20141001 melawan sifat alami otak (kompas interview dr taruna ikrar)
1. 14 IPTEK u LINGKUNGAN & KESEHATAN KOMPAS, RABU, 1 OKTOBER 2 014
C ATATA N i p te k
Batas Teknologi
Oleh AHMAD ARIF
Gunung Ontake yang berada sekitar 210 kilometer sebelah
barat Tokyo, Jepang, tiba-tiba meletus tanpa ada per-ingatan,
Sabtu (27/9) pagi. Lebih dari 250 pelancong yang
menikmati musim gugur di puncak gunung berketinggian 3.067
meter itu terjebak, 36 orang di antaranya diduga tewas, dan
banyak lagi yang terluka.
Japan Meteorological Agency (JMA), lembaga yang menangani
bencana di Jepang, baru merilis status Level 3, yang artinya tak
boleh mendekati gunung api itu, setelah letusan terjadi. Beberapa
gambar yang diunggah di laman Youtube tak lama usai kejadian
memperlihatkan para pendaki yang panik berlarian diburu
gumpalan awan letusan. Bencana itu, sekali lagi, memperton-tonkan
kecepatan penyebaran informasi berbasis media sosial.
Namun, di sisi lain, hal itu menunjukkan ketidakberdayaan
teknologi peringatan dini Jepang.
Padahal, Jepang dianggap sebagai kiblat sistem peringatan dini
bencana, utamanya terkait gempa, tsunami, dan gunung api.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Surono pun kerap iri dengan pemantauan gunung api
Jepang. ”Indonesia yang memiliki 127 gunung berapi hanya
punya 45 pengamat gunung api. Satu orang harus memantau lima
gunung api. Itu pun kapasitas sumber dayanya terbatas,” kata
Surono dalam beberapa kali kesempatan.
Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Tiap gunung di Jepang
dipantau lima pengamat dan satu di antaranya profesor dari
kampus. Ke-118 gunung api di Jepang telah dihubungkan dengan
kamera sehingga terpantau 24 jam.
Perbedaan mendasar lain, jika gunung api di Indonesia dipadati
rumah warga, kebanyakan zona bahaya gunung api di Jepang
kosong dari hunian. Bangunan yang ada biasanya penginapan
atau kuil sehingga tak harus menghadapi warga yang menolak
diungsikan jika sewaktu-waktu terjadi letusan.
Terus belajar
Berbeda dengan gempa yang masih sulit dideteksi kapan dan
berapa kekuatannya, letusan gunung api dianggap bisa diprediksi
dengan melihat gejala yang muncul dari pergerakan magmanya.
Beberapa gejala awal adalah meningkatnya kegempaan, per-ubahan
tubuh gunung, dan perubahan kimia air kawah—jika
gunungnya memiliki danau kawah.
Namun, gejala-gejala itu tak mesti mendahului tipe letusan
freatik seperti terjadi di Ontake, yaitu semburan uap panas, abu,
dan lontaran batu, tanpa ada lava. ”Apa yang terjadi Sabtu lalu di
luar kemampuan metode kami untuk memprediksinya,” kata
Toshitsugu Fujii, Kepala JMA (www.japantimes.co.jp, 29/9).
Benarkah Ontake meletus tanpa memberi pertanda? Atau
teknologi pemantauan yang ada tidak menjangkaunya?
Seperti dilaporkan The Guardian (28/9), frekuensi gempa di
Ontake sebenarnya terdeteksi meningkat sejak 10 September.
”Saya percaya bahwa semua kejadian alam akan ada tan-da-
tandanya. Peringatan dini amat bergantung pada teknologi,
tetapi juga bergantung pada kecerdasan, kecepatan, dan kebe-ranian
memutuskan,” ucap Surono.
Beberapa dekade terakhir, Jepang sebenarnya sukses menjaga
rekor zero victim (tak ada korban) dari letusan gunung api.
Letusan terakhir yang menimbulkan korban terjadi pada 1991,
saat 43 orang tewas dilanda awan panas Gunung Unzen. Korban
letusan termasuk Katia dan Maurice Krafft, sepasang vulkanolog
dan sineas dokumenter Perancis, serta vulkanolog Amerika yang
juga ahli longsoran gunung api, Harry Glicken.
Kita memang harus rendah hati untuk terus belajar men-cermati
alam. Gunung api terus berevolusi, demikian juga kita,
mesti memperbarui daya untuk hidup bersanding dengannya.
K I L A S I P T E K
Habitat Kedua Badak Jawa Masih Dicari di Banten
Pemerintah masih mencari habitat kedua bagi perlindungan
dan peningkatan populasi fauna terancam punah badak jawa
(Rhinoceros sondaicus). Habitat kedua dinilai mendesak karena
keberadaan satwa bercula satu itu hanya terkonsentrasi (ende-mik)
di Ujung Kulon, Banten. Ada sejumlah kekhawatiran
pemerintah dan kalangan konservasi satwa, di antaranya lokasi
Ujung Kulon yang dikelola Balai Taman Nasional Ujung Kulon
(BTNUK) rawan bencana, seperti letusan Gunung Krakatau
dan tsunami. Ancaman lain adalah wabah penyakit, seperti
terjadi di Malaysia, yang membunuh populasi badak jawa.
”Kami masih mencari habitat kedua yang cocok bagi keberada-an
badak jawa di Indonesia,” kata Kepala BTNUK Moh Haryo-no,
Senin (29/9), di Jakarta. Sesuai kajian umum, ia menyebut
lahan di KPH Cikeusik (Pandeglang, Banten). Sementara Hadi
Alikodra, Guru Besar Ekologi Satwa Liar IPB, merekomendasi-kan
Cagar Alam Cikepuh di Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu
syarat utama habitat adalah ketersediaan pakan alami. (ICH)
Anoa dan Babi Rusa Masih Marak Diburu
Perburuan terhadap satwa endemik di sejumlah kawasan kon-servasi
di Sulawesi Tengah masih marak. Anoa dan babi rusa
adalah dua satwa yang paling sering diburu. Anoa (Bubalus
quarlesi ) biasa disebut kerbau kecil karena bobotnya yang lebih
ringan daripada kerbau pada umumnya, yakni sekitar 300
kilogram, dengan tinggi 75 sentimeter. Di Sulteng, anoa hidup
dan berkembang, antara lain, di Suaka Margasatwa Pindjan
(Tolitoli), Suaka Margasatwa Morowali (Morowali), Suaka Mar-gasatwa
Bakiriang (Banggai), dan Taman Buru Tomata (Mo-rowali
Utara). Adapun babi rusa (Babyrousa babyrussa) me-nyerupai
babi, tetapi memiliki taring pada moncongnya yang
melengkung ke arah mata. Hewan endemik Indonesia itu
memiliki panjang 85-105 sentimeter dengan bobot hingga 100
kilogram. Di Sulteng, babi rusa, antara lain, hidup di Cagar
Alam Pani Bingga dan Cagar Alam Tinombo (Parigi Moutong)
serta Cagar Alam Patipati (Buol). ”Para petugas di lapangan
sering menemukan jerat yang dipasang. Berapa persis anoa dan
babi rusa yang terjerat, kami sulit memantaunya,” kata Kepala
Sub-bagian Tata Usaha Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Sulteng Tasliman, di Palu, Sulteng, Selasa (30/9). ( VDL)
PILKADA TIDAK LANGSUNG
Melawan Sifat Alami Otak
Pengesahan UU Pilkada yang mengembalikan
pemilihan kepala daerah dari dipilih langsung oleh
rakyat menjadi dipilih DPRD menimbulkan kecaman
luas publik. Demokrasi Indonesia pun mundur. Unjuk
rasa dan sejumlah langkah yang digalang berbagai
kalangan mulai mendesak penerbitan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang hingga
mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Kondisi serupa terjadi di
Hongkong. Sejak pekan
lalu, kelompok pro de-mokrasi
berunjuk rasa menun-tut
pemilihan kepala eksekutif
di wilayah semiotonom Tiong-kok
itu dilakukan secara lang-sung
pada 2017. Namun, Komite
Tetap Kongres Rakyat Nasional
Tiongkok (NPC) menetapkan
semua kandidat yang akan di-pilih
warga Hongkong harus di-seleksi
dan disetujui mereka.
Peneliti neurosains di Seko-lah
Kedokteran Universitas Ca-lifornia
Irvine, Amerika Serikat,
Taruna Ikrar, dihubungi dari Ja-karta,
Senin (29/9), mengatakan,
pemilihan secara langsung pa-ling
sesuai dengan sifat alami
otak manusia.
Esensi dari memilih pemim-pin
adalah proses pengambilan
keputusan. Untuk hal pribadi,
setiap manusia ingin jadi penen-tu
kebijakan bagi dirinya, tidak
dalam kendali atau dipaksa
orang lain. Adapun untuk
hal-hal bersifat sosial, semua
orang ingin selalu terlibat atau
dilibatkan dalam pengambilan
keputusan, tak diabaikan.
Keinginan terlibat itu juga
berlaku dalam memilih pemim-pin.
”Secara neurosains, pemi-lihan
langsung adalah yang be-nar
karena semua orang ingin
menyalurkan aspirasinya, bukan
diwakilkan, ” kata Taruna.
Pemilihan yang diwakilkan
berpotensi melahirkan kepe-mimpinan
yang tak nyambung ,
gagal memahami aspirasi rakyat.
Tak ada jaminan wakil akan me-nyalurkan
aspirasi individu-indi-vidu
yang diwakili secara penuh
sehingga potensi terjadi ketidak-selarasan
antara aspirasi dan ke-bijakan
amat tinggi.
Jika pemilihan langsung tak
diwadahi, aspirasi individu jadi
tak tersalurkan. Secara psikolo-gis,
mereka akan mencari apa
yang diinginkan. Jika keinginan
itu tak dikompensasi, mereka
akan melawan atau tak acuh.
Selain itu, aspirasi yang tak
tersalurkan menurunkan pro-duktivitas
warga karena kerja
mereka jadi tak guna langsung
baginya. Tak tercapainya kepu-asan
kerja menimbulkan frus-trasi
yang dalam skala komuni-tas
bisa membahayakan. ”Keru -
suhan 1998 adalah puncak frus-trasi
rakyat selama Orde Baru,”
ujarnya.
Model pemilihan tak lang-sung
bisa diterapkan pada ma-syarakat
yang belum mengalami
pemilihan langsung dan tak per-caya
diri untuk berdemokrasi
langsung. Jika penerapan demo-krasi
langsung menimbulkan
banyak masalah, termasuk biaya
tinggi dan konflik, itu adalah ba-gian
dari proses belajar.
”Otak manusia selalu belajar
dan bekerja maju, berevolusi
mengikuti zaman,” kata Taruna.
Karena itu, Indonesia tak bisa
berjalan mundur kembali ke pil-kada
tak langsung.
Rekrutmen partai
Taufiq Pasiak, Sekretaris Jen-deral
Aliansi masyarakat sipil menggalang dukungan untuk menolak pemilihan umum kepala daerah
(pilkada) melalui DPRD dalam acara hari tanpa kendaraan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat,
Minggu (28/9). Mereka mengumpulkan identitas warga untuk menolak pilkada melalui DPRD yang
dinilai merampas demokrasi.
Masyarakat Neurosains
Indonesia yang juga Kepala Pu-sat
Studi Otak dan Perilaku So-sial
Universitas Sam Ratulangi,
Manado, mengatakan, masalah
mendasar pemilihan pemimpin
bukan pilkada langsung atau tak
langsung karena keduanya ber-sifat
relatif.
Dalam mengambil keputusan
bersifat emosional, lanjut Tau-fiq,
pilihan sebagian masyarakat
di Tanah Air mudah dipenga-ruhi
hal-hal bersifat dramatis,
seperti hal menyedihkan, me-nimbulkan
iba, ataupun simpati.
Padahal, itu bisa menjadi tipuan
atau pencitraan.
Pilihan emosional cenderung
berdasarkan prinsip untung se-mata,
tak mau rugi. Pilihan juga
mudah dipengaruhi pilihan ma-yoritas
lingkungan sekitar.
Dengan karakter masyarakat
seperti itu, kuncinya adalah apa-kah
calon kepala daerah yang
diajukan partai untuk maju da-lam
pilkada langsung atau me-lalui
DPRD adalah calon pe-mimpin
yang kompeten.
”Partai politik wajib meng-ajukan
calon berkualitas, tidak
dengan memoles mutu calon
untuk menipu rakyat dan me-manfaatkan
kelemahan mereka
dalam memutuskan,” katanya.
Dalam psikologi kepemim-pinan
dikenal fenomena ”War -
ren Harding Error”. Itu merujuk
pada presiden ke-29 AS Warren
G Harding (1921-1923) yang di-anggap
sebagai salah satu pre-siden
terburuk AS. Time.com
dalam ”Top 10 Forgettable Pre-sidents”
menyebut Harding ter-pilih
sebagai presiden karena di-citrakan
baik, hebat, dan pas se-bagai
presiden. Ternyata, ia
korup, punya banyak gundik,
dan gemar bermain poker.
Buruknya proses rekrutmen
kader membuat siapa pun bisa
menduduki puncak pimpinan
partai. Tanpa kemampuan dan
pengalaman memimpin, mereka
mengajukan diri sebagai calon
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
kepala daerah. ”Sehebat-hebat -
nya manusia, pengalaman orga-nisasi
bagi kepala daerah pen-ting
untuk melatih mereka me-mecahkan
masalah secara nyata,
bukan simulasi saja,” ujarnya.
Karena itu, Taufiq menyaran-kan
partai politik memiliki biro
pengembangan sumber daya
manusia yang merekrut, mela-tih,
hingga menganalisis ke-mampuan
tiap kadernya sehing-ga
kader terbaik yang dicalon-kan
sebagai kepala daerah. Pe-merintah
pun harus terlibat da-lam
penjaringan kader partai,
tak diserahkan penuh kepada
partai, karena imbasnya besar
bagi bangsa dan negara.
Selain itu, orang baik yang
berada di luar partai perlu ma-suk
partai dan memperbaiki sis-tem
yang buruk. Selama sistem
rekrutmen partai tidak diperba-iki,
upaya mencari pemimpin
rakyat yang amanah dan ber-manfaat
bagi rakyat tetap sulit
dilakukan.
SUMBER DAYA ALAM
Upaya Pemulihan Fungsi Hutan di Aceh Tamiang Berlanjut
BANDA ACEH, KOMPAS —
Forum Konservasi Leuser bersa-ma
pemerintah mendekati para
pemilik kebun di lahan hutan
lindung dan produksi seluas seki-tar
2.000 hektar di Kabupaten
Aceh Tamiang, Aceh, agar berse-dia
mengembalikan fungsi hutan
seperti semula. Saat ini, total luas
perkebunan ilegal di kawasan hu-tan
lindung dan produksi di ka-bupaten
itu sekitar 5.000 hektar.
Koordinator Wilayah Aceh Ta-miang
Forum Konservasi Leuser
Tezar Pahlevi, dihubungi di Aceh
Tamiang, Selasa (30/9), mengata-kan,
perkebunan seluas sekitar
2.000 hektar (ha) itu berada di
Kecamatan Tamiang Hulu dan
Banda Pusaka, Aceh Tamiang.
”Berupa kebun sawit atas nama
pribadi atau perusahaan peng-usaha.
Sebanyak 70 persen asal
Sumatera Utara dan 30 persen
asal Aceh,” katanya.
Senin lalu, forum itu mulai
menebangi sawit di lahan ilegal
dengan total luas 1.040 ha. Pene-bangan
itu diperkirakan selesai
6-12 bulan ke depan.
Sejak 2009, proses komunikasi
alot. Ada dua pemilik kebun yang
enggan melepas kebunnya. ”Me -
reka menempuh jalur hukum di
Pengadilan Negeri Kuala Sim-pang,
Aceh Tamiang, tetapi kalah
di putusan Mahkamah Agung pa-da
2012,” ujar Tezar.
Sebagian besar pemilik kebun
lain cenderung kooperatif. Ba-nyak
yang kurang paham dengan
batas hutan lindung dan produk-si.
Setelah diberi penjelasan, seti-daknya
tujuh pemilik kebun di
lahan seluas 1.040 ha di Kecamat-an
Tenggulun menyerahkan la-hannya
guna dikembalikan lagi
fungsi hutannya.
Menurut Tezar, perkebunan di
lahan 2.000 ha itu akan diproses
setelah penebangan sawit seluas
1.040 ha itu tuntas. ”Kami ingin
fokus dulu menyelesaikan yang
pertama,” katanya.
Pada tahap awal, penebangan
sawit seluas 1.040 ha itu akan
difokuskan pada tanaman di ba-tas
hutan lindung dan hutan
penggunaan lain sepanjang 10
kilometer. Tujuannya, agar warga
tahu letak dan posisi hutan lin-dung
di kawasan Tenggulun.
Kepala Dinas Kehutanan Aceh
Husaini Syamaun menuturkan,
ada 3,3 juta ha kawasan hutan di
Aceh. Sekitar 1,8 juta ha merupa-kan
kawasan hutan lindung dan
produksi. Dari luasan itu, sekitar
10 persen hutan lindung dan pro-duksi
sudah dirambah masyara-kat,
terutama kebun sawit yang
sebagian besar berada di Aceh
Tamiang.
”Aceh Tamiang adalah daerah
yang dekat dengan pasar utama
sawit, yakni Sumatera Utara,” ka -
tanya.
Mengharapkan dukungan
Menurut Husaini, pelanggaran
peruntukan itu disebabkan ke-tidakseimbangan
luas hutan de-ngan
jumlah polisi kehutanan di
Aceh. ”Hutan di Aceh sangat luas,
sedangkan jumlah polisi kehu-tanan
sangat minim. Bahkan,
jumlah polisi kehutanan itu tak
terdata baik sekarang,” ujarnya.
Oleh karena itu, Husaini me-nyampaikan,
pihaknya sangat
berharap ada dukungan dari ma-syarakat,
seperti para aktivis ling-kungan.
Melalui kerja sama itu,
pihaknya berharap hutan lindung
dan produksi yang telah telanjur
dirambah dan dirusak bisa kem-bali
berfungsi.
”Keberadaan hutan sangat
penting bagi kelestarian alam dan
daya dukung kesejahteraan ma-syarakat
di sekitarnya,” ucapnya.
(DRI)