bahawa Lembaga birokrasi merupakan
suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur
mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai (values),
19. sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan
perilaku dari sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi kelembagaan
birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta
reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya.
(Mitfah Toha;2002)
Bila dikaitakan dengan konteks ekonomi, maka sudah sewajarnya bila reformasi
terhadap birokrasi perlu dilakukan. Kita tidak bisa lagi bertumpu pada sistem dan
budaya kerja yang lamban, tidak responsif, tertutup atau ’tabu’ terhadap persaingan,
dan pemikiran yang tradisionalistik. Juga tidak bisa lagi menutup mata bahwa
pemerintah daerah berada dalam persaingan yang serba cepat dan membutuhan
peningkatan kemampuan dan perubahan strategi yang baru. Pemerintah perlu
berpikir cerdas dan terbuka terhadap perubahan. Osborne dan Gabler dalam
bukunya menggagaskan bahwa bentuk pemerintahan yang bekembang selama era
industri, dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap
ketentuan dan peraturan,serta rantai komando, tidak lagi berjalan dengan baik. Oleh
karena itu memerlukan fleksibilitas, perubahan yang cepat, responsivitas terhadap
pelanggan, dan pengarahan jasa yang ekstensif kepada pelanggan. iii
Dalam hal ini David Osborne dan Ted Gaebler Juga menyarankan paradigma
birokrasi yang baru antara lain: (a) Catalytic government: steering rather than rowing.
Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah
dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang
sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri; (b) Community-owned
government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik masyarakat:
lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil
masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih
utama jika memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus
masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap
pemerintah; (c) Competitive government: injecting competition into service delivery.
Pemerintahan yang kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat
kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling
bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi
dan barang-barang kebutuhan publik.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menata birokrasi pemerintahan
dalam hal menunjang kebijakan investasi adalah dengan dikeluarkannya Keppres
Nomor 29 tahun 2004 tentang penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui sistem
pelayanan satu atap. Tujuan yang ingin dicapai adalah dalam rangka meningkatkan
efektivitas dalam menarik investor untuk melakukan investasi di Indonesia, sehingga
dipandang perlu untuk menyederhanakan sistem pelayanan penyelenggaraan
penanaman modal dengan metode diatas. Namun sebenarnya ada permasalahan
20. lain dengan Keppres tersebut berkaitan dengan wewenang daerah dalam UU 32
tahun 2004. Masalah kewenangan perizinan oleh BKPM apabila dilihat dari konteks
UU 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, menjadi kewenangan daerah. Pasal 13
dan Pasal 14 UU No. 32 mengisyaratkan, pelayanan administrasi penanaman modal
merupakan urusan wajib provinsi bagi yang berskala provinsi, dan merupakan urusan
wajib kabupaten/kota bagi yang berskala kabupaten/kota. Dengan adanya
Keputusan Presiden terebut, BKPM menjadi ujung tombak bagi perizinan investasi di
Indonesia, sehingga dirasakan terdapat resentralisasi perizinan investasi dari daerah
kepada BKPM.
Meskipun demikian tekad pemerintah akan memperpendek pengurusan
perizinan usaha perlu mendapat support instansi sektoral atau teknis yang
mengeluarkan izin. Dalam pelaksanaan perizinan penanaman modal sebagaimana
terdapat dalam pedoman tata cara berinvestasi yang dikeluarkan oleh BKPM
terdapat jenis izin yang harus diurus, yaitu 1) izin yang dikeluarkan oleh BPKM
sebanyak tujuh jenis izin, yang terdiri dari izin angka pengenal importir terbatas, izin
usaha tetap/izin perluasan, rencana penggunaan tenaga kerja asing, rekomendasi
visa bagi penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan izin memperkerjakan tenaga
kerja asing yang bekerja lebih dari satu provinsi, fasilitas pembebasan/keringanan
bea masuk atas pengimporan barang, modal, atau bahan baku/penolong dan
fasilitas fiskal lainnya; 2) perizinan yang diterbitkan pemerintah provinsi sesuai
kewenangannya, berupa perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing untuk
tenaga kerja asing yang bekerja di wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; 3)
Perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah kota/kabupaten, yaitu berupa izin lokasi,
sertifikat hak atas tanah, izin mendirikan bangunan (IMB), izin undang-undang
gangguan (HO). Persoalannya, selain izin tersebut, masih dapat ditemukan di suatu
daerah tertentu, misalnya, ada izin penggunaan trotoar, izin penggunaan gorong-
gorong, dll. Akibatnya, izin kegiatan investasi atau usaha lebih dari 11 jenis izin tadi.
Banyaknya izin tersebut memakan biaya dan waktu, akhirnya hal tersebut merupakan
cost transaction dan ekonomi biaya tinggi dan bahkan secara rasional sejumlah ijin
tersebut tidak relevan dengan operasionalisasi investasi di daerah.
Ada tiga kategori kelembagaan dan peran pelayanan satu pintu berdasarkan best
practices di daerah. Ketiga kategori tersebut adalah Pertama, unit pelayanan itu
menginduk pada kelembagaan pemda yang sudah ada, misalnya bagian
perekonomian sekretariat daerah, dinas informasi dan komunikasi, dan sebagainya.
Namun, tugas unit itu di setiap daerah selalu berbeda. Kedua, pelayanan satu atap
ditangani oleh sebuah kantor khusus yang dipimpin pejabat eselon III. Meski
demikian, fungsi yang diterapkan setiap daerah berbeda-beda. Ada yang sebatas
berfungsi sebagai front office, seperti yang terjadi di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Namun, ada kantor pelayanan satu atap yang berfungsi menerima berkas
permohonan dan mengoordinasikan dengan dinas terkait. Kantor itu pula yang
21. menerbitkan perizinannya. Ketiga, ada pula daerah yang segala ketentuan pelayanan
satu pintu ditempelkan di semua instansi agar diketahui publik. Daerah seperti
Kabupaten Parepare, Sulawesi Selatan, memberlakukan aturan secara transparan.
Investor langsung diberikan kepastian pengurusan dokumen selesai berapa hari plus
biaya yang harus dibayar dengan bukti penerimaan dokumen resmi.
Bila dilihat secara menyeluruh, pelaksanaan sistem pelayanan satu atap tersebut
belum dilakukan oleh sebagian besar daerah. Hal ini menyangkut kesiapan SDM dan
komitmen pemerintah daerah itu sendiri. Tidak semua daerah sanggup
merealisasikan kebijakan kelembagaan seperti itu. Terutama untuk daerah-daerah
hasil pemekaran yang relative masih baru dan membutuhkan penyesuaian yang
lama. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas pemerintah pusat untuk memberikan
bantuan teknis dan advokasi terhadap daerah seperti itu. Daerah memerlukan
panduan untuk menggali dan mengembangkan potensi wilayahnya serta bantuan
dari pemerintah pusat untuk mempromosikannya. Dalam hal ini kesenjangan
kemampuan manajerial daerah bisa teratasi sehingga terbangun hubungan yang
saling mendukung antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerintah daerah
dengan pemerintah daerah lainnya. Reformasi yang dilakukan bukan hanya dalam
bidang kelembagaan/fungsinya, SDM/manajerialnya, budaya kerja serta perilakunya
tetapi juga birokrasi dalam lingkup hubungan pemerintahan yang lebih luas sebagai
bagian dari sistem administrasi NKRI.
C. PENUTUP
Penguatan peran dan kelembagaan pemerintah sangat penting untuk mendukung
keberhasilan kebijakan investasi. Tanpa lembaga dan kapasitas yang siap maka
kebijakan tidak bias terealisasi secara maksimal. Tujuan dan prospek yang ingin dicapai
sulit untuk dicapai dan kemungkinannya malah akan hilang. Pemerintah perlu menata
kembali fungsi organisasi dan manajemen yang ada saat ini. Keterbukaan terhadap
perubahan gaya manajemen dan fungsi organisasi perlu dilakukan. Bukan tidak
mungkin pemerintah bias mengadopsi gaya kepemimpinan dan manajemen swasta
yang berorientasi pada peningkatan ekonomi, tentu saja dengan tidak mengangapnya
sebagai privatisasi birokrasi.