SlideShare a Scribd company logo
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP
PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PENELITI:
SULARSI
MUSTAFA AQIB BINTORO
ABDUL BAASITH
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP
PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PENELITI:
SULARSI
MUSTAFA AQIB BINTORO
ABDUL BAASITH
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP
PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PENELITI:
SULARSI
MUSTAFA AQIB BINTORO
ABDUL BAASITH
i
KATA PENGANTAR
Secara Geografis, Indonesia yang berbentuk kepulauan, terletak diantara 2 (dua)
rangkaian gunung berapi aktif (ring of fire) dan patahan kerak bumi. Akibatnya, Indonesia
rentan akan bencana alam, baik yang bersumber dari aktivitas vulkanik ataupun aktivitas
tektonik. Selain bencana alam, Indonesia juga sangat rentan terhadap bencana yang
diakibatkan aktivitas manusia, seperti banjir dan tanah longsor.
Atas fakta diatas tentunya dibutuhkan cadangan dana yang besar guna mengatasi
bencana alam dan bencana kemanusiaan yang dapat datang sewaktu-waktu. Beruntung,
rakyat Indonesia memiliki jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi. Hal tersebut tentunya
sangat membantu dalam memulihkan kondisi masyarakat yang terkena musibah dan
terdampak bencana.
Maka dari itu dibutuhkan penyelenggara yang menjalankan fungsi intermediasi
antara donator dan penerima manfaat. Penyelenggara tersebut akan menjalankan
pengumpulan, pengelolaan dan distribusi donasi yang diterima dari donator guna disalurkan
kepada penerima manfaat secara efektif, efisien, tepat guna dan tepat sasaran.
Sebagaimana lembaga intermediasi pada umumnya, penyelenggara penggalangan
dana public/filantropi juga amat bergantung dengan tingkat kepercayaan masyarakat dalam
menyalurkan donasinya melalui penyelenggara. Dalam hasil surveinya pada tahun 2007,
PIRAC menyatakan bahwa salah satu alasan mayarakat melakukan donasi melalui
penyelenggara adalah karena kepercayaan terhadap penyelenggara (22, 3%).
Guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas penyelenggara,
sudah sepantasnya penyelenggara menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Transparansi yang dimaksud dalam hal ini terkait dengan keterbukaan informasi yang
meliputi kemudahan akses informasi dan konten informasi yang disediakan. Sedangkan
akuntabilitas erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dan kegiatan
penggalangan dana yang dilakukan. Pertanggungjawaban tersebut meliputi, penyusunan
laporan keuangan dan kegiatan; penyampaian laporan keuangan dan kegiatan; serta
keterlibatan donator dalam penyaluran donasi yang dilakukan.
Berangkat dari hal itu, YLKI mencoba memotret permasalahan dalam penggalangan
dana public, khususnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam praktek-
praktek penggalangan dana public. Selain penerapan transparansi dan akuntabilitas
ii
penggalangan dana public, YLKI juga mengamati pemenuhan hak donator dan penerima
manfaat, serta pemanfaatan sosial media dalam kegiatan penggalangan dana public.
Kajian dengan Judul “Praktek Penggalangan Dana Publik: Kajian Terhadap
Penerapan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas” ini diharapkan dapat menjadi motor bagi
penyelenggara penggalangan dana public dalam melakukan advokasi yang membawa
perubahan kebijakan dalam melakukan kegiatan penggalangan dana public yang lebih
profesional dan menghargai hak donator serta penerima manfaat.
Kajian ini dapat berjalan sebagaimana mestinya dengan dukungan luar biasa dari
Tim Pengaduan dan Hukum, khususnya Sularsi, Abdul Baasith dan Mustafa Aqib Bintoro
sebagai tim peneliti yang berjuang keras dalam menyelesaikan penelitian ini sebagaimana
yang direncanakan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada Oxfam yang
dengan luar biasa memberikan support secara materiil maupun immaterial dalam
penyelesaian penelitian ini, khususnya kepada Bapak Budi Kuncoro, Bapak Nanang Sudirdja
dan Bapak Petrassa Wacana.
Kami menyadari kajian dan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan kaidah
sebagaimana mestinya. Maka dari itu kami berharap masukan, kritik dan saran dari berbagai
pihak untuk perbaikan kajian ini kedepannya. Akhir kata semoga penelitian ini dapat
memberikan manfaat dalam dunia filantropi dan penggalangan dana public.
Wassalamualaikum Waruhmatullahi Wabarokatuh
Tulus Abadi, S.H
Ketua YLKI
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………... I
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. iii
DAFTAR GRAFIK……………………………………………………………….. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………... 2
C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 2
D. Metodologi Penelitian dan Surver………………………….. 2
E. Profil Responden…………………………………………… 7
BAB II TINAJUAN UMUM AKUNTABILITAS PENGUMPULAN
DANA PUBLIK DI JAKARTA
A. Pengertian Akuntabilitas dan Transparansi………………… 10
1. Pengertian Akuntabilitas………………………………… 10
2. Pengertian Transparansi…………………………………. 11
B. Pengertian Pengumpulan Dana Publik dan Dasar Hukum…. 13
C. Review Pengumpulan Dana Publik di Jakarta……………… 14
BAB III POLA MASYARAKAT DALAM BERDONASI DAN
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI
JAKARTA
A. Pola Masyarakat DKI Jakarta Dalam Berdonasi…………… 20
B. Praktek Penggalangan Dana Publik di DKI Jakarta………... 30
iv
BAB IV ANALISIS TERHADAP TEMUAN DAN KAITANNYA
DENGAN PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN
AKUNTABILITAS DALAM PENGGALANGAN DANA
PUBLIK
A. Perizinan Penggalangan Dana Publik/Pengumpulan Uang
dan Barang…………………………………………………. 36
B. Pertanggungjawaban Keuangan Hasil Penggalangan Dana
Publik……………………………………………………….. 39
C. Keterbukaan Informasi Dalam Penggalangan Dana
Publik………………………………………………………. 41
D. Edukasi dan Pembinaan kepada Donatur dan Penerima
Manfaat…………………………………………………….. 43
E. Mekanisme Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi………….. 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………............ 46
B. Rekomendasi……………………………………….............. 49
Lampiran…………………………………………………………… 54
v
DAFTAR GRAFIK
Grafik. 1 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 7
Grafik. 2 Profil Responden Berdasarkan Kelompok Usia 7
Grafik. 3 Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 8
Grafik. 4 Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama 8
Grafik. 5 Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per
Bulan 9
Grafik. 6 Tempat Masyarakat Melakukan Donasi 20
Grafik. 7 Faktor Yang Mendorong Masyarakat Melakukan Donasi 21
Grafik. 8 Periode Masyarakat Melakukan Donasi 22
Grafik. 9 Besaran Donasi Masyarakat per Bulan 23
Grafik. 10 Cara Masyarakat Dalam Melakukan Donasi 24
Grafik. 11 Penyertaan Nama Dalam Melakukan Donasi 25
Grafik. 12 Pemahaman Masyarakat Terhadap Hak-Hak Donatur 26
Grafik. 13 Keterlibatan Masyarakat Dalam Program Penyaluran 26
Grafik. 14
Grafik. 15
Persepsi Masyarakat Terhadap Laporan Keuangan
Penggalangan Publik
Persepsi Masyarakat Terhadap Pendayagunaan Dana
Hasil Pengumpulan
27
28
Grafik. 16 Persepsi Masyarakat Terhadap Pemenuhan Hak Donatur 28
Grafik. 17
Grafik. 18
Pemahaman Masyarakat Terhadap Regulasi
Pengumpulan Uang dan Barang
Masukan Masyarakat Dalam Meningkatkan
Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik
29
29
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Setiap musibah dan bencana yang
terjadi memicu kelompok-kelompok masyarakat melakukan pengumpulan dana. Tetapi
bagaimana petanggungjawaban (akuntabilitas) dana tersebut?
Penelitian yang dilakukan oleh YLKI terhadap 11 lembaga yang aktif
mengumpulkan dana bagi korban banjir di Jakarta pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
dari 11 lembaga yang melakukan pengumpulan dana, hanya 3 yang berijin (27%).
Kemudian dari 11 lembaga yang mengumpulkan dana tersebut, hanya 4 (36%) yang
mengirimkan laporan tertulis pertanggungjawaban ke YLKI sebagai donatur. Sedangkan
pertanggungjawaban keuangan kepada publik melalui website hanya dilakukan 2
lembaga (18%).
Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa aspek akuntabilitas terkait legalitas,
transparansi pengumpulan dana, dan pemenuhan hak-hak donatur akan
pertanggungjawaban dana yang disumbangkan tersebut masih sangat minim. Karena
akuntabilitas minim, penyelewengan dana yang dikumpulkan rawan terjadi.
Besarnya potensi penggalangan dana public di Indonesia, khususnya DKI Jakarta,
menarik perhatian bagi seluruh stake holder dalam penggalangan dana. Tercatat menurut
survey yang dilakukan oleh PIRAC, rata-rata masyarakat di Indonesia melakukan donasi
sebesar Rp. 926.750,-/orang/tahun. Meskipun angka tersebut masih tergolong minim,
akan tetapi jika diakumulasikan, potensi dana public di Indonesia mencapai ± 106
Trilyun rupiah atau 5% dari total belanja APBN Indonesia tahun 2015.1
Besarnya potensi tersebut tentunya menjadi amunisi bagi pemerintah dalam
melakukan pemerataan pembangunan dan kondisi sosial ekonomi bangsa dari
kesenjangan sosial ekonomi yang selama ini terjadi. Untuk mencapai hal tersebut
tentunya dibutuhkan pemanfaatan atas potensi tersebut secara efektif dan efisien. Selain
pemanfaatan secara efektif dan efisien, pengelolaan dana public juga membutuhkan
transparansi dan akuntabilitas, mengingat bidang ini sangat terkait dengan tingkat
kepercayaan masyarakat atas pemanfaatan yang tepat sasaran dan tepat guna. Namun
jangan sampai penggalangan dana yang diadakan dimanfaatkan oleh orang/sekelompok
1
Angka tersebut diperoleh dari (rata-rata donasi per orang berdasarkan hasil survey PIRAC x Jumlah penduduk
kelompok produktif di Indonesia Tahun 2015 menurut BPS).
2
tertentu untuk kepentingan mereka sendiri dengan modus penggalangan dana untuk
bantuan korban bencana, disabilitas, dhuafa, dan sebagainya.
Beberapa permasalahan di atas, YLKI sebagai lembaga yang memiliki mandat
untuk memperjuangkan hak-hak donator dan hak-hak masyarakat demi mendapatkan
kepastian bahwa penyelenggara penggalang dana public di Indonesia sudah Akuntabel
dan Transparan, melakukan penelitian dengan judul “Praktek Penggalangan Dana
Publik : Kajian Terhadap Pemenuhan Hak Donatur”.
B. Rumusan Masalah
Adapun pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana akuntabilitas penggalangan dana publik oleh lembaga penyelenggra
pengumpulan dana publik dalam praktik ?
2. Apakah regulasi yang ada sudah mengakomodir kebutuhan dalam praktek
penggalangan dana publik ?
3. Bagaiamana praktek pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Meningkatkan Akuntabilitas Pengumpulan Dana Publik di Indonesia
2. Adanya kajian akuntabilitas pengumpulan dana publik di Indonesia baik berupa
kajian regulasi maupun pengumpulan data primer
3. Terinformasinya pengambil kebijakan (pusat dan daerah), publik dan lembaga
pengumpulan dana terkait hasil kajian
4. Adanya rekomendasi kepada regulator untuk perbaikan regulasi.
D. Metodologi Penelitian dan Survey
Penelitian dan Survey ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta. Ada beberapa
pertimbangan mengapa penelitian dan survey yang dilakukan dibatasi diwilayah Jakarta,
diantaranya karena DKI Jakarta sianggap sebagai miniature Indonesia karena memiliki
struktur kependudukan yang kompleks dengan beragam suku, agama, dan ras; DKI
Jakarta memiliki struktur sosial yang beragam, mulai dari tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, dan kemudahan akses informasi; dan yang terakhir karena DKI Jakarta
memiliki kedudukan yang istimewa dalam kehidupan bernegara di Indonesia sebagai
pusat pemerintahan dan pusat bisnis dengan tingkat mobilisasi masyarakat yang tinggi.
3
Penelitian dan Survei yang dilakukan oleh YLKI menggunakan 3 (tiga) metode
dalam menemukan fakta lapangan terkait penerapan transparansi dan akuntabilitas dalam
praktek penggalangan dana public di Indonesia. Metode tersebut dilakukan dengan cara
survey yang dilakukan kepada 100 (seratus) orang responden di DKI Jakarta, wawancara
terhadap penyelenggara penggalangan dana public di DKI Jakarta, dan analisis terhadap
regulasi yang ada terkait pengumpulan uang dan barang di Indonesia.
1. Metodologi Survey
a. Populasi
Populasi yang terwakili dalam survey yang dilakukan adalah Masyarakat yang
berdomisili atau melakukan rutinitas sehari-hari diwiliayah kota administrative
DKI Jakarta, baik di Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta
Barat ataupun di Jakarta Timur.
b. Metode Penentuan Responden
Responden ditentukan secara acak berdasarkan wilayah domisili dan/atau
rutinitas kegiatan sehari-hari yang dilakukan. Langkah yang dilakukan dalam
menentukan responden adalah sebagai berikut:
• Wilayah Survei dibagi menjadi lima berdasarkan lima kota administrative
yang ada di DKI Jakarta, yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta
Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Barat dengan jumlah responden dari
masing-masing kota administrative sebanyak 20 (dua puluh) responden.
• Dari tiap kota administrative yang dijadikan lokasi survey, maka
ditentukan 5 wilayah tingkat kecamatan secara acak, dengan jumlah
responden masing-masing kecamatan sebanyak 4 (empat) orang.
• Tim survey lapangan akan mengamati dan memilih 4 (orang) responden
secara acak dari masing-masing kecamatan terpilih untuk dilakukan
survey dan persepsi atas tema yang ditentukan.
c. Metode Wawancara
Survey dilakukan dengan cara wawancara secara langsung dan personal
dengan responden secara tatap muka (face to face) di lokasi tempat tinggal
atau lokasi responden melakukan rutinitas sehati-hari.
4
d. Informasi Yang Dihimpun
Survey dan wawancara yang dilakukan kepada konsumen ditujukan untuk
mendapatkan beberapa informasi yang dibutuhkan terkait dengan:
1) Tempat penyaluran donasi yang dilakukan oleh masyarakat
2) Faktor yang mendorong masyarakat melakukan donasi pada lembaga
tertentu
3) Jumlah donasi dan frekuensi pemberian donasi oleh masyarakat
4) Metode pemberian donasi oleh masyarakat
5) Partisipasi dan keterlibatan masyarakat atas pemanfaatan dana hasil
sumbangannya
6) Pemahaman masyarakat atas haknya sebagai donatur
7) Persepsi masyarakat atas praktek transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan dana public
Tabel. 1
Responden Terpilih Berdasarkan Wilayah Lokasi Domisili dan/atau Rutinitas
Sehari-Hari
NO
Kota
Administratif
Kecamatan
Jumlah
Responden
1
Jakarta
Selatan
Pancoran 4
Pasar Minggu 4
Mampang
Prapatan
4
Tebet 4
jagakarsa 4
2 Jakarta Barat
Palmerah 4
Tambora 4
Taman Sari 4
Kebun Jeruk 4
Cegkareng 4
3 Jakarta Pusat
Sawah Besar 4
Tanah Abang 4
Cempaka Putih 4
5
Johar Baru 4
Kemayoran 4
4 Jakarta Timur
Pasar Rebo 4
Duren Sawit 4
Kramat Jati 4
Cipayung 4
Matraman 4
5 Jakarta Utara
Pademangan 4
Penjaringan 4
Cilincing 4
Kelapa Gading 4
Tanjung Priuk 4
Jumlah 100
2. Metodologi Wawancara
a. Penentuan Narasumber
Dalam menentukan narasumber untuk keperluan wawancara terhadap
penyelenggara penggalangan dana public dilakukan dengan langkah sebagai
berikut:
1) Pengelompokkan terhadap penyelenggara penggalangan dana public
yang dibagi kedalam, penyelenggara berbasis keagamaan; berbasis sosial
kemanusiaan; LSM; berbasis Korporasi; berbasis media massa.
2) Responden ditentukan berdasarkan prinsip keterwakilan kelompok
penyelenggara penggalangan dana public.
3) Permintaan wawancara secara tertulis kepada 37 (tiga puluh tujuh)
penyelenggara penggalangan dana public dari berbagai kelompok
penyelenggara.
4) Dari 37 (tiga puluh tujuh) penyelenggara penggalangan dana public, 17
penyelenggara merespon dan bersedia untuk diwawancarai, dan
memiliki perwakilan dari tiap kelompok penyelenggara.
5) 17 (tujuh belas) penyelenggara yang bersedia untuk diwawancarai
meliputi, penyelenggara berbasis keagamaan (Dompet Dhuafa,
LAZISNU, BAZNAS, BAMUIS BNI, Portal Infaq, Baituzzakat
6
Pertamina, Al-Azhar Peduli Umat, Baitul Mal Muamalat), berbasis
sosial kemanusiaan (Mer-C, Yayasan Dulur Salembur, ACT), LSM
(ICW dan Walhi), berbasis korporasi (Indomaret, Alfamart), dan
berbasis media massa (el-shinta peduli dan peduli kasih indosiar).
b. Metode Wawancara
Wawancara dilakukan secara langsung dan personal kepada narasumber
secara tatap muka (face to face) di lokasi kantor penyelenggara penggalangan
dana public yang dimaksud.
c. Informasi yang Dihimpun
Wawancara yang dilakukan kepada penyelenggara penggalangan dana public
bertujuan untuk menghimpun informasi yang terkait:
• Kategori penyelenggara dan cakupan wilayah penggalangan dana public
• Aspek legalitas penyelenggara dalam melakukan penggalangan dana
public
• Proporsi dana hasil penggalangan yang diperuntukkan untuk kegiatan
operasional
• Peran penyelenggara penggalangan dana public dalam aktivitas
pengumpulan uang dan barang
• Metode penawaran dan pemasaran yang dilakukan penyelenggara dalam
aktifitas penyelenggaran penggalangan dana public
• Metode penerimaan donasi oleh penyelenggara dalam penggalangan
dana public yang disalurkan masyarakat
• Praktek edukasi masyarakat yang dilakukan penyelenggara terkait hak
donator
• Bentuk penerapan transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan oleh
penyelenggara dalam hal pemberian informasi atas penerimaan dan
pemanfaatan dana public
• Persepsi penyelenggara atas kendala yang dihadapi dalam penggalangan
dana public
7
E. Profil Responden
Survey dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2016. Berdasarkan survey
yang dilakukan diketahui bahwa responden memiliki karakteristik sebagai berikut:
pertama, berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 50% laki-laki dan 50% perempuan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik.1
Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Kedua, berdasarkan usia responden menunjukkan sebagian besar responden berada
pada rentang usia 36 – 45 tahun (25%). Selanjutnya disusul pada rentang usia dibawah
25 tahun (22%), 26 – 35 tahun (22%), 46 – 55 (21%), dan diatas 56 tahun (10%). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik. 2
Profil Responden Berdasarkan Kelompok Usia
laki-laki
50%
perempuan
50%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
dibawah
25
26 - 35 36 - 45 46 - 55 diatas 56
22% 22%
25%
21%
10%
8
Ketiga berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas responden dalam survey ini
berpendidikan SMA/sederajat (57%), kemudian D3 keatas (21%), SMP/sederajat (14%)
dan terakhir SD/sederajat (8%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah
ini.
Grafik. 3
Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Keempat, terkait dengan pekerjaan, sebagian besar responden berprofesi sebagai
Ibu Rumah Tangga (29%), disusul oleh karyawan swasta (23%), wiraswasta (20%),
pelajar/mahasiswa (8%), TNI/POLRI/PNS (5%), profesional (1%) dan lain-lain (13%).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari grafik berikut.
Grafik. 4
Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama
SD
8%
SMP
14%
SMA
57%
D3 keatas
21%
5%
23%
8%
1%
20%
29%
13%
1%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%
TNI/POLRI/PNS
karyawan swasta
pelajar/mahasiswa
profesional
wiraswasta
IRT
lain-lain
tidak tahu
9
Dari sisi penghasilan, sebagian besar responden berpenghasilan di angka 2 – 4juta
rupiah perbulan (47%), kemudian dibawah 2 juta (33%), 4-6 juta (11%), 6 – 8 juta (5%),
8 – 10 juta (3%), dan tidak menjawab (1%). Lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik
berikut.
Grafik. 5
Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan (dalam rupiah)
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
dibawah
2juta
2juta - 4
juta
4 - 6 juta 6 - 8 Juta 8 - 10
juta
diatas 10
juta
tidak
tahu
33%
47%
11%
5%
3%
0% 1%
10
BAB II
TINJAUAN UMUM AKUNTABILITAS PENGUMPULAN DANA PUBLIK DI DKI
JAKARTA
A. Pengertian Akuntabilitas dan Transparansi
1. Pengertian Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi
publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen
dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal
ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat
dipertanggungjawabkan (responsibility), yang dapat dipertanyakan (answerability),
yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan
(liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat
menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan.
Hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan
tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-
perusahaan.2
Apabila melihat pengertian akuntabilitas dalam penyelenggaraan
Pelayanan Publik sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Kep/26/M.PAN/2/2004 maka
pengertiannya adalah dapat mempertanggungjawabkan kinerja, biaya serta produk
dari pelayanan public kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Menurut Rustam Ibrahim dalam dunia LSM Akuntabilitas adalah suatu proses
di mana LSM Menganggap dirinya bertanggungjawab secara terbuka mengenai apa
yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Yang
dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan
diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang
dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara
mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan
transparan, mudah diperoleh dan dijangkau oleh masyarakat. Secara operasional,
2
https://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas diunduh pada 25 Mei 2016 jam 10:43
11
akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), Pelibatan (involving)
dan cepat tanggap (responding).3
Sedangkan menurut HAP (Humaniturian Accountability Principles-
International), tingkat akuntabilitas pengelolaan bantuan kemanusiaan khususnya
untuk bencana tidak terlepas dari kualitas bantuan dan pelayanan yang diberikan
kepada para penerima bantuan. Kualitas juga termasuk di dalamnya adalah
akuntabilitas kepada para staf sebagaimana yang menjadi semangat di dalam People
in Aid karena perhatian yang sama juga harus diberikan kepada para personil
organisasi penyedia bantuan, dimana mereka membutuhkan peningkatan kualitas
dan fasilitas. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan bantuan kemanusiaan merupakan
upaya pengentasan kesengsaraan dan kesedihan para korban sekaligus para personil
kemanusiaan itu sendiri.4
Akuntabilitas dimaknai secara beragam dalam hal pengertian, unsur-unsur di
dalamnya, maupun dimensi cakupannya. Oleh karena itu dalam pembahasan ini
akuntabilitas yang dibahas adalah akuntabilitas dalam penyelenggaraan
penggalangan dana public. Sehingga pemaknaan akuntabilitas ini dapat disimpulkan
adalah sebagai upaya pertanggungjawaban atas semua program dan kegiatan yang
dilakukan dan diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan atau
dalam bentuk suatu laporan kepada pemerintah, donator maupun kepada khalayak
public.
2. Pengertian Transparansi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Transparansi memiliki beberapa makna,
antara lain:Dalam dunia optik; keadaan yang memungkinkan cahaya untuk
menembusinya. Benda-benda yang memiliki keadaan ini disebut transparan.
Transparansi (politik), berarti keterbukaan dalam melakukan segala kegiatan
organisasi..dapat berupa keterbukaan informasi, komunikasi, bahkan dalam hal
budgeting. Transparansi (komputasi), terutama berkaitan dengan sistem
terdistribusi.5
3
Adhi Santika, Akuntabilitas dan Transparansi LSM: suatu sumbangan pemikiran dalam Kritik dan Otoritik
LSM, (Jakarta: Piramedia, 2014), Hal. 62.
4
Ninik Anisa, Berkenalan Dengan Enam Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan, (Depok:
Piramedia,2012), Hal. 21.
5
https://id.wikipedia.org/wiki/Transparansi diunduh 26 Mei 2016 jam 10:11
12
Apabila melihat pengertian akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pelayanan
Publik sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor : Kep/26/M.PAN/2/2004 maka pengertiannya adalah pelaksanaan
tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan,
perencanaan, pelaksaan, dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses
oleh semua pihak yang membutuhkan informasi.
Transparansi atau keterbukaan berarti keputusan yang diambil dan
pelaksanaannya dilakukan dengan cara atau mekanisme yang mengikuti aturan atau
regulasi yang ditetapkan oleh lembaga. Transparansi juga bisa berarti berarti bahwa
informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta
bisa diakses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh
organisasi tersebut.6
Transparansi atau keterbukaan berarti keputusan yang diambil dan
pelaksanaannya dilakukan dengan cara atau mekanisme yang mengikuti aturan atau
regulasi yang ditetapkan oleh lembaga. Transparansi juga bisa berarti berarti bahwa
informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta
bisa diakses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh
organisasi tersebut.7
Pada saat ini tuntutan transparansi dan akuntabilitas tidak hanya ditujukan
kepada pemerintah namun juga kepada LSM, Yayasan maupun dalam hal ini
penyelenggara penggalangan dana publik. Tuntuan ini berdasarkan logika bahwa
kalangan pengkritik tentu harusnya lebih baik, lebih bersih dari kalangan yang
dikritik.8
Dalam hal transparansi penyelenggaraan penggalangan dana public dapat
disimpulkan bahwa kegiatan tersebut maupun hal terkait dengan uang masuk dan
keluar harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat, kepastian
dan rincian biaya jelas diinformasikan, memberikan bukti uang masuk maupun
keluar dalam bentuk tanda bukti resmi, dan dapat bertanggungjawab atas semua
persoalan atau sengketa yang muncul.
6
Adhi Santika, Op.cit.,Hal. 63-64.
7
Ibid, Hal. 63-64.
8
Ibid, Hal. 72.
13
B. Pengertian pengumpulan Dana Publik dan Dasar Hukumnya
Di Indonesia kegiatan pengumpulan dana public untuk kegiatan social banyak
sebutannya mulai dari sedekah, jimpitan, parelek, buah bungaran dan sebagainya. Namun
ada istilah asing yang popular dikalangan penyelenggara dana bahwa kegiatan
kedermawanan, menyumbang, bersedekah disebut Filantropi. Kata atau terminology
Filantropi (Philantthropy) berasal dari 2 kata bahasa Yunani, yaitu ‘philos’ yang berarti
cinta dan anthropos yang artinya manusia. Gabungan dari kedua kata terssbut
menghasilkan kata Philanthropy yang bermakna “ungkapan cinta kasih kepada sesame
manusia”9
. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, “Filantropi” mungkin tergolong
kata atau istilah baru yang belum banyak dipahami dan digunakan.10
Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan
Barang, pengertian Pengumpulan Uang dan barang adalah setiap usaha mendapatkan
uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial,
mental/agama/kerohanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan. Sedangkan menurut
Peraturan Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 186 tahun 2010 tentang Pemberian Izin atau
Rekomendasi Pengumpulan Uang dan/atau Barang , pengertian Pengumpulan uang
dan/atau barang yang dilaksanakan oleh penyelenggara dalam bidang sosial, keagamaan,
pendidikan, kesehatan, olahraga, dan pemuda serta kebudayaan.
Di Indonesia pengaturan bentuk pengaturan terkait pengumpulan uang dan/atau
barang atau penyelenggaraan pengumpulan dana public diatur melalui beberapa
peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan
Sumbangan;
3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan
Untuk Korban Bencana;
4. Keputusan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan
Pengumpulan Sumbangan Oleh Masyarakat;
5. Peraturan Menteri Sosial Nomor 14 Tahun 2012 tentangPengelolaan Hibah
Langsung Dalam Negeri; dan
9
Hamid Abdidn, Nur Hiqmah, Ninik Annisa, dan Maifi Eka Putra, Membangun Akuntabilitas Filantropi Media
Massa, (Jakarta: Piramedia,2013), Hal.17
10
Ibid, Hal. 18
14
6. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
Sedangkan pengaturan pengumpulan dana public yang dilakukan oleh pemerintah
diatur dalam :
1. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengumpulan dan
Penggunaan Sumbangan Masyarakat Bagi Penanganan Fakir Miskin.
Di Jakarta, Pengaturan terkait penyelenggaraan pengumpulan dana public diatur melalui
Peraturan Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 186 tahun 2010 tentang Pemberian Izin atau
Rekomendasi Pengumpulan Uang dan/atau Barang
C. Review Pengaturan Pengumpulan Dana Publik di DKI Jakarta
Di tahun 2016 ini Undang-Undang Pengumpulan Uang dan Barang sudah teramat
lama seiring berjalannya waktu ditambah dengan derasnya laju pembangunan, bahkan
menurut Ibu Dian dalam paparan saat FGD Pengumpulan Uang dan Barang yang
dilakukan oleh YLKI 3 Mei 2016 dinyatakan bahwa Undang-Undang ini dianggap masih
lemah dan belum mengakomodir kebutuhan masyarakat saat ini sehingga diperlukan
revisi terhadap undang-undang tersebut. Perlu ada pembenahan di aspek regulasi.
Undang-undang maupun aturan perundang-undangan terkait dianggap masih sangat
umum, kurang spesifik dan detail bahkan sudah tidak mangakomodir kemajuan teknologi
dalam model perkembangan penyelenggaraan penggalangan dana public yang saat ini
sudah sangat beragam.
Adapun beberapa hal yang perlu ditinjau ulang kembali terhadap pengaturan
penyelenggaraan penggalangan dana public, kami dari tim YLKI berpendapat
diantaranya adalah :
1. Hak Donatur
Minimnya pengaturan terkait hak donator dalam peraturan perundang-
undangan terkait penyelenggaraan penggalangan dana public dapat dilihat dari
hanya ada satu pasal yang mengatur terkait perlindungan hak atas donator dan
masyarakat secara umum, dalam pasal 5 Kepmensos No. 56/HUK/1996 Tentang
Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Oleh Masyarakat yang isinya berbunyi
“Pengumpulan Sumbangan harus dilaksanakan secara terang-terangan dengan
sukarela, tidak dengan paksaan, ancaman, kekerasan dan/atau cara-cara yang
dapata menimbulkan kegelisahan di lingkungan masyarakat baik langsung maupun
15
tidak langsung”. Adapun pengaturan sejenis tercantum dalam pasal 3 Kepmensos
No.1/HUK/1995. Apabila melihat Hak-Hak Donatur dalam Donor Bill Of Right
ada 8 hak yang harusnya dipenuhi oleh penyelenggara penggalang dana public
sedangkan dalam pasal tersebut hanya sebagian kecil dari 8 hak yang ada dalam
Donor Bill Of Right.
Adapun Donor Bill Of Right tersebut antara lain :11
1) Hak untuk mengetahui misi organisasi yang disumbang, tujuan, dan
kemampuan organisasi dalam menggunakan sumbangan
2) Hak untuk mengetahui mereka yang duduk dalam dewan pengurus organisasi
yang disumbang, serta meminta dewan pengawas untuk secara cermat menilai
tanggungjawab dewan pengurus;
3) Hak untuk menerima laporan keuangan organisasi secara transparan;
4) Hak mendapatkan kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal
yang telah disepakati bersama;
5) Hak mendapat kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal yang
telah disepakati bersama;
6) Hak untuk mengetahui apakah pihak yang meminta sumbangan adalah staf
organisasi atau sukarelawan;
7) Hak mendapat keleluasaan untuk bertanya dan menerima jawaban secara
cepat, tepat, dan jujur;
8) Hak untuk meminta agar namadonatur tidak diumumkan secara terbuka dan
donator berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak.
2. Prosedur izin
Prosedur izin jelas diatur baik melalui UU No.9 tahun 1961 tentang
Pengumpulan Uang atau Barang, PP No. 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan
Pengumpulan Sumbangan, Kepmensos No.1/HUK/1995 tentang Pengumpulan
Sumbangan Untuk Korban Bencana dan Kepmensos No.56/HUK/1996 tentang
Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat, mulai dari tahapan
Kabupaten Kota hingga Nasional namun banyak keluhan dari lembaga terkait
proses perizinan di dinas yang memakan waktu cukup lama sedangkan waktu masa
berlaku izin hanya 3 bulan, sehingga perlu diatur prosedur perizinan yang lebih
11
http://ylki.or.id/2015/01/mengupas-transparansi-penggalangan-dana-publik/ diunduh pada 26 Mei 2016 jam
2:14
16
mudah dan singkat namun tetap tercontrol bahkan perlu juga diatur perizinan
tahunan karena focus kegiatan lembaga pengumupulan barang dan/atau uang sudah
cukup banyak, baik yang berasal dari komunitas, lembaga social, media,
koorporasi maupun keagamaan
3. Pengelompokan Penyelenggara dan Penyesuaian Perkembangan Teknologi
Kemajuan tekonologi semakin berkembang, sebagai contoh saat ini hasil dari
penelitian YLKI menyebutkan 25% lembaga melibatkan pihak ketiga (terutama
media online) dalam melakukan publikasi/promosi program pengumpulan uang
dan/atau barang. Hal yang menjadi titik lemah adalah belum adanya aturan yang
jelas terkait timbulnya beberapa jenis lembaga (baik lembaga yang hanya
mengumpulkan, hanya menyalurkan atau lembaga yang melakukan kedua-duanya),
belum jelasnya aturan perizinan bagi lembaga tersebut, proporsi yang berhak
diambil dari hasil pengumpulan maupun tanggungjawab dari masing-masing
lembaga tersebut dan apakah untuk kedepan pengumpul dan penyalur dari
perorangan diperbolehkan (karena belum diatur, yang diatur dan diperbolehkan
hanya dari organisasi). Perlu juga dipertimbangkan perbedaan pengaturan untuk
jenis lembaga yang berasal dari media, koorporasi, ormas, yayasan atau lembaga
khusus pengumpul dan penyalur.
Pengaturan terkait lembaga pengumpul dana apakah diharuskan membuat
lembaga atau yayasan tersendiri dikarenakan saat ini masih banyak lembaga
pengumpul dana yang berasal dari koorporasi maupun media belum mendirikan
yayasan atau lembaga yang terpisa dan independen dalam mengelola maupun
mengatur khusus atas program penggalangan tersebut demi membangun
akuntabilitas dan transparansi lembaga pengumpul maupun penyalur uang dan/atau
barang yang professional.
Semakin beragamnya jenis lembaga pengumpul uang dan/atau barang
mendorong pemerintah untuk mengatur lebih jelas terkait proporsi pembiayaan
usaha pengumpulan sumbangan dari hasil pengumpulan sumbangan yang
bersangkutan, apakah disamaratakan semua lembaga berhak mendapatkan 10%
ataukah hanya lembaga yang berusaha mengumpulkan (yang melakukan publikasi)
karena dalam prakteknya proporsi tersebut digunakan bukan hanya untuk usaha
pengumpulan namun untuk operasional penyaluran.
17
4. Mekanisme pelaporan
Salah satu kewajiban lembaga pengelola sumbangan adalah membuat laporan
tertulis mengenai pertanggungjawaban program dan keuangan di akhir program.12
Mekanisme pelaporan sudah jelas diatur dalam UU No.9 tahun 1961 tentang
Pengumpulan Uang atau Barang, PP No. 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan
Pengumpulan Sumbangan, Kepmensos No.1/HUK/1995 tentang Pengumpulan
Sumbangan Untuk Korban Bencana dan Kepmensos No.56/HUK/1996 tentang
Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat namun mengapa masih
banyak lembaga yang awam prosedur pelaporannya, maka perlu ada evaluasi dari
pemerintah apakah ini karena regulasinya yang tidak jelas, tidak ada sosialisasi
terkait hal tersebut, lembaga yang tidak mau tahu menau, atau sanksi yang tidak
tegas atas pelanggaran kewajiban pelaporan tersebut. Bahkan dalam aturan yang
ada belum ada yang mengatur kewajiban setiap lembaga untuk diaudit setiap
tahunnya dari audit internal mapun audit public independent.
Dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak ada yang mewajibkan
pelaporan disampaikan kepada donator yang bersangkutan baik secara langsung
mapun tidak langsung. Bahkan saat ini sebagian lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik, belum sepenuhnya memberi perhatian yang memadai
tentang arti pentingnya hak-hak donatur. Kewajiban untuk melaporkan hasil
pengumpulan dan penggunaan hanya diwajibkan melaporkan kepada pejabat
pemberi izin sedangkan laporan kepada masyarakat tidak diatur kewajibannya,
padahal masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tersebut,
bahkan poin-poin terkait hak-hak donator belum banyak diatur di undang-undang
maupun aturan turunannya sehingga untuk peraturan yang dibuat kemudian perlu
diatur kewajiban bagi lembaga pengumpul maupun penyalur untuk memenuhi
hak-hak seorang donator baik informasi hasil pengumpulan maupun
penggunaannya yang dapat diakses setiap waktunya melalui website (sedangkan
masih banyak penyelenggara yang tidak mengupdate website laporan kegiatan
maupun keuangan mereka saat kami telusuri) atau bahkan tidak mendapatkan
laporan kecuali diminta terlebih dahulu, maupun tidak diikut sertakan dalam
penggunaan hasil dana yang terkumpul.
12
Op.cit., Hal.87.
18
Hal yang tidak kalah penting dalam penggalangan dana publik adalah aspek
transparansi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mempublikasikan laporan
keuangan yang telah diaudit dalam website lembaga, sehingga dengan mudah dapat
diakses oleh donatur/publik. Akuntabilitas merupakan kewajiban yang hendaknya
dilakukan oleh setiap lembaga yang menggalang, mengelola dan menyalurkan
sumbangan, baik pihak pemerintah maupun swasta, dalam hal ini adalah yayasan
social, LSM, maupun media massa Akuntabilitas adalah bentuk
pertanggungjawaban yang dilakukan tidak hanya kepada donator maupun
pemerintah, akan tetapi masyarakat umum dan penerima manfaat. Mereka juga
berhak untuk turut serta dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program
yang didanai oleh sumbangan.13
Transparansi dan akuntabilitas merupakan hal
yang penting untuk dilakukan sebuah penyelenggara penggalangan dana public
dalam rangka member keleluasaan akses kepada masyarakat agar mengetahui
kemana dan untuk apa sumbangan yang mereka berikan. Transparansi dan
akuntabilitas selama ini dipercaya sebagai salah saru factor penting dalam rangka
meningkatkan kredibilitas lembaga pengelola sumbangan yang pada ujungnya
menarik minat masyarakat untuk memberikan donasinya.14
Dalam hal transparansi sebenarnya apakah setiap lembaga harus transparan
kepada public secara keseluruhan ataukah transparan kepada donator dan
pemerintah saja sedangkan sejauh mana transparansi harus dilakukan? Apakah
setiap uang yang masuk ke penyelenggara penggalangan dana publik harus
diumumkan? Apakah setiap asal uang yang masuk harus dicantumkan, ataukah
cukup totalnya saja? Apakah setiap kegiatan harus transparan dan akuntabel atau
cukup laporan akhir kegiatan saja?
5. Sanksi Bagi Pelanggar Maupun Tindak Pidana
Pasal 8 UU No. 9 tahun 1981 yang mengatur terkait Sanksi bagi pelanggar
dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, jika sanksi pidana
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dinilai tidak memberikan efek jera bagi si
pelaku, bahkan jika denda setingi-tingginya masih sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu
rupiah) jika memang terbukti usaha pengumpulan tersebut adalah untuk
13
Ibid., Hal. 19
14
Abidin Hamid, Berbagi Untuk Negeri : Pola Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil Survei Sebelas Kota di
Indonesia, (Depok :Piramedia,2008), Hal.78.
19
memperkaya diri sendiri dengan modus pengumpulan sumbangan masyarakat
mengapa tidak diberikan ancaman hukuman sebagaimana tindak pidana penipuan
(ancaman kurungan maksimal 4 tahun) atau bila terjadi penggelapan uang
sumbangan maka diancam sebagaimana hukuman pidana penggelapan, jika
memang hanya masalah perizinan bisa melakukan upaya tindakan teguran, sanksi
larangan melakukan kegiatan hingga tahap pemidanaan bila memang dengan
sengaja melakukan pelanggaran.
Bila berkaca pada UU Pengelolaan Zakat, maka pengaturan terkait sanksi
terbagi atas sanksi administrative, larangan, dan sanksi pidana sehingga pengaturan
untuk perbaikan undang-undang selanjutnya bisa disusun seperti UU Pengelolaan
Zakat.
20
BAB III
POLA MASYARAKAT DALAM BERDONASI DAN PRAKTEK PENGGALANGAN
DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA
A. POLA MASYARAKAT DKI JAKARTA DALAM BERDONASI
1. TEMPAT MASYARAKAT MELAKUKAN DONASI
Dalam melakukan Donasi, masyarakat biasanya menyalurkan melalui 3 (tiga)
cara, yakni secara langsung kepada penerima manfaat (beneficiary), disalurkan
melalui lembaga atau kepanitiaan yang terorganisir dan melalui rumah ibadah..
berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh YLKI, 18% (delapan belas persen)
masyarakat melakukan donasi melalui lembaga penggalangan dana public yang
terorganisir, 26% (dua puluh enam persen) masyarakat melakukan donasi secara
langsung kepada perorangan penerima manfaat (beneficiary) , dan 53% (lima puluh
tiga persen) melakukan donasi melalui rumah ibadah. Sedangkan 3% (tiga persen)
lainnya menjawab tidak tahu atau lain-lain.
Grafik 6.
Tempat Masyarakat Melakukan Donasi
Bila diperhatikan, jumlah masyarakat yang melakukan donasi melalui rumah
ibadah menunjukkan bahwa meskipun telah banyak penyelenggara penggalangan
dana public yang berbasis gerakan keagamaan, masih banyak menganggap donasi
sebagai bentuk dan bagian dari menjalankan kewajiban keagaaman yang harus
lembaga
penggalangan,
18%
rumah
ibadah, 53%
perorangan, 26
%
lain-lain, 2%
tidak tahu, 1%
21
dilakukan melalui rumah ibadah, seperti dalam islam yang dikenal dengan istilah
infaq dan sodaqoh dan sepersepuluhan dalam ajaran kristiani.
Dari jumlah masyarakat yang memilih melakukan donasi melalui lembaga
penyelenggara penggalangan dana public, faktor yang menentukan atas sikap
tersebut mayoritas (72%) dikarenakan atas kepercayaan terhadap kredibilitas
penyelenggara, sedangkan 17% (tujuh belas persen) menyatakan karena
diinformasikan secara langsung, 11% (sebelas persen) karena alas an lokasi
penyelenggara yang mudah dijangkau, karena program dan aspek perizinan sebesar
6% (enam persen), dan 17% (tujuh belas persen) dikarenakan faktor lain.
Grafik.7
Faktor Yang Mendorong Masyarakat Melakukan Donasi
Data tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan factor penting untuk
mendorong masyarakat melakukan donasi. Untuk menjaga kepercayaan maka
dibutuhkan kode etik yang harus diperhatikan. Berikut adalah 10 (sepuluh) prinsip
dasar (etika) dalam menjalankan kegiatan penggalangan dana:15
1. Mempunyai keyakinan terhadap usaha yang dilakukan
2. Setiap usaha penggalangan perlu disertai dengan pesan yang mendidik
3. Penggalangan harus dilakukan secara professional dan positif
4. Membuka peluang masyarakat untuk ikut member dalam setiap kesempatan.
5. Jangan lupakan relawan
15
BJD Gayatri, 10 Prinsip Dasar: Pelaksanaan Penggalangan Dana. Buletin Galang, edisi kedua tahun 1,
Februari 2001, hal. 6
percaya
dengan
kredibilitas
mendapat
informasi
lokasi program perizinan lain-lain
72%
17%
11%
6% 6%
17%
22
6. Luwes dan jangan selalu meminta uang
7. Ingat prinsip “Hati bukan pikiran”
8. Jaga hubungan dengan para donatur
9. Mencoba menghubungkan segala kegiatan dengan para penyumbang
10. Bangun sikap jujur dan terbuka
2. POTENSI DONASI MASYARAKAT
Sebagai Negara yang masih menjunjung tinggi budaya timur, masyarakat
Indonesia terkenal akan sikap kepedulian terhadap sesama. Istilah gotong royong di
kalangan masyarakat jawa, masih amat kental di Negara ini. Sehingga tidak
mengherankan bila Indonesia dikategorikan sebagai Negara dermawan yang
memiliki potensi dana public yang sangat besar.16
Hasil survey yang dilakukan YLKI menunjukkan, 32 % (tiga puluh dua persen)
masyarakat rutin melakukan donasi secara mingguan melalui berbagai media, 32%
(tiga puluh dua persen) berikutnya rutin melakukan donasi secara bulanan, 12 %
(dua belas persen) melakukan donasi secara tahunan, dan 7% (tujuh persen)
melakukan donasi secara harian, sedangkan 17% (tujuh belas persen) sisanya
menjawab lain.
Grafik. 8
Periode Masyarakat Melakukan Donasi
16
Hamid Abidin dan Kurniwati (ed), Berbagi Untuk Negeri: Pola dan Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil
Survey di Sebelas Kota di Indonesia (2000, 2004, dan 2007), (Jakarta: Piramedia, 2008), hal. 28.
harian
mingguan
bulanan
tahunan
lain-lain
7%
32%
32%
12%
17%
23
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dapat dikategorikan
sangat sering dalam melakukan donasi sekaligus sangat peduli terhadap sesama dan
seringkali melakukan donasi secara spontan terhadap isu-isu sosial yang ditemui
secara langsung. Terkait besaran nominal donasi yang diberikan masyarakat,
tentunya sangat bergantung kepada besaran pendapatan yang diterima masyarakat
tiap bulannya.
Mayoritas 58% (lima puluh delapan persen) masyarakat melakukan donasi
dengan nominal dibawah Rp 100.000,-/bulan atau dibawah Rp. 1.200.000,-
/tahunnya, 28% (dua puluh delapan persen) melakukan donasi sebesar Rp. 100.000 –
Rp. 300.000,-/ bulan atau Rp. 1.200.000 – Rp. 3.600.000,-/tahun. Sedangkan yang
menyumbang diatas itu ada 14% (empat belas persen) masyarakat.
Grafik. 9
Besaran Donasi Masyarakat per Bulan
3. CARA MASYARAKAT MELAKUKAN DONASI
Besarnya potensi donasi yang dilakukan masyarakat tentu harus diimbangi
dengan beragamnya media yang disediakan penyelenggara penggalangan dana
public agar tidak menyulitkan niat baik masyarakat dalam berderma/berdonasi untuk
membantu sesama. Tercatat sudah banyak penyelenggara yang menyediakan
beragam fasilitas dan media yang dapat digunakan masyarakat dalam melakukan
donasi, seperti melalui fasilitas perbankan (transfer/autodebit), penjualan merchant,
donasi secara online, hingga fasilitas autopay (pemotongan gaji secara langsung).
58%28%
8%
6%
<100ribu
100ribu-300ribu
300ribu-500ribu
diatas 500ribu
24
Akan tetapi menurut survey yang dilakukan oleh YLKI, 95% (Sembilan puluh
lima persen) masyarakat masih kerap melakukan donasi secara tunai, baik dengan
menyalurkan langsung kepada penerima manfaat, ataupun kepada penyelenggaraan
melalui kotak donasi/amal, sedangkan baru sebesar 7% (tujuh persen) masyarakat
yang kerap menggunakan fasilitas perbankan (transfer/auto debit) dalam melakukan
donasi. Dan 1% (satu persen) yang kerap memanfaatkan layanan jemput donasi.
Meskipun demikian, penyelenggara penggalangan dana public yang terorganisir
mulai merasakan migrasi yang dilakukan oleh donaturnya, dimana sudah banyak
masyarakat yang berdonasi memanfaatkan fasilitas perbankan.
Grafik 10.
Cara Masyarakat Dalam Melakukan Donasi
Selain cara penyerahan donasi, mayoritas masyarakat juga kerap tidak
menyebutkan nama apabila tidak diminta dalam melakukan donasi. Tercatat menurut
survey YLKI 79% (tujuh puluh sembilan persen) masyarakat tidak menyertakan
nama tanpa diminta oleh penyelenggara penggalangan dana public. Sedangkan 21%
(dua puluh satu persen) sisanya selalu menyertakan nama dalam melakukan donasi
meskipun tidak diminta.
95%
6%
1%
1%
tunai
transfer
auto debet
lainlain (dititipkan)
25
Grafik. 11
Penyertaan Nama Dalam Melakukan Donasi
Hal tersebut memperkuat asumsi bahwa masyarakat masih beranggapan bahwa
donasi, yang merupakan bagian dari ibadah, harus dirahasiakan guna menjaga sisi
keikhlasan donator dan menjaga pahala melakukan donasi tidak hilang akibat
penyertaan nama yang terkesan tidak ikhlas dalam menyalurkan donasi.
Hal tersebut merupakan persepsi yang keliru, meskipun donator memiliki hak
untuk merahasiakan identitas, penyertaan nama tetap merupakan hal yang penting
utamanya dalam hal pengelolaan dana public yang dilakukan penyelenggara guna
memudahkan penyaluran dan pelaporan hasil penyaluran dana public tersebut.
4. PEMENUHAN HAK DONATUR
Suatu NGO di Amerika pernah merumuskan hak-hak yang harus dimiliki oleh
donator atau biasa disebut Donor Bill of Rights yang secara garis besar meliputi hak
atas informasi, hak atas kepastian penyaluran, hak atas kerahasiaan identitas, dan
hak untuk bertanya serta mendapatkan jawaban yang jujur, cepat dan benar dari
penyelenggara.
Pemenuhan hak tersebut, utamanya hak atas informasi, bertanya dan kepastian
penyaluran sangat penting dan erat kaitannya dalam transparansi dan akuntabilitas
penyelenggara penggalangan dana public. Mengingat lembaga yang transparan dan
akuntabel tentunya tidak akan ragu untuk menyampaikan seluruh aktifitas
pengelolaan dan penyaluran donasi masyarakat secara terbuka.
ya
21%
tidak
79%
26
Terkait pemenuhan hak donator utamanya yang sangat terkait dengan prinsip
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan penggalangan dana public, YLKI
menanyakan keterlibatan masyarakat atas program yang dilakukan penyelenggara
dan pemahaman masyarakat atas haknya sebagai donator.
Menariknya pemahaman masyarakat terhadap hak donator masih sangat lemah
dan kurang. Tercatat baru 20% (dua puluh persen) masyarakat yang mengetahui hak-
hak donator yang sebagian besar diketahui baik dari iklan media massa maupun
penyelenggara penggalangan dana public dan hanya sekitar 36% (tiga puluh enam
persen) masyarakat yang pernah terlibat secara langsung terhadap program yang
menggunakan donasi yang disalurkan oleh masyarakat.
Grafik. 12
Pemahaman Masyarakat Terhadap Hak-Hak Donatur
Grafik. 13
Keterlibatan Masyarakat Dalam Program Pemanfaatan/Penyaluran
ya
20%
tidak
80%
ya
36%
tidak
64%
27
Atas hal tersebut setidaknya ada 2 (dua) kemungkinan yang mungkin
menyebabkan terjadinya hal tersebut, yang pertama adalah kurang efektif dan
masifnya upaya penyelenggara ataupun pemerintah dalam melakukan edukasi
masyarakat atau justru sikap acuh masyarakat sebagai bagian dari keikhlasan dalam
menjalankan perintah agama dalam melakukan donasi.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan PIRAC pada tahun 2007, diketahui
bahwa persepsi masyarakat atas pentingnya prinsip transparansi sangat tinggi, akan
tetapi dalam kenyataannya terkesan sangat acuh, dengan presentase masyarakat yang
meminta laporan keuangan hanya 10% (sepuluh persen).
5. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PRAKTEK PENGGALANGAN
DANA PUBLIK
Terkait persepsi masyarakat atas penyelenggaraan penggalangan dana public
dinilai sudah cukup baik secara garis besar, dimana untuk laporan keuangan yang
disampaikan penyelenggara 51% (lima puluh persen) masyarakat beranggapan sudah
baik, 52% (lima puluh dua persen) masyarakat berpendapat pendayagunaan dana
public oleh penyelenggara sudah baik dan 49% (empat puluh sembilan persen)
masyarakat beranggapan pemenuhan hak donator sudah baik.
Grafik. 14
Persepsi Masyarakat Terhadap Laporan Keuangan Penggalangan Dana Publik
sangat
baik
baik cukup buruk sangat
buruk
lain-lain
7%
51%
24%
15%
0%
3%
28
Grafik 15.
Persepsi Masyarakat Terhadap Pendayagunaan Dana Hasil Pengumpulan
Grafik 16.
Persepsi Masyarakat Terhadap Pemenuhan Hak Donatur
Yang sangat miris adalah, hanya 2% (dua persen) masyarakat yang mengetahui
bahwa selama ini sudah ada regulasi yang mengatur teknis penyelenggaraan
penggalangan dana public, baik yang bersifat umum (UU Pengumpulan Uang dan
Barang), bersifat khusus (UU Zakat dan UU Penanggulangan Bencana).
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%
sangat baik
baik
cukup
buruk
sangat buruk
2%
49%
30%
17%
1%1%
sangat baik
baik
cukup
buruk
sangat buruk
lain-lain
29
Grafik 17.
Pemahaman Masyarakat Terhadap Regulasi Pengumpulan Uang dan Barang
Terakhir harapan masyarakat dalam meningkatkan akuntabilitas
penyelenggaraan penggalangan dana public sangat beragam, mulai dari adanya audit
dari akuntan public secara menyeluruh (31%/tiga puluh satu persen), pengawasan
Negara yang diperketat (34%/tiga puluh empat persen), adanya laporan keuangan
dan kegiatan yang disampaikan langsung kepada donator (39%/tiga puluh persen),
disampaikan melalui media massa (34%/tiga puluh empat persen).
Grafik 18.
Masukan Masyarakat Dalam Meningkatkan Akuntabilitas Penggalangan Dana
Publik
2%
98%
ya
tidak
31%
34% 34%
39%
9%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
diaudit oleh
akuntan publik
pengawasan
Negara
Diperketat
kegiatan dan
keuangan
disampaikan ke
publik melalui
media massa
lembaga
menyampaikan
laporan
kegiatan dan
keuangan
secara pribadi
kepada donatur
lain-lain
30
B. PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA
Selain memetakan permasalahan yang ada di masyarakat melalui survey, YLKI
mencoba memetakan potret penggalangan dana public yang bersumber dari lembaga
penggalangan dana public melalui wawancara yang dilakukan secara tatap muka dan
focus grup discuss (FGD). Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penggalangan
dana public di Indonesia baik yang berada di hulu hingga yang ada di hilir.
Focuss Group Discuss (FGD) dilakukan pada tanggal 3 Mei 2016 yang bertempat di
Hotel Acacia, Jakarta. Tercatat terdapat perwakilan dari 12 lembaga yang mewakili
seluruh stakeholder dalam praktek penggalangan dana public, baik dari penyelenggara
penggalangan dana public, perwakilan pemerintah, akademisi dan peneliti guna
membedah praktik penggalangan dana public yang ada.
Dari hasil wawancara dan FGD tersebut, setidaknya terdapat beberapa focus yang
erat kaitannya dalam penerapan transparansi dan akuntabilitas penyelenggara
penggalangan dana public di Indonesia, yakni terkait dengan kelembagaan
penyelenggara, praktek penggalangan dana public di Indonesia, pemenuhan hak donator
dan pelaporan hasil pemanfaatan dana public.
Tabel 2.
Jumlah Perwakilan Lembaga Yang Hadir Dalam FGD
No Nama Lembaga
Jumlah
Utusan
1 Elshinta Peduli 1
2
Dana Kemanusiaan
Kompas 1
3 Mer-C 2
4 ACT 2
5
Biro Hukum
Kementerian Sosial 1
6 kitabisa.com 1
7 PIRAC 1
8 Alfamart 3
9 YLKI 5
10 NU-Care 1
31
11
Universitas
Multimedia Nasional 3
12 PKPU 1
1. Kelembagaan Penyelenggara Penggalangan Dana Publik
Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1961 membatasi pihak yang boleh melakukan usaha
dibidang penyelenggaraan penggalangan dana public hanya perkumpulan atau
organisasi kemasyarakatan yang memperoleh izin berdasarkan peraturan yang
dibentuk oleh Menteri Sosial.
Dalam prakteknya, pemberian izin tidak hanya diberikan kepada organisasi
kesejahteraan sosial, tetapi juga diberikan kepada kepanitiaan yang dibentuk oleh
badan hukum selain lembaga kesejahteraan sosial untuk jangka waktu yang sifatnya
sementara. Proses pemberian izin yang memakan waktu lama, khususnya terkait
pemberian rekomendasi dari dinas sosial setempat, menyebabkan terjadinya praktik-
praktik penggalangan dana public yang belum berizin.17
Secara kelembagaan, lembaga yang diwawancarai oleh YLKI, telah memiliki
bentuk badan hukum baik badan hukum sebagai yayasan ataupun badan hukum PT.
Untuk aspek perizinan menjalankan kegiatan penggalangan dana public, 35%
lembaga yang diwawancarai oleh YLKI tidak memiliki izin yang lengkap atau tidak
sesuai dengan peruntukkannya, contohnya adalah lembaga yang hanya memiliki izin
dari dinas sosial DKI Jakarta tapi dalam prakteknya melakukan kegiatan
penggalangan dana public secara nasional sedangkan 59% lembaga lainnya telah
memiliki perizinan yang sesuai dengan peruntukannya.
Dalam menjalankan usaha penggalangan dana public, 11% (sebelas persen)
lembaga yang diwawancarai YLKI hanya melakukan kegiatan dalam lingkup lokal
(provinsi atau kabupaten/kota), 17% (tujuh belas persen) lembaga sisanya
melakukan penggalangan secara internasional, dan 70% (tujuh puluh persen)
penyelenggara melakukan kegiatan penggalangan secara nasional.
17
Hasil FGD di hotel acacia tanggal 3 Mei 2016
32
2. Praktek Penggalangan Dana Publik di Indonesia
Dari hasil wawancara dan FGD yang dilakukan oleh YLKI ditemukan sebuah
fakta baru yang menarik, dimana saat ini penyelenggara penggalangan dana public
tidak serta merta melakukan pengumpulan sekaligus penyaluran, melainkan ada
beberapa yang saat ini hanya menjalankan peran sebagai pengumpul saja ataupun
sebagai penyalur saja. Biasanya penyelenggara penggalangan dana public yang
berperan sebagai pengumpul adalah korporasi yang bergerak dibidang usaha ritel,
ataupun penyedia jasa informasi dan teknologi.
Salah satu contoh menarik dalam penyelenggara yang hanya berfungsi sebagai
pengumpul dana public adalah kitabisa.com. dimana kitabisa.com sebagai jasa front
funding membantu penyelenggara untuk mengkampanyekan program penggalangan
dana public di dunia maya dengan mengambil biaya operasional sebesar 5%.18
Hal
tersebut perlu diapresiasi, mengingat hal tersebut sebagai inovasi yang semakin
memudahkan masyarakat dalam melakukan donasi. Sedangkan yang dilakukan oleh
usaha dibidang ritel ataupun usaha lain wajib mengutamakan prinsip sukarela dan
persetujuan konsumen dalam melakukan donasi.
PP No. 29 Tahun 1980 telah mengatur bahwa besaran dana yang dapat
digunakan untuk kegiatan operasional sebesar 10% (sepuluh persen). Akan tetapi
berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh YLKI, penggunaan dana untuk
kegiatan operasional yang dilakukan penyelenggara bervariasi jumlahnya, antara 0-
30% (tiga puluh persen) proporsi dana yang dipergunakan untuk kegiatan
operasional.
Terkait media pemasaran dan informasi yang digunakan penyelenggara untuk
menginformasikan kepada masyarakat perihal kegiatan penyelenggaraan dana public
sangat bervariasi jenisnya. secara garis besar ada 4 (empat) media yang
dipergunakan oleh penyelenggara penggalangan dana public. Media yang pertama
adalah penggunaan brosur/leaflet, dimana 65% (enam puluh lima persen) lembaga
menyediakan media ini untuk memberikan informasi kepada masyarakat.
18
Disampaikan Oleh Ahmad Juwaini dalam FGD tanggal 3 Mei 2016 di Hotel Acacia
33
Media kedua adalah penggunaan banner dan spanduk yang digunakan oleh 58%
(lima puluh delapan persen) lembaga. Yang ketiga adalah penggunaan fasilitas
teknologi informasi, seperti sosial media dan website, yang mencapai 58% (lima
puluh delapan persen). Dan yang terakhir adalah pemanfaatan kerja sama dengan
pihak ketiga untuk memasarkan dan menginformasikan program penggalangan dana
public kepada masyarakat sebanyak 41% (empat puluh satu persen).
Untuk sarana penerimaan donasi, secara umum dapat diterima secara tunai baik
melalui kantor atau loket-loket resmi milik penyelenggara. Menariknya, praktek
penggalangan dana public dewasa ini kerap memanfaatkan jasa perbankan sebagai
fasilitas penerimaan donasi yang memudahkan konsumen. Tercatat 88% (delapan
puluh persen) penyelenggara telah menyediakan fasilitas rekening khusus yang
diperuntukkan bagi kegiatan penggalangan dana public.
3. Pemenuhan Hak Donatur Dalam Penggalangan Dana Publik
Terlepas dari pemenuhan terhadap hak donator, elemen penting lain dalam
perlindungan donator adalah edukasi kepada masyarakat terkait hak dan kewajiban
donator dan penerima manfaat (beneficiary) dalam penyelenggaraan penggalangan
dana public. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyelenggara penggalangan
dana public, pemenuhan kewajiban edukasi oleh penyelenggara masih belum
dijadikan prioritas utama, tercatat masih ada lembaga yang melakukan edukasi
hanya melalui sisipan yang terdapat di dalam laporan tahunan lembaga. Ataupun
hanya secara lisan melalui petugas yang penyampaiannya tidak lengkap dan
menyeluruh.
4. Pelaporan Dan Penerapan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas
Salah satu bentuk akuntabilitas keuangan dalam penggalangan dana public
adalah laporan keuangan/penggunaan keuangan yang diaudit. Dari lembaga-lembaga
yang diwawancarai oleh YLKI, 23% penyelenggara belum diaudit secara public dan
masih hanya mengandalkan audit internal. Hal tersebut sangat disayangkan
mengingat audit secara public merupakan salah satu bagian dari penerapan prinsip
akuntabilitas dibidang keuangan.
34
Terkait publikasi atas laporan keuangan tersebut, terlihat mulai ada
perkembangan yang dilakukan oleh lembaga, hal tersebut terlihat dari mulai
banyaknya penyelenggara yang mempublikasikan laporan keuangannya melalui
media cetak nasional ataupun melalui website sehingga mudah diakses oleh
masyarakat. Tercatat sekitar 70% lembaga telah melakukan publikasi hasil laporan
melalui media tersebut.
Meskipun demikian, Dian Nur Astuti (Kabag. Penyusunan Naskah Hukum
Kemensos) menyatakan bahwa masih ada beberapa lembaga yang tertutup atas
praktek dan pengelolaan penggalangan dana public yang dilakukan. Kedepannya,
hal tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi masyarakat dalam melakukan donasi
melalui lembaga intermediasi.
5. Persepsi Atas Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelenggaraan Penggalangan
Dana Publik
Selain untuk mengetahui praktek penggalangan dana public, wawancara yang
dilakukan kepada penyelenggara ditujukan pula untuk mengetahui pandangan dan
persepsi atas praktek penggalangan dana public yang telah ada. Menurut para
penyelenggara, setidaknya terdapat 3 (tiga) permasalahan utama dalam
penggalangan dana public, yakni: kualitas dan kuantitias SDM penyelenggara masih
sangat terbatas (18%); pemahaman dan partisipasi masyarakat yang rendah (47%);
dan regulasi yang ada belum mengakomodir kebutuhan dan perkembangan
penggalangan dana public (23%).
Atas masalah tersebut, kami mencoba menanyakan kepada penyelenggara,
masukan dan saran apa yang perlu diajukan kepada pemerintah. Dan hasil
wawancara menunjukkan ada tiga masukan dan saran yang paling banyak
disuarakan oleh penyelenggara, yakni regulasi yang ada perlu segera diamandemen
untuk memberikan ruang penyeseuaian bagi perkembangan penggalangan dana
public (29%); mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan
penjatuhan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang dilakukan penyelenggara nakal
(47%); perlu adanya insentif dan disinsentif dari pemerintah sebagai bentuk
dukungan pemerintah terhadap penyelenggaran penggalangan dana public di
Indonesia.
35
Menurut Sudaryatmo19
, amandemen regulasi yang dijadikan masukan kepada
pemerintah perlu dibenahi, khususnya dalam hal rezim pemberian izin apakah
menggunakan system licensing atau system register. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan penyelenggara menghadapi kekosongan hukum yang terjadi saat ini dapat
dilakukan dengan cara pembentukan self regulation yang dilakukan penyelenggara
guna menjaga standard penggalangan dana public di Indonesia.20
19
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Periode 2015-2020
20
Disampaikan Oleh Sudaryatmo dalam FGD tanggal 3 Mei 2016 di Hotel Acacia
36
BAB IV
ANALISIS TERHADAP TEMUAN DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN
PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENGGALANGAN
DANA PUBLIK
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan dalam bab II, akuntabilitas dan transparansi
merupakan prinsip dalam pengelolaan public yang saling terkait satu sama lain.
Akuntabilitas, erat kaitannya dengan hal pertanggungjawaban atas suatu pengelolaan yang
dilakukan, baik pertanggungjawaban secara kelembagaan ataupun keuangan. Sedangkan
transparansi, lebih ditekankan kepada aspek keterbukaan akses informasi yang dibutuhkan
public dalam upaya pengawasan dan pertanggungjawaban atas pengelolaan yang dilakukan.
Berdasarkan temuan yang diperoleh YLKI dalam penerapan prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam penggalangan dana public, setidaknya ada 6 (enam) focus utama yang
menjadi perhatian YLKI, antaralain terkait perizinan, pertanggungjawaban keuangan,
keterbukaan informasi, edukasi terhadap hak-hak donator dan penerima manfaat, serta
pemanfaatan sosial media dalam penggalangan dana public.
A. Perizinan Penggalangan Dana Publik/Pengumpulan Uang dan Barang
Menurut Zaim Saidi, aspek perizinan dan legalitas merupakan salah satu
permasalahan yang dihadapi oleh LSM dan Yayasan. Secara hukum, lembaga non-profit
yang bentuk badan hukumnya dipaksakan sangat rentan terhadap intervensi yang
dilakukan oleh pemerintah.21
Terkait dengan penggalangan dana public, UU No. 9 Tahun 1961 menjamin,
bahwa pengumpulan uang dan barang, dalam hal ini untuk keperluan sosial,
diperbolehkan bagi organisasi kesejahteraan sosial ataupun kepanitiaan yang bersumber
dari masyarakat sehingga diharapkan tidak membatasi penggalangan dana public oleh
masyarakat. Sedangkan terkait dengan ruang lingkup perizinan dan batas waktu izin yang
diberikan hanya untuk masa 3 bulan dengan pelaksanaan penggalangan dana
sebagaimana ruang lingkup diberikannya izin, baik kabupaten/kota, provinsi atau
nasional.
21
Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Kritik dan Otokritik LSM, (Jakarta:Pira
Media, 20014), hal. 26
37
Akan tetapi dalam prakteknya, hal tersebut banyak dikeluhkan dan dianggap tidak
relevan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, baik perkembangan teknologi
informasi, tingkat mobilisasi, dan kecenderungan usaha penggalangan dana public.
Akibatnya saat ini banyak ditemukan praktek penggalangan dana public yang
perizinannya tidak jelas/tidak sesuai peruntukkannya serta praktek penggalangan dana
public yang sistemnya tidak dikenal dan diatur dalam rezim UU No. 9 Tahun 1961,
seperti penggalangan donasi yang dilakukan melalui ritel/restoran melalui uang
kembalian atau penggalangan donasi secara online.
Selama ini perizinan yang diberikan kepada penggalangan melalui ritel/restoran
diberikan bukan kepada korporasi yang bersangkutan, tetapi melalui pembentukan
kepanitiaan yang dibentuk oleh korporasi tersebut. Hal ini menjadi perdebatan mengingat
tidak diketahui apakah uang hasil donasi masyarakat akan tercampur atau tidak dengan
uang korporasi. Selain itu pola penggalangan melalui uang kembalian jugga tidak dikenal
didalam UU No. 9 Tahun 1961.
Akibatnya banyak penggalangan dana melalui cara tersebut yang dilakukan tanpa
izin (35%), sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan pengelolaan dananya dan
mempersulit penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana di
Indonesia. Hal yang sama juga terjadi terhadap penggalangan dana public secara online
yang sangat diragukan legalitasnya dan pengawasannya.
Hal tersebut sejatinya bukanlah hal yang negative, mengingat upaya tersebut
dilakukan dengan tujuan mempermudah masyarakat untuk melakukan donasi. Maka dari
itu sudah seharusnya pemerintah mengakomodir segala bentuk kreatifitas masyarakat
dalam melakukan penggalangan dana public. Bentuknya dapat dilakukan dengan
merubah struktur perizinan dan peningkatan pengawasan.
Struktur perizinan yang dimaksud meliputi lingkup wilayah dan jangka waktu izin
yang diberikan pemerintah terhadap penyelenggara penggalangan dana public. Pertama,
menurut keterangan banyak lembaga, perizinan dengan format cluster yang ada saat ini
dirasakan tidak efektif dalam mendukung upaya filantropi yang dilakukan. Sehingga
perizinan perlu diberikan tanpa mengenal lingkup wilayah, mengingat kegiatan filantropi
saat ini berkembang begitu pesat dan tidak lagi mengenal batas-batas geografis dan
territorial wilayah.
38
Kedua, perizinan dengan batas waktu 3 (tiga) bulan dianggap menyulitkan dan
tidak efektif bagi penyelenggara. Hasil wawancara yang dilakukan YLKI terhadap
beberapa penyelenggara menunjukkan hasil 35% (tiga puluh lima persen) lembaga yang
diwawancarai belum berizin atau tidak sesuai perizinannya. Salah satu kemungkinan,
mengapa besarnya presentase lembaga yang bermasalah dalam hal perizinannya adalah
rezim perizinan yang dirasakan tidak memihak dalam upaya penggalangan dana public.
Untuk mengatasi hal tersebut, selain menambah jangka waktu perizinan dan
menghilangkan batas-batas territorial, maka perizinan juga dapat dilakukan dalam 2
(dua) bentuk, yakni
1. Sistem register; sistem register atau pendaftaran merupakan rezim perizinan yang
hanya mewajibkan pihak yang melakukan praktek penggalangan dana public untuk
mendaftar dan melaporkan penggalangan dana public yang dilakukan. Tujuan sistem
pendaftaran register adalah untuk pendataan dan pemetaan penggalangan dana
public yang dilakukan. Kekurangannya, upaya pengawasan dan standardisasi
penyelenggara yang sulit
2. Sistem license; sistem license atau izin merupakan rezim perizinan yang memuat
persyaratan-persyaratan bagi pihak yang hendak melakukan pendaftaran, tujuan
sistem pendaftaran license adalah pembatasan pihak-pihak yang mendapatkan izin
dalam melakukan penggalangan dana public dan menjaga kualitas penyelenggara
penggalangan dana public. Kekurangannya, meningkatkan praktek penggalangan
tanpa izin dan polarisasi praktek penggalangan dana publik
Selain perubahan struktur perizinan yang harus disesuaikan, peningkatan
pengawasan juga hal yang mutlak dibutuhkan dalam penggalangan dana public. Upaya
pengawasan tersebut dibutuhkan dalam upaya menjaga kepercayaan public terhadap
penyelenggara penggalangan dana public yang transparan dan akuntabel.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh YLKI, 72% (tujuh puluh dua persen)
masyarakat mempertimbangkan aspek kepercayaan dalam melakukan donasi sehingga
kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara nakal tidak hanya berdampak negative
terhadap penyelenggara tersebut melainkan akan berdampak negative terhadap
penyelenggara lainnya dan dunia filantropi pada umumnya.
39
Maka dari itu menurut Dian Nur Astuti22
, perlu dibentuk Penyidik Pegawai Negeri
Sipil, yang bergerak khusus dibidang penggalangan dana public, sehingga mampu
melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap praktek-praktek penggalangan dana
public yang menyimpang dan dapat menjaga tingkat kepercayaan public terhadap dunia
filantropi.23
B. Pertanggungjawaban Keuangan Hasil Penggalangan Dana Publik
Pertanggungjawaban keuangan erat kaitannya dengan prinsip akuntabilitas.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa secara operasional, bentuk akuntabilitas yang
dapat dilakukan oleh lembaga non-profit, termasuk penyelenggara penggalangan dana
public, dapat diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving), dan
cepat-tanggap (responding).
Akuntabilitas dalam bentuk pelaporan memiliki beberapa pembagian berdasarkan
objek pelaporan dan penerima laporan. Berdasarkan objeknya, laporan dapat berbentuk
laporan keuangan dan laporan kegiatan. Laporan keuangan merupakan laporan
pembukuan atas arus kas uang masuk dan keluar suatu lembaga dalam menjalankan
kegiatan operasionalnya dalam periode tertentu. Sedangkan laporan kegiatan berisikan
uraian mengenai kegiatan dan program yang dilakukan selama periode tertentu oleh
suatu lembaga.
Sedangkan bila dibagi berdasarkan subjek penerimanya, laporan dapat dibagi atas
laporan yang diperuntukkan bagi public dan laporan yang ditujukan kepada pemerintah.
Laporan yang ditujukan bagi public biasanya ditujukan sebagai media informasi kepada
masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan dana public. Sedangkan laporan
kepada Negara ditujukan sebagai kewajiban penyelenggara kepada Negara dalam
menjalankan fungsi pengawasannya.
Selain yang disebutkan diatas, penyelenggara penggalangan dana public yang
memiliki tujuan sosial-kemanusiaan wajib memenuhi pertanggungjawaban dan
akuntabilitas perundang-undangan (regulatory accountability), akuntabilitas manajerial
(managerial accountability), akuntabilitas program (program accountability), dan
akuntabilitas pelaksanaan (process accountability).
22
Dian Nur Astuti adalah Direktur Bidang Penyusunan Naskah Hukum Kementerian Sosial RI
23
Hasil FGR tanggal 3 Mei 2016 di Hotel Acacia
40
Pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam hal pengelolaan keuangan yang
dilakukan oleh penyelenggara penggalangan dana public harus memenuhi akuntabilitas
baik secara formil ataupun materill. Pemenuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan
secara formil maksudnya adalah pemenuhan kewajiban dan pertanggungjawaban untuk
memenuhi formalitas tertentu.
Contoh pemenuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan secara formil antara lain,
audit secara internal dan eksternal melalui akuntan public terhadap keuangan
penyelenggara secara tahunan, penyampaian laporan keuangan (annual report) kepada
pemerintah dan masyarakat.
Sedangkan pemenuhan akuntabilitas secara materiil, berarti pertanggungjawaban
yang dilakukan untuk memenuhi unsure dan nilai tertentu. Contoh pemenuhan
akuntabilitas pengelolaan keuangan secara materiil adalah, penyertaan dan pelibatan
donator serta masyarakat dalam kegiatan penggalangan dana public, baik dalam hal
pengelolaan, pendistribusian maupun pendayagunaan.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh YLKI, pada umumnya
pertanggungjawaban keuangan penyelenggara yang dilakukan secara formil sudah cukup
baik, dimana seluruh lembaga yang diwawancarai oleh YLKI sudah melakukan audit
sekurangnya secara internal dan 70% (tujuh puluh persen) diantaranya mempublikasikan
laporan keuangannya kepada public. Hal tersebut didukung dengan pernyataan
masyarakat yang sebagian besar (51%) menyatakan laporan keuangan yang disusun oleh
penyelenggara sudah baik.
Akan tetapi secara materiil, pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh
penyelenggara masih kurang, khususnya kepada donator, dimana 64% (enam puluh
empat persen) donator tidak pernah dilibatkan dalam pendistribusian bantuan yang
dikumpulkan dari donasi masyarakat dan 59% (lima puluh Sembilan persen) masyarakat
tidak menerima laporan keuangan secara pribadi.
Atas hal tersebut, penyelenggara menyatakan telah berupaya semaksimal mungkin
memberikan laporan pengelolaan keuangan kepada donator, baik dikirimkan secara
langsung ataupun disampaikan melalui berbagai media, dompet dhuafa sebagai salah
satu responden yang diwawancarai YLKI menyatakan bahwa setiap bulannya selalu
mengirimkan 42000 (empat puluh dua ribu) email kepada donaturnya sebagai laporan
atas pengelolaan keuangan.
41
Faktanya pertanggungjawaban yang dilakukan penyelenggara akan sulit dirasakan
oleh masyarakat manakala tingkat kepedulian (awareness) mayarakat masih rendah.
Tercatat, berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC tahun 2007 diketahui bahwa
tingkat kepedulian masyarakat terhadap donasi yang disalurkannya sangat rendah, yakni
sebesar 10% (sepuluh persen). Salah satu penyebab minimnya kesadaran masyarakat
adalah pandangan bahwa donasi sebagai bagian dari ibadah sehingga harus di-ikhlas-kan.
Ketiadaan regulasi yang mengatur bentuk akuntabilitas pengelolaan keuangan
menjadikan sebagian penyelenggara menganggap hal tersebut bukanlah hal yang penting
dalam usaha penggalangan dana public. Tercatat hanya sebagian kecil penyelenggara
yang menyadari pentingnya akuntabilitas terkait pengelolaan dana public dengan upaya
menyebarluaskan laporan keuangan penyelenggara, baik melalui media massa, website
resmi penyelenggara atau bahkan disampaikan secara langsung kepada donator melalui
berbagai media.
Maka dari itu penyusunan regulasi terkait atau sekurang-kurangnya self-regulation
menjadi penting guna menjaga akuntabilitas dalam penggalangan dana public. Filantropi
media, dalam hal ini, telah menjadi pionir dan dapat dicontoh penggiat filantropi lain
dalam menyusun self-regulation berupa kode etik dalam kegiatan filantropi dan
penggalangan dana public selagi upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya hal ini
terus digalang.
Khusus bagi pemerintah, wajib hukumnya menyesuaikan dan menerapkan nilai-
nilai akuntabilitas dalam penyelenggaraan penggalangan dana public, sehingga tujuan
penggalangan yang bersifat kemanusiaan dapat berjalan secara efektif, tepat guna dan
tepat sasaran sebagaimana mestinya.
C. Keterbukaan Informasi Dalam Penggalangan Dana Publik
Salah satu poin terpenting dalam upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
dalam penyelenggaraan penggalangan dana public adalah keterbukaan informasi. Hal ini
tidak hanya penting guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap praktek
penggalangan dana public yang ada, melainkan juga penting dalam pemenuhan hak
donator dan penerima manfaat (beneficiary).
Khusus bagi donator, keterbukaan informasi merupakan bagian pemenuhan atas
hak donator sebagaimana yang telah dijamin secara internasional melalui Donor Bill of
Rights, khususnya terkait hak atas akses informasi dan hak keleluasaan bertanya. Hak
atas informasi yang dimaksud dalam Donor Bill of Rights meliputi informasi atas profil
42
penyelenggara, baik visi-misi maupun profil penyelenggara; dan informasi atas laporan
keuangan termasuk penggunaan dan kepastian atas penyaluran donasi.
Sedangkan hak keleluasaan bertanya meliputi pertanyaan apapun yang diajukan
donator yang terkait dengan kegiatan penggalangan dana public dan hak mendapatkan
jawaban yang cepat, benar dan jujur. Dalam prakteknya, penyelenggara yang
diwawancarai oleh YLKI memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam upaya memenuhi
hak donator yang tergantung pada kemampuan lembaga dalam menyediakan akses
informasi ataupun kanal penerimaan pengaduan dan pertanyaan.
Bila dianalisis terdapat beberapa tingkatan (grade) yang mampu disediakan
lembaga dalam memenuhi hak donator terkait informasi dan pertanyaan. Mulai dari
tingkatan terendah, yang hanya memiliki nomor telepon dan secretariat sebagai satu-
satunya sarana penyediaan informasi dan pertanyaan yang biasanya dimiliki oleh
lembaga yang lingkup pengelolaannya kecil, seperti rumah ibadah ataupun kepanitiaan
yang melakukan penyelenggaraan penggalangan dana public.
Tingkatan menengah, yang sudah mulai memiliki layanan pesan elektronik (e-
mail) dan website yang pengelolaannya belum profesional dan belum memuat informasi
yang dibutuhkan oleh masyarakat, biasanya dimiliki oleh yayasan yang lingkup
pengelolaannya sedang.
Terakhir yang telah memiliki fasilitas beragam sebagai pusat informasi dan sarana
pengaduan atau pertanyaan mulai dari website resmi, call center, aplikasi selular, hingga
pemanfaatan sosial media, yang biasanya dilakukan oleh penyelenggara dengan skala
besar.
Padahal, seharusnya penyelenggara wajib memiliki instrument penyediaan
informasi yang memadai dan mudah dijangkau oleh masyarakat, khususnya donator
sebagai bentuk transparansi sarana komunikasi yang efektif dan menjaga relasi antara
donator, penyelenggara dan penerima manfaat.
Keterbatasan sarana informasi yang disediakan oleh penyelenggara tentu semakin
besar pula resiko penyalahgunaan yang dilakukan oleh penyelenggara dalam mengelola
dana public yang ada akibat tidak tersedianya sarana control sosial yang mungkin
dilakukan oleh masyarakat.
Pemerintah, sebagai penerima amanah masyarakat dibidang pemerintahan, juga
seharusnya aktif dalam menyediakan pusat informasi yang dibutuhkan masyarakat
sekaligus menjadi teladan bagi penyelenggara dalam menerapkan transparansi dalam
pengelolaan dana public yang sesuai dengan peruntukannya.
43
D. Edukasi dan Pembinaan Donatur dan Penerima Manfaat
Pada bagian sebelumnya, telah disinggung mengenai rendahnya tingkat kepedulian
(awareness) masyarakat dalam melakukan control sosial terhadap penerapan prinsip
transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan penyelenggara penggalangan dana public.
Diduga, hal tersebut diakibatkan oleh persepsi masyarakat yang keliru atas
penyelenggaraan penggalangan dana public.
Tercatat, dari masyarakat yang melakukan donasi melalui penyelenggara
penggalangan dana public non-keagamaan, hanya 12% (dua belas persen) yang
melakukan donasi atas dasar perizinan dan program yang dilakukan oleh penyelenggara.
Kemudian, dalam hal pengawasan atas kegiatan distribusi dan pengelolaan keuangan
hanya 27% masyarakat yang aktif mencari tahu dan 16% menerima secara langsung dari
lembaga, baik secara tertulis ataupun lisan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
belum teredukasi perihal pentingnya pengawasan atas praktek penggalangan dana public
di lapangan.
Maka dari itu, pemerintah bersama-sama dengan penyelenggara harus aktif
melakukan edukasi dan pembinaan kepada donator dan penerima manfaat terkait hak dan
kewajibannya dalam praktek penggalangan dana public. Bila berkaca dari hasil
wawancara dan survey yang dilakukan YLKI terlihat bahwa hanya 20% (dua puluh
persen) masyarakat yang memahami dan menyadari hak-hak yang dimilikinya sebagai
donator. Ditambah tingkat kepuasan masyarakat terhadap sosialisasi dan pemenuhan hak
donator masih sangat minim, yakni 49% (empat puluh Sembilan persen).
Upaya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara sampai saat ini
juga dirasakan hanya sebatas formalitas dan belum dijadikan hal penting dalam bagian
penyelenggaraan penggalangan dana public. Padahal, donator dan penerima manfaat
yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya akan membantu penyelenggara dalam
mencapai visi-misi serta tujuan kegiatan filantropi yang dilakukan, yakni peningkatan
kesejahteraan dan memecahkan masalah sosial-kemanusiaan yang terjadi di masyarakat.
Berdasarkan pengamatan YLKI, sejauh ini masih sangat jarang penyelenggara
yang memiliki grand design program edukasi dan sosialisasi jangka panjang untuk
mewujudkan donator dan penerima manfaat yang cerdas dalam upaya mensukseskan
kegiatan filantropi.
44
Salah satu wujud terbelakangnya donator di Indonesia adalah ketidaktahuan
penggunaan dana yang bersumber hasil donasi yang dilakukan, apakah dilakukan sesuai
dengan yang dijanjikan ataukah dialihkan untuk hal lain. Perubahan atau pengalihan
penggunaan dana public sangat dibutuhkan dalam rangka efektivitas dan optimalisasi
sumbangan.
Pengalihan penggunaan dana public sejatinya merupakan dorongan kuat bagi
penyelenggara untuk aktif mencerdaskan pemahaman donator terkait pengelolaan dana
public. Hal tersebut dikarenakan pengalihan penggunaan dana tersebut diwajibkan
dengan persetujuan donator terlebih dahulu.24
Terkait hak penerima manfaat, salah satu pelanggaran yang paling banyak
dilakukan oleh penyelenggara adalah eksploitasi yang dilakukan oleh penyelenggara
terhadap penerima manfaat. Eksploitasi tersebut biasanya berupa penggunaan
gambar/video kondisi penerima manfaat yang dijadikan media bagi penyelenggara untuk
mendulang donasi masyarakat. Padahal hal tersebut telah dengan terang dilarang
pelaksanaannya secara internasional.
Sekali lagi, ketiadaan regulasi menyebabkan hal-hal yang disebutkan diatas
menjadi sah untuk dilakukan oleh penyelenggara dan kementerian sosial dalam hal ini
tidak memiliki wewenang untuk menindak praktek-praktek semacam ini. Maka dari itu,
dukungan politik yang kuat menjadi hal yang mutlak guna mengatasi hal tersebut.
Setidaknya harus ada peraturan pelaksanaan yang sifatnya sementara untuk
mengendalikan praktek tersebut hingga terbentuknya regulasi yang baru dalam
penggalangan dana public atau setidaknya penyelenggara harus berkomitmen kuat
melalui self-regulatory yang dibentuk untuk mengatur hal semacam ini.
E. Mekanisme Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi
Diberbagai macam penelitian telah mengungkapkan potensi dana public
masyarakat yang nilainya begitu fantastis dan tidak jauh dengan potensi penerimaan
Negara yang bersumber dari zakat. akan tetapi yang sangat miris adalah rezim UU No. 9
Tahun 1961 tidak mengatur penjatuhan sanksi secara tegas terhadap penyimpangan atas
pengelolaan dana public dengan potensi yang sedimikian besar.
24
Hamid Abdidn, Nur Hiqmah, Ninik Annisa, dan Maifi Eka Putra, Membangun Akuntabilitas Filantropi Media
Massa, (Jakarta: Piramedia,2013),Hal.86.
45
Tercatat sanksi pidana yang diatur dalam pasal 8 UU No. 9 Tahun 1961 hanyalah 3
(tiga) bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat pada masa pembentukan UU tersebut,
praktek penggalangan dana public sifatnya masih terbatas dan nilai mata uang yang
sudah sangat jauh berubah dibandingkan saat itu.
Hal tersebut kemudian ditambah dengan upaya pengawasan yang dilakukan
pemerintah tergolong lemah. Jangankan memiliki badan khusus yang mengawasi praktek
penggalangan dana public, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)-pun tidak dimiliki oleh
Negara dalam mengawasi praktek penggalangan dana public yang ada di Indonesia.
Dapat dibandingkan dengan persaingan usaha yang memiliki komisi khusus yang
bertugas mengawasi praktek persaingan usaha, atau setidaknya dapat dibandingkan
dengan praktek penyelenggaraan undian yang memiliki PPNS dengan fungsi dan
wewenang dalam melakukan penyidikan.
Tercatat, pengawasan yang selama ini dilakukan mayoritas hanya berkenaan
dengan hal-hal administrative, hal tersebut pun belum maksimal, sedangkan terkait teknis
distribusi yang rentan atas penyalahgunaan dan eksploitasi terhadap penerima manfaat
cenderung tidak terkawal dengan baik.
Akibatnya, praktek penggalangan dana public seakan-akan tidak memiliki control
dan tanpa pengawasan yang berarti. Isu penyalahgunaan dana public yang sudah sering
dimuat media, mulai dari penyalahgunaan dana hingga penggalangan dana yang sifatnya
fiktif, seakan-akan mengamini pernyataan tersebut. Peran serta masyarakat pun seakan
tidak memiliki tempat dalam melaporkan dugaan penyalahgunaan penggalangan dana
public yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Maka dari itu, pembentukan instrument hukum dan penguatan fungsi pengawasan
mutlak diperlukan guna menyelamatkan potensi kehilangan dana public yang sedemikian
besar nilainya. Setidaknya ada 2 (dua) bentuk alternative dalam penguatan fungsi
pengawasan dalam praktek penggalangan dana public, yakni penyediaan PPNS di
lingkungan Kementerian Sosial yang khusus mengawasi praktek penggalangan dana
public; atau pembentukan lembaga/komisi khusus yang berasal dari seluruh stake holder,
baik masyarakat, pemerintah dan penyelenggara, yang bertugas mengawasi, menjatuhkan
sanksi administrative hingga menggugat penyelenggara yang terbukti melakukan
penyalahgunaan dana public.
46
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan YLKI, baik yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif, kami menyimpulkan beberapa temuan penting. Bab penutup ini juga
merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait untuk membenahi problem-problem
pengaturan maupun pengawasan penyelenggaraan penggalangan dana public di Jakarta
khususnya sebagaimana disimpulkan di bawah ini :
A. Kesimpulan
1. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana
public sangat erat kaitannya dengan keterbukaan akses informasi dan
pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh penyelenggara. Akan tetapi,
dalam prakteknya penerapan kedua prinsip tersebut tidak menjadi kewajiban
bagi seluruh penyelenggara dan masih banyak penyelenggara yang tidak
melakukan penyelenggaraan penggalangan dana public secara profesional,
transparan dan akuntabel;
2. Rezim UU No. 9 Tahun 1961 sudah tidak relevan dengan perkembangan dan
kondisi penyelenggaraan penggalangan dana public dan filantropi yang ada
di masyarakat. Hal tersebut berlaku juga terhadap peraturan turunannya, yakni PP
No. 29 Tahun 1980 tentang pelaksanaan pengumpulan sumbangan. Maka dari itu,
pembaharuan regulasi dan sistem penyelenggaraan penggalangan dana public
sangat mutlak diperlukan guna mencegah terjadinya kekosongan payung hukum
atas fakta-fakta hukum yang terjadi dimasyarakat, khususnya terkait dengan
penggalangan dana public.
3. Pemberian perizinan penyelenggaraan penggalangan dana public atau kegiatan
filantropi yang ada saat ini sudah tidak relevan dan tidak efektif diterapkan. Hal
tersebut disebabkan dengan adanya ketentuan pembatasan wilayah dan jangka
waktu penggalangan yang bertentangan dengan semangat filantropi di
masyarakat. Seharusnya, regulasi perizinan dibuat dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat. Selain terkait dengan batasan wilayah dan jangka
waktu penyelenggaraan, perizinan yang berlaku saat ini juga belum mengatur
penyelenggara penggalangan dana public secara keseluruhan. Setidaknya ada
2 (dua) penyelenggara yang tidak ikut diatur dalam regulasi penggalangan dana
47
public, yakni korporasi, khususnya korporasi ritel dan restoran, dan
penyelenggara yang melakukan penggalangan dengan donasi secara online.
Akibat dari sistem perizinan yang salah zaman seperti ini menyulitkan
penyelenggara mendapatkan izin penggalangan dana public. Tercatat 35%
responden yang berasal dari penyelenggara bermasalah dalam hal perizinan.
4. Laporan keuangan merupakan salah satu instrument pemenuhan prinsip
pertanggungjawaban (akuntabilitas) manajerial yang dilakukan penyelenggara
penggalangan dana public. Mayoritas laporan keuangan yang disampaikan oleh
penyelenggara selama ini hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya hanya untuk
memenuhi formalitas tertentu, seperti laporan yang hanya dipublikasi melalui
media atau website penyelenggara tanpa melihat efektifitas penyampaian laporan
keuangan kepada masyarakat, khususnya donator. Akan tetapi pemenuhan
akuntabilitas keuangan secara materiil masih sangat minim, hal tersebut dapat
dilihat dari survey YLKI yang menunjukkan sebagian besar masyarakat belum
pernah dilibatkan dalam pendistribusian bantuan dan menerima laporan
keuangan/kegiatan secara pribadi.
5. Keterbukaan informasi merupakan salah satu instrument dalam penerapan
prinsip transparansi dalam kegiatan filantropi atau penggalangan dana
public. Selain itu, keterbukaan informasi merupakan salah satu bentuk
pemenuhan salah satu hak donator yang diatur dalam Donor Bill of Rights.
Semakin terbatasnya informasi yang disediakan oleh penyelenggara filantropi
atau penggalangan dana public semakin besar pula resiko penyalahgunaan yang
akan terjadi dalam pengelolaan dana public (filantropi). Sampai saat ini, belum
ada upaya serius dari pemerintah dalam menyusun regulasi terkait
keterbukaan informasi dan menyediakan fasilitas pusat informasi yang
dibutuhkan masyarakat, baik yang memuat profil penyelenggara, program yang
sedang berjalan, penggunaan dana dan distribusi bantuan yang dilakukan oleh
penyelenggara.
6. Atas survey yang dilakukan YLKI, diketahui bahwa pemahaman dan kepedulian
masyarakat terhadap hak donator masih sangat minim (20%). Minimnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat atas pemenuhan hak-haknya disebabkan
oleh kesalahan persepsi masyarakat dan minimnya upaya edukasi dan
sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara dan pemerintah. Terkait dengan
persepsi yang ada selama ini, masyarakat beranggapan bahwa donasi dan
48
kegiatan filantropi merupakan bagian dari ibadah dan ditujukan untuk
memenuhi kewajiban keagamaan sehingga wajib di-ikhlas-kan. Hal tersebut
sesungguhnya adalah keliru, mengingat donator juga memiliki kewajiban untuk
memastikan donasi dan sedekah yang dilakukannya benar-benar diterima dan
dimanfaatkan oleh penerima manfaat yang seharusnya. Hal tersebut kemudian
diperparah dengan upaya penyelenggara yang sekedar memenuhi formalitas
dalam melakukan edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat terkait hak-haknya.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan YLKI, sejauh ini masih sangat langka
dan sukar ditemui penyelenggara yang memiliki grand design dan rencana
strategis jangka panjang dalam melakukan edukasi dan sosialisasi. Ketiadaan
regulasi kembali menjadi salah satu sebab terjadinya masalah tersebut, dan dalam
hal ini harusnya pemerintah mampu menjadi teladan bagi penyelenggara dalam
melakukan edukasi dan sosialisasi hak donator
7. Selain diperlukannya edukasi terhadap hak donator, sesungguhnya penerima
manfaat juga wajib diberikan edukasi terhadap hak-haknya, khususnya hak yang
selama ini sering dilanggar oleh penyelenggara. Hak tersebut adalah hak terbebas
atas eksploitasi yang dilakukan. Selama ini eksploitasi terhadap penerima manfaat
dilakukan oleh penyelenggara dengan cara mempertontonkan kondisi dan keadaan
penerima manfaat untuk dijadikan alat bagi penyelenggara untuk mendulang
donasi masyarakat. Padahal hal tersebut telah dilarang secara internasional. Sekali
lagi ketiadaan regulasi yang melarang hal tersebut menjadi faktor utama maraknya
praktek-praktek eksploitasi yang dilakukan terhadap penerima manfaat.
8. Terkait sanksi dan pengawasan terhadap praktek penyelenggaraan penggalangan
dana public, UU No. 9 Tahun 1961 sangat jauh dari kata cukup untuk mengatur
praktek penggalangan public yang ada di masyarakat beserta besarnya potensi dana
yang terkumpul. Tercatat sanksi yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1961 hanya
berupa kurungan penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda Rp. 10.000,-
(sepuluh ribu rupiah) saja. Hal tersebut kemudian diperparah dengan perangkat
pengawasan yang tidak memadai bila dilihat dari besarnya praktek dan potensi
dana kemanusiaan yang ada di masyarakat. Jangankan memiliki badan khusus yang
bertugas melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran dalam
penggalangan dana public, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang khusus
bertugas menindak pelanggaran penggalangan dana public sampai saat ini pun
tidak dimiliki oleh Negara. Akibatnya praktek penggalangan dana public yang ada
49
seakan-akan tidak memiliki control dan pengawasan. Isu penyalahgunaan dana
public yang marak terjadi seakan-akan dianggap angin lalu oleh seluruh elemen
masyarakat.
B. Rekomendasi
Atas kesimpulan yang telah disampaikan di atas maka terdapat beberapa saran dan
rekomendasi yang dapat menjadi masukan bagi seluruh stakeholder dalam penyelenggaraan
penggalangan dana public, diantaranya :
1. Rekomendasi kepada Pemerintah
Berdasarkan hasil kajian diatas, maka ada beberapa catatan yang menjadi
rekomendasi bagi pemerintah dalam menetapkan politik kebijakan dalam praktek
penyelenggaraan penggalangan dana public. Rekomendasi tersebut antara lain:
a. Pemerintah wajib untuk segera melakukan amandemen peraturan perundang-
undangan terkait pengumpulan uang dan barang (UU No. 9 Tahun 1961
tentang Pengumpulan Uang dan Barang), mengingat perundang-undangan
yang ada sudah sangat tidak sesuai dengan konteks kekinian dalam
penyelenggaraan penggalangan dana public.
b. Pemerintah perlu melakukan perubahan struktur perizinan dalam pemberian
izin penggalangan dana public. Perubahan tersebut dimulai dari penentuan
bentuk perizinan yang paling sesuai, apakah dengan sistem pendaftaran
(register) atau perizinan (license); penghilangan batas-batas territorial dalam
pemberian izin penggalangan dana public, mengingat akibat dari
perkembangan teknologi informasi menyebabkan penggalangan dana public
tidak dapat dibatasi secara geografis dan wilayah territorial; dan jangka waktu
pemberian izin yang lebih panjang atau sekurangnya diberikan secara tahunan,
jangka waktu pemberian izin yang lebih panjang akan membantu
penyelenggara melakukan penggalangan dana public dengan lebih matang dari
segi perencanaan, pendistribusian dan pendayagunaan, serta pelaporan yang
disampaikan kepada pemerintah sehingga diharapkan hasil dari kegiatan
penggalangan dana public atau filantropi yang dilakukan menjadi lebih efektif
dan efisien.
c. Pemerintah perlu memberikan kepastian atas self regulation kepada
penyelenggara terkait pemenuhan hak-hak donator dan penerima manfaat serta
penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas
50
d. Belajar dari pengalaman sebelumnya, pengawasan yang dilakukan pemerintah
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka dari itu, perlu ada usaha kuat dari
pemerintah guna meningkatkan fungsi pengawasan guna mencegah
penyalahgunaan dalam penggalangan dana public. Salah satu usaha tersebut
adalah pemisahan fungsi pengawasan yang diserahkan kepada badan
independen yang khusus bertugas untuk melakukan pengawasan, investigasi
dan penindakan natas pelanggaran dalam penggalangan dana public.
2. Rekomendasi Kepada Penyelenggara
Sedangkan bagi penyelenggara, berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat
direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
a. Selama belum ada penyusunan regulasi yang dilakukan pemerintah,
penyelenggara penggalangan dana public; khususnya usaha ritel, restoran dan
penggalangan dana berbasis online; sebaiknya menyesuaikan struktur
perizinan yang ditetapkan pemerintah saat ini. Hal tersebut guna memudahkan
pelaporan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dan menciptakan
rasa aman bagi masyarakat dalam melakukan donasi.
b. Memastikan dana yang terkumpul dipergunakan sesuai dengan program awal
yang disampaikan kepada masyarakat.
c. Penyelenggara wajib memiliki self regulation yang mengatur pemenuhan hak-
hak donator dan penerima manfaat serta keterbukaan akses informasi
d. Penyelenggara wajib melakukan edukasi secara berkesinambungan kepada
masyarakat dan SDM yang terlibat dalam kegiatan penggalangan dana public.
Kepada masyarakat, edukasi wajib dilakukan seiring dengan penawaran donasi
yang dilakukan oleh penyelenggara dan melalui media-media yang mudah
diakses, baik melalui spanduk, brosur, leaflet, website, dll. Bahkan jika
diperlukan, edukasi hak donator wajib disampaikan didalam setiap iklan
penawaran donasi yang dilakukan oleh penyelenggara.
e. Selain melakukan edukasi kepada masyarakat, penyelenggara juga wajib
menyediakan pelatihan kepada SDM yang berada dibawahnya terkait nilai-
nilai filantropi dan standar pelayanan kepada masyarakat. Edukasi ini
bertujuan untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan
penyelenggara kepada masyarakat akan linier.
51
3. Rekomendasi Kepada Masyarakat
a. Masyarakat harus ikut aktif dalam hal melakukan control sosial, dalam bentuk
pemeriksaan izin, pelaporan dan pertanyaan, atas praktek penyelenggaraan
penggalangan dana public guna menjaga kepastian penerapan prinsip
transparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana public.
b. Masyarakat harus sadar dan aktif dalam memperjuangkan hak-haknya, baik
sebagai donator ataupun penerima manfaat, dalam kegiatan penggalangan dana
public sehingga kepastian distribusi dan pendayagunaan akan lebih terjamin.
c. Masyarakat juga harus memahami regulasi dan ketentuan terkait penggalangan
dana public, sehingga dalam menyalurkan donasi masyarakat diharapkan lebih
cermat memilih penyelenggara yang sesuai dengan ketentuan regulasi yang
ada
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Artikel, dan Jurnal
Abdidn, Hamid, Nor Hiqmah, Ninik Annisa, dan Maifil Eka Putra. Membangun Akuntabilitas
Filantropi Media Massa. 2013. Jakarta:Piramedia
Abidin, Hamid dan Kurniwati (ed). Berbagi Untuk Negeri: Pola dan Potensi Menyumbang
Masyarakat, Hasil Survey di Sebelas Kota di Indonesia (2000, 2004, dan 2007).2008.
Jakarta: Piramedia
Abidin,Hamid. Berbagi Untuk Negeri : Pola Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil Survei
Sebelas Kota di Indonesia. 2008.Jakarta :Piramedia
Anisa, Ninik. AID Accountability;Berkenalan Dengan Enam Pedoman Akuntabilitas
Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan. 2012. Depok:Piramedia
Gayatri,BJD. 10 Prinsip Dasar: Pelaksanaan Penggalangan Dana. Buletin Galang, 2001.
edisi kedua tahun I
Santika, Adhi. Akuntabilitas dan Transparansi LSM: suatu sumbangan pemikiran dalam
Kritik dan Otokritik LSM.2014. Jakarta:Piramedia
Zaim, Saidi. “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Kritik dan Otokritik
LSM. 2014. Jakarta:Piramedia
Regulasi
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Keputusan Menteri Sosial Nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan Untuk
Korban Bencana;
Keputusan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan
Sumbangan Oleh Masyarakat;
Peraturan Menteri Sosial Nomor 14 Tahun 2012 tentangPengelolaan Hibah Langsung Dalam
Negeri; dan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan;
dan
Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang;
Internet
http://ylki.or.id/2015/01/mengupas-transparansi-penggalangan-dana-publik/
https://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas
53
https://id.wikipedia.org/wiki/Transparansi
54
LAMPIRAN
RUANG LINGKUP PENGATURAN PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI
JAKARTA
Peraturan Analisis UU 9/61
Tentang Pengumpulan
Uang dan Barang
Peraturan Pemerintah
No. 29 tahun 1980
tentang pelaksanaan
Pengumpulan
Sumbangan
Keputusan Menteri
Sosial
No.1/HUK/1995
tentang
Pengumpulan
Sumbangan Untuk
Korban Bencana
Pengertian Pengumpulan Uang dan
barang adalah setiap
usaha mendapatkan uang
atau barang untuk
pembangunan dalam
bidang kesejahteraan
sosial,
mental/agama/kerohania
n, kejasmanian dan
bidang kebudayaan
Pengumpulan sumbangan
adalah setiap usaha
mendapatkan uang atau
barang untuk
pembangunan dalam
bidang kesejahteraan
sosial,
mental/agama/kerohania
n, kejasmanian,
pendidikan dan bidang
kebudayaan
Pengumpulan
Sumbangan adalah
setiap usaha
pengumpulan uang
dan/atau barang
yang ditunjukkan
untuk memeberikan
bantuan kepada
korban bencana
Perizinan Harus mendapat izin
pejabat yang berwenang
Permohonan ijin
pengumpulan
sumbangan untuk
korban bencana,
diajukan secara
tertulis kepada
pejabat yang
berwenang
Kementerian Sosial,
apabila dilaksanakan
secara nasional, luar
negeri dan melampaui
daerah tingkat I
Bagi yang meminta izin
melalui Kementerian
Sosial harus disertai
persetujuan Gubernur
Kepala Daerah Tk. I
tempat organisasi
pemohon berkedudukan
sedangkan bagi pemohon
yang berkedudukan di
provinsi lain harus
disertai pula persetujuan
Gubernur Tk. I tempat
pengumpulan sumbangan
diselenggarakan
Permohonan ijin
tidak dikenakan
biaya
Gubernur, apabila
dilaksanakan melampaui
suatu daerah tingkat II
dalam daerah tingkat II
yang bersangkutan
Bagi yang meminta izin
melalui Gubernur, harus
disertai Surat Persetujuan
Bupati/Walikotamadya
Kepala Dati II tempat
organisasi pemohon
berkedudukan serta surat
keterangan dari Instansi
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS

More Related Content

What's hot

Pemberdayaan Masyarakat Desa
Pemberdayaan Masyarakat DesaPemberdayaan Masyarakat Desa
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Dadang Solihin
 
Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses
Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan ProsesPerencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses
Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses
Dadang Solihin
 
Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...
Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...
Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...
VeraRenita2
 
Contoh surat peminjaman ruang
Contoh surat peminjaman ruangContoh surat peminjaman ruang
Contoh surat peminjaman ruang
Afan Anwar
 
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan DaerahIsu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Dadang Solihin
 
Akuntansi Investasi PEMDA
Akuntansi Investasi PEMDAAkuntansi Investasi PEMDA
Akuntansi Investasi PEMDA
Mahyuni Bjm
 
lembaga keuangan internasional
lembaga keuangan internasionallembaga keuangan internasional
lembaga keuangan internasional
Reza Aprianti
 
Perencanaan sektor publik
Perencanaan sektor publikPerencanaan sektor publik
Perencanaan sektor publik
Rini Pakpahan
 
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung WaletPajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet
PT Lion Air
 
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNANEVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Dadang Solihin
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
Sujatmiko Wibowo
 
Sistem Anggaran
Sistem AnggaranSistem Anggaran
Sistem Anggaran
Ainun Dita Febriyanti
 
Formulasi kebijakan
Formulasi kebijakanFormulasi kebijakan
Formulasi kebijakan
Zakiyul Mu'min
 
Makalah PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Makalah PERENCANAAN PEMBANGUNANMakalah PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Makalah PERENCANAAN PEMBANGUNANMutiara Shifa
 
Contoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswa
Contoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswaContoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswa
Contoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswa
Abu Amar Fikri
 
Presentasi asuransi syariah
Presentasi asuransi syariahPresentasi asuransi syariah
Presentasi asuransi syariahElla Aisah
 
Sistem kepariwisataan
Sistem kepariwisataan Sistem kepariwisataan
Sistem kepariwisataan
Yani Adriani
 
Organisasi sektor publik
Organisasi sektor publikOrganisasi sektor publik
Organisasi sektor publik
Ajeng Pipit
 
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2
Sujatmiko Wibowo
 

What's hot (20)

Strategi Fundraising
Strategi FundraisingStrategi Fundraising
Strategi Fundraising
 
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Pemberdayaan Masyarakat DesaPemberdayaan Masyarakat Desa
Pemberdayaan Masyarakat Desa
 
Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses
Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan ProsesPerencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses
Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses
 
Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...
Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...
Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru Hijau Tangguh dan Sejahte...
 
Contoh surat peminjaman ruang
Contoh surat peminjaman ruangContoh surat peminjaman ruang
Contoh surat peminjaman ruang
 
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan DaerahIsu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Akuntansi Investasi PEMDA
Akuntansi Investasi PEMDAAkuntansi Investasi PEMDA
Akuntansi Investasi PEMDA
 
lembaga keuangan internasional
lembaga keuangan internasionallembaga keuangan internasional
lembaga keuangan internasional
 
Perencanaan sektor publik
Perencanaan sektor publikPerencanaan sektor publik
Perencanaan sektor publik
 
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung WaletPajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet
 
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNANEVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
 
Sistem Anggaran
Sistem AnggaranSistem Anggaran
Sistem Anggaran
 
Formulasi kebijakan
Formulasi kebijakanFormulasi kebijakan
Formulasi kebijakan
 
Makalah PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Makalah PERENCANAAN PEMBANGUNANMakalah PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Makalah PERENCANAAN PEMBANGUNAN
 
Contoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswa
Contoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswaContoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswa
Contoh Naskah pelantikan dan sumpah jabatan badan eksekutif mahasiswa
 
Presentasi asuransi syariah
Presentasi asuransi syariahPresentasi asuransi syariah
Presentasi asuransi syariah
 
Sistem kepariwisataan
Sistem kepariwisataan Sistem kepariwisataan
Sistem kepariwisataan
 
Organisasi sektor publik
Organisasi sektor publikOrganisasi sektor publik
Organisasi sektor publik
 
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah - 2
 

Similar to PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS

Ppt seminar isu
Ppt seminar isuPpt seminar isu
Ppt seminar isu
Zuda Rohmah
 
Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)
Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)
Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)
infosanitasi
 
Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5
Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5
Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5
Jiantari Marthen
 
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021
sindi dwi
 
Makalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARA
Makalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARAMakalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARA
Makalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARA
detinurkhayati
 
Makalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publikMakalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publik
Ajeng Pipit
 
Sintia 'amelia w.h laporan kkn unusida 2021
Sintia 'amelia w.h   laporan kkn unusida 2021Sintia 'amelia w.h   laporan kkn unusida 2021
Sintia 'amelia w.h laporan kkn unusida 2021
SintiaAmelia2
 
Reversing the Resource Curse Indonesia
Reversing the Resource Curse IndonesiaReversing the Resource Curse Indonesia
Reversing the Resource Curse Indonesia
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 
Sponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdf
Sponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdfSponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdf
Sponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdf
DiniSolehati2
 
Pembahasan (ozi)
Pembahasan (ozi)Pembahasan (ozi)
Pembahasan (ozi)Zurna Fida
 
Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...
Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...
Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
 
Akuntansi sektor publik
Akuntansi sektor publikAkuntansi sektor publik
Akuntansi sektor publik
Andi Lala
 
Akuntansi publik1
Akuntansi publik1Akuntansi publik1
Akuntansi publik1
Siti Sahati
 
Pendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covid
Pendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covidPendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covid
Pendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covid
romaliadwiariyanti
 
Makalah kb
Makalah kbMakalah kb
Makalah kb
zuryatiarmi
 
Bekerja sebagai Tim
Bekerja sebagai TimBekerja sebagai Tim
Bekerja sebagai Tim
Serenity 101
 
LAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYA
LAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYALAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYA
LAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYA
LailatulHidayati2
 
OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19
OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19
OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19
SemangatRani
 
Aksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbangAksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbang
Rustan Amarullah
 
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul Ulya
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul UlyaLaporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul Ulya
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul Ulya
NadzirotulUlya
 

Similar to PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS (20)

Ppt seminar isu
Ppt seminar isuPpt seminar isu
Ppt seminar isu
 
Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)
Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)
Buku Putih Sanitasi - 3-4 Studi Data Primer (non-EHRA)
 
Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5
Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5
Makalah akuntansi sektor publik (akuntansi lsm & partai politik) kel. 5
 
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021
 
Makalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARA
Makalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARAMakalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARA
Makalah keuangan OJK SMA NEGERI 1 BAWANG BANJARNEGARA
 
Makalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publikMakalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publik
 
Sintia 'amelia w.h laporan kkn unusida 2021
Sintia 'amelia w.h   laporan kkn unusida 2021Sintia 'amelia w.h   laporan kkn unusida 2021
Sintia 'amelia w.h laporan kkn unusida 2021
 
Reversing the Resource Curse Indonesia
Reversing the Resource Curse IndonesiaReversing the Resource Curse Indonesia
Reversing the Resource Curse Indonesia
 
Sponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdf
Sponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdfSponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdf
Sponsorship-Reuni-AKbar-UB-2018.pdf
 
Pembahasan (ozi)
Pembahasan (ozi)Pembahasan (ozi)
Pembahasan (ozi)
 
Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...
Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...
Bantuan Langsung Tunai - LAPORAN HASIL PENELITIAN KONFLIK SOSIAL kelompok 1 k...
 
Akuntansi sektor publik
Akuntansi sektor publikAkuntansi sektor publik
Akuntansi sektor publik
 
Akuntansi publik1
Akuntansi publik1Akuntansi publik1
Akuntansi publik1
 
Pendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covid
Pendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covidPendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covid
Pendistribusian dana ziswaf di masa pandemi covid
 
Makalah kb
Makalah kbMakalah kb
Makalah kb
 
Bekerja sebagai Tim
Bekerja sebagai TimBekerja sebagai Tim
Bekerja sebagai Tim
 
LAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYA
LAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYALAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYA
LAPORAN KKN UNUSIDA BERDAYA
 
OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19
OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19
OPTIMALISASI CWLS DALAM PEMULIHAN EKONOMI AKIBAT COVID-19
 
Aksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbangAksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbang
 
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul Ulya
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul UlyaLaporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul Ulya
Laporan Akhir KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 Nadzirotul Ulya
 

Recently uploaded

Estimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptx
Estimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptxEstimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptx
Estimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptx
pcaiolenovo20232
 
materi_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdf
materi_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdfmateri_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdf
materi_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdf
WahyudiBudiHarjono
 
PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...
PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...
PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...
YustinusHura1
 
PERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdf
PERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdfPERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdf
PERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdf
OsmanHjAbdulWahid
 
Salinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.com
Salinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.comSalinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.com
Salinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.com
CI kumparan
 
ILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptx
ILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptxILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptx
ILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptx
NinaRahayuBelia
 

Recently uploaded (6)

Estimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptx
Estimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptxEstimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptx
Estimasi Pendapatan Pemerintah Dalam Manajemen Keuangan Daerah.pptx
 
materi_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdf
materi_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdfmateri_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdf
materi_325_5. Materi Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Bimtek MK 22 Nov 2023.pdf
 
PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...
PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...
PPT - Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di...
 
PERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdf
PERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdfPERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdf
PERATURAN KKP (LOJI YANG MENGHENDAKI PERAKUAN KELAYAKAN) 2024.pdf
 
Salinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.com
Salinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.comSalinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.com
Salinan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 kumparan.com
 
ILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptx
ILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptxILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptx
ILMU HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.pptx
 

PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS

  • 1. PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENELITI: SULARSI MUSTAFA AQIB BINTORO ABDUL BAASITH PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENELITI: SULARSI MUSTAFA AQIB BINTORO ABDUL BAASITH PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK: KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENELITI: SULARSI MUSTAFA AQIB BINTORO ABDUL BAASITH
  • 2. i KATA PENGANTAR Secara Geografis, Indonesia yang berbentuk kepulauan, terletak diantara 2 (dua) rangkaian gunung berapi aktif (ring of fire) dan patahan kerak bumi. Akibatnya, Indonesia rentan akan bencana alam, baik yang bersumber dari aktivitas vulkanik ataupun aktivitas tektonik. Selain bencana alam, Indonesia juga sangat rentan terhadap bencana yang diakibatkan aktivitas manusia, seperti banjir dan tanah longsor. Atas fakta diatas tentunya dibutuhkan cadangan dana yang besar guna mengatasi bencana alam dan bencana kemanusiaan yang dapat datang sewaktu-waktu. Beruntung, rakyat Indonesia memiliki jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi. Hal tersebut tentunya sangat membantu dalam memulihkan kondisi masyarakat yang terkena musibah dan terdampak bencana. Maka dari itu dibutuhkan penyelenggara yang menjalankan fungsi intermediasi antara donator dan penerima manfaat. Penyelenggara tersebut akan menjalankan pengumpulan, pengelolaan dan distribusi donasi yang diterima dari donator guna disalurkan kepada penerima manfaat secara efektif, efisien, tepat guna dan tepat sasaran. Sebagaimana lembaga intermediasi pada umumnya, penyelenggara penggalangan dana public/filantropi juga amat bergantung dengan tingkat kepercayaan masyarakat dalam menyalurkan donasinya melalui penyelenggara. Dalam hasil surveinya pada tahun 2007, PIRAC menyatakan bahwa salah satu alasan mayarakat melakukan donasi melalui penyelenggara adalah karena kepercayaan terhadap penyelenggara (22, 3%). Guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas penyelenggara, sudah sepantasnya penyelenggara menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Transparansi yang dimaksud dalam hal ini terkait dengan keterbukaan informasi yang meliputi kemudahan akses informasi dan konten informasi yang disediakan. Sedangkan akuntabilitas erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dan kegiatan penggalangan dana yang dilakukan. Pertanggungjawaban tersebut meliputi, penyusunan laporan keuangan dan kegiatan; penyampaian laporan keuangan dan kegiatan; serta keterlibatan donator dalam penyaluran donasi yang dilakukan. Berangkat dari hal itu, YLKI mencoba memotret permasalahan dalam penggalangan dana public, khususnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam praktek- praktek penggalangan dana public. Selain penerapan transparansi dan akuntabilitas
  • 3. ii penggalangan dana public, YLKI juga mengamati pemenuhan hak donator dan penerima manfaat, serta pemanfaatan sosial media dalam kegiatan penggalangan dana public. Kajian dengan Judul “Praktek Penggalangan Dana Publik: Kajian Terhadap Penerapan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas” ini diharapkan dapat menjadi motor bagi penyelenggara penggalangan dana public dalam melakukan advokasi yang membawa perubahan kebijakan dalam melakukan kegiatan penggalangan dana public yang lebih profesional dan menghargai hak donator serta penerima manfaat. Kajian ini dapat berjalan sebagaimana mestinya dengan dukungan luar biasa dari Tim Pengaduan dan Hukum, khususnya Sularsi, Abdul Baasith dan Mustafa Aqib Bintoro sebagai tim peneliti yang berjuang keras dalam menyelesaikan penelitian ini sebagaimana yang direncanakan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada Oxfam yang dengan luar biasa memberikan support secara materiil maupun immaterial dalam penyelesaian penelitian ini, khususnya kepada Bapak Budi Kuncoro, Bapak Nanang Sudirdja dan Bapak Petrassa Wacana. Kami menyadari kajian dan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan kaidah sebagaimana mestinya. Maka dari itu kami berharap masukan, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan kajian ini kedepannya. Akhir kata semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam dunia filantropi dan penggalangan dana public. Wassalamualaikum Waruhmatullahi Wabarokatuh Tulus Abadi, S.H Ketua YLKI
  • 4. iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………... I DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. iii DAFTAR GRAFIK……………………………………………………………….. v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………... 2 C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 2 D. Metodologi Penelitian dan Surver………………………….. 2 E. Profil Responden…………………………………………… 7 BAB II TINAJUAN UMUM AKUNTABILITAS PENGUMPULAN DANA PUBLIK DI JAKARTA A. Pengertian Akuntabilitas dan Transparansi………………… 10 1. Pengertian Akuntabilitas………………………………… 10 2. Pengertian Transparansi…………………………………. 11 B. Pengertian Pengumpulan Dana Publik dan Dasar Hukum…. 13 C. Review Pengumpulan Dana Publik di Jakarta……………… 14 BAB III POLA MASYARAKAT DALAM BERDONASI DAN PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA A. Pola Masyarakat DKI Jakarta Dalam Berdonasi…………… 20 B. Praktek Penggalangan Dana Publik di DKI Jakarta………... 30
  • 5. iv BAB IV ANALISIS TERHADAP TEMUAN DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENGGALANGAN DANA PUBLIK A. Perizinan Penggalangan Dana Publik/Pengumpulan Uang dan Barang…………………………………………………. 36 B. Pertanggungjawaban Keuangan Hasil Penggalangan Dana Publik……………………………………………………….. 39 C. Keterbukaan Informasi Dalam Penggalangan Dana Publik………………………………………………………. 41 D. Edukasi dan Pembinaan kepada Donatur dan Penerima Manfaat…………………………………………………….. 43 E. Mekanisme Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi………….. 44 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………............ 46 B. Rekomendasi……………………………………….............. 49 Lampiran…………………………………………………………… 54
  • 6. v DAFTAR GRAFIK Grafik. 1 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 7 Grafik. 2 Profil Responden Berdasarkan Kelompok Usia 7 Grafik. 3 Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 8 Grafik. 4 Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama 8 Grafik. 5 Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan 9 Grafik. 6 Tempat Masyarakat Melakukan Donasi 20 Grafik. 7 Faktor Yang Mendorong Masyarakat Melakukan Donasi 21 Grafik. 8 Periode Masyarakat Melakukan Donasi 22 Grafik. 9 Besaran Donasi Masyarakat per Bulan 23 Grafik. 10 Cara Masyarakat Dalam Melakukan Donasi 24 Grafik. 11 Penyertaan Nama Dalam Melakukan Donasi 25 Grafik. 12 Pemahaman Masyarakat Terhadap Hak-Hak Donatur 26 Grafik. 13 Keterlibatan Masyarakat Dalam Program Penyaluran 26 Grafik. 14 Grafik. 15 Persepsi Masyarakat Terhadap Laporan Keuangan Penggalangan Publik Persepsi Masyarakat Terhadap Pendayagunaan Dana Hasil Pengumpulan 27 28 Grafik. 16 Persepsi Masyarakat Terhadap Pemenuhan Hak Donatur 28 Grafik. 17 Grafik. 18 Pemahaman Masyarakat Terhadap Regulasi Pengumpulan Uang dan Barang Masukan Masyarakat Dalam Meningkatkan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik 29 29
  • 7. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Setiap musibah dan bencana yang terjadi memicu kelompok-kelompok masyarakat melakukan pengumpulan dana. Tetapi bagaimana petanggungjawaban (akuntabilitas) dana tersebut? Penelitian yang dilakukan oleh YLKI terhadap 11 lembaga yang aktif mengumpulkan dana bagi korban banjir di Jakarta pada tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 11 lembaga yang melakukan pengumpulan dana, hanya 3 yang berijin (27%). Kemudian dari 11 lembaga yang mengumpulkan dana tersebut, hanya 4 (36%) yang mengirimkan laporan tertulis pertanggungjawaban ke YLKI sebagai donatur. Sedangkan pertanggungjawaban keuangan kepada publik melalui website hanya dilakukan 2 lembaga (18%). Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa aspek akuntabilitas terkait legalitas, transparansi pengumpulan dana, dan pemenuhan hak-hak donatur akan pertanggungjawaban dana yang disumbangkan tersebut masih sangat minim. Karena akuntabilitas minim, penyelewengan dana yang dikumpulkan rawan terjadi. Besarnya potensi penggalangan dana public di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, menarik perhatian bagi seluruh stake holder dalam penggalangan dana. Tercatat menurut survey yang dilakukan oleh PIRAC, rata-rata masyarakat di Indonesia melakukan donasi sebesar Rp. 926.750,-/orang/tahun. Meskipun angka tersebut masih tergolong minim, akan tetapi jika diakumulasikan, potensi dana public di Indonesia mencapai ± 106 Trilyun rupiah atau 5% dari total belanja APBN Indonesia tahun 2015.1 Besarnya potensi tersebut tentunya menjadi amunisi bagi pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan dan kondisi sosial ekonomi bangsa dari kesenjangan sosial ekonomi yang selama ini terjadi. Untuk mencapai hal tersebut tentunya dibutuhkan pemanfaatan atas potensi tersebut secara efektif dan efisien. Selain pemanfaatan secara efektif dan efisien, pengelolaan dana public juga membutuhkan transparansi dan akuntabilitas, mengingat bidang ini sangat terkait dengan tingkat kepercayaan masyarakat atas pemanfaatan yang tepat sasaran dan tepat guna. Namun jangan sampai penggalangan dana yang diadakan dimanfaatkan oleh orang/sekelompok 1 Angka tersebut diperoleh dari (rata-rata donasi per orang berdasarkan hasil survey PIRAC x Jumlah penduduk kelompok produktif di Indonesia Tahun 2015 menurut BPS).
  • 8. 2 tertentu untuk kepentingan mereka sendiri dengan modus penggalangan dana untuk bantuan korban bencana, disabilitas, dhuafa, dan sebagainya. Beberapa permasalahan di atas, YLKI sebagai lembaga yang memiliki mandat untuk memperjuangkan hak-hak donator dan hak-hak masyarakat demi mendapatkan kepastian bahwa penyelenggara penggalang dana public di Indonesia sudah Akuntabel dan Transparan, melakukan penelitian dengan judul “Praktek Penggalangan Dana Publik : Kajian Terhadap Pemenuhan Hak Donatur”. B. Rumusan Masalah Adapun pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana akuntabilitas penggalangan dana publik oleh lembaga penyelenggra pengumpulan dana publik dalam praktik ? 2. Apakah regulasi yang ada sudah mengakomodir kebutuhan dalam praktek penggalangan dana publik ? 3. Bagaiamana praktek pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah? C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Meningkatkan Akuntabilitas Pengumpulan Dana Publik di Indonesia 2. Adanya kajian akuntabilitas pengumpulan dana publik di Indonesia baik berupa kajian regulasi maupun pengumpulan data primer 3. Terinformasinya pengambil kebijakan (pusat dan daerah), publik dan lembaga pengumpulan dana terkait hasil kajian 4. Adanya rekomendasi kepada regulator untuk perbaikan regulasi. D. Metodologi Penelitian dan Survey Penelitian dan Survey ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta. Ada beberapa pertimbangan mengapa penelitian dan survey yang dilakukan dibatasi diwilayah Jakarta, diantaranya karena DKI Jakarta sianggap sebagai miniature Indonesia karena memiliki struktur kependudukan yang kompleks dengan beragam suku, agama, dan ras; DKI Jakarta memiliki struktur sosial yang beragam, mulai dari tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan kemudahan akses informasi; dan yang terakhir karena DKI Jakarta memiliki kedudukan yang istimewa dalam kehidupan bernegara di Indonesia sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis dengan tingkat mobilisasi masyarakat yang tinggi.
  • 9. 3 Penelitian dan Survei yang dilakukan oleh YLKI menggunakan 3 (tiga) metode dalam menemukan fakta lapangan terkait penerapan transparansi dan akuntabilitas dalam praktek penggalangan dana public di Indonesia. Metode tersebut dilakukan dengan cara survey yang dilakukan kepada 100 (seratus) orang responden di DKI Jakarta, wawancara terhadap penyelenggara penggalangan dana public di DKI Jakarta, dan analisis terhadap regulasi yang ada terkait pengumpulan uang dan barang di Indonesia. 1. Metodologi Survey a. Populasi Populasi yang terwakili dalam survey yang dilakukan adalah Masyarakat yang berdomisili atau melakukan rutinitas sehari-hari diwiliayah kota administrative DKI Jakarta, baik di Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat ataupun di Jakarta Timur. b. Metode Penentuan Responden Responden ditentukan secara acak berdasarkan wilayah domisili dan/atau rutinitas kegiatan sehari-hari yang dilakukan. Langkah yang dilakukan dalam menentukan responden adalah sebagai berikut: • Wilayah Survei dibagi menjadi lima berdasarkan lima kota administrative yang ada di DKI Jakarta, yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Barat dengan jumlah responden dari masing-masing kota administrative sebanyak 20 (dua puluh) responden. • Dari tiap kota administrative yang dijadikan lokasi survey, maka ditentukan 5 wilayah tingkat kecamatan secara acak, dengan jumlah responden masing-masing kecamatan sebanyak 4 (empat) orang. • Tim survey lapangan akan mengamati dan memilih 4 (orang) responden secara acak dari masing-masing kecamatan terpilih untuk dilakukan survey dan persepsi atas tema yang ditentukan. c. Metode Wawancara Survey dilakukan dengan cara wawancara secara langsung dan personal dengan responden secara tatap muka (face to face) di lokasi tempat tinggal atau lokasi responden melakukan rutinitas sehati-hari.
  • 10. 4 d. Informasi Yang Dihimpun Survey dan wawancara yang dilakukan kepada konsumen ditujukan untuk mendapatkan beberapa informasi yang dibutuhkan terkait dengan: 1) Tempat penyaluran donasi yang dilakukan oleh masyarakat 2) Faktor yang mendorong masyarakat melakukan donasi pada lembaga tertentu 3) Jumlah donasi dan frekuensi pemberian donasi oleh masyarakat 4) Metode pemberian donasi oleh masyarakat 5) Partisipasi dan keterlibatan masyarakat atas pemanfaatan dana hasil sumbangannya 6) Pemahaman masyarakat atas haknya sebagai donatur 7) Persepsi masyarakat atas praktek transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana public Tabel. 1 Responden Terpilih Berdasarkan Wilayah Lokasi Domisili dan/atau Rutinitas Sehari-Hari NO Kota Administratif Kecamatan Jumlah Responden 1 Jakarta Selatan Pancoran 4 Pasar Minggu 4 Mampang Prapatan 4 Tebet 4 jagakarsa 4 2 Jakarta Barat Palmerah 4 Tambora 4 Taman Sari 4 Kebun Jeruk 4 Cegkareng 4 3 Jakarta Pusat Sawah Besar 4 Tanah Abang 4 Cempaka Putih 4
  • 11. 5 Johar Baru 4 Kemayoran 4 4 Jakarta Timur Pasar Rebo 4 Duren Sawit 4 Kramat Jati 4 Cipayung 4 Matraman 4 5 Jakarta Utara Pademangan 4 Penjaringan 4 Cilincing 4 Kelapa Gading 4 Tanjung Priuk 4 Jumlah 100 2. Metodologi Wawancara a. Penentuan Narasumber Dalam menentukan narasumber untuk keperluan wawancara terhadap penyelenggara penggalangan dana public dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 1) Pengelompokkan terhadap penyelenggara penggalangan dana public yang dibagi kedalam, penyelenggara berbasis keagamaan; berbasis sosial kemanusiaan; LSM; berbasis Korporasi; berbasis media massa. 2) Responden ditentukan berdasarkan prinsip keterwakilan kelompok penyelenggara penggalangan dana public. 3) Permintaan wawancara secara tertulis kepada 37 (tiga puluh tujuh) penyelenggara penggalangan dana public dari berbagai kelompok penyelenggara. 4) Dari 37 (tiga puluh tujuh) penyelenggara penggalangan dana public, 17 penyelenggara merespon dan bersedia untuk diwawancarai, dan memiliki perwakilan dari tiap kelompok penyelenggara. 5) 17 (tujuh belas) penyelenggara yang bersedia untuk diwawancarai meliputi, penyelenggara berbasis keagamaan (Dompet Dhuafa, LAZISNU, BAZNAS, BAMUIS BNI, Portal Infaq, Baituzzakat
  • 12. 6 Pertamina, Al-Azhar Peduli Umat, Baitul Mal Muamalat), berbasis sosial kemanusiaan (Mer-C, Yayasan Dulur Salembur, ACT), LSM (ICW dan Walhi), berbasis korporasi (Indomaret, Alfamart), dan berbasis media massa (el-shinta peduli dan peduli kasih indosiar). b. Metode Wawancara Wawancara dilakukan secara langsung dan personal kepada narasumber secara tatap muka (face to face) di lokasi kantor penyelenggara penggalangan dana public yang dimaksud. c. Informasi yang Dihimpun Wawancara yang dilakukan kepada penyelenggara penggalangan dana public bertujuan untuk menghimpun informasi yang terkait: • Kategori penyelenggara dan cakupan wilayah penggalangan dana public • Aspek legalitas penyelenggara dalam melakukan penggalangan dana public • Proporsi dana hasil penggalangan yang diperuntukkan untuk kegiatan operasional • Peran penyelenggara penggalangan dana public dalam aktivitas pengumpulan uang dan barang • Metode penawaran dan pemasaran yang dilakukan penyelenggara dalam aktifitas penyelenggaran penggalangan dana public • Metode penerimaan donasi oleh penyelenggara dalam penggalangan dana public yang disalurkan masyarakat • Praktek edukasi masyarakat yang dilakukan penyelenggara terkait hak donator • Bentuk penerapan transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan oleh penyelenggara dalam hal pemberian informasi atas penerimaan dan pemanfaatan dana public • Persepsi penyelenggara atas kendala yang dihadapi dalam penggalangan dana public
  • 13. 7 E. Profil Responden Survey dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2016. Berdasarkan survey yang dilakukan diketahui bahwa responden memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 50% laki-laki dan 50% perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik.1 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Kedua, berdasarkan usia responden menunjukkan sebagian besar responden berada pada rentang usia 36 – 45 tahun (25%). Selanjutnya disusul pada rentang usia dibawah 25 tahun (22%), 26 – 35 tahun (22%), 46 – 55 (21%), dan diatas 56 tahun (10%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik. 2 Profil Responden Berdasarkan Kelompok Usia laki-laki 50% perempuan 50% 0% 5% 10% 15% 20% 25% dibawah 25 26 - 35 36 - 45 46 - 55 diatas 56 22% 22% 25% 21% 10%
  • 14. 8 Ketiga berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas responden dalam survey ini berpendidikan SMA/sederajat (57%), kemudian D3 keatas (21%), SMP/sederajat (14%) dan terakhir SD/sederajat (8%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik. 3 Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Keempat, terkait dengan pekerjaan, sebagian besar responden berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (29%), disusul oleh karyawan swasta (23%), wiraswasta (20%), pelajar/mahasiswa (8%), TNI/POLRI/PNS (5%), profesional (1%) dan lain-lain (13%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari grafik berikut. Grafik. 4 Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama SD 8% SMP 14% SMA 57% D3 keatas 21% 5% 23% 8% 1% 20% 29% 13% 1% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% TNI/POLRI/PNS karyawan swasta pelajar/mahasiswa profesional wiraswasta IRT lain-lain tidak tahu
  • 15. 9 Dari sisi penghasilan, sebagian besar responden berpenghasilan di angka 2 – 4juta rupiah perbulan (47%), kemudian dibawah 2 juta (33%), 4-6 juta (11%), 6 – 8 juta (5%), 8 – 10 juta (3%), dan tidak menjawab (1%). Lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik. 5 Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan (dalam rupiah) 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% dibawah 2juta 2juta - 4 juta 4 - 6 juta 6 - 8 Juta 8 - 10 juta diatas 10 juta tidak tahu 33% 47% 11% 5% 3% 0% 1%
  • 16. 10 BAB II TINJAUAN UMUM AKUNTABILITAS PENGUMPULAN DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA A. Pengertian Akuntabilitas dan Transparansi 1. Pengertian Akuntabilitas Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan. Hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan- perusahaan.2 Apabila melihat pengertian akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Kep/26/M.PAN/2/2004 maka pengertiannya adalah dapat mempertanggungjawabkan kinerja, biaya serta produk dari pelayanan public kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menurut Rustam Ibrahim dalam dunia LSM Akuntabilitas adalah suatu proses di mana LSM Menganggap dirinya bertanggungjawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan transparan, mudah diperoleh dan dijangkau oleh masyarakat. Secara operasional, 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas diunduh pada 25 Mei 2016 jam 10:43
  • 17. 11 akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), Pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding).3 Sedangkan menurut HAP (Humaniturian Accountability Principles- International), tingkat akuntabilitas pengelolaan bantuan kemanusiaan khususnya untuk bencana tidak terlepas dari kualitas bantuan dan pelayanan yang diberikan kepada para penerima bantuan. Kualitas juga termasuk di dalamnya adalah akuntabilitas kepada para staf sebagaimana yang menjadi semangat di dalam People in Aid karena perhatian yang sama juga harus diberikan kepada para personil organisasi penyedia bantuan, dimana mereka membutuhkan peningkatan kualitas dan fasilitas. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan bantuan kemanusiaan merupakan upaya pengentasan kesengsaraan dan kesedihan para korban sekaligus para personil kemanusiaan itu sendiri.4 Akuntabilitas dimaknai secara beragam dalam hal pengertian, unsur-unsur di dalamnya, maupun dimensi cakupannya. Oleh karena itu dalam pembahasan ini akuntabilitas yang dibahas adalah akuntabilitas dalam penyelenggaraan penggalangan dana public. Sehingga pemaknaan akuntabilitas ini dapat disimpulkan adalah sebagai upaya pertanggungjawaban atas semua program dan kegiatan yang dilakukan dan diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan atau dalam bentuk suatu laporan kepada pemerintah, donator maupun kepada khalayak public. 2. Pengertian Transparansi Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Transparansi memiliki beberapa makna, antara lain:Dalam dunia optik; keadaan yang memungkinkan cahaya untuk menembusinya. Benda-benda yang memiliki keadaan ini disebut transparan. Transparansi (politik), berarti keterbukaan dalam melakukan segala kegiatan organisasi..dapat berupa keterbukaan informasi, komunikasi, bahkan dalam hal budgeting. Transparansi (komputasi), terutama berkaitan dengan sistem terdistribusi.5 3 Adhi Santika, Akuntabilitas dan Transparansi LSM: suatu sumbangan pemikiran dalam Kritik dan Otoritik LSM, (Jakarta: Piramedia, 2014), Hal. 62. 4 Ninik Anisa, Berkenalan Dengan Enam Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan, (Depok: Piramedia,2012), Hal. 21. 5 https://id.wikipedia.org/wiki/Transparansi diunduh 26 Mei 2016 jam 10:11
  • 18. 12 Apabila melihat pengertian akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Kep/26/M.PAN/2/2004 maka pengertiannya adalah pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksaan, dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi. Transparansi atau keterbukaan berarti keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dengan cara atau mekanisme yang mengikuti aturan atau regulasi yang ditetapkan oleh lembaga. Transparansi juga bisa berarti berarti bahwa informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta bisa diakses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh organisasi tersebut.6 Transparansi atau keterbukaan berarti keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dengan cara atau mekanisme yang mengikuti aturan atau regulasi yang ditetapkan oleh lembaga. Transparansi juga bisa berarti berarti bahwa informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta bisa diakses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh organisasi tersebut.7 Pada saat ini tuntutan transparansi dan akuntabilitas tidak hanya ditujukan kepada pemerintah namun juga kepada LSM, Yayasan maupun dalam hal ini penyelenggara penggalangan dana publik. Tuntuan ini berdasarkan logika bahwa kalangan pengkritik tentu harusnya lebih baik, lebih bersih dari kalangan yang dikritik.8 Dalam hal transparansi penyelenggaraan penggalangan dana public dapat disimpulkan bahwa kegiatan tersebut maupun hal terkait dengan uang masuk dan keluar harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat, kepastian dan rincian biaya jelas diinformasikan, memberikan bukti uang masuk maupun keluar dalam bentuk tanda bukti resmi, dan dapat bertanggungjawab atas semua persoalan atau sengketa yang muncul. 6 Adhi Santika, Op.cit.,Hal. 63-64. 7 Ibid, Hal. 63-64. 8 Ibid, Hal. 72.
  • 19. 13 B. Pengertian pengumpulan Dana Publik dan Dasar Hukumnya Di Indonesia kegiatan pengumpulan dana public untuk kegiatan social banyak sebutannya mulai dari sedekah, jimpitan, parelek, buah bungaran dan sebagainya. Namun ada istilah asing yang popular dikalangan penyelenggara dana bahwa kegiatan kedermawanan, menyumbang, bersedekah disebut Filantropi. Kata atau terminology Filantropi (Philantthropy) berasal dari 2 kata bahasa Yunani, yaitu ‘philos’ yang berarti cinta dan anthropos yang artinya manusia. Gabungan dari kedua kata terssbut menghasilkan kata Philanthropy yang bermakna “ungkapan cinta kasih kepada sesame manusia”9 . Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, “Filantropi” mungkin tergolong kata atau istilah baru yang belum banyak dipahami dan digunakan.10 Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang, pengertian Pengumpulan Uang dan barang adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan. Sedangkan menurut Peraturan Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 186 tahun 2010 tentang Pemberian Izin atau Rekomendasi Pengumpulan Uang dan/atau Barang , pengertian Pengumpulan uang dan/atau barang yang dilaksanakan oleh penyelenggara dalam bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan, olahraga, dan pemuda serta kebudayaan. Di Indonesia pengaturan bentuk pengaturan terkait pengumpulan uang dan/atau barang atau penyelenggaraan pengumpulan dana public diatur melalui beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain : 1. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan; 3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan Untuk Korban Bencana; 4. Keputusan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Oleh Masyarakat; 5. Peraturan Menteri Sosial Nomor 14 Tahun 2012 tentangPengelolaan Hibah Langsung Dalam Negeri; dan 9 Hamid Abdidn, Nur Hiqmah, Ninik Annisa, dan Maifi Eka Putra, Membangun Akuntabilitas Filantropi Media Massa, (Jakarta: Piramedia,2013), Hal.17 10 Ibid, Hal. 18
  • 20. 14 6. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Sedangkan pengaturan pengumpulan dana public yang dilakukan oleh pemerintah diatur dalam : 1. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengumpulan dan Penggunaan Sumbangan Masyarakat Bagi Penanganan Fakir Miskin. Di Jakarta, Pengaturan terkait penyelenggaraan pengumpulan dana public diatur melalui Peraturan Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 186 tahun 2010 tentang Pemberian Izin atau Rekomendasi Pengumpulan Uang dan/atau Barang C. Review Pengaturan Pengumpulan Dana Publik di DKI Jakarta Di tahun 2016 ini Undang-Undang Pengumpulan Uang dan Barang sudah teramat lama seiring berjalannya waktu ditambah dengan derasnya laju pembangunan, bahkan menurut Ibu Dian dalam paparan saat FGD Pengumpulan Uang dan Barang yang dilakukan oleh YLKI 3 Mei 2016 dinyatakan bahwa Undang-Undang ini dianggap masih lemah dan belum mengakomodir kebutuhan masyarakat saat ini sehingga diperlukan revisi terhadap undang-undang tersebut. Perlu ada pembenahan di aspek regulasi. Undang-undang maupun aturan perundang-undangan terkait dianggap masih sangat umum, kurang spesifik dan detail bahkan sudah tidak mangakomodir kemajuan teknologi dalam model perkembangan penyelenggaraan penggalangan dana public yang saat ini sudah sangat beragam. Adapun beberapa hal yang perlu ditinjau ulang kembali terhadap pengaturan penyelenggaraan penggalangan dana public, kami dari tim YLKI berpendapat diantaranya adalah : 1. Hak Donatur Minimnya pengaturan terkait hak donator dalam peraturan perundang- undangan terkait penyelenggaraan penggalangan dana public dapat dilihat dari hanya ada satu pasal yang mengatur terkait perlindungan hak atas donator dan masyarakat secara umum, dalam pasal 5 Kepmensos No. 56/HUK/1996 Tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Oleh Masyarakat yang isinya berbunyi “Pengumpulan Sumbangan harus dilaksanakan secara terang-terangan dengan sukarela, tidak dengan paksaan, ancaman, kekerasan dan/atau cara-cara yang dapata menimbulkan kegelisahan di lingkungan masyarakat baik langsung maupun
  • 21. 15 tidak langsung”. Adapun pengaturan sejenis tercantum dalam pasal 3 Kepmensos No.1/HUK/1995. Apabila melihat Hak-Hak Donatur dalam Donor Bill Of Right ada 8 hak yang harusnya dipenuhi oleh penyelenggara penggalang dana public sedangkan dalam pasal tersebut hanya sebagian kecil dari 8 hak yang ada dalam Donor Bill Of Right. Adapun Donor Bill Of Right tersebut antara lain :11 1) Hak untuk mengetahui misi organisasi yang disumbang, tujuan, dan kemampuan organisasi dalam menggunakan sumbangan 2) Hak untuk mengetahui mereka yang duduk dalam dewan pengurus organisasi yang disumbang, serta meminta dewan pengawas untuk secara cermat menilai tanggungjawab dewan pengurus; 3) Hak untuk menerima laporan keuangan organisasi secara transparan; 4) Hak mendapatkan kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal yang telah disepakati bersama; 5) Hak mendapat kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal yang telah disepakati bersama; 6) Hak untuk mengetahui apakah pihak yang meminta sumbangan adalah staf organisasi atau sukarelawan; 7) Hak mendapat keleluasaan untuk bertanya dan menerima jawaban secara cepat, tepat, dan jujur; 8) Hak untuk meminta agar namadonatur tidak diumumkan secara terbuka dan donator berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak. 2. Prosedur izin Prosedur izin jelas diatur baik melalui UU No.9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, PP No. 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, Kepmensos No.1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan Untuk Korban Bencana dan Kepmensos No.56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat, mulai dari tahapan Kabupaten Kota hingga Nasional namun banyak keluhan dari lembaga terkait proses perizinan di dinas yang memakan waktu cukup lama sedangkan waktu masa berlaku izin hanya 3 bulan, sehingga perlu diatur prosedur perizinan yang lebih 11 http://ylki.or.id/2015/01/mengupas-transparansi-penggalangan-dana-publik/ diunduh pada 26 Mei 2016 jam 2:14
  • 22. 16 mudah dan singkat namun tetap tercontrol bahkan perlu juga diatur perizinan tahunan karena focus kegiatan lembaga pengumupulan barang dan/atau uang sudah cukup banyak, baik yang berasal dari komunitas, lembaga social, media, koorporasi maupun keagamaan 3. Pengelompokan Penyelenggara dan Penyesuaian Perkembangan Teknologi Kemajuan tekonologi semakin berkembang, sebagai contoh saat ini hasil dari penelitian YLKI menyebutkan 25% lembaga melibatkan pihak ketiga (terutama media online) dalam melakukan publikasi/promosi program pengumpulan uang dan/atau barang. Hal yang menjadi titik lemah adalah belum adanya aturan yang jelas terkait timbulnya beberapa jenis lembaga (baik lembaga yang hanya mengumpulkan, hanya menyalurkan atau lembaga yang melakukan kedua-duanya), belum jelasnya aturan perizinan bagi lembaga tersebut, proporsi yang berhak diambil dari hasil pengumpulan maupun tanggungjawab dari masing-masing lembaga tersebut dan apakah untuk kedepan pengumpul dan penyalur dari perorangan diperbolehkan (karena belum diatur, yang diatur dan diperbolehkan hanya dari organisasi). Perlu juga dipertimbangkan perbedaan pengaturan untuk jenis lembaga yang berasal dari media, koorporasi, ormas, yayasan atau lembaga khusus pengumpul dan penyalur. Pengaturan terkait lembaga pengumpul dana apakah diharuskan membuat lembaga atau yayasan tersendiri dikarenakan saat ini masih banyak lembaga pengumpul dana yang berasal dari koorporasi maupun media belum mendirikan yayasan atau lembaga yang terpisa dan independen dalam mengelola maupun mengatur khusus atas program penggalangan tersebut demi membangun akuntabilitas dan transparansi lembaga pengumpul maupun penyalur uang dan/atau barang yang professional. Semakin beragamnya jenis lembaga pengumpul uang dan/atau barang mendorong pemerintah untuk mengatur lebih jelas terkait proporsi pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan, apakah disamaratakan semua lembaga berhak mendapatkan 10% ataukah hanya lembaga yang berusaha mengumpulkan (yang melakukan publikasi) karena dalam prakteknya proporsi tersebut digunakan bukan hanya untuk usaha pengumpulan namun untuk operasional penyaluran.
  • 23. 17 4. Mekanisme pelaporan Salah satu kewajiban lembaga pengelola sumbangan adalah membuat laporan tertulis mengenai pertanggungjawaban program dan keuangan di akhir program.12 Mekanisme pelaporan sudah jelas diatur dalam UU No.9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, PP No. 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, Kepmensos No.1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan Untuk Korban Bencana dan Kepmensos No.56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat namun mengapa masih banyak lembaga yang awam prosedur pelaporannya, maka perlu ada evaluasi dari pemerintah apakah ini karena regulasinya yang tidak jelas, tidak ada sosialisasi terkait hal tersebut, lembaga yang tidak mau tahu menau, atau sanksi yang tidak tegas atas pelanggaran kewajiban pelaporan tersebut. Bahkan dalam aturan yang ada belum ada yang mengatur kewajiban setiap lembaga untuk diaudit setiap tahunnya dari audit internal mapun audit public independent. Dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak ada yang mewajibkan pelaporan disampaikan kepada donator yang bersangkutan baik secara langsung mapun tidak langsung. Bahkan saat ini sebagian lembaga yang melakukan penggalangan dana publik, belum sepenuhnya memberi perhatian yang memadai tentang arti pentingnya hak-hak donatur. Kewajiban untuk melaporkan hasil pengumpulan dan penggunaan hanya diwajibkan melaporkan kepada pejabat pemberi izin sedangkan laporan kepada masyarakat tidak diatur kewajibannya, padahal masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tersebut, bahkan poin-poin terkait hak-hak donator belum banyak diatur di undang-undang maupun aturan turunannya sehingga untuk peraturan yang dibuat kemudian perlu diatur kewajiban bagi lembaga pengumpul maupun penyalur untuk memenuhi hak-hak seorang donator baik informasi hasil pengumpulan maupun penggunaannya yang dapat diakses setiap waktunya melalui website (sedangkan masih banyak penyelenggara yang tidak mengupdate website laporan kegiatan maupun keuangan mereka saat kami telusuri) atau bahkan tidak mendapatkan laporan kecuali diminta terlebih dahulu, maupun tidak diikut sertakan dalam penggunaan hasil dana yang terkumpul. 12 Op.cit., Hal.87.
  • 24. 18 Hal yang tidak kalah penting dalam penggalangan dana publik adalah aspek transparansi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit dalam website lembaga, sehingga dengan mudah dapat diakses oleh donatur/publik. Akuntabilitas merupakan kewajiban yang hendaknya dilakukan oleh setiap lembaga yang menggalang, mengelola dan menyalurkan sumbangan, baik pihak pemerintah maupun swasta, dalam hal ini adalah yayasan social, LSM, maupun media massa Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan tidak hanya kepada donator maupun pemerintah, akan tetapi masyarakat umum dan penerima manfaat. Mereka juga berhak untuk turut serta dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program yang didanai oleh sumbangan.13 Transparansi dan akuntabilitas merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebuah penyelenggara penggalangan dana public dalam rangka member keleluasaan akses kepada masyarakat agar mengetahui kemana dan untuk apa sumbangan yang mereka berikan. Transparansi dan akuntabilitas selama ini dipercaya sebagai salah saru factor penting dalam rangka meningkatkan kredibilitas lembaga pengelola sumbangan yang pada ujungnya menarik minat masyarakat untuk memberikan donasinya.14 Dalam hal transparansi sebenarnya apakah setiap lembaga harus transparan kepada public secara keseluruhan ataukah transparan kepada donator dan pemerintah saja sedangkan sejauh mana transparansi harus dilakukan? Apakah setiap uang yang masuk ke penyelenggara penggalangan dana publik harus diumumkan? Apakah setiap asal uang yang masuk harus dicantumkan, ataukah cukup totalnya saja? Apakah setiap kegiatan harus transparan dan akuntabel atau cukup laporan akhir kegiatan saja? 5. Sanksi Bagi Pelanggar Maupun Tindak Pidana Pasal 8 UU No. 9 tahun 1981 yang mengatur terkait Sanksi bagi pelanggar dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, jika sanksi pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dinilai tidak memberikan efek jera bagi si pelaku, bahkan jika denda setingi-tingginya masih sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) jika memang terbukti usaha pengumpulan tersebut adalah untuk 13 Ibid., Hal. 19 14 Abidin Hamid, Berbagi Untuk Negeri : Pola Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil Survei Sebelas Kota di Indonesia, (Depok :Piramedia,2008), Hal.78.
  • 25. 19 memperkaya diri sendiri dengan modus pengumpulan sumbangan masyarakat mengapa tidak diberikan ancaman hukuman sebagaimana tindak pidana penipuan (ancaman kurungan maksimal 4 tahun) atau bila terjadi penggelapan uang sumbangan maka diancam sebagaimana hukuman pidana penggelapan, jika memang hanya masalah perizinan bisa melakukan upaya tindakan teguran, sanksi larangan melakukan kegiatan hingga tahap pemidanaan bila memang dengan sengaja melakukan pelanggaran. Bila berkaca pada UU Pengelolaan Zakat, maka pengaturan terkait sanksi terbagi atas sanksi administrative, larangan, dan sanksi pidana sehingga pengaturan untuk perbaikan undang-undang selanjutnya bisa disusun seperti UU Pengelolaan Zakat.
  • 26. 20 BAB III POLA MASYARAKAT DALAM BERDONASI DAN PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA A. POLA MASYARAKAT DKI JAKARTA DALAM BERDONASI 1. TEMPAT MASYARAKAT MELAKUKAN DONASI Dalam melakukan Donasi, masyarakat biasanya menyalurkan melalui 3 (tiga) cara, yakni secara langsung kepada penerima manfaat (beneficiary), disalurkan melalui lembaga atau kepanitiaan yang terorganisir dan melalui rumah ibadah.. berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh YLKI, 18% (delapan belas persen) masyarakat melakukan donasi melalui lembaga penggalangan dana public yang terorganisir, 26% (dua puluh enam persen) masyarakat melakukan donasi secara langsung kepada perorangan penerima manfaat (beneficiary) , dan 53% (lima puluh tiga persen) melakukan donasi melalui rumah ibadah. Sedangkan 3% (tiga persen) lainnya menjawab tidak tahu atau lain-lain. Grafik 6. Tempat Masyarakat Melakukan Donasi Bila diperhatikan, jumlah masyarakat yang melakukan donasi melalui rumah ibadah menunjukkan bahwa meskipun telah banyak penyelenggara penggalangan dana public yang berbasis gerakan keagamaan, masih banyak menganggap donasi sebagai bentuk dan bagian dari menjalankan kewajiban keagaaman yang harus lembaga penggalangan, 18% rumah ibadah, 53% perorangan, 26 % lain-lain, 2% tidak tahu, 1%
  • 27. 21 dilakukan melalui rumah ibadah, seperti dalam islam yang dikenal dengan istilah infaq dan sodaqoh dan sepersepuluhan dalam ajaran kristiani. Dari jumlah masyarakat yang memilih melakukan donasi melalui lembaga penyelenggara penggalangan dana public, faktor yang menentukan atas sikap tersebut mayoritas (72%) dikarenakan atas kepercayaan terhadap kredibilitas penyelenggara, sedangkan 17% (tujuh belas persen) menyatakan karena diinformasikan secara langsung, 11% (sebelas persen) karena alas an lokasi penyelenggara yang mudah dijangkau, karena program dan aspek perizinan sebesar 6% (enam persen), dan 17% (tujuh belas persen) dikarenakan faktor lain. Grafik.7 Faktor Yang Mendorong Masyarakat Melakukan Donasi Data tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan factor penting untuk mendorong masyarakat melakukan donasi. Untuk menjaga kepercayaan maka dibutuhkan kode etik yang harus diperhatikan. Berikut adalah 10 (sepuluh) prinsip dasar (etika) dalam menjalankan kegiatan penggalangan dana:15 1. Mempunyai keyakinan terhadap usaha yang dilakukan 2. Setiap usaha penggalangan perlu disertai dengan pesan yang mendidik 3. Penggalangan harus dilakukan secara professional dan positif 4. Membuka peluang masyarakat untuk ikut member dalam setiap kesempatan. 5. Jangan lupakan relawan 15 BJD Gayatri, 10 Prinsip Dasar: Pelaksanaan Penggalangan Dana. Buletin Galang, edisi kedua tahun 1, Februari 2001, hal. 6 percaya dengan kredibilitas mendapat informasi lokasi program perizinan lain-lain 72% 17% 11% 6% 6% 17%
  • 28. 22 6. Luwes dan jangan selalu meminta uang 7. Ingat prinsip “Hati bukan pikiran” 8. Jaga hubungan dengan para donatur 9. Mencoba menghubungkan segala kegiatan dengan para penyumbang 10. Bangun sikap jujur dan terbuka 2. POTENSI DONASI MASYARAKAT Sebagai Negara yang masih menjunjung tinggi budaya timur, masyarakat Indonesia terkenal akan sikap kepedulian terhadap sesama. Istilah gotong royong di kalangan masyarakat jawa, masih amat kental di Negara ini. Sehingga tidak mengherankan bila Indonesia dikategorikan sebagai Negara dermawan yang memiliki potensi dana public yang sangat besar.16 Hasil survey yang dilakukan YLKI menunjukkan, 32 % (tiga puluh dua persen) masyarakat rutin melakukan donasi secara mingguan melalui berbagai media, 32% (tiga puluh dua persen) berikutnya rutin melakukan donasi secara bulanan, 12 % (dua belas persen) melakukan donasi secara tahunan, dan 7% (tujuh persen) melakukan donasi secara harian, sedangkan 17% (tujuh belas persen) sisanya menjawab lain. Grafik. 8 Periode Masyarakat Melakukan Donasi 16 Hamid Abidin dan Kurniwati (ed), Berbagi Untuk Negeri: Pola dan Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil Survey di Sebelas Kota di Indonesia (2000, 2004, dan 2007), (Jakarta: Piramedia, 2008), hal. 28. harian mingguan bulanan tahunan lain-lain 7% 32% 32% 12% 17%
  • 29. 23 Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sangat sering dalam melakukan donasi sekaligus sangat peduli terhadap sesama dan seringkali melakukan donasi secara spontan terhadap isu-isu sosial yang ditemui secara langsung. Terkait besaran nominal donasi yang diberikan masyarakat, tentunya sangat bergantung kepada besaran pendapatan yang diterima masyarakat tiap bulannya. Mayoritas 58% (lima puluh delapan persen) masyarakat melakukan donasi dengan nominal dibawah Rp 100.000,-/bulan atau dibawah Rp. 1.200.000,- /tahunnya, 28% (dua puluh delapan persen) melakukan donasi sebesar Rp. 100.000 – Rp. 300.000,-/ bulan atau Rp. 1.200.000 – Rp. 3.600.000,-/tahun. Sedangkan yang menyumbang diatas itu ada 14% (empat belas persen) masyarakat. Grafik. 9 Besaran Donasi Masyarakat per Bulan 3. CARA MASYARAKAT MELAKUKAN DONASI Besarnya potensi donasi yang dilakukan masyarakat tentu harus diimbangi dengan beragamnya media yang disediakan penyelenggara penggalangan dana public agar tidak menyulitkan niat baik masyarakat dalam berderma/berdonasi untuk membantu sesama. Tercatat sudah banyak penyelenggara yang menyediakan beragam fasilitas dan media yang dapat digunakan masyarakat dalam melakukan donasi, seperti melalui fasilitas perbankan (transfer/autodebit), penjualan merchant, donasi secara online, hingga fasilitas autopay (pemotongan gaji secara langsung). 58%28% 8% 6% <100ribu 100ribu-300ribu 300ribu-500ribu diatas 500ribu
  • 30. 24 Akan tetapi menurut survey yang dilakukan oleh YLKI, 95% (Sembilan puluh lima persen) masyarakat masih kerap melakukan donasi secara tunai, baik dengan menyalurkan langsung kepada penerima manfaat, ataupun kepada penyelenggaraan melalui kotak donasi/amal, sedangkan baru sebesar 7% (tujuh persen) masyarakat yang kerap menggunakan fasilitas perbankan (transfer/auto debit) dalam melakukan donasi. Dan 1% (satu persen) yang kerap memanfaatkan layanan jemput donasi. Meskipun demikian, penyelenggara penggalangan dana public yang terorganisir mulai merasakan migrasi yang dilakukan oleh donaturnya, dimana sudah banyak masyarakat yang berdonasi memanfaatkan fasilitas perbankan. Grafik 10. Cara Masyarakat Dalam Melakukan Donasi Selain cara penyerahan donasi, mayoritas masyarakat juga kerap tidak menyebutkan nama apabila tidak diminta dalam melakukan donasi. Tercatat menurut survey YLKI 79% (tujuh puluh sembilan persen) masyarakat tidak menyertakan nama tanpa diminta oleh penyelenggara penggalangan dana public. Sedangkan 21% (dua puluh satu persen) sisanya selalu menyertakan nama dalam melakukan donasi meskipun tidak diminta. 95% 6% 1% 1% tunai transfer auto debet lainlain (dititipkan)
  • 31. 25 Grafik. 11 Penyertaan Nama Dalam Melakukan Donasi Hal tersebut memperkuat asumsi bahwa masyarakat masih beranggapan bahwa donasi, yang merupakan bagian dari ibadah, harus dirahasiakan guna menjaga sisi keikhlasan donator dan menjaga pahala melakukan donasi tidak hilang akibat penyertaan nama yang terkesan tidak ikhlas dalam menyalurkan donasi. Hal tersebut merupakan persepsi yang keliru, meskipun donator memiliki hak untuk merahasiakan identitas, penyertaan nama tetap merupakan hal yang penting utamanya dalam hal pengelolaan dana public yang dilakukan penyelenggara guna memudahkan penyaluran dan pelaporan hasil penyaluran dana public tersebut. 4. PEMENUHAN HAK DONATUR Suatu NGO di Amerika pernah merumuskan hak-hak yang harus dimiliki oleh donator atau biasa disebut Donor Bill of Rights yang secara garis besar meliputi hak atas informasi, hak atas kepastian penyaluran, hak atas kerahasiaan identitas, dan hak untuk bertanya serta mendapatkan jawaban yang jujur, cepat dan benar dari penyelenggara. Pemenuhan hak tersebut, utamanya hak atas informasi, bertanya dan kepastian penyaluran sangat penting dan erat kaitannya dalam transparansi dan akuntabilitas penyelenggara penggalangan dana public. Mengingat lembaga yang transparan dan akuntabel tentunya tidak akan ragu untuk menyampaikan seluruh aktifitas pengelolaan dan penyaluran donasi masyarakat secara terbuka. ya 21% tidak 79%
  • 32. 26 Terkait pemenuhan hak donator utamanya yang sangat terkait dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan penggalangan dana public, YLKI menanyakan keterlibatan masyarakat atas program yang dilakukan penyelenggara dan pemahaman masyarakat atas haknya sebagai donator. Menariknya pemahaman masyarakat terhadap hak donator masih sangat lemah dan kurang. Tercatat baru 20% (dua puluh persen) masyarakat yang mengetahui hak- hak donator yang sebagian besar diketahui baik dari iklan media massa maupun penyelenggara penggalangan dana public dan hanya sekitar 36% (tiga puluh enam persen) masyarakat yang pernah terlibat secara langsung terhadap program yang menggunakan donasi yang disalurkan oleh masyarakat. Grafik. 12 Pemahaman Masyarakat Terhadap Hak-Hak Donatur Grafik. 13 Keterlibatan Masyarakat Dalam Program Pemanfaatan/Penyaluran ya 20% tidak 80% ya 36% tidak 64%
  • 33. 27 Atas hal tersebut setidaknya ada 2 (dua) kemungkinan yang mungkin menyebabkan terjadinya hal tersebut, yang pertama adalah kurang efektif dan masifnya upaya penyelenggara ataupun pemerintah dalam melakukan edukasi masyarakat atau justru sikap acuh masyarakat sebagai bagian dari keikhlasan dalam menjalankan perintah agama dalam melakukan donasi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan PIRAC pada tahun 2007, diketahui bahwa persepsi masyarakat atas pentingnya prinsip transparansi sangat tinggi, akan tetapi dalam kenyataannya terkesan sangat acuh, dengan presentase masyarakat yang meminta laporan keuangan hanya 10% (sepuluh persen). 5. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK Terkait persepsi masyarakat atas penyelenggaraan penggalangan dana public dinilai sudah cukup baik secara garis besar, dimana untuk laporan keuangan yang disampaikan penyelenggara 51% (lima puluh persen) masyarakat beranggapan sudah baik, 52% (lima puluh dua persen) masyarakat berpendapat pendayagunaan dana public oleh penyelenggara sudah baik dan 49% (empat puluh sembilan persen) masyarakat beranggapan pemenuhan hak donator sudah baik. Grafik. 14 Persepsi Masyarakat Terhadap Laporan Keuangan Penggalangan Dana Publik sangat baik baik cukup buruk sangat buruk lain-lain 7% 51% 24% 15% 0% 3%
  • 34. 28 Grafik 15. Persepsi Masyarakat Terhadap Pendayagunaan Dana Hasil Pengumpulan Grafik 16. Persepsi Masyarakat Terhadap Pemenuhan Hak Donatur Yang sangat miris adalah, hanya 2% (dua persen) masyarakat yang mengetahui bahwa selama ini sudah ada regulasi yang mengatur teknis penyelenggaraan penggalangan dana public, baik yang bersifat umum (UU Pengumpulan Uang dan Barang), bersifat khusus (UU Zakat dan UU Penanggulangan Bencana). 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% sangat baik baik cukup buruk sangat buruk 2% 49% 30% 17% 1%1% sangat baik baik cukup buruk sangat buruk lain-lain
  • 35. 29 Grafik 17. Pemahaman Masyarakat Terhadap Regulasi Pengumpulan Uang dan Barang Terakhir harapan masyarakat dalam meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan penggalangan dana public sangat beragam, mulai dari adanya audit dari akuntan public secara menyeluruh (31%/tiga puluh satu persen), pengawasan Negara yang diperketat (34%/tiga puluh empat persen), adanya laporan keuangan dan kegiatan yang disampaikan langsung kepada donator (39%/tiga puluh persen), disampaikan melalui media massa (34%/tiga puluh empat persen). Grafik 18. Masukan Masyarakat Dalam Meningkatkan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik 2% 98% ya tidak 31% 34% 34% 39% 9% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% diaudit oleh akuntan publik pengawasan Negara Diperketat kegiatan dan keuangan disampaikan ke publik melalui media massa lembaga menyampaikan laporan kegiatan dan keuangan secara pribadi kepada donatur lain-lain
  • 36. 30 B. PRAKTEK PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA Selain memetakan permasalahan yang ada di masyarakat melalui survey, YLKI mencoba memetakan potret penggalangan dana public yang bersumber dari lembaga penggalangan dana public melalui wawancara yang dilakukan secara tatap muka dan focus grup discuss (FGD). Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penggalangan dana public di Indonesia baik yang berada di hulu hingga yang ada di hilir. Focuss Group Discuss (FGD) dilakukan pada tanggal 3 Mei 2016 yang bertempat di Hotel Acacia, Jakarta. Tercatat terdapat perwakilan dari 12 lembaga yang mewakili seluruh stakeholder dalam praktek penggalangan dana public, baik dari penyelenggara penggalangan dana public, perwakilan pemerintah, akademisi dan peneliti guna membedah praktik penggalangan dana public yang ada. Dari hasil wawancara dan FGD tersebut, setidaknya terdapat beberapa focus yang erat kaitannya dalam penerapan transparansi dan akuntabilitas penyelenggara penggalangan dana public di Indonesia, yakni terkait dengan kelembagaan penyelenggara, praktek penggalangan dana public di Indonesia, pemenuhan hak donator dan pelaporan hasil pemanfaatan dana public. Tabel 2. Jumlah Perwakilan Lembaga Yang Hadir Dalam FGD No Nama Lembaga Jumlah Utusan 1 Elshinta Peduli 1 2 Dana Kemanusiaan Kompas 1 3 Mer-C 2 4 ACT 2 5 Biro Hukum Kementerian Sosial 1 6 kitabisa.com 1 7 PIRAC 1 8 Alfamart 3 9 YLKI 5 10 NU-Care 1
  • 37. 31 11 Universitas Multimedia Nasional 3 12 PKPU 1 1. Kelembagaan Penyelenggara Penggalangan Dana Publik Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1961 membatasi pihak yang boleh melakukan usaha dibidang penyelenggaraan penggalangan dana public hanya perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang memperoleh izin berdasarkan peraturan yang dibentuk oleh Menteri Sosial. Dalam prakteknya, pemberian izin tidak hanya diberikan kepada organisasi kesejahteraan sosial, tetapi juga diberikan kepada kepanitiaan yang dibentuk oleh badan hukum selain lembaga kesejahteraan sosial untuk jangka waktu yang sifatnya sementara. Proses pemberian izin yang memakan waktu lama, khususnya terkait pemberian rekomendasi dari dinas sosial setempat, menyebabkan terjadinya praktik- praktik penggalangan dana public yang belum berizin.17 Secara kelembagaan, lembaga yang diwawancarai oleh YLKI, telah memiliki bentuk badan hukum baik badan hukum sebagai yayasan ataupun badan hukum PT. Untuk aspek perizinan menjalankan kegiatan penggalangan dana public, 35% lembaga yang diwawancarai oleh YLKI tidak memiliki izin yang lengkap atau tidak sesuai dengan peruntukkannya, contohnya adalah lembaga yang hanya memiliki izin dari dinas sosial DKI Jakarta tapi dalam prakteknya melakukan kegiatan penggalangan dana public secara nasional sedangkan 59% lembaga lainnya telah memiliki perizinan yang sesuai dengan peruntukannya. Dalam menjalankan usaha penggalangan dana public, 11% (sebelas persen) lembaga yang diwawancarai YLKI hanya melakukan kegiatan dalam lingkup lokal (provinsi atau kabupaten/kota), 17% (tujuh belas persen) lembaga sisanya melakukan penggalangan secara internasional, dan 70% (tujuh puluh persen) penyelenggara melakukan kegiatan penggalangan secara nasional. 17 Hasil FGD di hotel acacia tanggal 3 Mei 2016
  • 38. 32 2. Praktek Penggalangan Dana Publik di Indonesia Dari hasil wawancara dan FGD yang dilakukan oleh YLKI ditemukan sebuah fakta baru yang menarik, dimana saat ini penyelenggara penggalangan dana public tidak serta merta melakukan pengumpulan sekaligus penyaluran, melainkan ada beberapa yang saat ini hanya menjalankan peran sebagai pengumpul saja ataupun sebagai penyalur saja. Biasanya penyelenggara penggalangan dana public yang berperan sebagai pengumpul adalah korporasi yang bergerak dibidang usaha ritel, ataupun penyedia jasa informasi dan teknologi. Salah satu contoh menarik dalam penyelenggara yang hanya berfungsi sebagai pengumpul dana public adalah kitabisa.com. dimana kitabisa.com sebagai jasa front funding membantu penyelenggara untuk mengkampanyekan program penggalangan dana public di dunia maya dengan mengambil biaya operasional sebesar 5%.18 Hal tersebut perlu diapresiasi, mengingat hal tersebut sebagai inovasi yang semakin memudahkan masyarakat dalam melakukan donasi. Sedangkan yang dilakukan oleh usaha dibidang ritel ataupun usaha lain wajib mengutamakan prinsip sukarela dan persetujuan konsumen dalam melakukan donasi. PP No. 29 Tahun 1980 telah mengatur bahwa besaran dana yang dapat digunakan untuk kegiatan operasional sebesar 10% (sepuluh persen). Akan tetapi berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh YLKI, penggunaan dana untuk kegiatan operasional yang dilakukan penyelenggara bervariasi jumlahnya, antara 0- 30% (tiga puluh persen) proporsi dana yang dipergunakan untuk kegiatan operasional. Terkait media pemasaran dan informasi yang digunakan penyelenggara untuk menginformasikan kepada masyarakat perihal kegiatan penyelenggaraan dana public sangat bervariasi jenisnya. secara garis besar ada 4 (empat) media yang dipergunakan oleh penyelenggara penggalangan dana public. Media yang pertama adalah penggunaan brosur/leaflet, dimana 65% (enam puluh lima persen) lembaga menyediakan media ini untuk memberikan informasi kepada masyarakat. 18 Disampaikan Oleh Ahmad Juwaini dalam FGD tanggal 3 Mei 2016 di Hotel Acacia
  • 39. 33 Media kedua adalah penggunaan banner dan spanduk yang digunakan oleh 58% (lima puluh delapan persen) lembaga. Yang ketiga adalah penggunaan fasilitas teknologi informasi, seperti sosial media dan website, yang mencapai 58% (lima puluh delapan persen). Dan yang terakhir adalah pemanfaatan kerja sama dengan pihak ketiga untuk memasarkan dan menginformasikan program penggalangan dana public kepada masyarakat sebanyak 41% (empat puluh satu persen). Untuk sarana penerimaan donasi, secara umum dapat diterima secara tunai baik melalui kantor atau loket-loket resmi milik penyelenggara. Menariknya, praktek penggalangan dana public dewasa ini kerap memanfaatkan jasa perbankan sebagai fasilitas penerimaan donasi yang memudahkan konsumen. Tercatat 88% (delapan puluh persen) penyelenggara telah menyediakan fasilitas rekening khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan penggalangan dana public. 3. Pemenuhan Hak Donatur Dalam Penggalangan Dana Publik Terlepas dari pemenuhan terhadap hak donator, elemen penting lain dalam perlindungan donator adalah edukasi kepada masyarakat terkait hak dan kewajiban donator dan penerima manfaat (beneficiary) dalam penyelenggaraan penggalangan dana public. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyelenggara penggalangan dana public, pemenuhan kewajiban edukasi oleh penyelenggara masih belum dijadikan prioritas utama, tercatat masih ada lembaga yang melakukan edukasi hanya melalui sisipan yang terdapat di dalam laporan tahunan lembaga. Ataupun hanya secara lisan melalui petugas yang penyampaiannya tidak lengkap dan menyeluruh. 4. Pelaporan Dan Penerapan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Salah satu bentuk akuntabilitas keuangan dalam penggalangan dana public adalah laporan keuangan/penggunaan keuangan yang diaudit. Dari lembaga-lembaga yang diwawancarai oleh YLKI, 23% penyelenggara belum diaudit secara public dan masih hanya mengandalkan audit internal. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat audit secara public merupakan salah satu bagian dari penerapan prinsip akuntabilitas dibidang keuangan.
  • 40. 34 Terkait publikasi atas laporan keuangan tersebut, terlihat mulai ada perkembangan yang dilakukan oleh lembaga, hal tersebut terlihat dari mulai banyaknya penyelenggara yang mempublikasikan laporan keuangannya melalui media cetak nasional ataupun melalui website sehingga mudah diakses oleh masyarakat. Tercatat sekitar 70% lembaga telah melakukan publikasi hasil laporan melalui media tersebut. Meskipun demikian, Dian Nur Astuti (Kabag. Penyusunan Naskah Hukum Kemensos) menyatakan bahwa masih ada beberapa lembaga yang tertutup atas praktek dan pengelolaan penggalangan dana public yang dilakukan. Kedepannya, hal tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi masyarakat dalam melakukan donasi melalui lembaga intermediasi. 5. Persepsi Atas Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelenggaraan Penggalangan Dana Publik Selain untuk mengetahui praktek penggalangan dana public, wawancara yang dilakukan kepada penyelenggara ditujukan pula untuk mengetahui pandangan dan persepsi atas praktek penggalangan dana public yang telah ada. Menurut para penyelenggara, setidaknya terdapat 3 (tiga) permasalahan utama dalam penggalangan dana public, yakni: kualitas dan kuantitias SDM penyelenggara masih sangat terbatas (18%); pemahaman dan partisipasi masyarakat yang rendah (47%); dan regulasi yang ada belum mengakomodir kebutuhan dan perkembangan penggalangan dana public (23%). Atas masalah tersebut, kami mencoba menanyakan kepada penyelenggara, masukan dan saran apa yang perlu diajukan kepada pemerintah. Dan hasil wawancara menunjukkan ada tiga masukan dan saran yang paling banyak disuarakan oleh penyelenggara, yakni regulasi yang ada perlu segera diamandemen untuk memberikan ruang penyeseuaian bagi perkembangan penggalangan dana public (29%); mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan penjatuhan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang dilakukan penyelenggara nakal (47%); perlu adanya insentif dan disinsentif dari pemerintah sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap penyelenggaran penggalangan dana public di Indonesia.
  • 41. 35 Menurut Sudaryatmo19 , amandemen regulasi yang dijadikan masukan kepada pemerintah perlu dibenahi, khususnya dalam hal rezim pemberian izin apakah menggunakan system licensing atau system register. Salah satu alternatif yang dapat digunakan penyelenggara menghadapi kekosongan hukum yang terjadi saat ini dapat dilakukan dengan cara pembentukan self regulation yang dilakukan penyelenggara guna menjaga standard penggalangan dana public di Indonesia.20 19 Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Periode 2015-2020 20 Disampaikan Oleh Sudaryatmo dalam FGD tanggal 3 Mei 2016 di Hotel Acacia
  • 42. 36 BAB IV ANALISIS TERHADAP TEMUAN DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENGGALANGAN DANA PUBLIK Berdasarkan apa yang telah dikemukakan dalam bab II, akuntabilitas dan transparansi merupakan prinsip dalam pengelolaan public yang saling terkait satu sama lain. Akuntabilitas, erat kaitannya dengan hal pertanggungjawaban atas suatu pengelolaan yang dilakukan, baik pertanggungjawaban secara kelembagaan ataupun keuangan. Sedangkan transparansi, lebih ditekankan kepada aspek keterbukaan akses informasi yang dibutuhkan public dalam upaya pengawasan dan pertanggungjawaban atas pengelolaan yang dilakukan. Berdasarkan temuan yang diperoleh YLKI dalam penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana public, setidaknya ada 6 (enam) focus utama yang menjadi perhatian YLKI, antaralain terkait perizinan, pertanggungjawaban keuangan, keterbukaan informasi, edukasi terhadap hak-hak donator dan penerima manfaat, serta pemanfaatan sosial media dalam penggalangan dana public. A. Perizinan Penggalangan Dana Publik/Pengumpulan Uang dan Barang Menurut Zaim Saidi, aspek perizinan dan legalitas merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh LSM dan Yayasan. Secara hukum, lembaga non-profit yang bentuk badan hukumnya dipaksakan sangat rentan terhadap intervensi yang dilakukan oleh pemerintah.21 Terkait dengan penggalangan dana public, UU No. 9 Tahun 1961 menjamin, bahwa pengumpulan uang dan barang, dalam hal ini untuk keperluan sosial, diperbolehkan bagi organisasi kesejahteraan sosial ataupun kepanitiaan yang bersumber dari masyarakat sehingga diharapkan tidak membatasi penggalangan dana public oleh masyarakat. Sedangkan terkait dengan ruang lingkup perizinan dan batas waktu izin yang diberikan hanya untuk masa 3 bulan dengan pelaksanaan penggalangan dana sebagaimana ruang lingkup diberikannya izin, baik kabupaten/kota, provinsi atau nasional. 21 Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Kritik dan Otokritik LSM, (Jakarta:Pira Media, 20014), hal. 26
  • 43. 37 Akan tetapi dalam prakteknya, hal tersebut banyak dikeluhkan dan dianggap tidak relevan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, baik perkembangan teknologi informasi, tingkat mobilisasi, dan kecenderungan usaha penggalangan dana public. Akibatnya saat ini banyak ditemukan praktek penggalangan dana public yang perizinannya tidak jelas/tidak sesuai peruntukkannya serta praktek penggalangan dana public yang sistemnya tidak dikenal dan diatur dalam rezim UU No. 9 Tahun 1961, seperti penggalangan donasi yang dilakukan melalui ritel/restoran melalui uang kembalian atau penggalangan donasi secara online. Selama ini perizinan yang diberikan kepada penggalangan melalui ritel/restoran diberikan bukan kepada korporasi yang bersangkutan, tetapi melalui pembentukan kepanitiaan yang dibentuk oleh korporasi tersebut. Hal ini menjadi perdebatan mengingat tidak diketahui apakah uang hasil donasi masyarakat akan tercampur atau tidak dengan uang korporasi. Selain itu pola penggalangan melalui uang kembalian jugga tidak dikenal didalam UU No. 9 Tahun 1961. Akibatnya banyak penggalangan dana melalui cara tersebut yang dilakukan tanpa izin (35%), sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan pengelolaan dananya dan mempersulit penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi terhadap penggalangan dana public secara online yang sangat diragukan legalitasnya dan pengawasannya. Hal tersebut sejatinya bukanlah hal yang negative, mengingat upaya tersebut dilakukan dengan tujuan mempermudah masyarakat untuk melakukan donasi. Maka dari itu sudah seharusnya pemerintah mengakomodir segala bentuk kreatifitas masyarakat dalam melakukan penggalangan dana public. Bentuknya dapat dilakukan dengan merubah struktur perizinan dan peningkatan pengawasan. Struktur perizinan yang dimaksud meliputi lingkup wilayah dan jangka waktu izin yang diberikan pemerintah terhadap penyelenggara penggalangan dana public. Pertama, menurut keterangan banyak lembaga, perizinan dengan format cluster yang ada saat ini dirasakan tidak efektif dalam mendukung upaya filantropi yang dilakukan. Sehingga perizinan perlu diberikan tanpa mengenal lingkup wilayah, mengingat kegiatan filantropi saat ini berkembang begitu pesat dan tidak lagi mengenal batas-batas geografis dan territorial wilayah.
  • 44. 38 Kedua, perizinan dengan batas waktu 3 (tiga) bulan dianggap menyulitkan dan tidak efektif bagi penyelenggara. Hasil wawancara yang dilakukan YLKI terhadap beberapa penyelenggara menunjukkan hasil 35% (tiga puluh lima persen) lembaga yang diwawancarai belum berizin atau tidak sesuai perizinannya. Salah satu kemungkinan, mengapa besarnya presentase lembaga yang bermasalah dalam hal perizinannya adalah rezim perizinan yang dirasakan tidak memihak dalam upaya penggalangan dana public. Untuk mengatasi hal tersebut, selain menambah jangka waktu perizinan dan menghilangkan batas-batas territorial, maka perizinan juga dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk, yakni 1. Sistem register; sistem register atau pendaftaran merupakan rezim perizinan yang hanya mewajibkan pihak yang melakukan praktek penggalangan dana public untuk mendaftar dan melaporkan penggalangan dana public yang dilakukan. Tujuan sistem pendaftaran register adalah untuk pendataan dan pemetaan penggalangan dana public yang dilakukan. Kekurangannya, upaya pengawasan dan standardisasi penyelenggara yang sulit 2. Sistem license; sistem license atau izin merupakan rezim perizinan yang memuat persyaratan-persyaratan bagi pihak yang hendak melakukan pendaftaran, tujuan sistem pendaftaran license adalah pembatasan pihak-pihak yang mendapatkan izin dalam melakukan penggalangan dana public dan menjaga kualitas penyelenggara penggalangan dana public. Kekurangannya, meningkatkan praktek penggalangan tanpa izin dan polarisasi praktek penggalangan dana publik Selain perubahan struktur perizinan yang harus disesuaikan, peningkatan pengawasan juga hal yang mutlak dibutuhkan dalam penggalangan dana public. Upaya pengawasan tersebut dibutuhkan dalam upaya menjaga kepercayaan public terhadap penyelenggara penggalangan dana public yang transparan dan akuntabel. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh YLKI, 72% (tujuh puluh dua persen) masyarakat mempertimbangkan aspek kepercayaan dalam melakukan donasi sehingga kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara nakal tidak hanya berdampak negative terhadap penyelenggara tersebut melainkan akan berdampak negative terhadap penyelenggara lainnya dan dunia filantropi pada umumnya.
  • 45. 39 Maka dari itu menurut Dian Nur Astuti22 , perlu dibentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang bergerak khusus dibidang penggalangan dana public, sehingga mampu melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap praktek-praktek penggalangan dana public yang menyimpang dan dapat menjaga tingkat kepercayaan public terhadap dunia filantropi.23 B. Pertanggungjawaban Keuangan Hasil Penggalangan Dana Publik Pertanggungjawaban keuangan erat kaitannya dengan prinsip akuntabilitas. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa secara operasional, bentuk akuntabilitas yang dapat dilakukan oleh lembaga non-profit, termasuk penyelenggara penggalangan dana public, dapat diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving), dan cepat-tanggap (responding). Akuntabilitas dalam bentuk pelaporan memiliki beberapa pembagian berdasarkan objek pelaporan dan penerima laporan. Berdasarkan objeknya, laporan dapat berbentuk laporan keuangan dan laporan kegiatan. Laporan keuangan merupakan laporan pembukuan atas arus kas uang masuk dan keluar suatu lembaga dalam menjalankan kegiatan operasionalnya dalam periode tertentu. Sedangkan laporan kegiatan berisikan uraian mengenai kegiatan dan program yang dilakukan selama periode tertentu oleh suatu lembaga. Sedangkan bila dibagi berdasarkan subjek penerimanya, laporan dapat dibagi atas laporan yang diperuntukkan bagi public dan laporan yang ditujukan kepada pemerintah. Laporan yang ditujukan bagi public biasanya ditujukan sebagai media informasi kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan dana public. Sedangkan laporan kepada Negara ditujukan sebagai kewajiban penyelenggara kepada Negara dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Selain yang disebutkan diatas, penyelenggara penggalangan dana public yang memiliki tujuan sosial-kemanusiaan wajib memenuhi pertanggungjawaban dan akuntabilitas perundang-undangan (regulatory accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability), akuntabilitas program (program accountability), dan akuntabilitas pelaksanaan (process accountability). 22 Dian Nur Astuti adalah Direktur Bidang Penyusunan Naskah Hukum Kementerian Sosial RI 23 Hasil FGR tanggal 3 Mei 2016 di Hotel Acacia
  • 46. 40 Pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam hal pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh penyelenggara penggalangan dana public harus memenuhi akuntabilitas baik secara formil ataupun materill. Pemenuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan secara formil maksudnya adalah pemenuhan kewajiban dan pertanggungjawaban untuk memenuhi formalitas tertentu. Contoh pemenuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan secara formil antara lain, audit secara internal dan eksternal melalui akuntan public terhadap keuangan penyelenggara secara tahunan, penyampaian laporan keuangan (annual report) kepada pemerintah dan masyarakat. Sedangkan pemenuhan akuntabilitas secara materiil, berarti pertanggungjawaban yang dilakukan untuk memenuhi unsure dan nilai tertentu. Contoh pemenuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan secara materiil adalah, penyertaan dan pelibatan donator serta masyarakat dalam kegiatan penggalangan dana public, baik dalam hal pengelolaan, pendistribusian maupun pendayagunaan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh YLKI, pada umumnya pertanggungjawaban keuangan penyelenggara yang dilakukan secara formil sudah cukup baik, dimana seluruh lembaga yang diwawancarai oleh YLKI sudah melakukan audit sekurangnya secara internal dan 70% (tujuh puluh persen) diantaranya mempublikasikan laporan keuangannya kepada public. Hal tersebut didukung dengan pernyataan masyarakat yang sebagian besar (51%) menyatakan laporan keuangan yang disusun oleh penyelenggara sudah baik. Akan tetapi secara materiil, pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh penyelenggara masih kurang, khususnya kepada donator, dimana 64% (enam puluh empat persen) donator tidak pernah dilibatkan dalam pendistribusian bantuan yang dikumpulkan dari donasi masyarakat dan 59% (lima puluh Sembilan persen) masyarakat tidak menerima laporan keuangan secara pribadi. Atas hal tersebut, penyelenggara menyatakan telah berupaya semaksimal mungkin memberikan laporan pengelolaan keuangan kepada donator, baik dikirimkan secara langsung ataupun disampaikan melalui berbagai media, dompet dhuafa sebagai salah satu responden yang diwawancarai YLKI menyatakan bahwa setiap bulannya selalu mengirimkan 42000 (empat puluh dua ribu) email kepada donaturnya sebagai laporan atas pengelolaan keuangan.
  • 47. 41 Faktanya pertanggungjawaban yang dilakukan penyelenggara akan sulit dirasakan oleh masyarakat manakala tingkat kepedulian (awareness) mayarakat masih rendah. Tercatat, berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC tahun 2007 diketahui bahwa tingkat kepedulian masyarakat terhadap donasi yang disalurkannya sangat rendah, yakni sebesar 10% (sepuluh persen). Salah satu penyebab minimnya kesadaran masyarakat adalah pandangan bahwa donasi sebagai bagian dari ibadah sehingga harus di-ikhlas-kan. Ketiadaan regulasi yang mengatur bentuk akuntabilitas pengelolaan keuangan menjadikan sebagian penyelenggara menganggap hal tersebut bukanlah hal yang penting dalam usaha penggalangan dana public. Tercatat hanya sebagian kecil penyelenggara yang menyadari pentingnya akuntabilitas terkait pengelolaan dana public dengan upaya menyebarluaskan laporan keuangan penyelenggara, baik melalui media massa, website resmi penyelenggara atau bahkan disampaikan secara langsung kepada donator melalui berbagai media. Maka dari itu penyusunan regulasi terkait atau sekurang-kurangnya self-regulation menjadi penting guna menjaga akuntabilitas dalam penggalangan dana public. Filantropi media, dalam hal ini, telah menjadi pionir dan dapat dicontoh penggiat filantropi lain dalam menyusun self-regulation berupa kode etik dalam kegiatan filantropi dan penggalangan dana public selagi upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya hal ini terus digalang. Khusus bagi pemerintah, wajib hukumnya menyesuaikan dan menerapkan nilai- nilai akuntabilitas dalam penyelenggaraan penggalangan dana public, sehingga tujuan penggalangan yang bersifat kemanusiaan dapat berjalan secara efektif, tepat guna dan tepat sasaran sebagaimana mestinya. C. Keterbukaan Informasi Dalam Penggalangan Dana Publik Salah satu poin terpenting dalam upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan penggalangan dana public adalah keterbukaan informasi. Hal ini tidak hanya penting guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap praktek penggalangan dana public yang ada, melainkan juga penting dalam pemenuhan hak donator dan penerima manfaat (beneficiary). Khusus bagi donator, keterbukaan informasi merupakan bagian pemenuhan atas hak donator sebagaimana yang telah dijamin secara internasional melalui Donor Bill of Rights, khususnya terkait hak atas akses informasi dan hak keleluasaan bertanya. Hak atas informasi yang dimaksud dalam Donor Bill of Rights meliputi informasi atas profil
  • 48. 42 penyelenggara, baik visi-misi maupun profil penyelenggara; dan informasi atas laporan keuangan termasuk penggunaan dan kepastian atas penyaluran donasi. Sedangkan hak keleluasaan bertanya meliputi pertanyaan apapun yang diajukan donator yang terkait dengan kegiatan penggalangan dana public dan hak mendapatkan jawaban yang cepat, benar dan jujur. Dalam prakteknya, penyelenggara yang diwawancarai oleh YLKI memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam upaya memenuhi hak donator yang tergantung pada kemampuan lembaga dalam menyediakan akses informasi ataupun kanal penerimaan pengaduan dan pertanyaan. Bila dianalisis terdapat beberapa tingkatan (grade) yang mampu disediakan lembaga dalam memenuhi hak donator terkait informasi dan pertanyaan. Mulai dari tingkatan terendah, yang hanya memiliki nomor telepon dan secretariat sebagai satu- satunya sarana penyediaan informasi dan pertanyaan yang biasanya dimiliki oleh lembaga yang lingkup pengelolaannya kecil, seperti rumah ibadah ataupun kepanitiaan yang melakukan penyelenggaraan penggalangan dana public. Tingkatan menengah, yang sudah mulai memiliki layanan pesan elektronik (e- mail) dan website yang pengelolaannya belum profesional dan belum memuat informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, biasanya dimiliki oleh yayasan yang lingkup pengelolaannya sedang. Terakhir yang telah memiliki fasilitas beragam sebagai pusat informasi dan sarana pengaduan atau pertanyaan mulai dari website resmi, call center, aplikasi selular, hingga pemanfaatan sosial media, yang biasanya dilakukan oleh penyelenggara dengan skala besar. Padahal, seharusnya penyelenggara wajib memiliki instrument penyediaan informasi yang memadai dan mudah dijangkau oleh masyarakat, khususnya donator sebagai bentuk transparansi sarana komunikasi yang efektif dan menjaga relasi antara donator, penyelenggara dan penerima manfaat. Keterbatasan sarana informasi yang disediakan oleh penyelenggara tentu semakin besar pula resiko penyalahgunaan yang dilakukan oleh penyelenggara dalam mengelola dana public yang ada akibat tidak tersedianya sarana control sosial yang mungkin dilakukan oleh masyarakat. Pemerintah, sebagai penerima amanah masyarakat dibidang pemerintahan, juga seharusnya aktif dalam menyediakan pusat informasi yang dibutuhkan masyarakat sekaligus menjadi teladan bagi penyelenggara dalam menerapkan transparansi dalam pengelolaan dana public yang sesuai dengan peruntukannya.
  • 49. 43 D. Edukasi dan Pembinaan Donatur dan Penerima Manfaat Pada bagian sebelumnya, telah disinggung mengenai rendahnya tingkat kepedulian (awareness) masyarakat dalam melakukan control sosial terhadap penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan penyelenggara penggalangan dana public. Diduga, hal tersebut diakibatkan oleh persepsi masyarakat yang keliru atas penyelenggaraan penggalangan dana public. Tercatat, dari masyarakat yang melakukan donasi melalui penyelenggara penggalangan dana public non-keagamaan, hanya 12% (dua belas persen) yang melakukan donasi atas dasar perizinan dan program yang dilakukan oleh penyelenggara. Kemudian, dalam hal pengawasan atas kegiatan distribusi dan pengelolaan keuangan hanya 27% masyarakat yang aktif mencari tahu dan 16% menerima secara langsung dari lembaga, baik secara tertulis ataupun lisan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat belum teredukasi perihal pentingnya pengawasan atas praktek penggalangan dana public di lapangan. Maka dari itu, pemerintah bersama-sama dengan penyelenggara harus aktif melakukan edukasi dan pembinaan kepada donator dan penerima manfaat terkait hak dan kewajibannya dalam praktek penggalangan dana public. Bila berkaca dari hasil wawancara dan survey yang dilakukan YLKI terlihat bahwa hanya 20% (dua puluh persen) masyarakat yang memahami dan menyadari hak-hak yang dimilikinya sebagai donator. Ditambah tingkat kepuasan masyarakat terhadap sosialisasi dan pemenuhan hak donator masih sangat minim, yakni 49% (empat puluh Sembilan persen). Upaya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara sampai saat ini juga dirasakan hanya sebatas formalitas dan belum dijadikan hal penting dalam bagian penyelenggaraan penggalangan dana public. Padahal, donator dan penerima manfaat yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya akan membantu penyelenggara dalam mencapai visi-misi serta tujuan kegiatan filantropi yang dilakukan, yakni peningkatan kesejahteraan dan memecahkan masalah sosial-kemanusiaan yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan pengamatan YLKI, sejauh ini masih sangat jarang penyelenggara yang memiliki grand design program edukasi dan sosialisasi jangka panjang untuk mewujudkan donator dan penerima manfaat yang cerdas dalam upaya mensukseskan kegiatan filantropi.
  • 50. 44 Salah satu wujud terbelakangnya donator di Indonesia adalah ketidaktahuan penggunaan dana yang bersumber hasil donasi yang dilakukan, apakah dilakukan sesuai dengan yang dijanjikan ataukah dialihkan untuk hal lain. Perubahan atau pengalihan penggunaan dana public sangat dibutuhkan dalam rangka efektivitas dan optimalisasi sumbangan. Pengalihan penggunaan dana public sejatinya merupakan dorongan kuat bagi penyelenggara untuk aktif mencerdaskan pemahaman donator terkait pengelolaan dana public. Hal tersebut dikarenakan pengalihan penggunaan dana tersebut diwajibkan dengan persetujuan donator terlebih dahulu.24 Terkait hak penerima manfaat, salah satu pelanggaran yang paling banyak dilakukan oleh penyelenggara adalah eksploitasi yang dilakukan oleh penyelenggara terhadap penerima manfaat. Eksploitasi tersebut biasanya berupa penggunaan gambar/video kondisi penerima manfaat yang dijadikan media bagi penyelenggara untuk mendulang donasi masyarakat. Padahal hal tersebut telah dengan terang dilarang pelaksanaannya secara internasional. Sekali lagi, ketiadaan regulasi menyebabkan hal-hal yang disebutkan diatas menjadi sah untuk dilakukan oleh penyelenggara dan kementerian sosial dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk menindak praktek-praktek semacam ini. Maka dari itu, dukungan politik yang kuat menjadi hal yang mutlak guna mengatasi hal tersebut. Setidaknya harus ada peraturan pelaksanaan yang sifatnya sementara untuk mengendalikan praktek tersebut hingga terbentuknya regulasi yang baru dalam penggalangan dana public atau setidaknya penyelenggara harus berkomitmen kuat melalui self-regulatory yang dibentuk untuk mengatur hal semacam ini. E. Mekanisme Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi Diberbagai macam penelitian telah mengungkapkan potensi dana public masyarakat yang nilainya begitu fantastis dan tidak jauh dengan potensi penerimaan Negara yang bersumber dari zakat. akan tetapi yang sangat miris adalah rezim UU No. 9 Tahun 1961 tidak mengatur penjatuhan sanksi secara tegas terhadap penyimpangan atas pengelolaan dana public dengan potensi yang sedimikian besar. 24 Hamid Abdidn, Nur Hiqmah, Ninik Annisa, dan Maifi Eka Putra, Membangun Akuntabilitas Filantropi Media Massa, (Jakarta: Piramedia,2013),Hal.86.
  • 51. 45 Tercatat sanksi pidana yang diatur dalam pasal 8 UU No. 9 Tahun 1961 hanyalah 3 (tiga) bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat pada masa pembentukan UU tersebut, praktek penggalangan dana public sifatnya masih terbatas dan nilai mata uang yang sudah sangat jauh berubah dibandingkan saat itu. Hal tersebut kemudian ditambah dengan upaya pengawasan yang dilakukan pemerintah tergolong lemah. Jangankan memiliki badan khusus yang mengawasi praktek penggalangan dana public, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)-pun tidak dimiliki oleh Negara dalam mengawasi praktek penggalangan dana public yang ada di Indonesia. Dapat dibandingkan dengan persaingan usaha yang memiliki komisi khusus yang bertugas mengawasi praktek persaingan usaha, atau setidaknya dapat dibandingkan dengan praktek penyelenggaraan undian yang memiliki PPNS dengan fungsi dan wewenang dalam melakukan penyidikan. Tercatat, pengawasan yang selama ini dilakukan mayoritas hanya berkenaan dengan hal-hal administrative, hal tersebut pun belum maksimal, sedangkan terkait teknis distribusi yang rentan atas penyalahgunaan dan eksploitasi terhadap penerima manfaat cenderung tidak terkawal dengan baik. Akibatnya, praktek penggalangan dana public seakan-akan tidak memiliki control dan tanpa pengawasan yang berarti. Isu penyalahgunaan dana public yang sudah sering dimuat media, mulai dari penyalahgunaan dana hingga penggalangan dana yang sifatnya fiktif, seakan-akan mengamini pernyataan tersebut. Peran serta masyarakat pun seakan tidak memiliki tempat dalam melaporkan dugaan penyalahgunaan penggalangan dana public yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu, pembentukan instrument hukum dan penguatan fungsi pengawasan mutlak diperlukan guna menyelamatkan potensi kehilangan dana public yang sedemikian besar nilainya. Setidaknya ada 2 (dua) bentuk alternative dalam penguatan fungsi pengawasan dalam praktek penggalangan dana public, yakni penyediaan PPNS di lingkungan Kementerian Sosial yang khusus mengawasi praktek penggalangan dana public; atau pembentukan lembaga/komisi khusus yang berasal dari seluruh stake holder, baik masyarakat, pemerintah dan penyelenggara, yang bertugas mengawasi, menjatuhkan sanksi administrative hingga menggugat penyelenggara yang terbukti melakukan penyalahgunaan dana public.
  • 52. 46 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan YLKI, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, kami menyimpulkan beberapa temuan penting. Bab penutup ini juga merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait untuk membenahi problem-problem pengaturan maupun pengawasan penyelenggaraan penggalangan dana public di Jakarta khususnya sebagaimana disimpulkan di bawah ini : A. Kesimpulan 1. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana public sangat erat kaitannya dengan keterbukaan akses informasi dan pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh penyelenggara. Akan tetapi, dalam prakteknya penerapan kedua prinsip tersebut tidak menjadi kewajiban bagi seluruh penyelenggara dan masih banyak penyelenggara yang tidak melakukan penyelenggaraan penggalangan dana public secara profesional, transparan dan akuntabel; 2. Rezim UU No. 9 Tahun 1961 sudah tidak relevan dengan perkembangan dan kondisi penyelenggaraan penggalangan dana public dan filantropi yang ada di masyarakat. Hal tersebut berlaku juga terhadap peraturan turunannya, yakni PP No. 29 Tahun 1980 tentang pelaksanaan pengumpulan sumbangan. Maka dari itu, pembaharuan regulasi dan sistem penyelenggaraan penggalangan dana public sangat mutlak diperlukan guna mencegah terjadinya kekosongan payung hukum atas fakta-fakta hukum yang terjadi dimasyarakat, khususnya terkait dengan penggalangan dana public. 3. Pemberian perizinan penyelenggaraan penggalangan dana public atau kegiatan filantropi yang ada saat ini sudah tidak relevan dan tidak efektif diterapkan. Hal tersebut disebabkan dengan adanya ketentuan pembatasan wilayah dan jangka waktu penggalangan yang bertentangan dengan semangat filantropi di masyarakat. Seharusnya, regulasi perizinan dibuat dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Selain terkait dengan batasan wilayah dan jangka waktu penyelenggaraan, perizinan yang berlaku saat ini juga belum mengatur penyelenggara penggalangan dana public secara keseluruhan. Setidaknya ada 2 (dua) penyelenggara yang tidak ikut diatur dalam regulasi penggalangan dana
  • 53. 47 public, yakni korporasi, khususnya korporasi ritel dan restoran, dan penyelenggara yang melakukan penggalangan dengan donasi secara online. Akibat dari sistem perizinan yang salah zaman seperti ini menyulitkan penyelenggara mendapatkan izin penggalangan dana public. Tercatat 35% responden yang berasal dari penyelenggara bermasalah dalam hal perizinan. 4. Laporan keuangan merupakan salah satu instrument pemenuhan prinsip pertanggungjawaban (akuntabilitas) manajerial yang dilakukan penyelenggara penggalangan dana public. Mayoritas laporan keuangan yang disampaikan oleh penyelenggara selama ini hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya hanya untuk memenuhi formalitas tertentu, seperti laporan yang hanya dipublikasi melalui media atau website penyelenggara tanpa melihat efektifitas penyampaian laporan keuangan kepada masyarakat, khususnya donator. Akan tetapi pemenuhan akuntabilitas keuangan secara materiil masih sangat minim, hal tersebut dapat dilihat dari survey YLKI yang menunjukkan sebagian besar masyarakat belum pernah dilibatkan dalam pendistribusian bantuan dan menerima laporan keuangan/kegiatan secara pribadi. 5. Keterbukaan informasi merupakan salah satu instrument dalam penerapan prinsip transparansi dalam kegiatan filantropi atau penggalangan dana public. Selain itu, keterbukaan informasi merupakan salah satu bentuk pemenuhan salah satu hak donator yang diatur dalam Donor Bill of Rights. Semakin terbatasnya informasi yang disediakan oleh penyelenggara filantropi atau penggalangan dana public semakin besar pula resiko penyalahgunaan yang akan terjadi dalam pengelolaan dana public (filantropi). Sampai saat ini, belum ada upaya serius dari pemerintah dalam menyusun regulasi terkait keterbukaan informasi dan menyediakan fasilitas pusat informasi yang dibutuhkan masyarakat, baik yang memuat profil penyelenggara, program yang sedang berjalan, penggunaan dana dan distribusi bantuan yang dilakukan oleh penyelenggara. 6. Atas survey yang dilakukan YLKI, diketahui bahwa pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap hak donator masih sangat minim (20%). Minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat atas pemenuhan hak-haknya disebabkan oleh kesalahan persepsi masyarakat dan minimnya upaya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara dan pemerintah. Terkait dengan persepsi yang ada selama ini, masyarakat beranggapan bahwa donasi dan
  • 54. 48 kegiatan filantropi merupakan bagian dari ibadah dan ditujukan untuk memenuhi kewajiban keagamaan sehingga wajib di-ikhlas-kan. Hal tersebut sesungguhnya adalah keliru, mengingat donator juga memiliki kewajiban untuk memastikan donasi dan sedekah yang dilakukannya benar-benar diterima dan dimanfaatkan oleh penerima manfaat yang seharusnya. Hal tersebut kemudian diperparah dengan upaya penyelenggara yang sekedar memenuhi formalitas dalam melakukan edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat terkait hak-haknya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan YLKI, sejauh ini masih sangat langka dan sukar ditemui penyelenggara yang memiliki grand design dan rencana strategis jangka panjang dalam melakukan edukasi dan sosialisasi. Ketiadaan regulasi kembali menjadi salah satu sebab terjadinya masalah tersebut, dan dalam hal ini harusnya pemerintah mampu menjadi teladan bagi penyelenggara dalam melakukan edukasi dan sosialisasi hak donator 7. Selain diperlukannya edukasi terhadap hak donator, sesungguhnya penerima manfaat juga wajib diberikan edukasi terhadap hak-haknya, khususnya hak yang selama ini sering dilanggar oleh penyelenggara. Hak tersebut adalah hak terbebas atas eksploitasi yang dilakukan. Selama ini eksploitasi terhadap penerima manfaat dilakukan oleh penyelenggara dengan cara mempertontonkan kondisi dan keadaan penerima manfaat untuk dijadikan alat bagi penyelenggara untuk mendulang donasi masyarakat. Padahal hal tersebut telah dilarang secara internasional. Sekali lagi ketiadaan regulasi yang melarang hal tersebut menjadi faktor utama maraknya praktek-praktek eksploitasi yang dilakukan terhadap penerima manfaat. 8. Terkait sanksi dan pengawasan terhadap praktek penyelenggaraan penggalangan dana public, UU No. 9 Tahun 1961 sangat jauh dari kata cukup untuk mengatur praktek penggalangan public yang ada di masyarakat beserta besarnya potensi dana yang terkumpul. Tercatat sanksi yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1961 hanya berupa kurungan penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) saja. Hal tersebut kemudian diperparah dengan perangkat pengawasan yang tidak memadai bila dilihat dari besarnya praktek dan potensi dana kemanusiaan yang ada di masyarakat. Jangankan memiliki badan khusus yang bertugas melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran dalam penggalangan dana public, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang khusus bertugas menindak pelanggaran penggalangan dana public sampai saat ini pun tidak dimiliki oleh Negara. Akibatnya praktek penggalangan dana public yang ada
  • 55. 49 seakan-akan tidak memiliki control dan pengawasan. Isu penyalahgunaan dana public yang marak terjadi seakan-akan dianggap angin lalu oleh seluruh elemen masyarakat. B. Rekomendasi Atas kesimpulan yang telah disampaikan di atas maka terdapat beberapa saran dan rekomendasi yang dapat menjadi masukan bagi seluruh stakeholder dalam penyelenggaraan penggalangan dana public, diantaranya : 1. Rekomendasi kepada Pemerintah Berdasarkan hasil kajian diatas, maka ada beberapa catatan yang menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam menetapkan politik kebijakan dalam praktek penyelenggaraan penggalangan dana public. Rekomendasi tersebut antara lain: a. Pemerintah wajib untuk segera melakukan amandemen peraturan perundang- undangan terkait pengumpulan uang dan barang (UU No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang), mengingat perundang-undangan yang ada sudah sangat tidak sesuai dengan konteks kekinian dalam penyelenggaraan penggalangan dana public. b. Pemerintah perlu melakukan perubahan struktur perizinan dalam pemberian izin penggalangan dana public. Perubahan tersebut dimulai dari penentuan bentuk perizinan yang paling sesuai, apakah dengan sistem pendaftaran (register) atau perizinan (license); penghilangan batas-batas territorial dalam pemberian izin penggalangan dana public, mengingat akibat dari perkembangan teknologi informasi menyebabkan penggalangan dana public tidak dapat dibatasi secara geografis dan wilayah territorial; dan jangka waktu pemberian izin yang lebih panjang atau sekurangnya diberikan secara tahunan, jangka waktu pemberian izin yang lebih panjang akan membantu penyelenggara melakukan penggalangan dana public dengan lebih matang dari segi perencanaan, pendistribusian dan pendayagunaan, serta pelaporan yang disampaikan kepada pemerintah sehingga diharapkan hasil dari kegiatan penggalangan dana public atau filantropi yang dilakukan menjadi lebih efektif dan efisien. c. Pemerintah perlu memberikan kepastian atas self regulation kepada penyelenggara terkait pemenuhan hak-hak donator dan penerima manfaat serta penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas
  • 56. 50 d. Belajar dari pengalaman sebelumnya, pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka dari itu, perlu ada usaha kuat dari pemerintah guna meningkatkan fungsi pengawasan guna mencegah penyalahgunaan dalam penggalangan dana public. Salah satu usaha tersebut adalah pemisahan fungsi pengawasan yang diserahkan kepada badan independen yang khusus bertugas untuk melakukan pengawasan, investigasi dan penindakan natas pelanggaran dalam penggalangan dana public. 2. Rekomendasi Kepada Penyelenggara Sedangkan bagi penyelenggara, berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: a. Selama belum ada penyusunan regulasi yang dilakukan pemerintah, penyelenggara penggalangan dana public; khususnya usaha ritel, restoran dan penggalangan dana berbasis online; sebaiknya menyesuaikan struktur perizinan yang ditetapkan pemerintah saat ini. Hal tersebut guna memudahkan pelaporan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat dalam melakukan donasi. b. Memastikan dana yang terkumpul dipergunakan sesuai dengan program awal yang disampaikan kepada masyarakat. c. Penyelenggara wajib memiliki self regulation yang mengatur pemenuhan hak- hak donator dan penerima manfaat serta keterbukaan akses informasi d. Penyelenggara wajib melakukan edukasi secara berkesinambungan kepada masyarakat dan SDM yang terlibat dalam kegiatan penggalangan dana public. Kepada masyarakat, edukasi wajib dilakukan seiring dengan penawaran donasi yang dilakukan oleh penyelenggara dan melalui media-media yang mudah diakses, baik melalui spanduk, brosur, leaflet, website, dll. Bahkan jika diperlukan, edukasi hak donator wajib disampaikan didalam setiap iklan penawaran donasi yang dilakukan oleh penyelenggara. e. Selain melakukan edukasi kepada masyarakat, penyelenggara juga wajib menyediakan pelatihan kepada SDM yang berada dibawahnya terkait nilai- nilai filantropi dan standar pelayanan kepada masyarakat. Edukasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan penyelenggara kepada masyarakat akan linier.
  • 57. 51 3. Rekomendasi Kepada Masyarakat a. Masyarakat harus ikut aktif dalam hal melakukan control sosial, dalam bentuk pemeriksaan izin, pelaporan dan pertanyaan, atas praktek penyelenggaraan penggalangan dana public guna menjaga kepastian penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana public. b. Masyarakat harus sadar dan aktif dalam memperjuangkan hak-haknya, baik sebagai donator ataupun penerima manfaat, dalam kegiatan penggalangan dana public sehingga kepastian distribusi dan pendayagunaan akan lebih terjamin. c. Masyarakat juga harus memahami regulasi dan ketentuan terkait penggalangan dana public, sehingga dalam menyalurkan donasi masyarakat diharapkan lebih cermat memilih penyelenggara yang sesuai dengan ketentuan regulasi yang ada
  • 58. 52 DAFTAR PUSTAKA Buku, Artikel, dan Jurnal Abdidn, Hamid, Nor Hiqmah, Ninik Annisa, dan Maifil Eka Putra. Membangun Akuntabilitas Filantropi Media Massa. 2013. Jakarta:Piramedia Abidin, Hamid dan Kurniwati (ed). Berbagi Untuk Negeri: Pola dan Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil Survey di Sebelas Kota di Indonesia (2000, 2004, dan 2007).2008. Jakarta: Piramedia Abidin,Hamid. Berbagi Untuk Negeri : Pola Potensi Menyumbang Masyarakat, Hasil Survei Sebelas Kota di Indonesia. 2008.Jakarta :Piramedia Anisa, Ninik. AID Accountability;Berkenalan Dengan Enam Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan. 2012. Depok:Piramedia Gayatri,BJD. 10 Prinsip Dasar: Pelaksanaan Penggalangan Dana. Buletin Galang, 2001. edisi kedua tahun I Santika, Adhi. Akuntabilitas dan Transparansi LSM: suatu sumbangan pemikiran dalam Kritik dan Otokritik LSM.2014. Jakarta:Piramedia Zaim, Saidi. “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Kritik dan Otokritik LSM. 2014. Jakarta:Piramedia Regulasi Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Keputusan Menteri Sosial Nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan Untuk Korban Bencana; Keputusan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Oleh Masyarakat; Peraturan Menteri Sosial Nomor 14 Tahun 2012 tentangPengelolaan Hibah Langsung Dalam Negeri; dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan; dan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang; Internet http://ylki.or.id/2015/01/mengupas-transparansi-penggalangan-dana-publik/ https://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas
  • 60. 54 LAMPIRAN RUANG LINGKUP PENGATURAN PENGGALANGAN DANA PUBLIK DI DKI JAKARTA Peraturan Analisis UU 9/61 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1980 tentang pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Keputusan Menteri Sosial No.1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan Untuk Korban Bencana Pengertian Pengumpulan Uang dan barang adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohania n, kejasmanian dan bidang kebudayaan Pengumpulan sumbangan adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohania n, kejasmanian, pendidikan dan bidang kebudayaan Pengumpulan Sumbangan adalah setiap usaha pengumpulan uang dan/atau barang yang ditunjukkan untuk memeberikan bantuan kepada korban bencana Perizinan Harus mendapat izin pejabat yang berwenang Permohonan ijin pengumpulan sumbangan untuk korban bencana, diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang Kementerian Sosial, apabila dilaksanakan secara nasional, luar negeri dan melampaui daerah tingkat I Bagi yang meminta izin melalui Kementerian Sosial harus disertai persetujuan Gubernur Kepala Daerah Tk. I tempat organisasi pemohon berkedudukan sedangkan bagi pemohon yang berkedudukan di provinsi lain harus disertai pula persetujuan Gubernur Tk. I tempat pengumpulan sumbangan diselenggarakan Permohonan ijin tidak dikenakan biaya Gubernur, apabila dilaksanakan melampaui suatu daerah tingkat II dalam daerah tingkat II yang bersangkutan Bagi yang meminta izin melalui Gubernur, harus disertai Surat Persetujuan Bupati/Walikotamadya Kepala Dati II tempat organisasi pemohon berkedudukan serta surat keterangan dari Instansi