Budaya perkawinan di Pulau Adonara masih mempertahankan tradisi memberikan gading gajah sebagai mas kawin. Gading dianggap sebagai simbol penghargaan tertinggi bagi keluarga pengantin wanita. Adat ini diwarisi turun-temurun meskipun nilai ekonomis gading sangat mahal. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa tradisi ini dapat menimbulkan marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan karena terkait nilai materialnya
1. PRAKTIK KEHIDUPAN DI PULAU ADONARA
Kompas Senin, 25 September 2006
Budaya
Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih
dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu
tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan,
dan nilai ekonomis yang tinggi.
Salah satu tokoh masyarakat Adonara, Oka Corebima, di Waiwerang, pekan lalu,
mengatakan, meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes
sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading
gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara
secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.
Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores
Timur (Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot
demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga
Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti
tata krama daerah itu.
“Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri,
atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan
masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas,
suci, dan bermartabat yang lebih sosialis,” kata Corebima.
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang
gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan,
dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin
gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi
kehidupan sosial budaya setempat.
Meski di Adonara atau Flores Timur tidak memiliki gajah, kaum pria tidak pernah
gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah.
2. Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa
perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak
bisa keluar rumah pada malam hari.
Ketua Adat Desa Demondei, Adonara Barat, Frans Duli mengatakan tidak ada
perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan
pembicaraan mas kawin gading gajah.
Lima jenis
Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang
pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia
akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya
menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee
(gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala
kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa
sampai siku), ina umene (setengah depan sampai batas bahu), dan opu lake
(setengah depa, persis belah dada tengah).
Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya
ditentukan sesuai dengan kesepakatan.
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah
depa, satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri
ke ujung jari tengah tangan kanan).
Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata
cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan
mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan
keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi
keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria
menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih
memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.
Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering
bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal
tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat
3. perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon
pengantin wanita.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama
calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua
calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di
hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga
besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake.
Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar
dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.
Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria
menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing,
ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting,
gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain
itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok
makan.
Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada
keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita
harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.
Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan
perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan
nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria.
Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di
masing-masing kelompok.
Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak
keluarga wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama sekali. Di sinilah biasanya
awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir
dengan perceraian.
Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero.
Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak
keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya.
4. Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak
wanita tidak harus memiliki gading tersebut.
Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis
Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa,
Sulawesi, Sumatera, dan Bali.
Gading dalam bahasa Lamaholot disebut “bala”. Saat ini jumlah gading yang
beredar di Pulau Adonara, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin
langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara.
Elias Laga Kelake (58), pemilik 10 batang gading di RT 18 RW 2 Waiwerang,
Adonara Timur, mengatakan, hampir setiap hari ada orang datang ke rumahnya
membeli gading. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta,
tergantung dari besar (panjang)-nya.
Elias menuturkan, di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading
dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan
upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading
tersebut.
Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber
kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada
malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan
bertunas.
Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam.
Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum
menggunakan gading, perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli
seorang gadis. Pengantin pria harus membeli pengantin wanita dengan sejumlah
uang Belanda dan budak. (KOR)
Kebetulan saya lagi penelitian tentang pergeseran nilai gading yang dijadikan
belis bagi perempuan lamaholot,realita membuktikan bahwa ternyata gading dapat
digantikan dengan uang.menurut saya bila sesuatu yang sifatnya sakral dan agung
seperti pernikahan bila barometernya adalah materi maka simbol pemaknaan
gading yang dijadikan belis itu sudah luntur lantas bila terjadi seperti itu maka apa
bedanya dengan prostitusi?pada kenyataannya perempuan lamaholot masih
5. menjadi second line dalam rumah tangga bahkan tidak jarang sebagai “budak”
dari “suami”nya sendiri padahal sejatinya sebuah perkawinan bukan hanya karna
gading tapi pada persenggamaan kedua mempelai dan keluarga masing-masing
agar tercipta ketentraman dan kedamaian dengan landasannya adalah kasih sayang
serta saling menghargai
Budaya adat perkawinan di Suku bangsa Lamaholot, Adonara khusunya adalah
warisan dari Leluhur Kita. Jadi,adat perkawinan yang belisnya adalah gading tetap
harus di pertahankan. Walaupun secara ekonomis nilainya sangat besar. Tapi juga
merupakan salah satu bentuk penghargaan kepada kaum wanita yang ada di Pulau
Adonara.. Sayang,,jika warisan budaya Leluhur tidak kita pertahankan,,toh orang
yg mendahului kita akan kecewa. Sekalipun Kita tauh perkmbangan zaman sudah
cukup mempengaruhi masyarkat setempat. Alangkah baiknya kita tetap
mempertahankan adat perkawinan yang sudah ada. Dan bagi pria yang bukan
suku asli Lamaholot,juga wajib mengikutin kebudayaan masyarkat Adonara,tanpa
kompensasi.. Satu tekat ”Budaya Lamaholot adalah harga mati,tanpa praktik2
yang menyimpang” …Mahasiswa FakHum UNILAK PEKANBARU RIAU…
Saya dari waiwerang adonara timur dan merupakan mahasiswa sosiologi FISIP
UNDANA KUPANG,,menurut pendapat saya,budaya merupakan warisan leluhur
yang tak boleh dihilangkan dan harus tetap di lestarikan,,sebab kalau budaya kita
hilang maka hilang pula identitas kita sbg masyarakat lamaholot,,namun
terkadang budaya sering disalah artikan untuk suatu kepentingan
tertentu,.misalnya pada topik diatas mengenai gading sbg belis,paradigma yg
dibangun oleh suatu keluarga tentang belis yg diterima adalah merupakan suatu
bentuk penghargaan terhadap mereka,dan mendatangkan “hoki” sebab anak
wanita mereka telah dipinang,,tetapi di satu sisi,yaitu si pemberi belis merasa
terbebankan,betapa tidak jika si pihak pemberi berasal dari keluarga
miskin,,mereka harus berupaya keras untuk melakukan pinjaman hanya untuk
membayar belis dimana belis itu sendiri memiliki nilai ekonomis yg cukup
tinggi,apabila pihak pemberi belis belum sanggup membayar belis maka bisa
dibayar dikemudian hari dgn catatan si wanita belum bisa dibawa keluar sampai
belis itu terbayar dan si pria harus tinggal bersama dgn keluarga wanita sbg
6. bentuk pengabdiannya,,dari sini bisa menjadi pemicu terjadinya diskriminasi yg
berujung konflik di kemudian hari,,misalnya apabila belis sdh terbayarkan maka
akan timbul perasaan ego yg cukup tinggi dan berujung pada diskriminasi yg
berujung konflik dari pria terhadap wanita yg menjadi istrinya.disini bisa saja
timbul pandangan dari pria bahwa “saya sudah membayar lunas belis,jd saya bs
berbuat apa sj semau saya”,,maka tidak heran dapat kita temui adanya kekerasan
yg terjadi dalam rumah tangga di kehidupan masyarakat lamaholot. kemudian
mengenai belis yg belum terbayarkan,,sbg bentuk pengabdian maka si pria tinggal
bersama keluarga wanita,disini jg bisa terjadi diskriminasi dan konflik dari pihak
keluarga terhadap si pria,,timbul paradigma dari orang tua bahwa”kamu belum
membayar belis anak saya,jadi kami bisa melakukan apa saja yg kami
mau”,shingga hal ini bisa mengakibatkan si pria merasa tertekan dan
terdiskriminasi. hal ini terjadi tanpa memikirkan esensi dari pernikahan yg
sebenarnya. jadi kesimpulannya bahwa kebudayaan itu harus tetap dipertahankan
namun yg harus kita ubah adalah cara pandang kita mengenai kebudayaan kita ini
terkait masalah belis,dan satu hal lagi spy masalah belis yg juga merupakan salah
satu masalah sosial yg kita hadapi saat ini maka perlu adanya campur tangan dari
pemerintah untuk menentukan dan membatasi nilai belis sehingga masalah ini
sebisa mungkin dapat teratasi.trimakasih
Marginalisasi Perempuan Dalam Sistem Perkawinan Lamaholot
Surga di bawah telapak kaki ibu. Ungkapan klasik ini sekaligus menggambarkan
betapa mulianya seorang ibu yang nota bene adalah perempuan. Terlepas dari baik
atau buruk perlakuan terhadap kaum perempuan dalam kehidupannya, namun
pasti bahwa ungkapan tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk yang
istimewa dan itu diakui secara umum termasuk laki-laki.
Dalam budaya Lamaholot yang dianut masyarakat Flores Timur dan Lembata, di
Nusa Tenggara Timur (NTT), ungkapan di atas menjadi nyata dalam kehidupan
keseharian pelapisan social yang memandang wanita sebagai sentral kehidupan
masyarakat dan tinggi nilainya. Karena itu, meski masyarakat menilai seorang
7. wanita tidak secara material, mereka tetap mencari materi pembanding dalam
bentuk belis.
Belis merupakan unsur penting dalam lembaga perkawinan. Selain dipandang
sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan bentuk penghargaan terhadap
perempuan, namun di satu sisi juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan dan
simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Belis
juga dianggap sebagai syarat utama pengesahan berpindahnya suku perempuan ke
suku suami.
Di NTT ada beragam belis yang digunakan berupa emas, perak, uang, maupun
hewan seperti kerbau, sapi, atau kuda. Di daerah tertentu belis berupa barang
khusus. Sementara bagi masyarakat Lamaholot nilai seorang perempuan pada
maskawin dikonkritkan dalam bentuk nilai dan ukuran gading gajah yang sulit
diperoleh.
Gading gajah baru masuk pada abad permulaan perdagangan rempah-rempah
termasuk wewangian cendana. Secara umum, ukuran dan jumlah gading
tergantung pada status social seorang gadis, juga system perkawinan yang
ditempuh serta kemampuan negosiasi dari keluarga laki-laki kepada keluarga
perempuan. Lebih dari itu, pendidikan perempuan juga terkadang menjadi ukuran
dalam menentukan belis.
Sistem Perkawinan
Dalam kehidupan masyarakat Lamaholot dikenal beberapa system perkawinan
yakni, gete dahang/pana gete (peminangan biasa) perkawinan cara ini didahului
dengan acara peminangan resmi dari keluarga pria kepada keluarga wanita
menurut adat kebiasaan keluarga wanita.
Bote kebarek, perkawinan jenis ini dilakukan tanpa sepengetahuan sang gadis.
Proses persetujuan hanya dilakukan keluarga pria dan keluarga wanita. Bote
kebarek biasa dilakukan di jalan saat si gadis bepergian ke luar rumah.
Kepergian si gadis diinformasikan terlebih dahulu oleh orang tua si gadis kepada
keluarga pria. Dengan begitu keluarga pria bisa menghadang gadis bersangkutan
dan secara paksa membawanya ke rumah keluarga pria. Proses ini biasanya
8. diiringi dengan bunyi-bunyian gong gendang. Jenis perkawinan seperti ini sudah
jarang ditemui pada saat sekarang .
Plae (kawin lari), biasanya dilakukan karena orang tua/keluarga dari kedua
pasangan atau keluarga wanita tidak merestui hubungan mereka, sehingga kedua
pasangan sepakat untuk melarikan diri ke daerah lain. Atau bila orangtua keluarga
wanita yang tidak merestui hubungan anak gadisanya, maka si gadis bisa
memutuskan untuk lari dari rumah orang tuanya dan tinggal bersama keluarga pria
agar proses perkawinannya dapat di atur lebih lanjut.
Loa wae menate, perkawinan ini dikarenakan wanita sudah hamil sebelum
urusan perkawinan selesai. Meski demikian acara peminangan tetap dilakukan dan
sebagai konsekwensi dari kejadian ini, pihak keluarga pria akan dibebankan
dengan mas kawin/belis tambahan karena kejadian ini.
Liwu/dope keropong, dilakukan saat proses perkawinan berlangsung dimana
kaum pria pergi dan tinggal di rumah keluarga wanita. Karena perkawinan
dilakukan sebelum proses penyelesaian adat, maka kaum pria dan wanita menetap
bersama keluarga wanita sampai proses penyelesaian adat (pemberian belis)
dilakukan.
Liwu weking/dekip kenube, pada perkawinan ini pria pergi dan tinggal di rumah
perempuan sehingga secara mendesak orang tua wanita menyerahkan anak
gadisnya untuk diperistri pria bersangkutan.
Kawin beneng, perkawinan ini dilakukan dengan cara menawarkan anak gadis
dengan berusaha memperkenalkannya ke desa lain agar mendapat jodoh. Dengan
demikian orangtua perempuan dapat memperoleh maskawin/belis yang sesuai.
Kawin bukang, merupakan bentuk perkawinan levirat dimana berlaku anggapan
bahwa sang isteri setelah perkawinan menjadi milik suku suaminya sehingga
kalau suaminya meninggal ia dapat dinikahi oleh saudara laki-laki kandung
suaminya atau juga oleh lelaki dari suku yang sama dengan suku suaminya.
Sebaliknya, bila menikah dengan laki-laki lain diluar suku suaminya, maka suku
suaminya yang berhak menerima belis dari perkawinannya.
Perkawainan wua gelu malu, yakni perkawinan yang dilakukan timbal balik oleh
dua suku. Jenis perkawinan ini dilakukan dengan tujuan agar belis atau maskawin
9. hanya berputar dalam suku itu saja. Selain itu model ini sangat ekonomis karena
terkadang, acara penyerahan belis tidak dilakukan sehingga tidak perlu lagi
mengeluarkan biaya untuk pesta adat yang biasanya dilakukan disaat penyerahan
belis.
Kawin bluwo, merupakan jenis perkawinan yang dilakukan pria beristri dengan
seorang gadis. Ini terpaksa dilakukan karena wanita sudah hamil supaya jelas
bapak dari anak yang dikandungnya. Model – model perkawinan ini akan
menentukan belis/maskawin baik dalam jumlah maupun ukuran.
Marginasiliasi Perempuan
Disadari atau tidak, model-model perkawinan yang berlaku dalam masyarakat
Lamaholot sebagaimana diuraikan di atas, telah membuat kaum perempuan
termarginaliasi. Hal ini dapat dilihat pada model perkawianan bote kebarek, liwu
weking/dekip kenube, kawin beneng dan kawin bluwo yang jelas – jelas
mengabaikan hak kaum perempuan dalam memilih dan menentukan pasangan
hidupnya. Namun menghadapi system ini, kaum perempuan selalu berada pada
posisi tawar yang lemah.
Penolakan tidak harus terjadi karena proses ini mendapat legitimasi budaya/adat
yang sudah dianut turun temurun. Karena itu, penolakan akan menjadi semacam
petaka yang membuat malu orangtua dan keluarga besar. Hal ini yang tidak
diinginkan terjadi sehingga seorang gadis yang berhadapan dengan system
perkawinan yang demikian tentu saja harus menerimanya.
Hakekat Belis dan Konsekwensinya
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hakekat belis adalah menunjang harkat
seorang wanita dalam kehidupan patrilineal, dan agar keluarga wanita mendapat
tempat terhormat dihadapan keluarga pria.
Bagi masyarakat Lamaholot, kedudukan wanita adalah kedudukan seorang ibu.
Selain itu, belis juga sebagai lambang pemersatu keluarga pria dan wanita,
sekaligus sebagai tanda seorang perempuan secara resmi pindah ke suku suami.
Karena itu perempuan Lamaholot dimata kaum pria selalu mendapat perlindungan
10. dalam pergaulan sosialnya. Setiap pelabelan negative yang dilakukan terhadap
perempuan Lamaholot akan dikenakan denda adat bagi pelakunya. Bentuk
dendanya bisa berupa gading, sarung tenun adat atau lainnya. Dendanya sangat
berfariasi sesuai jenis pelanggaran dan permintaan keluarga perempuan.
Disisi lain, belis juga telah menjadi akar kekerasan terhadap perempuan. Saya
mencoba mengangkat penelitian yang dilakukan TRUK-F di Maumere,
Kabupaten Sikka, sejak 2003 hingga beberapa bulan pada 2006, sebagiamana
dilansir Kompas, 21 Juli 2006. Dalam penelitian itu TRUK-F menyebutkan dari
104 kasus kekerasan yang terjadi disimpulkan bahwa belis menjadi alasan suami
melakukan kekerasan.
Temuan tahun 2003 terdapat lima kasus, yakni pasangan tidak dapat
melaksanakan pernikahan Katolik karena belis belum dibayar. Suami pun tertekan
karena terus-menerus dipaksa oleh pihak keluarga perempuan untuk segera
membayar belis. Selain itu, juga terdapat 10 kasus suami merantau untuk
mengumpulkan uang agar dapat melunasi belis. Namun, setelah tiba di tempat
perantauan, suami jarang atau sama sekali tidak mengirimkan uang.
Bahkan, pada 2005 terdapat 12 kasus perempuan diperlakukan dengan kekerasan
oleh suami. Saat istri melarikan diri ke keluarganya, suami dan keluarganya
memaksanya untuk kembali sebab belis sudah dibayar lunas.
Sementara temuan tahun 2006, terdapat 19 kasus suami yang merantau untuk
mencari uang guna melunasi belis. Namun, akhirnya istri dan anak ditelantarkan
di kampung. Sebanyak lima kasus lainnya, keluarga istri mengintimidasi suami
untuk melunasi belis. Karena tertekan, suami memperlakukan isterinya dengan
kekerasan.
TRUK-F juga menampung keluhan dari 10 perempuan tua yang tak menikah,
yang diduga terkait persoalan belis. Kesimpulan sementara yang diambil Divisi
Perempuan TRUK-F, perempuan-perempuan ini tidak menikah sampai tua karena
orangtua dan saudara laki-laki menuntut belis yang tinggi dan banyak sehingga
pihak laki-laki tidak mampu membayar, atau tidak mau melamar mereka, karena
sudah mendengar cerita dari orang-orang di sekitarnya. Umumnya perempuan ini
11. dari keluarga kalangan menengah ke atas. Akhirnya, perempuan ini sendirian dan
tidak pernah diperhatikan.
Dari gambaran di atas, penulis melihat bahwa belis meski bertujuan mulia untuk
mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, namun belis dapat juga
menjadi sumber persoalan dalam rumah tangga yang pada akhirnya dapat
melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi bila tuntutan belis
yang terlampau tinggi (mahal) melampaui kemampuan financial seorang laki-laki
dan keluarganya. Selain itu, belis yang mahal akan berdampak pada beban
psikologis seorang laki-laki untuk menikahi perempuan dari strata sosial yang
tinggi, sehingga banyak perempuan yang pada akhirnya tidak menikah karena
faktor belis yang terlalu tinggi. Belis juga telah menjadi penyebab seorang suami
menelantarkan isteri dan anak-anaknya, dan dapat membebani ekonomi keluarga.
Kesimpulan
Bagi masyarakat Lamaholot, sistem pembelisan telah menjadi pranata sosial dan
dapat mengeliminir terjadinya tindakan – tindakan yang melanggar hak-hak
perempuan. Belis tidak saja menjadi syarat sebuah perkawinan tapi juga sebagai
bentuk denda yang harus diberikan dari pihak yang melakukan kesalahan terhadap
seorang perempuan. Kesalahan-kesalahan yang pada umumnya diberi hukuman
denda adalah soal sterotipe negative yang mana ukurannya merujuk pada budaya.
Penerapanan denda biasanya pada kasus-kasus seperti peghinaan, juga kasus-kasus
asusila. Itu nilai positif dari system pembelisan. Namun fakta lain juga
membuktikan bahwa belis telah melahirkan dampak buruk terhadap kaum
perempuan. Karena itu penulis berpendapat bahwa belis sebagai tradisi yang
memiliki nilai-nilia luhur dan sebagai bentuk perghargaan terhadap harkat dan
martabat seorang perempuan perlu tetap dipertahankan dengan beberapa catatan
sebagai berikut; Pertama, perlu penyederhanaan belis. Biasanya, setelah pihak
laki-laki memberikan belis, pihak perempuan membalasnya dengan memberikan
barang bawaan bagi pihak laki-laki untuk dibawa pulang. Minimal bawaan itu
sama dengan besar belis yang diberikan kepada pihak perempuan.
12. Karena itu pembebanan sesungguhnya tidak hanya pada pihak laki-laki tapi juga
perempuan. Diperlukan suatu alternative semacam pembicaraan untuk
memperoleh kesepakatan yang sama tentang belis. Dialog ini harus melibatkan
tetua adat, juga dapat ditunjang dengan pendekatan informal kepada masyarakat.
Contoh, di Ileape telah ada symposium di tingkat kecamatan yang
menyeragamkan ukuran dan jumlah gading sebagi belis terhadap seorang
perempuan dan hal itu berlaku sampai sekarang. Karena itu, di Ileape Lembata,
penentuan belis tidak lagi berdasarkan satatus sosial seorang perempuan.
Kedua, penyederhanaan tahapan/proses pembelisan. Disadari atau tidak,
tahapan/proses pembelisan menyedot dana yang besar sementara kenyataan
sebagian besar masyarakat hidup dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Dari
itu perlu dibuat penyederhanaan proses/tahapan-tahapan. Bagi masyarakat
Lamaholot proses pernikahan sangat panjang hanya karena urusan adat (belis).
Bahkan jauh sebelum pernikahan, terlebih dahulu digelar koda kiring (pertemuan
adat di antara keluarga besar wanita dan pria). Yang terlibat adalah keluarga besar
(fam/suku/marga), bukan orang tua kandung saja seperti di Jawa dan tempat-tempat
maju lain di Tanah Air. Biasanya, Koda Kiring ini digelar sepanjang
malam, beberapa hari, sampai ada kesepakatan. Ini tentu membutuhkan biaya
yang besar.
Ketiga, perlu penyadaran kepada masyarakat terutama pemegang otoritas
komunitas seperti tetua adat, tuan tanah, kepala suku dan lain-lain untuk
memaknai kembali secara mendalam hakekat belis itu sendiri. Hal ini dapat
menghapus asumsi negative tentang belis itu sendiri yang pada akhirnya
berdampak buruk terhadap kaum perempuan Lamaholot.
(Tulisan ini telah dipresentasikan pada Konferensi I, Hukum dan Penghukuman
yang diselenggarakan Program Studi Kajian Wanita/ Kajian Gender, Program
Pasca Sarjana UI bekerjasama dengan Komnas Perempuan yang diselenggrakan
di Pusat Studi Jepang U, tanggal 28 Oktober hingga 1 November 2010 lalu).