SlideShare a Scribd company logo
PASAR DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pengantar Ekonomi Islam Magister Sains
                Ekonomi Islam Universitas Airlangga




                               Oleh:
            Ichlasul Amal Rangga Winata      041146007
            Ubaidil Haq                      041146010




      MAGISTER SAINS EKONOMI ISLAM
     UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
                    2011




                                 1
1. Pendahuluan
        Islam adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah
(dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama-
agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat
aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala
bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang mengatur
tentang ekonomi dan mekanismenya. Kesempurnaan sistem ekonomi yang pernah
dijalankan Nabi Muhammad SAW terus menghadirkan inspirasi untuk diteladani. Meski
atmosfer ekonomi kini berubah sangat modern, sistem tersebut masih tetap relevan dan
tidak tertandingi. Salah satu sistem ekonomi di zaman Nabi Muhammad SAW yang patut
dijadikan panutan untuk di aplikasikan dalam kehidupan modern saat ini adalah pasar.
Pasar adalah tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi
jual beli barang dan atau jasa.
        Pasar mempunyai peran yang besar dalam ekonomi. Karena kemaslahatan
manusia dalam mata pencaharian tidak mungkin terwujud tanpa adanya saling tukar
menukar. Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disiapkan untuk tukar
menukar hak milik dan menukar barang antara produsen dan konsumen. Di pasar orang
bisa mendapatkan kebutuhannya dan tidak ada orang yang tidak memerlukan pasar.
Attensi Islam terhadap jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat dilihat
dalam surat Al Baqarah 275 bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. Allah SWT menjelaskan tentang rasul-rasul-Nya dalam QS Al Furqan: 20, “Dan
Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelumnya, melainkan mereka sungguh memakan
makanan dan berjalan di pasar-pasar”. Al Qurthubi mengatakan maksud berjalan di
pasar-pasar adalah untuk mencari rizki, berdagang dan mencari mata pencaharian. Ayat
ini adalah dasar dari mencari rizki, berdagang dan mencari mata pencaharian dengan
berdagang, produksi dan lain sebagainya.




2. Islam dan Pasar
        Masyarakat saat ini seakan merindukan sebuah sistem pasar yang tepat
sebagai bagian dari penolakan pada sistem Kapitalis dan Sosialis yang mengalami
kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan. Secara umum, kedua sistem
ekonomi tersebut diatas tidak sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam,
namun Islam hendak menempatkan segala sesuatu sesuai pada porsinya, tidak ada yang


                                           2
dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian dari kehidupan holistik dunia dan
akhirat manusia.
       Berdagang adalah aktivitas yang paling umum dilakukan di pasar. Untuk itu teks-
teks Al Qur’an selain memberikan stimulan agar umat Islam menjadi seorang pedagang,
dilain pihak juga menjalankan aktivitas tersebut dengan sejumlah rambu atau aturan main
yang bisa diterapkan di pasar dalam upaya menegakkan kepentingan semua pihak, baik
individu maupun kelompok.
       Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan
sempurna (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut
berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus oleh frame syari’ah. Dalam Islam,
Transaksi terjadi secara sukarela (antaradim minkum) sebagaimana disebutkan dalam
Qur’an surat An Nisa’ ayat 29. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesukamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Didukung pula oleh hadits
riwayat Abu dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah dan as Syaukani sebagai berikut
”Orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk
kami!” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang
menyempitkan dan yang melapangkan rizki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu
Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu
kezhaliman-pun dalam darah dan harta”. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
asy-Syaukani).
       Sistem pasar yang adil akan melahirkan harga yang wajar dan juga tingkat laba
yang tidak berlebihan, sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah SWT.
Sebagaimana QS Al Baqarah 275 berikut “Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka
baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.


3. Mekanisme Pasar dalam Islam



                                           3
Pentingnya pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya
dilihat dari fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan
masalah pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah
kecurangan dan juga perbuatan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena
peran penting pasar dan juga rentan dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak
terlepas dengan sejumlah aturan syariat, yang antara lain terkait dengan
pembentukan harga dan terjadinya transaksi di pasar. Dalam istilah lain dapat
disebut sebagai mekanisme pasar menurut Islam dan intervensi pemerintah dalam
pengendalian harga. Konsep mekanisme pasar dalam Islam dibangun atas prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. Pertama, Ar-Ridha, yakni segala transaksi yang dilakukan haruslah atas dasar
    kerelaan antara masing-masing pihak (freedom contract). Hal ini sesuai
    dengan QS An Nisa’ ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
    kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
    dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
    kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah
    Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An Nisa’ 29).
b) Kedua, berdasarkan persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar
    akan terhambat bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli.
    Monopoli dapat diartikan, setiap barang yang penahanannya akan
    membahayakan konsumen atau orang banyak.
c) Ketiga, kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting
    dalam Islam, sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu sendiri.
    Islam melarang tegas melakukan kebohongan dan penipuan dalam bentuk
    apapun. Sebab, nilai kebenaran ini akan berdampak langsung kepada para
    pihak yang melakukan transaksi dalam perdagangan dan masyarakat secara
    luas.
d) Keempat, keterbukaan (transparancy) serta keadilan (justice). Pelaksanaan
    prinsip ini adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar
    dalam pengungkapan kehendak dan keadaan yang sesungguhnya.




                                       4
A. Masa Rasulullah
       Dalam ekonomi Islam, hal-hal yang tetap dalam harga yang sama
ditentukan oleh operasi bebas kekuatan pasar. Nabi Muhammad SAW tidak
menganjurkan campur tangan apa pun dalam proses penetuan harga oleh negara
atau individual. Di samping menolak untuk mengambil aksi langsung apa pun,
beliau melarang praktek-praktek bisnis yang dapat membawa kepada kekurangan
pasar. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW menghapuskan pengaruh
kekuatan ekonomi atas mekanisme harga.
       Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, dalam hal penentuan
harga ditentukan melalui mekanisme pasar. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia
mengatakan harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para
sahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga (ta’sir) untuk kita.
Beliau menjawab: Allah SWT itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan
dan pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharap dapat menemui Tuhanku
dimana salah satu diantara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal
darah dan harta.”
       Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang adanya
intervensi harga dari siapapun juga. Praktek-praktek dalam mengintervensi harga
adalah perbuatan yang terlarang. Selain melarang adanya intervensi harga, ada
beberapa larangan yang diberlakukan Rasulullah SAW untuk menjaga agar
seseorang tidak dapat melambungkan harga seenaknya seperti larangan menukar
kualitas mutu barang dengan kualitas rendah dengan harga yang sama serta
mengurangi timbangan barang dagangan. Beberapa larangan lainnya adalah:
1. Larangan Najsy
       Najsy adalah sebuah praktek dagang dimana seorang penjual menyuruh
orang lain untuk memuji barang dagangannya atau menawar dengan harga yang
tinggi calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Najsy
dilarang karena dapat menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para
pembeli. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan
penawaran terhadap barang tanpa bermaksud untuk membeli” (HR. Tirmidzi).
2. Larangan Bay‘ Ba’dh ‘Ala Ba’dh




                                      5
Praktek bisnis ini adalah dengan melakukan lompatan atau penurunan
harga oleh seorang dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih
dalam tahap negosiasi atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah
melarang praktek semacam ini karena hanya akan menimbulkan kenaikan harga
yang tidak diinginkan.
3. Tallaqi Al-Rukban
       Praktek ini adalah dengan cara mencegat orang-orang yang membawa
barang dari desa dan membeli barang tersebut sebelum tiba di pasar. Rasulullah
melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan
harga. Beliau memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar,
sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari
harga yang sesuai dan alami.
4. Larangan Ihtinaz dan Ihtikar
       Ihtinaz adalah praktek penimbunan harta seperti emas, perak dan lain
sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah penimbunan barang-barang seperti
makanan dan kebutuhan sehari-hari. Penimbunan barang dan pencegahan
peredarannya sangat dilarang dan dicela dalam Islam seperti yang difirmankan
Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 34-35 yang artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya kebanyakan dari pendeta-pendeta memakan harta
manusia dengan cara yang bathil dan mereka menghalangi dari jalan Allah. Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah maka beritahukan kepada mereka akan azab yang pedih. Pada hari
itu dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, rusuk dan
punggung mereka dan dikatakan (kepada mereka). Inilah harta benda yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (balasan) dari apa yang kamu
simpan dahulu itu.”
       Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa praktek penimbunan baik yang
berbentuk uang tunai maupun barang sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahaya dari praktek ihtikar dapat menyebabkan kelangkaan barang di pasar
sehingga harga barang menjadi naik.




                                      6
B. Masa Khulafaurrasyidin
a. Abu Bakar As Siddiq
       Khalifah pertama yang ditunjuk untuk memegang tampuk pemerintahan
setelah Rasulullah SAW wafat adalah Abu Bakar As-Siddiq. Tidak banyak
diketahui kebijakan-kebijakan baru mengenai harga yang dibuat oleh Abu Bakar.
Namun demikian sebagai seorang fuqaha yang berprofesi sebagai seorang
pedagang, Abu Bakar menjalankan praktek perdagangan secara syariah termasuk
masalah kebijakan tentang harga yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
Rasulullah SAW.
b. Umar bin Khathab
       Setelah Abu Bakar wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh Umar bin
Khathab. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Umar bin Khathab benar-benar
menerapkan ekonomi syariah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits. Hal
ini dapat dilihat dari peringatan keras Umar bin Khathab terhadap segala praktek
penimbunan barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat. Beliau tidak
memperbolehkan seorang pun dari kaum muslimin untuk membeli barang
sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk ditimbun.
       Umar bin Khathab mengadakan dan menjalankan hisbah yang telah
dirintis sejak zaman Rasulullah SAW. Selain itu, beliau juga mengambil inisiatif
untuk melakukan operasi pasar pada saat terjadi kelaparan yang dahsyat di
Madinah.
       Al Haritsi (2010: 592-595) mengatakan Umar bin Khathab memiliki
beberapa kebijakan terkait dengan penimbunan barang dan cara memeranginya,
yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Umar melarang penimbunan barang, akan tetapi dia membedakan antara
    orang yang membeli dari pasar untuk ditimbun dan pengimpor barang dari
    satu daerah ke daerah lain. Umar melarang keras hal yang pertama namun
    memberi yang kedua hak untuk menjual dengan harga berapa pun agar orang-
    orang tidak enggan untuk mengimpor. Dalam mengambil kebijakan ini, Umar
    berpedoman pada para fuqaha’ yang berpendapat bahwa pengimpor bukan
    dianggap sebagai penimbun apabila menahan apa yang dikumpulkannya di
    pasar, sehingga menyebabkan naiknya harga, berbeda dengan pembeli dari



                                       7
dalam negeri. Dalam salah satu hadits diriwayatkan nabi Muhammad SAW
   bersabda “orang yang mengimpor mendapat rizki, dan orang yang menimbun
   mendapat laknat”.
2. Umar membagi penimbunan barang menjadi dua bagian. Menimbun menurut
   waktu dan menimbun menurut tempat. Maksud menimbun menurut waktu
   adalah menimbun barang musiman, seperti tanaman, buah-buahan yang ada
   di pasar pada musim-musim tertentu saja sepanjang tahun. Adapun
   menimbun menurut tempat adalah membeli barang yang dibawa ke pasar, dan
   menunggu naiknya harga. Dalam menjelaskan dua hal ini, Umar berkata
   “wahai para pedagang, janganlah kalian berdagang dengan kami di waktu
   kami, jangan berdagang di pasar kami, maka barangsiapa datang kepada
   kalian ketika berjual beli dengan umat Islam, maka dia seperti salah satu
   dari kalian. Akan tetapi berjalanlah ke daerah-daerah, lalu ambillah barang
   untuk kami, kemudian juallah sebagaimana kalian kehendaki.”
3. Terlihat bahwa Umar bin Khattab tidak mengkhususkan penimbunan barang
   yang diharamkan dengan menahan makanan, tetapi perkataan-perkataannya
   di depan menjelaskan penimbunan barang yang diharamkan ada pada setiap
   barang yang membahayakan manusia apabila ditahan. Yang paling utama
   adalah makanan, karena makanan sangat dibutuhkan oleh manusia, dan
   karena menahannya bisa membahayakan.
4. Umar bin Khattab tidak melihat jumlah penimbun barang, akan tetapi
   melarang menimbun barang baik dilakukan oleh seorang pedagang atau
   beberapa pedagang, dan menganggap barang yang dibeli adalah untuk semua
   penghuni pasar dari umat Islam. Umar tidak mengizinkan seorang pedagang
   atau beberapa pedagang untuk mementingkan diri sendiri dan meninggalkan
   umat Islam yang lain. Diriwayatkan bahwa seorang penjual makanan sampai
   di Madinah, maka Umar berkata kepada mereka “apakah di pasar kami
   mereka berdagang? Ajaklah orang-orang, atau keluarlah dan belilah
   barang, lalu datanglah dan juallah.”
5. Perkataan Umar ketika melihat orang-orang menimbun sisa barang mereka,
   “Jangan bersenang-senang! Allah Azza wa Jalla memberikan kami rizki,
   sehingga ketika sampai ke pasar kami beberapa kamu menimbun sisa barang



                                      8
mereka dari para janda dan orang-orang miskin, maka apabila para
    pengimpor datang, mereka menjual sesuai apa yang mereka inginkan dengan
    sewenang-wenang.” Perkataan ini menunjukkan bahwa Umar mengetahui
    akibat penimbunan barang dalam proses distribusi. Dia melihat bahwa
    pemilik harta yang berlebih kadang memanfaatkan kesempatan ekonominya
    untuk menimbun barang yang sangat dibutuhkan oleh manusia, sewenang-
    wenang dalam menentukan harga, tanpa mengeluarkan tenaga dalam
    memproduksinya, dan hal tersebut memperkaya diri mereka sendiri dari harta
    orang-orang fakir dan miskin.
c. Utsman bin Affan
       Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Sebagai seorang fuqaha, beliau
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap penegakan hukum termasuk, hukum
tentang ekonomi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW dan khalifah-
khalifah sebelumnya. Dalam hal kebijakan harga, beliau tidak menyerahkan
penentuan harga ke tangan pengusaha.
       Utsman bin Affan selalu berusaha untuk tetap mendapatkan informasi
tentang situasi harga bahkan harga barang yang sulit dijangkau. Jika beliau
mengetahui ada pedagang-pedagang yang ingin menimbun makanan atau
menjualnya dengan harga yang mahal, maka beliau akan mengirimkan kafilah-
kafilah untuk mengambil bahan makanan tersebut dengan tujuan untuk merusak
praktek penimbunan dan permainan harga yang akan dilakukan oleh para
pedagang tersebut. Hal-hal yang dilakukan oleh khalifah merupakan suatu upaya
preventif yang dilakukan untuk mengontrol harga agar tidak menjadi beban bagi
masyarakat dan menghindari adanya distorsi harga.
d. Ali bin Abi Thalib
       Setelah kepemimpinan Utsman bin Affan, tampuk kekhalifahan diduduki
oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kaum
muslimin secara resmi mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama
pemerintahan Islam. Ketika mata uang masih diimpor, kaum muslimin hanya
mengontrol kualitas uang impor. Namun setelah mencetak uang sendiri, kaum
muslimin secara langsung mengawasi penawaran yang ada.




                                       9
C. Masa Umayyah
       Mulai pada masa pemerintahan Daulah Umayyah ditemukan banyak buku-
buku yang ditulis para fuqaha, sufis dan filosof yang menunjukkan
berkembangnya peradaban Islam. Buku-buku yang mereka tulis sebenarnya
bersifat komprehensif dan tidak secara khusus membahas tentang sistem ekonomi.
Walaupun demikian, beberapa orang diantara para fuqaha tersebut memberikan
kontribusi bagi sistem ekonomi Islam dan Abu Yusuf merupakan salah satu
diantaranya.
       Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) hidup semasa pemerintahan khalifah
Bani Umayyah mulai dari Khalifah Hisyam (105 H/742 M). Beliau merupakan
fuqaha pertama yang secara eksklusif menekuni masalah tentang kebijaksanaan
ekonomi. Salah satu diantaranya adalah beliau memperhatikan peningkatan dan
penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.
       Pemahaman masyarakat pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara
harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan saja dimana pada
saat barang yang tersedia sedikit maka harga barang tersebut akan menjadi mahal
dan sebaliknya, bila barang yang tersedia banyak maka harga barang tersebut akan
menjadi turun atau murah.
       Pemahaman masyarakat itu kemudian dibantah oleh Abu Yusuf dan
menyatakan sebagai berikut, karena pada kenyatannya terkadang pada saat
persediaan barang hanya sedikit tidak membuat harga barang tersebut menjadi
naik/mahal. Sebaliknya, pada saat persediaan barang melimpah, harga barang
tersebut belum tentu menjadi murah. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa
Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara
persedian barang (supply) dan harga. Karena pada kenyataannya harga tidak
bergantung kepada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan
penawaran. Oleh karena itu, peningkatan-penurunan harga tidak selalu
berhubungan dengan peningkatan-penurunan permintaan ataupun penurunan-
peningkatan dalam produksi.
       Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang murah
ataupun mahal. Harga barang/makanan murah bukan dikarenakan melimpahnya
jumlah barang atau makanan. Begitu pula, mahalnya harga barang atau makanan



                                      10
tidak disebabkan karena kelangkaan jumlah barang atau makanan. Murah dan
mahal harga suatu barang merupakan ketentuan Allah.
       Abu Yusuf menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang
mempengaruhi naik turunnya harga barang atau makanan, tetapi dia tidak
menjelaskan lebih rinci variabel tersebut. Namun demikian, pernyataan Abu
Yusuf tersebut tidak menyangkal pengaruh permintaan dan penawaran dalam
penentuan suatu harga.


D. Dinasti Abasiyyah I
a. Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M)
       Imam Hambali adalah imam dari mazhab ke-4 yang terbesar. Beberapa hal
yang dibahas secara rinci oleh beliau adalah mengenai mashlahah, tujuan syariah
dan kebebasan menerima cara-cara untuk mencapai tujuan syariah tersebut.
       Salah satu pandangan Imam Hambali adalah pendekatan Islami untuk
memelihara persaingan yang adil di pasar. Imam Hambali mencela pembelian dari
seorang penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang membeli
barang yang sama dari saingannya. Alasan beliau adalah jika penurunan harga
barang seperti ini dibiarkan, maka akan menempatkan penjual yang menurunkan
harga tersebut pada posisi monopoli yang akhirnya dapat mendikte harga
semaunya. Imam Hambali menghendaki campur tangan dalam kasus seperti ini
untuk mencegah terjadinya monopoli.
b. Imam Al-Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M)
       Al-Gahzali hidup semasa khalifah Al-Qa’im (422 H/1031 M) sampai
khalifah Al-Mustazhhir (487 H/1094 M). Al-Ghazali mengutuk penimbunan uang
dengan alasan bahwa uang dirancang untuk memudahkan pertukaran dan praktek
penimbunan uang dapat menghalangi proses pertukaran tersebut.
       Sumbangan Al-Ghazali terhadap ilmu ekonomi adalah beliau telah
berhasil menyajikan penjabaran yang rinci tentang peranan aktivitas perdagangan
dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan
dan penawaran. Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan
alami”. Secara rinci ia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar,
yaitu: dapat saja petani hidup ditempat alat-alat pertanian tidak tersedia.



                                      11
Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada.
Namun secara alamiah, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing.
Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan. Tetapi petani tidak
membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan
masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan akan terdorong untuk
menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak dan tempat penyimpanan
hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi oleh pembeli
sesuai kebutuhannya masing masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang
kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong
pergi ke pasar ini. Bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan
barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk
kemudian disimpan sebagai persedian. Pedagang kemudian menjualnya dengan
suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.
         Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa labalah yang menjadi motif
perdagangan. Pada saat lain, ia menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam
menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan
pertumbuhan ekonomi.
         Walaupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam
terminologi modern, beberapa paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan
bentuk kurva penawaran dan permintaan. Kurva penawaran yang “naik dari kiri
bawah ke kanan atas” dinyatakannya sebagai “jika petani tidak mendapatkan
pembeli dan barangnya maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah.


E. Dinasti Abasiyyah II
a. Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M)
         Ibnu Taimiyyah hidup semasa Daulah abbasiyah II yang berkedudukan di
Kairo mulai dari Khalifah Al-Hakim I (660 H / 1262 M) sampai khalifah Al-
Mustakfi I (701 H / 1302 M). ibnu Taimiyyah mendiskusikan norma-norma Islami
untuk perilaku ekonomi individual dan lebih banyak memberikan perhatian
kepada     masalah-masalah   kemasyarakatan     seperti   perjanjian   dan   upaya
mentaatinya, harga-harga, pengawasan pasar dan lain sebagainya.




                                        12
Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa peningkatan
harga merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari
pihak penjual atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar. Anggapan ini
dibantah oleh Ibnu Taimiyyah.dengan tegas. Beliau cenderung mendukung ilmu
ekonomi positif dimana harga ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran.
       Ibnu taimiyyah menyatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu
disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi,
tapi bisa jadi penyebabnya adalah supply yang menurun akibat produksi yang
tidak efisien, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga
tekanan pasar. Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan
penawaran menurun maka harga barang tersebut akan naik. Begitu pula
sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh
tindakan yang adil atau mungkin tindakan yang tidak adil.
       Penawaran bisa datang dari produksi domestik dan impor. Perubahan
dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah
barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan
pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan
penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, maka
kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT.
       Dibedakan pula dua faktor penyebab pergeseran kurva penawaran dan
permintaan,yaitu tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan melanggar hukum
dari penjual, misalnya penimbunan. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan
dan penawaran antara lain adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan
ataupun melimpahnya barang, kondisi kepercayaan, serta diskonto dari
pembayaran tunai.
       Permintaan terhadap barang acapkali berubah. Perubahan tersebut
bergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, kuat-
lemahnya dan besar-kecilnya kebutuhan seseorang terhadap barang tersebut. Bila
penafsiran ini benar, Ibnu Taimiyyah telah mengasosiasikan harga tinggi dengan
intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap total
kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga akan naik.demikian pula
sebaliknya.



                                       13
Menarik untuk dicatat bahwa tampaknya Ibnu Taimiyyah mendukung
kebebasan untuk keluar-masuk pasar. Beliau juga mengkritik adanya kolusi antara
pembeli dan penjual, menyokong homogenitas dan standarisasi produk dan
melarang pemalsuan produk serta penipuan pengemasan produk yang dijual.
       Selain itu, Ibnu Taimiyyah menentang peraturan yang berlebihan ketika
kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif.
Dengan tetap meperhatikan pasar yang tidak sempurna, ia merekomendasikan
bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan harga normal padahal orang-orang membutuhkan
barang-barang ini, maka para penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga
ekuivalen dan secara kebetulan konsep ini bersamaan artinya dengan apa yang
disebut sebagai harga yang adil. Selanjutnya, bila ada elemen-elemen monopoli
(khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya),
pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.
b. Ibnu Khaldun (732-808 H / 1332-1404 M)
       Ibnu Khaldun hidup pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mustakfi
sampai Khalifah Al-Musta’in. Pemikirannya dituangkan dalam kitabnya yang
berjudul Muqaddimah. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Khaldun menjelaskan
mekanisme permintaan dan penawaran dalam menentukan harga keseimbangan.
Secara lebih rinci ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk
mendapatkan barang pada sisi permintaan. Selanjutnya ia menjelaskan pula
pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain
pada sisi penawaran tersebut. Ia mengatakan bahwa bea cukai biasa dan bea cukai
lainnya dipungut atas bahan makanan di pasar-pasar dan di pintu-pintu kota demi
raja, dan para pengumpul pajak menarik keuntungan dari transaksi bisnis untuk
kepentingan mereka sendiri. Karenanya, harga dikota lebih tinggi daripada di
padang pasir.
       Pada bagian lain bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan
turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan bahwa ketika barang-barang
yang tersedia sedikit, maka harga-harga dari barang tersebut akan naik. Namun,
bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan




                                      14
banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan berlimpah
sehingga harga-harga pun akan turun.
    Ketika menyinggung masalah laba, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
    keuntungan     yang    wajar   akan      mendorong   tumbuhnya   perdagangan.
    Sebaliknya, keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan
    dikarenakan pedagang kehilangan motivasi. Demikian pula dengan sebab
    yang berbeda, keuntungan yang sangat tinggi akan melesukan perdagangan
    karena permintaan konsumen akan melemah.


4. Harga dan Persaingan Sempurna dalam Islam
       Konsep Islam memahami bahwa pasar dapat berperan aktif dalam
kehidupan ekonomi apabila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif.
Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun termasuk Negara
dalam hal intervensi harga atau private sector dengan kegiatan monopolistik dan
lainya. Karena pada dasarnya pasar tidak membutuhkan kekuasaan yang besar
untuk menentukan apa yang harus dikonsumsi dan diproduksi. Sebaliknya,
biarkan tiap individu dibebaskan untuk memilih sendiri apa yang dibutuhkan dan
bagaimana memenuhinya. Pasar yang efisien akan tercapai apabila termasuk
investor (jika dalam pasar modal) dan seluruh pelaku pasar lainnya memperoleh
akses dan kecepatan yang sama atas keseluruhan informasi yang tersedia. Dengan
kata lain, tidak ada insider information.
       Inilah pola normal dari pasar yang dalam istilah Al Ghozali berkait dengan
ilustrasi dari evolusi pasar. Selanjutnya Adam Smith menyatakan serahkan saja
pada Invisible hand dan dunia akan teratur dengan sendirinya. Prinsip invisible
hand yaitu, dimana pasar cenderung akan mengarahkan setiap individu untuk
mengejar dan mengerjakan yang terbaik untuk kepentingannya sendiri, yang pada
akhirnya juga akan menghasilkan yang terbaik untuk seluruh individu.
       Dari pemahaman itu, harga dari sebuah komoditas baik barang maupun
jasa ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penawaran dan permintaan. Hal ini
sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Anas Bahwasannya suatu hari terjadi
kenaikan harga yang luar biasa di masa Rasulullah SAW, maka sahabat meminta
nabi untuk menentukan harga pada saat itu, lalu nabi bersabda: Artinya, “Bahwa



                                            15
Allah adalah Dzat yang mencabut dan memberi sesuatu, Dzat yang memberi
rezeki dan penentu harga.” (HR. Abu Daud).
         Dari hadits itu, dapat disimpulkan bahwa pada waktu terjadi kenaikan
harga, Rasulullah SAW meyakini adanya penyebab tertentu yang sifatnya darurat.
Oleh karena itu, sesuatu yang bersifat darurat akan hilang seiring dengan
hilangnya penyebab dari keadaan itu. Di lain pihak, Rasulullah juga meyakini
bahwa harga akan kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Penetapan harga menurut Nabi merupakan suatu tindakan yang menzalimi
kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan merasa terpaksa
untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang tentunya tidak sesuai
dengan keridhoan-Nya.
         Dengan demikian, pemerintah tidak mewakili wewenang untuk melakukan
intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal. Ibnu Taimiyah
mengatakan, jika masyarakat melakukan transaksi jual beli dalam kondisi normal
tanpa ada distorsi atau penganiayaan apapun dan terjadi perubahan harga karena
sedikitnya penawaran atau banyaknya permintaan, maka ini merupakan kehendak
Allah.
         Harus diyakini bahwa intervensi terhadap pasar hanya dapat dilakukan
dalam keadaan yang darurat. Keadaan darurat disini dapat diartikan jika pasar
tidak terjadi dalam keadaan sempurna, yaitu terdapat kondisi-kondisi yang
menghalangi kompetisi secara fair (market failure). Beberapa contoh klasik dari
kondisi market failure antara lain: informasi yang tidak simetris, biaya transaksi,
kepastian institusional, masalah eksternalitas (termasuk pencemaran lingkungan
dan kerusakan lingkungan) serta masalah dalam distribusi. Jika kondisi demikian
ini terjadi, maka akan terjadi pasar tidak sempurna atau disebut dengan istilah
Market Imperfection.


A. Market Imperfection
         Efisiensi pasar dapat tidak tercapai jika pasar adalah tidak sempurna
(market imperfection) yang disebabkan oleh:
1. Kekuatan pasar; yang memiliki kekuatan pasar dapat menentukan harga dan
    kuantitas keseimbangan.



                                        16
2. Eksternalitas; aktivitas konsumsi/produksi yang mempengaruhi pihak lain,
    tidak tercermin di pasar.
3. Barang publik; non-exclusive and non-rival good in consumption.
4. Informasi tidak sempurna; menyebabkan inefisiensi dalam permintaan dan
    penawaran.
Dalam Islam, ketidaksempurnaan diatas diakui dan ditambahkan dengan beberapa
faktor lain penyebab distorsi pasar atau disebut dengan Islamic Market
Imperfection


B. Islamic Market Imperfection
       Islamic Market Imperfection terdiri dari beberapa perbuatan yang merusak
pasar sebagaimana berikut:
a. Rekayasa supply dan demand, ada dua hal yang masuk dalam kategori ini,
  yaitu:
   1. Ba’i Najasy; produsen menyuruh pihak lain memuji produk-nya atau
       menawar dengan harga tinggi, sehingga orang akan terpengaruh. Dalam
       istilah orang Jawa “combe”.
   2. Ikhtikar; mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara
       menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya harga-nya naik.
b. Tadlis (Penipuan)
    1. Tadlis kuantitas, produsen menipu dengan mengurangi timbangan dari
       yang sebenarnya.
    2. Tadlis kualitas, produsen mengatakan bahwa kualitas yang didapat sesuai
       dengan harga, padahal kualitas yang diberikan dibawah harga yang telah
       dibayar.
    3. Tadlis harga, produsen memberikan batrang yang sesuai dengan harga
       yang dibayar, padahal harga sebenarnya jauh dibawah harga yang dibayar.
    4. Ghaban faa-hisy, menjual diatas harga pasar, karena keterbatasan
       informasi yang didapat oleh pembeli.
    5. Talaqqi rukban, pedagang membeli barang penjual sebelum mereka masuk
       ke kota, karena keterbatasan informasi atau paksaan terhadap penjual.




                                       17
6. Tadlis waktu penyerahan, produsen menyerahkan barang yang di beli
       konsumen tidak sesuai dengan jadwal pengiriman barang yang telah
       ditentukan saat jual beli.
c. Taghrir (Ketidakpastian);
    1. Taghrir kuantitas, produsen menipu dengan tidak memberikan jumlah
       pasti dari kuantitas barang yang akan menyebabkan kerugian dari pihak
       pembeli.
    2. Taghrir kualitas, produsen menipu dengan tidak memberikan kualitas
       barang yang sebenarnya, sehingga akan menyebabkan kerugian dari pihak
       pembeli.
    3. Tahgrir harga, produsen memberikan ketidakpastian harga yang
       menyebabkan pembeli merasa dirugikan.
    4. Taghrir waktu penyerahan, ketidakpastian waktu penyerahan barang
       menyebabkan pembeli dirugikan oleh ulah produsen.
    5. Predatory pricing, yaitu menjual dengan harga dibawah harga pasar. Hal
       ini akan mematikan pesaing dan menyebabkan persaingan tidak sehat.
Dalam hal terjadinya pasar tidak sempurna dan atau terjadinya kondisi yang tidak
normal, maka intervensi pasar oleh pemerintah menjadi diperbolehkan, untuk
menjaga pasar tetap berjalan sesuai dengan semestinya. Jika pasar sudah kembali
normal, maka pemerintah harus mencabut intervensi yang dilakukan.


5. Intervensi Pasar dalam Islam
       Islam memperbolehkan negara memiliki hak untuk melakukan intervensi
dalam kegiatan ekonomi baik itu dalam bentuk pengawasan, pengaturan maupun
pelaksanaan kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh masyarakat.
Intervensi harga oleh pemerintah bisa karena faktor alamiah maupun non alamiah.
Pada umumnya intervensi pemerintah berupa intervensi kebijakan dalam regulasi
yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran dan intervensi dalam
menentukan harga. Intervensi dengan cara membuat kebijakan yang dapat
mempengaruhi dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran (market
intervention) biasanya dikarenakan distorsi pasar karena faktor alamiah. Bila




                                      18
distorsi pasar terjadi karena faktor non almiah, maka kebijakan yang ditempuh
salah satunya dengan dengan intervensi harga di pasar.
        Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut:
   1.     Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih
        tinggi daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk
        tersebut.
   2.     Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqaha untuk memberlakukan
        hak hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas
        kepemilikan barang) oleh pemerintah.
   3.     Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya
        terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga disini
        untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan
        sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
   4.     Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang
        sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas
        ataupun dibawah harga normal.
   5.     Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi menurut
        konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah
        menurut produsen.
   6.     Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada
        harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku, padahal
        masyarakat membutuhkan jasa tersebut.
Sementara itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah
menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai berikut:
   1. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat
   2. Untuk mencegah ikhtikar (penimbunan) dan ghaban faa-hisy (menjual
          diatas harga pasar).
   3. Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Bagi Mannan, Regulasi harga (bagian dari intervensi Pemerintah) memiliki 3
fungsi:




                                          19
1.    Fungsi ekonomi: berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan
          peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan relokasi
          sumber daya ekonomi.
     2.    Fungsi sosial: mempersempit kesenjangan antara masyarakat kaya dan
          masyarakat miskin.
     3.    Fungsi moral: Upaya menegakkan nilai-nilai Islami dalam aktivitas
          perekonomian


6.    Hisbah dan Pengawasan Pasar
           Ajaran Islam tidak hanya mengatur tentang mekanisme pasar, transaksi
dan perdagangan, namun Islam juga menyediakan mekanisme pengawasan
(pengawasan pasar) agar tercipta law enforcement terhadap aturan-aturan tersebut.
Lembaga yang bertugas dalam mengawasi pasar adalah Hisbah. Hisbah menurut
Imam Mawardi dan Abu Ya’la merupakan sistem untuk memerintahkan yang baik
dan adil jika kebaikan dan keadilan secara nyata dilanggar atau tidak dihormati,
selain itu lembaga ini juga melarang kemungkaran dan ketidakadilan ketika hal
tersebut secara nyata sedang dilakukan. Hisbah mulai dilembagakan secara resmi
pada masa pemerintahan Umar bin Khathab dengan cara “menunjuk seorang
perempuan untuk mengawasi pasar dari tindakan-tindakan penipuan”.
           Hisbah merupakan cara pengawasan terpenting yang dikenal oleh umat
Islam pada masa permulaan Islam. Para intelektual muslim membagi pengawasan
pasar ini dalam dua jenjang, yaitu internal yang berpusat dari pemahaman
personal terhadap syari’at terkait dengan transaksi, perdagangan dan segala hal
berkenaan dengan mekanisme pasar yang bersumber dari Al Qur’an, al Hadits dan
pendapat para ulama. Sementara pengawasan secara eksternal dilakukan oleh
pemerintah maupun lembaga lainnya di luar diri para pelaku pasar.
           Islam mengatur dan mengawasi pasar secara ketat. Salah satu lembaga
yang semestinya dibentuk untuk mengawasi pasar menurut Islam adalah Hisbah.
Meskipun demikian sebenarnya pengawasan dapat dilakukan oleh semua orang
sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang perintah untuk menindak
kemungkaran. Terkait dengan mencegah terjadinya kemungkaran ini salah satu
wewenang lembaga hisbah adalah pencegahan penipuan di pasar, seperti masalah



                                        20
kecurangan dalam timbangan, ukuran maupun pencegahan penjualan barang yang
rusak serta tindakan-tindakan yang merusak moral.
       Landasan Hisbah sebagaimana diterapkan oleh Rasulullah adalah hadits
yang menceritakan ketika Rasulullah melakukan inspeksi pasar dan menemukan
pelanggaran di pasar karena meletakkan kurma yang basah di bawah di atas
tumpukan kurma kering, sehingga dapat menutupi informasi bagi pembeli tentang
kualitas kurma. Dari itu kemudian Rasulullah menegaskan bahwa praktek yang
demikian adalah dilarang dalam Islam. Sementara dalam Al Qur’an dapat kita
lihat pada Surat Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Berikut adalah lembaga pengawas pasar di masa kejayaan Islam.
A. Masa Rasulullah
       Institusi Wilayat al-Hisbah sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam
tradisi negara Islam. Tradisi Hisbah diletakkan langsung fondasinya oleh
Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan
Hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah
mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang
penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan
meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan
memerintahkan untuk berlaku jujur, "Barangsiapa yang menipu maka ia tidak
termasuk golongan kami." Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan
syari’at oleh masyarakat Madinah.
       Satu hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Madinah – setelah
hijrah dari Makkah ke Madinah adalah mempererat ikatan emosional kaum
muhajirin dengan anshar dengan mengeluarkan shahifah yang di kenal dengan
shahifah ar-Rasul yang berisi tentang:
a) Pernyatan persatuan antara Muhajin dan Anshar serta orang-orang yang
    berhubungan dab berjuang bersama mereka.
b) Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan diantara
    orang mukmin, harus sama-sama di atasi walaupun keluarga sendiri.




                                         21
c) Orang Yahudi saling membantu dengan orang Mukmin dalam menghadapi
    musuh, dan bebas dalam menjalankan agamanya masing-masing.
d) Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling
    berbuat dosa.
e) Orang orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku
    zalim dan dosa.
Dengan keluarnya sahifah ar-Rasul ini telah mengindikasikan berdiri satu daulah
Rasul sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh
(orang-orang Quraisy). Kondisi peradilan pada masa itu sudah terlihat dengan
adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi (hakim), seperti
Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khatab di Madinah.
Namun, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada
sahabat (qadhi), akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan
tersebut boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayat al-
Hisbah pada masa ini belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-
praktek yang mengarah kepada kewenangan Hisbah yang dilakukan sendiri oleh
Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan
melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya
kedalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi
kemudian bersabda: ”bahwa barang siapa yang menipu umatnya maka bukan
termasuk umatnya”.


B. Masa Khulafaurrasyidin
       Setelah Nabi SAW wafat, kewenangan sebagai pemimpin masyarakat
(negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman Ibn Affan, dan
Ali Ibn Abi Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak
banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar bin Khathab dan Ali
Ibn Bin Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi yang di
angkat. Begitu juga dengan lembaga Hisbah pada masa ini tidak mengalami
perubahan, artinya Muhtasib dipegang sendiri oleh Khalifah.
       Namun pada masa Umar bin Khathab, perhatian kepada hisbah merupakan
hal yang terpenting dalam pengawasan terhadap ekonomi. Umar bin Khathab



                                       22
melakukan peran sebagai muhtasib dan mengawasi umat siang dan malam,
membawa tongkat dan berkeliling ke pasar-pasar untuk melakukan pengawasan
terhadap perilaku orang-orang. Dalam sebuah riwayat yang ditulis oleh Al
Qalaqsyandi dikatakan bahwa Umar bi Khathab berkeliling pada malam hari, dan
mendatangi rumah-rumah umat Islam untuk mengetahui keadaan mereka dan
mengetahui orang-orang yang membutuhkan dan teraniaya, mengetahui orang-
orang yang mempunyai masalah, mencegah kegiatan yang berbahaya dan lain
sebagainya.
       Umar bin Khathab juga menugaskan orang lain untuk melakukan
pengawasan terhadap beberapa tempat, atau beberapa kegiatan. Karena
perhatiannya yang besar terhadap masalah hisbah, Umar lebih terkenal dalam hal
ini dibandingkan dengan khalifah lain, sehingga sebagian orang mengira beliau
adalah orang pertama yang membahas tentang hisbah.

B. Masa Daulah Umayyah
       Setelah Ali Bin Abi Thalib wafat, kekalifahan digantikan oleh Hasan Ibn
Ali ibn Abi Thalib melihat kepada perdebatan dan kekurangannya dukungan
masyarakat kepada kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada
Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka di mulailah masa imperium Daulah
Umayyah dari 661-750 M. Keberadaan peradilan pada masa ini memiliki
keistimewaan (terpisah dengan kekuasaan pemerintah) dengan adanya penentuan
qadhi yang dipilih khalifah, dengan memiliki kewenangan memutus perkara
kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya
masih sama dengan peradilan pada masa khalifah al-rasyidin. Wilayat al-Hisbah
(muhtasib) pada masa ini tidak melembaga dan diangkat oleh khalifah dan
lembaga disebut Shahib al-Sauq. Joeseph Schacht dalam an Introduction to
Islamic law menjelaskan bahwa Wilayat al-Hisbah diadopsi dari lembaga
peradilan di masa Bizantium yang fungsinya merupakan bagian dari peradilan,
yaitu spector of market. Apa yang dikatakan oleh Schacht itu sesungguhnya tidak
dapat diterima, tentunya antara Wilayat al-Hisbah dengan spector of market
memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat tajam. Pada spector of market
hanya bertugas untuk mengumpulkan bayaran wajib para pedagang (collective
obligation) atau pajak jualan, dan kewenangan seperti ini tidak terdapat pada


                                      23
Wilayat al-Hisbah. Dilihat dari segi berdirinya pun tidak dapat diterima karena
Hisbah sudah ada pada masa Rasul walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan
terbentuk sebagai lembaga terjadi pada masa Umayyah setelah melalui proses
sejarah.
         Dengan demikian, Wilayat al-Hisbah pada periode ini sudah menjadi satu
lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan
mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai
dengan syariat Islam.

D. Masa Daulah Abbasiyah
         Setelah Daulah Umaiyyah runtuh dan di gantikan oleh daulah Abassiyah
dari kurun waktu 750 M–1225 M (123 H–656 H), umat Islam banyak
mengalami kemajuan dalam segala bidang termasuk dalam lembaga peradilan,
pada periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan
dikepalai oleh qadhial-qudhah yang berkedudukan di ibu kota, dengan
kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan
Islam.
         Begitu juga dengan lembaga Hisbah sudah terlaksana dengan baik,
lembaga ini di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil
perkara-perkara yang harus di selesaikan dengan wilayat qudha. Hal ini
dijelaskan oleh Schacht, sebagaimana dikutip oleh Iin Sholihin, bahwa pada
saat yang sama ketika para hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin
banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib. Artinya keberadaan
lembaga ini pada periode Abasiyyah sudah melembaga seperti lembaga
pemerintahan lainya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan
(qadha).



7.   Kesimpulan
         Dari uraian diatas yang menjadi titik pentingnya adalah bahwa regulasi
pasar dalam Islam adalah dimaksudkan agar terjaganya hak dari semua pihak,
baik pembeli maupun penjual. Untuk itu perlu ditekankan disini bahwa aspek
utama dalam ekonomi Islam termasuk dalam sistem pasar adalah aspek moralitas.



                                       24
Beberapa aspek itu menyangkut persoalan integritas, akuntabilitas, dan
profesionalitas bila diterapkan dalam pelaksanaan system moder saat ini.
       Yang tak kalah penting dari persoalan regulasi adalah komitmen Islam
dalam menegakkan aturan-aturan itu dengan memberlakukan institusi hisbah,
yang memiliki tanggungjawab dan wewenang dalam pengawasan pasar, bahkan
lembaga hisbah atau wilayatul hisbah dapat berlaku pada persoalan-persoalan lain
yang lebih universal, seperti kesejahteraan, terpenuhinya fasilitas umum dan
terjaganya hukum.
       Demikian pemaparan makalah ini semoga dapat menjadi tambahan
khazanah pengetahuan kita dan modal pengembangan ekonomi Islam terutama
dan masalah pasar baik yang bersifat tradisional, modern maupun dalam
implementasinya di dalam wilayah pasar modal.




                                       25
DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2007. Mujamma’ Al Malik Fahd li Thiba’at al Mush-haf
      Asy-Syarif: Madinah Munawwarah.
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam. Terjemahan oleh Zainal Arifin. 1997. Gema
      Insani Press: Jakarta.
Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Al Fiqh Al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibnu Al
      Khaththab. Terjemahan oleh H. Asmuni Solihan Zamakhasyari. 2010. Penerbit
      KHALIFA: Jakarta.
Az-Zabidi, Al Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif. Al-Tarjih Al-Shahih li Ahadits
      Al-Jami’ Al-Shahih. Terjemahan oleh Cecep Syamsul Arif dan Asoff Murtadha.
      1997. Penerbit Mizan: Bandung.
Fachruddin Ahmad., et al. Makalah Diskusi Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam pada
      masa Rasulullah SAW.
Islahi, Abdul Azim. 1996. Economic Concepts Of Ibnu Taimiyah. United Kingdom. The
      Islamic Foundation.
Khan, Muhammad Akram. Ushul Al Iqtishod Al Islamy. Terjemahan oleh Al Mishry dan
      Rofiq Yunus. Ajaran Nabi Muhammad SAW Tentang Ekonomi (Kumpulan
      Hadits-Hadits Pilihan Tentang Ekonomi). PT Bank Muamalat Indonesia.
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Press.
............... 2006. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam. Edisi kedua. Jakarta. PT Raja
      Grafindo Persada.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Mustofa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Kencana
      Prenada Media Group: Jakarta.
Setiawan, Azis. 2007. Riba dalam Transaksi Bisnis. Majalah Hidayatullah, edisi Oktober.




                                          26

More Related Content

What's hot

Etika dalam ekonomi islam
Etika dalam ekonomi islamEtika dalam ekonomi islam
Etika dalam ekonomi islam
Nurmalia Andriani
 
Penggunaan Menurut Ekonomi Islam
Penggunaan Menurut Ekonomi IslamPenggunaan Menurut Ekonomi Islam
Penggunaan Menurut Ekonomi IslamMahyuddin Khalid
 
MPW1143 - Bab 14 ekonomi islam v1
MPW1143 -  Bab 14 ekonomi islam v1MPW1143 -  Bab 14 ekonomi islam v1
MPW1143 - Bab 14 ekonomi islam v1
Mimi Mokhtar
 
Ekonomi islam-slide
Ekonomi islam-slideEkonomi islam-slide
Ekonomi islam-slideFeRy Nababan
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Overview ekonomi islam & Hukum islam
Overview ekonomi islam &  Hukum islamOverview ekonomi islam &  Hukum islam
Overview ekonomi islam & Hukum islam
Herna Ferari
 
Makalah ekonomi syariah
Makalah ekonomi syariah Makalah ekonomi syariah
Makalah ekonomi syariah
Eka Wibawa
 
Resensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.d
Resensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.dResensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.d
Resensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.d
gusti astuti
 
CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )
CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )
CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )
Farah Mohammed Yusoff
 
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010Fathur Rohman
 
Nilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agamaNilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agamaMahfudz spdi
 
PRINSIP EKONOMI ISLAM .
PRINSIP EKONOMI ISLAM .PRINSIP EKONOMI ISLAM .
PRINSIP EKONOMI ISLAM .
yangdilindungi07
 
Makalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdagangan
Makalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdaganganMakalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdagangan
Makalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdagangan
Miftah Iqtishoduna
 
Ekonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam Islam
Ekonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam IslamEkonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam Islam
Ekonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam IslamIfwhar Yuhono
 
Politik ekonomi islam
Politik ekonomi islamPolitik ekonomi islam
Politik ekonomi islamel-hafiy
 
Muamalah1
Muamalah1Muamalah1
Muamalah1
Usep Rusmana
 
Tugas ekonomi islam
Tugas ekonomi islamTugas ekonomi islam
Tugas ekonomi islam
Frsfebby
 
Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...
Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...
Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...
Muhammad Jamhuri
 

What's hot (20)

Etika dalam ekonomi islam
Etika dalam ekonomi islamEtika dalam ekonomi islam
Etika dalam ekonomi islam
 
Penggunaan Menurut Ekonomi Islam
Penggunaan Menurut Ekonomi IslamPenggunaan Menurut Ekonomi Islam
Penggunaan Menurut Ekonomi Islam
 
MPW1143 - Bab 14 ekonomi islam v1
MPW1143 -  Bab 14 ekonomi islam v1MPW1143 -  Bab 14 ekonomi islam v1
MPW1143 - Bab 14 ekonomi islam v1
 
Ekonomi islam
Ekonomi islamEkonomi islam
Ekonomi islam
 
Ekonomi islam-slide
Ekonomi islam-slideEkonomi islam-slide
Ekonomi islam-slide
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Overview ekonomi islam & Hukum islam
Overview ekonomi islam &  Hukum islamOverview ekonomi islam &  Hukum islam
Overview ekonomi islam & Hukum islam
 
Makalah ekonomi syariah
Makalah ekonomi syariah Makalah ekonomi syariah
Makalah ekonomi syariah
 
Resensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.d
Resensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.dResensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.d
Resensi buku prof. m. abdul mannan, ma. , ph.d
 
CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )
CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )
CTU 241 ( PENGENALAN EKONOMI ISLAM & PRINSIP EKONOMI ISLAM )
 
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
 
Nilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agamaNilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agama
 
Power point msi
Power point msiPower point msi
Power point msi
 
PRINSIP EKONOMI ISLAM .
PRINSIP EKONOMI ISLAM .PRINSIP EKONOMI ISLAM .
PRINSIP EKONOMI ISLAM .
 
Makalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdagangan
Makalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdaganganMakalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdagangan
Makalah ayat dan hadits ekonomi-hukum perdagangan
 
Ekonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam Islam
Ekonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam IslamEkonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam Islam
Ekonomi, Kesejahteraan dan Etos Kerja Dalam Islam
 
Politik ekonomi islam
Politik ekonomi islamPolitik ekonomi islam
Politik ekonomi islam
 
Muamalah1
Muamalah1Muamalah1
Muamalah1
 
Tugas ekonomi islam
Tugas ekonomi islamTugas ekonomi islam
Tugas ekonomi islam
 
Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...
Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...
Seri sejarah pemikiran ekonomi Islam: perkembangan fiskal negara di masa perm...
 

Similar to Rekonstruksi pasar menurut islam

Minggu11_Ekonomi Islam.ppt
Minggu11_Ekonomi Islam.pptMinggu11_Ekonomi Islam.ppt
Minggu11_Ekonomi Islam.ppt
AnnisyaKurniawan2
 
Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)
Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)
Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)
Marselina Marselina
 
dISTORSI PASAR.pdf
dISTORSI PASAR.pdfdISTORSI PASAR.pdf
dISTORSI PASAR.pdf
IhsanD
 
10. Mekanisme Pasar Islami.pptx
10. Mekanisme Pasar Islami.pptx10. Mekanisme Pasar Islami.pptx
10. Mekanisme Pasar Islami.pptx
MuhammadFarhab1
 
Sistem ekonomi islam kel 7
Sistem ekonomi islam kel 7Sistem ekonomi islam kel 7
Sistem ekonomi islam kel 7
NofiTriyanti
 
Ppt ekonomi islam bab 7 & 8
Ppt ekonomi islam bab 7 & 8Ppt ekonomi islam bab 7 & 8
Ppt ekonomi islam bab 7 & 8
TyoSuliez
 
Makalah ekonomi.docx
Makalah ekonomi.docxMakalah ekonomi.docx
Makalah ekonomi.docx
SaliaWidiyani
 
Pasar dan harga
Pasar dan hargaPasar dan harga
Pasar dan harga
hendi utomo
 
Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1
Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1
Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1
UNIS Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang
 
Mekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi Islam
Mekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi IslamMekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi Islam
Mekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi IslamEris Hariyanto
 
5.hukum islamtentangmuamalah
5.hukum islamtentangmuamalah5.hukum islamtentangmuamalah
5.hukum islamtentangmuamalah
inspekturade
 
Islam Sebagai Konsep Ekonomi Islam
Islam Sebagai Konsep Ekonomi IslamIslam Sebagai Konsep Ekonomi Islam
Islam Sebagai Konsep Ekonomi Islam
Asikin Aja
 
Mekanisme Pasar Islami - Anto Apriyanto
Mekanisme Pasar Islami - Anto ApriyantoMekanisme Pasar Islami - Anto Apriyanto
Mekanisme Pasar Islami - Anto Apriyanto
Anto Apriyanto, M.E.I.
 
EKONOMI ISLAM pert 1.pptx
EKONOMI ISLAM pert 1.pptxEKONOMI ISLAM pert 1.pptx
EKONOMI ISLAM pert 1.pptx
VabielAhmad
 
MEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
MEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAHMEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
MEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
Mohammad Azazi
 
AL-hisbah(1)(1)(1).pptx
AL-hisbah(1)(1)(1).pptxAL-hisbah(1)(1)(1).pptx
AL-hisbah(1)(1)(1).pptx
AlwaysSunday
 
Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)
Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)
Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)
Puspita Ningtiyas
 

Similar to Rekonstruksi pasar menurut islam (20)

Minggu11_Ekonomi Islam.ppt
Minggu11_Ekonomi Islam.pptMinggu11_Ekonomi Islam.ppt
Minggu11_Ekonomi Islam.ppt
 
Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)
Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)
Distorsi Pasar (Kegagalan Pasar)
 
dISTORSI PASAR.pdf
dISTORSI PASAR.pdfdISTORSI PASAR.pdf
dISTORSI PASAR.pdf
 
10. Mekanisme Pasar Islami.pptx
10. Mekanisme Pasar Islami.pptx10. Mekanisme Pasar Islami.pptx
10. Mekanisme Pasar Islami.pptx
 
Sistem ekonomi islam kel 7
Sistem ekonomi islam kel 7Sistem ekonomi islam kel 7
Sistem ekonomi islam kel 7
 
Ppt ekonomi islam bab 7 & 8
Ppt ekonomi islam bab 7 & 8Ppt ekonomi islam bab 7 & 8
Ppt ekonomi islam bab 7 & 8
 
Makalah ekonomi.docx
Makalah ekonomi.docxMakalah ekonomi.docx
Makalah ekonomi.docx
 
Pasar dan harga
Pasar dan hargaPasar dan harga
Pasar dan harga
 
Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1
Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1
Peran etika bisnis_islam_dalam_ekonomi_pasar_bebas-1
 
Mekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi Islam
Mekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi IslamMekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi Islam
Mekanisme Pasar Dalam Islam - Ekonomi Islam
 
5.hukum islamtentangmuamalah
5.hukum islamtentangmuamalah5.hukum islamtentangmuamalah
5.hukum islamtentangmuamalah
 
Islam Sebagai Konsep Ekonomi Islam
Islam Sebagai Konsep Ekonomi IslamIslam Sebagai Konsep Ekonomi Islam
Islam Sebagai Konsep Ekonomi Islam
 
Mekanisme Pasar Islami - Anto Apriyanto
Mekanisme Pasar Islami - Anto ApriyantoMekanisme Pasar Islami - Anto Apriyanto
Mekanisme Pasar Islami - Anto Apriyanto
 
1.muamalah1
1.muamalah11.muamalah1
1.muamalah1
 
EKONOMI ISLAM pert 1.pptx
EKONOMI ISLAM pert 1.pptxEKONOMI ISLAM pert 1.pptx
EKONOMI ISLAM pert 1.pptx
 
MEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
MEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAHMEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
MEDIEVAL ISLAMIC ECONOMIC TOUGHT: PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
 
Ekonomi syari’ah
Ekonomi syari’ahEkonomi syari’ah
Ekonomi syari’ah
 
Islam hadari
Islam hadariIslam hadari
Islam hadari
 
AL-hisbah(1)(1)(1).pptx
AL-hisbah(1)(1)(1).pptxAL-hisbah(1)(1)(1).pptx
AL-hisbah(1)(1)(1).pptx
 
Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)
Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)
Teori ekonomi klasik vs teori ekonomi keynesian (1)
 

Rekonstruksi pasar menurut islam

  • 1. PASAR DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pengantar Ekonomi Islam Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga Oleh: Ichlasul Amal Rangga Winata 041146007 Ubaidil Haq 041146010 MAGISTER SAINS EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011 1
  • 2. 1. Pendahuluan Islam adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah (dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama- agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang mengatur tentang ekonomi dan mekanismenya. Kesempurnaan sistem ekonomi yang pernah dijalankan Nabi Muhammad SAW terus menghadirkan inspirasi untuk diteladani. Meski atmosfer ekonomi kini berubah sangat modern, sistem tersebut masih tetap relevan dan tidak tertandingi. Salah satu sistem ekonomi di zaman Nabi Muhammad SAW yang patut dijadikan panutan untuk di aplikasikan dalam kehidupan modern saat ini adalah pasar. Pasar adalah tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa. Pasar mempunyai peran yang besar dalam ekonomi. Karena kemaslahatan manusia dalam mata pencaharian tidak mungkin terwujud tanpa adanya saling tukar menukar. Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disiapkan untuk tukar menukar hak milik dan menukar barang antara produsen dan konsumen. Di pasar orang bisa mendapatkan kebutuhannya dan tidak ada orang yang tidak memerlukan pasar. Attensi Islam terhadap jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat dilihat dalam surat Al Baqarah 275 bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Allah SWT menjelaskan tentang rasul-rasul-Nya dalam QS Al Furqan: 20, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelumnya, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. Al Qurthubi mengatakan maksud berjalan di pasar-pasar adalah untuk mencari rizki, berdagang dan mencari mata pencaharian. Ayat ini adalah dasar dari mencari rizki, berdagang dan mencari mata pencaharian dengan berdagang, produksi dan lain sebagainya. 2. Islam dan Pasar Masyarakat saat ini seakan merindukan sebuah sistem pasar yang tepat sebagai bagian dari penolakan pada sistem Kapitalis dan Sosialis yang mengalami kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan. Secara umum, kedua sistem ekonomi tersebut diatas tidak sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, namun Islam hendak menempatkan segala sesuatu sesuai pada porsinya, tidak ada yang 2
  • 3. dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian dari kehidupan holistik dunia dan akhirat manusia. Berdagang adalah aktivitas yang paling umum dilakukan di pasar. Untuk itu teks- teks Al Qur’an selain memberikan stimulan agar umat Islam menjadi seorang pedagang, dilain pihak juga menjalankan aktivitas tersebut dengan sejumlah rambu atau aturan main yang bisa diterapkan di pasar dalam upaya menegakkan kepentingan semua pihak, baik individu maupun kelompok. Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan sempurna (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus oleh frame syari’ah. Dalam Islam, Transaksi terjadi secara sukarela (antaradim minkum) sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat An Nisa’ ayat 29. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesukamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Didukung pula oleh hadits riwayat Abu dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah dan as Syaukani sebagai berikut ”Orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami!” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan yang melapangkan rizki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezhaliman-pun dalam darah dan harta”. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan asy-Syaukani). Sistem pasar yang adil akan melahirkan harga yang wajar dan juga tingkat laba yang tidak berlebihan, sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebagaimana QS Al Baqarah 275 berikut “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. 3. Mekanisme Pasar dalam Islam 3
  • 4. Pentingnya pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena peran penting pasar dan juga rentan dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas dengan sejumlah aturan syariat, yang antara lain terkait dengan pembentukan harga dan terjadinya transaksi di pasar. Dalam istilah lain dapat disebut sebagai mekanisme pasar menurut Islam dan intervensi pemerintah dalam pengendalian harga. Konsep mekanisme pasar dalam Islam dibangun atas prinsip- prinsip sebagai berikut: a. Pertama, Ar-Ridha, yakni segala transaksi yang dilakukan haruslah atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak (freedom contract). Hal ini sesuai dengan QS An Nisa’ ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An Nisa’ 29). b) Kedua, berdasarkan persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar akan terhambat bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli. Monopoli dapat diartikan, setiap barang yang penahanannya akan membahayakan konsumen atau orang banyak. c) Ketiga, kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam, sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu sendiri. Islam melarang tegas melakukan kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Sebab, nilai kebenaran ini akan berdampak langsung kepada para pihak yang melakukan transaksi dalam perdagangan dan masyarakat secara luas. d) Keempat, keterbukaan (transparancy) serta keadilan (justice). Pelaksanaan prinsip ini adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan yang sesungguhnya. 4
  • 5. A. Masa Rasulullah Dalam ekonomi Islam, hal-hal yang tetap dalam harga yang sama ditentukan oleh operasi bebas kekuatan pasar. Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan campur tangan apa pun dalam proses penetuan harga oleh negara atau individual. Di samping menolak untuk mengambil aksi langsung apa pun, beliau melarang praktek-praktek bisnis yang dapat membawa kepada kekurangan pasar. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW menghapuskan pengaruh kekuatan ekonomi atas mekanisme harga. Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, dalam hal penentuan harga ditentukan melalui mekanisme pasar. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia mengatakan harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga (ta’sir) untuk kita. Beliau menjawab: Allah SWT itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharap dapat menemui Tuhanku dimana salah satu diantara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang adanya intervensi harga dari siapapun juga. Praktek-praktek dalam mengintervensi harga adalah perbuatan yang terlarang. Selain melarang adanya intervensi harga, ada beberapa larangan yang diberlakukan Rasulullah SAW untuk menjaga agar seseorang tidak dapat melambungkan harga seenaknya seperti larangan menukar kualitas mutu barang dengan kualitas rendah dengan harga yang sama serta mengurangi timbangan barang dagangan. Beberapa larangan lainnya adalah: 1. Larangan Najsy Najsy adalah sebuah praktek dagang dimana seorang penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang dagangannya atau menawar dengan harga yang tinggi calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Najsy dilarang karena dapat menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para pembeli. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran terhadap barang tanpa bermaksud untuk membeli” (HR. Tirmidzi). 2. Larangan Bay‘ Ba’dh ‘Ala Ba’dh 5
  • 6. Praktek bisnis ini adalah dengan melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap negosiasi atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah melarang praktek semacam ini karena hanya akan menimbulkan kenaikan harga yang tidak diinginkan. 3. Tallaqi Al-Rukban Praktek ini adalah dengan cara mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang tersebut sebelum tiba di pasar. Rasulullah melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar, sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari harga yang sesuai dan alami. 4. Larangan Ihtinaz dan Ihtikar Ihtinaz adalah praktek penimbunan harta seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah penimbunan barang-barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari. Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya sangat dilarang dan dicela dalam Islam seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 34-35 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan dari pendeta-pendeta memakan harta manusia dengan cara yang bathil dan mereka menghalangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukan kepada mereka akan azab yang pedih. Pada hari itu dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, rusuk dan punggung mereka dan dikatakan (kepada mereka). Inilah harta benda yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (balasan) dari apa yang kamu simpan dahulu itu.” Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa praktek penimbunan baik yang berbentuk uang tunai maupun barang sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam. Bahaya dari praktek ihtikar dapat menyebabkan kelangkaan barang di pasar sehingga harga barang menjadi naik. 6
  • 7. B. Masa Khulafaurrasyidin a. Abu Bakar As Siddiq Khalifah pertama yang ditunjuk untuk memegang tampuk pemerintahan setelah Rasulullah SAW wafat adalah Abu Bakar As-Siddiq. Tidak banyak diketahui kebijakan-kebijakan baru mengenai harga yang dibuat oleh Abu Bakar. Namun demikian sebagai seorang fuqaha yang berprofesi sebagai seorang pedagang, Abu Bakar menjalankan praktek perdagangan secara syariah termasuk masalah kebijakan tentang harga yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Rasulullah SAW. b. Umar bin Khathab Setelah Abu Bakar wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khathab. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Umar bin Khathab benar-benar menerapkan ekonomi syariah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dapat dilihat dari peringatan keras Umar bin Khathab terhadap segala praktek penimbunan barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat. Beliau tidak memperbolehkan seorang pun dari kaum muslimin untuk membeli barang sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk ditimbun. Umar bin Khathab mengadakan dan menjalankan hisbah yang telah dirintis sejak zaman Rasulullah SAW. Selain itu, beliau juga mengambil inisiatif untuk melakukan operasi pasar pada saat terjadi kelaparan yang dahsyat di Madinah. Al Haritsi (2010: 592-595) mengatakan Umar bin Khathab memiliki beberapa kebijakan terkait dengan penimbunan barang dan cara memeranginya, yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Umar melarang penimbunan barang, akan tetapi dia membedakan antara orang yang membeli dari pasar untuk ditimbun dan pengimpor barang dari satu daerah ke daerah lain. Umar melarang keras hal yang pertama namun memberi yang kedua hak untuk menjual dengan harga berapa pun agar orang- orang tidak enggan untuk mengimpor. Dalam mengambil kebijakan ini, Umar berpedoman pada para fuqaha’ yang berpendapat bahwa pengimpor bukan dianggap sebagai penimbun apabila menahan apa yang dikumpulkannya di pasar, sehingga menyebabkan naiknya harga, berbeda dengan pembeli dari 7
  • 8. dalam negeri. Dalam salah satu hadits diriwayatkan nabi Muhammad SAW bersabda “orang yang mengimpor mendapat rizki, dan orang yang menimbun mendapat laknat”. 2. Umar membagi penimbunan barang menjadi dua bagian. Menimbun menurut waktu dan menimbun menurut tempat. Maksud menimbun menurut waktu adalah menimbun barang musiman, seperti tanaman, buah-buahan yang ada di pasar pada musim-musim tertentu saja sepanjang tahun. Adapun menimbun menurut tempat adalah membeli barang yang dibawa ke pasar, dan menunggu naiknya harga. Dalam menjelaskan dua hal ini, Umar berkata “wahai para pedagang, janganlah kalian berdagang dengan kami di waktu kami, jangan berdagang di pasar kami, maka barangsiapa datang kepada kalian ketika berjual beli dengan umat Islam, maka dia seperti salah satu dari kalian. Akan tetapi berjalanlah ke daerah-daerah, lalu ambillah barang untuk kami, kemudian juallah sebagaimana kalian kehendaki.” 3. Terlihat bahwa Umar bin Khattab tidak mengkhususkan penimbunan barang yang diharamkan dengan menahan makanan, tetapi perkataan-perkataannya di depan menjelaskan penimbunan barang yang diharamkan ada pada setiap barang yang membahayakan manusia apabila ditahan. Yang paling utama adalah makanan, karena makanan sangat dibutuhkan oleh manusia, dan karena menahannya bisa membahayakan. 4. Umar bin Khattab tidak melihat jumlah penimbun barang, akan tetapi melarang menimbun barang baik dilakukan oleh seorang pedagang atau beberapa pedagang, dan menganggap barang yang dibeli adalah untuk semua penghuni pasar dari umat Islam. Umar tidak mengizinkan seorang pedagang atau beberapa pedagang untuk mementingkan diri sendiri dan meninggalkan umat Islam yang lain. Diriwayatkan bahwa seorang penjual makanan sampai di Madinah, maka Umar berkata kepada mereka “apakah di pasar kami mereka berdagang? Ajaklah orang-orang, atau keluarlah dan belilah barang, lalu datanglah dan juallah.” 5. Perkataan Umar ketika melihat orang-orang menimbun sisa barang mereka, “Jangan bersenang-senang! Allah Azza wa Jalla memberikan kami rizki, sehingga ketika sampai ke pasar kami beberapa kamu menimbun sisa barang 8
  • 9. mereka dari para janda dan orang-orang miskin, maka apabila para pengimpor datang, mereka menjual sesuai apa yang mereka inginkan dengan sewenang-wenang.” Perkataan ini menunjukkan bahwa Umar mengetahui akibat penimbunan barang dalam proses distribusi. Dia melihat bahwa pemilik harta yang berlebih kadang memanfaatkan kesempatan ekonominya untuk menimbun barang yang sangat dibutuhkan oleh manusia, sewenang- wenang dalam menentukan harga, tanpa mengeluarkan tenaga dalam memproduksinya, dan hal tersebut memperkaya diri mereka sendiri dari harta orang-orang fakir dan miskin. c. Utsman bin Affan Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Sebagai seorang fuqaha, beliau mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap penegakan hukum termasuk, hukum tentang ekonomi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW dan khalifah- khalifah sebelumnya. Dalam hal kebijakan harga, beliau tidak menyerahkan penentuan harga ke tangan pengusaha. Utsman bin Affan selalu berusaha untuk tetap mendapatkan informasi tentang situasi harga bahkan harga barang yang sulit dijangkau. Jika beliau mengetahui ada pedagang-pedagang yang ingin menimbun makanan atau menjualnya dengan harga yang mahal, maka beliau akan mengirimkan kafilah- kafilah untuk mengambil bahan makanan tersebut dengan tujuan untuk merusak praktek penimbunan dan permainan harga yang akan dilakukan oleh para pedagang tersebut. Hal-hal yang dilakukan oleh khalifah merupakan suatu upaya preventif yang dilakukan untuk mengontrol harga agar tidak menjadi beban bagi masyarakat dan menghindari adanya distorsi harga. d. Ali bin Abi Thalib Setelah kepemimpinan Utsman bin Affan, tampuk kekhalifahan diduduki oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin secara resmi mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama pemerintahan Islam. Ketika mata uang masih diimpor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang impor. Namun setelah mencetak uang sendiri, kaum muslimin secara langsung mengawasi penawaran yang ada. 9
  • 10. C. Masa Umayyah Mulai pada masa pemerintahan Daulah Umayyah ditemukan banyak buku- buku yang ditulis para fuqaha, sufis dan filosof yang menunjukkan berkembangnya peradaban Islam. Buku-buku yang mereka tulis sebenarnya bersifat komprehensif dan tidak secara khusus membahas tentang sistem ekonomi. Walaupun demikian, beberapa orang diantara para fuqaha tersebut memberikan kontribusi bagi sistem ekonomi Islam dan Abu Yusuf merupakan salah satu diantaranya. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) hidup semasa pemerintahan khalifah Bani Umayyah mulai dari Khalifah Hisyam (105 H/742 M). Beliau merupakan fuqaha pertama yang secara eksklusif menekuni masalah tentang kebijaksanaan ekonomi. Salah satu diantaranya adalah beliau memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Pemahaman masyarakat pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan saja dimana pada saat barang yang tersedia sedikit maka harga barang tersebut akan menjadi mahal dan sebaliknya, bila barang yang tersedia banyak maka harga barang tersebut akan menjadi turun atau murah. Pemahaman masyarakat itu kemudian dibantah oleh Abu Yusuf dan menyatakan sebagai berikut, karena pada kenyatannya terkadang pada saat persediaan barang hanya sedikit tidak membuat harga barang tersebut menjadi naik/mahal. Sebaliknya, pada saat persediaan barang melimpah, harga barang tersebut belum tentu menjadi murah. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persedian barang (supply) dan harga. Karena pada kenyataannya harga tidak bergantung kepada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran. Oleh karena itu, peningkatan-penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan-penurunan permintaan ataupun penurunan- peningkatan dalam produksi. Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang murah ataupun mahal. Harga barang/makanan murah bukan dikarenakan melimpahnya jumlah barang atau makanan. Begitu pula, mahalnya harga barang atau makanan 10
  • 11. tidak disebabkan karena kelangkaan jumlah barang atau makanan. Murah dan mahal harga suatu barang merupakan ketentuan Allah. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi naik turunnya harga barang atau makanan, tetapi dia tidak menjelaskan lebih rinci variabel tersebut. Namun demikian, pernyataan Abu Yusuf tersebut tidak menyangkal pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan suatu harga. D. Dinasti Abasiyyah I a. Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) Imam Hambali adalah imam dari mazhab ke-4 yang terbesar. Beberapa hal yang dibahas secara rinci oleh beliau adalah mengenai mashlahah, tujuan syariah dan kebebasan menerima cara-cara untuk mencapai tujuan syariah tersebut. Salah satu pandangan Imam Hambali adalah pendekatan Islami untuk memelihara persaingan yang adil di pasar. Imam Hambali mencela pembelian dari seorang penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang membeli barang yang sama dari saingannya. Alasan beliau adalah jika penurunan harga barang seperti ini dibiarkan, maka akan menempatkan penjual yang menurunkan harga tersebut pada posisi monopoli yang akhirnya dapat mendikte harga semaunya. Imam Hambali menghendaki campur tangan dalam kasus seperti ini untuk mencegah terjadinya monopoli. b. Imam Al-Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M) Al-Gahzali hidup semasa khalifah Al-Qa’im (422 H/1031 M) sampai khalifah Al-Mustazhhir (487 H/1094 M). Al-Ghazali mengutuk penimbunan uang dengan alasan bahwa uang dirancang untuk memudahkan pertukaran dan praktek penimbunan uang dapat menghalangi proses pertukaran tersebut. Sumbangan Al-Ghazali terhadap ilmu ekonomi adalah beliau telah berhasil menyajikan penjabaran yang rinci tentang peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci ia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar, yaitu: dapat saja petani hidup ditempat alat-alat pertanian tidak tersedia. 11
  • 12. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alamiah, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan. Tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi oleh pembeli sesuai kebutuhannya masing masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persedian. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang. Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa labalah yang menjadi motif perdagangan. Pada saat lain, ia menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakannya sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah. E. Dinasti Abasiyyah II a. Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M) Ibnu Taimiyyah hidup semasa Daulah abbasiyah II yang berkedudukan di Kairo mulai dari Khalifah Al-Hakim I (660 H / 1262 M) sampai khalifah Al- Mustakfi I (701 H / 1302 M). ibnu Taimiyyah mendiskusikan norma-norma Islami untuk perilaku ekonomi individual dan lebih banyak memberikan perhatian kepada masalah-masalah kemasyarakatan seperti perjanjian dan upaya mentaatinya, harga-harga, pengawasan pasar dan lain sebagainya. 12
  • 13. Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa peningkatan harga merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari pihak penjual atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar. Anggapan ini dibantah oleh Ibnu Taimiyyah.dengan tegas. Beliau cenderung mendukung ilmu ekonomi positif dimana harga ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran. Ibnu taimiyyah menyatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi, tapi bisa jadi penyebabnya adalah supply yang menurun akibat produksi yang tidak efisien, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar. Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan penawaran menurun maka harga barang tersebut akan naik. Begitu pula sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh tindakan yang adil atau mungkin tindakan yang tidak adil. Penawaran bisa datang dari produksi domestik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, maka kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT. Dibedakan pula dua faktor penyebab pergeseran kurva penawaran dan permintaan,yaitu tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan melanggar hukum dari penjual, misalnya penimbunan. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran antara lain adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan ataupun melimpahnya barang, kondisi kepercayaan, serta diskonto dari pembayaran tunai. Permintaan terhadap barang acapkali berubah. Perubahan tersebut bergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, kuat- lemahnya dan besar-kecilnya kebutuhan seseorang terhadap barang tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu Taimiyyah telah mengasosiasikan harga tinggi dengan intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga akan naik.demikian pula sebaliknya. 13
  • 14. Menarik untuk dicatat bahwa tampaknya Ibnu Taimiyyah mendukung kebebasan untuk keluar-masuk pasar. Beliau juga mengkritik adanya kolusi antara pembeli dan penjual, menyokong homogenitas dan standarisasi produk dan melarang pemalsuan produk serta penipuan pengemasan produk yang dijual. Selain itu, Ibnu Taimiyyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Dengan tetap meperhatikan pasar yang tidak sempurna, ia merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga normal padahal orang-orang membutuhkan barang-barang ini, maka para penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen dan secara kebetulan konsep ini bersamaan artinya dengan apa yang disebut sebagai harga yang adil. Selanjutnya, bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli. b. Ibnu Khaldun (732-808 H / 1332-1404 M) Ibnu Khaldun hidup pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mustakfi sampai Khalifah Al-Musta’in. Pemikirannya dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Muqaddimah. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Khaldun menjelaskan mekanisme permintaan dan penawaran dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Selanjutnya ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain pada sisi penawaran tersebut. Ia mengatakan bahwa bea cukai biasa dan bea cukai lainnya dipungut atas bahan makanan di pasar-pasar dan di pintu-pintu kota demi raja, dan para pengumpul pajak menarik keuntungan dari transaksi bisnis untuk kepentingan mereka sendiri. Karenanya, harga dikota lebih tinggi daripada di padang pasir. Pada bagian lain bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan bahwa ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga dari barang tersebut akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan 14
  • 15. banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan berlimpah sehingga harga-harga pun akan turun. Ketika menyinggung masalah laba, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Sebaliknya, keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan dikarenakan pedagang kehilangan motivasi. Demikian pula dengan sebab yang berbeda, keuntungan yang sangat tinggi akan melesukan perdagangan karena permintaan konsumen akan melemah. 4. Harga dan Persaingan Sempurna dalam Islam Konsep Islam memahami bahwa pasar dapat berperan aktif dalam kehidupan ekonomi apabila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun termasuk Negara dalam hal intervensi harga atau private sector dengan kegiatan monopolistik dan lainya. Karena pada dasarnya pasar tidak membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa yang harus dikonsumsi dan diproduksi. Sebaliknya, biarkan tiap individu dibebaskan untuk memilih sendiri apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya. Pasar yang efisien akan tercapai apabila termasuk investor (jika dalam pasar modal) dan seluruh pelaku pasar lainnya memperoleh akses dan kecepatan yang sama atas keseluruhan informasi yang tersedia. Dengan kata lain, tidak ada insider information. Inilah pola normal dari pasar yang dalam istilah Al Ghozali berkait dengan ilustrasi dari evolusi pasar. Selanjutnya Adam Smith menyatakan serahkan saja pada Invisible hand dan dunia akan teratur dengan sendirinya. Prinsip invisible hand yaitu, dimana pasar cenderung akan mengarahkan setiap individu untuk mengejar dan mengerjakan yang terbaik untuk kepentingannya sendiri, yang pada akhirnya juga akan menghasilkan yang terbaik untuk seluruh individu. Dari pemahaman itu, harga dari sebuah komoditas baik barang maupun jasa ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penawaran dan permintaan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Anas Bahwasannya suatu hari terjadi kenaikan harga yang luar biasa di masa Rasulullah SAW, maka sahabat meminta nabi untuk menentukan harga pada saat itu, lalu nabi bersabda: Artinya, “Bahwa 15
  • 16. Allah adalah Dzat yang mencabut dan memberi sesuatu, Dzat yang memberi rezeki dan penentu harga.” (HR. Abu Daud). Dari hadits itu, dapat disimpulkan bahwa pada waktu terjadi kenaikan harga, Rasulullah SAW meyakini adanya penyebab tertentu yang sifatnya darurat. Oleh karena itu, sesuatu yang bersifat darurat akan hilang seiring dengan hilangnya penyebab dari keadaan itu. Di lain pihak, Rasulullah juga meyakini bahwa harga akan kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penetapan harga menurut Nabi merupakan suatu tindakan yang menzalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang tentunya tidak sesuai dengan keridhoan-Nya. Dengan demikian, pemerintah tidak mewakili wewenang untuk melakukan intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal. Ibnu Taimiyah mengatakan, jika masyarakat melakukan transaksi jual beli dalam kondisi normal tanpa ada distorsi atau penganiayaan apapun dan terjadi perubahan harga karena sedikitnya penawaran atau banyaknya permintaan, maka ini merupakan kehendak Allah. Harus diyakini bahwa intervensi terhadap pasar hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang darurat. Keadaan darurat disini dapat diartikan jika pasar tidak terjadi dalam keadaan sempurna, yaitu terdapat kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi secara fair (market failure). Beberapa contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: informasi yang tidak simetris, biaya transaksi, kepastian institusional, masalah eksternalitas (termasuk pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan) serta masalah dalam distribusi. Jika kondisi demikian ini terjadi, maka akan terjadi pasar tidak sempurna atau disebut dengan istilah Market Imperfection. A. Market Imperfection Efisiensi pasar dapat tidak tercapai jika pasar adalah tidak sempurna (market imperfection) yang disebabkan oleh: 1. Kekuatan pasar; yang memiliki kekuatan pasar dapat menentukan harga dan kuantitas keseimbangan. 16
  • 17. 2. Eksternalitas; aktivitas konsumsi/produksi yang mempengaruhi pihak lain, tidak tercermin di pasar. 3. Barang publik; non-exclusive and non-rival good in consumption. 4. Informasi tidak sempurna; menyebabkan inefisiensi dalam permintaan dan penawaran. Dalam Islam, ketidaksempurnaan diatas diakui dan ditambahkan dengan beberapa faktor lain penyebab distorsi pasar atau disebut dengan Islamic Market Imperfection B. Islamic Market Imperfection Islamic Market Imperfection terdiri dari beberapa perbuatan yang merusak pasar sebagaimana berikut: a. Rekayasa supply dan demand, ada dua hal yang masuk dalam kategori ini, yaitu: 1. Ba’i Najasy; produsen menyuruh pihak lain memuji produk-nya atau menawar dengan harga tinggi, sehingga orang akan terpengaruh. Dalam istilah orang Jawa “combe”. 2. Ikhtikar; mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya harga-nya naik. b. Tadlis (Penipuan) 1. Tadlis kuantitas, produsen menipu dengan mengurangi timbangan dari yang sebenarnya. 2. Tadlis kualitas, produsen mengatakan bahwa kualitas yang didapat sesuai dengan harga, padahal kualitas yang diberikan dibawah harga yang telah dibayar. 3. Tadlis harga, produsen memberikan batrang yang sesuai dengan harga yang dibayar, padahal harga sebenarnya jauh dibawah harga yang dibayar. 4. Ghaban faa-hisy, menjual diatas harga pasar, karena keterbatasan informasi yang didapat oleh pembeli. 5. Talaqqi rukban, pedagang membeli barang penjual sebelum mereka masuk ke kota, karena keterbatasan informasi atau paksaan terhadap penjual. 17
  • 18. 6. Tadlis waktu penyerahan, produsen menyerahkan barang yang di beli konsumen tidak sesuai dengan jadwal pengiriman barang yang telah ditentukan saat jual beli. c. Taghrir (Ketidakpastian); 1. Taghrir kuantitas, produsen menipu dengan tidak memberikan jumlah pasti dari kuantitas barang yang akan menyebabkan kerugian dari pihak pembeli. 2. Taghrir kualitas, produsen menipu dengan tidak memberikan kualitas barang yang sebenarnya, sehingga akan menyebabkan kerugian dari pihak pembeli. 3. Tahgrir harga, produsen memberikan ketidakpastian harga yang menyebabkan pembeli merasa dirugikan. 4. Taghrir waktu penyerahan, ketidakpastian waktu penyerahan barang menyebabkan pembeli dirugikan oleh ulah produsen. 5. Predatory pricing, yaitu menjual dengan harga dibawah harga pasar. Hal ini akan mematikan pesaing dan menyebabkan persaingan tidak sehat. Dalam hal terjadinya pasar tidak sempurna dan atau terjadinya kondisi yang tidak normal, maka intervensi pasar oleh pemerintah menjadi diperbolehkan, untuk menjaga pasar tetap berjalan sesuai dengan semestinya. Jika pasar sudah kembali normal, maka pemerintah harus mencabut intervensi yang dilakukan. 5. Intervensi Pasar dalam Islam Islam memperbolehkan negara memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan ekonomi baik itu dalam bentuk pengawasan, pengaturan maupun pelaksanaan kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh masyarakat. Intervensi harga oleh pemerintah bisa karena faktor alamiah maupun non alamiah. Pada umumnya intervensi pemerintah berupa intervensi kebijakan dalam regulasi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran dan intervensi dalam menentukan harga. Intervensi dengan cara membuat kebijakan yang dapat mempengaruhi dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran (market intervention) biasanya dikarenakan distorsi pasar karena faktor alamiah. Bila 18
  • 19. distorsi pasar terjadi karena faktor non almiah, maka kebijakan yang ditempuh salah satunya dengan dengan intervensi harga di pasar. Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut: 1. Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih tinggi daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut. 2. Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqaha untuk memberlakukan hak hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah. 3. Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga disini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut. 4. Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah harga normal. 5. Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi menurut konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah menurut produsen. 6. Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku, padahal masyarakat membutuhkan jasa tersebut. Sementara itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai berikut: 1. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat 2. Untuk mencegah ikhtikar (penimbunan) dan ghaban faa-hisy (menjual diatas harga pasar). 3. Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Bagi Mannan, Regulasi harga (bagian dari intervensi Pemerintah) memiliki 3 fungsi: 19
  • 20. 1. Fungsi ekonomi: berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan relokasi sumber daya ekonomi. 2. Fungsi sosial: mempersempit kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin. 3. Fungsi moral: Upaya menegakkan nilai-nilai Islami dalam aktivitas perekonomian 6. Hisbah dan Pengawasan Pasar Ajaran Islam tidak hanya mengatur tentang mekanisme pasar, transaksi dan perdagangan, namun Islam juga menyediakan mekanisme pengawasan (pengawasan pasar) agar tercipta law enforcement terhadap aturan-aturan tersebut. Lembaga yang bertugas dalam mengawasi pasar adalah Hisbah. Hisbah menurut Imam Mawardi dan Abu Ya’la merupakan sistem untuk memerintahkan yang baik dan adil jika kebaikan dan keadilan secara nyata dilanggar atau tidak dihormati, selain itu lembaga ini juga melarang kemungkaran dan ketidakadilan ketika hal tersebut secara nyata sedang dilakukan. Hisbah mulai dilembagakan secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Khathab dengan cara “menunjuk seorang perempuan untuk mengawasi pasar dari tindakan-tindakan penipuan”. Hisbah merupakan cara pengawasan terpenting yang dikenal oleh umat Islam pada masa permulaan Islam. Para intelektual muslim membagi pengawasan pasar ini dalam dua jenjang, yaitu internal yang berpusat dari pemahaman personal terhadap syari’at terkait dengan transaksi, perdagangan dan segala hal berkenaan dengan mekanisme pasar yang bersumber dari Al Qur’an, al Hadits dan pendapat para ulama. Sementara pengawasan secara eksternal dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya di luar diri para pelaku pasar. Islam mengatur dan mengawasi pasar secara ketat. Salah satu lembaga yang semestinya dibentuk untuk mengawasi pasar menurut Islam adalah Hisbah. Meskipun demikian sebenarnya pengawasan dapat dilakukan oleh semua orang sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang perintah untuk menindak kemungkaran. Terkait dengan mencegah terjadinya kemungkaran ini salah satu wewenang lembaga hisbah adalah pencegahan penipuan di pasar, seperti masalah 20
  • 21. kecurangan dalam timbangan, ukuran maupun pencegahan penjualan barang yang rusak serta tindakan-tindakan yang merusak moral. Landasan Hisbah sebagaimana diterapkan oleh Rasulullah adalah hadits yang menceritakan ketika Rasulullah melakukan inspeksi pasar dan menemukan pelanggaran di pasar karena meletakkan kurma yang basah di bawah di atas tumpukan kurma kering, sehingga dapat menutupi informasi bagi pembeli tentang kualitas kurma. Dari itu kemudian Rasulullah menegaskan bahwa praktek yang demikian adalah dilarang dalam Islam. Sementara dalam Al Qur’an dapat kita lihat pada Surat Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Berikut adalah lembaga pengawas pasar di masa kejayaan Islam. A. Masa Rasulullah Institusi Wilayat al-Hisbah sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negara Islam. Tradisi Hisbah diletakkan langsung fondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan Hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, "Barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami." Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari’at oleh masyarakat Madinah. Satu hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Madinah – setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah mempererat ikatan emosional kaum muhajirin dengan anshar dengan mengeluarkan shahifah yang di kenal dengan shahifah ar-Rasul yang berisi tentang: a) Pernyatan persatuan antara Muhajin dan Anshar serta orang-orang yang berhubungan dab berjuang bersama mereka. b) Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan diantara orang mukmin, harus sama-sama di atasi walaupun keluarga sendiri. 21
  • 22. c) Orang Yahudi saling membantu dengan orang Mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas dalam menjalankan agamanya masing-masing. d) Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa. e) Orang orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa. Dengan keluarnya sahifah ar-Rasul ini telah mengindikasikan berdiri satu daulah Rasul sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh (orang-orang Quraisy). Kondisi peradilan pada masa itu sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi (hakim), seperti Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khatab di Madinah. Namun, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada sahabat (qadhi), akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayat al- Hisbah pada masa ini belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek- praktek yang mengarah kepada kewenangan Hisbah yang dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya kedalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi kemudian bersabda: ”bahwa barang siapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk umatnya”. B. Masa Khulafaurrasyidin Setelah Nabi SAW wafat, kewenangan sebagai pemimpin masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar bin Khathab dan Ali Ibn Bin Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi yang di angkat. Begitu juga dengan lembaga Hisbah pada masa ini tidak mengalami perubahan, artinya Muhtasib dipegang sendiri oleh Khalifah. Namun pada masa Umar bin Khathab, perhatian kepada hisbah merupakan hal yang terpenting dalam pengawasan terhadap ekonomi. Umar bin Khathab 22
  • 23. melakukan peran sebagai muhtasib dan mengawasi umat siang dan malam, membawa tongkat dan berkeliling ke pasar-pasar untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku orang-orang. Dalam sebuah riwayat yang ditulis oleh Al Qalaqsyandi dikatakan bahwa Umar bi Khathab berkeliling pada malam hari, dan mendatangi rumah-rumah umat Islam untuk mengetahui keadaan mereka dan mengetahui orang-orang yang membutuhkan dan teraniaya, mengetahui orang- orang yang mempunyai masalah, mencegah kegiatan yang berbahaya dan lain sebagainya. Umar bin Khathab juga menugaskan orang lain untuk melakukan pengawasan terhadap beberapa tempat, atau beberapa kegiatan. Karena perhatiannya yang besar terhadap masalah hisbah, Umar lebih terkenal dalam hal ini dibandingkan dengan khalifah lain, sehingga sebagian orang mengira beliau adalah orang pertama yang membahas tentang hisbah. B. Masa Daulah Umayyah Setelah Ali Bin Abi Thalib wafat, kekalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali ibn Abi Thalib melihat kepada perdebatan dan kekurangannya dukungan masyarakat kepada kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka di mulailah masa imperium Daulah Umayyah dari 661-750 M. Keberadaan peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan (terpisah dengan kekuasaan pemerintah) dengan adanya penentuan qadhi yang dipilih khalifah, dengan memiliki kewenangan memutus perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa khalifah al-rasyidin. Wilayat al-Hisbah (muhtasib) pada masa ini tidak melembaga dan diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq. Joeseph Schacht dalam an Introduction to Islamic law menjelaskan bahwa Wilayat al-Hisbah diadopsi dari lembaga peradilan di masa Bizantium yang fungsinya merupakan bagian dari peradilan, yaitu spector of market. Apa yang dikatakan oleh Schacht itu sesungguhnya tidak dapat diterima, tentunya antara Wilayat al-Hisbah dengan spector of market memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat tajam. Pada spector of market hanya bertugas untuk mengumpulkan bayaran wajib para pedagang (collective obligation) atau pajak jualan, dan kewenangan seperti ini tidak terdapat pada 23
  • 24. Wilayat al-Hisbah. Dilihat dari segi berdirinya pun tidak dapat diterima karena Hisbah sudah ada pada masa Rasul walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan terbentuk sebagai lembaga terjadi pada masa Umayyah setelah melalui proses sejarah. Dengan demikian, Wilayat al-Hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. D. Masa Daulah Abbasiyah Setelah Daulah Umaiyyah runtuh dan di gantikan oleh daulah Abassiyah dari kurun waktu 750 M–1225 M (123 H–656 H), umat Islam banyak mengalami kemajuan dalam segala bidang termasuk dalam lembaga peradilan, pada periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan dikepalai oleh qadhial-qudhah yang berkedudukan di ibu kota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam. Begitu juga dengan lembaga Hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus di selesaikan dengan wilayat qudha. Hal ini dijelaskan oleh Schacht, sebagaimana dikutip oleh Iin Sholihin, bahwa pada saat yang sama ketika para hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib. Artinya keberadaan lembaga ini pada periode Abasiyyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). 7. Kesimpulan Dari uraian diatas yang menjadi titik pentingnya adalah bahwa regulasi pasar dalam Islam adalah dimaksudkan agar terjaganya hak dari semua pihak, baik pembeli maupun penjual. Untuk itu perlu ditekankan disini bahwa aspek utama dalam ekonomi Islam termasuk dalam sistem pasar adalah aspek moralitas. 24
  • 25. Beberapa aspek itu menyangkut persoalan integritas, akuntabilitas, dan profesionalitas bila diterapkan dalam pelaksanaan system moder saat ini. Yang tak kalah penting dari persoalan regulasi adalah komitmen Islam dalam menegakkan aturan-aturan itu dengan memberlakukan institusi hisbah, yang memiliki tanggungjawab dan wewenang dalam pengawasan pasar, bahkan lembaga hisbah atau wilayatul hisbah dapat berlaku pada persoalan-persoalan lain yang lebih universal, seperti kesejahteraan, terpenuhinya fasilitas umum dan terjaganya hukum. Demikian pemaparan makalah ini semoga dapat menjadi tambahan khazanah pengetahuan kita dan modal pengembangan ekonomi Islam terutama dan masalah pasar baik yang bersifat tradisional, modern maupun dalam implementasinya di dalam wilayah pasar modal. 25
  • 26. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2007. Mujamma’ Al Malik Fahd li Thiba’at al Mush-haf Asy-Syarif: Madinah Munawwarah. Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam. Terjemahan oleh Zainal Arifin. 1997. Gema Insani Press: Jakarta. Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Al Fiqh Al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibnu Al Khaththab. Terjemahan oleh H. Asmuni Solihan Zamakhasyari. 2010. Penerbit KHALIFA: Jakarta. Az-Zabidi, Al Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif. Al-Tarjih Al-Shahih li Ahadits Al-Jami’ Al-Shahih. Terjemahan oleh Cecep Syamsul Arif dan Asoff Murtadha. 1997. Penerbit Mizan: Bandung. Fachruddin Ahmad., et al. Makalah Diskusi Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam pada masa Rasulullah SAW. Islahi, Abdul Azim. 1996. Economic Concepts Of Ibnu Taimiyah. United Kingdom. The Islamic Foundation. Khan, Muhammad Akram. Ushul Al Iqtishod Al Islamy. Terjemahan oleh Al Mishry dan Rofiq Yunus. Ajaran Nabi Muhammad SAW Tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-Hadits Pilihan Tentang Ekonomi). PT Bank Muamalat Indonesia. Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Press. ............... 2006. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam. Edisi kedua. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nasution, Mustofa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Setiawan, Azis. 2007. Riba dalam Transaksi Bisnis. Majalah Hidayatullah, edisi Oktober. 26