SlideShare a Scribd company logo
1 of 14
Download to read offline
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI
© 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936
Volume I (1), 63 - 76

Teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan
keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan
somatisasi
Nidya Rizky Selvera Universitas Muhammadiyah Malang1

Abstraksi	

Gangguan somatisasi banyak terjadi di Asia dan Afrika, khususnya pada wanita usia dewasa muda,
gejala nampak pada adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan
pemikiran yang salah (distortion cognitive) serta ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya sensasi
fisik atau kesalahan dalam menafsirkan sensasi somatik. Subjek dalam penelitian ini berjumlah
dua orang perempuan yang diidentifikasi mengalami gangguan somatisasi. Penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi
dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
Tindakan (action research) dengan menggunakan metode analisis data gabungan (mixed methods).
Instrument pengumpulan data yang digunakan wawancara, self-report, dan skala IBT. Intervensi yang
diberikan kepada subyek berupa teknik restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan adanya
penurunan pada keyakinan irasional pada gangguan somatisasi. Hal ini berarti bahwa penerapan teknik
restrukturisasi kognitif diidentifikasikan dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada
subyek yang mengalami somatisasi.

Kata kunci 	 Teknik restrukturisasi kognitif, keyakinan irasional, gangguan somatisasi

Latar Belakang
Gangguan somatoform merupakan gangguan
yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum atau gangguan mental lain
dan untuk memenuhi kriteria diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan (McCarron, 2006; Woolfolk & Allen, 2002). Gangguan
Somatisasi mengacu pada perkembangan gejala somatik yang tidak ditemukan atau disebabkan oleh penyakit medis (Escalona, Achilles, Waitzkin, & Yager, 2004; North, Kawasaki,
Spitznagel, & Hong, 2004; Allen, Gara, Escobar, Waitzkin, & Cohen-Silver, 2001). Somatisasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan
teori psikodinamik, dimana penyebab penyakit  dikarenakan konflik psikologis atau suatu
kondisi kejiwaan yang diubah menjadi penyakit fisik  (Kirmayer, 1984;  Li-powski, 1988).
Dalam kajian psikodinamik, somatisasi
merupakan salah satu gangguan yang sering
1

digunakan individu untuk menghindari diri
dari permasalahan karena enggan menerima
tanggungjawab, teguran ataupun hukuman.
Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya
berpengaruh pada diri sendiri dan tidak berpengaruh pada orang lain (Kaplan, Harold, Sadock, & Grebb, 1997; Barry, 2003).
Gangguan somatisasi adalah salah satu
gangguan somatoform spesifik yang ditandai
oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik
yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan
dan melibatkaan sistem organ yang multiple
(seperti gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun, dimulai sebelum
usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan
psikologis yang bermakna, seperti gangguan

Korespondensi ditujukan kepada Nidya Rizky Selvera, nidya_puh@yahoo.co.id, telepon: 081233671115

63
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari
bantuan medis yang berlebihan (Kaplan et al.,
1997; Woolfolk & Allen, 2010).
Gangguan somatisasi  lebih sering terjadi  atau ditemukan di budaya non-Barat,
terutama sering terjadi pada orang-orang Asia
dan  Afrika   (Gaw, 1993). Prevalensi gangguan
somatisasi pada populasi umumnya diperkirakan 0,1–0,7% (Weissman, Myers, & Harding, 1978; McLeod, Budd, & McClelland, 1997;
Barsky, & Borus, 1995). Prevalensi gangguan
somatisasi terjadi pada wanita di populasikan
sebanyak 1–5%. Perbandingan rasio penderita
pada wanita dan laki-laki adalah 5 berbanding 1, biasanya gangguan dimulai pada usia
dewasa muda (sebelum usia 30 tahun) (Davidson, Neale, & Kring, 2006; Kallivayalli & Punnoose, 2010; Eisendrath, 1998;   Khouzam &
Field, 1999; McCarron, 2006; Redekop, Stuart,
Mertens, 1999). Di Mesir Kuno juga  menyebutkan bahwa  gangguan somatisasi lebih sering
terjadi pada perempuan (McCarron, 2006). Survey pada komunitas penderita gangguan somatisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang
dengan gangguan somatisasi telah mengunjungi seorang dokter dan hampir setengahnya
(45%) masuk perawatan inap di rumah sakit
(Nevid, Rathus, & Greene, 2005).  Kasus gangguan somatisasi terjadi juga di klinik psikologi
di Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara
dengan dr. Nina diketahui bahwa pada tahun
2008 terdapat 8 pasien somatisasi dan meningkat menjadi 14 pasien pada tahun 2010.
Gangguan  somatisasi  biasanya  menunjukkan berbagai gejala, seperti sakit kepala,
adanya rasa nyeri pada bagian tubuh, sulit  tidur,  sakit perut/nyeri pada perut, gangguan
pada menstruasi, dan kelelahan. Semua sakit
tersebut tanpa dibuktikan adanya penyakit
medis, hal ini dikarenakan individu dengan
gangguan somatisasi merasa sakit pada sebagian besar hidupnya dan selalu mengeluhkan 
penyakit  tubuh  kepada dokter setiap individu
merasa sakit (McCahill, 1995, Boeree, 2008).
Individu dengan gangguan somatisasi
memiliki kecenderungan untuk bereaksi terhadap tekanan psikososial dan lingkungan
yang membuat stres sehingga tubuh merasa
sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat
pada jantung, pencernaan, pernapasan,  kulit,
dan   sistem organ lainnya (Katon, Ries & Kleinman, 1984; Moore & Jefferson, 1996). Individu
yang mengalami gangguan  somatisasi  memiliki keyakinan dan alasan yang kuat  bahwa
ia sakit,  meskipun juga penyakit tersebut sudah dibuktikan dengan berulang kali dari ha-

64

sil tes laboratorium, tes diagnostik, konsultasi
dengan spesialis/dokter, bahkan rawat inap
menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang
serius ditubuh individu. Individu tersebut
terus mencari perawatan medis atau membeli
beberapa obat tanpa resep dokter (Escobar,
Waitzkin & Silver, 1998;   McCahill, 1995; Ali,
Deuri, Jahan, Singh & Verma, 2010). Gangguan somatisasi  merupakan hasil dari  keyakinan irasional dan kesalahan dalam proses
berpikir (distortion cognitive) serta adanya ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya 
sensasi fisik atau salah dalam menafsirkan
sensasi somatik.  Sebagai contoh, individu percaya bahwa rasa sakit, kelelahan, atau ketidak
nyamanan dalam bentuk apapun merupakan
tanda-tanda penyakit yang terjadi pada dirinya
(Rief, Hiller, & Margraf, 1998).
Individu dengan gangguan somatisasi lebih mungkin percaya bahwa gejala fisik yang
tidak jelas merupakan indikator penyakit serius dan selalu mencari pengobatan. Misalnya, seseorang  dengan gangguan somatisasi
mungkin takut bahwa sakit kepala adalah
sinyal tumor otak, atau sesak napas  menunjukkan  timbulnya  asma. Ketika dokter tidak
dapat menemukan penjelasan medis untuk gejala, individu  mungkin takut bahwa ia memiliki  penyakit langka dan panik untuk mencari
spesialis yang dapat memberikan diagnosis penyakitnya (Menza, Lauritano, Allen, Warman,
Ostella, Hmaer, & Escobar, 2001).
Gangguan somatisasi disebabkan oleh
pikiran individu, individu merasa bahwa ada
sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya
sehingga menyebabkan timbulnya pikiranpikiran yang negatif dan keyakinan irasional
tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang
rnenyebabkan individu merasa bahwa jika
adanya tekanan, stress, terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energi dan tenaga serta ketidak percaya
diri dengan kemampuan dirinya maka dapat
memunculkan rasa sakit dan menganggap
hal tersebut dapat mengancam atau membahayakan dirinya. Suatu keadaan yang diyakini
membuat individu sakit, sehingga perlu adanya pendekatan (intervention) untuk individu
gangguan somatisasi yang bertujuan mengubah pola pikir yang salah dan negatif menjadi pikiran‑pikiran yang positif dan rasional
(Emair, 1998).
Pendekatan kognitif menekankan bahwa
tingkah laku adalah proses mental, dimana
individu (organisme) aktif dalam menangkap,
menilai, membandingkan, dan menanggapi
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu
dalam hal ini menerima stimulus kemudian
melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi yang datang (Boeree, 2008). Dasar
pikiran teknik kognitif adalah proses kognitif
sangat berpengaruh terhadap perilaku yang
ditampakan oleh individu. Selain itu, perasaan
individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri.
Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Burns,
1988).
Adapun faktor kognitif yang menyebabkan
gangguan somatisasi seperti prediksi berlebih
terhadap ketakutan, keyakinan irasional, sensitivitas berlebihan mengenai sinyal-sinyal dan
tanda-tanda ancaman, harapan-harapan self efficacy (kemampuan diri) yang terlalu rendah dan
salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Sehingga
somatisasi terbentuk karena cara berpikir yang
terdistorsi yang membuat seseorang tersebut
salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuhnya sebagai tanda dari bencana/ancaman yang akan terjadi. Selain itu distorsi kognitif
tersebut akan berdampak pada fungsi sosial,
pekerjaan dan  masyarakat (Kallivayalli & Punnoose, 2010).
Teori-teori kognitif beranggapan bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang
fundamental karena dapat mengerakkan,
mempengaruhi, mengubah, dan yang akan
membimbing suatu tingkah laku. Kognisi atau
kognitif merupakan proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal) diri individu. Kesaahan dalam proses kognitif atau distorsi kognitif akan menimbulkan berbagai dampak seperti
munculnya pemikiran negatif, dan keyakinan
irasional serta akan mengalami kesulitan
dalam menghasilkan suatu emosi dan perilaku
yang positif (Boeree, 2008).
Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif merupakan faktor yang sangat berperan penting
dalam tubuh sebagai menyebabkan terjadinya
gangguan somatisasi. Kesalahan dalam proses
kognitif atau terjadinya penyimpangan kognitif
dapat memberikan pengaruh negatif bagi diri
individu. Somatisasi merupakan salah satu
gangguan yang terjadi akibat adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan
keyakinan dan pemikiran yang salah. Distorsi kognitif merupakan hasil dari pengolahan
informasi  dengan cara  yang diduga  mengakibatkan  kesalahan  yang diidentifikasi kedalam

pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan
tidak rasional  (Beck,  1967).  Distorsi kognitif
adalah pikiran tentang kejadian atau peristiwa yang mengalahkan diri sendiri yang tidak
dapat didukung  oleh realitas/kenyataan tertentu yang masuk akal (Kevin, Christopher, Ellison, Koening, 2008).
Dalam hal ini perlunya terapi kognitif untuk mengatasi keyakinan-keyakinan negatif
atau kesalahan dalam proses kognitif pada individu yang mengalami gangguan somatisasi.
Terapi kognitif adalah bentuk terapi di mana
pasien atau subjek diajarkan keterampilan
mengidentifikasi, mengevaluasi dan menanggapi dirinya sendiri sehingga mengalahkan
pikiran-pikiran yang menyimpang serta menerapkan terapi kognitif untuk mengubah pikiran, suasana hati dan perilaku pada penderita
gangguan somatisasi. (Emair, 1998).
Intervensi yang biasanya digunakan untuk
membantu mengatasi gangguan somatisasi yaitu dengan menggunakan Rational Emotif therapy (RET) dan terapi kognitif perilaku. CognitiveBehavior Therapy (CBT) adalah   istilah umum
untuk cabang psikoterapi yang menggunakan
cara perubahan  kognitif dan perilaku serta
untuk memahami dan mengobati  masalah
kesehatan. CBT berorientasi pada pemecahan
masalah, pengobatan, upaya  kolaboratif, di
mana  terapis dan individu bekerja  bersamasama membangun gagasan tentang  sumber
masalah dan strategi untuk  penyelesaiannya.
Secara teoritis CBT dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan somatisasi, karena dengan terapi ini seseorang diajari bagaimana
memahami bahwa adanya hubungan antara
emosi, pikiran dan perilaku yang dihasilkan.
Terapi CBT   untuk somatisasi   yang difokuskan pada manajemen stres, regulasi aktivitas,
emosional  kesadaran,  kognitif restrukturisasi, 
dan komunikasi interpersonal (Allen & Woolfolk 2006;   Escobar et al., 1998). CBT merupakan terapi yang cukup lama sehingga untuk
focus menurunkan keyakinan irasional pada
gangguan somatisasi, maka digunakan terapi
kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif
(Dobson, 2008).
Restrukturisasi kognitif adalah salah satu
teknik CBT yang merupakan suatu cara yang
dilakukan dengan tujuan untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini
mempengaruhi emosi dan perilakunya (Oemardi, 2003). Restrukturisasi kognitif dapat digunakan dalam penanganan permasalahan pada

65
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

gangguan somatisasi. Untuk memecahkan
akibat dari pemikiran irasional dan merubah
ke pemikiran rasional/logis maka dapat dilakukan dengan mengendalikan kognitif dan
merubah kepercayaan-kepercayaannya, salah
satu caranya dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif (Ellis, 2011). Metode restrukturisasi kognitif merupakan metode terapi
kognitif untuk membantu mengidentifikasikan
pemikiran-pemikiran atau keyakinan-keyakinan negatif dan menggantikannya pemikiranpemikiran yang positif, serta untuk menolong
orang-orang mengidentifikasikan ide-ide atau
keyakinan yang irasional tersebut dan menggantinya dengan pernyataan-pernyataan yang
lebih realitas (Suryaningrum, 2007).
Tujuan teknik restrukturisasi kognitif dilakukan pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu untuk menyanggah
keyakinan irasional individu tentang pemikiran
negatif dengan menggunakan metode mengumpulkan data asumsi negatif, lembar pekerjaan
rumah, membentuk interpretasi yang berbeda,
mempelajari keahlian menyelesaikan masalah
(problem solving), merubah pola pikir dan menentang keyakinan yang salah pada gangguan
somatisasi. Dengan cara individu diajak untuk
memahami bahwa perubahan perilaku hanya
dapat dilakukan dan dapat memberikan hasil
efektif dalam mengatasi masalahnya, jika individu mampu bekerja sama dalam mengeksplorasi pikiran dan perasannya.
Manfaat teknik restrukturisasi kognitif
pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu individu dapat membedakan,
memahami pikiran dan perasaannya yang
salah, serta mengevaluasi keyakinan dengan
bukti yang jelas sehingga individu dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006).
Penelitian Allen, Woolfolk, Lehrer, Gara, &
Escobar (2001) yang menggunakan CognitiveBehaviour Therapy untuk menurunkan sejumlah simtom pada gangguan somatisasi. Teknik
yang digunakan adalah relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan   bahwa teknik CBT tersebut
dapat membantu menurunkan simtom somatisasi.
Penelitian Allen, & Woolfolk (2006) menunjukkan terapi kognitif-perilaku untuk menurunkan simtom somatisasi menggunakan
waktu 10 pertemuan. Intervensi menggunakan teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan subjek
dinilai sudah  jauh lebih baik, sudah mampu
menjalankan fungsi sehari-hari dan adanya
penurunan somatic dibandingkan dengan sub66

jek yang hanya dirawat dan diobati dirumah
sakit. 
Berdasarkan studi pendahuluan pada
subjek yang mengalami somatisasi, ia sering
mengeluhkan rasa sakit dalam keadaan yang
cukup menekan dirinya seperti terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan
yang menguras energy dan tenaga, banyaknya tugas kampus yang harus diselesaikan,
dan kelelahan dalam menyelesaikan tugas
akhir. Selain itu seperti cuaca yang buruk,
tempat yang baru dan kurang bersih dapat
memunculkan rasa sakit serta mengancam dan membahayakan diri subjek. Hal ini
merupakan suatu keadaan yang selama ini
diyakini akan membuat subjek sakit. Bentuk rasa sakit yang biasanya muncul pada
subjek berupa sakit kepala, adanya rasa nyeri
pada bagian tubuh (dada, punggung, kaki, perut), sulit  tidur, sering mual, dan gangguan
pada menstruasi. Subjek berpikiran dan takut
yang berlebihan bahwa bersin-bersin dan nyeri
dada yang sering dideritanya menunjukkan 
penyakit serius yaitu sakit jantung.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menduga kuat bahwa kognitif/pikiran merupakan
bagian terpenting untuk meningkatkan atau
memperbaiki distorsi kognitif atau kesalahan
pemikiran pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Tujuan penelitian adalah
untuk melihat pengembangan teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan
irasional pada gangguan somatisasi.

Kajian Pustaka
Somatisasi dan faktor kognitif
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh
banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang
mengenai banyak sistem organ yang tidak
dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan
pemeriksaan fisik dan laboratorium (Kaplan
et al., 1997). Gangguan somatisasi   hasil dari 
keyakinan irasional (distorsi kognitif)  dan ketakutan  berlebihan  tentang pentingnya  sensasi fisik.  Individu dengan   gangguan somatisasi demikian lebih mungkin  untuk percaya
bahwa  gejala fisik yang tidak jelas merupakan
indikator penyakit  serius dan mereka pasti
mencari pengobatan  (Menza et al, 2001). Faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yaitu kognitif. Faktor kognitif dalam gangguan somatisasi disebabkan
adanya penyimpangan proses kognitif yang
disebut dengan distorsi kognitif. Dasar piki-
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

ran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku
yang ditampakan oleh individu. Perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan
suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Kaplan et al.,
1997). Menurut Beck (1975), distorsi  kognitif
didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan informasi  dengan cara  yang  diduga  mengakibatkan  kesalahan  dan  diidentifikasi ke dalam
pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan
tidak rasional.
Individu yang mengalami gangguan somatisasi disebabkan adanya penyimpangan
kognitif (distorsi kognitif), dimana proses kognitif yang terjadi diawali oleh adanya stimulus
yang tangkap oleh indera yaitu mata, kemudian stimulus tersebut diartikan sebagai sesuatu yang akan membahayakan dirinya dan
pada saat itu terjadilah proses berpikir. Pada
saat proses berpikir tersebut, individu tidak
menemukan coping yang dapat menyelesaikan
permasalahannya serta pikiran individu tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga
mengakibatkan individu mengambil keputusan
untuk menghindari permasalahanya kemudian
menimbulkan dampak perasaan yang tidak nyaman bagi dirinya. Akibatnya tubuh kemudian
bereaksi dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pelepasan enzim-enzim di tubuh,
lalu tersimpan dimemori individu, sehingga apabila individu dihadapkan pada situasi yang sama
dan menurut individu dapat membahayakan
dirinya, maka akan menghasilkan suatu perilaku
yang sama yaitu munculnya rasa sakit dan cemas. Hal itulah yang secara terus-menerus terulang pada individu yang mengalami gangguan
somatisasi (Novita, 2011).

Teknik restrukturisasi kognitif untuk
meningkatkan berpikir rasional
Teknik restrukturisasi kognitif adalah suatu
metode terapi kognitif untuk membantu subjek
mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau
keyakinan yang negatif dan menggantikannya
dengan pemikiran-pemikiran yang positif/rasional dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis (Oemarjoedi, 2003)
Teknik restrukturisasi kognitif dapat
mengubah pola-pola kognitif, asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang irasional merusak dan mengalahkan diri sendiri. Restrukturisasi  kognitif  memberikan  tantangan langsung terhadap 

keyakinan, asumsi, dan harapan subjek.  Subjek diminta untuk mengevaluasi pemikiranpemikiran yang muncul, apakah benar-benar 
masuk akal, membantunya  atau  menghibur.
Namun dengan berpikir yang lebih realistis dan 
adaptif subjek  dapat melihat  situasi  yang ditakuti atau dicemaskan.  Teknik-teknik ini harus didukung dan dilengkapi sehingga dapat
terjadi perubahan dalam pemikiran subjek
bahwa pemikiran negatif  subjek belum tentu
terjadi dan tidak benar. Restrukturisasi kognitif  mengajarkan  subjek untuk berpikir  positif/logis tentang pengalaman mereka (Safaria,
2004).
Berdasarkan pengertian diatas, peneliti
dapat menyimpulkan bahwa manfaat teknik
restrukturisasi kognitif adalah membentu
mengenali kejadian yang menyebabkan timbulnya pemikiran dan keyakinan negatif dan
reaksi yang dihasilkan yaitu berupa rasa sakit,
mengenali dan memonitor distorsi kognitif yang
muncul dalam suatu kejadian. Selain itu, untuk  mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat dan rasional.

Teknik-teknik kognitif yang digunakan untuk
merubah cara berfikir seseorang
Menurut Omeardi (2005) terdapat empat
teknik besar dalam teknik-teknik kognitif,
yaitu: (a) Teknik pengajaran teknik ini memberikan keleluasaan kepada terapis untuk
berbicara serta menunjukkan sesuatu subjek,
terutama menunjukkan ketidaklogisan berfikir
itu secara langsung menimbulkan gangguan
emosi kepada subjek tersebut. (b) Teknik persuasif dengan cara meyakinkan subjek untuk
mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Terapis dapat langsung mencoba meyakinkan,
mengemukakan berbagai argumentasi untuk
menunjukkan apa yang dianggap oleh subjek
itu adalah tidak benar. (c) Teknik konfrontasi
dengan cara terapis menyerang ketidaklogisan
berfikir subjek dan membawa subjek kearah
berfikir yang lebih logis. (d) Teknik pemberian
tugas, terapis memberikan tugas kepada subjek untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata.

Langkah-langkah teknik restrukturisasi kognitif
Terdapat beerapa langkah dalam restrukturisasi kognitif (Burns, & David, 1988): (a) Mengidentifikasi  situasi yang dirasa subjek adalah
suatu permasalahan, (menjelaskan peristiwa
67
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

atau  masalah yang sedang  mengganggu subjek). (b) Mengidentifikasi distorsi kognitif subjek, dan  perasaan  yang dirasakan. Bagaimana perasaan subjek (sedih, marah, cemas, 
bersalah, frustrasi, putus asa) mengenai situasi yang menjadi sumber permasalahan.
(c) Menggunakan teknik  kolom.  Menuliskan
pikiran negatif yang berhubungan dengan  perasaan. Serta menuliskan seberapa besar
tingkat pemikiran dan perasaan tersebut Membuat skala dari 0-100 tingkat  setiap pemikiran dan perasaan negatif yang diyakini subjek
(untuk tingkatan yang paling rendah hingga
tinggi). (d) Mendiskusikan hasil dan mengajari subjek untuk mencari dan menggantikan
pemikiran negatif tersebut dengan pemikiranpemikiran yang lebih rasional. Pastikan bahwa 
pemikiran rasional dapat dan telah diyakini
oleh subjek. untuk mencari alternatif-alternatif
pemikiran yang lebih positif dan rasional.  Kemudian melakukan evaluasi dan menunjukkan
kepada subjek  betapa jauh lebih baik  dirasakan jika berpikiran lebih positif dan realistis.
Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas. Berpikir rasional adalah berbicara dengan
dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbabagai hal
itu dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga
diperoleh kebenaran secara rasional (Mukhayat,
2004).

Metode Penelitian
Desain penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan untuk pertama kalinya dikenalkan oleh
Kurt Lewin. Ia menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan bentuk penelitian yang
mengawinkan antara pendekatan penelitian
eksperimen dalam ilmu sosial dengan program
tindakan sosial dalam merespon permasalahan sosial yang besar pada waktu.  Lewin menyatakan bahwa teori pengembangan dan perubahan sosial yang diperlukan secara simultan dapat dicapai dengan memberikan definisi
penelitian tindakan sebagai proses di mana
dengan proses itu orang dapat membangun
eksperimen-eksperimen sosial dengan maksud
untuk mencapai tujuan tertentu (Greenwood &
Levin, 1998). Menurut Arikuntoro (2002) dalam
penelitian tindakan, peneliti melakukan suatu

68

tindakan atau eksperimen yang secara khusus
diamati secara terus menerus, dilihat plus minusnya, kemudian diadakan perubahan terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam
bentuk tindakan paling tepat.

Spesifikasi model intervensi
Model Intervensi yang digunakan adalah
pengembangan teknik restrukturisasi kognitif
yang bertujuan untuk mengurangi distorsi kognitif dan meningkatkan berpikir rasional pada
subjek yang mengalami gangguan somatisasi.
Dimana dengan teknik ini subjek diajarkan untuk melihat kembali keyakinan irasional tersebut dan membantunya menghilangkan dan
menggantinya dengan pemikiran yang lebih
positif dan rasional. Sasaran intervensi adalah
perempuan dan usia �����������������������
dewasa muda dimulai sebelum usia 30 tahun. Durasi intervensi selama
1 bulan, dengan 9 kali pertemuan untuk persubjek.

Subjek penelitian
subjek berjumlah 2 orang, berjenis kelamin
perempuan yang mengalami gangguan somatisasi berdasarkan criteria DSM-IV (APA, 2000).
Penentuan subyek dalam penelitian ini atas
rekomendasi dari dokter. Subyek belum pernah
mendapatkan intervensi dari klinik psikologi.

Variabel dan instrumen pengumpulan data
Variabel terikat adalah keyakinan pemikiran
rasional. Instrument yang digunakan adalah
skala Irrational Beliefs Test (IBT). Skala IBT
untuk mengukur keyakinan irasional (Jones,
1968). Skala IBT mengandung 10 aspek yaitu
demand for approval (DA), high self expectations
(HSE), blame proneness (BP), frustration reactivity (FR), emotional irresponsibilft (EI), anxious
overconcern (AO), problem avoidance (PA), dependency (D), helplessness (HC), perfectionism
(P). Skala IBT terdiri dari 100 pernyataan dengan empat pilihan dengan skala Likert, sangat setuju (1); setuju (2); tidak setuju (3); dan
sangat tidak setuju (4). Subjek memilih salah
satu pilihan yang paling sesuai dengan pilihan
tersebut. Hasil pengujian di Russian dengan
n=94, diperoleh nilai Alpha .66-.80. Hasil pengujian di Malang (Indonesia) dengan n=50,
diperoleh nilai validitas .79 serta nilai reliabilitas (konsistensi internal) Alpha .98. Salah satu
contoh item IBT “Saya punya ketakutan tentang sesuatu yang sering mengganggu saya”.
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

Wawancara yang digunakan pada penelitian ini yaitu wawancara semi terstruktur.
Wawancara dilakukan kepada subjek, dan
dokter. Tujuan wawancara untuk mengetahui
perubahan-perubahan pemikiran negatif dan
keyakinan irasional pada subyek.
Selain itu menggunakan self report untuk
mengetahui perkembangan perubahan tingkat
keyakinan irasional dari sesi ke sesi sehingga
dapat dijadikan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan (Woolfolk & Allen, 2007).

sanaan tindakan. Pengamatan dilakukan pada  
data-data yang diperoleh dari tahap tindakan
(hasil pre dan post tes, hasil grafik dan hasil  intervensi teknik restrukturisasi kognitif). Dan (d)
Tahap refleksi, mengevaluasi hasil terapi yang
sudah dilakukan, mencari kekurangan yang
terjadi saat pelaksanaan tindakan dan pengamatan, kemudian melakukan perubahan atau
memperbaiki model terapi, lalu mengembangkannya kembali pada model teknik restrukturisasi kognitif pada siklus selanjutnya.

Prosedur penelitian

Analisis data

Lewin (1952) menggambarkan penelitian tindakan sebagai suatu proses siklus spiral, yang
meliputi: perencanaan, tindakan, pengamatan
dan refleksi. Penelitian tindakan ini dilakukan
dalam dua siklus. Pada siklus pertama bertujuan untuk���������������������������������
menujicobakan model untuk dievaluasi proses terapi yang selanjutnya dilakukan
perbaikan untuk digunakan pada siklus kedua.
Pada siklus kedua bertujuan untuk meningkatkan kepraktisan pengembangan model sehingga semakin efektif terapi dalam mengubah
keyakinan irasional maka dapat dikatakan
model terapi semakin berkualitas.		
Dalam setiap siklus terdapat tahapantahapan pelaksanaannya, tahapan tersebut
adalah: (a) Tahap Perencanaan, terapis terlebih
dahulu melakukan rapport kepada subjek
penelitian. Dilanjutkan membangun komitmen
tentang persetujuan mengikuti terapi restrukturisasi kognitif. Kemudian, membuat modul
terapi restrukturisasi kognitif, membuat guide
interview untuk subjek penelitian dan melakukan try out skala IBT kepada 50 orang, pre-test
skala IBT. (b) Tahap tindakan, terapis melakukan identifikasi   permasalahan/assesmen dengan wawancara, self report dan memberikan
skala IBT (post tes), terapis melakukan  terapi
restrukturisasi kognitif (lihat Modul teknik restrukturisasi kognitif). (c) Tahap pengamatan,
dilakukan ketika proses kegiatan berlangsung
dan bersamaan waktunya dengan tahap pelak-

Analisis data penelitian ini menggunakan
metode penelitian gabungan (mixed methods)
antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Untuk hasil pada kuantitatif dapat berupa angka-angka dengan analisis deret berkala
(time series) dengan metode bebas/free hand
method. Analisisi deret berkala bertujuan untuk mengetahui kecenderungan nilai suatu
variabel dari waktu ke waktu, untuk meramal
nilai suatu variabel pada suatu waktu tertentu (Algifari, 1994). Agar perkembangan nilai
variabel dari waktu ke waktu mudah diketahui, maka pola perubahannya digambarkan
dengan sebuah grafik. Sedangkan pada hasil
kualitatif yaitu menganalisis data dengan cara
mendeskripsikan hasil pengamatan sebelum
dilakukan intervensi dan setelah dilakukan
intervensi. Pada analisa kualitatif digunakan
teknik wawancara (Okpala, Hopson, Chapman,
& Fort, 2011). Hasil kuantitatif didapatkan dari
hasil perubahan tingkat keyakinan pemikiran
negatif subyek dan hasil pre-tes dan post tes
IBT.
Desain ini menurut Creswell mengintegrasikan dan menarik kesimpulan dari data kualitatif dan kuantitatif, desain studi metode campuran. Keuntungan menggunakan mixed methods atau metode campuran kuantitatif dan
kualitatif dalam proses paralel atau berurutan
menawarkan kesempatan lebih besar untuk
memverifikasi dan menemukan pengetahuan
tentang fenomena daripada menggunakan
salah satu metode saja (Cagle, & Wells, 2008).

Hasil dan Pembahasan
Hasil pengujian model teknik restrukturisasi
kognitif

Gambar 1. Siklus dalam penelitian tindakan (Greenwood &
Levin, 1998)

Penerapan teknik restrukturisasi   kognitif dilakukan dua tahapan siklus dengan subjek
yang berbeda. Pada siklus pertama dikenakan
pada subyek 1 (ANS) dan pada subyek 2 (YNI)
69
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

dikenakan pada siklus kedua. Siklus kedua
dimulai setelah subyek 1 menyelesaikan tahapan siklus pertama pada sesi 1 dan 2 dilakukan. Hal ini dikarenakan untuk tujuan pengamatan dan untuk perbaikan yang akan diterapkan disiklus kedua. Pada siklus pertama
pengujian model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan selama 9 sesi dengan waktu 60
menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan
4–5 hari. Pada siklus kedua dilakukan selama
7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi dengan
jarak waktu pertemuan 3 hari.
Siklus pertama: pengujian model teknik restrukturisasi kognitif. Pada sesi pertama, teknik restrukturisasi kognitif yaitu raport, dan alloanamnesa. Pada sesi ini terdapat banyak waktu
luang, dimana pada kegiatan perkenalan dan
identifikasi pemikiran dan tingkat keyakinan
hanya memerlukan waktu 30 menit. Pada kegiatan alloanamnesa cukup menyisakan banyak waktu, sehingga waktu yang digunakan
untuk alloanamnesa digunakan 10 menit. Hal
ini menjadi catatan penting bagi terapis untuk
mengefektifkan waktu, karena pada sesi ini
dinilai masih tersisa banyak waktu, sehingga
sebaiknya dimanfaatkan untuk meneruskan
kesesi selanjutnya.
Pada sesi kedua yaitu psikoedukasi mengenai gangguan somatisasi dan terapi dengan
mengguanakan teknik restrukturisasi kognitif. Pada sesi ini waktu yang digunakan untuk
melakukan psikoedukasi terlalu lama, dan materi yang dijelaskan tidak terlalu banyak, sehingga waktu yang efektif dalam memberikan
psikoedukasi tersebut dirasa cukup oleh terapis dan subjek selama 10 menit. Hal ini menjadikan catatan penting bagi terapis agar menggabungkan psikoedukasi ini di sesi pertama.
Pada sesi ketiga dan keempat, yaitu teknik
restrukturisasi kognitif dengan kegiatan
menjelaskan bahwa adanya hubungan antara
pemikiran, emosi, tingkah laku ini sebaiknya
digabungkan dengan teknik selanjutnya yaitu
menjelaskan dan mengajarkan untuk mencari
pemikiran alternative yang positif. Sehingga
terapis dengan mudah melakukan terapi dan
subjek lebih memahami teknik-teknik tersebut, Hal ini menjadi catatan bagi terapis untuk
menggabungkan waktu dan langsung tertuju
pada tujuan yang ingin dicapai sehingga tidak
terjadi pengulangan penjelasan pada sesi sebelumnya. Selain itu contoh kasus diberikan
sebaiknya ketika sesi terakhir terapi, hal ini
menjadi catatan penting karena terapis dapat
melihat perubahan pemikiran rasional pada

70

subjek yang mengalami gangguan somatisasi
setelah dilakukan beberapa teknik restrukturisasi kognitif. Pengembangan model teknik restrukturisasi kognitif diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih baik.
Siklus kedua: perbaikan model teknik restrukturisasi
kognitif. Berdasarkan revisi dari siklus pertama,
maka terapis menyusun model teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan pemikiran rasional pada gangguan somatisasi dilakukan perbaikan prosedur untuk diapli-kasikan
pada siklus kedua yang dirasa dapat menjawab
kekurangan dari siklus pertama atau model sebelumnya.
Pada siklus kedua ini model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan kepada satu subjek
yang mengalami gangguan somatisasi. Subjek
berjenis kelamin perempuan, berusia 27 tahun.
Pengujian pada tahap kedua ini, subjek dipilih
atas rujukan dari dokter dan klinik psikologi.
Pengujian Model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan selama 7 sesi dengan waktu 60
menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan
3 hari.
Data yang diperolah dari Pengujian Model terapi dengan teknik restrukturisasi kognitif pada siklus kedua ini kemudian ditulis,
direduksi dan dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya data tersebut diklasifikasikan serta
dipilih data yang berguna untuk meningkatkan
kepraktisan pengembangan model. Data yang
berguna untuk meningkatkan kepraktisan dijadikan dasar revisi, sedangkan yang tidak
dapat meningkatkan kepraktisan akan diabaikan.
Setelah dilakukan perbaikan pada siklus
pertama, maka peneliti menyusun kembali model teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan pemikiran rasional pada gangguan
somatisasi sebagai berikut: (a) Pengurangan sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi. pada sesi pertama kegiatan yang
dilakukan disesuaikan dengan waktu yang
telah direvisi, seperti raport, penjelasan kontrak terapi, alloanamnesa, dan digabungkan
dengan psikoedukasi gangguan somatisasi dan
teknik restrukturisasi kognitif dengan menggunakan waktu 60 menit. Pada sesi ke-dua,
terapi restrukturisasi kognitif dengan kegiatan menjelaskan bahwa ada hubungan antara
pemikiran, emosi dan tingkah laku digabung
dengan penjelasan untuk mengidentifikasi pemikiran negatif dan menggantikan pemikiran
negatif tersebut dengan pemikiran yang lebih
positif dan rasional, kemudian langsung di-
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

berikan tugas rumah kepada subjek. pada sesi
tiga-lima, dilakukan evaluasi hasil kerja teknik
restrukturisasi kognitif dan self report. Pada
sesi ke-enam, tujuh yaitu tahap penghentian
sesi dan tindak lanjut (b) Perbaikan pada jadwal pertemuan dengan jarak waktu pertemuan
menjadi 3 hari setiap pertemuan. (c) pada siklus kedua, terapis lebih banyak melakukan
konfrontasi yang diiringi dengan persuasi kepada subjek.

Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional
Pada siklus pertama terdapat lima pemikiran
negatif yang diyakini subjek. Pemikiran negatif
1 yaitu cuaca buruk dan berubah-rubah serta
tempat yang kotor dapat menyebabkan subjek gampang sakit. Pemikiran negatif 2, sakit
yang dialami subjek adalah turunan/bawaan
dari keluarga dan tidak bisa sembuh. Pemikiran negatif 3, ujian dan tugas yang banyak menyebabkan sakit. Pemikiran negatif 4, tubuh
dan badan sangat sensitive sehingga gampang
sakit. Pemikiran negatif 5, selalu minum obat
untuk menghilangkan sakit atau pergi kedokter.
Hasil evaluasi pada setiap sesi menunjukkan bahwa subjek belum cukup banyak mengalami perubahan pada pemikiran negatifnya. Penurunan tingkat keyakinan irasional
cukup baik antara 5-10 point per-sesi, namun
penurunan tersebut sudah dinilai sangat baik
untuk subjek. Penurunan tingkat keyakinan
mulai terlihat pada sesi ke-empat. Dari sesi
tujuh sampai sesi kesembilan yaitu follow up,
masih terlihat hasil point keyakinan yang masih tetap dan berhenti di point yang sama yaitu
pada pemikiran negatif 1 (20 point) dan pemikiran negatif 5 (30 point). Sedangkan pada tiga
pemikiran negatif lainnya (pemikiran negatif
2, 3, dan 4) secara perlahan-lahan mengalami

perubahan yaitu terjadinya penurunan pada
tingkat keyakinan irasional. Hasil perubahan
setiap sesinya dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus
kedua subjek memiliki empat pemikiran negatif yang diyakini oleh subjek. Pemikiran negatif
1 yaitu sakit diakibatkan bertengkar dengan
pasangan. Pemikiran negatif 2, setiap berada
ditempat yang baru yang belum pernah dikunjungi dan tempat kotor dapat menyebabkan
sakit. Pemikiran negatif 3 orang yang rentan
dan mudah terserang penyakit. Pemikiran
negatif 4, selalu meminum obat penghilang
rasa sakit dan biasanya mengunjungi dokter
jika sakit.
Pada setiap sesi pada siklus dua ������
menunjukkan bahwa perubahan lebih cepat terjadi,
perubahan mulai terlihat pada sesi ke-dua,
Subjek mengalami penurunan tingkat keyakinan irasional. Setiap sesi terjadi penurunan
10-20 point. Penurunan 0 point terjadi pada
sesi terakhir yaitu pada pemikiran ke-empat.
Hal ini terjadi karena adanya perbaikan model
teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan
pada siklus kedua sehingga hasil yang diperoleh cukup efektif. Selain itu penurunan tingkat keyakinan ini diperkuat dengan pelaporan
self report yang diberikan sebagai tugas rumah,
hasil self report menunjukkan secara perlahan
terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional
subjek.��������������������������������������
Namun pada siklus kedua ini juga terdapat tingkat keyakinan irasional yang masih
tetap dari sesi kelima hingga sesi ke tujuh yaitu
pemikiran negatif tiga. Hasil perubahan setiap
sesinya dapat dilihat pada Gambar 3.

Hasil pretes dan post-tes keyakinan irasional
Pada pre-test siklus pertama dan kedua dapat
diketahui kedua subjek memiliki skor nilai
keyakinan irasional yang tinggi dan terjadi

Gambar 2. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek ANS dengan teknik restrukturisasi kognitif

71
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

Gambar 3. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek YNI dengan teknik restrukturisasi kognitif

perubahan penurunan tingkat keyakinan irasional setelah diberikan teknik restrukturisasi kognitif. Untuk meningkatkan pemikiran
yang rasional dan mengurangi/menghilangkan
keyakinan irasional pada gangguan somatisasi,
maka subjek dilibatkan dalam terapi kognitif
dengan teknik restrukturisasi kognitif. Hasil
yang diperoleh yaitu ������������������������
adanya keyakinan irational subjek menjadi pemikiran yang lebih positif
dan rasional.
Pada siklus pertama, adanya penurunan
kategori pada keyakinan-keyakinan irasional
dari tinggi kekategori sedang. Aspek yang mengalami perubahan setelah dilakukan terapi
yaitu pada aspek FR, AO dan HC. Sedangkan,
aspek-aspek yang belum banyak mengalami
perubahan dan berada pada kategori sedang
setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek DA,
HSE, EI, PA, D, P. Pada aspek BP terjadi peningkatan point, namun dilihat dari kategorinya aspek BP tetap berada dikategori sedang.
Sedangkan, pada siklus kedua indikator IBT
menunjukkan cukup banyak terjadi penurunan keyakinan irasional dari kategori tinggi
ke sedang yaitu pada aspek DA, FR, EI, AO, D,
HC, P. Sedangkan aspek yang belum menunjukkan terjadinya perubahan dan berada pada

kategori sedang setelah dilakukan terapi yaitu
pada aspek HSE, BP. Pada aspek PA terjadi peningkatan point, namun dilihat dari kategorinya aspek PA tetap berada dikategori sedang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada
saat pre-test dan post-test disebabkan oleh
adanya tindakan dengan menggunakan teknik
restrukturisasi kognitif sehingga dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada
gangguan somatisasi. Hasil pre-test dan posttest dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembahasan
Berdasarkan analisis grafik yang dilakukan
bahwa teknik restrukturisasi kognitif menunjukkan adanya perubahan yaitu terjadi penurunan pada tingkat keyakinan irasional dan
meningkatnya pemikiran rasional pada penderita gangguan somatisasi. Penurunan terjadi terus menerus pada setiap sesi dan terus
menetap hingga tindak lanjut. Hal ini dikarenakan terapi restrukturisasi kognitif mengajarkan untuk menolong orang-orang untuk mengidentifikasi ide-ide atau keyakinan-keyakinan
yang irasional tersebut dan menggantinya de-

Gambar 4. Hasil pre-test dan post-test keyakinan irasional pada subjek ANS dan YNI

72
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

ngan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis (Martin & Pear, 2003).
Peningkatan pemikiran positif dan rasional dengan teknik restrukturisasi kognitif lebih
terlihat pada siklus ke dua. Karena pada siklus kedua dilakukan perbaikan/revisi model
teknik restrukturisasi kognitif. Perbaikan dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Dengan perbaikan model terapi tersebut
perubahan peningkatan pemikiran yang lebih
positif dan rasional lebih cepat terjadi. Hal ini
dikarenakan pada siklus kedua terapis mengefesiensikan waktu terapi, pengurangan sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per
sesi, dan membuat jarak pertemuan yang tidak
terlalu lama yaitu 3 hari. Penelitian tindakan
bertujuan pencarian sistematik, mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan dan hambatan yang dihadapi, dan
kemudian menyusun rencana dalam melakukan kegiatan-kegiatan penyempurnaan atau
penyesuaian dengan kondisi dan situasi sehingga diperoleh hasil yang lebih baik (Greenwood & Levin, 1998).  
Pada siklus pertama, teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan pada subjek menunjukkan cenderung terjadi penurunan pada
setiap tingkat keyakinan irasional. Namun
penurunan tersebut baru terjadi pada sesi keempat. Penurunan tersebut terjadi karena sesi,
waktu dan jarak yang terlalu lama. Meskipun
terjadi penurunan tetapi penurunan tersebut
hanya 10 point dan hanya pada pemikiran 2
dan 4. Selain itu pemikiran negatif cenderung
drastis turun pada sesi lima dan enam. Hal ini
dikarenakan suyek sudah mampu meyakini
pemikiran positif dan rasional yang dimunculkan oleh subjek sendiri walaupun terkadang
pemikiran negatif masih muncul. Selain itu
terapis cukup sering melakukan konfrontasi
pada setiap pernyataan negatif subjek. Terapis
menyerang ketidaklogikaan berfikir subjek dan
membawa subjek kearah berfikir yang lebih logis
(Omeardi, 2005).
Sedangakan pada sesi 7, 8, 9  point tingkat
keyakinan irasional cenderung tetap/stabil. Hal
ini diduka terapis merupakan progress yang baik
dimana pemikiran positif dan rasional memiliki
point yang stabil dan diprediksikan situasi yang
menetap tersebut dapat bertahan bahkan lebih
menurun. Hal ini merupakan hal yang bermakna bagi subjek dan terapis. Selain itu, frekuensi
simtom somatisasi seperti mual, pusing dan
nyeri kaki dan dada mulai berkurang. Hal ini
sesuai dengan dasar pemikiran dasar teknik
kognitif, dimana proses kognitif sangat berpe-

ngaruh terhadap perilaku yang ditampakan
oleh individu (Burns, 1988). Namun terdapat
faktor lain yang menjadi pertimbangan menurunnya tingkat pemikiran negatif subjek, yaitu
subjek mengkonsumsi obat-obat penahan rasa
sakit.
Pada siklus kedua, tingkat keyakinan irasional cenderung lebih cepat terjadi penurunan
setiap sesinya. Penurunan terjadi pada sesi
ke-dua. Hal ini dikarenakan adanya perbaikan model terapi yaitu pengurangan pada sesi
terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit
per-sesi, dan dengan jarak pertemuan yang
dipersingkat yaitu 3 hari. Efek dari perbaikan
model terapi yaitu hampir disetiap sesi terapi
terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional
walaupun penurunan tersebut masih dalam
kategori tinggi. Pada sesi ketiga hampir semua
keyakinan irasional cenderung turun dalam
rentang kategori sedang dan pada sesi ke lima
dan enam semua keyakinan irasional cenderung turun ke kategori rendah.
Penurunan yang paling baik ditunjukkan
subjek selama menjalani proses terapi yaitu
adanya tingkat keyakinan irasional yang mencapai nilai 0 point yang didapatkan pada saat
sesi tindak lanjut, hal ini merupakan situasi
yang bermakna, karena situasi tersebut cenderung menetap/stabil, sehingga diduga setelah
sesi tindak lanjut keyakinan positif dan rasional yang diyakini subjek dapat menetap bahkan meningkat (Joseph, 1997).
Perubahan tingkat keyakinan tersebut diperoleh subjek karena subjek juga membuktikan langsung pemikiran negatifnya pada
kehidupan nyata dan kehidupan sehari-hari,
dengan pembuktian tersebut maka ia menyadari bahwa pemikirannya selama ini tidaklah semuanya benar. Oleh karena itu, manfaat
teknik restrukturisasi kognitif disini membantu individu membedakan, memahami pikiran
dan perasaan mereka yang salah, serta mengevaluasi keyakinan negatif dengan bukti yang
jelas sehingga mereka dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006). Faktor lain
yang menjadi pertimbangan turunnya tingkat
pemikiran negatif subjek, yaitu lingkungan
subyek, dimana keluarga memberikan dukungan dengan tidak membelikan obat yang biasa dikonsumsi oleh subjek.
Perubahan/penurunan tingkat keyakinan pemikiran irasional juga ditunjukkan dari
hasil skala IBT. Setiap siklus menunjukkan
bahwa terjadi penurunan keyakinan irasional
setelah diberikan teknik restrukturisasi kognitif. Penurunan kategori dari tinggi ke kategori

73
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

sedang terjadi pada tiga aspek utama FR, AO
dan HC. Pada aspek FR menunjukkan bahwa
kedua subjek sudah cukup mampu mengendalikan dan mengontrol pemikiran negative
(catastropic) yang selama ini dianggap sebagai
bencana dan dapat membahayakan subjek.
Seperti yang dialami subjek sebelum dilakukan
terapi, ia berkeyakinan bahwa sakit yang selama ini dialami subjek diakibatkan oleh pemikiran negative yang yakini subjek benar. Sakit
fisik yang dialami seseorang diyakini sebagai
hasil subjective orang yang menderita. Sehingga pemikiran irasional tersebut yang dianggap
mengerikan dan bencana oleh seseorang (Pastore, 1952).
Pada aspek AO menunjukkan bahwa subjek sudah cukup mampu mengendalikan dan
mengontrol kecamasan yang dianggap menakutkan dan membahayakan, sehingga ia dapat
mengendalikan pemikiran negative yang selama ini telah diyakini subjek, bahkan bukan hanya mengendalikan namun subjek sudah cukup mampu menghilangkan pemikiran
negative dan menggantikan dengan pemikiran
positif dan rasional setelah mengikuiti terapi.
Sehingga terjadi penurunan pada kecemasan
yang berlebihan pada subjek (Stewart, 1962).
Pada aspek HC setelah dilakukan terapi
menunjukkan perubahan dari tinggi ke sedang.
Subjek sudah mampu meyakini bahwa bukan
masa lalu penentu perilaku seseorang dimasa
sekarang dan dimasa yang akan datang. Namun dengan berkeyakinan bahwa perubahan
akan terjadi jika subyek mampu mengendalikan dan menggantikan pemikiran negatifnya
dengan pemikiran yang positif dan rasional
(Jones, 1968).
Secara keseluruhan diidentifikasikan bahwa teknik restrukturisasi kognitif dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada
gangguan somatisasi serta dapat mengurangi
terjadinya simtom somatisasi. Teknik restrukturisasi kognitif merupakan satu komponen
yang terpenting dilakukan untuk mengurangi
dan menghilangkan pemikiran negatif/irasional, dengan tujuan teknik yaitu untuk menata
kembali pikiran, menghilangkan keyakinan
irasional yang menyebabkan ketegangan dan
kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini
mempengaruhi emosi dan perilakunya (Woolfolk & Allen, 2007).
Secara perlahan subjek menyadari bahwa
sakit yang dialaminya selama ini sebagai akibat dari keyakinan dan pemikiran irasionalnya yang sangat berperan dalam terbentuknya
simtom somatisasi. Somatisasi terbentuk oleh
cara berfikir yang terdistorsi yang membuat se74

seorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda
dari bencana atau bahaya yang akan terjadi
pada dirinya (Kaplan et al., 1997; Novita, 2011).  
Kesalahan dalam proses kognitif ditunjukkan
oleh sensasi fisik yang awalnya biasa diartikan
berbeda oleh subjek, selain itu hasil interaksi
yang kurang baik antara stressor, sumber daya
psikologis dan diri pribadi tersebut menghasilkan pemikiran yang irasional dan reaksi emosional yang tidak menyenangkan seperti kecemasan yang tinggi dan rasa sakit pada fisik
(Rief, Hiller, & Margraf, 1998).
Pengembangan teknik restrukturisasi kognitif dapat menurunkan tingkat keyakinan
irasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi dan memberikan dampak
yang cukup baik, dimana simtom somatisasi
yang sering kali muncul frekuensinya menjadi
berkurang seperti: mual, pusing, nyeri pada
lengan dan pangkal kaki, nyeri punggung/
pundak, nyeri pada dada yang setiap hari biasanya dirasakan subjek, namun saat ini sudah berkurang dengan 3 sampai 4 hari muncul
dirasakan oleh subjek. Hal ini juga diperkuat
dari evaluasi hasi terapi, subyek menyatakan
bahwa terapi sangat bermaanfaat baginya, hal
ini dikarenakan setelah dilakukan terapi subyek lebih berpikiran posif dan rasional. Subyek
mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya takut untuk dilakukan oleh subyek
seperti: melanjutkan menyelesaikan skripsi,
berkunjung ke tempat-tempat yang baru, walaupun hanya sebentar. Subyek juga meyakini
bahwa ia cukup mampu menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari teknik restrukturisasi
kognitif yang telah dipelajarinya.
Kemajuan yang diperlihatkan oleh kedua
subjek dikarenakan adanya motivasi subjek
yang sangat menginginkan untuk sembuh dari
sakit yang cukup mengganggu aktivitas dan
pemikirannya selama ini. Hal ini diperlihatkan
subjek dengan kesediaan subjek dalam mengikuti setiap sesi terapi karena tidak ada paksaan/kemauan subjek sendiri dan konsistensi
subjek dalam mengikuti proses terapi.

Keterbatasan penelitian dan rekomendasi
Rekomendasi bagi peneliti selanjutnya, peneliti sebaiknya terus memonitor perkembangan
subjek setelah follow up guna mengetahui seberapa jauh efek terapi apakah bertahan atau
menetap. Selain itu, peneliti dapat melibatkan
keluarga dan teman setelah follow up dilakukan, hal ini dilakukan guna memberikan dukungan, motivasi untuk memberikan pengua-
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

tan pada pemikiran positif dan rasional yang
telah diyakini subjek melalui terapi kognitif.
Selain itu, bagi subjek penelitian sebaiknya secara terus-menerus menerapkan teknik yang
sudah dipelajari ke kehidupan sehari-hari.

Simpulan
Penerapan teknik restrukturisasi kognitif diidentifikasi dapat menurunkan keyakinan irasional
serta dapat meningkatkan pemikiran yang lebih positif dan rasional pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Selain itu, fre����������������
kuensi simtom somatisasi menjadi berkurang
seperti: mual, pusing, nyeri pada lengan dan
pangkal kaki, nyeri punggung/pundak, nyeri
pada dada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik restrukturisasi kognitif
dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi.

Daftar Pustaka
Algifari. (1994). Statistika ekonomi teori, kasus dan solusi.
Yogyakarta. STIE  YKPN.
Ali, A., Deuri, S., Jahan, M., Singh, A., & Verma, A. (2010).
Perceived social support and life satisfaction in persons with somatization disordr. Journal of Industrial
Psychiatry,19 (2), 115.
Allen, L. A., & Woolfolk, R. L. (2006). Affective cognitive behavioral therapy: A new treatment for somatization.
Journal of Cognitif Psychotherapy, 14 (3), 549-566.
Allen, L. A., Gara, M. A., Escobar, J. I., Waitzkin, H., &
Cohen-Silver, R. (2001). Somatization: A debilitating
syndrome in primary care. Psychosomatics, 42, 63–67.
Allen, L. A., Woolfolk, R. L., Lehrer, P. M., Gara, M. A., &
Escobar, J. I. (2001). Cognitive behavior therapy for
somatization: A pilot study. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 32, 53–62.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and
statistical manual of mental disorder. (Fourth Edition).
Washingtong DC: American Associatic.
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan
praktek. Yogyakarta. Rineka Cipta.
Barry, D. (2003). Somatization disorder. Annals of Clinical
Psychiatry, 13 (3), 153-158.
Barsky, A. J., & Borus, J. F. (1995). Somatization and medicalization in the era of managed care. Journal of The
American Medical Association, 274, 1931–1934.
Bellack, A., &   Hersen, M. (1977). Behavior modification:
An introductory textbook. New York: Oxford University
Press.
Beck, A. T. (1993). Cognitive approaches to stress. In P.
M. Lehrer, & Woolfolk, Principles and practice of stress
management, (Volume2, pp 333-372). New York: Guilford.

Beck, A. T. (1975). Cognitive therapy and the emotional disorders. American   International Universities Press Inc.
Burns, D. (1988). Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi
penanganan depresi. Jakarta: Penerbit Airlangga.
Burns D, & David, D. (1989). The feeling good handbook.
New York: William Morrow and Company, Inc.
Boeree, G. (2008). Psikologi kepribadian, persepsi, kognisi,
emosi & perilaku. Jogjakarta: Prismasophie.
Cagle, RC., Wells, OJ. (2008). Journey to a mixed methods
approach for understanding Mexican American female
cancer caregiving. Journal of Theory Construction &
Testing, 12 (2), 50-76.
Caplan, & Sadock. (2010). Synopsis psikiatri. Tanggerang:
Binarupa aksara.
Cormier, W. H., & Cormier L. S. (1985).  Interviewing strategies for helpers fundamental skill and behavioral interventions. (Eds. 2). Monterey, California: Publishing
Company.
Davidson, G., Neale, J., & Kring, A. (2006). Psikologi abnormal. (Edisi ke-9). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ellis, A. (2011). Rational emotive behavior therapy. Journal
of Counseling & Development, 1 (3), 82-87.
Escobar, J., Waitzkin, H., & Silver, R. (1998). A bridged somatization: A study in primary care. American journal
of Public Health, 60 (3), 466-472.
Escalona, R., Achilles, G., Waitzkin, H., & Yager, J. (2004).
PTSD and somatization in women treated at a VA primary care clinic. Journal Nervuoes Mental Disorder, 45
(4), 291-296.
Eisendrath, S. J. (1998). In current medical diagnosis and
treatment. American Journal of Psychiatry, 24 (7), 128142.
Emair, B. (1998). Cognitive therapy for pain management.
American academic of pain management. Atlanta Hilton Hotel.
Gaw, A. (1993). Culture, ethnicity and mental illness. Washington, DC: American Psychiatric Press.
Goldfried, R., & Davison, G. (1976). Clinical behavior therapy. New York: Holt Rinehart and Winston.
Greenwood, D.J., & Levin, M. (2007). Introduction to action
research social research for social change (2th Edition).
California: Sage Publications, Inc.
Jones, G.R.   (1968). A factored miiasure of ellis’ irrational
belief. System, with personality anu maladjustment
correlates. A dissertation in psychology, Faculty of
Texas Technological College.
Joseph, L. (1997). Treating stress across cultures: A somatic cognitive model. Education Resources Information center, 29 (7), 209-210.
Kallivayalil, R., & Punnoose, V. (2010). Understanding and
managing somatoform disordes: Making sense of nonsense. Indian Journal of Psychiatry, 52 (7), 240.
Kevin, J., Christopher, G., Ellison, G., & Koening, HG.
(2008). Belief about life after death psychiatry symtomology and cognitif theories of psychopatology. Journal of Psychology and Theology, 36 (2), 94.

75
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76

Katon, W., Ries, R., & Kleinman, A. (1984). The prevalence
of somatization in primary care. Indian Journal of Psychiatry, 25 (5), 208-215.
Kaplan, I., Sadock, B., & Grebb, J. (1997). Synopsis psikiartri. Jakarta: Binarupa akasara.
Khouzan, H. R., & Field, S. (1999). Somatization disorder:
Clinical presentation and treatment in primary care.
Indian Journal of Psychiatry, 152, 897-991.
Kimayer, L. (1984). A young: Culture, affect and somatization. American Journal of Psychiatry, 21 (159), 237262.
Lipowski, Z. (1988). Somatization 1 the concept and its
clinical application. American Journal of Psychiatry,
145, 1358-1368.
Martin, G., & Pear, J. (2003). Behavior modification what
it is and how to do it. Seventh Edition. New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Menza, Matthew, Lauritano, M., Allen, L., Warman, M., Ostella, F., et al. (2001). Treatment of somatization disorder with nefazodone: A prospective, open-label study.
Journal Annals of Clinical Psychiatry, 13 (3), 153-158.
McLeod, C.C., Budd, M. A., & McClelland, D. C. (1997).
Treatment of somatization in primary care. Journal of
Clinical Psychiatry, 19, 251–258.
McCahill. (1995). Focus on the somatoform disorders. Journal Psychological Medicine , 30 (2), 59-66.
McCarron, R. M. (2006). Somatization in the primary care
setting. Indian Journal of psychiatry, 6 (23), 32-40.
Mukhayat, T. (2004). Mengembangkan metode belajar yang
baik pada anak. Yogyakarta: FMIP UGM.
Moore, D., & Jefferson, J. (1996). Somatoform disorder. In
Handbook of medical psychiatry (198-200). New york:
Springer
MosMorris, R., & Petrie, K. (1997). Cognitive distortions
of somatic. Experiences: Revision and validation of a
measure. Journal of Psychosomatic, 43 (3), 293-306.
Nevid, S., Rathus, S., & Greene B. (2005).  Psikologi abnormal. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
North, C., Kawasaki, A., Spritznagel, E., & Hong, B. (2004).
The course of PTSD, major depression, substance
abuse, and somatization after a natural disaster. Journal Nervuoes Mental Disorder, 192, 823-829.
Novita, R. (2011). Cognitive behavioral theraphy untuk mengurangi simtom somatisasi. Tesis (tidak diterbitkan).

76

Malang: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
Okpala, O., Hopson, L., Chapman, B., & Fort, E. (2011).
Leadership development expertise: A mixed method
analysis. Journal of Instructional Psychology, 38 (2),
133-144.
Oemarjoedi, A. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam
psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Philips, H. C., & Rachman, S. (1996). The psychological
management of chronic pain: Treatment manual (2 ed.).
New York: Springer.
Pastore, N. (1950). A neglected factor in thefrustration aggression hypothesis. Journal of Psychology, 29, 271279.
Poedjawijatna. (1992). Logika filsafat berfikir. Jakarta: PT.
Rieneka Cipta.
Redekop, F., Stuart, S., Mertens, C. (1999). Physical “phantasies” and family functions: Overcoming the mind/
body dualism in somatization. Family Process, 38 (3),
371.
Rief, W., Hiller, W., & Margraf, J. (1998). Cognitive aspects
of hypochondriasis and the somatization syndrome.
Journal of Abnormal Psychology, 107, 587-595.
Safaria, T. (2004). Terapi kognitif perilaku untuk anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryaningrum, C. (2007).Cognitive behavior therapy (terapi
kognitif perilaku). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Stewart, Louis. (1992). Social and emotional adjustment
during adolcscence, as related to the development of
psychomatic illness in adulthood. Genet Psychology,
11, 65- 175.
Weissman, M., Myers, J.K., & Harding, P. S. (1978). Psychiatric disorders in a U.S. urban community. American
Journal of Psychiatry, 135, 459-462.
Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2007). Treating somatization:
A cognitive behavioral approach. Journal of Cognitive
Psychotherapy,72, 126-128.
Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2002). Cognitive behaviour
therapy for Somatoform Disorder. Journal of Cognitive
Psychotherapy, 7 (4), 118-135.
Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2010). Affective cognitif behaviour therapy for somatization disorders. Journal of
Cognitive Psychotherapy, 24 (2), 116-119.

More Related Content

What's hot

Model dan konsep dasar keperawatan jiwa
Model dan konsep dasar keperawatan jiwaModel dan konsep dasar keperawatan jiwa
Model dan konsep dasar keperawatan jiwaAgus Arianto
 
Psikologi kesehatan sesi 5 6
Psikologi kesehatan sesi 5 6Psikologi kesehatan sesi 5 6
Psikologi kesehatan sesi 5 6Dedi Prasetiawan
 
Psikologi kesehatan sesi 6 7
Psikologi kesehatan sesi 6 7Psikologi kesehatan sesi 6 7
Psikologi kesehatan sesi 6 7Dedi Prasetiawan
 
Ansietas ppt
Ansietas pptAnsietas ppt
Ansietas pptnovri23
 
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyamanAsuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyamanMeidaElliaPuspita
 
Seminar ansietas
Seminar ansietasSeminar ansietas
Seminar ansietassawir ana
 
09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...
09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...
09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...deeckpz
 
Psikologi kesehatan sesi 1 2
Psikologi kesehatan sesi 1 2Psikologi kesehatan sesi 1 2
Psikologi kesehatan sesi 1 2Dedi Prasetiawan
 
Gangguan campuran anxietas dan depresi
Gangguan campuran anxietas dan depresiGangguan campuran anxietas dan depresi
Gangguan campuran anxietas dan depresiSyarifah Merisa Dewi
 
recovery jiwa.docx
recovery jiwa.docxrecovery jiwa.docx
recovery jiwa.docxciciwijaya2
 
Psikologi kesehatan
Psikologi kesehatanPsikologi kesehatan
Psikologi kesehatanAfra Balqis
 
Jurnal lansia
Jurnal lansia Jurnal lansia
Jurnal lansia Yissu
 
Psikologi kesehatan sesi 3
Psikologi kesehatan sesi 3Psikologi kesehatan sesi 3
Psikologi kesehatan sesi 3Dedi Prasetiawan
 

What's hot (20)

Model dan konsep dasar keperawatan jiwa
Model dan konsep dasar keperawatan jiwaModel dan konsep dasar keperawatan jiwa
Model dan konsep dasar keperawatan jiwa
 
Psikologi kesehatan sesi 5 6
Psikologi kesehatan sesi 5 6Psikologi kesehatan sesi 5 6
Psikologi kesehatan sesi 5 6
 
Konsep cemas
Konsep cemasKonsep cemas
Konsep cemas
 
Psikologi kesehatan sesi 6 7
Psikologi kesehatan sesi 6 7Psikologi kesehatan sesi 6 7
Psikologi kesehatan sesi 6 7
 
Ansietas ppt
Ansietas pptAnsietas ppt
Ansietas ppt
 
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyamanAsuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
 
Trend dan issue keperawatan jiwa
Trend dan issue keperawatan jiwaTrend dan issue keperawatan jiwa
Trend dan issue keperawatan jiwa
 
Askep ansietas
Askep ansietasAskep ansietas
Askep ansietas
 
Nyeri
NyeriNyeri
Nyeri
 
Seminar ansietas
Seminar ansietasSeminar ansietas
Seminar ansietas
 
Makalah psikologi
Makalah psikologiMakalah psikologi
Makalah psikologi
 
09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...
09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...
09 kecemasan-perempuan-dewasa-awal-yang-memiliki-ibu-penderita-kanker-serviks...
 
Psikologi kesehatan sesi 1 2
Psikologi kesehatan sesi 1 2Psikologi kesehatan sesi 1 2
Psikologi kesehatan sesi 1 2
 
Gangguan campuran anxietas dan depresi
Gangguan campuran anxietas dan depresiGangguan campuran anxietas dan depresi
Gangguan campuran anxietas dan depresi
 
Gangguan ansietas
Gangguan ansietasGangguan ansietas
Gangguan ansietas
 
recovery jiwa.docx
recovery jiwa.docxrecovery jiwa.docx
recovery jiwa.docx
 
Psikologi kesehatan
Psikologi kesehatanPsikologi kesehatan
Psikologi kesehatan
 
Jurnal lansia
Jurnal lansia Jurnal lansia
Jurnal lansia
 
Psikologi kesehatan sesi 3
Psikologi kesehatan sesi 3Psikologi kesehatan sesi 3
Psikologi kesehatan sesi 3
 
Laporan pendahuluan nyeri
Laporan pendahuluan nyeri Laporan pendahuluan nyeri
Laporan pendahuluan nyeri
 

Similar to RESTRUKTURISASI

Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Lautan Jiwa
 
Makalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversiMakalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversizaenudinnurfalah
 
Penyajian data sik
Penyajian data sikPenyajian data sik
Penyajian data sikPahmiRamdan
 
Penyajian Data SIK
Penyajian Data SIKPenyajian Data SIK
Penyajian Data SIKanggibandi
 
Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatanPerilaku kesehatan
Perilaku kesehatanputri_indah
 
Askep skizofrenia
Askep skizofreniaAskep skizofrenia
Askep skizofreniaIs Muhar
 
Elly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdf
Elly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdfElly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdf
Elly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdfssuser8d73bf
 
kesehatan-mental.ppt
kesehatan-mental.pptkesehatan-mental.ppt
kesehatan-mental.pptmariomore
 
Jurnal Halusinasi
Jurnal HalusinasiJurnal Halusinasi
Jurnal Halusinasiimmachilles
 
Terapi realiti
Terapi realitiTerapi realiti
Terapi realitionnel_91
 

Similar to RESTRUKTURISASI (20)

Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
 
Makalah sik odgj
Makalah sik odgjMakalah sik odgj
Makalah sik odgj
 
Makalah ega
Makalah egaMakalah ega
Makalah ega
 
Makalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversiMakalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversi
 
Makalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversiMakalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversi
 
Makalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversiMakalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversi
 
Makalah sik odgj
Makalah sik odgjMakalah sik odgj
Makalah sik odgj
 
Makalah SIK
Makalah SIKMakalah SIK
Makalah SIK
 
Makalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversiMakalah sik odgj dikonversi
Makalah sik odgj dikonversi
 
Makalah sik odgj
Makalah sik odgjMakalah sik odgj
Makalah sik odgj
 
Penyajian data sik
Penyajian data sikPenyajian data sik
Penyajian data sik
 
Penyajian Data SIK
Penyajian Data SIKPenyajian Data SIK
Penyajian Data SIK
 
Penyajian Data SIK
Penyajian Data SIKPenyajian Data SIK
Penyajian Data SIK
 
Makalah sik odgj
Makalah sik odgjMakalah sik odgj
Makalah sik odgj
 
Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatanPerilaku kesehatan
Perilaku kesehatan
 
Askep skizofrenia
Askep skizofreniaAskep skizofrenia
Askep skizofrenia
 
Elly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdf
Elly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdfElly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdf
Elly Yuliandari_MINDFUL-BASED COGNITIVE THERAPY (MBCT) DAN SELF-AWARENESS.pdf
 
kesehatan-mental.ppt
kesehatan-mental.pptkesehatan-mental.ppt
kesehatan-mental.ppt
 
Jurnal Halusinasi
Jurnal HalusinasiJurnal Halusinasi
Jurnal Halusinasi
 
Terapi realiti
Terapi realitiTerapi realiti
Terapi realiti
 

More from Yabniel Lit Jingga (20)

Mantri ireng manfaat besar ciplukan
Mantri ireng   manfaat besar ciplukanMantri ireng   manfaat besar ciplukan
Mantri ireng manfaat besar ciplukan
 
Cover
CoverCover
Cover
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Tumor tulang shb
Tumor tulang shbTumor tulang shb
Tumor tulang shb
 
Skoliosis shb
Skoliosis shbSkoliosis shb
Skoliosis shb
 
Rematoid arthritis shb
Rematoid arthritis shbRematoid arthritis shb
Rematoid arthritis shb
 
Perawatan luka
Perawatan lukaPerawatan luka
Perawatan luka
 
Osteoporosis shb
Osteoporosis shbOsteoporosis shb
Osteoporosis shb
 
Osteomalasia pada anak shb
Osteomalasia pada anak shbOsteomalasia pada anak shb
Osteomalasia pada anak shb
 
Osteomalacia dewasa shb
Osteomalacia dewasa shbOsteomalacia dewasa shb
Osteomalacia dewasa shb
 
Lordosis shb
Lordosis shbLordosis shb
Lordosis shb
 
Anatomi fisiologi sistem hematologi
Anatomi fisiologi sistem hematologiAnatomi fisiologi sistem hematologi
Anatomi fisiologi sistem hematologi
 
Anatomi & fisiologi sistem imunologi
Anatomi & fisiologi sistem imunologiAnatomi & fisiologi sistem imunologi
Anatomi & fisiologi sistem imunologi
 
Bahan perkuliahan ke 8
Bahan perkuliahan ke 8Bahan perkuliahan ke 8
Bahan perkuliahan ke 8
 
Bahan perkuliahan ke 6
Bahan perkuliahan ke 6Bahan perkuliahan ke 6
Bahan perkuliahan ke 6
 
Bahan perkuliahan ke 5
Bahan perkuliahan ke 5Bahan perkuliahan ke 5
Bahan perkuliahan ke 5
 
Bahan perkuliahan ke 4
Bahan perkuliahan ke 4Bahan perkuliahan ke 4
Bahan perkuliahan ke 4
 
Bahan perkuliahan ke 3
Bahan perkuliahan ke 3Bahan perkuliahan ke 3
Bahan perkuliahan ke 3
 
Bahan perkuliahan ke 2
Bahan perkuliahan ke 2Bahan perkuliahan ke 2
Bahan perkuliahan ke 2
 
Bahan perkuliahan ke 1
Bahan perkuliahan ke 1Bahan perkuliahan ke 1
Bahan perkuliahan ke 1
 

RESTRUKTURISASI

  • 1. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (1), 63 - 76 Teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan somatisasi Nidya Rizky Selvera Universitas Muhammadiyah Malang1 Abstraksi Gangguan somatisasi banyak terjadi di Asia dan Afrika, khususnya pada wanita usia dewasa muda, gejala nampak pada adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah (distortion cognitive) serta ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik atau kesalahan dalam menafsirkan sensasi somatik. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang perempuan yang diidentifikasi mengalami gangguan somatisasi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Tindakan (action research) dengan menggunakan metode analisis data gabungan (mixed methods). Instrument pengumpulan data yang digunakan wawancara, self-report, dan skala IBT. Intervensi yang diberikan kepada subyek berupa teknik restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan pada keyakinan irasional pada gangguan somatisasi. Hal ini berarti bahwa penerapan teknik restrukturisasi kognitif diidentifikasikan dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami somatisasi. Kata kunci Teknik restrukturisasi kognitif, keyakinan irasional, gangguan somatisasi Latar Belakang Gangguan somatoform merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum atau gangguan mental lain dan untuk memenuhi kriteria diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan (McCarron, 2006; Woolfolk & Allen, 2002). Gangguan Somatisasi mengacu pada perkembangan gejala somatik yang tidak ditemukan atau disebabkan oleh penyakit medis (Escalona, Achilles, Waitzkin, & Yager, 2004; North, Kawasaki, Spitznagel, & Hong, 2004; Allen, Gara, Escobar, Waitzkin, & Cohen-Silver, 2001). Somatisasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan teori psikodinamik, dimana penyebab penyakit  dikarenakan konflik psikologis atau suatu kondisi kejiwaan yang diubah menjadi penyakit fisik  (Kirmayer, 1984; Li-powski, 1988). Dalam kajian psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu gangguan yang sering 1 digunakan individu untuk menghindari diri dari permasalahan karena enggan menerima tanggungjawab, teguran ataupun hukuman. Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri sendiri dan tidak berpengaruh pada orang lain (Kaplan, Harold, Sadock, & Grebb, 1997; Barry, 2003). Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, seperti gangguan Korespondensi ditujukan kepada Nidya Rizky Selvera, nidya_puh@yahoo.co.id, telepon: 081233671115 63
  • 2. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan (Kaplan et al., 1997; Woolfolk & Allen, 2010). Gangguan somatisasi  lebih sering terjadi  atau ditemukan di budaya non-Barat, terutama sering terjadi pada orang-orang Asia dan  Afrika (Gaw, 1993). Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umumnya diperkirakan 0,1–0,7% (Weissman, Myers, & Harding, 1978; McLeod, Budd, & McClelland, 1997; Barsky, & Borus, 1995). Prevalensi gangguan somatisasi terjadi pada wanita di populasikan sebanyak 1–5%. Perbandingan rasio penderita pada wanita dan laki-laki adalah 5 berbanding 1, biasanya gangguan dimulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun) (Davidson, Neale, & Kring, 2006; Kallivayalli & Punnoose, 2010; Eisendrath, 1998; Khouzam & Field, 1999; McCarron, 2006; Redekop, Stuart, Mertens, 1999). Di Mesir Kuno juga  menyebutkan bahwa  gangguan somatisasi lebih sering terjadi pada perempuan (McCarron, 2006). Survey pada komunitas penderita gangguan somatisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang dengan gangguan somatisasi telah mengunjungi seorang dokter dan hampir setengahnya (45%) masuk perawatan inap di rumah sakit (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Kasus gangguan somatisasi terjadi juga di klinik psikologi di Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. Nina diketahui bahwa pada tahun 2008 terdapat 8 pasien somatisasi dan meningkat menjadi 14 pasien pada tahun 2010. Gangguan  somatisasi  biasanya  menunjukkan berbagai gejala, seperti sakit kepala, adanya rasa nyeri pada bagian tubuh, sulit  tidur,  sakit perut/nyeri pada perut, gangguan pada menstruasi, dan kelelahan. Semua sakit tersebut tanpa dibuktikan adanya penyakit medis, hal ini dikarenakan individu dengan gangguan somatisasi merasa sakit pada sebagian besar hidupnya dan selalu mengeluhkan  penyakit  tubuh  kepada dokter setiap individu merasa sakit (McCahill, 1995, Boeree, 2008). Individu dengan gangguan somatisasi memiliki kecenderungan untuk bereaksi terhadap tekanan psikososial dan lingkungan yang membuat stres sehingga tubuh merasa sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat pada jantung, pencernaan, pernapasan,  kulit, dan   sistem organ lainnya (Katon, Ries & Kleinman, 1984; Moore & Jefferson, 1996). Individu yang mengalami gangguan  somatisasi  memiliki keyakinan dan alasan yang kuat  bahwa ia sakit,  meskipun juga penyakit tersebut sudah dibuktikan dengan berulang kali dari ha- 64 sil tes laboratorium, tes diagnostik, konsultasi dengan spesialis/dokter, bahkan rawat inap menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang serius ditubuh individu. Individu tersebut terus mencari perawatan medis atau membeli beberapa obat tanpa resep dokter (Escobar, Waitzkin & Silver, 1998; McCahill, 1995; Ali, Deuri, Jahan, Singh & Verma, 2010). Gangguan somatisasi  merupakan hasil dari  keyakinan irasional dan kesalahan dalam proses berpikir (distortion cognitive) serta adanya ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya  sensasi fisik atau salah dalam menafsirkan sensasi somatik.  Sebagai contoh, individu percaya bahwa rasa sakit, kelelahan, atau ketidak nyamanan dalam bentuk apapun merupakan tanda-tanda penyakit yang terjadi pada dirinya (Rief, Hiller, & Margraf, 1998). Individu dengan gangguan somatisasi lebih mungkin percaya bahwa gejala fisik yang tidak jelas merupakan indikator penyakit serius dan selalu mencari pengobatan. Misalnya, seseorang  dengan gangguan somatisasi mungkin takut bahwa sakit kepala adalah sinyal tumor otak, atau sesak napas  menunjukkan  timbulnya  asma. Ketika dokter tidak dapat menemukan penjelasan medis untuk gejala, individu  mungkin takut bahwa ia memiliki  penyakit langka dan panik untuk mencari spesialis yang dapat memberikan diagnosis penyakitnya (Menza, Lauritano, Allen, Warman, Ostella, Hmaer, & Escobar, 2001). Gangguan somatisasi disebabkan oleh pikiran individu, individu merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya sehingga menyebabkan timbulnya pikiranpikiran yang negatif dan keyakinan irasional tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang rnenyebabkan individu merasa bahwa jika adanya tekanan, stress, terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energi dan tenaga serta ketidak percaya diri dengan kemampuan dirinya maka dapat memunculkan rasa sakit dan menganggap hal tersebut dapat mengancam atau membahayakan dirinya. Suatu keadaan yang diyakini membuat individu sakit, sehingga perlu adanya pendekatan (intervention) untuk individu gangguan somatisasi yang bertujuan mengubah pola pikir yang salah dan negatif menjadi pikiran‑pikiran yang positif dan rasional (Emair, 1998). Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi
  • 3. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu dalam hal ini menerima stimulus kemudian melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi yang datang (Boeree, 2008). Dasar pikiran teknik kognitif adalah proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Selain itu, perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Burns, 1988). Adapun faktor kognitif yang menyebabkan gangguan somatisasi seperti prediksi berlebih terhadap ketakutan, keyakinan irasional, sensitivitas berlebihan mengenai sinyal-sinyal dan tanda-tanda ancaman, harapan-harapan self efficacy (kemampuan diri) yang terlalu rendah dan salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Sehingga somatisasi terbentuk karena cara berpikir yang terdistorsi yang membuat seseorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuhnya sebagai tanda dari bencana/ancaman yang akan terjadi. Selain itu distorsi kognitif tersebut akan berdampak pada fungsi sosial, pekerjaan dan masyarakat (Kallivayalli & Punnoose, 2010). Teori-teori kognitif beranggapan bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental karena dapat mengerakkan, mempengaruhi, mengubah, dan yang akan membimbing suatu tingkah laku. Kognisi atau kognitif merupakan proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal) diri individu. Kesaahan dalam proses kognitif atau distorsi kognitif akan menimbulkan berbagai dampak seperti munculnya pemikiran negatif, dan keyakinan irasional serta akan mengalami kesulitan dalam menghasilkan suatu emosi dan perilaku yang positif (Boeree, 2008). Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam tubuh sebagai menyebabkan terjadinya gangguan somatisasi. Kesalahan dalam proses kognitif atau terjadinya penyimpangan kognitif dapat memberikan pengaruh negatif bagi diri individu. Somatisasi merupakan salah satu gangguan yang terjadi akibat adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah. Distorsi kognitif merupakan hasil dari pengolahan informasi  dengan cara  yang diduga  mengakibatkan  kesalahan  yang diidentifikasi kedalam pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan tidak rasional  (Beck,  1967).  Distorsi kognitif adalah pikiran tentang kejadian atau peristiwa yang mengalahkan diri sendiri yang tidak dapat didukung  oleh realitas/kenyataan tertentu yang masuk akal (Kevin, Christopher, Ellison, Koening, 2008). Dalam hal ini perlunya terapi kognitif untuk mengatasi keyakinan-keyakinan negatif atau kesalahan dalam proses kognitif pada individu yang mengalami gangguan somatisasi. Terapi kognitif adalah bentuk terapi di mana pasien atau subjek diajarkan keterampilan mengidentifikasi, mengevaluasi dan menanggapi dirinya sendiri sehingga mengalahkan pikiran-pikiran yang menyimpang serta menerapkan terapi kognitif untuk mengubah pikiran, suasana hati dan perilaku pada penderita gangguan somatisasi. (Emair, 1998). Intervensi yang biasanya digunakan untuk membantu mengatasi gangguan somatisasi yaitu dengan menggunakan Rational Emotif therapy (RET) dan terapi kognitif perilaku. CognitiveBehavior Therapy (CBT) adalah   istilah umum untuk cabang psikoterapi yang menggunakan cara perubahan  kognitif dan perilaku serta untuk memahami dan mengobati  masalah kesehatan. CBT berorientasi pada pemecahan masalah, pengobatan, upaya  kolaboratif, di mana  terapis dan individu bekerja  bersamasama membangun gagasan tentang  sumber masalah dan strategi untuk  penyelesaiannya. Secara teoritis CBT dapat digunakan untuk mengatasi gangguan somatisasi, karena dengan terapi ini seseorang diajari bagaimana memahami bahwa adanya hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku yang dihasilkan. Terapi CBT   untuk somatisasi   yang difokuskan pada manajemen stres, regulasi aktivitas, emosional  kesadaran,  kognitif restrukturisasi,  dan komunikasi interpersonal (Allen & Woolfolk 2006; Escobar et al., 1998). CBT merupakan terapi yang cukup lama sehingga untuk focus menurunkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi, maka digunakan terapi kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif (Dobson, 2008). Restrukturisasi kognitif adalah salah satu teknik CBT yang merupakan suatu cara yang dilakukan dengan tujuan untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini mempengaruhi emosi dan perilakunya (Oemardi, 2003). Restrukturisasi kognitif dapat digunakan dalam penanganan permasalahan pada 65
  • 4. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 gangguan somatisasi. Untuk memecahkan akibat dari pemikiran irasional dan merubah ke pemikiran rasional/logis maka dapat dilakukan dengan mengendalikan kognitif dan merubah kepercayaan-kepercayaannya, salah satu caranya dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif (Ellis, 2011). Metode restrukturisasi kognitif merupakan metode terapi kognitif untuk membantu mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau keyakinan-keyakinan negatif dan menggantikannya pemikiranpemikiran yang positif, serta untuk menolong orang-orang mengidentifikasikan ide-ide atau keyakinan yang irasional tersebut dan menggantinya dengan pernyataan-pernyataan yang lebih realitas (Suryaningrum, 2007). Tujuan teknik restrukturisasi kognitif dilakukan pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu untuk menyanggah keyakinan irasional individu tentang pemikiran negatif dengan menggunakan metode mengumpulkan data asumsi negatif, lembar pekerjaan rumah, membentuk interpretasi yang berbeda, mempelajari keahlian menyelesaikan masalah (problem solving), merubah pola pikir dan menentang keyakinan yang salah pada gangguan somatisasi. Dengan cara individu diajak untuk memahami bahwa perubahan perilaku hanya dapat dilakukan dan dapat memberikan hasil efektif dalam mengatasi masalahnya, jika individu mampu bekerja sama dalam mengeksplorasi pikiran dan perasannya. Manfaat teknik restrukturisasi kognitif pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu individu dapat membedakan, memahami pikiran dan perasaannya yang salah, serta mengevaluasi keyakinan dengan bukti yang jelas sehingga individu dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006). Penelitian Allen, Woolfolk, Lehrer, Gara, & Escobar (2001) yang menggunakan CognitiveBehaviour Therapy untuk menurunkan sejumlah simtom pada gangguan somatisasi. Teknik yang digunakan adalah relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknik CBT tersebut dapat membantu menurunkan simtom somatisasi. Penelitian Allen, & Woolfolk (2006) menunjukkan terapi kognitif-perilaku untuk menurunkan simtom somatisasi menggunakan waktu 10 pertemuan. Intervensi menggunakan teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan subjek dinilai sudah  jauh lebih baik, sudah mampu menjalankan fungsi sehari-hari dan adanya penurunan somatic dibandingkan dengan sub66 jek yang hanya dirawat dan diobati dirumah sakit.  Berdasarkan studi pendahuluan pada subjek yang mengalami somatisasi, ia sering mengeluhkan rasa sakit dalam keadaan yang cukup menekan dirinya seperti terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energy dan tenaga, banyaknya tugas kampus yang harus diselesaikan, dan kelelahan dalam menyelesaikan tugas akhir. Selain itu seperti cuaca yang buruk, tempat yang baru dan kurang bersih dapat memunculkan rasa sakit serta mengancam dan membahayakan diri subjek. Hal ini merupakan suatu keadaan yang selama ini diyakini akan membuat subjek sakit. Bentuk rasa sakit yang biasanya muncul pada subjek berupa sakit kepala, adanya rasa nyeri pada bagian tubuh (dada, punggung, kaki, perut), sulit  tidur, sering mual, dan gangguan pada menstruasi. Subjek berpikiran dan takut yang berlebihan bahwa bersin-bersin dan nyeri dada yang sering dideritanya menunjukkan  penyakit serius yaitu sakit jantung. Berdasarkan uraian di atas peneliti menduga kuat bahwa kognitif/pikiran merupakan bagian terpenting untuk meningkatkan atau memperbaiki distorsi kognitif atau kesalahan pemikiran pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Tujuan penelitian adalah untuk melihat pengembangan teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi. Kajian Pustaka Somatisasi dan faktor kognitif Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium (Kaplan et al., 1997). Gangguan somatisasi   hasil dari  keyakinan irasional (distorsi kognitif)  dan ketakutan  berlebihan  tentang pentingnya  sensasi fisik.  Individu dengan   gangguan somatisasi demikian lebih mungkin  untuk percaya bahwa  gejala fisik yang tidak jelas merupakan indikator penyakit  serius dan mereka pasti mencari pengobatan  (Menza et al, 2001). Faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yaitu kognitif. Faktor kognitif dalam gangguan somatisasi disebabkan adanya penyimpangan proses kognitif yang disebut dengan distorsi kognitif. Dasar piki-
  • 5. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 ran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Kaplan et al., 1997). Menurut Beck (1975), distorsi  kognitif didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan informasi  dengan cara  yang  diduga  mengakibatkan  kesalahan  dan diidentifikasi ke dalam pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan tidak rasional. Individu yang mengalami gangguan somatisasi disebabkan adanya penyimpangan kognitif (distorsi kognitif), dimana proses kognitif yang terjadi diawali oleh adanya stimulus yang tangkap oleh indera yaitu mata, kemudian stimulus tersebut diartikan sebagai sesuatu yang akan membahayakan dirinya dan pada saat itu terjadilah proses berpikir. Pada saat proses berpikir tersebut, individu tidak menemukan coping yang dapat menyelesaikan permasalahannya serta pikiran individu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga mengakibatkan individu mengambil keputusan untuk menghindari permasalahanya kemudian menimbulkan dampak perasaan yang tidak nyaman bagi dirinya. Akibatnya tubuh kemudian bereaksi dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pelepasan enzim-enzim di tubuh, lalu tersimpan dimemori individu, sehingga apabila individu dihadapkan pada situasi yang sama dan menurut individu dapat membahayakan dirinya, maka akan menghasilkan suatu perilaku yang sama yaitu munculnya rasa sakit dan cemas. Hal itulah yang secara terus-menerus terulang pada individu yang mengalami gangguan somatisasi (Novita, 2011). Teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan berpikir rasional Teknik restrukturisasi kognitif adalah suatu metode terapi kognitif untuk membantu subjek mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau keyakinan yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran-pemikiran yang positif/rasional dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis (Oemarjoedi, 2003) Teknik restrukturisasi kognitif dapat mengubah pola-pola kognitif, asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang irasional merusak dan mengalahkan diri sendiri. Restrukturisasi  kognitif  memberikan  tantangan langsung terhadap  keyakinan, asumsi, dan harapan subjek.  Subjek diminta untuk mengevaluasi pemikiranpemikiran yang muncul, apakah benar-benar  masuk akal, membantunya  atau  menghibur. Namun dengan berpikir yang lebih realistis dan  adaptif subjek  dapat melihat  situasi  yang ditakuti atau dicemaskan.  Teknik-teknik ini harus didukung dan dilengkapi sehingga dapat terjadi perubahan dalam pemikiran subjek bahwa pemikiran negatif  subjek belum tentu terjadi dan tidak benar. Restrukturisasi kognitif  mengajarkan  subjek untuk berpikir  positif/logis tentang pengalaman mereka (Safaria, 2004). Berdasarkan pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa manfaat teknik restrukturisasi kognitif adalah membentu mengenali kejadian yang menyebabkan timbulnya pemikiran dan keyakinan negatif dan reaksi yang dihasilkan yaitu berupa rasa sakit, mengenali dan memonitor distorsi kognitif yang muncul dalam suatu kejadian. Selain itu, untuk mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat dan rasional. Teknik-teknik kognitif yang digunakan untuk merubah cara berfikir seseorang Menurut Omeardi (2005) terdapat empat teknik besar dalam teknik-teknik kognitif, yaitu: (a) Teknik pengajaran teknik ini memberikan keleluasaan kepada terapis untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu subjek, terutama menunjukkan ketidaklogisan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada subjek tersebut. (b) Teknik persuasif dengan cara meyakinkan subjek untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Terapis dapat langsung mencoba meyakinkan, mengemukakan berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh subjek itu adalah tidak benar. (c) Teknik konfrontasi dengan cara terapis menyerang ketidaklogisan berfikir subjek dan membawa subjek kearah berfikir yang lebih logis. (d) Teknik pemberian tugas, terapis memberikan tugas kepada subjek untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Langkah-langkah teknik restrukturisasi kognitif Terdapat beerapa langkah dalam restrukturisasi kognitif (Burns, & David, 1988): (a) Mengidentifikasi  situasi yang dirasa subjek adalah suatu permasalahan, (menjelaskan peristiwa 67
  • 6. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 atau  masalah yang sedang  mengganggu subjek). (b) Mengidentifikasi distorsi kognitif subjek, dan  perasaan  yang dirasakan. Bagaimana perasaan subjek (sedih, marah, cemas,  bersalah, frustrasi, putus asa) mengenai situasi yang menjadi sumber permasalahan. (c) Menggunakan teknik  kolom.  Menuliskan pikiran negatif yang berhubungan dengan  perasaan. Serta menuliskan seberapa besar tingkat pemikiran dan perasaan tersebut Membuat skala dari 0-100 tingkat  setiap pemikiran dan perasaan negatif yang diyakini subjek (untuk tingkatan yang paling rendah hingga tinggi). (d) Mendiskusikan hasil dan mengajari subjek untuk mencari dan menggantikan pemikiran negatif tersebut dengan pemikiranpemikiran yang lebih rasional. Pastikan bahwa  pemikiran rasional dapat dan telah diyakini oleh subjek. untuk mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional.  Kemudian melakukan evaluasi dan menunjukkan kepada subjek  betapa jauh lebih baik  dirasakan jika berpikiran lebih positif dan realistis. Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas. Berpikir rasional adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbabagai hal itu dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional (Mukhayat, 2004). Metode Penelitian Desain penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Kurt Lewin. Ia menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan bentuk penelitian yang mengawinkan antara pendekatan penelitian eksperimen dalam ilmu sosial dengan program tindakan sosial dalam merespon permasalahan sosial yang besar pada waktu. Lewin menyatakan bahwa teori pengembangan dan perubahan sosial yang diperlukan secara simultan dapat dicapai dengan memberikan definisi penelitian tindakan sebagai proses di mana dengan proses itu orang dapat membangun eksperimen-eksperimen sosial dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu (Greenwood & Levin, 1998). Menurut Arikuntoro (2002) dalam penelitian tindakan, peneliti melakukan suatu 68 tindakan atau eksperimen yang secara khusus diamati secara terus menerus, dilihat plus minusnya, kemudian diadakan perubahan terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam bentuk tindakan paling tepat. Spesifikasi model intervensi Model Intervensi yang digunakan adalah pengembangan teknik restrukturisasi kognitif yang bertujuan untuk mengurangi distorsi kognitif dan meningkatkan berpikir rasional pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Dimana dengan teknik ini subjek diajarkan untuk melihat kembali keyakinan irasional tersebut dan membantunya menghilangkan dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional. Sasaran intervensi adalah perempuan dan usia ����������������������� dewasa muda dimulai sebelum usia 30 tahun. Durasi intervensi selama 1 bulan, dengan 9 kali pertemuan untuk persubjek. Subjek penelitian subjek berjumlah 2 orang, berjenis kelamin perempuan yang mengalami gangguan somatisasi berdasarkan criteria DSM-IV (APA, 2000). Penentuan subyek dalam penelitian ini atas rekomendasi dari dokter. Subyek belum pernah mendapatkan intervensi dari klinik psikologi. Variabel dan instrumen pengumpulan data Variabel terikat adalah keyakinan pemikiran rasional. Instrument yang digunakan adalah skala Irrational Beliefs Test (IBT). Skala IBT untuk mengukur keyakinan irasional (Jones, 1968). Skala IBT mengandung 10 aspek yaitu demand for approval (DA), high self expectations (HSE), blame proneness (BP), frustration reactivity (FR), emotional irresponsibilft (EI), anxious overconcern (AO), problem avoidance (PA), dependency (D), helplessness (HC), perfectionism (P). Skala IBT terdiri dari 100 pernyataan dengan empat pilihan dengan skala Likert, sangat setuju (1); setuju (2); tidak setuju (3); dan sangat tidak setuju (4). Subjek memilih salah satu pilihan yang paling sesuai dengan pilihan tersebut. Hasil pengujian di Russian dengan n=94, diperoleh nilai Alpha .66-.80. Hasil pengujian di Malang (Indonesia) dengan n=50, diperoleh nilai validitas .79 serta nilai reliabilitas (konsistensi internal) Alpha .98. Salah satu contoh item IBT “Saya punya ketakutan tentang sesuatu yang sering mengganggu saya”.
  • 7. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 Wawancara yang digunakan pada penelitian ini yaitu wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan kepada subjek, dan dokter. Tujuan wawancara untuk mengetahui perubahan-perubahan pemikiran negatif dan keyakinan irasional pada subyek. Selain itu menggunakan self report untuk mengetahui perkembangan perubahan tingkat keyakinan irasional dari sesi ke sesi sehingga dapat dijadikan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan (Woolfolk & Allen, 2007). sanaan tindakan. Pengamatan dilakukan pada data-data yang diperoleh dari tahap tindakan (hasil pre dan post tes, hasil grafik dan hasil intervensi teknik restrukturisasi kognitif). Dan (d) Tahap refleksi, mengevaluasi hasil terapi yang sudah dilakukan, mencari kekurangan yang terjadi saat pelaksanaan tindakan dan pengamatan, kemudian melakukan perubahan atau memperbaiki model terapi, lalu mengembangkannya kembali pada model teknik restrukturisasi kognitif pada siklus selanjutnya. Prosedur penelitian Analisis data Lewin (1952) menggambarkan penelitian tindakan sebagai suatu proses siklus spiral, yang meliputi: perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Penelitian tindakan ini dilakukan dalam dua siklus. Pada siklus pertama bertujuan untuk��������������������������������� menujicobakan model untuk dievaluasi proses terapi yang selanjutnya dilakukan perbaikan untuk digunakan pada siklus kedua. Pada siklus kedua bertujuan untuk meningkatkan kepraktisan pengembangan model sehingga semakin efektif terapi dalam mengubah keyakinan irasional maka dapat dikatakan model terapi semakin berkualitas. Dalam setiap siklus terdapat tahapantahapan pelaksanaannya, tahapan tersebut adalah: (a) Tahap Perencanaan, terapis terlebih dahulu melakukan rapport kepada subjek penelitian. Dilanjutkan membangun komitmen tentang persetujuan mengikuti terapi restrukturisasi kognitif. Kemudian, membuat modul terapi restrukturisasi kognitif, membuat guide interview untuk subjek penelitian dan melakukan try out skala IBT kepada 50 orang, pre-test skala IBT. (b) Tahap tindakan, terapis melakukan identifikasi permasalahan/assesmen dengan wawancara, self report dan memberikan skala IBT (post tes), terapis melakukan terapi restrukturisasi kognitif (lihat Modul teknik restrukturisasi kognitif). (c) Tahap pengamatan, dilakukan ketika proses kegiatan berlangsung dan bersamaan waktunya dengan tahap pelak- Analisis data penelitian ini menggunakan metode penelitian gabungan (mixed methods) antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Untuk hasil pada kuantitatif dapat berupa angka-angka dengan analisis deret berkala (time series) dengan metode bebas/free hand method. Analisisi deret berkala bertujuan untuk mengetahui kecenderungan nilai suatu variabel dari waktu ke waktu, untuk meramal nilai suatu variabel pada suatu waktu tertentu (Algifari, 1994). Agar perkembangan nilai variabel dari waktu ke waktu mudah diketahui, maka pola perubahannya digambarkan dengan sebuah grafik. Sedangkan pada hasil kualitatif yaitu menganalisis data dengan cara mendeskripsikan hasil pengamatan sebelum dilakukan intervensi dan setelah dilakukan intervensi. Pada analisa kualitatif digunakan teknik wawancara (Okpala, Hopson, Chapman, & Fort, 2011). Hasil kuantitatif didapatkan dari hasil perubahan tingkat keyakinan pemikiran negatif subyek dan hasil pre-tes dan post tes IBT. Desain ini menurut Creswell mengintegrasikan dan menarik kesimpulan dari data kualitatif dan kuantitatif, desain studi metode campuran. Keuntungan menggunakan mixed methods atau metode campuran kuantitatif dan kualitatif dalam proses paralel atau berurutan menawarkan kesempatan lebih besar untuk memverifikasi dan menemukan pengetahuan tentang fenomena daripada menggunakan salah satu metode saja (Cagle, & Wells, 2008). Hasil dan Pembahasan Hasil pengujian model teknik restrukturisasi kognitif Gambar 1. Siklus dalam penelitian tindakan (Greenwood & Levin, 1998) Penerapan teknik restrukturisasi kognitif dilakukan dua tahapan siklus dengan subjek yang berbeda. Pada siklus pertama dikenakan pada subyek 1 (ANS) dan pada subyek 2 (YNI) 69
  • 8. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 dikenakan pada siklus kedua. Siklus kedua dimulai setelah subyek 1 menyelesaikan tahapan siklus pertama pada sesi 1 dan 2 dilakukan. Hal ini dikarenakan untuk tujuan pengamatan dan untuk perbaikan yang akan diterapkan disiklus kedua. Pada siklus pertama pengujian model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan selama 9 sesi dengan waktu 60 menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan 4–5 hari. Pada siklus kedua dilakukan selama 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan 3 hari. Siklus pertama: pengujian model teknik restrukturisasi kognitif. Pada sesi pertama, teknik restrukturisasi kognitif yaitu raport, dan alloanamnesa. Pada sesi ini terdapat banyak waktu luang, dimana pada kegiatan perkenalan dan identifikasi pemikiran dan tingkat keyakinan hanya memerlukan waktu 30 menit. Pada kegiatan alloanamnesa cukup menyisakan banyak waktu, sehingga waktu yang digunakan untuk alloanamnesa digunakan 10 menit. Hal ini menjadi catatan penting bagi terapis untuk mengefektifkan waktu, karena pada sesi ini dinilai masih tersisa banyak waktu, sehingga sebaiknya dimanfaatkan untuk meneruskan kesesi selanjutnya. Pada sesi kedua yaitu psikoedukasi mengenai gangguan somatisasi dan terapi dengan mengguanakan teknik restrukturisasi kognitif. Pada sesi ini waktu yang digunakan untuk melakukan psikoedukasi terlalu lama, dan materi yang dijelaskan tidak terlalu banyak, sehingga waktu yang efektif dalam memberikan psikoedukasi tersebut dirasa cukup oleh terapis dan subjek selama 10 menit. Hal ini menjadikan catatan penting bagi terapis agar menggabungkan psikoedukasi ini di sesi pertama. Pada sesi ketiga dan keempat, yaitu teknik restrukturisasi kognitif dengan kegiatan menjelaskan bahwa adanya hubungan antara pemikiran, emosi, tingkah laku ini sebaiknya digabungkan dengan teknik selanjutnya yaitu menjelaskan dan mengajarkan untuk mencari pemikiran alternative yang positif. Sehingga terapis dengan mudah melakukan terapi dan subjek lebih memahami teknik-teknik tersebut, Hal ini menjadi catatan bagi terapis untuk menggabungkan waktu dan langsung tertuju pada tujuan yang ingin dicapai sehingga tidak terjadi pengulangan penjelasan pada sesi sebelumnya. Selain itu contoh kasus diberikan sebaiknya ketika sesi terakhir terapi, hal ini menjadi catatan penting karena terapis dapat melihat perubahan pemikiran rasional pada 70 subjek yang mengalami gangguan somatisasi setelah dilakukan beberapa teknik restrukturisasi kognitif. Pengembangan model teknik restrukturisasi kognitif diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih baik. Siklus kedua: perbaikan model teknik restrukturisasi kognitif. Berdasarkan revisi dari siklus pertama, maka terapis menyusun model teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan pemikiran rasional pada gangguan somatisasi dilakukan perbaikan prosedur untuk diapli-kasikan pada siklus kedua yang dirasa dapat menjawab kekurangan dari siklus pertama atau model sebelumnya. Pada siklus kedua ini model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan kepada satu subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Subjek berjenis kelamin perempuan, berusia 27 tahun. Pengujian pada tahap kedua ini, subjek dipilih atas rujukan dari dokter dan klinik psikologi. Pengujian Model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan selama 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan 3 hari. Data yang diperolah dari Pengujian Model terapi dengan teknik restrukturisasi kognitif pada siklus kedua ini kemudian ditulis, direduksi dan dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya data tersebut diklasifikasikan serta dipilih data yang berguna untuk meningkatkan kepraktisan pengembangan model. Data yang berguna untuk meningkatkan kepraktisan dijadikan dasar revisi, sedangkan yang tidak dapat meningkatkan kepraktisan akan diabaikan. Setelah dilakukan perbaikan pada siklus pertama, maka peneliti menyusun kembali model teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan pemikiran rasional pada gangguan somatisasi sebagai berikut: (a) Pengurangan sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi. pada sesi pertama kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan waktu yang telah direvisi, seperti raport, penjelasan kontrak terapi, alloanamnesa, dan digabungkan dengan psikoedukasi gangguan somatisasi dan teknik restrukturisasi kognitif dengan menggunakan waktu 60 menit. Pada sesi ke-dua, terapi restrukturisasi kognitif dengan kegiatan menjelaskan bahwa ada hubungan antara pemikiran, emosi dan tingkah laku digabung dengan penjelasan untuk mengidentifikasi pemikiran negatif dan menggantikan pemikiran negatif tersebut dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional, kemudian langsung di-
  • 9. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 berikan tugas rumah kepada subjek. pada sesi tiga-lima, dilakukan evaluasi hasil kerja teknik restrukturisasi kognitif dan self report. Pada sesi ke-enam, tujuh yaitu tahap penghentian sesi dan tindak lanjut (b) Perbaikan pada jadwal pertemuan dengan jarak waktu pertemuan menjadi 3 hari setiap pertemuan. (c) pada siklus kedua, terapis lebih banyak melakukan konfrontasi yang diiringi dengan persuasi kepada subjek. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional Pada siklus pertama terdapat lima pemikiran negatif yang diyakini subjek. Pemikiran negatif 1 yaitu cuaca buruk dan berubah-rubah serta tempat yang kotor dapat menyebabkan subjek gampang sakit. Pemikiran negatif 2, sakit yang dialami subjek adalah turunan/bawaan dari keluarga dan tidak bisa sembuh. Pemikiran negatif 3, ujian dan tugas yang banyak menyebabkan sakit. Pemikiran negatif 4, tubuh dan badan sangat sensitive sehingga gampang sakit. Pemikiran negatif 5, selalu minum obat untuk menghilangkan sakit atau pergi kedokter. Hasil evaluasi pada setiap sesi menunjukkan bahwa subjek belum cukup banyak mengalami perubahan pada pemikiran negatifnya. Penurunan tingkat keyakinan irasional cukup baik antara 5-10 point per-sesi, namun penurunan tersebut sudah dinilai sangat baik untuk subjek. Penurunan tingkat keyakinan mulai terlihat pada sesi ke-empat. Dari sesi tujuh sampai sesi kesembilan yaitu follow up, masih terlihat hasil point keyakinan yang masih tetap dan berhenti di point yang sama yaitu pada pemikiran negatif 1 (20 point) dan pemikiran negatif 5 (30 point). Sedangkan pada tiga pemikiran negatif lainnya (pemikiran negatif 2, 3, dan 4) secara perlahan-lahan mengalami perubahan yaitu terjadinya penurunan pada tingkat keyakinan irasional. Hasil perubahan setiap sesinya dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus kedua subjek memiliki empat pemikiran negatif yang diyakini oleh subjek. Pemikiran negatif 1 yaitu sakit diakibatkan bertengkar dengan pasangan. Pemikiran negatif 2, setiap berada ditempat yang baru yang belum pernah dikunjungi dan tempat kotor dapat menyebabkan sakit. Pemikiran negatif 3 orang yang rentan dan mudah terserang penyakit. Pemikiran negatif 4, selalu meminum obat penghilang rasa sakit dan biasanya mengunjungi dokter jika sakit. Pada setiap sesi pada siklus dua ������ menunjukkan bahwa perubahan lebih cepat terjadi, perubahan mulai terlihat pada sesi ke-dua, Subjek mengalami penurunan tingkat keyakinan irasional. Setiap sesi terjadi penurunan 10-20 point. Penurunan 0 point terjadi pada sesi terakhir yaitu pada pemikiran ke-empat. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan model teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan pada siklus kedua sehingga hasil yang diperoleh cukup efektif. Selain itu penurunan tingkat keyakinan ini diperkuat dengan pelaporan self report yang diberikan sebagai tugas rumah, hasil self report menunjukkan secara perlahan terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional subjek.�������������������������������������� Namun pada siklus kedua ini juga terdapat tingkat keyakinan irasional yang masih tetap dari sesi kelima hingga sesi ke tujuh yaitu pemikiran negatif tiga. Hasil perubahan setiap sesinya dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil pretes dan post-tes keyakinan irasional Pada pre-test siklus pertama dan kedua dapat diketahui kedua subjek memiliki skor nilai keyakinan irasional yang tinggi dan terjadi Gambar 2. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek ANS dengan teknik restrukturisasi kognitif 71
  • 10. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 Gambar 3. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek YNI dengan teknik restrukturisasi kognitif perubahan penurunan tingkat keyakinan irasional setelah diberikan teknik restrukturisasi kognitif. Untuk meningkatkan pemikiran yang rasional dan mengurangi/menghilangkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi, maka subjek dilibatkan dalam terapi kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif. Hasil yang diperoleh yaitu ������������������������ adanya keyakinan irational subjek menjadi pemikiran yang lebih positif dan rasional. Pada siklus pertama, adanya penurunan kategori pada keyakinan-keyakinan irasional dari tinggi kekategori sedang. Aspek yang mengalami perubahan setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek FR, AO dan HC. Sedangkan, aspek-aspek yang belum banyak mengalami perubahan dan berada pada kategori sedang setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek DA, HSE, EI, PA, D, P. Pada aspek BP terjadi peningkatan point, namun dilihat dari kategorinya aspek BP tetap berada dikategori sedang. Sedangkan, pada siklus kedua indikator IBT menunjukkan cukup banyak terjadi penurunan keyakinan irasional dari kategori tinggi ke sedang yaitu pada aspek DA, FR, EI, AO, D, HC, P. Sedangkan aspek yang belum menunjukkan terjadinya perubahan dan berada pada kategori sedang setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek HSE, BP. Pada aspek PA terjadi peningkatan point, namun dilihat dari kategorinya aspek PA tetap berada dikategori sedang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada saat pre-test dan post-test disebabkan oleh adanya tindakan dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sehingga dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi. Hasil pre-test dan posttest dapat dilihat pada Gambar 4. Pembahasan Berdasarkan analisis grafik yang dilakukan bahwa teknik restrukturisasi kognitif menunjukkan adanya perubahan yaitu terjadi penurunan pada tingkat keyakinan irasional dan meningkatnya pemikiran rasional pada penderita gangguan somatisasi. Penurunan terjadi terus menerus pada setiap sesi dan terus menetap hingga tindak lanjut. Hal ini dikarenakan terapi restrukturisasi kognitif mengajarkan untuk menolong orang-orang untuk mengidentifikasi ide-ide atau keyakinan-keyakinan yang irasional tersebut dan menggantinya de- Gambar 4. Hasil pre-test dan post-test keyakinan irasional pada subjek ANS dan YNI 72
  • 11. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 ngan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis (Martin & Pear, 2003). Peningkatan pemikiran positif dan rasional dengan teknik restrukturisasi kognitif lebih terlihat pada siklus ke dua. Karena pada siklus kedua dilakukan perbaikan/revisi model teknik restrukturisasi kognitif. Perbaikan dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Dengan perbaikan model terapi tersebut perubahan peningkatan pemikiran yang lebih positif dan rasional lebih cepat terjadi. Hal ini dikarenakan pada siklus kedua terapis mengefesiensikan waktu terapi, pengurangan sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi, dan membuat jarak pertemuan yang tidak terlalu lama yaitu 3 hari. Penelitian tindakan bertujuan pencarian sistematik, mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan dan hambatan yang dihadapi, dan kemudian menyusun rencana dalam melakukan kegiatan-kegiatan penyempurnaan atau penyesuaian dengan kondisi dan situasi sehingga diperoleh hasil yang lebih baik (Greenwood & Levin, 1998). Pada siklus pertama, teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan pada subjek menunjukkan cenderung terjadi penurunan pada setiap tingkat keyakinan irasional. Namun penurunan tersebut baru terjadi pada sesi keempat. Penurunan tersebut terjadi karena sesi, waktu dan jarak yang terlalu lama. Meskipun terjadi penurunan tetapi penurunan tersebut hanya 10 point dan hanya pada pemikiran 2 dan 4. Selain itu pemikiran negatif cenderung drastis turun pada sesi lima dan enam. Hal ini dikarenakan suyek sudah mampu meyakini pemikiran positif dan rasional yang dimunculkan oleh subjek sendiri walaupun terkadang pemikiran negatif masih muncul. Selain itu terapis cukup sering melakukan konfrontasi pada setiap pernyataan negatif subjek. Terapis menyerang ketidaklogikaan berfikir subjek dan membawa subjek kearah berfikir yang lebih logis (Omeardi, 2005). Sedangakan pada sesi 7, 8, 9 point tingkat keyakinan irasional cenderung tetap/stabil. Hal ini diduka terapis merupakan progress yang baik dimana pemikiran positif dan rasional memiliki point yang stabil dan diprediksikan situasi yang menetap tersebut dapat bertahan bahkan lebih menurun. Hal ini merupakan hal yang bermakna bagi subjek dan terapis. Selain itu, frekuensi simtom somatisasi seperti mual, pusing dan nyeri kaki dan dada mulai berkurang. Hal ini sesuai dengan dasar pemikiran dasar teknik kognitif, dimana proses kognitif sangat berpe- ngaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu (Burns, 1988). Namun terdapat faktor lain yang menjadi pertimbangan menurunnya tingkat pemikiran negatif subjek, yaitu subjek mengkonsumsi obat-obat penahan rasa sakit. Pada siklus kedua, tingkat keyakinan irasional cenderung lebih cepat terjadi penurunan setiap sesinya. Penurunan terjadi pada sesi ke-dua. Hal ini dikarenakan adanya perbaikan model terapi yaitu pengurangan pada sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per-sesi, dan dengan jarak pertemuan yang dipersingkat yaitu 3 hari. Efek dari perbaikan model terapi yaitu hampir disetiap sesi terapi terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional walaupun penurunan tersebut masih dalam kategori tinggi. Pada sesi ketiga hampir semua keyakinan irasional cenderung turun dalam rentang kategori sedang dan pada sesi ke lima dan enam semua keyakinan irasional cenderung turun ke kategori rendah. Penurunan yang paling baik ditunjukkan subjek selama menjalani proses terapi yaitu adanya tingkat keyakinan irasional yang mencapai nilai 0 point yang didapatkan pada saat sesi tindak lanjut, hal ini merupakan situasi yang bermakna, karena situasi tersebut cenderung menetap/stabil, sehingga diduga setelah sesi tindak lanjut keyakinan positif dan rasional yang diyakini subjek dapat menetap bahkan meningkat (Joseph, 1997). Perubahan tingkat keyakinan tersebut diperoleh subjek karena subjek juga membuktikan langsung pemikiran negatifnya pada kehidupan nyata dan kehidupan sehari-hari, dengan pembuktian tersebut maka ia menyadari bahwa pemikirannya selama ini tidaklah semuanya benar. Oleh karena itu, manfaat teknik restrukturisasi kognitif disini membantu individu membedakan, memahami pikiran dan perasaan mereka yang salah, serta mengevaluasi keyakinan negatif dengan bukti yang jelas sehingga mereka dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006). Faktor lain yang menjadi pertimbangan turunnya tingkat pemikiran negatif subjek, yaitu lingkungan subyek, dimana keluarga memberikan dukungan dengan tidak membelikan obat yang biasa dikonsumsi oleh subjek. Perubahan/penurunan tingkat keyakinan pemikiran irasional juga ditunjukkan dari hasil skala IBT. Setiap siklus menunjukkan bahwa terjadi penurunan keyakinan irasional setelah diberikan teknik restrukturisasi kognitif. Penurunan kategori dari tinggi ke kategori 73
  • 12. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 sedang terjadi pada tiga aspek utama FR, AO dan HC. Pada aspek FR menunjukkan bahwa kedua subjek sudah cukup mampu mengendalikan dan mengontrol pemikiran negative (catastropic) yang selama ini dianggap sebagai bencana dan dapat membahayakan subjek. Seperti yang dialami subjek sebelum dilakukan terapi, ia berkeyakinan bahwa sakit yang selama ini dialami subjek diakibatkan oleh pemikiran negative yang yakini subjek benar. Sakit fisik yang dialami seseorang diyakini sebagai hasil subjective orang yang menderita. Sehingga pemikiran irasional tersebut yang dianggap mengerikan dan bencana oleh seseorang (Pastore, 1952). Pada aspek AO menunjukkan bahwa subjek sudah cukup mampu mengendalikan dan mengontrol kecamasan yang dianggap menakutkan dan membahayakan, sehingga ia dapat mengendalikan pemikiran negative yang selama ini telah diyakini subjek, bahkan bukan hanya mengendalikan namun subjek sudah cukup mampu menghilangkan pemikiran negative dan menggantikan dengan pemikiran positif dan rasional setelah mengikuiti terapi. Sehingga terjadi penurunan pada kecemasan yang berlebihan pada subjek (Stewart, 1962). Pada aspek HC setelah dilakukan terapi menunjukkan perubahan dari tinggi ke sedang. Subjek sudah mampu meyakini bahwa bukan masa lalu penentu perilaku seseorang dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang. Namun dengan berkeyakinan bahwa perubahan akan terjadi jika subyek mampu mengendalikan dan menggantikan pemikiran negatifnya dengan pemikiran yang positif dan rasional (Jones, 1968). Secara keseluruhan diidentifikasikan bahwa teknik restrukturisasi kognitif dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi serta dapat mengurangi terjadinya simtom somatisasi. Teknik restrukturisasi kognitif merupakan satu komponen yang terpenting dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan pemikiran negatif/irasional, dengan tujuan teknik yaitu untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini mempengaruhi emosi dan perilakunya (Woolfolk & Allen, 2007). Secara perlahan subjek menyadari bahwa sakit yang dialaminya selama ini sebagai akibat dari keyakinan dan pemikiran irasionalnya yang sangat berperan dalam terbentuknya simtom somatisasi. Somatisasi terbentuk oleh cara berfikir yang terdistorsi yang membuat se74 seorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda dari bencana atau bahaya yang akan terjadi pada dirinya (Kaplan et al., 1997; Novita, 2011). Kesalahan dalam proses kognitif ditunjukkan oleh sensasi fisik yang awalnya biasa diartikan berbeda oleh subjek, selain itu hasil interaksi yang kurang baik antara stressor, sumber daya psikologis dan diri pribadi tersebut menghasilkan pemikiran yang irasional dan reaksi emosional yang tidak menyenangkan seperti kecemasan yang tinggi dan rasa sakit pada fisik (Rief, Hiller, & Margraf, 1998). Pengembangan teknik restrukturisasi kognitif dapat menurunkan tingkat keyakinan irasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi dan memberikan dampak yang cukup baik, dimana simtom somatisasi yang sering kali muncul frekuensinya menjadi berkurang seperti: mual, pusing, nyeri pada lengan dan pangkal kaki, nyeri punggung/ pundak, nyeri pada dada yang setiap hari biasanya dirasakan subjek, namun saat ini sudah berkurang dengan 3 sampai 4 hari muncul dirasakan oleh subjek. Hal ini juga diperkuat dari evaluasi hasi terapi, subyek menyatakan bahwa terapi sangat bermaanfaat baginya, hal ini dikarenakan setelah dilakukan terapi subyek lebih berpikiran posif dan rasional. Subyek mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya takut untuk dilakukan oleh subyek seperti: melanjutkan menyelesaikan skripsi, berkunjung ke tempat-tempat yang baru, walaupun hanya sebentar. Subyek juga meyakini bahwa ia cukup mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari teknik restrukturisasi kognitif yang telah dipelajarinya. Kemajuan yang diperlihatkan oleh kedua subjek dikarenakan adanya motivasi subjek yang sangat menginginkan untuk sembuh dari sakit yang cukup mengganggu aktivitas dan pemikirannya selama ini. Hal ini diperlihatkan subjek dengan kesediaan subjek dalam mengikuti setiap sesi terapi karena tidak ada paksaan/kemauan subjek sendiri dan konsistensi subjek dalam mengikuti proses terapi. Keterbatasan penelitian dan rekomendasi Rekomendasi bagi peneliti selanjutnya, peneliti sebaiknya terus memonitor perkembangan subjek setelah follow up guna mengetahui seberapa jauh efek terapi apakah bertahan atau menetap. Selain itu, peneliti dapat melibatkan keluarga dan teman setelah follow up dilakukan, hal ini dilakukan guna memberikan dukungan, motivasi untuk memberikan pengua-
  • 13. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 tan pada pemikiran positif dan rasional yang telah diyakini subjek melalui terapi kognitif. Selain itu, bagi subjek penelitian sebaiknya secara terus-menerus menerapkan teknik yang sudah dipelajari ke kehidupan sehari-hari. Simpulan Penerapan teknik restrukturisasi kognitif diidentifikasi dapat menurunkan keyakinan irasional serta dapat meningkatkan pemikiran yang lebih positif dan rasional pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Selain itu, fre���������������� kuensi simtom somatisasi menjadi berkurang seperti: mual, pusing, nyeri pada lengan dan pangkal kaki, nyeri punggung/pundak, nyeri pada dada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik restrukturisasi kognitif dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi. Daftar Pustaka Algifari. (1994). Statistika ekonomi teori, kasus dan solusi. Yogyakarta. STIE YKPN. Ali, A., Deuri, S., Jahan, M., Singh, A., & Verma, A. (2010). Perceived social support and life satisfaction in persons with somatization disordr. Journal of Industrial Psychiatry,19 (2), 115. Allen, L. A., & Woolfolk, R. L. (2006). Affective cognitive behavioral therapy: A new treatment for somatization. Journal of Cognitif Psychotherapy, 14 (3), 549-566. Allen, L. A., Gara, M. A., Escobar, J. I., Waitzkin, H., & Cohen-Silver, R. (2001). Somatization: A debilitating syndrome in primary care. Psychosomatics, 42, 63–67. Allen, L. A., Woolfolk, R. L., Lehrer, P. M., Gara, M. A., & Escobar, J. I. (2001). Cognitive behavior therapy for somatization: A pilot study. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 32, 53–62. American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorder. (Fourth Edition). Washingtong DC: American Associatic. Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Yogyakarta. Rineka Cipta. Barry, D. (2003). Somatization disorder. Annals of Clinical Psychiatry, 13 (3), 153-158. Barsky, A. J., & Borus, J. F. (1995). Somatization and medicalization in the era of managed care. Journal of The American Medical Association, 274, 1931–1934. Bellack, A., & Hersen, M. (1977). Behavior modification: An introductory textbook. New York: Oxford University Press. Beck, A. T. (1993). Cognitive approaches to stress. In P. M. Lehrer, & Woolfolk, Principles and practice of stress management, (Volume2, pp 333-372). New York: Guilford. Beck, A. T. (1975). Cognitive therapy and the emotional disorders. American International Universities Press Inc. Burns, D. (1988). Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi penanganan depresi. Jakarta: Penerbit Airlangga. Burns D, & David, D. (1989). The feeling good handbook. New York: William Morrow and Company, Inc. Boeree, G. (2008). Psikologi kepribadian, persepsi, kognisi, emosi & perilaku. Jogjakarta: Prismasophie. Cagle, RC., Wells, OJ. (2008). Journey to a mixed methods approach for understanding Mexican American female cancer caregiving. Journal of Theory Construction & Testing, 12 (2), 50-76. Caplan, & Sadock. (2010). Synopsis psikiatri. Tanggerang: Binarupa aksara. Cormier, W. H., & Cormier L. S. (1985). Interviewing strategies for helpers fundamental skill and behavioral interventions. (Eds. 2). Monterey, California: Publishing Company. Davidson, G., Neale, J., & Kring, A. (2006). Psikologi abnormal. (Edisi ke-9). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ellis, A. (2011). Rational emotive behavior therapy. Journal of Counseling & Development, 1 (3), 82-87. Escobar, J., Waitzkin, H., & Silver, R. (1998). A bridged somatization: A study in primary care. American journal of Public Health, 60 (3), 466-472. Escalona, R., Achilles, G., Waitzkin, H., & Yager, J. (2004). PTSD and somatization in women treated at a VA primary care clinic. Journal Nervuoes Mental Disorder, 45 (4), 291-296. Eisendrath, S. J. (1998). In current medical diagnosis and treatment. American Journal of Psychiatry, 24 (7), 128142. Emair, B. (1998). Cognitive therapy for pain management. American academic of pain management. Atlanta Hilton Hotel. Gaw, A. (1993). Culture, ethnicity and mental illness. Washington, DC: American Psychiatric Press. Goldfried, R., & Davison, G. (1976). Clinical behavior therapy. New York: Holt Rinehart and Winston. Greenwood, D.J., & Levin, M. (2007). Introduction to action research social research for social change (2th Edition). California: Sage Publications, Inc. Jones, G.R. (1968). A factored miiasure of ellis’ irrational belief. System, with personality anu maladjustment correlates. A dissertation in psychology, Faculty of Texas Technological College. Joseph, L. (1997). Treating stress across cultures: A somatic cognitive model. Education Resources Information center, 29 (7), 209-210. Kallivayalil, R., & Punnoose, V. (2010). Understanding and managing somatoform disordes: Making sense of nonsense. Indian Journal of Psychiatry, 52 (7), 240. Kevin, J., Christopher, G., Ellison, G., & Koening, HG. (2008). Belief about life after death psychiatry symtomology and cognitif theories of psychopatology. Journal of Psychology and Theology, 36 (2), 94. 75
  • 14. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76 Katon, W., Ries, R., & Kleinman, A. (1984). The prevalence of somatization in primary care. Indian Journal of Psychiatry, 25 (5), 208-215. Kaplan, I., Sadock, B., & Grebb, J. (1997). Synopsis psikiartri. Jakarta: Binarupa akasara. Khouzan, H. R., & Field, S. (1999). Somatization disorder: Clinical presentation and treatment in primary care. Indian Journal of Psychiatry, 152, 897-991. Kimayer, L. (1984). A young: Culture, affect and somatization. American Journal of Psychiatry, 21 (159), 237262. Lipowski, Z. (1988). Somatization 1 the concept and its clinical application. American Journal of Psychiatry, 145, 1358-1368. Martin, G., & Pear, J. (2003). Behavior modification what it is and how to do it. Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Menza, Matthew, Lauritano, M., Allen, L., Warman, M., Ostella, F., et al. (2001). Treatment of somatization disorder with nefazodone: A prospective, open-label study. Journal Annals of Clinical Psychiatry, 13 (3), 153-158. McLeod, C.C., Budd, M. A., & McClelland, D. C. (1997). Treatment of somatization in primary care. Journal of Clinical Psychiatry, 19, 251–258. McCahill. (1995). Focus on the somatoform disorders. Journal Psychological Medicine , 30 (2), 59-66. McCarron, R. M. (2006). Somatization in the primary care setting. Indian Journal of psychiatry, 6 (23), 32-40. Mukhayat, T. (2004). Mengembangkan metode belajar yang baik pada anak. Yogyakarta: FMIP UGM. Moore, D., & Jefferson, J. (1996). Somatoform disorder. In Handbook of medical psychiatry (198-200). New york: Springer MosMorris, R., & Petrie, K. (1997). Cognitive distortions of somatic. Experiences: Revision and validation of a measure. Journal of Psychosomatic, 43 (3), 293-306. Nevid, S., Rathus, S., & Greene B. (2005). Psikologi abnormal. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. North, C., Kawasaki, A., Spritznagel, E., & Hong, B. (2004). The course of PTSD, major depression, substance abuse, and somatization after a natural disaster. Journal Nervuoes Mental Disorder, 192, 823-829. Novita, R. (2011). Cognitive behavioral theraphy untuk mengurangi simtom somatisasi. Tesis (tidak diterbitkan). 76 Malang: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Okpala, O., Hopson, L., Chapman, B., & Fort, E. (2011). Leadership development expertise: A mixed method analysis. Journal of Instructional Psychology, 38 (2), 133-144. Oemarjoedi, A. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media. Philips, H. C., & Rachman, S. (1996). The psychological management of chronic pain: Treatment manual (2 ed.). New York: Springer. Pastore, N. (1950). A neglected factor in thefrustration aggression hypothesis. Journal of Psychology, 29, 271279. Poedjawijatna. (1992). Logika filsafat berfikir. Jakarta: PT. Rieneka Cipta. Redekop, F., Stuart, S., Mertens, C. (1999). Physical “phantasies” and family functions: Overcoming the mind/ body dualism in somatization. Family Process, 38 (3), 371. Rief, W., Hiller, W., & Margraf, J. (1998). Cognitive aspects of hypochondriasis and the somatization syndrome. Journal of Abnormal Psychology, 107, 587-595. Safaria, T. (2004). Terapi kognitif perilaku untuk anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suryaningrum, C. (2007).Cognitive behavior therapy (terapi kognitif perilaku). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Stewart, Louis. (1992). Social and emotional adjustment during adolcscence, as related to the development of psychomatic illness in adulthood. Genet Psychology, 11, 65- 175. Weissman, M., Myers, J.K., & Harding, P. S. (1978). Psychiatric disorders in a U.S. urban community. American Journal of Psychiatry, 135, 459-462. Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2007). Treating somatization: A cognitive behavioral approach. Journal of Cognitive Psychotherapy,72, 126-128. Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2002). Cognitive behaviour therapy for Somatoform Disorder. Journal of Cognitive Psychotherapy, 7 (4), 118-135. Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2010). Affective cognitif behaviour therapy for somatization disorders. Journal of Cognitive Psychotherapy, 24 (2), 116-119.