2. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari
bantuan medis yang berlebihan (Kaplan et al.,
1997; Woolfolk & Allen, 2010).
Gangguan somatisasi lebih sering terjadi atau ditemukan di budaya non-Barat,
terutama sering terjadi pada orang-orang Asia
dan Afrika (Gaw, 1993). Prevalensi gangguan
somatisasi pada populasi umumnya diperkirakan 0,1–0,7% (Weissman, Myers, & Harding, 1978; McLeod, Budd, & McClelland, 1997;
Barsky, & Borus, 1995). Prevalensi gangguan
somatisasi terjadi pada wanita di populasikan
sebanyak 1–5%. Perbandingan rasio penderita
pada wanita dan laki-laki adalah 5 berbanding 1, biasanya gangguan dimulai pada usia
dewasa muda (sebelum usia 30 tahun) (Davidson, Neale, & Kring, 2006; Kallivayalli & Punnoose, 2010; Eisendrath, 1998; Khouzam &
Field, 1999; McCarron, 2006; Redekop, Stuart,
Mertens, 1999). Di Mesir Kuno juga menyebutkan bahwa gangguan somatisasi lebih sering
terjadi pada perempuan (McCarron, 2006). Survey pada komunitas penderita gangguan somatisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang
dengan gangguan somatisasi telah mengunjungi seorang dokter dan hampir setengahnya
(45%) masuk perawatan inap di rumah sakit
(Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Kasus gangguan somatisasi terjadi juga di klinik psikologi
di Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara
dengan dr. Nina diketahui bahwa pada tahun
2008 terdapat 8 pasien somatisasi dan meningkat menjadi 14 pasien pada tahun 2010.
Gangguan somatisasi biasanya menunjukkan berbagai gejala, seperti sakit kepala,
adanya rasa nyeri pada bagian tubuh, sulit tidur, sakit perut/nyeri pada perut, gangguan
pada menstruasi, dan kelelahan. Semua sakit
tersebut tanpa dibuktikan adanya penyakit
medis, hal ini dikarenakan individu dengan
gangguan somatisasi merasa sakit pada sebagian besar hidupnya dan selalu mengeluhkan
penyakit tubuh kepada dokter setiap individu
merasa sakit (McCahill, 1995, Boeree, 2008).
Individu dengan gangguan somatisasi
memiliki kecenderungan untuk bereaksi terhadap tekanan psikososial dan lingkungan
yang membuat stres sehingga tubuh merasa
sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat
pada jantung, pencernaan, pernapasan, kulit,
dan sistem organ lainnya (Katon, Ries & Kleinman, 1984; Moore & Jefferson, 1996). Individu
yang mengalami gangguan somatisasi memiliki keyakinan dan alasan yang kuat bahwa
ia sakit, meskipun juga penyakit tersebut sudah dibuktikan dengan berulang kali dari ha-
64
sil tes laboratorium, tes diagnostik, konsultasi
dengan spesialis/dokter, bahkan rawat inap
menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang
serius ditubuh individu. Individu tersebut
terus mencari perawatan medis atau membeli
beberapa obat tanpa resep dokter (Escobar,
Waitzkin & Silver, 1998; McCahill, 1995; Ali,
Deuri, Jahan, Singh & Verma, 2010). Gangguan somatisasi merupakan hasil dari keyakinan irasional dan kesalahan dalam proses
berpikir (distortion cognitive) serta adanya ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya
sensasi fisik atau salah dalam menafsirkan
sensasi somatik. Sebagai contoh, individu percaya bahwa rasa sakit, kelelahan, atau ketidak
nyamanan dalam bentuk apapun merupakan
tanda-tanda penyakit yang terjadi pada dirinya
(Rief, Hiller, & Margraf, 1998).
Individu dengan gangguan somatisasi lebih mungkin percaya bahwa gejala fisik yang
tidak jelas merupakan indikator penyakit serius dan selalu mencari pengobatan. Misalnya, seseorang dengan gangguan somatisasi
mungkin takut bahwa sakit kepala adalah
sinyal tumor otak, atau sesak napas menunjukkan timbulnya asma. Ketika dokter tidak
dapat menemukan penjelasan medis untuk gejala, individu mungkin takut bahwa ia memiliki penyakit langka dan panik untuk mencari
spesialis yang dapat memberikan diagnosis penyakitnya (Menza, Lauritano, Allen, Warman,
Ostella, Hmaer, & Escobar, 2001).
Gangguan somatisasi disebabkan oleh
pikiran individu, individu merasa bahwa ada
sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya
sehingga menyebabkan timbulnya pikiranpikiran yang negatif dan keyakinan irasional
tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang
rnenyebabkan individu merasa bahwa jika
adanya tekanan, stress, terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energi dan tenaga serta ketidak percaya
diri dengan kemampuan dirinya maka dapat
memunculkan rasa sakit dan menganggap
hal tersebut dapat mengancam atau membahayakan dirinya. Suatu keadaan yang diyakini
membuat individu sakit, sehingga perlu adanya pendekatan (intervention) untuk individu
gangguan somatisasi yang bertujuan mengubah pola pikir yang salah dan negatif menjadi pikiran‑pikiran yang positif dan rasional
(Emair, 1998).
Pendekatan kognitif menekankan bahwa
tingkah laku adalah proses mental, dimana
individu (organisme) aktif dalam menangkap,
menilai, membandingkan, dan menanggapi
3. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu
dalam hal ini menerima stimulus kemudian
melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi yang datang (Boeree, 2008). Dasar
pikiran teknik kognitif adalah proses kognitif
sangat berpengaruh terhadap perilaku yang
ditampakan oleh individu. Selain itu, perasaan
individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri.
Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Burns,
1988).
Adapun faktor kognitif yang menyebabkan
gangguan somatisasi seperti prediksi berlebih
terhadap ketakutan, keyakinan irasional, sensitivitas berlebihan mengenai sinyal-sinyal dan
tanda-tanda ancaman, harapan-harapan self efficacy (kemampuan diri) yang terlalu rendah dan
salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Sehingga
somatisasi terbentuk karena cara berpikir yang
terdistorsi yang membuat seseorang tersebut
salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuhnya sebagai tanda dari bencana/ancaman yang akan terjadi. Selain itu distorsi kognitif
tersebut akan berdampak pada fungsi sosial,
pekerjaan dan masyarakat (Kallivayalli & Punnoose, 2010).
Teori-teori kognitif beranggapan bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang
fundamental karena dapat mengerakkan,
mempengaruhi, mengubah, dan yang akan
membimbing suatu tingkah laku. Kognisi atau
kognitif merupakan proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal) diri individu. Kesaahan dalam proses kognitif atau distorsi kognitif akan menimbulkan berbagai dampak seperti
munculnya pemikiran negatif, dan keyakinan
irasional serta akan mengalami kesulitan
dalam menghasilkan suatu emosi dan perilaku
yang positif (Boeree, 2008).
Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif merupakan faktor yang sangat berperan penting
dalam tubuh sebagai menyebabkan terjadinya
gangguan somatisasi. Kesalahan dalam proses
kognitif atau terjadinya penyimpangan kognitif
dapat memberikan pengaruh negatif bagi diri
individu. Somatisasi merupakan salah satu
gangguan yang terjadi akibat adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan
keyakinan dan pemikiran yang salah. Distorsi kognitif merupakan hasil dari pengolahan
informasi dengan cara yang diduga mengakibatkan kesalahan yang diidentifikasi kedalam
pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan
tidak rasional (Beck, 1967). Distorsi kognitif
adalah pikiran tentang kejadian atau peristiwa yang mengalahkan diri sendiri yang tidak
dapat didukung oleh realitas/kenyataan tertentu yang masuk akal (Kevin, Christopher, Ellison, Koening, 2008).
Dalam hal ini perlunya terapi kognitif untuk mengatasi keyakinan-keyakinan negatif
atau kesalahan dalam proses kognitif pada individu yang mengalami gangguan somatisasi.
Terapi kognitif adalah bentuk terapi di mana
pasien atau subjek diajarkan keterampilan
mengidentifikasi, mengevaluasi dan menanggapi dirinya sendiri sehingga mengalahkan
pikiran-pikiran yang menyimpang serta menerapkan terapi kognitif untuk mengubah pikiran, suasana hati dan perilaku pada penderita
gangguan somatisasi. (Emair, 1998).
Intervensi yang biasanya digunakan untuk
membantu mengatasi gangguan somatisasi yaitu dengan menggunakan Rational Emotif therapy (RET) dan terapi kognitif perilaku. CognitiveBehavior Therapy (CBT) adalah istilah umum
untuk cabang psikoterapi yang menggunakan
cara perubahan kognitif dan perilaku serta
untuk memahami dan mengobati masalah
kesehatan. CBT berorientasi pada pemecahan
masalah, pengobatan, upaya kolaboratif, di
mana terapis dan individu bekerja bersamasama membangun gagasan tentang sumber
masalah dan strategi untuk penyelesaiannya.
Secara teoritis CBT dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan somatisasi, karena dengan terapi ini seseorang diajari bagaimana
memahami bahwa adanya hubungan antara
emosi, pikiran dan perilaku yang dihasilkan.
Terapi CBT untuk somatisasi yang difokuskan pada manajemen stres, regulasi aktivitas,
emosional kesadaran, kognitif restrukturisasi,
dan komunikasi interpersonal (Allen & Woolfolk 2006; Escobar et al., 1998). CBT merupakan terapi yang cukup lama sehingga untuk
focus menurunkan keyakinan irasional pada
gangguan somatisasi, maka digunakan terapi
kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif
(Dobson, 2008).
Restrukturisasi kognitif adalah salah satu
teknik CBT yang merupakan suatu cara yang
dilakukan dengan tujuan untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini
mempengaruhi emosi dan perilakunya (Oemardi, 2003). Restrukturisasi kognitif dapat digunakan dalam penanganan permasalahan pada
65
4. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
gangguan somatisasi. Untuk memecahkan
akibat dari pemikiran irasional dan merubah
ke pemikiran rasional/logis maka dapat dilakukan dengan mengendalikan kognitif dan
merubah kepercayaan-kepercayaannya, salah
satu caranya dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif (Ellis, 2011). Metode restrukturisasi kognitif merupakan metode terapi
kognitif untuk membantu mengidentifikasikan
pemikiran-pemikiran atau keyakinan-keyakinan negatif dan menggantikannya pemikiranpemikiran yang positif, serta untuk menolong
orang-orang mengidentifikasikan ide-ide atau
keyakinan yang irasional tersebut dan menggantinya dengan pernyataan-pernyataan yang
lebih realitas (Suryaningrum, 2007).
Tujuan teknik restrukturisasi kognitif dilakukan pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu untuk menyanggah
keyakinan irasional individu tentang pemikiran
negatif dengan menggunakan metode mengumpulkan data asumsi negatif, lembar pekerjaan
rumah, membentuk interpretasi yang berbeda,
mempelajari keahlian menyelesaikan masalah
(problem solving), merubah pola pikir dan menentang keyakinan yang salah pada gangguan
somatisasi. Dengan cara individu diajak untuk
memahami bahwa perubahan perilaku hanya
dapat dilakukan dan dapat memberikan hasil
efektif dalam mengatasi masalahnya, jika individu mampu bekerja sama dalam mengeksplorasi pikiran dan perasannya.
Manfaat teknik restrukturisasi kognitif
pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu individu dapat membedakan,
memahami pikiran dan perasaannya yang
salah, serta mengevaluasi keyakinan dengan
bukti yang jelas sehingga individu dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006).
Penelitian Allen, Woolfolk, Lehrer, Gara, &
Escobar (2001) yang menggunakan CognitiveBehaviour Therapy untuk menurunkan sejumlah simtom pada gangguan somatisasi. Teknik
yang digunakan adalah relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa teknik CBT tersebut
dapat membantu menurunkan simtom somatisasi.
Penelitian Allen, & Woolfolk (2006) menunjukkan terapi kognitif-perilaku untuk menurunkan simtom somatisasi menggunakan
waktu 10 pertemuan. Intervensi menggunakan teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan subjek
dinilai sudah jauh lebih baik, sudah mampu
menjalankan fungsi sehari-hari dan adanya
penurunan somatic dibandingkan dengan sub66
jek yang hanya dirawat dan diobati dirumah
sakit.
Berdasarkan studi pendahuluan pada
subjek yang mengalami somatisasi, ia sering
mengeluhkan rasa sakit dalam keadaan yang
cukup menekan dirinya seperti terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan
yang menguras energy dan tenaga, banyaknya tugas kampus yang harus diselesaikan,
dan kelelahan dalam menyelesaikan tugas
akhir. Selain itu seperti cuaca yang buruk,
tempat yang baru dan kurang bersih dapat
memunculkan rasa sakit serta mengancam dan membahayakan diri subjek. Hal ini
merupakan suatu keadaan yang selama ini
diyakini akan membuat subjek sakit. Bentuk rasa sakit yang biasanya muncul pada
subjek berupa sakit kepala, adanya rasa nyeri
pada bagian tubuh (dada, punggung, kaki, perut), sulit tidur, sering mual, dan gangguan
pada menstruasi. Subjek berpikiran dan takut
yang berlebihan bahwa bersin-bersin dan nyeri
dada yang sering dideritanya menunjukkan
penyakit serius yaitu sakit jantung.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menduga kuat bahwa kognitif/pikiran merupakan
bagian terpenting untuk meningkatkan atau
memperbaiki distorsi kognitif atau kesalahan
pemikiran pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Tujuan penelitian adalah
untuk melihat pengembangan teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan
irasional pada gangguan somatisasi.
Kajian Pustaka
Somatisasi dan faktor kognitif
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh
banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang
mengenai banyak sistem organ yang tidak
dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan
pemeriksaan fisik dan laboratorium (Kaplan
et al., 1997). Gangguan somatisasi hasil dari
keyakinan irasional (distorsi kognitif) dan ketakutan berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik. Individu dengan gangguan somatisasi demikian lebih mungkin untuk percaya
bahwa gejala fisik yang tidak jelas merupakan
indikator penyakit serius dan mereka pasti
mencari pengobatan (Menza et al, 2001). Faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yaitu kognitif. Faktor kognitif dalam gangguan somatisasi disebabkan
adanya penyimpangan proses kognitif yang
disebut dengan distorsi kognitif. Dasar piki-
5. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
ran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku
yang ditampakan oleh individu. Perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan
suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Kaplan et al.,
1997). Menurut Beck (1975), distorsi kognitif
didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan informasi dengan cara yang diduga mengakibatkan kesalahan dan diidentifikasi ke dalam
pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan
tidak rasional.
Individu yang mengalami gangguan somatisasi disebabkan adanya penyimpangan
kognitif (distorsi kognitif), dimana proses kognitif yang terjadi diawali oleh adanya stimulus
yang tangkap oleh indera yaitu mata, kemudian stimulus tersebut diartikan sebagai sesuatu yang akan membahayakan dirinya dan
pada saat itu terjadilah proses berpikir. Pada
saat proses berpikir tersebut, individu tidak
menemukan coping yang dapat menyelesaikan
permasalahannya serta pikiran individu tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga
mengakibatkan individu mengambil keputusan
untuk menghindari permasalahanya kemudian
menimbulkan dampak perasaan yang tidak nyaman bagi dirinya. Akibatnya tubuh kemudian
bereaksi dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pelepasan enzim-enzim di tubuh,
lalu tersimpan dimemori individu, sehingga apabila individu dihadapkan pada situasi yang sama
dan menurut individu dapat membahayakan
dirinya, maka akan menghasilkan suatu perilaku
yang sama yaitu munculnya rasa sakit dan cemas. Hal itulah yang secara terus-menerus terulang pada individu yang mengalami gangguan
somatisasi (Novita, 2011).
Teknik restrukturisasi kognitif untuk
meningkatkan berpikir rasional
Teknik restrukturisasi kognitif adalah suatu
metode terapi kognitif untuk membantu subjek
mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau
keyakinan yang negatif dan menggantikannya
dengan pemikiran-pemikiran yang positif/rasional dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis (Oemarjoedi, 2003)
Teknik restrukturisasi kognitif dapat
mengubah pola-pola kognitif, asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang irasional merusak dan mengalahkan diri sendiri. Restrukturisasi kognitif memberikan tantangan langsung terhadap
keyakinan, asumsi, dan harapan subjek. Subjek diminta untuk mengevaluasi pemikiranpemikiran yang muncul, apakah benar-benar
masuk akal, membantunya atau menghibur.
Namun dengan berpikir yang lebih realistis dan
adaptif subjek dapat melihat situasi yang ditakuti atau dicemaskan. Teknik-teknik ini harus didukung dan dilengkapi sehingga dapat
terjadi perubahan dalam pemikiran subjek
bahwa pemikiran negatif subjek belum tentu
terjadi dan tidak benar. Restrukturisasi kognitif mengajarkan subjek untuk berpikir positif/logis tentang pengalaman mereka (Safaria,
2004).
Berdasarkan pengertian diatas, peneliti
dapat menyimpulkan bahwa manfaat teknik
restrukturisasi kognitif adalah membentu
mengenali kejadian yang menyebabkan timbulnya pemikiran dan keyakinan negatif dan
reaksi yang dihasilkan yaitu berupa rasa sakit,
mengenali dan memonitor distorsi kognitif yang
muncul dalam suatu kejadian. Selain itu, untuk mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat dan rasional.
Teknik-teknik kognitif yang digunakan untuk
merubah cara berfikir seseorang
Menurut Omeardi (2005) terdapat empat
teknik besar dalam teknik-teknik kognitif,
yaitu: (a) Teknik pengajaran teknik ini memberikan keleluasaan kepada terapis untuk
berbicara serta menunjukkan sesuatu subjek,
terutama menunjukkan ketidaklogisan berfikir
itu secara langsung menimbulkan gangguan
emosi kepada subjek tersebut. (b) Teknik persuasif dengan cara meyakinkan subjek untuk
mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Terapis dapat langsung mencoba meyakinkan,
mengemukakan berbagai argumentasi untuk
menunjukkan apa yang dianggap oleh subjek
itu adalah tidak benar. (c) Teknik konfrontasi
dengan cara terapis menyerang ketidaklogisan
berfikir subjek dan membawa subjek kearah
berfikir yang lebih logis. (d) Teknik pemberian
tugas, terapis memberikan tugas kepada subjek untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata.
Langkah-langkah teknik restrukturisasi kognitif
Terdapat beerapa langkah dalam restrukturisasi kognitif (Burns, & David, 1988): (a) Mengidentifikasi situasi yang dirasa subjek adalah
suatu permasalahan, (menjelaskan peristiwa
67
6. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
atau masalah yang sedang mengganggu subjek). (b) Mengidentifikasi distorsi kognitif subjek, dan perasaan yang dirasakan. Bagaimana perasaan subjek (sedih, marah, cemas,
bersalah, frustrasi, putus asa) mengenai situasi yang menjadi sumber permasalahan.
(c) Menggunakan teknik kolom. Menuliskan
pikiran negatif yang berhubungan dengan perasaan. Serta menuliskan seberapa besar
tingkat pemikiran dan perasaan tersebut Membuat skala dari 0-100 tingkat setiap pemikiran dan perasaan negatif yang diyakini subjek
(untuk tingkatan yang paling rendah hingga
tinggi). (d) Mendiskusikan hasil dan mengajari subjek untuk mencari dan menggantikan
pemikiran negatif tersebut dengan pemikiranpemikiran yang lebih rasional. Pastikan bahwa
pemikiran rasional dapat dan telah diyakini
oleh subjek. untuk mencari alternatif-alternatif
pemikiran yang lebih positif dan rasional. Kemudian melakukan evaluasi dan menunjukkan
kepada subjek betapa jauh lebih baik dirasakan jika berpikiran lebih positif dan realistis.
Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas. Berpikir rasional adalah berbicara dengan
dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbabagai hal
itu dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga
diperoleh kebenaran secara rasional (Mukhayat,
2004).
Metode Penelitian
Desain penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan untuk pertama kalinya dikenalkan oleh
Kurt Lewin. Ia menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan bentuk penelitian yang
mengawinkan antara pendekatan penelitian
eksperimen dalam ilmu sosial dengan program
tindakan sosial dalam merespon permasalahan sosial yang besar pada waktu. Lewin menyatakan bahwa teori pengembangan dan perubahan sosial yang diperlukan secara simultan dapat dicapai dengan memberikan definisi
penelitian tindakan sebagai proses di mana
dengan proses itu orang dapat membangun
eksperimen-eksperimen sosial dengan maksud
untuk mencapai tujuan tertentu (Greenwood &
Levin, 1998). Menurut Arikuntoro (2002) dalam
penelitian tindakan, peneliti melakukan suatu
68
tindakan atau eksperimen yang secara khusus
diamati secara terus menerus, dilihat plus minusnya, kemudian diadakan perubahan terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam
bentuk tindakan paling tepat.
Spesifikasi model intervensi
Model Intervensi yang digunakan adalah
pengembangan teknik restrukturisasi kognitif
yang bertujuan untuk mengurangi distorsi kognitif dan meningkatkan berpikir rasional pada
subjek yang mengalami gangguan somatisasi.
Dimana dengan teknik ini subjek diajarkan untuk melihat kembali keyakinan irasional tersebut dan membantunya menghilangkan dan
menggantinya dengan pemikiran yang lebih
positif dan rasional. Sasaran intervensi adalah
perempuan dan usia �����������������������
dewasa muda dimulai sebelum usia 30 tahun. Durasi intervensi selama
1 bulan, dengan 9 kali pertemuan untuk persubjek.
Subjek penelitian
subjek berjumlah 2 orang, berjenis kelamin
perempuan yang mengalami gangguan somatisasi berdasarkan criteria DSM-IV (APA, 2000).
Penentuan subyek dalam penelitian ini atas
rekomendasi dari dokter. Subyek belum pernah
mendapatkan intervensi dari klinik psikologi.
Variabel dan instrumen pengumpulan data
Variabel terikat adalah keyakinan pemikiran
rasional. Instrument yang digunakan adalah
skala Irrational Beliefs Test (IBT). Skala IBT
untuk mengukur keyakinan irasional (Jones,
1968). Skala IBT mengandung 10 aspek yaitu
demand for approval (DA), high self expectations
(HSE), blame proneness (BP), frustration reactivity (FR), emotional irresponsibilft (EI), anxious
overconcern (AO), problem avoidance (PA), dependency (D), helplessness (HC), perfectionism
(P). Skala IBT terdiri dari 100 pernyataan dengan empat pilihan dengan skala Likert, sangat setuju (1); setuju (2); tidak setuju (3); dan
sangat tidak setuju (4). Subjek memilih salah
satu pilihan yang paling sesuai dengan pilihan
tersebut. Hasil pengujian di Russian dengan
n=94, diperoleh nilai Alpha .66-.80. Hasil pengujian di Malang (Indonesia) dengan n=50,
diperoleh nilai validitas .79 serta nilai reliabilitas (konsistensi internal) Alpha .98. Salah satu
contoh item IBT “Saya punya ketakutan tentang sesuatu yang sering mengganggu saya”.
7. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
Wawancara yang digunakan pada penelitian ini yaitu wawancara semi terstruktur.
Wawancara dilakukan kepada subjek, dan
dokter. Tujuan wawancara untuk mengetahui
perubahan-perubahan pemikiran negatif dan
keyakinan irasional pada subyek.
Selain itu menggunakan self report untuk
mengetahui perkembangan perubahan tingkat
keyakinan irasional dari sesi ke sesi sehingga
dapat dijadikan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan (Woolfolk & Allen, 2007).
sanaan tindakan. Pengamatan dilakukan pada
data-data yang diperoleh dari tahap tindakan
(hasil pre dan post tes, hasil grafik dan hasil intervensi teknik restrukturisasi kognitif). Dan (d)
Tahap refleksi, mengevaluasi hasil terapi yang
sudah dilakukan, mencari kekurangan yang
terjadi saat pelaksanaan tindakan dan pengamatan, kemudian melakukan perubahan atau
memperbaiki model terapi, lalu mengembangkannya kembali pada model teknik restrukturisasi kognitif pada siklus selanjutnya.
Prosedur penelitian
Analisis data
Lewin (1952) menggambarkan penelitian tindakan sebagai suatu proses siklus spiral, yang
meliputi: perencanaan, tindakan, pengamatan
dan refleksi. Penelitian tindakan ini dilakukan
dalam dua siklus. Pada siklus pertama bertujuan untuk���������������������������������
menujicobakan model untuk dievaluasi proses terapi yang selanjutnya dilakukan
perbaikan untuk digunakan pada siklus kedua.
Pada siklus kedua bertujuan untuk meningkatkan kepraktisan pengembangan model sehingga semakin efektif terapi dalam mengubah
keyakinan irasional maka dapat dikatakan
model terapi semakin berkualitas.
Dalam setiap siklus terdapat tahapantahapan pelaksanaannya, tahapan tersebut
adalah: (a) Tahap Perencanaan, terapis terlebih
dahulu melakukan rapport kepada subjek
penelitian. Dilanjutkan membangun komitmen
tentang persetujuan mengikuti terapi restrukturisasi kognitif. Kemudian, membuat modul
terapi restrukturisasi kognitif, membuat guide
interview untuk subjek penelitian dan melakukan try out skala IBT kepada 50 orang, pre-test
skala IBT. (b) Tahap tindakan, terapis melakukan identifikasi permasalahan/assesmen dengan wawancara, self report dan memberikan
skala IBT (post tes), terapis melakukan terapi
restrukturisasi kognitif (lihat Modul teknik restrukturisasi kognitif). (c) Tahap pengamatan,
dilakukan ketika proses kegiatan berlangsung
dan bersamaan waktunya dengan tahap pelak-
Analisis data penelitian ini menggunakan
metode penelitian gabungan (mixed methods)
antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Untuk hasil pada kuantitatif dapat berupa angka-angka dengan analisis deret berkala
(time series) dengan metode bebas/free hand
method. Analisisi deret berkala bertujuan untuk mengetahui kecenderungan nilai suatu
variabel dari waktu ke waktu, untuk meramal
nilai suatu variabel pada suatu waktu tertentu (Algifari, 1994). Agar perkembangan nilai
variabel dari waktu ke waktu mudah diketahui, maka pola perubahannya digambarkan
dengan sebuah grafik. Sedangkan pada hasil
kualitatif yaitu menganalisis data dengan cara
mendeskripsikan hasil pengamatan sebelum
dilakukan intervensi dan setelah dilakukan
intervensi. Pada analisa kualitatif digunakan
teknik wawancara (Okpala, Hopson, Chapman,
& Fort, 2011). Hasil kuantitatif didapatkan dari
hasil perubahan tingkat keyakinan pemikiran
negatif subyek dan hasil pre-tes dan post tes
IBT.
Desain ini menurut Creswell mengintegrasikan dan menarik kesimpulan dari data kualitatif dan kuantitatif, desain studi metode campuran. Keuntungan menggunakan mixed methods atau metode campuran kuantitatif dan
kualitatif dalam proses paralel atau berurutan
menawarkan kesempatan lebih besar untuk
memverifikasi dan menemukan pengetahuan
tentang fenomena daripada menggunakan
salah satu metode saja (Cagle, & Wells, 2008).
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengujian model teknik restrukturisasi
kognitif
Gambar 1. Siklus dalam penelitian tindakan (Greenwood &
Levin, 1998)
Penerapan teknik restrukturisasi kognitif dilakukan dua tahapan siklus dengan subjek
yang berbeda. Pada siklus pertama dikenakan
pada subyek 1 (ANS) dan pada subyek 2 (YNI)
69
8. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
dikenakan pada siklus kedua. Siklus kedua
dimulai setelah subyek 1 menyelesaikan tahapan siklus pertama pada sesi 1 dan 2 dilakukan. Hal ini dikarenakan untuk tujuan pengamatan dan untuk perbaikan yang akan diterapkan disiklus kedua. Pada siklus pertama
pengujian model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan selama 9 sesi dengan waktu 60
menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan
4–5 hari. Pada siklus kedua dilakukan selama
7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi dengan
jarak waktu pertemuan 3 hari.
Siklus pertama: pengujian model teknik restrukturisasi kognitif. Pada sesi pertama, teknik restrukturisasi kognitif yaitu raport, dan alloanamnesa. Pada sesi ini terdapat banyak waktu
luang, dimana pada kegiatan perkenalan dan
identifikasi pemikiran dan tingkat keyakinan
hanya memerlukan waktu 30 menit. Pada kegiatan alloanamnesa cukup menyisakan banyak waktu, sehingga waktu yang digunakan
untuk alloanamnesa digunakan 10 menit. Hal
ini menjadi catatan penting bagi terapis untuk
mengefektifkan waktu, karena pada sesi ini
dinilai masih tersisa banyak waktu, sehingga
sebaiknya dimanfaatkan untuk meneruskan
kesesi selanjutnya.
Pada sesi kedua yaitu psikoedukasi mengenai gangguan somatisasi dan terapi dengan
mengguanakan teknik restrukturisasi kognitif. Pada sesi ini waktu yang digunakan untuk
melakukan psikoedukasi terlalu lama, dan materi yang dijelaskan tidak terlalu banyak, sehingga waktu yang efektif dalam memberikan
psikoedukasi tersebut dirasa cukup oleh terapis dan subjek selama 10 menit. Hal ini menjadikan catatan penting bagi terapis agar menggabungkan psikoedukasi ini di sesi pertama.
Pada sesi ketiga dan keempat, yaitu teknik
restrukturisasi kognitif dengan kegiatan
menjelaskan bahwa adanya hubungan antara
pemikiran, emosi, tingkah laku ini sebaiknya
digabungkan dengan teknik selanjutnya yaitu
menjelaskan dan mengajarkan untuk mencari
pemikiran alternative yang positif. Sehingga
terapis dengan mudah melakukan terapi dan
subjek lebih memahami teknik-teknik tersebut, Hal ini menjadi catatan bagi terapis untuk
menggabungkan waktu dan langsung tertuju
pada tujuan yang ingin dicapai sehingga tidak
terjadi pengulangan penjelasan pada sesi sebelumnya. Selain itu contoh kasus diberikan
sebaiknya ketika sesi terakhir terapi, hal ini
menjadi catatan penting karena terapis dapat
melihat perubahan pemikiran rasional pada
70
subjek yang mengalami gangguan somatisasi
setelah dilakukan beberapa teknik restrukturisasi kognitif. Pengembangan model teknik restrukturisasi kognitif diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih baik.
Siklus kedua: perbaikan model teknik restrukturisasi
kognitif. Berdasarkan revisi dari siklus pertama,
maka terapis menyusun model teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan pemikiran rasional pada gangguan somatisasi dilakukan perbaikan prosedur untuk diapli-kasikan
pada siklus kedua yang dirasa dapat menjawab
kekurangan dari siklus pertama atau model sebelumnya.
Pada siklus kedua ini model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan kepada satu subjek
yang mengalami gangguan somatisasi. Subjek
berjenis kelamin perempuan, berusia 27 tahun.
Pengujian pada tahap kedua ini, subjek dipilih
atas rujukan dari dokter dan klinik psikologi.
Pengujian Model teknik restrukturisasi kognitif dilakukan selama 7 sesi dengan waktu 60
menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan
3 hari.
Data yang diperolah dari Pengujian Model terapi dengan teknik restrukturisasi kognitif pada siklus kedua ini kemudian ditulis,
direduksi dan dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya data tersebut diklasifikasikan serta
dipilih data yang berguna untuk meningkatkan
kepraktisan pengembangan model. Data yang
berguna untuk meningkatkan kepraktisan dijadikan dasar revisi, sedangkan yang tidak
dapat meningkatkan kepraktisan akan diabaikan.
Setelah dilakukan perbaikan pada siklus
pertama, maka peneliti menyusun kembali model teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan pemikiran rasional pada gangguan
somatisasi sebagai berikut: (a) Pengurangan sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi. pada sesi pertama kegiatan yang
dilakukan disesuaikan dengan waktu yang
telah direvisi, seperti raport, penjelasan kontrak terapi, alloanamnesa, dan digabungkan
dengan psikoedukasi gangguan somatisasi dan
teknik restrukturisasi kognitif dengan menggunakan waktu 60 menit. Pada sesi ke-dua,
terapi restrukturisasi kognitif dengan kegiatan menjelaskan bahwa ada hubungan antara
pemikiran, emosi dan tingkah laku digabung
dengan penjelasan untuk mengidentifikasi pemikiran negatif dan menggantikan pemikiran
negatif tersebut dengan pemikiran yang lebih
positif dan rasional, kemudian langsung di-
9. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
berikan tugas rumah kepada subjek. pada sesi
tiga-lima, dilakukan evaluasi hasil kerja teknik
restrukturisasi kognitif dan self report. Pada
sesi ke-enam, tujuh yaitu tahap penghentian
sesi dan tindak lanjut (b) Perbaikan pada jadwal pertemuan dengan jarak waktu pertemuan
menjadi 3 hari setiap pertemuan. (c) pada siklus kedua, terapis lebih banyak melakukan
konfrontasi yang diiringi dengan persuasi kepada subjek.
Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional
Pada siklus pertama terdapat lima pemikiran
negatif yang diyakini subjek. Pemikiran negatif
1 yaitu cuaca buruk dan berubah-rubah serta
tempat yang kotor dapat menyebabkan subjek gampang sakit. Pemikiran negatif 2, sakit
yang dialami subjek adalah turunan/bawaan
dari keluarga dan tidak bisa sembuh. Pemikiran negatif 3, ujian dan tugas yang banyak menyebabkan sakit. Pemikiran negatif 4, tubuh
dan badan sangat sensitive sehingga gampang
sakit. Pemikiran negatif 5, selalu minum obat
untuk menghilangkan sakit atau pergi kedokter.
Hasil evaluasi pada setiap sesi menunjukkan bahwa subjek belum cukup banyak mengalami perubahan pada pemikiran negatifnya. Penurunan tingkat keyakinan irasional
cukup baik antara 5-10 point per-sesi, namun
penurunan tersebut sudah dinilai sangat baik
untuk subjek. Penurunan tingkat keyakinan
mulai terlihat pada sesi ke-empat. Dari sesi
tujuh sampai sesi kesembilan yaitu follow up,
masih terlihat hasil point keyakinan yang masih tetap dan berhenti di point yang sama yaitu
pada pemikiran negatif 1 (20 point) dan pemikiran negatif 5 (30 point). Sedangkan pada tiga
pemikiran negatif lainnya (pemikiran negatif
2, 3, dan 4) secara perlahan-lahan mengalami
perubahan yaitu terjadinya penurunan pada
tingkat keyakinan irasional. Hasil perubahan
setiap sesinya dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus
kedua subjek memiliki empat pemikiran negatif yang diyakini oleh subjek. Pemikiran negatif
1 yaitu sakit diakibatkan bertengkar dengan
pasangan. Pemikiran negatif 2, setiap berada
ditempat yang baru yang belum pernah dikunjungi dan tempat kotor dapat menyebabkan
sakit. Pemikiran negatif 3 orang yang rentan
dan mudah terserang penyakit. Pemikiran
negatif 4, selalu meminum obat penghilang
rasa sakit dan biasanya mengunjungi dokter
jika sakit.
Pada setiap sesi pada siklus dua ������
menunjukkan bahwa perubahan lebih cepat terjadi,
perubahan mulai terlihat pada sesi ke-dua,
Subjek mengalami penurunan tingkat keyakinan irasional. Setiap sesi terjadi penurunan
10-20 point. Penurunan 0 point terjadi pada
sesi terakhir yaitu pada pemikiran ke-empat.
Hal ini terjadi karena adanya perbaikan model
teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan
pada siklus kedua sehingga hasil yang diperoleh cukup efektif. Selain itu penurunan tingkat keyakinan ini diperkuat dengan pelaporan
self report yang diberikan sebagai tugas rumah,
hasil self report menunjukkan secara perlahan
terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional
subjek.��������������������������������������
Namun pada siklus kedua ini juga terdapat tingkat keyakinan irasional yang masih
tetap dari sesi kelima hingga sesi ke tujuh yaitu
pemikiran negatif tiga. Hasil perubahan setiap
sesinya dapat dilihat pada Gambar 3.
Hasil pretes dan post-tes keyakinan irasional
Pada pre-test siklus pertama dan kedua dapat
diketahui kedua subjek memiliki skor nilai
keyakinan irasional yang tinggi dan terjadi
Gambar 2. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek ANS dengan teknik restrukturisasi kognitif
71
10. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
Gambar 3. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek YNI dengan teknik restrukturisasi kognitif
perubahan penurunan tingkat keyakinan irasional setelah diberikan teknik restrukturisasi kognitif. Untuk meningkatkan pemikiran
yang rasional dan mengurangi/menghilangkan
keyakinan irasional pada gangguan somatisasi,
maka subjek dilibatkan dalam terapi kognitif
dengan teknik restrukturisasi kognitif. Hasil
yang diperoleh yaitu ������������������������
adanya keyakinan irational subjek menjadi pemikiran yang lebih positif
dan rasional.
Pada siklus pertama, adanya penurunan
kategori pada keyakinan-keyakinan irasional
dari tinggi kekategori sedang. Aspek yang mengalami perubahan setelah dilakukan terapi
yaitu pada aspek FR, AO dan HC. Sedangkan,
aspek-aspek yang belum banyak mengalami
perubahan dan berada pada kategori sedang
setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek DA,
HSE, EI, PA, D, P. Pada aspek BP terjadi peningkatan point, namun dilihat dari kategorinya aspek BP tetap berada dikategori sedang.
Sedangkan, pada siklus kedua indikator IBT
menunjukkan cukup banyak terjadi penurunan keyakinan irasional dari kategori tinggi
ke sedang yaitu pada aspek DA, FR, EI, AO, D,
HC, P. Sedangkan aspek yang belum menunjukkan terjadinya perubahan dan berada pada
kategori sedang setelah dilakukan terapi yaitu
pada aspek HSE, BP. Pada aspek PA terjadi peningkatan point, namun dilihat dari kategorinya aspek PA tetap berada dikategori sedang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada
saat pre-test dan post-test disebabkan oleh
adanya tindakan dengan menggunakan teknik
restrukturisasi kognitif sehingga dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada
gangguan somatisasi. Hasil pre-test dan posttest dapat dilihat pada Gambar 4.
Pembahasan
Berdasarkan analisis grafik yang dilakukan
bahwa teknik restrukturisasi kognitif menunjukkan adanya perubahan yaitu terjadi penurunan pada tingkat keyakinan irasional dan
meningkatnya pemikiran rasional pada penderita gangguan somatisasi. Penurunan terjadi terus menerus pada setiap sesi dan terus
menetap hingga tindak lanjut. Hal ini dikarenakan terapi restrukturisasi kognitif mengajarkan untuk menolong orang-orang untuk mengidentifikasi ide-ide atau keyakinan-keyakinan
yang irasional tersebut dan menggantinya de-
Gambar 4. Hasil pre-test dan post-test keyakinan irasional pada subjek ANS dan YNI
72
11. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
ngan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis (Martin & Pear, 2003).
Peningkatan pemikiran positif dan rasional dengan teknik restrukturisasi kognitif lebih
terlihat pada siklus ke dua. Karena pada siklus kedua dilakukan perbaikan/revisi model
teknik restrukturisasi kognitif. Perbaikan dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Dengan perbaikan model terapi tersebut
perubahan peningkatan pemikiran yang lebih
positif dan rasional lebih cepat terjadi. Hal ini
dikarenakan pada siklus kedua terapis mengefesiensikan waktu terapi, pengurangan sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per
sesi, dan membuat jarak pertemuan yang tidak
terlalu lama yaitu 3 hari. Penelitian tindakan
bertujuan pencarian sistematik, mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan dan hambatan yang dihadapi, dan
kemudian menyusun rencana dalam melakukan kegiatan-kegiatan penyempurnaan atau
penyesuaian dengan kondisi dan situasi sehingga diperoleh hasil yang lebih baik (Greenwood & Levin, 1998).
Pada siklus pertama, teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan pada subjek menunjukkan cenderung terjadi penurunan pada
setiap tingkat keyakinan irasional. Namun
penurunan tersebut baru terjadi pada sesi keempat. Penurunan tersebut terjadi karena sesi,
waktu dan jarak yang terlalu lama. Meskipun
terjadi penurunan tetapi penurunan tersebut
hanya 10 point dan hanya pada pemikiran 2
dan 4. Selain itu pemikiran negatif cenderung
drastis turun pada sesi lima dan enam. Hal ini
dikarenakan suyek sudah mampu meyakini
pemikiran positif dan rasional yang dimunculkan oleh subjek sendiri walaupun terkadang
pemikiran negatif masih muncul. Selain itu
terapis cukup sering melakukan konfrontasi
pada setiap pernyataan negatif subjek. Terapis
menyerang ketidaklogikaan berfikir subjek dan
membawa subjek kearah berfikir yang lebih logis
(Omeardi, 2005).
Sedangakan pada sesi 7, 8, 9 point tingkat
keyakinan irasional cenderung tetap/stabil. Hal
ini diduka terapis merupakan progress yang baik
dimana pemikiran positif dan rasional memiliki
point yang stabil dan diprediksikan situasi yang
menetap tersebut dapat bertahan bahkan lebih
menurun. Hal ini merupakan hal yang bermakna bagi subjek dan terapis. Selain itu, frekuensi
simtom somatisasi seperti mual, pusing dan
nyeri kaki dan dada mulai berkurang. Hal ini
sesuai dengan dasar pemikiran dasar teknik
kognitif, dimana proses kognitif sangat berpe-
ngaruh terhadap perilaku yang ditampakan
oleh individu (Burns, 1988). Namun terdapat
faktor lain yang menjadi pertimbangan menurunnya tingkat pemikiran negatif subjek, yaitu
subjek mengkonsumsi obat-obat penahan rasa
sakit.
Pada siklus kedua, tingkat keyakinan irasional cenderung lebih cepat terjadi penurunan
setiap sesinya. Penurunan terjadi pada sesi
ke-dua. Hal ini dikarenakan adanya perbaikan model terapi yaitu pengurangan pada sesi
terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit
per-sesi, dan dengan jarak pertemuan yang
dipersingkat yaitu 3 hari. Efek dari perbaikan
model terapi yaitu hampir disetiap sesi terapi
terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional
walaupun penurunan tersebut masih dalam
kategori tinggi. Pada sesi ketiga hampir semua
keyakinan irasional cenderung turun dalam
rentang kategori sedang dan pada sesi ke lima
dan enam semua keyakinan irasional cenderung turun ke kategori rendah.
Penurunan yang paling baik ditunjukkan
subjek selama menjalani proses terapi yaitu
adanya tingkat keyakinan irasional yang mencapai nilai 0 point yang didapatkan pada saat
sesi tindak lanjut, hal ini merupakan situasi
yang bermakna, karena situasi tersebut cenderung menetap/stabil, sehingga diduga setelah
sesi tindak lanjut keyakinan positif dan rasional yang diyakini subjek dapat menetap bahkan meningkat (Joseph, 1997).
Perubahan tingkat keyakinan tersebut diperoleh subjek karena subjek juga membuktikan langsung pemikiran negatifnya pada
kehidupan nyata dan kehidupan sehari-hari,
dengan pembuktian tersebut maka ia menyadari bahwa pemikirannya selama ini tidaklah semuanya benar. Oleh karena itu, manfaat
teknik restrukturisasi kognitif disini membantu individu membedakan, memahami pikiran
dan perasaan mereka yang salah, serta mengevaluasi keyakinan negatif dengan bukti yang
jelas sehingga mereka dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006). Faktor lain
yang menjadi pertimbangan turunnya tingkat
pemikiran negatif subjek, yaitu lingkungan
subyek, dimana keluarga memberikan dukungan dengan tidak membelikan obat yang biasa dikonsumsi oleh subjek.
Perubahan/penurunan tingkat keyakinan pemikiran irasional juga ditunjukkan dari
hasil skala IBT. Setiap siklus menunjukkan
bahwa terjadi penurunan keyakinan irasional
setelah diberikan teknik restrukturisasi kognitif. Penurunan kategori dari tinggi ke kategori
73
12. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
sedang terjadi pada tiga aspek utama FR, AO
dan HC. Pada aspek FR menunjukkan bahwa
kedua subjek sudah cukup mampu mengendalikan dan mengontrol pemikiran negative
(catastropic) yang selama ini dianggap sebagai
bencana dan dapat membahayakan subjek.
Seperti yang dialami subjek sebelum dilakukan
terapi, ia berkeyakinan bahwa sakit yang selama ini dialami subjek diakibatkan oleh pemikiran negative yang yakini subjek benar. Sakit
fisik yang dialami seseorang diyakini sebagai
hasil subjective orang yang menderita. Sehingga pemikiran irasional tersebut yang dianggap
mengerikan dan bencana oleh seseorang (Pastore, 1952).
Pada aspek AO menunjukkan bahwa subjek sudah cukup mampu mengendalikan dan
mengontrol kecamasan yang dianggap menakutkan dan membahayakan, sehingga ia dapat
mengendalikan pemikiran negative yang selama ini telah diyakini subjek, bahkan bukan hanya mengendalikan namun subjek sudah cukup mampu menghilangkan pemikiran
negative dan menggantikan dengan pemikiran
positif dan rasional setelah mengikuiti terapi.
Sehingga terjadi penurunan pada kecemasan
yang berlebihan pada subjek (Stewart, 1962).
Pada aspek HC setelah dilakukan terapi
menunjukkan perubahan dari tinggi ke sedang.
Subjek sudah mampu meyakini bahwa bukan
masa lalu penentu perilaku seseorang dimasa
sekarang dan dimasa yang akan datang. Namun dengan berkeyakinan bahwa perubahan
akan terjadi jika subyek mampu mengendalikan dan menggantikan pemikiran negatifnya
dengan pemikiran yang positif dan rasional
(Jones, 1968).
Secara keseluruhan diidentifikasikan bahwa teknik restrukturisasi kognitif dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada
gangguan somatisasi serta dapat mengurangi
terjadinya simtom somatisasi. Teknik restrukturisasi kognitif merupakan satu komponen
yang terpenting dilakukan untuk mengurangi
dan menghilangkan pemikiran negatif/irasional, dengan tujuan teknik yaitu untuk menata
kembali pikiran, menghilangkan keyakinan
irasional yang menyebabkan ketegangan dan
kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini
mempengaruhi emosi dan perilakunya (Woolfolk & Allen, 2007).
Secara perlahan subjek menyadari bahwa
sakit yang dialaminya selama ini sebagai akibat dari keyakinan dan pemikiran irasionalnya yang sangat berperan dalam terbentuknya
simtom somatisasi. Somatisasi terbentuk oleh
cara berfikir yang terdistorsi yang membuat se74
seorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda
dari bencana atau bahaya yang akan terjadi
pada dirinya (Kaplan et al., 1997; Novita, 2011).
Kesalahan dalam proses kognitif ditunjukkan
oleh sensasi fisik yang awalnya biasa diartikan
berbeda oleh subjek, selain itu hasil interaksi
yang kurang baik antara stressor, sumber daya
psikologis dan diri pribadi tersebut menghasilkan pemikiran yang irasional dan reaksi emosional yang tidak menyenangkan seperti kecemasan yang tinggi dan rasa sakit pada fisik
(Rief, Hiller, & Margraf, 1998).
Pengembangan teknik restrukturisasi kognitif dapat menurunkan tingkat keyakinan
irasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi dan memberikan dampak
yang cukup baik, dimana simtom somatisasi
yang sering kali muncul frekuensinya menjadi
berkurang seperti: mual, pusing, nyeri pada
lengan dan pangkal kaki, nyeri punggung/
pundak, nyeri pada dada yang setiap hari biasanya dirasakan subjek, namun saat ini sudah berkurang dengan 3 sampai 4 hari muncul
dirasakan oleh subjek. Hal ini juga diperkuat
dari evaluasi hasi terapi, subyek menyatakan
bahwa terapi sangat bermaanfaat baginya, hal
ini dikarenakan setelah dilakukan terapi subyek lebih berpikiran posif dan rasional. Subyek
mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya takut untuk dilakukan oleh subyek
seperti: melanjutkan menyelesaikan skripsi,
berkunjung ke tempat-tempat yang baru, walaupun hanya sebentar. Subyek juga meyakini
bahwa ia cukup mampu menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari teknik restrukturisasi
kognitif yang telah dipelajarinya.
Kemajuan yang diperlihatkan oleh kedua
subjek dikarenakan adanya motivasi subjek
yang sangat menginginkan untuk sembuh dari
sakit yang cukup mengganggu aktivitas dan
pemikirannya selama ini. Hal ini diperlihatkan
subjek dengan kesediaan subjek dalam mengikuti setiap sesi terapi karena tidak ada paksaan/kemauan subjek sendiri dan konsistensi
subjek dalam mengikuti proses terapi.
Keterbatasan penelitian dan rekomendasi
Rekomendasi bagi peneliti selanjutnya, peneliti sebaiknya terus memonitor perkembangan
subjek setelah follow up guna mengetahui seberapa jauh efek terapi apakah bertahan atau
menetap. Selain itu, peneliti dapat melibatkan
keluarga dan teman setelah follow up dilakukan, hal ini dilakukan guna memberikan dukungan, motivasi untuk memberikan pengua-
13. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
tan pada pemikiran positif dan rasional yang
telah diyakini subjek melalui terapi kognitif.
Selain itu, bagi subjek penelitian sebaiknya secara terus-menerus menerapkan teknik yang
sudah dipelajari ke kehidupan sehari-hari.
Simpulan
Penerapan teknik restrukturisasi kognitif diidentifikasi dapat menurunkan keyakinan irasional
serta dapat meningkatkan pemikiran yang lebih positif dan rasional pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Selain itu, fre����������������
kuensi simtom somatisasi menjadi berkurang
seperti: mual, pusing, nyeri pada lengan dan
pangkal kaki, nyeri punggung/pundak, nyeri
pada dada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik restrukturisasi kognitif
dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi.
Daftar Pustaka
Algifari. (1994). Statistika ekonomi teori, kasus dan solusi.
Yogyakarta. STIE YKPN.
Ali, A., Deuri, S., Jahan, M., Singh, A., & Verma, A. (2010).
Perceived social support and life satisfaction in persons with somatization disordr. Journal of Industrial
Psychiatry,19 (2), 115.
Allen, L. A., & Woolfolk, R. L. (2006). Affective cognitive behavioral therapy: A new treatment for somatization.
Journal of Cognitif Psychotherapy, 14 (3), 549-566.
Allen, L. A., Gara, M. A., Escobar, J. I., Waitzkin, H., &
Cohen-Silver, R. (2001). Somatization: A debilitating
syndrome in primary care. Psychosomatics, 42, 63–67.
Allen, L. A., Woolfolk, R. L., Lehrer, P. M., Gara, M. A., &
Escobar, J. I. (2001). Cognitive behavior therapy for
somatization: A pilot study. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 32, 53–62.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and
statistical manual of mental disorder. (Fourth Edition).
Washingtong DC: American Associatic.
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan
praktek. Yogyakarta. Rineka Cipta.
Barry, D. (2003). Somatization disorder. Annals of Clinical
Psychiatry, 13 (3), 153-158.
Barsky, A. J., & Borus, J. F. (1995). Somatization and medicalization in the era of managed care. Journal of The
American Medical Association, 274, 1931–1934.
Bellack, A., & Hersen, M. (1977). Behavior modification:
An introductory textbook. New York: Oxford University
Press.
Beck, A. T. (1993). Cognitive approaches to stress. In P.
M. Lehrer, & Woolfolk, Principles and practice of stress
management, (Volume2, pp 333-372). New York: Guilford.
Beck, A. T. (1975). Cognitive therapy and the emotional disorders. American International Universities Press Inc.
Burns, D. (1988). Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi
penanganan depresi. Jakarta: Penerbit Airlangga.
Burns D, & David, D. (1989). The feeling good handbook.
New York: William Morrow and Company, Inc.
Boeree, G. (2008). Psikologi kepribadian, persepsi, kognisi,
emosi & perilaku. Jogjakarta: Prismasophie.
Cagle, RC., Wells, OJ. (2008). Journey to a mixed methods
approach for understanding Mexican American female
cancer caregiving. Journal of Theory Construction &
Testing, 12 (2), 50-76.
Caplan, & Sadock. (2010). Synopsis psikiatri. Tanggerang:
Binarupa aksara.
Cormier, W. H., & Cormier L. S. (1985). Interviewing strategies for helpers fundamental skill and behavioral interventions. (Eds. 2). Monterey, California: Publishing
Company.
Davidson, G., Neale, J., & Kring, A. (2006). Psikologi abnormal. (Edisi ke-9). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ellis, A. (2011). Rational emotive behavior therapy. Journal
of Counseling & Development, 1 (3), 82-87.
Escobar, J., Waitzkin, H., & Silver, R. (1998). A bridged somatization: A study in primary care. American journal
of Public Health, 60 (3), 466-472.
Escalona, R., Achilles, G., Waitzkin, H., & Yager, J. (2004).
PTSD and somatization in women treated at a VA primary care clinic. Journal Nervuoes Mental Disorder, 45
(4), 291-296.
Eisendrath, S. J. (1998). In current medical diagnosis and
treatment. American Journal of Psychiatry, 24 (7), 128142.
Emair, B. (1998). Cognitive therapy for pain management.
American academic of pain management. Atlanta Hilton Hotel.
Gaw, A. (1993). Culture, ethnicity and mental illness. Washington, DC: American Psychiatric Press.
Goldfried, R., & Davison, G. (1976). Clinical behavior therapy. New York: Holt Rinehart and Winston.
Greenwood, D.J., & Levin, M. (2007). Introduction to action
research social research for social change (2th Edition).
California: Sage Publications, Inc.
Jones, G.R. (1968). A factored miiasure of ellis’ irrational
belief. System, with personality anu maladjustment
correlates. A dissertation in psychology, Faculty of
Texas Technological College.
Joseph, L. (1997). Treating stress across cultures: A somatic cognitive model. Education Resources Information center, 29 (7), 209-210.
Kallivayalil, R., & Punnoose, V. (2010). Understanding and
managing somatoform disordes: Making sense of nonsense. Indian Journal of Psychiatry, 52 (7), 240.
Kevin, J., Christopher, G., Ellison, G., & Koening, HG.
(2008). Belief about life after death psychiatry symtomology and cognitif theories of psychopatology. Journal of Psychology and Theology, 36 (2), 94.
75
14. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 63 - 76
Katon, W., Ries, R., & Kleinman, A. (1984). The prevalence
of somatization in primary care. Indian Journal of Psychiatry, 25 (5), 208-215.
Kaplan, I., Sadock, B., & Grebb, J. (1997). Synopsis psikiartri. Jakarta: Binarupa akasara.
Khouzan, H. R., & Field, S. (1999). Somatization disorder:
Clinical presentation and treatment in primary care.
Indian Journal of Psychiatry, 152, 897-991.
Kimayer, L. (1984). A young: Culture, affect and somatization. American Journal of Psychiatry, 21 (159), 237262.
Lipowski, Z. (1988). Somatization 1 the concept and its
clinical application. American Journal of Psychiatry,
145, 1358-1368.
Martin, G., & Pear, J. (2003). Behavior modification what
it is and how to do it. Seventh Edition. New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Menza, Matthew, Lauritano, M., Allen, L., Warman, M., Ostella, F., et al. (2001). Treatment of somatization disorder with nefazodone: A prospective, open-label study.
Journal Annals of Clinical Psychiatry, 13 (3), 153-158.
McLeod, C.C., Budd, M. A., & McClelland, D. C. (1997).
Treatment of somatization in primary care. Journal of
Clinical Psychiatry, 19, 251–258.
McCahill. (1995). Focus on the somatoform disorders. Journal Psychological Medicine , 30 (2), 59-66.
McCarron, R. M. (2006). Somatization in the primary care
setting. Indian Journal of psychiatry, 6 (23), 32-40.
Mukhayat, T. (2004). Mengembangkan metode belajar yang
baik pada anak. Yogyakarta: FMIP UGM.
Moore, D., & Jefferson, J. (1996). Somatoform disorder. In
Handbook of medical psychiatry (198-200). New york:
Springer
MosMorris, R., & Petrie, K. (1997). Cognitive distortions
of somatic. Experiences: Revision and validation of a
measure. Journal of Psychosomatic, 43 (3), 293-306.
Nevid, S., Rathus, S., & Greene B. (2005). Psikologi abnormal. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
North, C., Kawasaki, A., Spritznagel, E., & Hong, B. (2004).
The course of PTSD, major depression, substance
abuse, and somatization after a natural disaster. Journal Nervuoes Mental Disorder, 192, 823-829.
Novita, R. (2011). Cognitive behavioral theraphy untuk mengurangi simtom somatisasi. Tesis (tidak diterbitkan).
76
Malang: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
Okpala, O., Hopson, L., Chapman, B., & Fort, E. (2011).
Leadership development expertise: A mixed method
analysis. Journal of Instructional Psychology, 38 (2),
133-144.
Oemarjoedi, A. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam
psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Philips, H. C., & Rachman, S. (1996). The psychological
management of chronic pain: Treatment manual (2 ed.).
New York: Springer.
Pastore, N. (1950). A neglected factor in thefrustration aggression hypothesis. Journal of Psychology, 29, 271279.
Poedjawijatna. (1992). Logika filsafat berfikir. Jakarta: PT.
Rieneka Cipta.
Redekop, F., Stuart, S., Mertens, C. (1999). Physical “phantasies” and family functions: Overcoming the mind/
body dualism in somatization. Family Process, 38 (3),
371.
Rief, W., Hiller, W., & Margraf, J. (1998). Cognitive aspects
of hypochondriasis and the somatization syndrome.
Journal of Abnormal Psychology, 107, 587-595.
Safaria, T. (2004). Terapi kognitif perilaku untuk anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryaningrum, C. (2007).Cognitive behavior therapy (terapi
kognitif perilaku). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Stewart, Louis. (1992). Social and emotional adjustment
during adolcscence, as related to the development of
psychomatic illness in adulthood. Genet Psychology,
11, 65- 175.
Weissman, M., Myers, J.K., & Harding, P. S. (1978). Psychiatric disorders in a U.S. urban community. American
Journal of Psychiatry, 135, 459-462.
Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2007). Treating somatization:
A cognitive behavioral approach. Journal of Cognitive
Psychotherapy,72, 126-128.
Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2002). Cognitive behaviour
therapy for Somatoform Disorder. Journal of Cognitive
Psychotherapy, 7 (4), 118-135.
Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2010). Affective cognitif behaviour therapy for somatization disorders. Journal of
Cognitive Psychotherapy, 24 (2), 116-119.