PKI awalnya muncul sebagai organisasi buruh yang didirikan oleh kader komunis Belanda pada masa penjajahan untuk memperjuangkan hak buruh dan menyebarkan ide komunis. PKI kemudian resmi berdiri pada 1924 dan berusaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajah sambil menanamkan ideologi komunis."
Moderasi agama memegang peranan vital dalam mempertahankan kerukunan antar umat beragama, menjaga stabilitas sosial, dan mempromosikan nilai-nilai toleransi serta kerjasama lintas agama. Dalam konteks Indonesia, negara dengan beragam kepercayaan dan keyakinan, moderasi agama menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan kehidupan beragama yang damai dan harmonis. Moderasi agama merupakan konsep yang mengajarkan pendekatan yang seimbang dalam praktik keagamaan, dengan menekankan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, serta penolakan terhadap ekstremisme dan intoleransi. Di Indonesia, moderasi agama tidak hanya menjadi prinsip panduan dalam praktik keagamaan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas nasional yang memperkuat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman. Kehadiran Islam di Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk karakter moderasi agama. Sejak masuknya Islam pada abad ke-13, agama ini telah meresap ke dalam budaya dan masyarakat Indonesia dengan pendekatan yang toleran dan inklusif. Selain itu, keberadaan agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, dan Kristen juga turut membentuk lanskap keberagaman agama di Indonesia. Moderasi agama membantu masyarakat Indonesia untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Melalui dialog antar agama, kegiatan lintas agama, dan kerjasama sosial, moderasi agama memfasilitasi pertukaran budaya dan pemahaman yang lebih dalam antar penganut agama. Hal ini mengurangi potensi konflik antar kelompok agama dan mendorong terbentuknya hubungan yang harmonis di antara mereka. Pemerintah Indonesia memiliki peran penting dalam mempromosikan moderasi agama melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung kerukunan antar umat beragama. Salah satu contohnya adalah Pancasila, yang menekankan pada prinsip-prinsip seperti keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan Indonesia dalam keberagaman. Selain itu, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) merupakan upaya konkret untuk mendorong dialog antaragama dan pencegahan ekstremisme agama. Meskipun moderasi agama memiliki dampak positif yang besar dalam masyarakat Indonesia, tetapi masih ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam mewujudkannya sepenuhnya. Salah satunya adalah adanya kelompok-kelompok radikal yang mempromosikan ideologi ekstremisme agama. Kelompok-kelompok ini seringkali menimbulkan konflik dan ketegangan antar umat beragama, serta mengancam stabilitas sosial dan keamanan nasional. Selain itu, ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap umat beragama juga menjadi masalah serius dalam konteks moderasi agama. Diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas agama masih terjadi di beberapa daerah, memperumit upaya untuk mencapai kerukunan antar umat beragama secara menyeluruh. Untuk mengatasi tantangan tersebut, penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya moderasi agama melalui pendidikan agama yang inklusif dan holistik.
Reformasi Administrasi Publik di Indonesia (1998-2023): Strategi, Implementas...Universitas Sriwijaya
Reformasi tahun 1998 di Indonesia dilakukan sebagai respons terhadap krisis ekonomi, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan otoriter dan korup, tuntutan demokratisasi, hak asasi manusia, serta tekanan dari lembaga keuangan internasional. Tujuannya adalah memperbaiki kondisi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memperkuat fondasi demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Reformasi ini mencakup bidang politik, ekonomi, hukum, birokrasi, sosial, budaya, keamanan, dan otonomi daerah. Meskipun masih menghadapi tantangan seperti korupsi dan ketidaksetaraan sosial, reformasi berhasil meningkatkan demokratisasi, investasi, penurunan kemiskinan, efisiensi pelayanan publik, dan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. Tetap berpegang pada ideologi bangsa dan berkontribusi dalam pembangunan negara sangat penting untuk masa depan Indonesia.
Implementasi transformasi pemberdayaan aparatur negara di Indonesia telah difokuskan pada tiga aspek utama: penyederhanaan birokrasi, transformasi digital, dan pengembangan kompetensi ASN. Penyederhanaan birokrasi bertujuan untuk membuat ASN lebih lincah dan inovatif dalam pelayanan publik melalui struktur yang lebih sederhana dan mekanisme kerja baru yang relevan di era digital. Transformasi digital memerlukan perubahan mendasar dan menyeluruh dalam sistem kerja di instansi pemerintah, yang meliputi penyempurnaan mekanisme kerja dan proses bisnis birokrasi untuk mempercepat pengambilan keputusan dan meningkatkan pelayanan publik. Selain itu, pengembangan kompetensi ASN mencakup penyesuaian sistem kerja yang lebih lincah dan dinamis, didukung oleh pengelolaan kinerja yang optimal serta pengembangan sistem kerja berbasis digital, termasuk penyederhanaan eselonisasi.
Disusun oleh :
Kelas 6D-MKP
Hera Aprilia (11012100601)
Ade Muhita (11012100614)
Nurhalifah (11012100012)
Meutiah Rizkiah. F (11012100313)
Wananda PM (11012100324)
Teori ini kami kerjakan untuk memenuhi tugas
Matakuliah : KEPEMIMPINAN
Dosen : Dr. Angrian Permana, S.Pd.,MM.
UNIVERSITAS BINA BANGSA
Reformasi Birokrasi Kementerian Pertanian Republik Indonesia Tahun 2020-2024Universitas Sriwijaya
Selama periode 2014-2021, Kementerian Pertanian Indonesia mencapai beberapa keberhasilan, termasuk penurunan jumlah penduduk miskin dari 11,5% menjadi 9,78%. Ketahanan pangan Indonesia juga meningkat, dengan peringkat ke-13 di Asia Pasifik pada tahun 2021. Berdasarkan Global Food Security Index, Indonesia naik dari peringkat 68 pada tahun 2021 ke peringkat 63 pada tahun 2022. Meskipun ada 81 kabupaten dan 7 kota yang rentan pangan pada tahun 2018, volume ekspor pertanian meningkat menjadi 41,26 juta ton dengan nilai USD 33,05 miliar pada tahun 2017. Walaupun pertumbuhan ekonomi menurun 2,07% pada tahun 2020, ini membuka peluang untuk reformasi dan restrukturisasi di berbagai sektor.
1. KELAHIRAN, KEJAYAAN, DAN KEMEROSOTAN PARTAI
KOMUNIS INDONESIA
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
Agensi, Kuasa, dan Politik (SOP 323)
Disusun oleh:
Rivaldo Arnold Belekubun
NIM. 071711233075
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SEMESTER GANJIL 2020/2021
2. I
ABSTRAKSI
Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat menjadi partai besar yang sangat berpengaruh di
Indonesia, namun hal itu berakhir saat dibubarkannya partai tersebut pada tahun 1966. Pada
masa kelahirannya, PKI memiliki andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia atas
penjajahan Belanda dan Jepang, hal ini kemudian berhasil memberikan posisi yang kuat
bagi PKI dalam perpolitikan Indonesia yang kemudian berhasil meraih kemerdekaan. Di
era-era selanjutnya, PKI mengalami perkembangan yang sangat pesat, dimana partai ini
memiliki pengaruh kepada pemerintahan yang cukup kuat. Di tahun 1960-an, PKI berhasil
menjadi partai komunis terkuat ketiga di dunia di belakang Uni Soviet dan Republik Rakyat
Tiongkok, dimana pendukungnya yang telah mencapai tiga juta orang. Namun
perkembangan yang pesat tersebut berakhir dengan pesat juga, dimana PKI diduga menjadi
dalang dari Gerakan 30 September yang dilakukan pada tahun 1965. Hal itu kemudian
menjadi titik kemerosotan partai ini, hingga akhirnya dibubarkan/dimatikan pada tahun
1966, dimana para pendukung, anggota, dan simpatisannya juga mengalami nasib yang
sama.
Kata Kunci: Gerakan 30 September, Partai Komunis Indonesia, Perpolitikan Indonesia.
ABSTRACT
The Indonesian Communist Party (PKI) was once a major party that was very influential in
Indonesia, but this ended when the party was dissolved in 1966. During its birth, the PKI
played a part in the struggle for Indonesian independence over Dutch and Japanese
colonialism. This then gave a strong position for the PKI in Indonesian politics which later
won independence. In subsequent eras, the PKI experienced very rapid development, where
this party had a fairly strong influence on the government. In the 1960s, the PKI, which had
supporters of up to three million people, managed to become the third most powerful
communist party in the world behind the Soviet Union and the People's Republic of China.
However, this rapid development ended rapidly too, where in 1965 the PKI was suspected
of being the mastermind behind the 30 September Movement. This then became a point of
decline for this party, until it was finally disbanded / shut down in 1966, when its supporters,
members and sympathizers also suffered the same fate.
Keywords: 30 September Movement, Indonesia Politics, The Indonesia Communist Party.
3. ii
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI...........................................................................................................................i
ABSTRACT............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I - PENDAHULUAN......................................................................................................1
I.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................1
I.3 Tujuan Pembahasan......................................................................................................1
BAB II – PEMBAHASAN......................................................................................................2
II.1 Kelahiran PKI Pada Era Penjajahan...........................................................................2
II.2 Perjuangan PKI Meraih Kekuasaan Pada Era Parlementer........................................5
II.3 Kejayaan Politik PKI Pada Era Demokrasi Terpimpin ...............................................8
II.4 Kemerosotan Hingga Akhir dari PKI Pada Era Demorkrasi Pancasila .......................9
BAB III – KESIMPULAN....................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 13
4. 1
BAB I - PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan bagian besar dalam sejarah perpolitikan
Indonesia. Pasalnya, pengaruh dari partai ini tidak hilang bahkan setelah pelenyapannya di
tahun 1966. Dalam hal ini, pengaruh yang dimaksudkan adalah mengenai politisasi isu akan
kemunculan PKI pada masa kini, yang mana pada beberapa kasus ditujukan untuk
menciptakan rasa takut dan rasa marah dalam masyarakat kepada pihak-pihak tertentu.
Namun, terlihat dengan jelas bahwa pemahaman yang lebih jauh akan PKI beserta
sejarahnya, tidak banyak diketahui dengan baik dalam masyarakat Indonesia. Hal ini
kemudian memberikan kesempatan bagi pihak-pihak tertentu dalam melakukan politisasi
isu mengenai PKI yang berakibat pada perpecahan dan permasalahan.
Sudah menjadi pemahaman bagi penulis bahwa pembahasan mengenai PKI merupakan hal
yang sangat kontroversial di iklim Indonesia dewasa ini. Bukan hanya perihal mengenai isu
PKI sebagai hantu masa lalu yang mengukir sejarah kelam bagi bangsa Indonesia, namun
juga tentang perdebatan seputar isu-isu tersebut. Dalam hal ini, pengkajian yang dilakukan
oleh penulis dilakukan secara hati-hati agar tidak menyingung pihak manapun, dan
menekankan bahwa pengkajian yang dilakukan adalah dalam rangka pendidikan dan
pembelajaran sejarah, agar pembaca dapat mendapat pemahaman yang lebih komperhensif
seputar PKI serta Langkah-langkah sejarahnya.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal kelahiran PKI terjadi?
2. Bagaiman pengaruh PKI pada era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin?
3. Apa yang mengakibatkan kemorosotan PKI hingga lenyap dari lanskap politik Indonesia?
4. Bagaimana PKI masih menunjukan pengaruh hingga era Demokrasi Pancasila dan
Demokrasi Reformasi?
I.3 Tujuan Pembahasan
Tulisan ini ditujukan sebagai pemenuhan tugas Ujian Tengah Semester dari perkuliahan
Agensi, Kuasa, dan Politik (SOP 323). Selain itu pengkajian dalam tulisan ini dimaksudkan
sebagai pembelajaran dan pendidikan, tanpa mendukung, mempromosikan, atau juga
menyudutkan dan menyalahkan pihak tertentu terkait konteks yang diangkat dalam tulisan.
5. 2
BAB II – PEMBAHASAN
Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangannya.
Mulai dari kemunculannya di era penjajahan, pengupayaan kekuasaannya di era Demokrasi
Parlementer, kejayaan politik di era Demokrasi Terpimpin, hingga lenyap di awal era
Demokrasi Pancasila. Untuk dapat memahami sejarah dari kemunculan hingga kelenyapan
PKI ini, pembahasan perlu dimulai dari awal komunisme muncul di Indonesia, dan
bagaimana hal itu kemudian berlanjut pada kemunculan organisasi-organisasi buruh yang
menjadi embrio dari PKI.
II.1 Kelahiran PKI Pada Era Penjajahan
Pada awal abad ke-20, Uni Soviet merupakan negara berpaham komunisme pertama di
dunia, dengan Vladimir Lenin sebagai pemimpin dari revolusi komunisme yang dilakukan.
Dalam rangka menyebarkan paham komunisme keseluruh dunia, Lenin membentuk
Communist International (Comintern) dengan tujuan untuk membangkitkan revolusi
komunis di seluruh dunia agar mengakibatkan kehancuran kapitalisme, kolonialisme dan
imperialisme. Sebagai salah satu utusan dari Comintern, Tan Malaka memiliki tugas sebagai
penyebar paham komunisme di Hindia-Belanda. Namun walaupun demikian, beliau
bukanlah pelopor dari munculnya paham komunisme di Hindia Belanda tersebut. Penyebar
komunisme pertama di Hindia Belanda adalah seseorang yang bernama Hendricus Josephus
Fransiscus Marie Sneevliet (Syukur, 2008).
Pada tahun 1914, Sneevliet dan koleganya membentuk serikat
buruh bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV) pada Pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda, dalam
rangka menjamin kesejahteraan kerja para buruh yang bekerja
dalam Pelabuhan-pelabuhan tersebut. ISDV memiliki 85
anggota yang berasal dari partai-partai Belanda. Meskipun
begitu, para anggota ISDV memanfaatkan serikat ini untuk
memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-
orang pribumi, terutama buruh dalam mencari cara untuk
menentang kekuasaan kolonial.
Di tahun-tahun berikutnya setelah pembentukan serikat ini, ISDV terus melakukan
penyebaran pandangan Marxisme kepada masayarakat pribumi, baik kaum buruh, intelek,
Hendricus Josephus Fransiscus
Marie Sneevliet (1883-1942)
6. 3
agamawan, hingga nasionalis. Hal ini
dilakukan melalui pemanfaatan surat kabar
yang menerbitkan berita-berita seputar anti-
kapitalisme dan anti-kolonialisme. Pengaruh
dari ISDV dan Sneevliet terlihat pada
sejumlah kaum yang kemudian beralih
pandangan kepada ide-ide marxisme. Hal ini
yang terjadi pada organisasi keagamaan
seperti Sarekat Islam (SI) yang mengalami
kepecahan pandangan mengenai ide-ide yang dibawa oleh Sneevliet tersebut. Akibatnya SI
pecah menjadi dua, yakni SI Merah yang dipengaruhi Sneevliet dan SI Putih yang menolak
pengaruh Sneevliet (Sinaga, 1960).
Melihat pengaruhnya terhadap masayrakat pribumi dengan ide-ide anti-kolonial yang dapat
berujung pada pengupayaan pemberontakan, pemerintah Belanda kemudian mengusir paksa
para kader ISDV dengan memulangkan anggota-anggotanya kembali ke Belanda. Sneevliet
sendiri dipulangkan ke Belanda pada tahun 1918, meninggalkan ISDV kepada kurang lebih
400 anggota yang tersisa. Pada tahun 1919, kurang lebih 400 anggota ISDV tersebut
didominasi oleh orang-orang pribumi, dengan orang belanda yang hanya beranggota 25
orang saja.
Setelah kepergian kader-kader Belanda anggota ISDV beserta Sneevliet, pengaruh dari ide-
ide marxis yang mereka tanamkan tetap tinggal pada anggota-anggotanya serta simpatisan
serikat buruh tersebut. Sosok kepemimpinan Sneevliet kemudian diambil alih oleh kader-
kader utamanya yakni, Semaun dan Darsono. Mereka kemudian meneruskan berbagai
upaya penyebaran paham marxisme, dan mengaktualisasinya dengan pembentukan
organisasi politik yang bernama Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) pada tahun 1920
(Sinaga, 1960). Semaun kemudian menjadi ketua, dan Darsono menjadi wakil ketuanya,
dengan orang-orang Belanda bekas kader ISDV menjadi sisa perangkat organisasi lainnya.
PKH kemudian menjadi organisasi berpaham komunis pertama di Asia, yang kemudian
mendapat rekognisi internasional berkat bantuan dari Sneevliet.
Pada tahun 1924, PKH kemudian mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang secara bersamaan meresmikan posisinya sebagai organisasi politik yang
bertujuan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Perubahan nama tersebut,
Anggota-anggota ISDV (Semarang, 1917)
7. 4
membuat PKI memiliki hubungan yang semakin kuat dengan Comintern, yang mana
membuat partai ini semakin tidak sejalan dengan nilai dan cita-cita dari Pan-Islamisme.
Pihak SI membalas hal tersebut melalui penerbitan surat kabar, beserta pembahasan dalam
konggresnya. Untuk mengakhiri infiltrasi ideolohi yang dilakukan oleh PKI dalam SI maka
dalam Konggres SI ke-6 yang dilakukan di Surabaya, Agus Salim dan Abdul Muis
mendesak agar disiplin partai harus ditegakkan dalam melarang keanggotaan rangkap
jabatan dalam keorganisasian lain. Hal ini kemudian membuat kecewa SI merah yang telah
tergabung dalam PKI. Sebagai balasan, PKI mengadakan konggres di Bandung, dimana
mereka memutuskan bahwa di mana ada SI-Putih di situ pula dididirikan SI-Merah. Pada
bulan April 1924 SI Merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat, dan resmi menjadi sub
organisasi dari PKI, yang kemudian melebur dengan PKI pada bulan Desember 1924
(Wirawan, t.t).
Pada tahun 1925, PKI beserta afiliasinya
mendorong sebuah pergerakan pemogokan
oleh para buruh dalam sektor penting seperti
kereta dan trem, yang mana hal ini
dimaksudkan untu memulai penolakan besar-
besaran pada pemerintah Belanda yang
diharapkan berujung pada revolusi (Sinaga,
1960). Sebelumnya, pemerintah Belanda telah melakukan upaya untuk menghentikan
Gerakan dari PKI ini, hal tersebut dilakukan dengan pengasingan yang dilakukan kepada
pemimpin-pemimpin PKI. Tan Malaka tahun 1922 dibuang dan diusir dari Indonesia.
Sedangkan Semaun diasingkan ke Eropa pada tahun 1923, dengan anggota-anggota lainnya
yang diasingkan ke Boven Digul, Irian Barat. (Syukur, 2008). Sedangkan pada Januari 1926,
para pentolan PKI yang tersisa seperti Musso, Boedisoetjitro, dan Soegono rencananya akan
ditangkap oleh Gubernur Jendral van Limburg Stirum tetapi mereka telah pergi ke
Singapura untuk menghindari penangkapan tersebut.
Akibat kosongnya para pemimpin PKI yang sedang melarikan diri di luar negeri, para
anggota PKI dan simpatisannya menjadi kacau. Banyak yang kemudian melakukan aksi-
aksi pergerakan yang tidak sesuai dengan pandangan komunisme secara teoritis. Hal ini
berpuncak pada wacana pemberontakan dimana pihak PKI mendeklarasikan sebuah
Republik pada tahun 1926. Wacana pemberontakan tersebut ditentang oleh Tan Malaka,
Pertemuan PKI di Batavia (1925)
8. 5
dengan Alimin mencoba mendiskusikannya dengan beliau di Manila perihal wacana
tersebut. Tan Malaka menjawabnya dengan keputusan prambanan yang menjelaskan
pertentangannya mengenai wacana tersebut dalam lima poin, yaitu (a) Situasi revolusioner
belum ada. (b) PKI belum cukup berdisiplin, (c) Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI.
(d) Tuntutan/sumbangan konkret belum dipikirkan. (e) Imperialisme internasional
bersekutu melawan komunisme. Hal ini kemudian memicu terpecah pelahnya pandangan
Tan Malaka dengan Alimin, terlebih lagi para simpatisan PKI yang kebingungan untuk
mengikuti pandangan yang mana mengingat ketidakhadiran pemimpin-pemimpin ini di
tanah air. Bagai ayam kehilangan induknya, para anggota PKI tanpa para pemimpinnya
menjadi sangat militan. Hal ini berujung pada pelaksanaan pemberontakan militan yang
dilakukan malam hari tanggal 12 November 1926. di Jawa Barat (Banten, Priangan) dan
menyusul 1 Januari 1927 di Sumatra Barat. Pemberontakan di Batavia dapat ditumpas dalam
waktu satu hari. Di Banten dan Priangan penumpasan selesai pada bulan Desember.
Sedangkan di Sumatra dapat ditumpas selama tiga hari dan mendapat perlawanan yang
relatif kuat. (Wirawan, t.t).
Pemberontakan ini pada akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh pemerintah Belanda.
Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara, sejumlah 1.308
yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dengan 823 dikirim ke Boven Digul. Hal ini
menandai kehancuran PKI dan kemudian pelarangannya oleh pemerintah Belanda, yang
kemudian memaksa PKI untuk bergerak di secara diam-diam. (Wirawan, t.t)
II.2 Perjuangan PKI Meraih Kekuasaan Pada Era Parlementer
Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, PKI dapat kembali ke dalam
panggung perpolitikan. Karena kolonialisme telah berakhir, PKI kini berfokus pada urusan
kuasa dan pemerintahan, sama seperti yang dilakukan semua partai lainnya.
Pada bulan Oktober 1945, pemerintah Indonesia mengumumkan pemberlakuan sistem
multipartai sehingga berdirilah partai-partai politik resmi baru, yang berdasar pada ideologi-
ideologinya. Secara garis besar terdapat lima aliran utama dalam pemikiran politik di
Indonesia sepanjang tahun 1945 hingga 1965 yaitu Islamisme, Komunisme, Nasionalisme
Radikal, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa (Syukur, 2008). Dalam hal ini,
PKI sebagai representasi dari aliran Komunisme memiliki kedudukan yang cukup kuat
dalam perpolitikan Indonesia kala itu.
9. 6
Pada tahun 1948, Musso yang merupakan salah satu pentolan PKI yang melarikan diri pada
masa penjajahan, kembali ke Indonesia dan kemudian menjabat menjadi Sekjen Politbiro
PKI. Karena posisinya sebagai tokoh komunis internasional serta pemikirannya yang radikal
akan ide-ide komunisme, Musso dapat mempengaruhi para pemimpin PKI dalam
menerapkan ide-ide beserta pemikiran perjuangannya dalam berbagai keputusan partai
tersebut. Dengan posisinya sebagai Sekjen Politbiro, PKI berhasil meningkatkan anggotnya
sepuluh kali lipat, mulai dari 3000 menjadi lebih dari 30.000, berkat upaya Musso dalam
menggabungkan PKI bersama empat partai Indonesia berideologi komunisme lainnya, yaitu
Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Sentral Buruh Seluruh Indonesia, dan
Partai Buruh Indonesia. (Swift, 1989).
Walaupun partai tersebut mengalami pertumbuhan yang begitu besar, perjuangannya dalam
meraih kekuasaan terbilang cukup sulit karena terdapat pertentangan politik dengan pihak-
pihak lain, ditambah dengan kondisi Perang Dingin yang memunculkan sikap anti-
komunisme, posisi PKI dalam upaya perpolitikan menjadi semakin tidak mudah. Presiden
Soekarno sendiri memiliki kekhawatiran akan PKI karena andil mereka dalam peperangan
melawan Belanda yang mana akan menguatkan pengaruh mereka dalam perpolitikan dan
mengancam posisinya sebagai Presiden. Pada 5 September 1948, Musso memberikan
sebuah pidato anjuran yang ditujukan kepada pemerintah agar merapat posisinya dengan
Uni Soviet, namun tentu saja hal ini tidak mempengaruhi pemerintah dalam pemutusan
kebijakannya, hal ini yang kemudian menjadi awal dari wacana pemberontakan yang nanti
akan dilakukan lagi oleh PKI.
Pemberontakan tersebut bermula dari
kondisi tenggang PKI melawan pihak-pihak
sayap kiri yang membuat perjuangan politik
mereka menjadi sengit. Pemerintah yang
pada saat itu terkesan memihak pada pihak
barat membuat PKI merasa semakin
tersudutkan hingga menentang hal tersebut.
Hal ini kemudian berpuncak setelah
penandatanganan Perjanjian Renville yang
ditandatangai oleh Belanda dan Indonesia. Perjanjian tersebut dinilai tidak menguntungkan
Indonesia dan malah menguntungkan Belanda yang seharusnya menjadi pihak yang
Penangkapan anggota PKI oleh TNI (September, 1948)
10. 7
bertanggung jawab atas kolonialisasi yang dilakukan sebelumnya. Dari perjanjian ini
wilayah Indonesia dipersempit, dan dilakukan penarikan senjata dan pasukan dari beberapa
zona konflik. PKI yang menerima hal itu sebagai hinaan simbolis dan aktual menjadi tidak
sejalan lagi dengan pihak pemerintah Indonesia. Salah satu kelompok militan PKI yang
tidak terima akan penarikan senjata tersebut adalah kelompok PKI yang berada di Madiun.
Hal ini kemudian memicu konflik kekerasan bersenjata antar kelompok militan PKI Madiun
dan TNI. Dalam beberapa laporan, dikatakan bahwa PKI telah melakukan proklamasi
‘Republik Soviet Indonesia’ pada tanggal 18 september 1948 (Syukur, 2008). Hal ini
kemudian berlanjut pada serbuan TNI pada 30 September yang membunuh ribuan kader
PKI, serta mengintrograsi dan mempenjarahkan 36.000 anggota lainnya. Pada 30 Oktober,
Musso tertangkap dan diekseksui di Desa Niten Kecamatan Sumerejo, Ponogoro. Beberapa
pemimpin lainnya seperti Aidit dan Lukman melarikan diri ke Republik Rakyat Tiongkok
untuk melakukan pengasingan.
Walaupun pemberontakan tersebut berdampak akan mati surinya PKI, namun secara resmi
PKI sebagai partai politik tidak dilarang oleh pemerintah, sehingga pada tahun selanjutnya
dilakukanlah rekonstruksi partai dan pergantian generasi pemimpin menuju kepemimpinan
yang baru yaitu kepemimpinan D.N Aidit (Syukur, 2008). Di bawah kepemimpinan D.N
Aidit, PKI perkembangan cepat yang kemudian melampaui posisi terkuatnya dahulu.
Mereka mengupayakannya dengan melakukan kembali kegiatan penerbitannya, dengan
organ penerbit milik mereka yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. D.N Aidit sendiri
melakukan fokus politiknya dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang anti-
kolonialis dan Anti Barat. Berkat seluruh upayanya bersama kolega-koleganya, PKI
mengalami perkembangan dari 5000 anggota pada 1950, menjadi bertambah hingga
165.000 pada 1954, dan kemudian melampaui 1,5 juta anggota pada 1959.
Di era Demokrasi Parlementer ini, PKI mulai mengorientasikan sikap politik mereka,
dimana PKI akan cenderung menempuh garis kanan sebagaimana yang digariskan oleh
Moskow, yaitu dengan jalan Legal parlementer dengan dilengkapi taktik merangkul
golongan-golongan non-Komunis (Soedarno, 2014). Hal ini berarti akan dilakukannya
pemberhentian sikap militeristik oleh PKI yang telah tercitrakan dalam pemberontakan yang
dilakukan dahulu. Berdasarkan orientasi sikap politik tersebut PKI berupaya melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap kaum buruh dan tani. D.N Aidit sendiri juga mulai
melaksanakan kerjasama dengan golongan non-Komunis yang memiliki pandangan akan
11. 8
anti penjajahan dan anti barat. Aidit menyadari akan jatuh bangunnya partai dan maju
mundurnya sebuah revolusi tergantung pada hubungan partai dengan kelas borjuis nasional.
Maka dari itu, kini Aidit mengambil strategi yang bersifat defensif, dikarenakan PKI secara
luas tidak dipercaya oleh banyak pihak dikalangan elit politik dan militer. Tujuan dari hal
ini adalah untuk melindungi partai ini dari pihak-pihak yang mengharapkan kehancurannya
(Soedarno, 2014). Dalam hal ini, Aidit juga sering memberikan dukungan kepada
pemerintah atas kebijakannya dalam rangka menunjukan citra baru dari PKI tersebut.
Pada pemilihan yang terjadi pada tahun 1955, PKI meraih posisi ke empat dengan 16% dari
keseluruhan suara yang diraut. Hasilnya, PKI memperoleh 39 kursi dalam parlementer dan
80 krusi dalam badan konstituante. Hal ini dapat dibilang cukup mengejutkan mengingat
tindakan pemberentokan yang beberapa tahun lalu dilakukan oleh partai ini. Walaupun
kemudian PKI
II.3 Kejayaan Politik PKI Pada Era Demokrasi Terpimpin
Pada akhir era Demokrasi Parlementer, PKI dapat
dikatakan telah mendapat kepercayaan penuh dari
Soekarno, dimana Ia mencegah upaya TNI yang
mencoba membatalkan konggres yang
disenggelarakan PKI pada bulan agustus 1959. Masuk
pada transisi era Demokrasi Terpimpin, Seokarno
kemudian mencanangkan NASAKOM (Nasionalisme,
Agama, dan Komunis) dalam rangka melembagakan
sejumlah kekuatan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia pada saat itu. Hal ini
kemudian memberikan sebuah langkah yang pasti bagi PKI dalam melebarkan sayapnya
dalam memberikan pengaruh politik kepada pemerintah dan kebijakannya. Satu-satunya
penghalang bagi PKI untuk dapat memperbesar pengaruhnya adalah TNI, yang hingga kini
masih memiliki sikap anti-komunis akibat dendam masa lalu (Syukur, 2008). Meskipun
memiliki hubungan yang terkesan erat dengan Soekarno, PKI tetap menjaga otonominya
sebagai kontrol pemerintah melalui prinsip ideologinya. Pada maret 1960, PKI melakukan
penentangan terhadap penanganan yang demokratis akan anggaran negara yang dilakukan
oleh Soekarno, mereka penentangan tersebut dengan menerbitkan berbagai artikel yang
mengkritik kebijakannya tersebut. Hal ini kemudian berakibat akan ditangkapnya sejumlah
pimpinan PKI, yang kemudian dibebaskan oleh Soekarno.
Soekarno bersama D.N Aidit dalam acara
ulang tahun PKI (1965)
12. 9
Pada maret 1962, para pimpinan PKI, Aidit dan Njoto, bergabung dengan pemerintah
dengan diangkatnya mereka menjadi Menteri penasehat Presiden. Selain bagian dari
NASAKOM, hal ini membuktikan bahwa PKI telah meraih kekuasaan politik yang
signifikan hingga mendapat posisi tersebut. Dengan terusnya berkembang keanggotaan PKI
tiap tahunnya, partai ini bisa dibilang telah meraih kejayaan politik yang cukup signifikan
bagi perkembangan partai yang memiliki sejarah timbul-tenggelam. Pada tahun 1965,
keanggotaan dari PKI telah mencapai 3 juta anggota, melampauo perkiraan dari Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat bahwa PKI akan mencapai anggota sekitar 2 juta anggota
(Benjamin & Kautsky, 1968). Tidak hanya itu, PKI memiliki sejumlah sub organisasi yang
dikatakan sebagai organisasi massa, seperti Gerakan Wanita Indonesia, Pemuda Rakhat,
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Barisan Tani Indonesia, Himpunan Sardjana
Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Rakjat. Yang apabila dijumlahkan keseluruhan
anggotanya mencapai seperlima dari keseluruhan rakyat Indonesia kala itu.
II.4 Kemerosotan Hingga Akhir dari PKI Pada Era Demorkrasi Pancasila
Pada era Demokrasi Terpimpin, PKI memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam
perpolitikan Indonesia. Salah satu usulan yang diupayakan mereka dalam berbagai upaya
pengaruh politik tersebut adalah mengenai pembentukannya Angkatan ke-5. Usulan
pembentukan Angkatan ke-5 ini dimaksudkan untuk menjadikan buruh dan tani sebagai
kekuatan militer yang diperlukan dalam upaya mobilisasi massa untuk menuntaskan
operasi-operasi militer, terutama operasi militer Dwikora yang pada saat itu sedang
dilaksanakan. Namun usulan tersebut ditanggapi negatif oleh TNI yang merasa khawatir
akan adanya niat lain yang dimiliki PKI dalam pembentukan Angkatan ini. TNI mencurigai
bahwa PKI akan menyelengkan penggunaan senjata dalam upaya pemberontakan kepada
pemerintah. Kecurigaan ini ditambah dengan beredarnya rumor bahwa PKI sedang
menyiapkan pelatihan militer bagi masyarakat buruh secara diam-diam, dan sedang
merencanakan kudeta. Dalam konteks melawan Malaysia, Soekarno terkesan mendukung
usulan yang diberikan PKI itu, karena pada dasarnya hal ini berarti menambah pasukan
militer yang dapat digunakannya untuk memerangi Malaysia, namun secara resmi Soekarno
tetap diam dalam memberikan pandangannya atas usulan tersebut.
Pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi serangkaian penculikan dan
pembunuhan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan. Mereka adalah Letjen. Ahmad
Yani (Men/Pangad), Mayjen. R. Soeprapto (Deputy II Men/Pangad), Mayjen. Harjono Mas
13. 10
Tirtodarmo (Deputy III Men/Pangad), Mayjen. S.Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen.
D.I. Panjaitan (Asisten VI Men/Pangad) dan Brigjen. Soetojo Siswomihardjo (Inspektur
Kehakiman AD). Pada peristiwa ini Jenderal A.H. Nasution (Menhankam) berhasil lolos
dari usaha penculikan. Tetapi putrinya yang bernama Ade Irma Suryani dan baru berumur
5 tahun serta ajudannya yang bernama Lettu. Piere Andreas Tendean meninggal dunia
dalam peristiwa tersebut. Pada sore hari pada 1 Oktober, Nasution kemudian keluar dari
persembunyiannya dan langsung bergabung dengan pasukan Kostrad (Komando Strategi
Darat) yang dipimpin Soeharto (Syukur, 2008). Kemudian beliau mengabarkan bahwa
penculikan dan pembunuhan ini dilakukan oleh pasukan Tjakrabiwara (pasukan gabungan
militer pengaman Presiden). Soeharto kemudian mengetahui berita ini dan langsung segera
mengambil alih komando di Angkatan Darat, dikarenakan hanya beliau yang memiliki
pangkat tertinggi.
Walaupun beritanya masih belum jelas, namun banyak pihak yang mengklaim bahwa hal
ini dilakukan oleh PKI, mengingat rumor bahwa akan terjadi kudeta yang dilakukan oleh
mereka. Pada malam hari, Letnan Kolonel Untung Syamsuri, komandan pleton
Tjakrawibawa, mengumkan di Radio bahwa dirinya adalah pemimpin dari Gerakan
tersebut, dimana ia bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan. Mendengar
berita tersebut, Seoharo beserta Angkatan udara memutuskan untuk menghadapi pasukan
pemberontak tersebut, dalam operasi pemberantasan yang dipimpinnya. Konfrontasi kedua
pasukan ini tidak berakhir dengan konflik senjata dikarenakan Seokarno memerintahkan
langsung pasukan pemberontak untuk menyerah.
Di hari berikutnya, para petinggi militer mengumpulkan seluruh ketua partai politik, dengan
PKI dan Parkindo yang tidak hadir. Maksud dalam pertemuan ini adalah untuk menentukan
pilihan partai apakah akan mendukung Angkatan Darat atau Komunisme, dalam hal ini PKI
(Syukur, 2008). Pada hari- berikutnya para pemimpin partai dan ormas dari berbagai unsur
mengadakan ceramah umum yang bertempat di Taman Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Para
pembicaranya antara lain H.M. Subchan Z.E, dan Yahya Ubaid (keduanya dari NU,
Projokusumo (Muhammadiyah), Syeh Marhaban (PSII), Tejomulyo (Katolik) dan lain-lain
(Mandan, 1991). Acara ini diakhiri dengan pernyataan bersama mengutuk tindakan kudeta
30 September yang telah memakan korban 6 Jenderal. Pernyataan ini secara tegas
menyatakan bahwa PKI sebagai dalang kudeta oleh karenannya PKI dan ormas-ormasnya
harus segera dibubarkan (Nasution, 1989).
14. 11
Hal ini kemudian berujung pada operasi penumpasan PKI beserta ormas dan simpatisannya
yang kemudian dilakukan oleh Angkatan Darat. Proses penghancuran PKI di Pulau Jawa
dan daerah Jawa Tengah serta Jawa Timur dilakukan dnegan sangat keras, dikarenkaan
wilayah-wilayah tersebut yang memiliki banyak anggota pengikut PKI. Operasi
pemberantasan ini tidak hanya dilakukan oleh para militer saja namun berbagai organisasi
rakyat juga mengambil peranan yang besar. Proses operasi ini berlangusung hingga bulan
desember, dimana memasuki 1966, PKI sudah menjadi sejarah hari kemarin. Pada bulan
maret, tepatnya tanggal 11, Soeharto dengan surat perintah yang dimilikinya langsung
membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya secara resmi, yang mana tindakan tersebut
mendapat dukungan yang besar dari public dan kaum anti-komunis. Kemudian pada bulan
Juli,pimpinan parlementer, Jenderal Abdul Haris Nasution, menerbitkan TAP MPRS No:
XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Menyebarkan atau
Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxis-Leninisme. Hal itu kemudian secara
signifikan menutup kemungkinan PKI ataupun ajarannya untuk bangkit kembali di seluruh
Indonesia.
15. 12
BAB III – KESIMPULAN
PKI sebagai pertai yang pernah eksis di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang
jika ditelusuri dalam pengkajian sejarah. Mulai dari bagaimana partai itu lahir sebagai
sebuah pergerakan perjuangan kemerdekaan, hingga pemberontakan yang dilakukan dalam
upaya politiknya, sampai dengan kejayaan politik yang kemudian terkubur dengan sebuah
peristiwa kelam. Dari pengkajian ini, dapat dipahami bahwa PKI merupakan bagain penting
bagi sejarah Indonesia baik dalam hal yang positif maupun negatif. Terlepas dari berbagai
perdebatan yang ada, PKI tetap memberikan dampak yang signifikan dalam perkembangan
perpolitikan bagi Indonesia, dan juga Indonesia sebagai negara.
16. 13
DAFTAR PUSTAKA
Benjamin, Roger W.; Kautsky, John H (1968). “Communism and Economic Development”,
in The American Political Science Review, Vol. 62, No. 1..
McVey, Ruth T. (2006) “The Rise of Indonesian Communism” Equinox Publishing Pte Ltd.
Nasution, Abdul Haris, (1989). “Memenuhi Panggilan Tugas jilid VI”, Jakarta: Masagung.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No:
XXV/MPRS/1966.
Roeder, O.G. (1969), “The Smiling General: President Soeharto of Indonesia”, Jakarta:
Gunung Agung.
Sinaga, Edward Djanner. (1960) “Communism and the Communist Party in Indonesia ”
George Washington University
Soedarno, Runalan dan Ginanjar (2014) “Perkembangan Politik Partai Komunis Indonesia
(1948-1965)” Jurnal Artefak Vol. 2 No. 1. Universitas Galuh Ciamis
Swift, Ann (1989) “The Road to Madiun” The Indonesian Communist Uprising of 1948.
Tan Malaka. 2000. Aksi Massa. Jakarta. CEDI dan Aliansi Press.
Syukur, Abdul (2008) “Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia” Jurnal Sejarah Lontar
Vol 5 No. 2. UNJ
Wirawan, Wahyu, t.t “Aksi Partai Komunis Indonesia 1926-1965” UGM, Fakultas Ilmu
Budaya