2. Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas
Pertambangan
• Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama
kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak
yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan,
tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan
(Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003).
Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh
perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang
melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah
lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).
Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula
areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat
kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak
dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).
4. Perubahan vegetasi penutup
Proses land clearing pada saat operasi
pertambangan dimulai menghasilkan dampak
lingkungan yang sangat signifikan yaitu
hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan
pertambangan yang dilakukan di dalam
kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi
akan berdampak pada perubahan iklim mikro,
keanekaragaman hayati (biodiversity) dan
habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa
vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan
memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat
musim hujan.
6. Perubahan topografi
• Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan
topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah
umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena
digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk
dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Seperti
halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi
yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam
akan memperbesar laju aliran permukaan dan
meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi
yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam
sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan
dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang
semula.
8. Perubahan Pola Hidrologi
• Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka
mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi
yang merupakan salah satu kunci dalam siklus
hidrologi. Pada sistem penambangan terbuka saat
beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk
mengeringkan areal yang dieksploitasi &
memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah
tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa
dihentikan dan tinggi muka air tanah (ground water
table) berubah yang mengindikasikan pengurangan
cadangan air tanah untuk keperluan lain dan
berpotensi tercemarnya badan air akibat
tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida
sehingga kualitasnya menurun.
10. Kerusakan Tubuh Tanah
• Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan
penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi.
Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil
dan sub soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu
kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010). Pattimahu
(2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah
sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup
mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama
menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi
penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak
langsung mempengaruhi kehidupan tanaman.
Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan
tambang juga akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan
lingkungan sekitarnya. Sementara itu proses pengolahan bijih
mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing juga
berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto,
2008b), sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya
yang bisa jauh ke luar arel tambang.
11. Gambar Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke
sungai yang mempengaruhi daerah di luar areal tambang
14. • Mengelola air tambang, sehingga air murni yang jatuh
ke sungai dan dipakai masyarakat sekitar tidak
tercampur dengan air tambang, itu dipisah, sedangkan
air untuk tambang sendiri diolah kembali dengan
dinetralkan dengan kapur.
• Limbah B3 diolah kembali, seperti oli bekas
dimanfaatkan untuk ANFO dan di PLTU (pembangkit
listrik), abu batu bara dimanfaatkan untuk campuran
beton dan paving blok, besi bekas dikirim untuk didaur
ulang sampai air buangan IPAL-D digunakan untuk air
irigasi tanaman dan penyiraman jalan.
• Upaya reklamasi dan penghijauan kembali bekas
penambangan batu bara dapat mencegah
perkembangbiakan nyamuk malaria. Dikhawatirkan
bekas lubang/kawah batu bara dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk (breeding place).
15. • Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak
dalam kegiatan pengusahaan penambangan batu bara
tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang
berlaku (law enforcement)
• Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang
dilakukan serta dikembangkan untuk membina dan
memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus
memotivasi perubahan perilaku dan membangkitkan
kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.
• Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi
preventif (control/protective) yaitu pengembangan
sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara
sehingga akan mengurangi keruwetan masalah
transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar
dari ruang udara yang kotor. Menggunakan masker debu
(dust masker) agar meminimalkan risiko
terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).
16. NAMA KELOMPOK
ADINDA CHIKA A. ( 02 )
ANNISA WASISTIANA ( 07 )
FATKHIYATUL FITRIA ( 10 )
INGGRIT TYA UTARI ( 12 )
NADIA INGRID Z. ( 16 )
NURUL AFIFAH ( 17 )
TRI NURELITA A. P. ( 20 )