Dokumen tersebut membahas tentang kelapa sawit dan proses pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK) di pabrik kelapa sawit (PKS). Proses pengolahan TBS meliputi stasiun penerimaan, rebusan, pemipilan, pencacahan, pengempaan, pemurnian, pemisahan biji dan inti, yang menghasilkan CPO, PK, serta limbah padat dan cair.
Sistem Pengolahan Air Limbah secara BiologisJoy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Sistem Pengolahan Air Limbah secara BiologisJoy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan LumpurJoy Irman
Pelatihan Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem (SPAL-S atau on-site) terdiri dari beberpa modaul, yaitu Modul (A) Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL-S atau on-site), (B) Cubluk Kembar, (C) Tangki Septik dengan Bidang Resapan), (D) Mandi-Cuci-Kakus atau MCK, (E) Biofilter, (F) Upflow Aerobic Filter, (G) Rotating Biological Contactactor atau RBC, (H) Anaerobic Bafle Reactor, (I) Sarana Pengangkut Tinja, dan (J) Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
Masing-masing Modul tersebut terdiri lagi dari beberapa sub-modul yang menjelaskan mengenai aspek-aspek (1) Perencanaan Teknis, (2) Pelaksanaan Konstruksi, (3) Operasional, Pemeliharaan dan Rehabilitasi, (4) Kelembagaan, Administrasi dan Keuangan, (5) Pemantauan dan Evaluasi. Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Judul prarancangan pabrik kimia teknik kimia wahyuddin S.T
Prarancangan Pabrik Polypropylene Random Copolymer dari Propylene san Ethylene Kapasitas 30.000 Ton / Tahun
Prarancangan Pabrik Acetaldehyde dari Ethylene dan Oksigen dengan Proses Oksidasi 1 Tahap
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara FisikJoy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AerobikJoy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan LumpurJoy Irman
Pelatihan Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem (SPAL-S atau on-site) terdiri dari beberpa modaul, yaitu Modul (A) Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL-S atau on-site), (B) Cubluk Kembar, (C) Tangki Septik dengan Bidang Resapan), (D) Mandi-Cuci-Kakus atau MCK, (E) Biofilter, (F) Upflow Aerobic Filter, (G) Rotating Biological Contactactor atau RBC, (H) Anaerobic Bafle Reactor, (I) Sarana Pengangkut Tinja, dan (J) Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
Masing-masing Modul tersebut terdiri lagi dari beberapa sub-modul yang menjelaskan mengenai aspek-aspek (1) Perencanaan Teknis, (2) Pelaksanaan Konstruksi, (3) Operasional, Pemeliharaan dan Rehabilitasi, (4) Kelembagaan, Administrasi dan Keuangan, (5) Pemantauan dan Evaluasi. Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Judul prarancangan pabrik kimia teknik kimia wahyuddin S.T
Prarancangan Pabrik Polypropylene Random Copolymer dari Propylene san Ethylene Kapasitas 30.000 Ton / Tahun
Prarancangan Pabrik Acetaldehyde dari Ethylene dan Oksigen dengan Proses Oksidasi 1 Tahap
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara FisikJoy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AerobikJoy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
1. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KELAPA SAWIT DAN PENGOLAHANNYA
1. Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tumbuhan tropis yang tergolong
dalam famili Palmae dan berasal dari Afrika Barat. Meskipun demikian, kelapa sawit
dapat tumbuh di luar daerah asalnya, termasuk Indonesia. Hingga kini, tanaman ini
telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit
(Fauzi et al, 2006).
Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut (Pahan, 2008) :
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae)
Subfamili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : E. guineensis Jacq., E. oleifera (H.B.K) Cortes, E odora
Lebih lanjut, Fauzi et al (2006) menjelaskan bahwa kelapa sawit tergolong
tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak
bercabang. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20 – 75 cm.
Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15 – 18 m, sedangkan yang di
alam mencapai 30 m. Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah sebanyak
20 – 22 tandan/tahun.
2. Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS)
Pabrik kelapa sawit adalah industri pengolahan tandan buah segar (TBS) dari
tanaman kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak inti
sawit (palm kernel oil). Proses pengolahan TBS menjadi crude palm oil (CPO) dan
palm kernel (PK) dapat dilihat pada Gambar 2.1. Berikut penjelasan mengenai proses
pengolahan TBS menjadi CPO dan PK menurut Pahan (2008).
2. 8
a. Stasiun penerimaan buah
Stasiun penerimaan buah merupakan tempat penerimaan pertama bagi TBS
yang berasal dari kebun sebelum diolah dalam PKS. Di stasiun ini, TBS akan
ditimbang di jembatan timbang (weight bridge) dan ditampung sementara di
penampungan buah (loading ramp).
b. Stasiun rebusan (sterilizer)
Stasiun rebusan merupakan stasiun yang melakukan proses perebusan TBS.
Proses perebusan sangat menentukan kualitas hasil pengolahan TBS di PKS.
Tujuan dari proses perebusan TBS yaitu menghentikan perkembangan asam
lemak bebas (ALB), memudahkan proses pemipilan, mengurangi kadar air di
dalam buah sehingga mempermudah proses pengempaan dan pemisahan minyak
dari zat nonlemak serta penyempurnaan dalam proses pengolahan inti sawit.
Proses perebusan TBS dilakukan dengan menggunakan tekanan uap sebagai
media panasnya.
c. Stasiun pemipilan (stripper)
TBS yang telah direbus dikirim ke stasiun pemipilan dan dituangkan ke alat
pemipil (thresher) dengan bantuan hoisting crane. Pada stasiun pemipilan
dilakukan proses pemipilan untuk melepaskan brondolan dari tandannya. Proses
pemipilan ini terjadi akibat tromol berputar pada sumbu mendatar yang membawa
TBS ikut berputar sehingga membanting-banting TBS dan menyebabkan
brondolan terlepas dari tandannya. Brondolan dibawa ke stasiun pencacahan
(digesting) dan pengempaan (pressing). Sementara itu, tandan yang telah
dilepaskan brondolannya atau tandan kosong keluar melalui ujung tromol dan
dibawa oleh empty bunch conveyor menuju tempat penampungan tandan kosong.
d. Stasiun pencacahan (digester) dan pengempaan (presser)
Proses pencacahan brondolan bertujuan mempersiapkan daging buah untuk
proses pengempaan sehingga minyak dengan mudah dapat dipisahkan dari daging
buah dengan kerugian berupa kehilangan minyak yang sekecil-kecilnya. Hasil
cacahan langsung masuk ke alat pengempaan yang berada persis di bawah alat
pencacah. Proses pengempaan bertujuan untuk memisahkan minyakdari daging
buah. Alat pengempaan yang digunakan adalah screw press. Minyak kasar
hasil pengempaan dialirkan menuju sand trap tank, sedangkan ampas kering dan
3. 9
Gambar 2.1 Diagram alir proses pengolahan TBS (Pahan, 2008)
Minyak
+ Sludge
Crude Oil Tank
Minyak
k
Oil Tank
Clarifier Tank
Sludge Tank
Oil Purifier Buffer Sludge Tank
Sludge Separator
Brush Strainer
Minyak
Minyak
Vacuum Dryer
Reclaimed Oil Tank
Transfer Oil Tank
CPO (MKS)
C
Sludge
Uap ke proses pengolahan
Fat Pit
D
Stasiun Pengolahan
Limbah
Sebagian minyak dikutip dan
dimurnikan kembali
Kernel
Kernel Silo Clay bath
LTDS
CangkangKernel
Polishing Drum
Nut Silo
King Cracker
Kernel (IKS)
Nut Grading Drum
Kernel
Cangkang
Vibrating Screen
Fiber
Ampas Press
Depericarper
Minyak
Janjangan Kosong
Ke areal kebun
TBS
Jembatan Timbang
D
Screw Press
Digester
Thresser
Sterilizer
Loading Ramp
Kondensat
Loose fruit
Uap
Boiler
B. P. Vessel
Power House
Steam
4. 10
biji dibawa oleh cake breaker conveyor (CBC) menuju stasiun pemisahan biji dan
inti.
Di dalam sand trap tank terjadi proses pengendapan sebagian kotoran berupa
lumpur (sludge) maupun pasir, sedangkan minyak serta sebagian kotoran yang tidak
mengendap berada di bagian atas dan dialirkan menuju saringan getar (vibrating
screen). Kotoran yang mengendap tersebut dialirkan menuju fat pit. Pada saringan
getar, minyak kasar disaring untuk memisahkan minyak kasar dari kotoran berupa
serabut kasar. Minyak kasar yang telah disaring dialirkan menuju tangki minyak
kasar (crude oil tank atau COT)), sedangkan kotoran berupa serabut kasar dibawa
ke stasiun pengempaan untuk diproses kembali. Hal ini bertujuan untuk mengutip
minyak yang masih terdapat pada serabut kasar sehingga minyak yang terbuang
dapat dikurangi.
e. Stasiun pemurnian (Clarifier)
Pada stasiun pemurnian, minyak kasar yang diperoleh dari hasil
pengempaan akan dibersihkan dari kotoran (padatan, lumpur, maupun air) agar
diperoleh CPO dengan kualitas sebaik mungkin dan dapat dipasarkan dengan
harga layak. Proses pemurnian mulai dilakukan pada COT. Pada COT, minyak
kasar dijaga pada temperatur 90 O
C untuk memperbesar perbedaan berat jenis
antara minyak, air, dan kotoran sehingga dapat mempermudah proses pengendapan.
Selanjutnya, minyak dari COT dikirim ke tangki pengendap (vertical clarifier tank
atau VCT), sedangkan sebagian kotoran yang mengendap (sludge) akan dibuang
melalui saluran pembuangan yang dibuka tiap satu jam. Sludge tersebut dialirkan ke
fat pit.
Di dalam VCT, temperatur dijaga pada kisaran 90 - 95 O
C untuk
mempermudah proses pengendapan kotoran sehingga terpisah dari minyak kasar
dan dilakukan pengadukan dengan menggunakan pengaduk (stirer agitator).
Minyak dari VCT selanjutnya dikirim ke oil tank, sedangkan sludge dikirim ke
sludge tank. Sludge merupakan fasa campuran yang masih mengandung minyak
dan akan diolah kembali untuk mengutip minyak yang masih terkandung di
dalamnya. Temperatur di dalam oil tank dijaga pada kisaran 90 - 95 O
C untuk
mempermudah proses pengendapan tersebut. Minyak pada oil tank selanjutnya
dialirkan menuju oil purifier. Pada oil purifier, minyak dipisahkan dari air dan
5. 11
kotoran-kotoran ringan yang terkandung di dalamnya. Proses pemisahan dalam oil
purifier ini menggunakan metode pemusingan dengan putaran tinggi untuk
memisahkan cairan-cairan yang tidak saling bersenyawa (tidak saling
melarutkan), mempunyai berat jenis yang berbeda, dan benda padat yang
terkandung di dalamnya. Fase yang lebih berat, dalam hal ini air dan kotoran
(sludge), akan mendapat gaya sentrifugal yang lebih besar sehingga akan
terlempar lebih jauh ke bagian luar dari sumbu putar. Minyak yang telah
dimurnikan di dalam oil purifier diharapkan memiliki kadar kotoran sebesar 0,01
– 0,02% dan kadar air ± 5%.
Selanjutnya, minyak dipompa menuju vacuum dryer. Di dalam vacuum
dryer terjadi proses pengurangan kadar air pada minyak dengan proses
pengeringan yang menggunakan tekanan rendah (vakum) antara -0,650 sampai -
700 mmHg dengan temperatur berkisar antara 90 – 95 O
C. Pemberian tekanan dan
temperatur pada vacuum dryer dilakukan menggunakan steam ejector. Minyak
yang telah melalui proses pengeringan ini diharapkan memiliki kadar air berkisar
antara 0,01 – 0,02%. Kemudian, minyak dialirkan menuju oil transfer tank
sebagai tempat penampungan sementara minyak yang telah dimurnikan sebelum
dialirkan dan disimpan di dalam tangki timbun.
f. Stasiun pemisahan biji dan inti (kernel)
Proses pemisahan biji dan inti meliputi dua metode, yaitu metode pemisahan
biji dan serabut serta metode pengolahan dan pemisahan inti sawit.
Metode pemisahan biji dan serabut
Cara yang digunakan untuk memisahkan biji dari serabut kelapa sawit yaitu
dengan menggunakan tarikan atau hisapan udara pada sebuah kolom pemisah
(separating column) yang terdapat pada depericarper. Kemudian biji masuk ke
tromol pembersih biji (nut polishing drum) untuk membersihkan sisa-sisa
serabut yang masih menempel pada biji. Biji yang telah bersih akan terdorong
oleh beater arm ke ujung nut polishing drum dan selanjutnya dibawa oleh
elevator menuju nut grading drum untuk dipisahkan berdasarkan ukurannya.
Metode pengolahan dan pemisahan inti kelapa sawit (IKS)
Proses pengolahan dan pemisahan IKS meliputi pemisahan biji, pengeringan
biji, pemecahan biji, pemisahan inti dan cangkang serta pengeringan inti.
6. 12
Sebelum ditampung di dalam nut silo, biji bersih akan memasuki tromol pemisah
biji (nut grading drum) untuk memisahkan antara biji berukuran kecil dengan biji
berukuran besar. Tujuan pemisahan biji adalah untuk memperoleh efisiensi
pemecahan biji yang optimal karena alat pemecah biji telah diset untuk
memecahkan biji dengan ukuran tertentu. Pengeringan biji dilakukan di dalam
nut silo dan bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat di
dalam biji sehingga daya lekat inti dan cangkang semakin renggang. Biji yang
telah dikeringkan di dalam nut silo selanjutnya diumpankan ke alat pemecah
biji, yaitu king cracker. Biji-biji tersebut akan terpecah sehingga mengeluarkan
inti sawit (palm kernel) yang ada di dalamnya. Hasil pemecahan dari king
cracker berupa campuran kernel, cangkang dan kotoran halus selanjutnya
dibawa oleh conveyor dan elevator menuju ke bagian pemisahan.
Ada dua metode pemisahan kernel dan cangkang, yaitu sistem pemisahan
kering dan pemisahan basah. Pemisahan kering dilakukan dalam suatu kolom
vertikal (LTDS atau Light Tenera Dust Separator) dengan bantuan hisapan
udara dari blower, dimana fraksi yang lebih ringan akan terhisap ke bagian
atas, sedangkan fraksi yang lebih berat akan jatuh ke bawah. Proses pemisahan
dilakukan pada dua kolom pemisah, yaitu LTDS 1 dan LTDS 2. Pemisahan
basah dilakukan dengan menggunakan claybath dengan prinsip pemisahan
berdasarkan perbedaan berat jenis antara inti dan cangkang menggunakan
larutan kaolin. Inti yang sudah terpisah dari cangkang dimasukkan ke silo inti
untuk diturunkan kadar airnya. Pengeringan ini bertujuan untuk menonaktifkan
kegiatan mikroorganisme sehingga pembentukan jamur atau kenaikan asam
dapat dibatasi pada saat inti disimpan. Selanjutnya, inti tersebut dibawa oleh
vanbelt conveyor menuju silo penyimpanan inti (bulk kernel silo).
3. Limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS)
Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari
suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau
belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang
negatif. Pengertian mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena penanganan
limbah memerlukan biaya yang cukup besar disamping juga dapat mencemari
lingkungan (Sa’id, 1994).
7. 13
Aktivitas produksi pabrik kelapa sawit (PKS) menghasilkan limbah dalam
volume yang sangat besar. Hal ini dapat terlihat pada neraca massa pengolahan
tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) yang disajikan pada
Gambar 2.2. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan limbah cair.
Gambar 2.2. Neraca massa pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak
kelapa sawit (CPO) (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP,
Deptan, 2006)
Limbah padat dapat dibuang secara langsung ke lingkungan tanpa harus diolah
terlebih dahulu. Sementara untuk limbah cair, sebelum dibuang ke lingkungan, harus
Air (6,2%)
Pemisahan dengan
Depericarper 2
Air (3%)
Limbah cair
(39,4%)
Limbah
padat
(2,4%)
Air
(14,4%)
Air hidro
siklon (3%)
Air kondensat
(11,1%)
Pengepresan
Pemecahan
Pemisahan
dengan angin
Pengeringan
Penyimpanan Kernel
Pemisahan
dengan air
Pemisahan dengan
Depericarper 1
23,5%
Cangkang
Serabut
(12,9%)
10,6%
4,2%
2,2%
4,2% 1,2%
5,0%
TBS
(100%)
Tandan rebus (88,5%)
Perebusan
Perontokan
Penguapan (0,4%)
Tandan kosong
(21,5%) Pengadukan
Buah (67%)
Minyak
(0,2%)
Penyaringan
Pemisahan
dengan Purifier
Air (6,7%)
Klarifikasi
Minyak
(21,3%)
Pemisahan
dengan DecanterCPO 22,5%
Vacuum
Dryer
tangki
timbun
CPO
IPAL
pengumpulan limbah cair
di kolam/tangki
Sludge
(22,2%)
Minyak
(1,0%)
26%
Limbah cair
(6,7%)
8. 14
diolah terlebih dahulu sampai dapat memenuhi baku mutu limbah cair yang
ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sehingga tidak menyebabkan
pencemaran lingkungan. Limbah padat dan limbah cair PKS juga dapat dimanfaatkan
oleh PKS setelah limbah tersebut diolah dengan metode pengolahan tertentu.
Pemanfaatan limbah PKS tersebut juga harus didasarkan pada peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
a. Limbah cair pabrik kelapa sawit
1) Karakteristik limbah cair pabrik kelapa sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit mengandung bahan organik yang dapat
mengalami degradasi. Pada Tabel 2.1 disajikan komposisi jumlah air limbah dari
1 ton CPO yang diproduksi. Pada Tabel 2.2 disajikan kualitas limbah cair yang
dihasilkan oleh PKS berdasarkan parameter lingkungan yang ditetapkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup.
Tabel 2.1 Komposisi jumlah air limbah dari satu ton CPO
No. Uraian Kapasitas
1 Air 2,35 ton
2 NOS (Non Oil Solid) 0,13 ton
3 Minyak 0,02 ton
Jumlah 2,50 ton
Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan (2006)
Tabel 2.2 Kualitas limbah cair yang dihasilkan oleh PKS secara umum
No.
Parameter
Lingkungan
Satuan
Limbah Cair
Kisaran Rata-rata
1 BOD mg/l 8.200 – 35.000 21.280
2 COD mg/l 15.103 – 65.100 34.720
3 TSS mg/l 1.330 – 50.700 31.170
4 Nitrogen Total mg/l 12 – 126 41
5 Minyak dan Lemak mg/l 190 – 14.720 3.075
6 pH - 3,3 – 4,6 4
Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan (2006)
Penjelasan mengenai parameter lingkungan yang menjadi parameter kualitas
limbah cair PKS yaitu sebagai berikut :
9. 15
BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD adalah banyaknya oksigen yang terlarut dalam ppm atau milligram per
liter (mg/l) yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau
mengoksidasi bahan-bahan organik di dalam air (Fardiaz, 1992).
COD (Chemical Oxygen Demand)
COD adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram per liter (mg/l)
yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik
secara kimiawi (Sugiharto, 1987).
TSS (Total Suspended Solid)
TSS adalah jumlah total bobot bahan (padatan) yang tersuspensi dalam suatu
volume air tertentu, biasanya dinyatakan dalam miligram per liter (mg/l) atau
ppm. TSS menggambarkan padatan melayang dalam cairan limbah. Pengaruh
TSS lebih nyata pada kehidupan biota dibandingkan dengan total solid.
Semakin tinggi TSS, maka bahan organik membutuhkan oksigen untuk
perombakan yang lebih tinggi (Kristanto, 2004).
Nitrogen total
Nitrogen total merupakan penjumlahan dari kandungan nitrogen organik, total
amoniak, NO3-N dan NO2-N di dalam air limbah. Semakin tinggi kandungan
total nitrogen dalam cairan limbah, maka akan menyebabkan keracunan pada
biota (Suprihatin dan Ismayana, 2000).
Minyak dan lemak
Kandungan minyak dan lemak di dalam air limbah dapat mempengaruhi
aktifitas mikroba dan merupakan pelapis permukaan cairan limbah sehingga
menghambat proses oksidasi pada saat kondisi aerobik. (Fardiaz, 1992).
pH
pH atau konsentrasi ion hidrogen adalah ukuran kualitas dari air maupun air
limbah. Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral (pH 6 – 8). Perubahan
keasaman pada air limbah akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan
air di sekitarnya. Air limbah dengan pH yang tidak netral akan menyulitkan
proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya (Kristanto, 2004).
10. 16
2) Peraturan mengenai penanganan limbah cair PKS
Limbah cair PKS harus diolah terlebih dahulu hingga memenuhi baku mutu
air limbah sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun
1995. Daftar baku mutu limbah cair industri kelapa sawit diberikan pada lampiran
B.IV di dalam Keputusan Menteri tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.
Setelah memenuhi baku mutu air limbah tersebut, barulah limbah cair dapat
dibuang ke badan air seperti sungai atau danau.
Tabel 2.3 Baku mutu limbah cair untuk industri kelapa sawit
Parameter
Kadar Maksimum
(mg/l)
Beban Pencemaran
Maksimum (mg/l)
BOD5 100 0,25
COD 350 0,88
TSS 250 0,63
Minyak dan Lemak 25 0,063
Nitrogen Total (sebagai N) 50,0 0,125
pH 6,0 – 9,0
Debit Limbah Maksimum 2,5 m3
per ton produksi minyak sawit
Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 1995
Selain itu, dalam proses penanganan limbah cair juga diwajibkan kepada
pihak industri kelapa sawit untuk memiliki izin pembuangan air limbah hasil
pengolahan limbah cair PKS yang diatur atau dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
setempat yang penetapannya berdasarkan pada :
Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 111 tahun 2003 tentang pedoman
mengenai syarat dan tata cara perizinan serta pedoman kajian pembuangan air
limbah ke air atau sumber air.
3) Metode pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit
Menurut Kristanto (2004), secara umum pengolahan air limbah terbagi
menjadi tiga teknik pengolahan, yaitu :
11. 17
a) Pengolahan secara fisika, dilakukan sebelum pengolahan lanjutan air limbah
yang bertujuan untuk menyisihkan bahan-bahan tersuspensi berukuran besar
dan mudah menguap atau bahan-bahan yang terapung.
b) Pengolahan secara kimia, dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel
yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor,
dan zat organik beracun, dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang
diperlukan.
c) Pengolahan secara biologi, dilakukan karena semua air limbah mengandung
bahan organik yang dapat diolah secara biologi.
Dalam penanganan limbah cair PKS, teknik pengolahan yang digunakan lebih
mengarah ke pengolahan secara fisika dan biologi. Tahapan pengolahan limbah cair
PKS dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pengolahan pendahuluan (pre treatment),
pengolahan utama (primary treatment) dan pengolahan akhir (post treatment),
seperti yang disajikan pada Gambar 2.3. Pada tiap tahapan akan dilakukan proses
pengolahan limbah cair PKS dengan metode pengolahan yang direkomendasikan
oleh Subdit Pengelolaan Lingkungan Ditjen PPHP Departemen Pertanian. Berikut
penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut :
a) Tahap pengolahan pendahuluan (pre treatment)
Rangkaian proses pengolahan limbah cair PKS yang dilakukan pada tahap
pendahuluan pengolahan pendahuluan yaitu :
i. Proses segregasi aliran
Proses segregasi (pemisahan) aliran limbah cair PKS berdasarkan sumbernya,
yaitu limbah cair yang berasal dari air rebusan TBS, stasiun klarifikasi dan air
hidrosiklon.
ii. Proses pengurangan minyak dan lemak
Proses pengurangan kandungan minyak dan lemak dalam limbah cair PKS
dilakukan di kolam pengutipan minyak (fat-pit) dengan menerapkan prinsip
pengendapan. Minyak yang mengapung di bagian atas (berat jenis yang lebih
kecil dari bahan lain), akan dialirkan menuju stasiun pemurnian untuk diolah
kembali. Proses ini bertujuan untuk meminimalkan hilangnya kuantitas CPO
akibat terbawa limbah cair PKS, mengurangi kandungan minyak dalam limbah
cair PKS untuk memenuhi baku mutu agar dapat dibuang ke lingkungan dan
12. 18
mengurangi kemungkinan terbentuknya buih yang dapat mengganggu proses
pengolahan pada tahap pengolahan utama.
Gambar 2.3 Tahap pengolahan limbah cair PKS
Menurut Hassan, et al (2004), pemisahan minyak dan lemak dari limbah cair
PKS dapat dilakukan dengan oil skimmer yaitu pemisahan dengan bantuan uap
panas yang dimasukkan ke dalam limbah cair PKS untuk membantu
mempercepat pemisahan antara minyak dan cairan lumpur.
iii. Proses penurunan suhu limbah cair PKS
Suhu limbah cair PKS diturunkan dari suhu 70 – 80 O
C menjadi 40 – 45 O
C dan
dilakukan di menara atau bak pendingin. Proses ini dilakukan selama 1 sampai 2
hari. Tujuan dari proses ini yaitu untuk menurunkan suhu limbah cair PKS agar
dibuang ke badan air
Kolam aerobik-aerasi
Kolam pengendapan
Pengolahan akhir
Secara aerobik
Limbah cair PKS
1. Segregasi aliran
2. Pengutipan minyak
3. Penurunan suhu
RANUTKolam anaerobik Tangki anaerobik
Pengolahan pendahuluan
Pengolahan utama
Secara anaerob
13. 19
sesuai dengan kondisi suhu yang ideal untuk mikroorganisme yang akan
digunakan pada tahapan pengolahan utama.
b) Tahap pengolahan utama (primary treatment)
Tahap pengolahan utama terdiri dari 2 tahap proses pengolahan, yaitu proses
pengolahan limbah cair secara anaerobik dan secara aerobik.
i. Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik (tanpa oksigen)
Rantai reaksi anaerobik ditunjukkan pada Gambar 2.4. Pada tahap pertama,
bahan-bahan organik dikonversi oleh bakteri menjadi bahan-bahan organik
yang terlarut. Pada tahap kedua, bahan-bahan organik terlarut tersebut
dikonversi oleh bakteri asidifikasi menjadi asam organik, alkohol, aldehid dan
sebagainya sehingga air limbah yang mengandung bahan organik lebih mudah
mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Tahap kedua juga
menghasilkan hidrogen dan karbondioksida. Tahap selanjutnya adalah dua
tahap pembentukan asam asetat dan metana serta karbondioksida. Bersamaan
dengan dua tahap terakhir, terjadi pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri
pemakan sulfat. Jika kandungan sulfur dalam air limbah tinggi, hidrogen
sulfida yang terkandung di dalam gas akan menimbulkan masalah bau dan
korosi (Siregar, 2005).
Gambar 2.4 Rantai reaksi anaerobik (Siregar, 2005)
14. 20
Pada proses pengolahan limbah cair PKS secara anaerobik, terdapat tiga
metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Subdit Pengelolaan
Lingkungan Ditjen PPHP Departemen Pertanian, yaitu metode kolam
anaerobik, tangki anaerobik dan reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT).
i. Kolam anaerobik (kolam stabilisasi)
Kolam anaerobik merupakan metode pengolahan limbah cair PKS dengan
menggunakan kolam-kolam sebagai tempat berlangsungnya proses pengolahan
limbah cair PKS secara anaerobik. Pada Gambar 2.5 disajikan dasar
perancangan untuk sistem kolam anaerobik aerasi. Proses anaerobik dilakukan
di dalam kolam-kolam anaerobik yang terdiri dari kolam asidifikasi
(pengasaman), kolam anaerobik primer dan anaerobik sekunder.
Pada kolam asidifikasi, bahan-bahan organik yang telah dikonversi menjadi
bahan terlarut akan dikonversi menjadi asam organik, alkohol, aldehid dan
sebagainya. Pada kolam anaerobik primer, akan terjadi proses asetogenesis dan
fermentasi metana terhadap air limbah hingga tercapai baku mutu air limbah
untuk aplikasi lahan. Sementara kolam anaerobik sekunder dimanfaatkan untuk
melanjutkan proses di kolam anaerobik primer dan diperuntukkan terhadap
limbah cair yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan. Secara prinsip,
proses kerja yang terjadi di kolam anaerobik sekunder sama dengan kolam
anaerobik primer. Pada Tabel 2.4 disajikan kisaran komponen kimia limbah
cair PKS sebelum dan setelah penanganan dengan metode kolam anaerobik
(kolam stabilisasi).
ii. Tangki anaerobik
Pada metode tangki anaerobik, akan dilakukan proses biologis dalam kondisi
anaerobik, dimana bahan organik yang terkandung dalam limbah cair PKS
akan terurai menjadi gas metan dan karbondioksida yang kemudian disebut
biogas. Pada proses biologis tangki anaerobik, biogas yang terbentuk akan
ditampung dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pada Gambar 2.6
disajikan rancang bangun sistem tangki anaerobik tertutup yang dilanjtkan
dengan proses aerobik-aerasi.
15. 21
Tabel 2.4 Kisaran komponen kimia limbah cair PKS sebelum dan setelah
penanganan dengan metode kolam stabilisasi.
Uraian WPH
(hari)
BOD
(mg/l)
P (mg/l) N (mg/l) K (mg/l) Mg
(mg/l)
Limbah (fat
pit)
- 25.000 500-900 90-140 1000-1975 250-340
Kolam
pengasaman
5 25.000 500-900 90-140 1000-1975 250-340
Kolam
anaerob
primer
75 3500-5000 675 90-110 1000-1850 250-320
Kolam
anaerob
sekunder
35 2000-3500 450 62-85 875-1250 160-215
Kolam
aerobik
15 – 21 100-200 80 5-15 420-670 25-55
Kolam
pengendapan
2 100-150 40-70 3-15 330-650 17-40
Sumber : Pamin, Siahaan dan Tobing (1996)
Proses anaerobik, yang dilakukan dalam dua tahapan proses anaerobik, yaitu :
Proses anaerobik yang dilakukan di tangki anaerobik tertutup, dengan alur
proses pengolahan sama dengan proses pengolahan yang terjadi di kolam
anaerobik pada metode kolam stabilisasi. Gas metan (biogas) yang
dihasilkan dari proses pengolahan air limbah secara anaerobik akan
ditampung dan kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Limbah cair
yang telah mengalami biodegradasi di dalam tangki memiliki BOD < 2000
mg/l sehingga dapat diaplikasikan di lahan perkebunan. Fraksi lumpur yang
dihasilkan akan mengendap pada dasar tangki dan dialirkan menuju bak
pengeringan lumpur.
Proses anaerobik pada kolam pengendapan anaerob, yang dilakukan untuk
mengolah lebih lanjut limbah cair hasil biodegradasi di dalam tangki
anaerobik (yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan). Pada kolam
pengendapan ini akan terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk
memisahkan mikroorganisme (biosolid) dari air limbah setelah proses
anaerobik di tangki anaerobik. Biosolid yang mengendap pada dasar kolam
akan diambil dan dialirkan ke sand bed.
iii. Metode reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT)
Metode RANUT menggunakan tangki berupa bioreaktor tempat
berlangsungnya proses pengolahan secara anaerobik. Tetapi sebelum metode
RANUT dilakukan, terdapat perbedaan proses pada tahapan pre treatment
16. 22
Gambar 2.5 Dasar perancangan sistem kolam anaerobik aerasi dengan kapasitas olah PKS 30 ton TBS /jam (Subdit Pengelolaan
Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan, 2006)
17. 23
Gambar 2.6 Rancang bangun sistem tangki anaerobik tertutup (resirkulasi gas)/aerasi-aerobik. Dirancang untuk kapasitas olah PKS 30
ton TBS/jam (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan, 2006)
18. 24
dibandingkan kedua metode sebelumnya, yaitu setelah proses segregasi air
limbah dilakukan proses pemisahan lumpur dan padatan tersuspensi. Proses
pemisahan lumpur dan padatan tersuspensi dari limbah cair bertujuan untuk
mengurangi kandungan COD, BOD, nitrogen dan pasir serta mengurangi
masalah pada proses pengolahan berikutnya, seperti foaming, sedimentasi dan
penyumbatan pipa outlet reaktor karena adanya lumpur. Pada dasarnya,
padatan tersuspensi dalam limbah cair PKS dapat dipisahkan dengan continous
separator atau decanter. Kedua alat ini ternyata cukup mahal serta
memerlukan pemeliharaan dan energi yang tinggi. Teknologi pengapungan
dengan prinsip kerja dissolved air floatation (pengapungan dengan udara
terlarut atau pengapungan dengan tekanan) dapat menjadi alternatif proses.
Teknologi RANUT dikembangkan melalui peningkatan populasi mikroba
perombak bahan organik yang terdapat dalam limbah cair PKS. Rasio populasi
mikroba dengan bahan organik ditingkatkan dengan cara menambahkan bahan
pendukung (support material) yang terbuat dari plastik. Bahan ini berfungsi
sebagai tempat menempelnya mikroba anaerobik. Mikroba tersebut
selanjutnya akan membentuk bio-film di permukaan bahan pendukung dan
menjadi tempat berkembang biak. Di dalam reaktor anaerobik, mikroba
tersebut akan melakukan perombakan bahan organik yang terdapat pada air
limbah secara anaerobik dalam waktu singkat dengan kinerja yang tinggi.
Gambar 2.7 menyajikan proses pengolahan air limbah secara anaerobik
RANUT. Berdasarkan pada Gambar 2.7, tangki penyimpanan S1 dan S2 diisi
dengan limbah segar dimana akan terjadi pendinginan limbah sampai mencapai
suhu kamar. Sisa minyak akan mengapung dan diambil secara manual. Limbah
dari S2 dipompakan ke digester D1 dari bagian bawah (upflow). Limbah akan
mengalir ke atas melewati unggun tetap (yang berisi matriks) dan keluar dari
bagian atas. Sebagian limbah dipompakan kembali ke digester D1 oleh pompa
sirkulasi P2 untuk pengenceran, menaikkan pH serta untuk distribusi substrat di
dalam digester D1. Kelebihan limbah akan mengalir ke digester D2 agar digester
ini tetap aktif. Limbah akan melewati unggun tetap secara downflow dan
akhirnya keluar dari digester D2. Pengaturan laju alir pompa dilakukan dengan
sebuah timer yang dapat mengatur variasi jumlah umpan yang masuk ke
19. 25
Gambar 2.7. Proses pengolahan air limbah secara anaerobik pada reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT) (Subdit Pengelolaan
Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan, 2006)
20. 26
digester. Biogas yang dihasilkan diukur dengan alat pengukur gas.
Pengoperasian reaktor dilakukan pada suhu kamar (26 – 28 O
C).
Proses anaerobik pada kolam pengendapan anaerobik dilakukan untuk
mengolah lebih lanjut limbah cair hasil biodegradasi di dalam RANUT (yang
tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan). Pada kolam pengendapan ini akan
terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme
(biosolid) dari air limbah setelah proses anaerobik di RANUT. Biosolid yang
mengendap pada dasar kolam akan diambil dan dialirkan ke sand bed.
Proses pengolahan limbah cair secara aerobik
Air limbah yang keluar dari proses pengolahan secara anaerobik masih
mengandung bahan organik, misalnya substrat, seperti hidrogen, karbon,
oksigen dan nitrogen, sehingga perombakan harus dilanjutkan dengan
perombakan secara aerobik yang dilakukan di kolam aerobik-aerasi.
Perombakan secara aerobik membutuhkan oksigen sehingga dilakukan proses
aerasi atau pemberian oksigen ke dalam proses perombakan. Oksigen akan
dimanfaatkan oleh mikroorganisme aerobik yang terdapat di dalam air limbah
untuk merombak bahan-bahan organik di dalam air limbah.
Rantai reaksi aerobik ditunjukkan pada Gambar 2.8. Pada tahap pertama,
senyawa-senyawa organik diambil oleh bakteri, kemudian senyawa-senyawa
organik yang terlarut dikonversikan ke dalam massa bakteri sehingga
menghasilkan air, karbondioksida dan amonia. Pada tahap kedua, biomassa yang
dihasilkan pada tahap pertama dikurangi oleh mikroorganisme lain, misalnya oleh
Ciliata. Tahap ini juga menghasilkan air, karbondioksida dan amonia. Pada tahap
yang lebih lanjut, amonia dapat dikonversikan oleh bakteri, yaitu dinitrifikasi
menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) (Siregar, 2005).
c) Tahap pengolahan akhir (post treatment)
Tahap pengolahan akhir yang dilakukan adalah proses pengendapan yang
dilakukan di kolam pengendapan (sedimentasi). Pada kolam sedimentasi akan
terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme
(biosolid) dari air limbah setelah proses aerobik aerasi. Setelah proses
pengendapan ini, diharapkan air limbah telah memenuhi baku mutu air limbah
untuk dibuang ke badan air (sungai) seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.
21. 27
Gambar 2.8 Rantai reaksi aerobik (Siregar, 2005)
4) Metode Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Terolah
Terdapat beberapa metode pemanfaatan limbah cair PKS hasil pengolahan
di IPAL, yaitu :
a) Aplikasi lahan
Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk di lahan perkebunan kelapa sawit sangat
dimungkinkan atas dasar kandungan hara dalam limbah tersebut seperti disajikan
pada Tabel 2.4. Pemanfaatan limbah ini, disamping sebagai pupuk, juga akan
mengurangi biaya pengolahan limbah, biaya tersebut diperkirakan dapat
diturunkan sebesar 50 – 60% (Pamin, Siahaan dan Tobing, 1996). Hal tersebut
dikarenakan pemanfaatan limbah cair untuk aplikasi lahan ini menggunakan
limbah cair dari kolam anaerobik primer, sehingga jumlah (kapasitas) limbah
cair yang akan diolah di kolam pengolahan berikutnya pada IPAL akan
berkurang. limbah cair dari kolam anaerobik primer (setelah diolah secara
anaerobik) dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lahan karena limbah cair tersebut
telah memiliki nilai BOD antara 3500 – 5000 mg/l yang masih memenuhi
persyaratan Peraturan Menteri Pertanian No. KB. 310/453/MENTAN/XII/95
tentang standarisasi pengolahan limbah cair PKS terutama untuk aplikasi lahan
sebagai sumber air dan pupuk, seperti disajikan pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Baku mutu limbah cair PKS untuk aplikasi lahan
No. Uraian Batasan kepekatan
1 BOD (mg/l) < 3500
2 Minyak dan lemak (mg/l) < 3000
3 pH 6,0
Sumber : Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Air, Bapedal (1999)
22. 28
Aplikasi lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan
kondisi setempat. Pemilihan teknik aplikasi yang sesuai untuk tanaman kelapa
sawit sangat tergantung kepada kondisi dan luas areal yang tersedia maupun
faktor berikut, yaitu jenis dan volume limbah cair, topografi lahan yang akan
dialiri, jenis tanah dan kedalaman permukaan air tanah, umur tanaman kelapa
sawit, luas lahan yang tersedia dan jaraknya dengan pabrik, serta dekat
tidaknya dengan air sungai atau pemukiman penduduk (Subdit Pengelolaan
Lingkungan, Departemen Pertanian, 2006).
Beberapa cara aplikasi limbah cair yang dikenal antara lain teknik flatbed,
traktor-tangki dan longbed (Wulfert, dkk, 2000).
Teknik flatbed
Teknik ini digunakan pada lahan berombak-bergelombang dengan membuat
konstruksi diantara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit yang
dapat mengalirkan limbah dari atas ke bawah dengan kemiringan tertentu.
Teknik ini dibangun mengikuti kemiringan tanah. Proses pada teknik ini yaitu
mengalirkan limbah dari kolam limbah melalui pipa menuju bak-bak
distribusi yang berukuran 4m x 4m x 1m, kemudian limbah dialirkan ke parit
sekunder (flatbed) yang berukuran 2,5m x 1,5m x 0,25m, yang dibuat pada
tiap 2 baris tanaman. Dengan teknik pengaliran ini, secara periodik lumpur
yang tertinggal pada flatbed dikuras agar tidak tertutup lumpur.
Teknik traktor-tangki
Pelaksanaan teknik ini yaitu dengan mengangkut limbah cair dari IPAL ke
areal tanaman dengan menggunakan traktor yang menarik tangki serta
digunakan pompa sentrifugal yang dihubungkan dengan lubang (chasis) ke
tangki untuk mengeluarkan air limbah ke lahan aplikasi. Untuk mengurangi
biaya transportasi aplikasi limbah dengan teknik ini, areal tanaman untuk
aplikasi sebaiknya berdekatan dengan IPAL. Traktor berjalan pada jalan
pikul dan limbah disemprotkan sepanjang baris pohon tempat tumpukan
pelepah yang dipangkas.
Teknik parit atau alur (longbed)
Pada teknik ini, terdapat dua pola yang digunakan untuk distribusi limbah
yaitu dengan parit yang lurus dan berliku-liku. Parit berliku-liku digunakan
23. 29
untuk lahan yang curam atau berbukit. Limbah sepanjang parit dialirkan
perlahan-lahan untuk mengurangi erosi dan banjir. Parit yang lurus
memanjang dibangun di lahan yang sedikit miring dan limbah dialirkan
hingga ujung parit. Seperti aplikasi flatbed, limbah cair dipompakan melalui
pipa ke tempat yang relatif tinggi dan didistribusikan ke parit primer. Jumlah
parit tergantung pada topografi. Kecepatan aliran diatur perlahan-lahan untuk
memungkinkan perkolasi dan juga mencegah erosi. Biaya aplikasi limbah cair
dengan teknik ini relatif murah, tetapi masalah yang sering timbul adalah
distribusi aliran yang tidak merata dan parit tertimbun lumpur. Pembangunan
parit tidak terlalu dalam, sekitar 20 cm atau 30 cm dengan lebar sekitar 30
cm. Parit ini dapat dibangun secara manual atau mekanis di sepanjang baris
tanaman, namun tidak mengganggu jalan pemanen dan transportasi TBS.
Hasil percobaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menunjukkan bahwa
kombinasi pemberian limbah cair dengan dosis 12,66 mm ECH (Ekuivalen
Curah Hujan) per bulan atau setara dengan 126.000 liter limbah cair PKS
terolah per hektar dengan pupuk anorganik sebanyak 50% dari dosis standar
kebun, dapat meningkatkan produksi TBS sebesar 36% dibanding perlakuan
tanpa aplikasi limbah cair dan aplikasi pupuk standar kebun 100% (Wulfert,
dkk, 2000).
b) Biogas
Biogas merupakan gas metan dan karbondioksida hasil penguraian bahan
organik yang terkandung dalam limbah cair PKS serta penguraian tersebut
dilakukan oleh mikroba pada proses biologis kondisi anaerobik. Komposisi gas
yang dihasilkan rata-ratanya adalah 60-70 % gas metan, 20-40 % gas
karbondioksida, 0,2-0,3 % hidrogen sulfida dan gas lainnya. Proses produksi
gasbio secara mikrobiologis dikenal dengan istilah fermentasi metan. Bakteri
yang berperan dalam proses tersebut adalah bakteri metan, terutama
Methanobacillus omelianskii, Methanobacterium formicum, Methanosarcina
methanica dan Methanococcusmazeki.
Biogas yang dihasilkan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi
bagi PKS. Metode tangki anaerobik dapat menghasilkan 27,78 m3
biogas dari
tiap ton limbah cair PKS yang diolah, sementara metode RANUT dapat
24. 30
menghasilkan 36,46 m3
biogas dari tiap ton limbah cair PKS yang diolah. Hasil
penelitian Wulfert dkk (2000) menyebutkan bahwa jika biogas yang dihasilkan
dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel genset, maka dapat
dihasilkan tenaga listrik sebesar 26 kWh per ton TBS, sedangkan kebutuhan
spesifik tenaga listrik per ton TBS diperkirakan sekitar 15 – 17 kWh.
c) Pakan ternak
Bagian limbah cair yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan ternak
adalah lumpur yang berasal dari hasil pengendapan pada kolam pengendapan
dan tangki atau reaktor anaerobik yang disebut lumpur sawit. Lumpur sawit ini
kemudian dipisahkan cairannya (dikeringkan) sehingga menghasilkan solid.
Solid inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Cara
untuk mengawetkan solid adalah dengan dibuat pakan blok (dikeringkan).
Dengan cara ini, selain daya simpan solid lebih lama, juga kandungan
nutrisinya lebih lengkap karena adanya beberapa bahan pakan lain yang
ditambahkan. Pakan solid dalam bentuk blok bisa diberikan baik untuk ternak
ruminansia besar maupun kecil. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan
kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%,
lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g
(Utomo et al. 1999).
Beberapa penelitian mengenai aplikasi solid sebagai pakan ternak telah banyak
dilakukan, yaitu sebagai berikut :
Pemberian solid pada domba bentuk segar atau complete feed block (CFB),
baik yang difermentasi dengan effective microorganism (EM4) maupun
tanpa difermentasi (Widjaja et al. 2000a).
Pemberian solid pada sapi dapat dalam bentuk segar atau dicampur dengan
air (Widjaja et al. 2000b).
Penggunaan solid dalam bentuk lumpur (palm oil sludge) untuk pakan
kambing pemberiannya dikombinasikan dengan bungkil inti sawit dan serat
perasan buah. Pada pakan tersebut, lumpur sawit dapat digunakan hingga
8% (Kamaruddin, 1997).
25. 31
Pemberian lumpur sawit yang belum dan telah difermentasi pada unggas
(Sinurat et al. 1998).
d) Bahan penambah nutrisi kompos
Limbah cair terolah hasil pengolahan di IPAL dan fraksi lumpur hasil
pengendapan dapat dimanfaatkan sebagai bahan penambah nutrisi pada proses
pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Menurut
Schuchardt dkk (2000), penambahan limbah cair ini juga berguna untuk
memenuhi kebutuhan air untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang
digunakan sebagai inokulum pada proses pengomposan TKKS. Penambahan
limbah cair ini dilakukan selama 9 minggu masa pengomposan dengan volume
5 m3
per ton TKKS yang diolah menjadi kompos. Pada tabel 2.6 disajikan
kalkulasi kandungan nutrien pada bahan kering kompos akhir dengan
penambahan limbah cair sebanyak 5 m3
per ton TKKS.
Tabel 2.6 Kalkulasi kandungan nutrien pada bahan kering kompos akhir
dengan penambahan limbah cair sebanyak 5 m3
per ton TKKS
Nutrien Satuan Kompos Limbah cair
Kompos dengan
limbah cair
N
(kg/ton
kompos b.k)
29 13,15 42,15
P 1,87 2,41 4,28
K 37,8 32,88 70,68
Ca 5,3 6,58 11,88
Mg 3,4 6,14 9,54
Sumber : Schuchard, dkk (2000)
b. Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit
1) Pemanfaatan limbah padat pabrik kelapa sawit
a) Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
Tandan kosong merupakan limbah padat yang dihasilkan dari pemipilan TBS
di stasiun pemipilan pada pabrik kelapa sawit. Terdapat beberapa metode
pengolahan TKKS dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak industri
kelapa sawit, yaitu :
Mulsa
Teknik pemanfaatan TKKS yang umum diterapkan oleh berbagai industri kelapa
sawit di Indonesia adalah dengan memanfaatkan TKKS sebagai mulsa. Menurut
Pahan (2008), aplikasi TKKS sangat efektif sebagai mulsa karena dapat
26. 32
menurunkan temperatur tanah, mempertahankan kelembapan tanah dan
membantu mengurangi dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan
tanaman serta produksi pada saat kemarau. Untuk areal yang curah hujannya
tinggi, TKKS secara signifikan dapat mengurangi kerugian nutrisi melalui proses
pencucian dan aliran permukaan atau menjaga terjadinya erosi tanah. Selain itu,
mulsa TKKS juga dapat menjadi pemasok tambahan unsur hara tanah. Pada
Tabel 2.7 disajikan persentase unsur hara dalam TKKS.
Metode aplikasi mulsa
Terdapat dua metode aplikasi TKKS sebagai mulsa di areal kebun, yaitu secara
mulching dan disposal. Pada aplikasi secara mulching, TKKS diaplikasikan
pada suatu areal tertentu berdasarkan sifat tanah dan hara yang dibutuhkan
tanaman kelapa sawit. Sementara, pada aplikasi secara disposal, TKKS
diaplikasikan di sisi jalan serta tidak didasari oleh sifat tanah dan hara yang
dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit. TKKS yang diaplikasikan secara
disposal tidak diperbolehkan karena secara prinsip akan merugikan, mengingat
pemanfaatan hara oleh tanaman kelapa sawit tidak optimal dan menjadi
penyebab penyebaran hama Oryctes (Pahan, 2008).
Tabel 2.7 Persentase unsur hara dalam TKKS
Hara utama
Persentase unsur hara dalam
TKKS
Sebanding
dengan pupuk
anorganik per
ton TKKS
Kisaran Rata-rata
Nitrogen (N) 0,32 – 0,43 0,37 8,00 kg urea
Fosfor (P) 0,03 – 0,05 0,04 2,90 kg RP
Potassium (K) 0,89 – 0,95 0,91 18,30 kg MOP
Magnesium (Mg) 0,07 – 0,10 0,08 5,00 kg Kieserit
Sumber : Pahan (2008)
Aplikasi mulsa pada TBM
Dosis aplikasi TKKS yang direkomendasikan untuk tanaman belum
menghasilkan (TBM) 1 dan 2 yaitu 180 kg/pokok atau setara dengan 25 ton
TKKS/ha (populasi sekitar 136 pokok/ha). TKKS hanya diaplikasi satu kali
per tahun pada areal yang sama.
27. 33
Aplikasi TKKS pada tahun pertama dilaksanakan dekat pangkal pokok (10
cm) dengan cara disebar satu lapis mengelilingi pokok. Aplikasi TKKS
harus segera dimulai setelah bibit ditanam di lapangan. Aplikasi TKKS
menjamin ketersediaan unsur hara bagi tanaman, memelihara kelembapan
tanah, menurunkan suhu tanah dan menekan pertumbuhan gulma di
piringan. Oleh sebab proses dekomposisi dan penguraian unsur hara dari
TKKS berjalan lambat, pupuk anorganik harus diaplikasi penuh (100 %)
pada tahun pertama penanaman.
Aplikasi kedua dilaksanakan sekitar 12 bulan setelah aplikasi pertama.
TKKS diaplikasikan 0,5 m dari pangkal pokok dengan cara disebar satu
lapis mengelilingi pokok. TKKS yang diaplikasi lebih dari satu lapisan akan
mendorong berkembangnya kumbang Oryctes pada tumpukan TKKS
tersebut. Mulsa TKKS harus dikontrol secara berkala untuk memastikan ada
tidaknya kumbang Oryctes yang berkembang biak pada TKKS tersebut.
Apabila hal ini terjadi, segera lakukan tindakan penanggulangan. Pada tahun
kedua ini, TKKS dan pupuk anorganik diaplikasi, tetapi pupuk anorganik
dapat dikurangi menjadi 50 % terhadap rekomendasi.
Semua pupuk anorganik harus disebar merata di atas TKKS. Selanjutnya
pupuk tersebut secara perlahan tercuci oleh air hujan dan diserap oleh pokok
sawit. TKKS tidak mempengaruhi penyerapan unsur hara oleh tanaman,
tetapi aplikasi TKKS dapat membantu mengurangi kehilangan pupuk yang
diakibatkan pencucian, aliran permukaan dan erosi tanah (Pahan, 2008).
Aplikasi mulsa pada TM
Dasar aplikasi tergantung dari jenis tanah, status unsur hara tanah,
pertumbuhan dan umur tanaman kelapa sawit yang akan dimulsa.
Rekomendasi aktual dan areal yang akan diaplikasi TKKS pada tanaman
mineral normal yaitu 250 kg/pokok atau 35 ton/ha. Sementara pada tanah
sangat berpasir dapat ditingkatkan menjadi 360 kg/pokok atau 50 ton/ha.
TKKS hanya diaplikasi satu kali dalam setahun dan harus terus diaplikasi
kembali 12 bulan kemudian.
TKKS yang telah ditumpahkan harus disebar satu lapis secara manual di
antara dua pokok, tetapi di luar piringan. TKKS tidak boleh diaplikasi di
28. 34
gawangan mati, karena digunakan sebagai tempat pelepah yang ditunas
nantinya. Aplikasi TKKS dua lapis atau lebih tidak diperbolehkan karena
dapat mempercepat pembiakan kumbang Oryctes tumpukan. Mulsa TKKS
harus dikontrol secara berkala terhadap serangan Oryctes. Apabila hal itu
terjadi, segera lakukan tindakan penanggulangan yang tepat (Pahan, 2008).
Kompos (pupuk organik)
Kompos merupakan limbah padat yang mengandung bahan organik yang telah
mengalami pelapukan, dan jika pelapukannya berlangsung dengan baik disebut
pupuk organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia telah
mengembangkan dua macam teknik pengomposan TKKS, yaitu pengomposan
dengan pembalikan dan tanpa pembalikan (Taniwiryono, 2009).
Pengomposan dengan pembalikan
Teknik ini dilakukan dengan melakukan pembalikan 2-3 hari sekali dan
menggunakan limbah cair PKS sebagai pengkaya dan sumber mikroba
pengompos yang didominasi oleh jenis bakteri. Pembalikan dilakukan
dengan menggunakan mesin. TKKS yang akan dikomposkan harus dicacah
terlebih dahulu sebelum ditumpuk memanjang seperti terlihat pada Gambar
2.9. Pencacahan TKKS diperlukan guna meningkatkan luas permukaan
bahan organik. Oleh karena tidak dilakukan penutupan, turun-naiknya suhu
dan kelembaban sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat. Pada
kondisi terbuka, penguapan air bisa mudah terjadi di siang hari yang terik,
namun di lain hal pembasahan dengan air berlebih mudah terjadi di saat
hari-hari hujan. Pembalikan bahan dalam waktu 2-3 hari sekali memang
diperlukan karena siklus biologis kebanyakan bakteri memang sekitar 48
jam. Jika tidak dibalik maka bakteri akan mati. Bakteri yang digunakan pada
proses pengomposan dengan sistem ini mengandalkan yang terdapat di
limbah cair PKS. Jenis dan jumlahnya tentu berbeda antara daerah yang satu
dengan lainnya. Untuk meningkatkan efisiensi pelapukan lignin dan selulase
perlu dieksplorasi bakteri dengan kemampuan mendegradasi lignin dan
selulosa yang tinggi. Salah satu keunggulan teknik ini adalah pengkayaan
nutrisi dari limbah cair dapat dilakukan secara optimum. Warna hitam
29. 35
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9, sebagian diakibatkan oleh
pewarnaan yang dilakukan oleh limbah cair.
Gambar 2.9 Penumpukan pada pengomposan TKKS dengan pembalikan
Pengomposan tanpa pembalikan
Teknik ini dilakukan dengan bantuan mikroba terseleksi dari golongan
jamur. Selama proses pengomposan tidak dilakukan pembalikan sehingga
hemat bahan bakar (energi) dan tenaga kerja. Tanpa pembalikan yang
dimaksud di sini adalah tanpa pembalikan selama proses biologis
berlangsung, yaitu selama 2 minggu sekali. Pada kondisi demikian,
penggunaan mesin pembalik tidak diperlukan. Penggunaan mikroba dari
golongan jamur didasarkan kepada kenyataan bahwa perombak lignin dan
selolosa yang paling efisien adalah dari golongan jamur atau cendawan.
Kebanyakan limbah padat perkebunan memiliki kandungan lignin dan
selulosa yang tinggi. Fakta menunjukkan bahwa di lapangan tidak pernah
dijumpai tanaman berkayu yang batangnya dilapukkan oleh bakteri, tetapi
selalu oleh jamur atau cendawan.
Selama proses pengomposan dilakukan penutupan dengan menggunakan
terpal plastik tahan UV seperti yang terlihat pada Gambar 2.10. Penutupan
dilakukan agar kelembaban dan suhu bisa lebih kendalikan sehingga
aktifitas mikroba pelapuk lignin dan selulosa dalam menghasilkan enzim
lignoselulase tetap tinggi. Penutupan dengan terpal plastik tidak berarti
prosesnya menjadi aerob, buktinya mikroba aerob yang digunakan sebagai
bioaktivator berkembang biak dan beraktifitas dengan sempurna. Untuk
tujuan efisiensi, jamur pelapuk yang digunakan sekaligus dipilih yang
mampu mengendalikan Ganoderma dan Oryctes atau manfaat lainnya.
30. 36
Dengan cara demikian, dua hal dilakukan sekaligus yaitu pengomposan dan
perbanyakan biopestisida.
b) Serabut kelapa sawit
Serabut kelapa sawit merupakan limbah padat kelapa sawit hasil proses
pencacahan dan pengempaan brondolan kelapa sawit. Metode pemanfaatan
serabut yang dilakukan oleh PKS adalah sebagai bahan bakar boiler untuk
memasok kebutuhan uap panas dan pembangkit listrik. Nilai kalor yang
dihasilkan dari pembakaran serabut kelapa sawit yaitu 2637 - 4554 kkal/kg.
Untuk sebuah PKS dengan kapasitas olah 100 ribu ton TBS per tahun akan
dihasilkan sekitar 12 ribu ton serabut kelapa sawit. Apabila efisiensi
pembangkitan sebesar 25%, maka tiap tahunnya akan dihasilkan energi listrik
sebesar 9,2 – 15,9 GW tiap tahunnya (Budiarto dan Agung, 2008).
Gambar 2.10 Penumpukan pada pengomposan TKKS tanpa pembalikan
c) Cangkang kelapa sawit
Cangkang kelapa sawit merupakan limbah padat kelapa sawit hasil proses
pemecahan biji kelapa sawit untuk mengambil inti kelapa sawit di dalam biji
tersebut. Metode pemanfaatan cangkang yang dilakukan oleh PKS adalah
sebagai bahan bakar boiler untuk memasok kebutuhan uap panas dan
pembangkitan listrik. Nilai kalor yang dihasilkan dari pembakaran serabut
kelapa sawit yaitu 4105 - 4802 kkal/kg. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas
olah 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang
kelapa sawit. Apabila efisiensi pembangkitan sebesar 25%, maka tiap tahunnya
akan dihasilkan energi listrik sebesar 7,2 – 8,4 GW tiap tahunnya (Budiarto dan
Agung, 2008).
31. 37
B. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN
Dalam suatu proses pengambilan keputusan, perusahaan akan menghadapi
kesulitan dengan adanya berbagai alternatif pilihan dalam suatu tahapan proses yang
akan dilaksanakan. Kondisi tersebut menuntut perusahaan untuk mengetahui dan
mengerti tentang masalah yang dihadapi, alternatif-alternatif yang ada dan kriteria
untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif guna mendapatkan alternatif
yang terbaik untuk dipilih. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan merancang suatu model sistem yang dapat menggambarkan masalah tersebut
secara menyeluruh agar tahapan pengambilan keputusan dapat dilaksanakan lebih
sederhana dan optimal. Model sistem yang dirancang dikenal dengan sistem
penunjang keputusan.
Sistem penunjang keputusan adalah pendekatan secara sistem dalam
mengambil keputusan, yang merupakan konsep spesifik yang menghubungkan
sistem informasi terkomputerisasi dengan para pengambil keputusan seperti manajer
dan investor. Turban dan Aronson (2001) dalam Marimin (2004) mendefinisikan
sistem penunjang keputusan sebagai suatu sistem interaktif berbasis komputer yang
dapat membantu para pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model
untuk memecahkan persoalan yang bersifat tidak terstruktur.
Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa landasan utama dalam pengembangan
sistem penunjang keputusan (SPK) adalah konsepsi model. Konsepsi model ini
menggambarkan hubungan abstrak antara tiga komponen utama dalam penunjang
keputusan, yaitu pengambil keputusan atau pengguna, model dan data. Masing-
masing komponen tersebut dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Menurut
Marimin (2004), struktur SPK terdiri dari data yang tersusun dalam sistem
manajemen basis data (SMBD), kumpulan sistem yang tersusun dalam sistem
manajemen basis model (SMBM), sistem pengolahan problematik, sistem
manajemen dialog dan pengguna.
Sistem manajemen basis data melakukan tiga fungsi dasar. Fungsi pertama
adalah sebagai penyimpanan data dalam basis data. Fungsi kedua adalah menerima
data dari basis data. Fungsi ketiga adalah sebagai pengendali basis data. Sistem basis
data harus bersifat interaktif dan luwes dalam artian mudah dilakukan perubahan
terhadap ukuran, isi dan struktur elemen-elemen data. Sistem manajemen basis
32. 38
model merupakan sistem perangkat lunak yang mempunyai empat fungsi pokok,
yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model, untuk
memperbarui dan mengubah model serta memanipulasi data. Pada intinya, sistem
manajemen basis model memberikan fasilitas pengolahan model untuk
mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang
tergabung dalam pemodelan SPK. Sistem manajemen dialog merupakan subsistem
untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen dialog adalah
menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna.
Sedangkan sistem pengolah problematik adalah subsistem yang bertugas sebagai
koordinator dan pengendali dari operasi sistem secara keseluruhan. Sistem ini menerima
input dari ketiga sistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan output ke
subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Sistem ini berfungsi sebagai
penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antar subsistem (Marimin, 2004).
C. PROSES HIERARKI ANALITIK
Proses hierarki analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan
suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami
kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan
keputusan. Metode ini dapat digunakan dalam memodelkan permasalahan dan
pendapat-pendapat, dimana permasalahan yang ada telah dinyatakan secara jelas,
dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty, 1993).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata
dalam suatu hierarki. Kemudian, tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian
dilakukan sintesa untuk mendapatkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk mempengaruhi sistem tersebut (Marimin, 2004).
D. GOAL PROGRAMMING
Goal Programming merupakan modifikasi atau variasi khusus dari program
linier yang sudah kita kenal. Analisis goal programming bertujuan untuk
meminimumkan jarak antara atau deviasi terhadap tujuan, target atau sasaran yang
33. 39
telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau
tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan syarat-ikatan yang ada, yang
membatasinya berupa sumber daya yang tersedia, teknologi yang ada, kendala tujuan
dan sebagainya (Nasendi dan Anwar, 1985).
Di dalam model goal programming terdapat sepasang variabel yang dinamakan
variabel deviasional yang berfungsi untuk menampung nilai penyimpangan atau
deviasi yang akan terjadi pada nilai ruas kiri suatu persamaan kendala terhadap nilai
ruas kanannya. Agar deviasi itu minimum, artinya nilai ruas kiri suatu persamaan
kendala sedapat mungkin mendekati nilai ruas kanannya maka variabel deviasional itu
harus diminimumkan di dalam fungsi tujuan (Siswanto, 2007).
Bila pada model program linear, kendala-kendala fungsional menjadi pembatas
bagi usaha pemaksimuman atau peminimuman fungsi tujuan, maka pada model goal
programming kendala-kendala itu merupakan sarana untuk mewujudkan sasaran
yang hendak dicapai. Mewujudkan suatu sasaran, berarti mengusahakan agar nilai
ruas kiri suatu persamaan kendala sama dengan nilai ruas kanannya. Itulah sebabnya,
kendala-kendala di dalam model goal programming selalu berupa persamaan dan
dinamakan kendala sasaran. Keberadaan sebuah kendala sasaran selalu ditandai oleh
kehadiran variabel deviasional sehingga setiap kendala sasaran pasti memiliki
variabel deviasional. Ciri khas lain yang menandai model goal programming adalah
kehadiran variabel deviasional di dalam fungsi tujuan yang harus diminimumkan
(Siswanto, 2007).
Dalam penyelesaian model goal programming, urutan peminimuman variabel
deviasional akan menentukan urutan sasaran yang dicapai. Oleh karena itu,
pengaturan prioritas sasaran yang hendak dicapai dapat dilakukan dengan
mengendalikan urutan pemilihan variabel deviasional yang harus diminimumkan.
Ada tiga macam sasaran di dalam model goal programming, yaitu sasaran-sasaran
dengan prioritas yang sama, sasaran-sasaran dengan prioritas yang berbeda, serta
sasaran-sasaran dengan prioritas dan bobot yang berbeda (Siswanto, 2007).
Dalam hal penyelesaian kasus goal programming dengan menggunakan
perangkat lunak pada komputer, perbedaan prioritas harus dibuat dalam bentuk
koefisien variabel deviasional (pada fungsi tujuan) yang berbeda. Oleh karena itu,
pada penyelesaiannya diterapkan jenis sasaran yang ketiga, yaitu dibuat sasaran
34. 40
dengan prioritas dan bobot yang berbeda. Semakin besar nilai koefisien sebuah
variabel deviasional dari suatu kendala sasaran, maka semakin tinggi prioritasnya
untuk dicapai. Pembagian prioritas tersebut dikatakan sebagai pengutamaan
(preemptive), yaitu mendahulukan tercapainya kepuasan pada suatu tujuan (sasaran)
yang telah diberikan prioritas utama sebelum menuju kepada tujuan-tujuan atau
prioritas-prioritas berikutnya. Namun, pembedaan ini tidak bersifat absolut. Nilai
koefisien yang semakin tinggi belum tentu membuat sebuah kendala sasaran pasti
terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, analisis sensitivitas koefisien
fungsi tujuan akan menentukan batas-batas dimana penambahan atau pengurangan
nilai prioritas sasaran yang tercermin pada koefisien variabel deviasional akan
mengubah penyelesaian optimal yang telah diperoleh atau tidak (Siswanto, 2007).
Model umum suatu persoalan goal programming yang memiliki struktur
timbangan pengutamaan (preemptive weights) dengan urutan ordinal (ordinal
rangking) dapat dirumuskan sebagai berikut (Siswanto, 2007) :
Minimumkan
Syarat ikatan :
Pembatas fungsional :
dan Xj, di
-
, di
+
≥ 0
di
-
, di
+
= 0
Keterangan :
Xj = Peubah (variabel) pengambil keputusan atau kegiatan yang kini
dinamakan sebagai sub tujuan
Ck = Jumlah sumber daya k yang tersedia
Aij = Koefisien teknologi fungsi kendala tujuan, yaitu yang
berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xi)
Bi = Tujuan atau target yang ingin dicapai
35. 41
Gkj = Koefisien teknologi fungsi kendala biasa
di
-
, di
+
= Deviasi plus dan minus dari tujuan atau target ke-i
Py, Ps = Faktor prioritas
Wi,y
+
= Timbangan relatif dari di
+
dalam urutan (rangking) ke-y
Wi,s
-
= Timbangan relatif dari di
-
dalam urutan (rangking) ke-s
E. ANALISIS BIAYA
Biaya alat dan mesin pertanian terdiri dari dua komponen yaitu biaya tetap
(fixed cost/owning cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost/operating cost). Apabila
kapasitas suatu alat atau mesin pertanian diketahui atau dapat dihitung, maka biaya
pokok per satuan produk dapat diketahui (Pramudya dan Dewi, 1992).
1. Biaya Tetap
Biaya tetap adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode akan tetap
jumlahnya. Biaya tetap adalah kelompok biaya yang diperlukan dalam aktifitas
berjalan yang totalnya akan relatif tetap sepanjang periode aktivitas operasional.
Biaya tetap sering juga disebut biaya kepemilikan (owning cost). Biaya ini tidak
tergantung pada produk yang dihasilkan dan bekerja atau tidaknya mesin serta
besarnya relatif tetap. Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya tetap yaitu biaya
penyusutan, biaya bunga modal dan asuransi, biaya pajak dan biaya gudang atau
garasi (Pramudya dan Dewi, 1992).
Biaya penyusutan
Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan akibat penurunan nilai dari suatu
alat atau mesin akibat dari pertambahan umur pemakaian. Salah satu metode yang
dapat digunakan dalam menghitung besarnya biaya penyusutan adalah dengan
metode garis lurus tanpa memasukkan bunga modal dalam perhitungannya.
Besarnya biaya penyusutan dianggap sama setiap tahunnya atau penurunan nilai
bersifat tetap sampai pada akhir umur ekonomisnya.
Pramudya dan Dewi (1992) menyebutkan bahwa umur ekonomi adalah umur dari
suatu alat dari kondisi 100% baru sampai alat tersebut sudah tidak ekonomis lagi
bila terus digunakan dan lebih baik diganti dengan mesin yang baru. Setelah
tercapainya nilai ekonomis tersebut, mesin masih memilki nilai yang disebut nilai
36. 42
akhir. Persamaan biaya penyusutan dengan menggunakan garis lurus adalah
sebagai berikut:
L
SP
D
dimana: D = Biaya penyusutan (Rp / tahun)
P = Harga awal (Rp)
S = Harga Akhir (Rp)
L = Perkiraan umur ekonomis (tahun)
Biaya bunga modal dan asuransi
Bunga modal sebenarnya berupa biaya semu karena tidak benar-benar dikeluarkan
oleh sistem pengolahan. Nilai biaya ini diperhitungkan karena pengolahan telah
melakukan investasi sejumlah uang untuk membeli mesin dan fasilitas lain.
Karena telah diinvestasikan, uang tersebut tidak dapat lagi berkembang jika
halnya uang tersebut disimpan di bank. Besarnya bunga modal dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
N
NPi
I
2
)1(
dimana: I = Total bunga modal (Rp / tahun)
P = Nilai awal mesin (Rp)
i = Tingkat bunga modal (% / tahun)
N = Umur ekonomis (tahun)
Biaya pajak
Pajak untuk mesin pertanian sangat berbeda di setiap negara. Di Indonesia
pemungutan pajak untuk mesin pertanian memang belum banyak dilakukan.
Apabila belum ada ketentuan pemungutan pajak untuk mesin pertanian dan nilai
ini akan diperhitungkan, maka biaya pajak ditentukan berdasarkan persentase
taksiran terhadap harga mesin atau peralatan tersebut. Besarnya persentase
berbeda dari satu negara ke negara lain. Dibeberapa negara besarnya pajak sekitar
2% dari harga awal pertahun.
Biaya gudang atau garasi
Biaya bangunan/garasi dapat berupa biaya untuk membangun bangunan tersebut
atau biaya sewa. Apabila bangunan dibangun sendiri atau dibeli oleh pihak
37. 43
perusahaan, biaya bangunan berupa biaya penyusutan bangunan, sedangkan jika
bangunan disewa, maka biaya bangunan berupa biaya sewa bangunan tersebut.
2. Biaya Tidak Tetap
Biaya tidak tetap adalah biaya-biaya yang dikeluarkan pada saat alat dan mesin
beroperasi dan jumlahnya bergantung pada jam pemakaiannya (Pramudya dan Dewi,
1992). Apabila jumlah satuan produk yang diproduksi pada masa tertentu naik,
jumlah biayanya juga mengalami kenaikan. Perhitungan biaya tidak tetap dilakukan
dalam satuan Rp/jam. Contoh biaya yang termasuk biaya tidak tetap antara lain
adalah :
Biaya bahan bakar
Biaya ini adalah pengeluaran untuk sumber tenaga yaitu bensin, solar, atau listrik.
Untuk kebutuhan bensin atau solar satuannya dalam liter/jam. Dengan mengetahui
harga per liternya di lokasi maka akan didapat biaya dalam Rp/Jam. Pada motor
listrik konsumsi listrik dinyatakan dalam kilowatt atau watt. Dengan mengetahui
tarif listrik dalam Rp/kwh maka akan didapat biaya tenaga listrik dalam Rp/Jam.
Biaya pelumas
Pelumas diberikan untuk memberikan kondisi kerja yang baik bagi mesin dan
peralatan. Minyak pelumas untuk traktor meliputi oli mesin, oli transmisi, oli
garden dan oli hidrolik. Pada mesin pengolahan hasil, pompa air dan generator
listrik tidak terdapat biaya hidrolik dan oli garden. Besarnya biaya pelumas
ditentukan berdasarkan banyaknya penggantian oli pada suatu mesin pada setiap
periode tertentu dan harga satuan oli yang digunakan.
Biaya perbaikan dan pemeliharaan
Biaya perbaikan dan pemeliharaan pada alat-alat mesin pertanian meliputi biaya
penggantian bagian yang telah aus, upah tenaga kerja terampil untuk perbaikan
khusus, pengecatan, pembersihan/pencucian dan perbaikan-perbaikan karena
faktor yang tak terduga. Besarnya biaya perbaikan dan pemeliharaan dapat
dinyatakan dalam persentase terhadap harga awal suatu mesin pertanian.
Biaya operator
Biaya operator biasanya dinyatakan dalam Rp/hari atau Rp/Jam. Besarnya
tergantung pada kondisi lokal. Operator yang digaji bulanan dapat dikonversikan
dalam upah Rp/Jam dengan menghitung jumlah jam kerjanya selama sebulan.
38. 44
Biaya hal-hal khusus
Biaya hal-hal khusus adalah biaya dari penggantian suatu bagian atau suku cadang
yang mempunyai nilai yang tinggi (harganya mahal), tetapi memerlukan
penggantian yang relatif sering karena pemakaian.
3. Biaya Total
Biaya total merupakan jumlah biaya tetap dan biaya tidak tetap. Nilainya
dinyatakan dalam jumlah biaya per tahun atau biaya per jam. Untuk perhitungan
biaya total diperlukan adanya nilai perkiraan jam kerja mesin per tahun. Persamaan
yang dipakai adalah sebagai berikut:
BTT
x
BT
B
dimana: B = Biaya total (Rp/jam)
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
BTT = Biaya tidak tetap (Rp/jam)
x = Jam kerja per tahun (jam/tahun)
4. Biaya Pokok
Pramudya dan Dewi (1992) menyebutkan bahwa biaya pokok adalah biaya
yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang dihasilkan.
F. PENELITIAN TERDAHULU
1. Penelitian mengenai pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS
Mailinton (2007), melakukan penelitian mengenai model penilaian cepat
penanganan limbah pabrik kelapa sawit. Pada hasil penelitiannya dibuat suatu model
penilaian kinerja penanganan limbah kelapa sawit yang diimplementasikan dalam
sebuah perangkat lunak komputer. Dalam model tersebut mencakup beberapa
metode penanganan limbah pabrik kelapa sawit dan parameter-parameter limbah
tersebut yang dapat berdampak pada lingkungan.
Lebih lanjut, Mailinton (2007) menjelaskan bahwa teknologi penanganan
limbah yang lazim digunakan pada pabrik kelapa sawit di Indonesia dapat
digolongkan menjadi tiga jenis kelompok penanganan limbah. Pertama, limbah cair
39. 45
dan lumpur ditangani dengan teknologi sistem kolam dan limbah tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) dimanfaatkan sebagai mulsa. Kedua, limbah cair dan lumpur
dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Ketiga, limbah cair dan lumpur serta
TKKS diolah menjadi kompos dengan teknologi pengomposan.
2. Penelitian mengenai penggunaan model AHP-GP
Badri (2001) melakukan penelitian dengan mengkombinasikan metode AHP
dan GP untuk pemodelan sistem pengawasan mutu untuk kualitas pelayanan. Nilai
hasil analisis metode AHP akan dijadikan nilai bobot pada pemodelan fungsi kendala
sasaran untuk pencapaian nilai global dan nilai lokal AHP pada pemodelan GP yang
dilakukan. Nilai global AHP adalah nilai tingkat pencapaian tujuan (goal) pada
hierarki AHP apabila menerapkan/menggunakan alternatif tertentu pada hierarki
AHP tersebut. Nilai lokal AHP adalah nilai tingkat pencapaian kriteria dalam
hierarki AHP apabila menerapkan/menggunakan alternatif tertentu pada hierarki
AHP tersebut.
Oleh karena dari nilai AHP tersebut akan dimodelkan fungsi kendala sasaran,
maka terdapat nilai deviasi dari fungsi kendala sasaran tersebut yang akan
diminimumkan pada fungsi tujuan. Bentuk model AHP-GP yang dirumuskan oleh
Badri (2001) yaitu sebagai berikut :
Fungsi tujuan :
Fungsi kendala :
a11X1 + a21X2 + …… + a1nXn + DB1 – DA1 = b1
a21X1 + a22X2 + …… + a2nXn + DC2 – DD2 = b2
. . . . . .
am1X1 + am2X2 + …… + amnXn + DBm – DAm = bm
am1X1 + am2X2 + …… + amnXn + DCm – DDm = bm
dan
Xj, DAi, DBi, DCk, DDk, dan wk ≥ 0, untuk i dan k = 1, 2, …, m
Keterangan :
40. 46
Xj = Variabel keputusan atau sub tujuan
amn = Koefisien variabel keputusan
bm = Tujuan atau target yang ingin dicapai
DBi = Variabel deviasi bawah/negatif dari tujuan/target ke-i
DAi = Variabel deviasi atas/positif dari tujuan/target ke-i
Wk = bobot relatif deviasi (pada pendekatan AHP)
DCk = Variabel deviasi bawah/negatif dari tujuan/target ke-k (pada pendekatan
AHP)
DDk = Variabel deviasi atas/positif dari tujuan/target ke-k (pada pendekatan
AHP)