2. Pengertian
Haji menurut pengertian kamus Bahasa Indonesia
adalah rukun islam yang kelima kewajiban ibadah yang
harus dilakukan oleh orang Islam yang mampu dengan
mengunjungi ka’bah di Masjidil Haram pada bulan haji
dan mengamalkan amalan-amalan haji seperti ihram,
tawaf, sai, dan wukuf (Qodratilah, 2011: 152).
Haji dalam pengertian istilah para ulama, ialah menuju
ke ka’bah untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tertentu, atau dengan perkataan lain bahwa haji adalah
mengunjungi suatu tempat tertentu pada waktu
tertentu dengan melakukan suatu pekerjaan tertentu.
Yang dimaksud dengan “mengunjungi” itu ialah
mendatangi, yang dimaksud dengan tempat tertentu itu
ialah Ka’bah dan Arafah. Yang 17 dimaksud dengan
“waktu tertentu” itu ialah bulan-bulan haji, yaitu bulan
Syawal, Zulqaidah, dan Zulhijjah dan 10 pertama bulan
Zulhijjah. Yang dimaksud dengan “perbuatan tertentu”
itu ialah berihram, wukuf di Arafah, mabit di
Muzdaliffah, mabit di Mina, melontar jamrah,
mencukur, tawaf, dan sai.
3. Tafsir Ahkam Ayat Kewajiban Haji
Di dalam Alquran ada beberapa ayat yang menyinggung tentang haji. Di antaranya:
• ِ ٰ ِ
لِل َة َرْمُعْال َو َّجَحْال واُّمِتَا َو
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Q.S. Albaqarah [2]: 196).
Dalam ayat lain disebutkan:
• ً
ْليِبَس ِهْيَلِا َعاَطَتْسا ِنَم ِتْيَبْال ُّج ِح ِ
اسَّنال ىَلَع ِ ٰ ِ
لِل َو
(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa
yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam (Q.S. Ali Imran [3]: 97).
4. Perdebatan Ulama
Dari dua ayat di atas, Imam Ibn Katsir menyatakan bahwa menurut mayoritas ulama,
kewajiban haji di dalam Alquran ditunjukkan oleh surah Ali Imran ayat 97. Namun, ada pula
yang berpendapat ia ditunjukkan oleh surah Albaqarah ayat 196. Dari dua pendapat
tersebut, Ibn Katsir menyatakan bahwa pendapat pertamalah yang tampak mendekati
kebenaran (Tafsir Ibn Katsir/1/508).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili menyatakan, sebenarnya ada satu ayat lagi yang menerangkan
tentang haji, yaitu:
• ِْنذَا َو
ىِف
ِلُك ْنِم َْنيِتَّْأي ٍ
رِامَض ِلُك ىٰلَع َّو ً
اًلَج ِ
ر َك ْوُتْأَي ِجَحْالِب ِ
اسَّنال
ۙ ٍقْيِمَع ٍجَف
٢٧
Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh (Q.S. Alhajj [22]: 27).
Sayangnya ayat tersebut berbicara tentang hukum haji di dalam syariat Nabi Ibrahim dan
bisa saja mengalami perubahan di dalam syariat Nabi Muhammad, sehingga kurang kuat
menjadi dasar kewajiban haji.
5. Syaikh Wahbah juga menyatakan bahwa surah Albaqarah ayat 196 kurang jelas dalam menyinggung
kewajiban haji. Sebab, meski ayat tersebut turun sebelum Ali Imran ayat 97, surah Albaqarah ayat 196
membicarakan kewajiban menyempurnakan haji yang berarti menerangkan hukum haji saat sudah
masuk dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Sementara pelaksanaan hukum haji itu sendiri, yang berarti
muncul sejak masih akan melaksanakan haji, tidak disinggung secara jelas dalam ayat tersebut.
Maka ayat yang tepat dijadikan dasar kewajiban haji adalah Ali Imran ayat 97. Ayat tersebut turun
setelah surah Alhajj ayat 27, sehingga dapat sekaligus menjadi penjelas hukum haji dalam syariat Nabi
Muhammad (Tafsir al-Munir/17/198).
Imam al-Qurthubi tatkala menguraikan tafsir Ali Imran ayat 97 menjelaskan, kewajiban haji di dalam
ayat tersebut ditunjukkan oleh huruf lam dalam redaksi lillaahi. Fungsi lam tersebut menunjukkan
adanya suatu kewajiban yang dibebankan kepada manusia untuk Allah. Kewajiban tersebut kemudian
dikuatkan dengan huruf ‘ala dalam redaksi alannasi. Gabungan dua huruf tersebut adalah ungkapan
paling kuat untuk mewajibkan sesuatu dalam tradisi orang Arab (Tafsir al-Qurthubi/4/142).
Imam al-Alusi menerangkan, orang yang meyakini bahwa surah Albaqarah ayat 196 adalah dasar
kewajiban haji, maka dia telah meyakini sesuatu yang keliru. Sebab, ayat tersebut berbicara tentang
menyempurnakan haji yang menurut keterangan para sahabat, soal menyempurnakan haji adalah soal
proses pelaksanaanya, bukan soal hukum melaksanakan haji (Tafsir Ruhul Ma’ani/2/156).
8. َل هوَأ هنَإ
تۡيَب
َ
اسهنلَل َع َ
ض ُو
َیذهلَل
دىُه َو كا َارَبُم َةهكَبَب
َل
َينَمَللـَعۡل
﴿
٩٦
﴾
َهيَف
ُتلـَياَء
تلـَنَيَب
ُماَقهم
َرۡبَإ
ل
َيمَه
نَم َو
ۥ
ُهَلَخَد
َانَك
نَامَء
ا
ىَلَع َ ه َ
ّلِل َو
َ
اسهنٱل
ُّج َح
َتۡيَبۡٱل
َنَم
َطَتۡٱس
َعا
َهۡيَلَإ
ايالَبَس
َرَفَك نَم َو
هنَإَف
َ ه
ٱّلِل
یَنَغ
َنَع
َينَمَللـَعۡٱل
﴿
٩٧
﴾
Aal-E-Imran, Ayah 97
Ayat ’am dimaksudkan khusus
Ini benar-benar ayat ‘am. Dan makanya haji itu harusnya dilakukan oleh semua
orang. Karena haji itu adalah rekontruksi awal kejadian manusia.
Ali Syari’ati
Rumah yang mula-mula dibangun
Haji adalah drama ilahi, teater spiritual. Sutradaranya Allah, aktornya Nabi
Muhammad, dan kita juga, actor antagonisnya adalah setan. Setting tempatnya,
shofa Marwa, ka’bah dll. Makeupnya ihram.