Dokumen tersebut memberikan informasi tentang redaksi Manifesto yang menerima tulisan untuk rubrik Resolusi dan Dialektika melalui email. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan yang merupakan pandangan pribadi penulis. Newsletter ini bersifat nonprofit dan dikelola oleh YIPCI-ICRS.
1. Salam Redaksi
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui
redaksi.manifesto@gmail.com untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (Max 750 kata).
Redaksi tidak bertangggungjawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.
Newsletter ini adalah produk nonprofit.
Penanggung Jawab
Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI) - Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS),
Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd
Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Laelatul Badriyah
Redaktur Bahasa Ngarjito Ardi Setyanto Redaktur Pelaksana Ahmad Shalahuddin Mansur
Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Adrianus Venda Pratama Putra, Hammad Mutawakkil Hibatillah,
Nurfadilah, Swito Gaius Agustinus Silalahi
Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru
Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia
M A N I F E S T O | E D I S I I I I | N O V E M B E R 2 0 1 4
Indonesian Consortium
For Religious Studies
DEMI terciptanya masyarakat yang berkualitas, pendidikan adalah jalur utama yang harus
diprioritaskan. Sehingga tidak berlebihan bila maju-mundurnya sebuah peradaban manu-
sia di sebuah negara ditentukan oleh kualitas pendidikan yang bermutu, yang kemudian
mencerminkan identitas dari bangsa yang bermartabat.
Pendidikan sudah seharusnya lahir dari sebuah keteladanan yang baik. Keteladanan
harus bermula dari kehadiran seorang sosok atau figur seperti guru dan orangtua sangat-
lah penting. Sehingga perkembangan anak atau peserta didik dapat tumbuh dengan baik.
Maka, keteladanan figur tentunya tidak dimulai dengan peran instruktif yang otoriter. Na-
mun, perlu upaya untuk mengajak partisipasi anak untuk berfikir dan berdialog tentang
apa yang sedang dirasakan dan diinginkan. Artinya, hubungan yang mendidik dan yang
dididik tidak hanya sebatas tugas. Tapi lebih kepada tanggung jawab untuk melahirkan
generasi muda yang menjadi cikal bakal seorang pemimpin di masa mendatang.
2. 2 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
Melahirkan Agen Perdamaian
Melalui Pendidikan
Oleh: Oktavianus Jeffrey Budiarto*
APA yang salah dalam pendidikan kita? Se-
hingga sebelumnya dihebohkan kasus keke-
rasan di SD Perwari Bukittinggi, Sumatera
Barat. Aksi kekerasan tersebut direkam da-
lam bentuk video dan diunggah ke Youtube.
Video itu mempertontonkan seorang bocah
berseragam SD yang dianiaya oleh lima te-
mannya di ruang kelas. Sekolah yang seha-
rusnya menjadi tempat pembentukan karak-
ter justru bak tempat pembantaian.
Situasi Pendidikan
Bila menilik sistem pendidikan di Indo-
nesia, satu hal yang selalu kontroversial ialah
adanya ujian nasional (UN). Sebagai tolak
ukur pemetaan kualitas kemampuan akade-
mik di setiap daerah UN jelas cukup efektif.
Problematikanya, bilamana UN menjadi alat
ukur penentu kelulusan. Maka, para siswa
dipaksa ikut bimbingan belajar, drilling lati-
han soal dan aneka try out. Orientasi siswa
kemudian diarahkan kepada sukses lulus uji-
an nasional. Ruang untuk tumbuh kembang
karakter anak menjadi kian terdesak.
Pun, tak ada sekolah yang mau
reputasinya tercoreng karena tidak mampu
meluluskan siswa 100%. Beragam cara pun
dihalalkan mulai dari bocoran kunci jawaban
hingga adanya oknum guru yang membantu
siswa mengerjakan soal. Bayangkan betapa
ironisnya, pembusukan karakter ternyata
dimulai dari dunia pendidikan.
Rasanya, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan lebih tepat disebut sebagai Ke-
menterian Persekolahan. Karena kesannya
yang diurusi hanya di lingkup sekolah dan
segala sesuatu yang sifatnya teknis. Orang di-
arahkan untuk mengejar angka tinggi dan ija-
zah. Pendidikan sejatinya tidak terbatas pada
tembok ruang kelas dan gerbang sekolah saja!
Mengutip Driyarkara, pendidikan adalah
usaha memanusiakan manusia.
Pendidikan Karakter
Sekolah tidak perlu menambah pelajaran
misalnya pelajaran pendidikan karakter. Selain
membuat anak lebih lama di sekolah sehingga
mengurangi waktu kebersamaan dengan kelu-
arga juga membuat esensi pendidikan karakter
seolah berdiri di luar pelajaran yang lain. Se-
bab sesungguhnya setiap pelajaran di sekolah
haruslah mengandung nilai-nilai luhur seperti
keadilan, toleransi, kerja sama, bela rasa, keju-
juran dan lain sebagainya.
Meskipun tidak eksplisit, pelajaran semisal
matematika tidaklah hampa nilai. Bagaimana
misalnya mengajarkan bahwa 10 + 10 = 20 bisa
dimaknai sebagai konsep kesetiaan dan inte-
gritas pada ilmu. Karena jelas dalam ilmu ma-
tematika selalu berbicara tentang hasil-hasil
kesepakatan yang menjadi kaidah keilmuan.
Mengatakan bahwa 10 + 10 = 17 maka guru
perlu memberikan koreksi disertai pemaham-
an yakni perilaku koruptif karena menging-
3. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 3
Resolusi
kari kesepakatan yang telah berlaku. Kegiatan
pembelajaran seperti diskusi kelompok juga
bisa dijadikan sarana latihan menghormati
orang lain yang berbeda pendapat.
Pelajaran Agama sebagai Ruang Dialog
Selama ini pelajaran agama tampak
terjebak dalam penyeragaman penilaian
teknis layaknya pelajaran eksak. Seorang
guru agama lalu mau tidak mau juga ikut
mengajak siswa belajar yang pada akhirnya
bermuara pada keterampilan mengerjakan
soal saja. Padahal akhlak dan iman seseorang
tidak bisa diletakkan pada selembar kertas.
Maksud saya pelajaran agama hendaknya
menjadi ruang perjumpaan antar iman. Sis-
wa perlu belajar berdialog sejak dini. Dengan
begitu mereka dapat mengenal dan kemudian
tidak asing dengan perbedaan. Derasnya arus
informasi yang membawa pandangan keliru
tentang suatu ajaran agama dapat ditangkal
karena adanya kesempatan untuk saling me-
ngonfirmasi sehingga prasangka tidak mu-
dah berkembang.
Head on, heart on, hand on
Pendidikan hendaknya memusatkan
pada kepala (kognitif), hati (afeksi) dan
tangan (psikomotorik). Selama ini yang
terjadi dalam pendidikan di Indonesia adalah
ketimpangan. Ranah kognitif (kepala) terlalu
ditekan sedemikan rupa sehingga mereduksi
makna pendidikan menjadi urusan latihan
mengerjakan soal belaka. Menurut Paolo
Freire, pendidikan bukanlah transfer ilmu
tetapibagaimanasiswadapatmengembangkan
ilmu berdasarkan kapasitas dirinya. Sayang
sekali kalau guru hanya menerapkan model
ceramah dan latihan soal. Bila setiap pelajaran
dapat menerapkan problem based learning,
sebetulnya memberikan manfaat yang besar
bagisiswa.Pembelajaranyangmendorongrasa
penasaran siswa untuk selalu ingin mencari
tahu. Hal ini akan mendorong munculnya
pengetahuan demi pengetahuan yang baru.
Maka, cara berpikir kritis siswa akan terbentuk
dengan sendirinya. Siswa pun terlatih menjadi
problem solver ketimbang problem maker.
Pada ranah afeksi, kemampuan berem-
pati juga hendaknya senantiasa diperhati-
kan. Ini mengandaikan adanya interaksi so-
sial yang kuat. Setiap sekolah yang memiliki
program live in mengindikasikan sekolah
itu punya perhatian khusus pada pengem-
bangan soft skill siswanya. Pengalaman live
in memiliki daya ubah yang luar biasa. Siswa
yang notabene “orang kota” tinggal bersama
penduduk desa yang bermata pencaharian
sebagai petani. Situasi yang kontras sema-
cam ini menempatkan siswa sebagai subjek
untuk mengolah kepekaan sosialnya. Belajar
dari kesederhanaan hidup orang lain dapat
menumbuhkan kebijaksanaan. Bisa pula live
in lintas iman, dimana seorang siswa tinggal
bersama di lingkungan dengan keyakinan
yang berbeda. Akan ada banyak kesan positif
karena adanya perjumpaan yang bermakna.
Kasus kekerasan yang marak terjadi tidak
boleh terulang. Tangan harus dididik untuk
membantu sesama, bukan malah membuat
yanglainmenderita.Siswaharusdididikuntuk
berbela rasa. Dengan keseimbangan antara
kepala, hati dan tangan semoga pendidikan
di Indonesia akan melahirkan generasi muda
yang dapat menjadi agen perdamaian yang
memiliki sikap kritis, hati yang berbela rasa
dan tangan yang selalu berkarya.
*) Kepala Sekolah SMA Tumbuh/Dosen FH
Universitas Janabadra
4. 4 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
Terenggutnya Pendidikan
Keluarga
Oleh: Nur Sholikhin*
SEKOLAH bukanlah pengganti orangtua,
melainkan pembantu mereka. Ini berarti
bahwa sekolah harus menentukan kebijakan
bertindak setelah mendengarkan orangtua,
Pater Drost (1998).
Kenyataan berbeda, itulah yang kita
temui dalam dunia pendidikan. Lembaga
pendidikan formal dalam hal ini adalah se-
kolah, saat ini mulai merenggut pendidikan
keluarga. Keluarga yang pertama mengajar-
kan anak pengetahuan tentang Tuhannya,
bagaimana cara berhubungan dengan orang
lain, kewajiban yang harus dilaksanakan dan
larangan yang harus dijauhi. Kini mereka
direnggut haknya oleh sekolah.
Sekolah seolah-olah sanggup untuk me
wujudkan manusia yang seutuhnya. Melalui
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kita
dapat mengetahui betapa banyaknya tanggu-
ng jawab sekolah dalam mendidik anak. Mu-
lai dari hal agama, kepribadian, kemandirian
hingga menjadi orang yang berkontribusi di
dalam masyarakat.
Tanggung jawab untuk mendidik anak
secara penuh pada dasarnya adalah orangtua.
Mulai ia bisa menghirup nafas hingga dapat
berkontribusidimasyarakat.Orangtuamenjadi
pendidik utama harus yang diutamakan. Men-
jadi ironis, ketika orangtua dengan sepenuhnya
menyerahkan pendidikan ke sekolah. Mem-
berikan tanggung jawab yang penuh terhadap
sekolah untuk mendidik anak-anaknya.
Paradigma seperti itu harus sedikit demi
sedikit harus dihilangkan. Sekolah pada ha-
kikatnya tidak memberikan kontribusi yang
signifikan dalam mendidik anak. Mendidik
adalah proses memberikan ajaran kepada
anak. Memberikan teladan, membimbing,
dan membiasakan anak untuk berbuat dalam
kegiatan sehari-hari. Hal inilah yang menye-
babkan pendidikan keluarga amat penting
dalam perkembangan anak. Anak lebih ban-
yak hidup bersama orangtua dari pada gu-
runya. Guru dalam sekolah hanya bisa mem-
berikan teori-teori, namun orangtualah yang
harus mempraktikkan segala hal pendidikan
kepada anak.
Keluarga dan Perdamaian
Dalam era saat ini, seolah-olah orangtua
sudah memasrahkan kewajibannya kepada
sekolah. Sehingga ketika anaknya melanggar
etika, orangtua tak segan memarahi dan ber-
kata “Apakah itu yang diajari di sekolah?” Ini
membuktikan bahwa orangtua tidak peduli
lagi dengan pendidikan anaknya.
Kebanyakan orangtua mengharapkan,
jika anaknya disekolahkan mereka akan
menjadi manusia yang beretika, bermoral,
memiliki ilmu pengetahuan dan mempunyai
wawasan yang banyak terkait keagamaan. Hal
ini banyak terjadi di masyarakat pedesaan.
Orangtua pada sibuk dengan kerjaan masing-
masing. Sehingga ikhwal mendidik anaknya
5. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 5
Dialektika
banyak yang terlupakan. Orangtua hanya bisa
memarahi anaknya jika tidak tepat dengan
apa yang sesuai dengan keinginannya.
Apa yang menjadi kebutuhan di sekolah
dan apa yang menjadi perintah di sekolah
yang diperuntukkan kepada anaknya akan
mereka penuhi walaupun tidak tahu itu ke-
butuhan anaknya ataupun tidak. Realitas ini
sungguh ironi jika terus menerus dibiarkan.
Pendidikan anak akan terombang-amb-
ing, tak jelas siapa yang mendidik. Sekolah
pada hakikatnya hanyalah pembantu, jika
orangtua menyerahkan ikhwal pendidikan
secara penuh terhadap sekolah ini akan
memperburuk pribadi anak.
Anak hanya mengikuti sana-sini, tidak
tahu kepada siapa mereka dididik. Sekolah
lebih banyak mengajar daripada mendidik.
Mengajar berarti mentransfer ilmu penge-
tahuan dan keterampilan tertentu. Masalah
penanaman moral dan karakter, sekolah ti-
dak mempunyai peranan penting. Karena
kegiatan di sekolah lebih dominan penana-
man kecerdasan kognitif, sedangkan kecer-
dasan afektif dan psikomotorik lebih banyak
dipengaruhi oleh orangtua. Oleh karenanya,
orangtua sangat berperan penting bagi pen-
didikan anaknya. Ialah yang menjadi tulang
punggung utama bagi pendidikan anaknya.
Kalau ingin menjadikan anakmu sukses, di-
diklah terlebih.dahulu dengan baik.
Pendidikan keluarga merupakan awal
dari pencipta perdamaian. Dari sini seorang
anak akan dikasih pelajaran kasih sayang.
Bagaimana cara menghormati, menghargai
dan menyayangi orang lain. Orangtua dalam
mengajar pasti didasari dengan rasa keikh-
lasan dan kasih sayang. Ia ikhlas mendidik
anaknya, tanpa mengharapkan imbalan.
Berbeda dengan sekolah, kadang seorang
guru mengajar karena tuntutan gaji dan ke-
butuhan. Sehingga ia mendidik kadang ha-
nya seperlunya, dan tidak memperhatikan
siswanya dengan penuh kejelian. Apalagi
seorang guru harus memenuhi administrasi
yang teramat banyak, hal ini menyebabkan ia
tidak memperhatikan siswanya.
Orangtua harus mulai menyadari bahwa
ia adalah pendidik sejati. Orangtua sebagai
agen utama dalam perannya sebagai pendidik
manusia, bukan mesin. Tetapi, orangtua juga
harusmembukapikiran,dalammendidikanak
harus menjunjung rasa saling menghormati
bagi sesama manusia. Ketika ia beragama
Islam, orangtua harus menanamkan rasa kasih
sayang kepada sesama pemeluk agama yang
lain. Begitu pun sebaliknya.
*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Pendi-
dikan Bahasa Arab 2011/Pemimpin Umum
LPM Paradigma
6. 6 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
BUKU “Al Islam Wan Nashraniyah Fi Indo-
nesia” merupakan kumpulan tulisan yang
menangkap permasalahan intoleransi di In-
donesia, terutama tentang konfrontasi dak-
wah Kristen yang secara serampangan, yang
ditulis Muhammad Natsir. Buku ini sebagian
besar menanggapi masalah-masalah aktual di
zamannya dengan cara pandang yang intelek-
tual. Pada titik inilah, Natsir menggabungkan
antara aktivisme dan intelektualisme dengan
karya kompilasinya
Prolog buku ini membahas tentang
peristiwa penindasan manusia atas manusia
lainnya yang terjadi di antara umat Kristen
di tanah Eropa, tepat untuk menggambarkan
kondisi revolusi Prancis dengan Katholik
dengan peran pendeta-pendeta ortodoksnya.
Revolusi ini mengakibatkan resistensi di
kalangan kelompok Protestan. Sehingga
tak bisa dipungkiri sentimen anti-Katholik
semakin menyebar. Akibatnya, gereja Katholik
dirobohkan dan tanahnya dijual secara
sepihak untuk memperbaiki keuangan negara.
Selain itu, pendeta-pendetanya dipaksa untuk
beristri, tanpa mengindahkan ajarannya.
Keyakinan terhadap agama semakin han-
cur, ilmu pengetahuan semakin berkembang.
Sebuah alasan besar tentang tumbuhnya ma-
terialisme barat yang semakin tidak mempe-
dulikan hak-hak bangsa lain. Semakin ber-
lomba memperbanyak senjata dan meriam,
Oleh: Betriq Kindy Arrazy
untuk kemudian mencari kelompok yang
dianggapnya berbahaya. Hingga Perang Du-
nia meletus dan memakan miliaran jiwa yang
tidak berdosa akibat perilaku yang rakus de-
ngan kekuasaan.
Situasi ini semakin diperjelas oleh per-
nyataan Dr. Boetzelaer yang mendongeng
tentang agama Islam yang semakin kacau
akibat Perang Dunia. Atas tindakan tersebut,
Natsir membalasnya dengan menarik kon-
teks maju-mundurnya sebuah agama adalah
dilihat dari jumlah jamaah gereja yang sema-
kin menurun akibat Perang Dunia. Sebalik-
nya, masjid-masjid Islam semakin dipenuhi
jamaahnya. Sekaligus menegaskan, Islam
melarang sifat-sifat maksiat dan melawan syi-
ar manusia saling membunuh satu sama lain.
Kompromi Natsir Melawan Kristenisasi
Titik klimaks pemikiran politik Islam
Muhammad Natsir dimulai sejak menebalkan
sikap oposannya yang semakin jelas terlihat,
kala Natsir lebih memilih berpisah di jajaran
Kabinet bersama Soekarno. Kemudian berlan-
jut mendirikan Majalah Pembela Islam yang
secara terang-terangan melawan otoritarian-
isme terhadap Islam dengan tulisannya yang
pedas, dengan ciri khas memakai nama sa-
maran. Hingga tidak lama kemudian Soekar-
no yang masih setia dengan ide Nasakomnya
tumbang akibat revolusi militer. Saat transisi
Benteng Terakhir Islam
Indonesia yang Toleran
7. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 7
Refleksi
menuju pemerintah orde baru, sekaligus jalan
lapang melakukan reset terhadap kelompok
G30S sampai ke akar-akarnya. Menjadikan
masyarakat Indonesia mengalami kemiskinan
dan kekosongan religius, akibat traumatis ber-
kepanjangan tentang pembantaian manusia
atas manusia lainnya. Faktor ini yang meng-
akibatkan mulusnya ekspansi agama Kristen
dengan missionarisnya. Mulai dari bagi-bagi
beras gratis, penawaran pekerjaan, perbaikan
rumah, pelayanan kesehatan, kursus latihan
gratis dan kegiatan lainnya.
Natsir protes kepada pemerintah tentang
maraknya upaya Kristenisasi atau de-Islam-
isir, yang mengakibatkan berpuluh-puluh
ribu umat Islam berpindah agama secara
tidak wajar dan eksesif. Natsir berpendapat
jiwa Kristus yang begitu murni membawa
kasih jangan dipakai untuk tujuan yang tidak
murni dan ikhlas. Maka Kristenisasi berubah
menjadi peaceful aggression, suatu penye-
rangan bersemboyan damai. Intervensi keya-
kinan inilah yang kemudian menurut Natsir
tidak sesuai dengan prinsip sila pertama pada
Pancasila sebagai platform bangsa.
Natsir tidak berhenti mengkritik pastur
Kristen ortodoks dengan misi besar yang di-
embannya, begitu juga umat Muslim yang
memilih jalan kekerasan untuk menghenti-
kan kelompok misionaris. Pemerintah pusat
hingga daerah dibuat tidak berkutik dengan
kekacauan ini.
Kondisi semakin genting, Natsir menga-
jukan tiga saran untuk tiga pihak. Pertama,
Golongan Kristen tanpa mengurangi hak
dakwah mereka untuk “membawa perkabar-
an injil sampai ke ujung dunia” supaya me-
nahan diri dari maksud dan tujuannya dari
program Kristenisasi itu.
Kedua, Orang Islam pun harus dapat me-
nahan diri, jangan cepat-cepat untuk melaku-
kan tindakan fisik. Tapi ini hanya bisa, apa-
bila orang Kristen pun dapat menahan diri.
Ketiga, Sementara itu pun pemerintah ha-
rus bertindak cepat dalam hal pihak Kristen
telah tidak mematuhi larangan-larangan pe-
merintah, agar pada orang Islam tidak timbul
perasaan tidak berdaya, seolah-olah mereka
tidak mendapat perlindungan dan jaminan
hukum terhadap rong-rongan pihak lain.
Modus Vivendi disarankannya untuk
perbaikan moral rakyat Indonesia dan kemu-
dian menjadi upaya konsolidasi Islam-Kris-
ten untuk mendakwahkan masing-masing
agamanya secara etis ke masyarakat yang
masih dihinggapi paham atheisme dan ani-
misme.
Terlepas dari itu semua, titik tolak dari
masalah penyebaran agama kita masing-
masing di Indonesia ini, jelaskah kedudukan
kita umat Islam di satu pihak dan umat Kris-
ten di pihak lain. Kedua pihak sama-sama ya-
kin, bahwa tewas dalam melakukan tugas suci
masing-masing adalah menjadi martir atau
syahid, dan ganjarannya adalah surga. Atas
kondisi tersebut Muhammad Natsir berpidato:
“Kalau ini titik tolak kita berfikir, maka
sebenarnya antara kedua pihak (antara umat
Islam dan Kristen) sudah selesai. Apalagi ka-
lau kedua-duanya sudah sama-sama rela
berlomba-lomba masuk surga melalui syahid.
Tapi masalahnya bukan demikian, bagaimana
nasib negara kita ini. Negara Republik Indone-
sia yang kita proklamirkan bersama dan kita
cintai ini, kalau sudah begitu!”
Buku Islam dan Kristen di Indonesia
8. 8 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
Politik Keberagaman:
Upaya Resolusi Konflik Agama di Indonesia
Oleh: Laelatul Badriyah
INDONESIA dikaruniai kekayaan kebera-
gaman budaya, sosial dan agama oleh Sang
Pencipta. Keberagaman sebagai sebuah ke-
niscayaan menjadi sesuatu yang harus kita
jaga dan pelihara. Namun, perbedaan inter-
pretasi dalam Islam memicu konflik berke-
panjangan di kalangan masyarakat Islam.
Belajar pada kasus kekerasan yang menimpa
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya
Qadian, Munawar dalam bukunya Candy’s
Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama
di Indonesia menawarkan sebuah konsep
politik kerukunan umat beragama. Selain
itu, Munawar pun ingin melihat bagaima-
na pengaruh fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) terhadap lahirnya kekerasan sistemik
pada tingkat grass root.
Buku ini lahir dari hasil penelitian kajian
pustaka terhadap pelbagai upaya yang telah
dilakukan seiring upaya resolutif untuk
menurunkan ketegangan masyarakat Islam
akibat kehadiran JAI. Munawar memaparkan
secara kronologis sejarah perjalanan dan
perkembangan Ahmadiyah sejak awal mula
masuknya ke Indonesia pada tahun 1925
sampai sekarang. Dalam kurun waktu 85
tahun konfigurasi konflik terus bergulir.
Menurut Munawar, ada tiga pola konflik
yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Pertama
singular violence. Konflik yang terjadi pada
awal mula kedatangan Ahmadiyah sampai
pada tahun 1945. Ini disebabkan karena Ah-
madiyah mampu menarik simpatisan para
elit Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto,
Djoyosugito, dan beberapa tokoh intelektual
Muhammadiyah termasuk Irfan Dahlan put-
ra KH Ahmad Dahlan melalui tafsir dan para
mubaligh yang rasional. Masuknya elit pun-
cak dari organisasi masyarakat menyebabkan
lahirnya perpecahan dalam tubuh organisasi
tertentu. Semakin gencarnya elit organisasi
yang menjadi simpatisan Ahmadiyah menye-
babkan terbukanya konflik organisasional de-
ngan Ahmadiyah. Konflik semakin menguat
Judul : Candy’s Bowl: Politik Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia
Penulis : Munawar Ahmad
Penerbit : Suka Press, Yogyakarta
Cetakan : 1, Desember 2013
Tebal : 352 halaman
9. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 9
Pustaka
setelah ada kekuatan dari ulama senior untuk
melakukan serangan terhadap Ahmadiyah
seperti dari Dr. Haji Abdul Karim Amrullah
dan Rasyid Ridha dari Mesir. Dengan kata
lain konflik ini lahir karena ketakutan para
elit agama terhadap sikap ekspansif dari Ah-
madiyah merebut umat yang mereka miliki.
Kedua, collective violence. Konflik
pasca 1970 ini dipicu oleh keterlibatan
MUI pada tahun 1980 yang mengeluarkan
fatwa bahwa Ahmadiyah adalah organisasi
di luar Islam dan sesat. Kemudian fatwa
ini dikukuhkan kembali pada tahun 2005
karena Ahmadiyah dianggap semakin
meresahkan masyarakat. “Keputusan Fatwa
MUI Nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005
Tentang Aliran Ahmadiyah Sesat.” Fatwa ini
yang kemudian menjadi legitimasi segala
bentuk tindakan diskriminasi dan intimidasi
terhadap Ahmadiyah. Tahun 2005, tercatat
sebanyak 12 kekerasan yang menimpa jemaat
Ahmadiyah di pelbagai daerah.
Ketiga, structural violence. Gerakan keke-
rasan struktural bagi Ahmadiyah terjadi sejak
dikeluarkannya SKB 3 Menteri tentang pela-
rangan Ahmadiyah di Indonesia. Tercatat 15
kekerasan menimpa Jemaat Ahmadiyah pada
tahun 2010-2011 (hlm 261-286).
Melihat keberpihakan pemerintah, Mu-
nawar menegaskan bahwa sebenarnya nega-
ra tidak diperkenankan untuk memihak ni-
lai-nilai suatu agama, sehingga setiap agama
didorong untuk tumbuh dan berkembang
sesuai dengan ajaran agama masing-masing,
termasuk tumbuh dan berkembangnya orga-
nisasi Ahmadiyah (hlm 293).
Politik keberagaman merupakan partisi-
pasi pemerintah dalam mengembangkan po-
litik berbasis pada kebutuhan dan keinginan
dari warganya. Politik ini merupakan mani-
festasi lain semangat demokrasi. Pemerintah
seharusnya menjadi pemelihara dan penye-
dia tatanan masyarakat yang kuat berbasis
pada harmoni. Serta memelihara keragaman
ide dan ekspresi masyarakat dalam kehidup-
an berbangsa dan bernegara.
Beberapa negara maju telah melaku-
kan eksperimen bagaimana membuat mo-
del-model kerukanan beragama, diantarnya
Sekularisme, Melting Pot, Salad Bowl, dan
Agonisme. Agonisme atau candy’s bowl se-
bagai salah satu model kehidupan beragama
yang ditawarkan oleh Munawar merupakan
teori politik yang mengembangkan pelbagai
potensi positif yang mungkin ada di dalam
suatu konflik. Agonisme lebih berupaya se-
bagai kanalisasi atas pelbagai potensi konflik
yang positif membawa pada keharmonisan.
Sehingga melahirkan pemahaman yang se-
imbang terhadap pelbagai potensi masyara-
kat dan menempatkan mereka pada keadaan
yang selalu memiliki nilai-nilai positif ber-
sanding dengan potensi destruktif.
Secara ilustrasi politik agonisme
menghendaki kehidupan sosial yang plural
seperti wadah permen (candy’s bowl) di
mana semua warna permen tetap eksis, tetapi
mereka ada dalam ruang yang melindungi
dan menjamin kehidupan merdeka dari
seluruh elemen tanpa direduksi oleh nilai-
nilai ideologis di luar dirinya.
Terakhir, di luar banyaknya kesalahan
teknis penulisan, buku ini akan sangat ber-
manfaat untuk para pengamat, mahasiswa
atau pemerhati dispute resolution, juga bagi
para pemangku kebijakan negara ini.
10. 10 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
Mengubah Stereotip
tentang Perbedaan
Oleh: Vera Yunita Sihombing*
SELAMA mengikuti acara Peace Camp yang
diselenggarakan pada 14 - 16 November 2014
di Madura sangat menyenangkan bagi saya.
Sebenarnya, ada rasa ragu untuk mengikuti
acara tersebut karena bukan hanya umat Kris-
tiani saja yang ikut, tetapi umat Muslim juga.
Saya takut akan terjadi suatu hal yang membu-
at adanya bentrokan antara umat Kristiani dan
Muslim. Tetapi saya tetap memutuskan ikut.
Ketika acara sudah di mulai, saya berkenalan
dengan teman yang berasal dari umat Muslim.
Memang selama kuliah di Trunojoyo Madura
saya banyak teman yang Muslim, akan tetapi
dalam acara ini saya merasa canggung untuk
berkomunikasi dengan mereka.
Selain dari UTM, peserta yang hadir
berasal dari UNAIR, UNMER, UMM, dan
sebagainya. Etnis yang ada juga beragam ya-
itu dari Batak, China, Jawa, Ambon, Dayak,
hingga Madura. Selama acara tersebut saya
dan teman-teman bersama-sama belajar ten-
tang materi 12 nilai perdamaian, membedah
kesamaan isi Alkitab dan Al Quran, bagaima-
na menerima diri sendiri, serta bagaimana
cara menghilangkan prasangka buruk terha-
dap umat Muslim begitu juga sebaliknya.
Setiap sesi selalu ada permainan dan
hikmah yang saya peroleh, mengajarkan kita
untuk tidak menggunakan kekerasan dalam
mencapai suatu tujuan. Kekerasan membuat
kita terluka, bahkan merugikan orang lain
juga. Lebih baik kita mengambil jalan tengah
yaitu dengan cara damai agar permasalahan
dapat terselesaikan. Di acara Peace Camp ter-
sebut perlahan-lahan Tuhan memberi saya
petunjuk agar stereotip saya terhadap umat
Muslim bukan lagi prasangka buruk.
Sesi morning devotion dan sharing ma-
lam, membantu saya untuk lebih lagi mema-
hami bagaimana umat Muslim itu dan saling
berbagi pengalaman pribadi baik suka mau-
pun duka, begitu juga sebaliknya. Ketika se-
mua terungkapkan, maka umat Kristiani dan
umat Muslim saling meminta maaf agar tidak
ada lagi prasangka buruk. Karena tidak baik
memperdebatkan agama masing-masing. Se-
tiap pemeluk agama apapun akan berusaha
menganggap agamanya yang paling benar
dan menempatkannya secara eksklusif. Jadi,
kita juga harus menghormati agama lain. Per-
bedaan itu ada untuk dihormati dan setiap
perbedaan itu unik.
Sesi yang paling sukai adalah saat me-
nyampaikan kesan dan pesan untuk teman
dan juga untuk acara Peace Camp. Acara ini
membuat iman saya lebih bertumbuh dan
berkembang serta menambah wawasan saya.
Mari menjalin persaudaraan yang lebih erat
walaupun kita berbeda. Semoga setelah ini,
teman-teman bisa membangun perdamaian
antarsesama. Terima kasih untuk semua yang
ikut berpartisipasi dalam acara ini. Jika ada
tutur kata yang salah saya mohon maaf.
*) Mahasiswi Universitas Trunojoyo Madu-
ra, FISIB, Prodi Ilmu Komunikasi 2013
11. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 11
Pengalaman
SAYA mengetahui informasi tentang Peace
Camp melalui poster yang tertempel di kam-
pus. Saya langsung tertarik dan menindak-
lanjuti dengan membuat sebuah esai tentang
refleksi kegelisahan saya tentang permasalah-
an peran pemuda dalam keragaman agama di
Indonesia. Tidak disangka, nama saya lolos
seleksi sebagai salah satu peserta di kegiatan
yang diselenggarakan oleh Young Interfaith
Peacemaker Community (YIPC).
Beberapa teman menyarankan untuk ti-
dak ikut, alasannya karena berpotensi ada pen-
dangkalan iman. Namun, dosen dan orangtua
yang sempat saya mintakan pertimbangan
mengizinkan saya untuk mengikutinya.
Kegiatan ini secara keseluruhan meng-
ajarkan hal tentang 12 nilai perdamaian.
Sebelumnya tidak pernah aku dapatkan,
walaupun ada beberapa nilai yang sudah di-
ajarkan di rumah oleh orangtua. Dari situlah
saya mulai berkenalan dengan teman teman
baru, sekaligus mencoba menghafal karakter
masing-masing.
Di pagi hari, sebelum sarapan kami
belajar mengkaji kitab Taurat, Injil dan
Al-Quran tentang perdamaian diri dan
perdamaian dengan sesama. Kami juga
diberi script tentang esensi ajaran Islam dan
Kristen. Jujur saja, selama pembahasan 12
nilai perdamaian, banyak sekali prasangka
dalam diri saya. Mulai dari ormas yang
”radikal”, label kafir pada orang Nasrani. Baru
tersadarkan, di luar sana isu agama masih
sangat sensitif dan berbeda dari apa yang saya
pikirkan. Di keluargaku, agama adalah hal
yang wajar dan kami bisa mendiskusikannya
setiap saat tanpa menimbulkan konflik.
Selama 3 hari 2 malam yang paling berbe-
kas adalah ketika sesi makan dan materi. Disi-
tulah saya pertama kali melihat teman-teman
Muslim dan Nasrani memimpin doa secara
bergantian dengan cara masing-masing. Saat
itulah saya merasakan kenyamanan.
Pada sesi malam, hal yang menyenangkan
kami bisa berdiskusi tentang pengalaman
spiritual kami masing-masing, dengan
didampingi oleh fasilitator. Kebetulan
kelompokku dibimbing oleh kak Artha yang
orangnyabaikdanbanyakmemberimasukan.
Di saat itulah saya berani membuka siapa
diriku kepada teman-temanku dan mereka
aku apa adanya. Di sisi lain, saya merasa
imanku semakin kuat dan damai.
Menjelang perpisahan, para peserta sa-
ling memaafkan, sekaligus memiliki tang-
gung jawab untuk menyebarkan 12 nilai per-
damaian di masing-masing regional. Setelah
itu, saya mendapat progres baru yaitu 1 hari 1
juz dan membaca Taurat serta Injil sebanyak
1 surat dimulai dari kejadian. Pada akhirnya
saya bisa berbagi kepada sesama, serta meya-
kini apa yang saya lakukan adalah nilai keba-
ikan di mata Tuhanku.
*) Mahasiswa Universitas Sebelas Maret
Solo, Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Prodi Pendidikan Sosiologi An-
tropologi 2012
Sebuah Penghormatan
dalam Doa
Oleh: Febri Yudho Maharantya*
12. 12 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
Oleh: Laelatul Badriyah
YIPC Semarakkan Hari
Perdamaian Internasional
DI tengah merebaknya kasus intole-
ransi di Yogyakarta, YIPC, salah satu
komunitas yang tergabung dalam Ali-
ansi Pemuda dan Mahasiswa Cinta
Damai (APMCD) memperingati Hari
Perdamaian Internasional yang jatuh
pada tanggal 21 September lalu di ka-
wasan titik nol kilometer Yogyakarta.
APMCD sendiri merupakan
kumpulan dari komunitas Simpul
Iman Community (SIM-C), Jaringan
Gusdurian, Senat Mahasiswa (Sema)
Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalija-
ga, Komisi Pemuda Gereja Kristen Jawa (GKJ)
Gondokusuman, dan Omah Pirukun.
Peserta aksi melakukan beragam cara un-
tuk mempromosikan perdamaian. Diantara-
nya dengan berorasi, membaca puisi, menga-
jak masyarakat sekitar untuk membubuhkan
tanda tangan, membagikan stiker perdamai-
an, dan mempromosikan slogan-slogan per-
damaian di kawasan lampu merah.
Betriq Kindy Arrazy, sebagai Koordina-
tor Umum mengatakan bahwa tujuan dari
acara ini adalah ingin menyampaikan kepada
masyarakat tentang pentingnya situasi dan
kondisi damai yang dapat menciptakan se-
buah tatanan sosial yang adil, makmur, dan
sejahtera. “Saya berharap perdamaian inter-
nasional ini dapat memberikan kesadaran
kolektif, membumi dan kontributif. Semoga
masyarakat dapat mengaplikasikan nilai-nilai
perdamaian seperti menghilangkan prasang-
ka, bersikap jujur dan terbuka,” ujarnya.
Selain itu, Momentum ini pun sebagai
ajang untuk mengingat bahwa Indonesia ada
karena keberagaman. “Keragaman ada untuk
menciptakan perdamaian,” papar Tata Khoir-
iyah, aktivis Jaringan Gusdurian.
Saskya, anggota YIPC Semarang menga-
ku sangat senang bisa ikut mempromosikan
perdamaian di kota ini. “Damai adalah hak
setiap orang,” jelasnya sembari tersenyum.
“Di samping mempromosikan hari per-
damaian internasional, Aksi Damai ini pun
secara tidak langsung ikut mempromosikan
kembali slogan Yogyakarta berhati nyaman di
saat banyaknya kasus intoleransi yang terjadi
di masyarakat,” ungkap Riston, pegiat YIPC
Yogyakarta.
Peserta aksi APMCD melakukan orasi damai di titik nol
kilometer.
13. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 13
Dialog
Pemuda Bersama Mengawal
Perdamaian
Oleh: Laelatul Badriyah
BALAI Pertemuan Gereja Kristen Jawa (GKJ)
Gondokusuman dipenuhi puluhan maha-
siswa pada bulan Oktober lalu. Bertepatan
dengan hari Sumpah Pemuda, Aliansi Pe-
muda dan Mahasiswa Cinta Damai (AMP-
CD) bekerja sama dengan Lembaga Analisis
Wacana Keislaman dan Nasionalisme (LA-
WAN) menggelar acara Jagongan Perdamai-
an. Acara ini bertajuk “Saatnya Kaum Muda
Bersatu Menjaga Perdamaian Indonesia.”
(28/10/2014)
Tujuan diselenggarakannya acara ini ada-
lah mengajak komunitas-komunitas pemuda
di Yogyakarta untuk peduli terhadap perda-
maian. “Kami ingin mengajak teman-teman
pemuda duduk bersama dan membincang-
kan persoalan perdamaian. Karena masih
banyak pemuda yang acuh terhadap isu ini,”
terang Kindy, selaku Ketua APMCD kepada
Manifesto.
Dalam acara ini, Alissa Wahid ha-
dir sebagai pembicara. Berulang kali ia
menyampaikan bahwa pemuda adalah
simbol perlawanan. Pemuda melawan
kemapanan. “Tidak ada perjuang-
an yang dimulai dari orang tua, anak
muda harus berani,” jelasnya.
Selain itu, putri Gus Dur ini pun
menyampaikan pentingnya menegak-
kan keadilan di tengah masyarakat.
Tanpa adanya keadilan, menurutnya
perdamaian hanya menjadi ilusi.
Betriq Kindy Arrazy, pembicara yang me-
wakili kaum pemuda menyampaikan bahwa
para proklamator dulu adalah para pemuda
yang pada masanya merasa tidak nyaman dan
memiliki pemikiran yang progresif. “Pemuda
memegang peranan sentral untuk mema-
jukan negara ini,” ujar lelaki berperawakan
jangkung ini.
Sementara itu, Pendeta Indrianto menilai
bahwa masih banyak masyarakat dan bebera-
pa lembaga keagamaan yang menolak untuk
ikut bergabung mewujudkan perdamaian.
Keadaan ini harus kita lawan bersama. “Wa-
laupun perlawanan tidak harus dengan keke-
rasan,” kata Pendeta berkacamata ini.
Ia pun mengkritik keadaan masyarakat
Yogyakarta sudah mulai kehilangan kearifan
lokal seperti gotong royong dan sikap ramah
tamah.
Para pembicara menyampaikan materi tentang reaktulisa-
si peran pemuda.
14. 14 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
ALIANSI Nasional Bhineka Tunggal
Ika (ANBTI) DIY mengadakan ke-
giatan bertema “Pendokumentasian,
Penelitian, dan Penulisan Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan di Wila-
yah Gunung Kidul”. Kegiatan ini di-
selenggarakan pada 10-12 November
2014, di Pondok Shakuntala, Gunung
Kidul. Turut mengundang tokoh aga-
ma, pemuda, dan aktivis.
Dwi Rusjiyati, Koordinator ANB-
TI DIY, sekaligus penyelenggara kegiatan me-
ngatakan situasi kebebasan beragama di DIY
dalam kurun waktu 2000-2014 mengalami
peningkatan. Selain itu, kasus intoleransi
yang menimpa kaum minoritas belum memi-
liki kesadaran untuk mendokumentasikan,
karena kapasitas SDM yang belum mumpuni.
Ini yang menurutnya menghambat proses
advokasi. “Saya harapkan seluruh peserta
untuk berjejaring, sekaligus membentuk tim
pendokementasian di Gunung Kidul,” harap
wanita yang kerap dipanggil Agnes ini.
Dalam peristiwa konflik terbangun relasi
antara korban dan pelaku memiliki kecende-
rungan yang dekat sebagai keluarga, teman
dan lain sebagainya. Faktor ini yang kemudian
semakin mempermudah untuk mengidenti-
fikasi akar konflik di sekitar masyarakat. “Se-
tiap kejadian perlu untuk didokumentasikan
untuk merawat ingatan dan mempermudah
proses penyelidikan,” ujar Samsul Alam Agus.
Menurut Samsul Alam Agus yang aktif
di Sobat Kebebasan Beragama dan Berkeya-
kinan (KBB) Jakarta, pelaku atau aktor kon-
flik terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, aktor
intelektual yang memiliki peran memikirkan
strategi konfontasi. Kedua, aktor pemodal
yang memiliki peran sebagai penyokong lo-
gistik dalam bentuk materi dan barang. Ke-
tiga, aktor lapangan yang memiliki peran
sebagai eksekutor. “Resiko pemantauan oleh
pembela HAM ada diskriminasi sampai pem-
bunuhan,” terang Alam.
Sumiati, salah seorang peserta dari Forum
Komunikasi Difabel Gunung Kidul (FKDG),
menerangkan, pada tahun 2013 Gunung Ki-
dul diresmikan sebagai kota inklusi. Kriteria
disebut kota inklusi meliputi persamaan hak,
fasilitas, dan pelayanan penunjang. Namun,
menurutnya sampai kini masih terjadi diskri-
minasi, terutama pelecehan perempuan difa-
bel. “Saya ingin melakukan upaya pemantauan
isu-isu difabel sebagai warga negara yang aktif
dan partisipatif,” harap Sumiati di akhir acara.
Samsul Alam Agus berbicara tentang pengalamannya
mengadvokasi kasus intoleransi.
Membangun Kesadaran Pentingnya
Mendokumentasian Konflik
Oleh: Betriq Kindy Arrazy
15. MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014 15
Perbincangan
Oleh: Betriq Kindy Arrazy
PRODI Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Indonesia (UII) menerbitkan, sekaligus
mensosialisasikan modul tentang promosi
perdamaian dan transformasi konflik yang
diperuntukan pemuda. Modul ini merupakan
bagian dari proyek “Young Leader Cross-religi-
on Joint Council on Promoting Peace and Conf-
lict Transformation throught Local Wisdom an
ICT” yang didukung langsung oleh Berghof
Foundation, Berlin, Jerman. Kegiatan ini ber-
langsung di Hotel Savitta Inn, Sleman, Jumat
(28/11/2014).
Kemudian dilanjutkan dengan diskusi
dengan format focus group discusion (FGD).
Diskusi ini diarahkan langsung oleh Zaki
Habibi selaku moderator. Dalam pemaparan-
nya, Zaki menjelaskan tujuan diskusi ini ada-
lah untuk mempertemukan organisasi dan
komunitas pemuda yang memiliki konsen-
trasi di bidang lintas-iman dan kearifan lokal.
Selain itu, ia berharap agar organisasi dan ko-
munitas yang diundang untuk membangun
potensi untuk mewujudkan perdamaian di
masing-masing daerahnya.
Memasuki sesi diskusi yang diawali oleh
Steve Gaspersz, salah seorang peneliti yang tu-
rut menghimpun data dan temuan dalam mo-
dul tersebut, menyampaikan tentang dampak
konflik di Ambon. Menurut Gaspersz yang
juga berasal Ambon, setelah konflik Ambon
terjadi, para veteran konflik berbondong-bon-
dong melakukan transmigrasi ke kota Jakarta
sebagai preman untuk kepentingan pengusaha
dan partai politik tertentu. Selain itu, pemuda
yang melakukan provokator perdamaian dibu-
nuh. “Di Ambon tidak ada ruang publik yang
mengakomodasi energi pemuda di bidang seni
dan kreativitas,” ujar pria yang masih aktif se-
bagai mahasiswa ICRS tersebut.
Salah seorang peserta berasal dari Ku-
dus, Sugi Hariyadi memberikan komentar
tentang kondisi masyarakat Indonesia yang
membutuhkan rasa aman. Sela-
in itu, Sugi mengibaratkan agama
adalah api, bila digunakan secara
positif akan menjadi obor yang
menerangi, namun bila digunakan
secara negatif akan digunakan un-
tuk bakar-bakaran. “Konflik bisa
diperjuangkan melalui jalur politik
tanpa mempolitisir. Artinya jangan
mendramatisasi politik konflik,”
usulnya.
Optimalisasi Peran Pemuda
dalam Transformasi Konflik
Para peserta yang sebagian besar pemuda tampak antusias
mengikuti jalannya focus group discusion di Hotel Savita Inn.
16. 16 MANIFESTO | EDISI III | NOVEMBER 2014
Pendapat
Celoteh
Konsep pendidikan perdamaian, dua terma
yang sepertinya dihadapkan demi goal sebuah
perdamaian. Apa setiap peserta didik saat ini
dianggap gagal membawa kedamaian? Sekali-
gus mendapatkan pelajaran hitam-putih?
Idealnya, pendidikan tidak hanya sebatas
mengampanyekan/mengajak pada perda-
maian. Namun, mampu membangun situasi
dan kondisi lingkungan sosial yang kondusif
pula demi terwujudnya goal tersebut. Se-
mangatnya haruslah berdasarkan nilai-nilai
humanisme universal. Tidak sebatas pada
toleransi, yang hanya memahami perbedaan
saja. Namun juga menjunjung tinggi nilai-nilai
pluralisme. Apalagi jika dihadapkan oleh ke-
beragaman bangsa dan suku di Indonesia ini.
Agung Hidayat
Ilmu Komunikasi 2011
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Pendidikan saat ini sudah banyak yang mu-
lai menghapus total unsur SARA. Karena jika
hal ini dibiarkan sedikit saja, dampaknya bisa
jadi fatal. Isu SARA adalah persoalan yang
teramat sensitif terpicunya konflik.
Entah di Indonesia sudah ada usaha un-
tuk merealisasikan hal seperti ini di dunia
pendidikan atau belum. Jelas, hal semacam
ini merupakan tanggung jawab bersama. Pan-
casila, serta kalimat yang ada di sesobek kain
di cengkeraman burung garuda itu, bukan-
lah rekayasa atau basa-basi para pendahulu
untuk formalitas belaka. Melainkan menjadi
pegangangan berbangsa untuk menjaga per-
damaian di tengah pluralitas masyarakat.
Mohammad Pandu
Ilmu Al-Quran dan Tafsir Hadis 2012
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
+ Semua yang kita lakukan harus atas
nama agama.
- Termasuk korupsi kitab suci.
+ Penyebutan nama Tuhan: OM = Hindu,
Bapa = Kristen.
- Kalau jadi satu keluarga dong?
+ Presiden itu harus dikritik.
- Kalau tidak bisa ngritik buat presiden
tandingan.
+ Kita harus jadi pemuda antikorupsi.
- Datang saja telat. Itu korupsi waktu.
+ Mahasiswa adalah agent of change
- Tapi kadang mahasiswa adalah agent of
change(ng).