Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas konsep nasakh dalam hukum Islam dan merupakan bukti hubungan antara wahyu dan realitas
2) Nasakh adalah pembatalan hukum dengan menghapus atau mempertahankan teks yang menunjukkan hukum yang dihapus
3) Penelitian ini mengkaji konsep nasakh pada ayat-ayat waris dan wasiat melalui pendekatan ulumul Quran dan ushul fiqh
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyahDiyach Ashfye
Masail fiqhiyah adalah studi tentang masalah-masalah hukum Islam yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari. Objek kajiannya meliputi berbagai persoalan kontemporer yang diselesaikan melalui sumber-sumber hukum Islam. Tujuannya antara lain memperoleh pengetahuan tentang hukum Islam dan menyelesaikan masalah secara ilmiah. Manfaatnya mencakup menambah wawasan untuk menyelesaikan masalah fi
Dokumen tersebut membahas sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari berbagai mazhab. Terdapat lima paragraf yang menjelaskan sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, serta kitab-kitab kaidah fiqhiyah modern. Dokumen ini juga membahas dua kitab kaidah fiqhiyah klasik yaitu Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz
Tulisan ini membahas qawa'id fiqhiyyah sebagai landasan perilaku ekonomi umat Islam. Ia menjelaskan tentang penelitian terhadap 99 qawa'id yang disusun oleh ulama Dinasti Turki Usmani pada abad ke-13 Hijriyah. Tulisan ini menganalisis relevansi qawa'id tersebut dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern."
Tafsir tematik merupakan metode penafsiran Alquran berdasarkan tema atau topik tertentu. Metode ini memiliki beberapa kelebihan seperti mampu memberikan petunjuk praktis untuk menyelesaikan berbagai persoalan kekinian dan mempertahankan relevansi Alquran. Langkah-langkah penafsiran tematik meliputi menetapkan tema, mengumpulkan ayat terkait, menyusun runtutan ayat secara kronologis, mema
Perbandingan Mazhab membahas perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam berbagai masalah hukum Islam beserta dalil-dalilnya, dengan tujuan menemukan pendapat terkuat berdasarkan analisis dalil. Ilmu ini mencakup bidang ibadah, muamalah, hukum positif, dan perbandingan dengan agama lain.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan sejarah perkembangan qawaid fiqhiyah. Secara ringkas, qawaid fiqhiyah adalah aturan-aturan umum yang bersumber dari nash-nash Al-Qur'an dan hadis, yang berkembang selama tiga abad sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga abad ke-3 hijriah.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas konsep nasakh dalam hukum Islam dan merupakan bukti hubungan antara wahyu dan realitas
2) Nasakh adalah pembatalan hukum dengan menghapus atau mempertahankan teks yang menunjukkan hukum yang dihapus
3) Penelitian ini mengkaji konsep nasakh pada ayat-ayat waris dan wasiat melalui pendekatan ulumul Quran dan ushul fiqh
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyahDiyach Ashfye
Masail fiqhiyah adalah studi tentang masalah-masalah hukum Islam yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari. Objek kajiannya meliputi berbagai persoalan kontemporer yang diselesaikan melalui sumber-sumber hukum Islam. Tujuannya antara lain memperoleh pengetahuan tentang hukum Islam dan menyelesaikan masalah secara ilmiah. Manfaatnya mencakup menambah wawasan untuk menyelesaikan masalah fi
Dokumen tersebut membahas sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari berbagai mazhab. Terdapat lima paragraf yang menjelaskan sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, serta kitab-kitab kaidah fiqhiyah modern. Dokumen ini juga membahas dua kitab kaidah fiqhiyah klasik yaitu Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz
Tulisan ini membahas qawa'id fiqhiyyah sebagai landasan perilaku ekonomi umat Islam. Ia menjelaskan tentang penelitian terhadap 99 qawa'id yang disusun oleh ulama Dinasti Turki Usmani pada abad ke-13 Hijriyah. Tulisan ini menganalisis relevansi qawa'id tersebut dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern."
Tafsir tematik merupakan metode penafsiran Alquran berdasarkan tema atau topik tertentu. Metode ini memiliki beberapa kelebihan seperti mampu memberikan petunjuk praktis untuk menyelesaikan berbagai persoalan kekinian dan mempertahankan relevansi Alquran. Langkah-langkah penafsiran tematik meliputi menetapkan tema, mengumpulkan ayat terkait, menyusun runtutan ayat secara kronologis, mema
Perbandingan Mazhab membahas perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam berbagai masalah hukum Islam beserta dalil-dalilnya, dengan tujuan menemukan pendapat terkuat berdasarkan analisis dalil. Ilmu ini mencakup bidang ibadah, muamalah, hukum positif, dan perbandingan dengan agama lain.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan sejarah perkembangan qawaid fiqhiyah. Secara ringkas, qawaid fiqhiyah adalah aturan-aturan umum yang bersumber dari nash-nash Al-Qur'an dan hadis, yang berkembang selama tiga abad sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga abad ke-3 hijriah.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pemikir Muhammad Shahrur mengenai metode hermeneutika dalam menafsirkan Alquran. Secara spesifik dalam cakupan kajian epistemologis metode hermeneutika, Muhammad Shahrur menggunakan sebuah teori yang disebut dengan teori batas untuk menafsirkan Alquran. Kajian ini adalah studi literatur yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana. Diperoleh kesimpulan bahwa di dalam Alquran terdapat penjelasan tentang “Teori Batas”, yaitu batas minimal dan batas maksimal. Hasil akhirnya melahirkan suatu teori yang bersifat aplikatif yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas Muhammad Shahrur terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Secara khusus, dari penelitian Shahrur terhadap beberapa ayat-ayat Alquran memberikan pemahaman yang jelas tentang batas-batas yang boleh dilampaui dan tak boleh dilampaui. Maksudnya, ada ayat yang memberi isyarat batas minimal ada pula ayat yang memberi batas maksimal, dan ada pula ayat yang memberi batas minimal dan maksimal sekaligus.
Teks tersebut membahas tentang Pengertian Qawaid Fiqhiyyah atau Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang bersifat umum. Qawaid Fiqhiyyah dijelaskan sebagai aturan-aturan dasar yang mengatur perbuatan manusia dan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum. Lima Qawaid Fiqhiyyah Utama (Qawaid Asasiyyah al-Khams) diuraikan sebagai dasar dari kaidah-kaidah hukum
Teks tersebut membahas tentang metodologi istinbat hukum Islam. Secara ringkas, metodologi ini meliputi verifikasi teks, pembacaan teks, dan menghargai ijma' ulama. Tahapan-tahapan ini dilakukan untuk mengeluarkan hukum syar'i dari sumber-sumber hukum Islam secara ilmiah.
Dokumen tersebut membahas latar belakang masalah tentang hukum Islam di Indonesia. Ia menjelaskan pengertian hukum Islam, syariah, fiqih, dan sumber-sumber hukum Islam seperti Al-Quran dan Hadist. Dokumen ini juga membahas rumusan masalah dan tujuan penulisan makalah tersebut.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan ilmu fiqh dan usul fiqh, mulai dari zaman Rasulullah SAW hingga abad ke-2 Hijriyah.
2. Pada zaman Rasulullah SAW, sumber hukum berasal dari al-Quran dan sunnah, sedangkan setelahnya muncul ijtihad para sahabat dan tabi'in.
3. Pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah, fiqh
Tulisan ini membahas metodologi studi hukum Islam. Ia menjelaskan pentingnya metodologi dalam memahami hukum Islam agar tidak sembarangan. Hukum Islam merupakan aturan agama yang mengatur kehidupan umat Islam dalam berbagai aspek. Fiqh adalah upaya memahami ajaran Islam termasuk hukum Islam. Tulisan ini juga membahas sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam.
Tulisan ini mengungkap Tafsir Syiah Zaydiyah yang paparkan oleh Imam al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir. Yang menarik dari tulisan ini, kendati madzhabnya syiah Zaidiyah, namun gagasan dan pemikirannya sering sejalan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. selain itu, tulisan ini menelisik corak pemikiran kalam dalam tafsir Fath al-Qadir.
Teks tersebut membahas tentang perkembangan aliran Ahlu al-Ra'yi dalam ijtihad fiqh. Aliran ini berkembang di kalangan Sahabat, Tabi'in, dan Tabi' tabi'in di Irak dengan menekankan penggunaan nalar dalam menyelesaikan masalah hukum baru. Tekanan geografis dan sosial budaya membentuk perbedaan metodologi antara Ahlu al-Ra'yi di Irak dengan Ahlu al-Hadits di Hijaz.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian kaidah-kaidah ushuliyah, sumber-sumber pengambilan kaidah ushul fiqh seperti Al-Quran, Sunnah, Ijma', Akal, dan perkataan Sahabat, serta hubungan antara kaidah-kaidah ushuliyah dengan ilmu ushul fiqh.
Qawaid fiqhiyyah penting dalam perundangan Islam khususnya isu-isu kewangan masa kini. Ia membolehkan pengeluaran hukum baru melalui ijtihad fuqaha' dengan merujuk sumber utama syarak seperti al-Quran dan al-Sunnah serta mempertimbangkan kemaslahatan umum. Pengkategorian qawaid memudahkan pemahaman dan rujukan terhadap hukum syarak.
Teks tersebut membahas tentang ra'yu sebagai sumber hukum Islam. Ra'yu didefinisikan sebagai hasil pemikiran yang bertujuan memberikan solusi untuk masalah hukum baru tanpa adanya dalil syar'i yang jelas, dengan menggunakan kaidah-kaidah yang ditetapkan. Teks tersebut juga membedakan antara ra'yu dan akal, di mana ra'yu adalah pendapat pribadi fakih sedangkan akal merupakan sumber ut
Mukjizat Nabi Muhammad SAW dan Penafian Terhadap Dakwaan OrientalisEzad Azraai Jamsari
Nota perkuliahan PBJJ bagi kursus PPPY1272 Fiqh Sirah, kursus WAJIB dari Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pemikir Muhammad Shahrur mengenai metode hermeneutika dalam menafsirkan Alquran. Secara spesifik dalam cakupan kajian epistemologis metode hermeneutika, Muhammad Shahrur menggunakan sebuah teori yang disebut dengan teori batas untuk menafsirkan Alquran. Kajian ini adalah studi literatur yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana. Diperoleh kesimpulan bahwa di dalam Alquran terdapat penjelasan tentang “Teori Batas”, yaitu batas minimal dan batas maksimal. Hasil akhirnya melahirkan suatu teori yang bersifat aplikatif yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas Muhammad Shahrur terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Secara khusus, dari penelitian Shahrur terhadap beberapa ayat-ayat Alquran memberikan pemahaman yang jelas tentang batas-batas yang boleh dilampaui dan tak boleh dilampaui. Maksudnya, ada ayat yang memberi isyarat batas minimal ada pula ayat yang memberi batas maksimal, dan ada pula ayat yang memberi batas minimal dan maksimal sekaligus.
Teks tersebut membahas tentang Pengertian Qawaid Fiqhiyyah atau Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang bersifat umum. Qawaid Fiqhiyyah dijelaskan sebagai aturan-aturan dasar yang mengatur perbuatan manusia dan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum. Lima Qawaid Fiqhiyyah Utama (Qawaid Asasiyyah al-Khams) diuraikan sebagai dasar dari kaidah-kaidah hukum
Teks tersebut membahas tentang metodologi istinbat hukum Islam. Secara ringkas, metodologi ini meliputi verifikasi teks, pembacaan teks, dan menghargai ijma' ulama. Tahapan-tahapan ini dilakukan untuk mengeluarkan hukum syar'i dari sumber-sumber hukum Islam secara ilmiah.
Dokumen tersebut membahas latar belakang masalah tentang hukum Islam di Indonesia. Ia menjelaskan pengertian hukum Islam, syariah, fiqih, dan sumber-sumber hukum Islam seperti Al-Quran dan Hadist. Dokumen ini juga membahas rumusan masalah dan tujuan penulisan makalah tersebut.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan ilmu fiqh dan usul fiqh, mulai dari zaman Rasulullah SAW hingga abad ke-2 Hijriyah.
2. Pada zaman Rasulullah SAW, sumber hukum berasal dari al-Quran dan sunnah, sedangkan setelahnya muncul ijtihad para sahabat dan tabi'in.
3. Pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah, fiqh
Tulisan ini membahas metodologi studi hukum Islam. Ia menjelaskan pentingnya metodologi dalam memahami hukum Islam agar tidak sembarangan. Hukum Islam merupakan aturan agama yang mengatur kehidupan umat Islam dalam berbagai aspek. Fiqh adalah upaya memahami ajaran Islam termasuk hukum Islam. Tulisan ini juga membahas sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam.
Tulisan ini mengungkap Tafsir Syiah Zaydiyah yang paparkan oleh Imam al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir. Yang menarik dari tulisan ini, kendati madzhabnya syiah Zaidiyah, namun gagasan dan pemikirannya sering sejalan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. selain itu, tulisan ini menelisik corak pemikiran kalam dalam tafsir Fath al-Qadir.
Teks tersebut membahas tentang perkembangan aliran Ahlu al-Ra'yi dalam ijtihad fiqh. Aliran ini berkembang di kalangan Sahabat, Tabi'in, dan Tabi' tabi'in di Irak dengan menekankan penggunaan nalar dalam menyelesaikan masalah hukum baru. Tekanan geografis dan sosial budaya membentuk perbedaan metodologi antara Ahlu al-Ra'yi di Irak dengan Ahlu al-Hadits di Hijaz.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian kaidah-kaidah ushuliyah, sumber-sumber pengambilan kaidah ushul fiqh seperti Al-Quran, Sunnah, Ijma', Akal, dan perkataan Sahabat, serta hubungan antara kaidah-kaidah ushuliyah dengan ilmu ushul fiqh.
Qawaid fiqhiyyah penting dalam perundangan Islam khususnya isu-isu kewangan masa kini. Ia membolehkan pengeluaran hukum baru melalui ijtihad fuqaha' dengan merujuk sumber utama syarak seperti al-Quran dan al-Sunnah serta mempertimbangkan kemaslahatan umum. Pengkategorian qawaid memudahkan pemahaman dan rujukan terhadap hukum syarak.
Teks tersebut membahas tentang ra'yu sebagai sumber hukum Islam. Ra'yu didefinisikan sebagai hasil pemikiran yang bertujuan memberikan solusi untuk masalah hukum baru tanpa adanya dalil syar'i yang jelas, dengan menggunakan kaidah-kaidah yang ditetapkan. Teks tersebut juga membedakan antara ra'yu dan akal, di mana ra'yu adalah pendapat pribadi fakih sedangkan akal merupakan sumber ut
Mukjizat Nabi Muhammad SAW dan Penafian Terhadap Dakwaan OrientalisEzad Azraai Jamsari
Nota perkuliahan PBJJ bagi kursus PPPY1272 Fiqh Sirah, kursus WAJIB dari Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Peter Carley was awarded Employee of the Month for excelling in providing support to Michael Macomber and David Fallon. He has remained one of the firm's top Legal Support Staff through great client outreach efforts. Congratulations also went to Senior Accountant Megan Beatty for being awarded Employee of the Month. As a Senior Accountant, Megan assists with ensuring accurate financial information and reports, and performs accounting functions like facilitating client loans and managing accounts receivable.
Dokumen tersebut membahas tentang kondisi kemiskinan di Indonesia, indikator kemiskinan, program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan, dan paradigma baru pemberantasan kemiskinan. Beberapa indikator kemiskinan yang disebutkan adalah kemiskinan relatif, absolut, kultural, dan struktural. Program-program pemerintah seperti BIMAS, INMAS, dan Takesra/Kukesra digambarkan. Paradigma baru menempatkan masyarak
Teks tersebut berisi soalan-soalan latihan semantik dan peribahasa. Teks tersebut memberikan contoh-contoh kata dan ungkapan yang memiliki makna ganda atau kiasan, serta meminta pembaca untuk mengidentifikasi makna sebenarnya atau ungkapan yang tepat. Teks tersebut juga memberikan jawaban untuk soalan-soalan tersebut.
This document is a company profile for PT Data Management Systems Asia (DAMASA), a smart card solutions company in Indonesia. It provides an overview of the company's background, vision, mission and partnerships. It also describes DAMASA's product range including smart cards for telecommunications, banking, and identification. Additionally, it outlines the services, reliability, and contact information of the company.
CFMS provides facility management services including housekeeping, maintenance, and production support staff out of its headquarters in Pune and offices in Ahmedabad. It has a highly trained team and uses quality equipment and chemicals. CFMS is committed to understanding client needs and creating customized service programs. It has an in-house training center to deploy trained staff from day one and implements consistent management systems. Some of CFMS' clients include restaurants, hotels, and automation companies in Pune.
El documento habla sobre Julian Beever, un artista que ha estado creando ilusiones ópticas en aceras de Europa, Estados Unidos y Australia durante los últimos 10 años. Sus creaciones se ven tan realistas que parecen tridimensionales aunque en realidad son dibujos en el pavimento, lo que sorprende a quienes las ven.
Makalah ini membahas tentang ijtihad dan madzhab. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan segala daya upaya untuk menemukan hukum secara rinci dari sumber-sumber syariat. Sedangkan madzhab didefinisikan sebagai pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh mujtahid dalam memecahkan masalah hukum Islam. Makalah ini juga menjelaskan latar belakang dan tujuan dibuatnya makalah ini.
Qaedah fiqh adalah perkara penting yang boleh membantu ummah dalah membuat keputusan dengan baik dan menghampiri ajaran Islam. Ianya adalah petunjuk dan pertimbangan yang asal dari alQuran dan Sunnah Nabi saw
Dokumen tersebut membahas tentang pengantar qawaid fiqhiyyah (kaedah-kaedah hukum Islam). Ia menjelaskan definisi qawaid fiqhiyyah, sejarah terbentuknya qawaid fiqhiyyah, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah, serta manfaat mempelajari ilmu qawaid fiqhiyyah. Dokumen ini juga menyebutkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya ijti
Makalah ini membahas tentang pengertian hukum Islam meliputi syariah, fiqh, ushul fiqh, mazhab, fatwa, dan qaul. Juga membahas Islam sebagai sumber norma hukum dan etika, mazhab utama dalam hukum Islam, pendekatan hukum Islam, dan kontribusi pendekatan hukum Islam dalam studi Islam.
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)Muhsin Hariyanto
1. Ushul Fikih adalah ilmu yang membahas kaedah-kaedah menentukan hukum syara' dari dalil-dalilnya.
2. Pada masa awal, sumber hukum hanya Alquran dan Sunnah. Rasulullah juga melakukan ijtihad dengan qiyas dan istihsan.
3. Perkembangan Ushul Fikih terjadi setelah masa Rasulullah dengan munculnya metode baru seperti ijma' dan qiyas.
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danratnasuraiya
Filsafat hukum Islam di masa ulama klasik dan kontemporer memiliki dua corak pemikiran, yaitu bercorak ushul fiqh dan bercorak maqashid syari'ah. Ushul fiqh berfokus pada ontologi dan epistemologi hukum Islam sedangkan maqashid syari'ah berfokus pada tujuan dan nilai-nilai universal hukum Islam. Kedua corak pemikiran ini terus dikembangkan oleh para ulama hingga saat ini.
1. Ijtihad merupakan pengerahan kemampuan maksimal untuk mendapatkan dugaan kuat tentang hukum syara'. Ijtihad harus terus dilakukan agar Islam dapat berkembang.
2. Pada abad ke-5 H, para fuqaha mengeluarkan larangan ijtihad di bidang fiqih sehingga menyebabkan fiqih menjadi stagnasi dan tidak berkembang.
3. Tertutupnya pintu ijtihad berdampak negatif terhadap perkembangan
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)Muhsin Hariyanto
Ushul Fikih adalah ilmu yang membahas kaedah-kaedah menentukan hukum Islam dari sumber-sumbernya. Ilmu ini membahas berbagai topik seperti jenis-jenis hukum, unsur-unsur perbuatan, pelaku perbuatan, dan dalil-dalil syarak. Ushul Fikih sangat penting untuk mengembangkan dan menerapkan ajaran Islam sesuai perkembangan zaman.
1. 21Muh. Nashirudin: Talîl Al-Ahkâm dan Pembaruan Ushul Fikih
TA’LÎL AL-AHKÂM DAN PEMBARUAN USHUL FIKIH
Muh. Nashirudin
Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta
Jl. Pandawa, Pucangan, Sukoharjo, Jawa Tengah
E-mail: muh.nashirudin@gmail.com
Abstract. Talîl al-Ahkâm and Renewal of Ushûl al-Fiqh. Renewal of Islamic law was necessary to renewal fiqh and
ushûl al-fiqh which become the method of determination of Islamic law. Among the classical fiqh issues that can
currently be used as the entrance to reform is to perform the renewal talîl al-ahkâm process, namely by making the
wisdom and interests as a determinant of the presence and absence of law in a matter.
Keywords: talîl al-ahkâm, fiqh, ushûl al-fiqh, maslahah
Abstrak. Talîl al-Ahkâm dan Pembaruan Ushul Fikih. Pembaruan atas hukum Islam meniscayakan adanya
pembaruan fikih dan ushul fikih yang menjadi metode penetapan hukum Islam. Diantara persoalan ushul fikih yang
saat ini dapat dijadikan pintu masuk untuk melakukan pembaruan adalah dengan melakukan pembaruan dalam proses
talîl al-ahkâm, yaitu dengan menjadikan hikmah dan maslahat sebagai penentu ada dan tidak adanya hukum dalam
sebuah masalah.
Kata Kunci: talîl al-ahkâm, fikih, ushul fikih, maslahat
Pendahuluan
Hukum Islam merupakan bagian yang sangat penting
dalam kehidupan seorang Muslim dan ajaran Islam.
Kajian tentang hukum Islam menjadi sebuah kajian yang
tidak akan lepas dari kajian tentang Islam itu sendiri.
Joseph Schacht, misalnya, mengatakan bahwa hukum
Islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi paling
tipikal dari cara hidup seorang Muslim dan merupakan
inti dan saripati Islam itu sendiri.1
Oleh karena itu kajian
tentang hukum Islam menjadi kajian yang sudah ada
sejak periode awal Islam dan tetap berlangsung hingga
saat ini.
Keberlangsungan hukum Islam (baca: fikih Islam)
paling tidak tergantung kepada dua faktor utama.
Pertama, bagaimana melakukan pembaruan terhadap
fikih Islam sehingga sesuai dengan problematika sosial
yang berkembang pada saat ini, dapat menemukan
jalan keluar dan solusi yang tepat atas problem-problem
tersebut serta tetap dalam koridor kesesuaian dengan
murâd al-syâri’. Kedua, pembaruan dan pengembangan
metodologi hukum Islam yang tidak lain adalah
pembaruan dan pengembangan ushul fikih.
Naskah diterima: 15 September 2014, direvisi: 10 November
2015, disetujui untuk terbit: 17 Desember 2014.
1
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford
University Press, 1964), h.1.
Selintas Sejarah Ushul Fikih
Ketika berbicara tentang sejarah ushul fikih
sebagai sebuah keilmuan yang mandiri, hampir
disepakati bahwa al-Syâfi’î adalah pelopor pertama
dalam hal ini melalui karyanya, al-Risâlah. Melalui
karya ini, al-Syâfi’î meletakkan dasar-dasar meto
dologis penetapan hukum Islam dengan lebih
sistematis. Sebagai sebuah produk pemikiran, ilmu
ushul fikih mengalami pergerakan dinamis sejak awal
perkembangannya.
Perkembangan tersebut paling tidak menunjukkan
adanya dua kutub besar dalam teori ushul fikih,
yaitu teori yang menjadikan qiyas dan proses talîl
al-ahkâm sebagai poros dan dasarnya, dan teori yang
menjadikan maqâshid al-syarî’ah sebagai pondasinya.
Keduanya memang tidak harus dipahami sebagai dua
teori yang saling bertentangan karena pada dasarnya
keduanya tetap menjadikan nushûsh syar’iyyah
sebagai titik tolak, hanya saja teori qiyas dianggap
“terbelenggu” pada bagaimana mencari kesamaan
‘illat dalam peristiwa yang ada nushûsh syar’iyyah
dengan peristiwa baru yang belum ada hukumnya
dalam nushûsh syar’iyyah, sedangkan teori maqâshid
al-syarî’ah berjalan lebih jauh dari itu, yakni menggali
tujuan utama disyariatkannya hukum yang ada dalam
nushûsh syar’iyyah.
2. 22 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Qiyas dan Ta’lîl al-Ahkâm
Kajian tentang qiyas, dalam ilmu ushul fikih, menjadi
sangat penting karena qiyas berhubungan erat dengan
ijtihad, bahkan ada sebuah ungkapan yang dinisbatkan
kepada al-Syâfi’î bahwa ijtihad adalah qiyas. Ungkapan
ini dibantah oleh al-Mâwardî. Ia mengatakan bahwa yang
dimaksud ungkapan itu adalah bahwa makna ijtihad
adalah makna qiyas karena keduanya sama-sama dipakai
untuk menemukan hukum yang tidak ada nashnya (ghair
manshûsh ‘alayh). Ada perbedaan antara ijtihad dan qiyas.
Jika ijtihad adalah kesungguhan untuk mendapatkan
kebenaranberdasarkanpremis-premisyangada,sedangkan
qiyas adalah mengumpulkan antara ashl dengan far’ karena
kesamaan ‘illat. Untuk melakukan qiyas selalu dibutuhkan
ijtihad, sedangkan ijtihad tidak selalu memerlukan qiyas.2
Oleh karena itulah, al-Mâwardî mengatakan bahwa se
belum membahas qiyas, dua persoalan yang perlu dibahas
terlebih dahulu adalah ijtihad dan istinbâth.3
Terlepas dari itu, pembahasan tentang qiyas pada
dasarnya berkisar pada pembahasan ‘illat sebagai inti
pembahasandariqiyas.Dikatakansebagaiintipembahasan
qiyas karena dengan ‘illat-lah sebuah nas akan dapat
diperluas “wilayah keberlakuannya” dengan menjadikan
hukumnya berlaku pada peristiwa lain yang sama sehingga
dapat menampung sebanyak mungkin peristiwa. Oleh
karena itu, proses menemukan ‘illat dari teks-teks hukum
(talîl al-ahkâm) menjadi proses yang sangat penting karena
proses inilah yang akan menjaga keberlangsungan dan
kelanggenganteks-tekshukumIslam.Keterbatasansumber
hukum Islam dari sisi kuantitasnya, diharapkan dapat
mengatasi problem sosial yang selalu berubah dan tidak
terbataskarenaadaprosesyangdapatmenjadikannyadapat
mengantisipasi persoalan-persoalan baru yang muncul.
Hanya saja, proses qiyas dengan talîl al-ahkâm memang
sangat terbatas karena harus mencari dua persoalan yang
sama atau mirip, salah satunya merupakan persoalan yang
sudah ada hukumnya dalam nas syariat dan persoalan
lain adalah persoalan baru yang hendak diberikan status
hukum, kemudian menemukan ‘illat yang sama antara
keduanya agar dapat disamakan status hukumnya. Qiyas
dengan model ini akan sulit memecahkan persoalan baru
yang tidak dapat dicarikan kesamaannya dengan persoalan
lama yang manshûsh dan mencari kesamaan ‘illat-nya.
Oleh karena itu maka banyak kalangan yang me
nyuarakan untuk meninggalkan metode qiyas melalui
proses talîl al-ahkâm menuju metode maqâshid al-
syarî’ah yang bisa lebih fleksibel sehingga dapat lebih
menjawab persoalan kontemporer yang semakin
kompleks.
2
Al-Mâwardî, Al-Hâwî al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), juz XVI,
h.117-118.
3
Al-Mâwardî, Al-Hâwî al-Kabîr, h.117-118.
Maqâshid al-Syarî’ah sebagai Alternatif
Maqâshid al-syarî’ah menjadi salah satu tema dalam
ushul fikih yang saat ini mendapat perhatian besar dari
ulama dan pemikir kontemporer. Maqâshid al-syarî’ah
menjadi alternatif atas ketidakmampuan metode qiyas
dengan proses talîl al-ahkâm dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kontemporer.
Sebenarnya al-Syâthibî bukanlah orang pertama yang
berbicara tentang maqâshid al-syarî’ah.Tercatat al-Hâkim
al-Turmudzî (w. 320 H), al-Qaffâl al-Syâsyî (w. 365 H),
Imâm al-Hâramayn al-Juwaynî (w. 478 H), Abû Hâmid
al-Ghazâlî (w. 505 H), Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H),
Sayf al-Dîn al-Âmidî (w. 631 H), ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd
al-Salâm (w. 660 H), Syihâb al-Dîn al-Qarrâfî (w. 685
H), Najm al-Dîn al-Thûfî (w. 716 H), Ibn Taymiyyah
(w. 728 H) dan lain-lain adalah tokoh-tokoh yang mem
bincangkan maqâshid al-syarî’ah dalam karya-karya
mereka dengan beberapa perbedaan dalam titik berat
pembahasan. Al-Raysûnî menulis bahwa munculnya
kajian maslahat atau maqâshid al-syarî’ah dimulai sejak
masa al-Hâkim al-Turmudzî. Ia telah menggunakan
istilah maqâshid sebagai judul bukunya al-Shalât wa
Maqâshiduhâ yang menguraikan maqâshid dan rahasia
shalat. Ide ini kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar
berikutnya seperti Abû Manshûr al-Mâturidî (w. 333 H),
al-Qaffâl al-Syâsyî (w. 365 H), Abû Bakr al-Abharî (w.
375 H) dan al-Bâqillanî (w. 403 H).4
Pada periode berikutnya Imâm al-Haramayn ke
mudian berupaya mensistematisasikan konsep ini
dengan membaginya menjadi tiga strata, yaitu: al-
dharûriyyât, al-hâjiyyât, dan al-tahsîniyyât. Kemudian
dilanjutkan dan dikembangkan oleh muridnya, Abû
Hâmid al-Ghazâlî dalam kitabnya, al-Mankhûl min
Ta’lîqal-Ushûl,Syifâ’al-Ghalîldanal-MustashfâMin‘Ilm
al-Ushûl yang membagi maqâshid al-syarî’ah dalam lima
kategori, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Hanya saja, kajian maqâshid al-syarî’ah dalam
karya-karya tersebut berada di bawah pembahasan tema
usul fikih lain seperti maslahat mursalah atau istishlâh.
Tema maqâshid al-syarî’ah hanya menjadi bagian dari
tema usul fikih yang lain.
Maqâshid al-syarî’ah baru muncul sebagai sebuah
tema yang mandiri dengan munculnya al-Syâthibî yang
menuliskan tema tersebut dalam al-Muwâfaqât. Ia men
jadi peletak dasar teori maqâshid al-syarî’ah sebagai
mana al-Syâfi’î adalah peletak dasar ushul fikih dengan
teori qiyas dan ‘illat. Al-Syâthibî menjadikan maqâshid
al-syarî’ah sebagai bahasan utama dalam karyanya,
4
Ahmad al-Raisûnî, Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind al-Imâm al-
Syâthibî, , (t.t.p.: IIIT, 1995), cet. IV, mulai h. 40.
3. 23Muh. Nashirudin: Talîl Al-Ahkâm dan Pembaruan Ushul Fikih
bukan sekedar bahasan sekunder di bawah tema-tema
lain dalam ushul fikih. Hanya saja, sangat disayangkan
bahwa karya monumental ini terkubur dalam waktu
yang sangat lama karena baru dijadikan bahan kajian
dan dipelajari dengan lebih intensif pada tahun 1884 H.
Sejak saat itulah maqâshid al-syarî’ah menjadi kajian yang
terus dikembangkan.
Di antara gagasan penting yang disampaikan oleh
al-Syâthibî dalam al-Muwâfaqât adalah menjadikan pe
ngetahuan atas maqâshid al-syarî’ah sebagai salah satu
pra syarat seseorang laik melakukan ijtihad. Pengetahuan
atas maqâshid al-syarî’ah tersebut dapat dilakukan dengan
melakukan penelitihan induktif (istiqrâ’) atas nas-nas syar’i.
Dengan cara ini, al-Syâthibî menjadikan ayat-ayat dalam
Alquran sebagai sebuah kesatuan yang membawa pesan-
pesan yang universal. Ia menolak keras cara pemahaman
ayat-ayat Alquran dengan pendekatan atomistic karena
dapat menghilangkan pesan utama ayat-ayat Alquran
yang tersebar di seluruh bagiannya.
Gagasan al-Syâthibî dengan teori maqâshid-nya
kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh kontemporer,
diantaranya adalah Thâhir ibn ‘Âsyûr dan ‘A’llâl al-Fâsî.
Keduanya berasal dari Arab bagian barat, yakni Tunis
dan Maroko yang bermadzhab Maliki, madzhab yang
juga dianut oleh al-Syâthibî. Thâhir ibn ‘Âsyûr seolah
menghidupkan kembali kajian atas maqâshid al-syarî’ah
yang sudah lama terpendam.
Beberapa pemikiran yang diusung oleh Thâhir ibn
‘Âsyûr juga termasuk baru dan semakin memberikan
warna pada pemikiran tentang maqâshid al-syarî’ah. Ia,
misalnya, menambahkan tiga poin baru maqâshid al-
syarî’ah selain lima poin yang sudah disampaikan oleh al-
Ghazâlî, yakni al-musâwâh, al-tasâmuh dan al-hurriyyah.5
Selain menambahkan maqâshid al-syarî’ah dari lima
poin yang ada, para ulama kontemporer, termasuk
diantaranya Thâhir ibn ‘Âsyûr, juga menambah kategori
baru sebagai pembagian maqâshid al-syarî’ah. Maqâshid
al-syarî’ah dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu ‘âmmah,
khâshshah dan juz’iyyah.6
Maqâshid ‘âmmah adalah
makna yang ada dalam seluruh atau sebagian besar tasyrî’,
seperti toleransi (al-tasâmuh), mempermudah (al-taysîr),
keadilan dan kebebasan. Termasuk diantara maqâshid al-
syarî’ah al-‘âmmah adalah segala persoalan pokok yang
menjadi tujuan syariat untuk kebaikan manusia di dunia
dan akhirat yang dikenal dengan al-dharûriyyât al-khams¸
yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
5
Muhammad Thâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
(Yordania: Dâr al-Nafâis, 2001), h.249.
6
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyah bi
Maqâshidihâ, (Virginia: al-Ma’had al-‘Âlamî li al-Fikr al-Islâmî, 2006),
h.15-17.
Al-maqâshid al-khâshshah merupakan makna dan
kemaslahatan yang ada dalam sebuah hukum syariat yang
sifatnya khusus, seperti adanya tujuan tidak menyakiti
perempuan dalam masalah keluarga, disyariatkannya
hukuman dengan tujuan membuat jera, atau tujuan tidak
adanya penipuan dalam masalah hukum muamalah.
Sedangkanyangdimaksuddenganal-maqâshidal-juz’iyyah
adalah hikmah dan rahasia yang terkandung dalam sebuah
hukum yang sifatnya parsial seperti adanya keringanan
untuk tidak berpuasa bagi yang berat melakukannya
untuk tujuan menghilangkan kesulitan (raf’ al-masyaqqah
wa al-haraj), atau untuk menumbuhkan sikap saling
berbagi antar umat Islam dalam hal larangan menyimpan
daging kurban.
Pembagian seperti ini pada dasarnya bermanfaat
untuk memetakan pelbagai manfaat dan tujuan di
tetapkannya sebuah hukum sehingga dapat dibedakan
tingkat urgensi dan kepentingan antara satu manfaat
dan tujuan dengan tujuan dan manfaat yang lain
dan tidak terjadi tumpang tindih dalam menentukan
prioritas manfaat dan tujuan yang akan dicapai.
Maqâshid al-syarî’ah, dengan pelbagai perkembangan
terbaru tersebut, pada saat ini dianggap sebagai sebuah
alternatif yang paling tepat dalam rangka melakukan
pembaruan ushul fikih dan juga menjadikan dinamika
fikihberjalanlebihbaikdanfleksibel.Hanyasaja,beberapa
kalangan merasa bahwa teori maqâshid al-syarî’ah sudah
banyak dipahami dan digunakan secara salah sehingga
keluar dari apa yang ada dalam nas-nas syar’i dan terlepas
dari kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para penggagas
teorimaqâshidal-syarî’ahyangolehal-Qaradhawîmisalnya
dikatakan sebagai al-mu’aththilah al-judûd.7
Oleh karena
itu, diperlukan gagasan untuk tetap menjadikan proses
talîl al-ahkâm sebagai sarana untuk mengembangkan
ushul fikih dan juga menjaga fikih tetap dinamis tanpa
harus meninggalkan nas sama sekali. Diantaranya adalah
dengan memperbarui proses talîl al-ahkâm, tidak sekedar
membatasinya pada ‘illat, akan tetapi mencoba untuk
menjadikan hikmah dan juga maslahat dan mafsadat
sebagai faktor penentu dalam proses talîl al-ahkâm.8
Ta’lîl al-Ahkâm dengan hikmah
Salah satu persoalan yang masih menjadi persoalan
dan perdebatan diantara para ulama akan tetapi laik
untuk dijadikan sebagai salah satu terobosan dalam
pengembangan ushul fikih adalah menjadikan hikmah
sebagai ‘illat dalam proses qiyas (talîl al-ahkâm bi al-
7
Lihat misalnya Yûsuf al-Qaradhawî, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-
Syarî’ah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2006), cet. I.
8
Lihat misalnya dalam Muhammad al-Rûkî (ed.), al-Ijtihâd al-Fiqhî,
Ayy Dawr wa Ayy Jadîd, (Rabat: Universitas Muhammad V Rabat, 1996).
4. 24 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015
hikmah). Proses talîl al-ahkâm dengan hikmah memang
menimbulkanperdebatandiantaraparatokoh.Al-Âmidî
mengatakan bahwa ada tiga pendapat dalam hal ini,
yiatu: (1) Melarang dijadikannya hikmah sebagai ‘illat
apabila tidak ada batasannya yang jelas. (2) Sebagian
ulama Mâlikiyyah dan Hanâbilah membolehkannya
secara mutlak, dan (3) Apabila ‘illat bersifat jelas dan
terukur (zhâhir, munzhabith), sedangkan hikmah tidak
terukur (ghayr munzhabith) maka ta’lîl harus dengan
‘illat, tidak dengan hikmah, sedangkan bila ‘illat yang
tidak jelas dan terukur, sedangkan hikmah yang bersifat
jelas dan terukur, maka ta’lîl adalah dengan hikmah.9
Jaser ‘Audah adalah salah satu tokoh modern yang
membedakan antara hikmah dengan ‘illat (al-maqshad
dalam bahasa ‘Audah). Hikmah adalah kemaslahatan yang
berakibat pada hukum dalam bentuk sekunder, sedangkan
‘illat adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh pembuat
syariat atau diduga kuat oleh mujtahid merupakan tujuan
utama hukum secara asasi. Artinya, jika saja ‘illat itu tidak
ada, tentu hukum juga tidak akan pernah ada. Hikmah
bisa saja berbeda dengan ‘illat atau merupakan bagian dari
‘illat atau bahkan sama dengan ‘illat.10
Ada tiga alasan yang dipakai ‘Audah untuk menolak
hikmah sebagai ‘illat dalam hukum, yaitu al-khafâ’
(samar, tidak jelas dan inderawi), al-inzhibâth (terukur),
dan takhalluf al-hukm ‘an al-hikmah.11
Walaupun sebagian besar ulama menolak menjadikan
hikmah sebagai ‘illat dalam proses talîl al-ahkâm, akan
tetapi ternyata para ulama yang menolaknya tetap men
jadikan hikmah sebagai salah batasan dalam definisi ‘illat.
Misalnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibn
Badrân:
كانبه......و أناطهو احلكم عالشر إليه أضاف ما العلة
12
.يعرالتش حكمة حيقق أن به إناطته يف الشأن
Dalam definisi lain, Abû Zahrah mengatakan:
فيه تتحقق الذي املنضبط الظاهر الوصف هي العلة
13
.الواألح كليف ال الواألح أكثر يف احلكمة
Definisi Abû Zahrah meninggalkan persoalan karena
9
Al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-
‘Arabî, 1404 H), Jilid III, h.224, al-Subkî, Al-Ibhâj, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H), Jilid III, h.140.
10
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyah
bi Maqâshidihâ, h.61.
11
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyah
bi Maqâshidihâ, h.59-60.
12
Ibn Badrân, Rawdhah al-Nazhîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990),
Jilid II, h.229.
13
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1980), h.237-238.
menjadikan hikmah sebagai bagian yang tidak harus
dicapai dalam proses talîl al-ahkâm. Sebuah hukum akan
kehilangan ruh yang sebenarnya jika tidak menjadikan
hikmah sebagai salah satu bagian yang harus dicapai.
Diantara ulama yang membolehkan dengan hikmah
adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Ia mengatakan:
مملوآن سلم و عليه اهلل صلى اهلل رسول وسنة القرآنو
هبما اخللق وتعليل املصاحلو باحلكم األحكام تعليل من
اإلحكام تلك عشر ألجلها اليت احلكم وجوه على التنبيهو
السنةو القرآن يف هذا كانلوو األعيان تلك خلق وألجلها
على يدزي لكنهو لسقناها مائتني أو موضع مائة حنو يف
الصرحية التعليل الم يذكر فتارة متنوعة بطرق موضع ألف
وتارة بالفعل املقصود هو الذي ألجله املفعول يذكر وتارة
كي أداة يذكر وتارة التعليل يف الصرحية أجل من يذكر
للتعليل املتضمنة لعل أداة يذكر وتارة أنو الفاء يذكر وتارة
14
.....املخلوق إىل املضاف الرجاء معىن عن اجملردة
Ungkapan Ibn al-Qayyim tersebut paling tidak
menggambarkan bahwa hikmah dan juga maslahat bisa
dijadikan sebagai alasan penetapan hukum, bukan sekedar
dengan ‘illat fikih yang sudah didefinisikan dengan sangat
terbatas oleh sebagian besar ulama ushul fikih.
Selain Ibn al-Qayyim, al-Râzî juga salah satu tokoh
yang membolehkan dijadikannya hikmah sebagai ‘illat.
Ia mengatakan bahwa yang memiliki pengaruh terhadap
hukum (al-muatstsir) pada hakikatnya adalah hikmah
dan bukan sifat (‘illat). Sifat atau ‘illat dapat dijadikan
sebagai al-muatstsir karena adanya hikmah di dalamnya.
Bahkan selama hukum dapat disandarkan kepada
hikmah, maka hukum tidak boleh disandarkan pada
‘illat. Kebolehan ta’lîl dengan‘illat hanyalah jika tidak
mampu melakukan proses ta’lîl dengan hikmah.15
Dan
yang dimaksud dengan hikmah oleh al-Râzî dalam hal
ini jalb al-naf’ aw daf’ al-madharrah, menarik manfaat
atau menolak kerusakan.16
Artinya, pada dasarnya al-
Râzî menjadikan terwujudnya maslahat dan hilangnya
mudarat sebagai faktor utama dalam menentukan mana
yang memiliki pengaruh terhadap ada dan tidak adanya
14
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Jilid II, h.22. Ibn al-Qayyim memberikan
contoh-contoh dari Alquran dan Sunah mengenai penggunaan hikmah
sebagai alasan penetapan hukum dalam karyanya yang lain I’lâm al-
Muwaqqi’în, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), Jilid I, h.270 dan
seterusnya.
15
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, (Riyadh: Jâmi’ah
Muhammad ibn Sa’ûd, 1400 H), Jilid V, h.391 dan seterusnya.
16
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, h.397.
5. 25Muh. Nashirudin: Talîl Al-Ahkâm dan Pembaruan Ushul Fikih
hukum. Dan hal itu dapat tercapai jika hikmahlah yang
pertama kali dijadikan faktor penentunya.
Diantaracontohyangdapatdikemukakandalamhalini
adalah adanya larangan dari Rasulullah Saw bagi seorang
hakim untuk memutuskan hukum dalam keadaan marah
karena ada sebuah hikmah yang terkandung di dalamnya,
yaitu tidak jernihnya pemikiran saat marah. Atas dasar
hikmah itu, hakim yang dalam keadaan sangat lapar dan
haus juga dilarang membuat keputusan hukum karena
adanya kesamaan hikmah. Anak kecil harus berada dalam
perwalian karena hikmah yang terkandung di dalamnya,
yaitu ketidakmampuannya dalam mengurus diri sendiri.
Orang gila dapat diqiyaskan dalam masalah ini karena
alasan yang sama.17
Kasus-kasus lain yang serupa dapat
dijadikan sebagai contoh kemungkinan menjadikan
hikmah sebagai ‘illat dalam penetapan hukum.
Ta’lîl al-Ahkâm dengan Maslahat dan Mafsadat
Seluruh ulama sepakat bahwa disyariatkan hukum
syarak tidak lain adalah untuk mencapai maslahat dan
untuk menolak mafsadat. Maslahat secara terminologi
adalah sesuatu yang bermanfaat, baik dengan menarik
sesuatu atau menghasilkan sesuatu, seperti menghasilkan
manfaat dan kebahagiaan atau dengan cara menolak,
seperti menjauhkan dari kemudaratan dan penyakit.18
Maslahat adalah sesuatu yang merujuk atau dikembali
kan kepada tegaknya kehidupan manusia.19
Mencapai
kemaslahatan dan menolak mafsadat/kerusakan yang
merupakan makna yang dimaksudkan oleh Syâri’ untuk
diwujudkan dalam mensyariatkan hukum itulah yang
kemudian disebut dengan maqâshid al-syarî’ah.20
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, sebagaimana dalam
kutipan kata-katanya di atas, termasuk salah satu tokoh
yang menyerukan untuk menjadikan maslahat sebagai
bagian dari proses talîl al-ahkâm.21
Proses talîl al-ahkâm
tidak harus dengan menjadikan ‘illat yang di-istinbâth-kan
dari teks sebagai penentu ada dan tidak adanya hukum,
akan tetapi dengan melihat tujuan akhir penentuan ‘illat
itu, yaitu terwujudnya kemaslahatan dan hilangnya
kerusakan. Seruan ini pada dasarnya juga mendasari
pemikiran beberapa tokoh selanjutnya, termasuk al-
Syâthibî dan Thâhir ibn ‘Âsyûr yang dikenal sebagai
tokoh utama dalam teori maqâshid al-syarî’ah. Mereka
17
Ibn Qudâmah, Rawdhah al-Nazhîr, (Riyadh: Jâmi’ah
Muhammad ibn Sa’ûd, 1399 H), h.377.
18
Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, Al-Mashâlih al-Mursalah wa
Makânatuhâ fî al-Tasyrî’, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Jâmi’, t.t.), h.12-13.
19
Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Ahkâm al-Syarî’ah, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Jilid II, h. 29.
20
Lihat dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-
Ushûl, (Damaskus: Bayt al-Husayn, t.t.), h.251, Muhammad Thâhir
ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, h.180.
21
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Jilid II, h.22.
memasukkannya dalam proses untuk mengetahui
maqâshid al-syarî’ah. Memasukkan maslahat dan mafsadat
sebagai bagian dari proses talîl al-ahkâm, pada dasarnya
adalah untuk tetap menghasilkan fikih yang tidak terlepas
dari teks atau nas syar’i di satu sisi, akan tetapi tidak
kehilangan elastisitasnya dalam mengikuti perkembangan
terbaru di sisi yang lain. Dan agar tidak terjadi kesalahan
dalam menentukan maqâshid al-syarî’ah, para ulama
kemudian memberikan cara untuk mengetahuinya.
Para ulama terdahulu membatasi cara mengetahui
maqâshid al-syarî’ah secara tekstual bahwa setiap nas yang
zhâhir, setiap perintah dan larangan yang ada dalam teks
syar’i selalu mengandung maqâshid al-syarî’ah. Setiap
perintah dipastikan ditujukan untuk membawa sebuah
kemaslahatan dan setiap larangan selalu ditujukan
untuk menolak kerusakan sehingga maqâshid al-syarî’ah
selalu berada dalam lingkup pelaksanaan perintah dan
larangan secara tekstual. Pemahaman seperti inilah yang
kemudian dieksplorasi dengan lebih luas oleh al-Syâthibî.
Identifikasi maqâshid al-syarî’ah secara kaku dan tekstual
belaka, dalam pandangan al-Syâthibî, justru akan
menghilangkan tujuan utama ditetapkannya hukum
yang ada dalam teks itu sendiri. Sebaliknya, ia meyakini
bahwa maqâshid al-syarî’ah tidak dapat dipahami dari
teks secara literer, akan tetapi didapatkan dari bagian
yang tidak disebutkan oleh teks atau di luar teks juga
akan membawa pada paham yang membatalkan dan
menganulir keberlakuan teks-teks syar’i. Oleh karena
itu, selain melalui pemahaman tekstual, pengetahuan
atas maqâshid al-syarî’ah juga harus disertai dengan
pemahaman atas tujuan utama ditetapkannya hukum
yang ada dalam teks-teks lain. Untuk tujuan itulah, ia
mengajukan metode induktif (istiqrâ’) yang menjadikan
teks-teks syar’i tidak berdiri sendiri, akan tetapi kumpulan
keseluruhan teks yang membawa kepada tujuan-tujuan
utama penetapan hukum.22
Adanya klasifikasi maqâshid
al-syarî’ah dalam al-dharûriyyât. al-hâjiyyât dan al-
tahsîniyyât, misalnya, tidak didapatkan melalui teks-
teks secara mandiri, akan tetapi merupakan kesimpulan
induktif dari pelbagai teks yang ada.
Thâhir ibn ‘Âsyûr mengatakan bahwa ada tiga cara
yang dapat digunakan untuk mengetahui maqâshid al-
syarî’ah, yaitu23
pertama, dengan melakukan istiqrâ’. Istiqrâ’
dilakukan dengan dua cara: (1) Dengan mengkaji dan
meneliti semua hukum yang diketahui ‘illat-nya. Dengan
meneliti ‘illat, maqâshid al-syarî’ah akan dapat diketahui
dengan lebih mudah. Misalnya adalah íllat dari larangan
melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain
22
Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Ahkâm al-Syarî’ah, Jilid II, h.391
dan seterusnya.
23
Muhammad Thâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-
Islâmiyyah, h.190 dan seterusnya.
6. 26 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015
dan larangan menawar sesuatu yang ditawar orang lain
adalah keserakahan yang dapat menghalangi kepentingan
orang lain. Maqâshid al-syarî’ah yang dapat dipetik dari
larangan tersebut adalah langgengnya persaudaraan antara
saudaranya yang seiman. (2) Meneliti dalil-dalil hukum
yang sama ‘illat-nya sampai merasa yakin bahwa ‘illat
tersebut adalah tujuan ditetapkannya hukum. Banyaknya
perintah untuk memerdekakan budak menunjukkan
bahwa salah satu maqâshid al-syarî’ah adalah al-hurriyyah
atau kebebasan.
Kedua, dalil-dalil Alquran yang jelas dan tegas
dalâlah-nya yang kemungkinan kecil mengartikannya
bukan pada makna zahirnya. Lafal kutiba ‘alaykum
al-shiyâm dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 183, misalnya,
tidak bisa diartikan selain pada makna zahirnya, yakni
diwajibkannya puasa.
Ketiga, dalil-dalil Sunah yang mutawâtir, baik
mutawâtir maknawi (dihasilkan dari kesaksian sebagian
besar sahabat atas perbuatan Nabi) ataupun mutawâtir
amali (dihasilkan dari kesaksian individual para sahabat
atas perbuatan Nabi yang dilakukan secara berulang).
Cara pertama untuk mengetahui maqâshid al-syarî’ah
yang disampaikan oleh Thâhir ibn ‘Âsyûr merupakan
bentuk pelibatan proses talîl al-ahkâm dalam menemukan
dan mengetahui maqâshid al-syarî’ah. Artinya, pada
dasarnya proses talîl al-ahkâm tidak dihilangkan sama
sekali dalam metode maqâshid al-syarî’ah, bahkan menjadi
bagian yang penting dalam menyingkap dan menemukan
maqâshid al-syarî’ah. Hal inilah yang bisa dijadikan dasar
bahwaprosestalîlal-ahkâmsaatinibisasajatetapdigunakan
selama menjadikan maqâshid al-syarî’ah sebagai tujuan
akhirnya. Selama tujuan akhir dari proses talîl al-ahkâm
adalah mewujudkan kemaslahatan atau menghilangkan
mafsadat dan kerusakan, maka proses tersebut sangat
laik untuk tetap dipertahankan. Hal inilah yang disebut
dengan talîl al-ahkâm bi al-mashlahah. Proses talîl al-
ahkâm dengan maslahat atau mafsadat mengharuskan
pengetahuan bahwa maslahat yang dikehendaki atau
mafsadat yang hendak dihindari, selain ada pada ashl juga
harus ada pada far’. Belum adanya batasan yang benar-
benar disepakati dalam hal ini menjadikan maslahat dan
mafsadat sebagai faktor utama dalam proses talîl al-ahkâm
memang belum banyak dilakukan.
Penutup
Pembaruan atas hukum Islam meniscayakan adanya
pembaruan fikih dan ushul fikih yang menjadi metode
penetapan hukum Islam. Diantara persoalan ushul
fikih yang saat ini dapat dijadikan pintu masuk untuk
melakukan pembaruan adalah dengan melakukan
pemabaruan dalam proses talîl al-ahkâm, yakni dengan
menjadikan hikmah dan maslahat sebagai penentu
ada dan tidak adanya hukum dalam sebuah masalah.
Jika selama ini ‘illat menjadi satu-satunya penentu
bagi ada dan tidak adanya hukum yang terkadang
tidak mewujudkan adanya hikmah dan maslahat,
maka perlu dilakukan langkah lebih jauh lagi dengan
menjadikan ada dan tidak adanya hukum pada ada
dan tidak adanya hikmah dan maslahat. Jika selama
ini dikenal istilah “al-hukm yadûr ma’a ‘illatih wujûdan
wa’ adaman”, maka saat ini perlu dilakukan pembaruan
dengan mengatakan “al-hukm yadûr ma’a hikmatih wa
mashlahatih wujûdan wa’ adaman”.[]
Pustaka Acuan
‘Abd al-Rahmân, Jalâl al-Dîn, Al-Mashâlih al-Mursalah
wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’, Beirut : Dâr al-Kutub
al-Jâmi’, t.t.
‘Awdah, Jâser, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-
Syar’iyyah bi Maqâshidihâ, Virginia: al-Ma’had al-
‘Âlamî li al-Fikr al-Islâmî, 2006.
Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1980.
Âmidî, al-, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-
Kitâb al-‘Arabî, 1404 H.
Ghazâlî, al-, Abû Hâmid, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-
Ushûl, Damaskus: Bayt al-Husayn, t.t.
Ibn ‘Âsyûr, Muhammad Thâhir, Maqâshid al-Syarî’ah
al-Islâmiyyah, Yordania: Dâr al-Nafâis, 2001.
Ibn Badrân, Rawdhah al-Nazhîr, Beirut: Dâr al-Fikr,
1990.
Ibn Qudâmah, Rawdhah al-Nazhîr, Riyadh: Jâmi’ah
Muhammad ibn Sa’ûd, 1399 H.
Jawziyyah, Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
_____, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.t.
Mâwardî, al-, Al-Hâwî al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Qaradhawî, al-, Yûsuf, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-
Syarî’ah, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2006.
Raisûnî, al-, Ahmad, Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind al-
Imâm al-Syâthibî, t.t.p.: IIIT, 1995.
Râzî, al-, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, Riyadh: Jâmi’ah
Muhammad ibn Sa’ûd, 1400 H.
Rûkî, al-, Muhammad (ed.), al-Ijtihâd al-Fiqhî, Ayy
Dawr wa Ayy Jadîd, Rabat: Universitas Muhammad
V Rabat, 1996.
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law,
London: Oxford University Press, 1964.
Subkî, al-, Al-Ibhâj, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1404 H.
Syâthibî, al-, Al-Muwâfaqât fî Ahkâm al-Syarî’ah, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.