2. Table of contents
You can describe the topic
of the section here
You can describe the topic
of the section here
You can describe the topic
of the section here
You can describe the topic
of the section here
You can describe the topic
of the section here
You can describe the topic
of the section here
01
04
02
05
03
06
Reading fluency Key concepts Reading
Skills Objectives Activities
5. 1. Pengertian Emosi
Emosi mengacu pada perasaan kuat yang melibatkan pikiran, perubahan fisiologis, dan
ekspresi pada sebuah perilaku.
Emosi merupakan faktor yang dominan yang turut memengaruhi tingkah
laku peserta didik. Emosi positif (perasaan senang, bersemangat, atau rasa
ingin tahu) akan memengaruhi peserta didik dalam berkonsentrasi untuk
belajar.
2. Teori-Teori tentang Proses Terjadinya Emosi
a. Teori James-Lange Theory
6. b. Teori Meriam Bard
c. Teori Schachter-Singer
d. Teori Lazarus
e. Teori facial feedback (Umpan Balik
Wajah)
7. B. JENIS-JENIS EMOSI
Emosi manusia dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,
Yaitu
1) Emosi primer: emosi utama yang dapat menimbulkan emosi sekunder. Emosi
primer muncul begitu manusia dilahirkan. Emosi primer antara lain gembira,
sedih, marah, dan takut.
2) emosi sekunder: emosi yang timbul sebagai gabungan dari emosi-emosi primer
dan bersifat lebih kompleks. Emosi sekunder berasal dari kesadaran dan
evaluasi diri. Emosi sekunder antara lain malu, iri hati, dengki, ujub, kagum,
takjub, dan cinta.
8. 1) Usia 2 tahun: menguji dengan batasan-
batasan
2) Usia 3 tahun: mulai terampil mengatur emosi
3) Usia 4-6 tahun: mampu mengenali orang
lain
4) 7-12 tahun: mulai melakukan regulasi emosi
yang variatif
5) 12-18 tahun: mampu menerjemahkan situasi
sosial untuk mengekspresikan emosi
6) Usia remaja: semua emosi primer dan
skunder telah muncul
C. TAHAPAN PERKEMBANGAN EMOSI
10. Pengertian Teman Sebaya
Hurlock (1978) mengartikan teman sebaya sebagai
anak yang memiliki usia dan taraf perkembangan yang
sama.
Teman sebaya merupakan interaksi pada anak-anak
dengan tingkat usia yang sama serta mempunyai tingkat
keakraban yang relative tinggi diantara kelompoknya.
11. Peran Teman Sebaya
Menurut Santrock (2011:277) Peranan teman
sebaya dalam proses perkembangan sosial anak antara
lain sebagai sahabat, stimulasi, sumber dukungan fisik,
sumber dukungan ego, fungsi perbandingan sosial dan
fungsi kasih sayang.
Peran teman sebaya juga dikemukakan oleh
Yusuf (2010:60) yaitu memberikan kesempatan
berinteraksi dengan orang lain, mengontrol perilaku
sosial, mengembangkan keterampilan dan minat sesuai
dengan usianya, dan saling bertukar pikiran dan masalah
12. Pengaruh Teman Sebaya
Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi positif (memberikan mamfaat) dan
negatif (pengaruh buruk).
Dampak positif dan negatif teman sebaya dijabarkan oleh Desmita (2009) :
Dampak positif:
a) Mengontrol impuls-impuls agresif.
b) Memperoleh dorongan emosional dan sosial dari
teman sebaya untuk menjadi lebih independen.
c) Meningkatkan keterampilan sosial,
mengembangkan kemampuan penalaran, dan
belajar mengekspresikan perasaan dengan cara
yang baik.
d) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan
perilaku peran jenis kelamin
e) Meningkatkan harga diri
Dampak negatif:
a) Anak yang ditolaknya atau diabaikan oleh
teman sebayanya akan memunculkan
perasaan kesepian atau permusuhan
b) Budaya dari teman sebaya bisa jadi
merupakan suatu bentuk kejahatan yang
merusak nilai dan kontrol orang tua.
c) Teman sebaya dapat mengenalkan anak
kepada hal-hal yang menyimpang
13. Jenis Teman Sebaya
1) Kawan
2) Teman bermain
3) Sahabat
Status teman sebaya
Wentzel dan Asher (Santrock, 2011) membedakan status teman sebaya:
1) Anak-anak populer,
2) Anak-anak biasa
3) Anak-anak terabaikan
4) Anak-anak yang ditolak
5) Anak-anak kontroversial
14. Kelompok teman sebaya
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak yang mempunyai peranan cukup
penting bagi perkembagan kepribadiannya, oleh Johnson:
a) Social Cognition : kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif dan
perilaku dirinya dan orang lain.
b) Konformitas : motivasi untuk menjadi sama, sesuai, seragam dengan nilai-nilai, kebiasaan,
kegemaran, atau budaya dengan teman sebayanya
Indikator teman sebaya
Monks menyebutkan:
a) Umur
b) Situasi
c) Keakraban
d) Ukuran kelompok
e) Perkembangan kognitif
15. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi teman sebaya
Faktor-faktor yang menyebabkan anak diterima/ ditolak oleh
teman sebayanya, meliputi:
a) Penampilan (performance) dan perbuatan
b) Kemampuan berpikir
c) Sikap, sifat, dan perasaan
d) pribadi
18. A. Definisi Identitas Diri
Erikson menjelaskan bahwa identitas diri merupakan perasaan yang subjektif tentang
diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut Waterman, Identitas diri berarti diri sendiri memiliki gambaran
diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yag jelas yang ingin di capai,
nilai, dan kepercayaan yang dipilih individu tersebut.
Menurut James Marcia, mengatakan bahwa identitas diri merupakan
komponen penting yang menunjukan identitas personal individu.
Identitas diri merupakan perkembangan pemahaman diri seseorang yang
membuat individu semakin sadar akan kemiripannya dan keunikan dari
orang lain dan akan memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup
seseorang.
19. Batasan “Identitas (Identity)”
Pandangan yang kompleks dari Erikson mengenai identitas melibatkan tujuh dimensi (Santrock, 2003) :
1) Genetic.
2) Adaptif
3) Struktural
4) Dinamis
5) Subjektif atau berdasarkan pengalaman
6) Timbal balik psikososial
7) Status eksistensial
Erikson (1989) membedakan identitas, yaitu:
a) Identitas pribadi/ alamiah ialah seseorang berpangkal pada pengalaman
langsung bahwa dia akan tetap sama dalam sekian tahun/ tidak ada perubahan
dalam dirinya.
b) Identitas ego merupakan identitas yang menyangkut kualitas eksistensial dari
subyek yang berarti bahwa subyek itu mandiri dengan suatu gaya pribadi yang
khas. Identitas ego berarti mempertahankan suatu gaya individualitasnya sendiri.
c) Identitas bersifat psikososial karena identitas adalah solidaritas batin dengan
cita-cita identitas kelompok.
20. B. Komponen – komponen Pembentukan Identitas Diri
James Marcia membagi komponen – komponen pembentukan
identitas diri dari komponen krisis dan komponen komitmen, adapun komponen
tersebut terbagi menjadi empat sebagai berikut :
1) Difusi Identitas (Identity Diffusion) : kehilangan arah
2) Penutupan Identitas (Identity Foreclosure): menemukan diri dan memiliki
komitmen namun tanpa melalui eksplorasi terlebih dahulu.
3) Moratorium Identitas (Identity Moratorium): sibuk mencari identitas diri dan
eksplorasi
4) Pencapaian Identitas (Identity Achievement): menemukan identitas dan
membuat komitmen
21. C. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri
Menurut Fuhrahmann:
1) Pola asuh orang tua (otoritatif/ demokratis, otoriter,
permisif, neglectful)
2) Kelompok teman sebaya
3) Model untuk identifikasi
4) Pengalaman masa kanak-kanak
5) Perkembangan kognisi
6) Sifat individu
22. Ciri-ciri Pencapaian Identitas Diri
Menurut Erikson (1959), proses identitas diri sudah berlangsung sejak anak
mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri (autonomy), rasa
mampu berinisiatif (initiative), dan rasa mampu menghasilkan sesuatu (industry).
Keempat komponen ini memberikan kontribusi kepada pembentukan identitas diri.
Menurut Erikson, remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang
stabil bercirikan :
1) Memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya.
2) Memahami perbedaan dan persamaan dengan orang lain.
3) Menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya.
4) Penuh percaya diri.
5) Tanggap terhadap berbagai situasi.
6) Mampu mengambil keputusan penting.
7) Mampu mengantisipasi tantangan masa depan.
8) Mengenal perannya dalam masyarakat
24. Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan
kemampuan seseorang untuk mengetahui baik dan buruk suatu
perbuatan, kesadaran untuk melakukan perbuatan baik, kebiasaan
melakukan baik, dan rasa cinta terhadap perbuatan baik.
Moral berkembang sesuai dengan usia anak dan perkembangan kognitif
anak, yaitu pada tahap operasional konkrit dan mulai masuk ke tahap
berpikir operasional formal.
Moral berasal dari bahasa Latin mores sendiri berasal
dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau
kelakuan
Sjarkawi (2006: 35) menjelaskan moral berkaitan dengan
moralitas.
Turiel (2007) menyatakan ada perbedaan antara
moralitas dan konvensi sosial bagi anak.
25. Berkaitan dengan nilai-nilai moral yang seharusnya diajarkan oleh sekolah
kepada siswa-siswa, Lickona (1991) menjelaskan bahwa nilai-nilai tersebut
adalah rasa hormat (respect), tanggung jawab (responsbility), kejujuran
(honesty), keadilan (fairness), toleransi (tolerance), kebijaksanaan
(prudence), disiplin diri (self discipline), suka membantu (helpfulness), belas
kasih (compassion), kerjasama (cooperation), keberanian (courage), dan
demokrasi
(democration).
Schiller dan Bryant (1995) menyatakan berbagai nilai moral yang
penting ditanamkan pada anak antara lain: kepedulian, kerjasama,
berani, keteguhan hati dan komitmen, Adil, suka menolong,
kejujuran dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas,
sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap respek, tanggung jawab,
toleransi.
26. TEORI-TEORI PERKEMBANGAN MORAL
1. Perkembangan Moral Anak Menurut Teori
Psikoanalisa
Tokoh dalam teori ini adalah Sigmud Frued.
Menurutnya kepribadian manusia memiliki tiga
struktur: id, ego, dan superego. Id merupakan struktur
kepribadian yang terdiri dari naluri (instinct); Ego
berurusan dengan tuntutan realitas; Ketentuan benar
salah diputuskan superego sebagai struktur
kepribadian terkait moral
Menurut Sigmud Frued, moralitas muncul antara
usia 3 dan 6 tahun. Periode ini dikenal dengan
periode munculnya konflik Oedipus dan Electra.
27. Frued menyakini moralitas muncul sebagai resolusi dari konflik Oedipus dan
Elektra. Ketakutan hukuman dan kehilangan cinta orangtua mendorong anak-
anak untuk membentuk superego. Menurut Frued superego berfungsi sebagai
pemelihara perilaku tanpa terikat dengan ganjaran dan hukuman
Cheppy (1958) dengan mengutip Wilder menyatakan perkembangan
moral pada anak tidak selalu berkaitan dengan penolakan anak
terhadap dorongan-dorongan dasar seperti yang dikemukakan Frued,
akan tetapi berkaitan dengan penolakan yang bersangkutan terhadap
nilai-nilai, dengan memprediksi konsekuensi.
28. 2. Perkembangan Moral Menurut Teori Kognitif
a. Jean Piaget
Hasil penelitian Piaget membagi dua tahap perkembangan moral pada
manusia:
1) Tahap pertama disebut heteronomous morality (7-8 tahun)
Faktor struktur kognitif
anak
bersifat
egosentris
Faktor hubungan sosial kekeluargaan
dengan orang dewasa
kekuasaan dari atas ke bawah
2) Tahap kedua disebut autonomous morality (7-10 tahun)
29. b. Lawrence Kohlberg
Kohlberg percaya bahwa ada tiga tingkat perkembangan moral yang masing-masing ditandai
dua tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral menurut Kohlberg adalah
internalisasi.
1) Prakonvensional (preconventional)
Tingkat ini terjadi pada anak-anak prasekolah atau pelajar sekolah dasar, yaitu pada usia 4-
10 tahun. Tingkat ini dibagi kepada dua tahap: tahap pertama, orientasi hukuman
dan ketaatan, dan tahap kedua individualisme dan tujuan.
2) Konvensional (conventional)
Pada tingkat ini, seseorang menaati moral didasarkan pada standar-standar (internal)
tertentu,
tetapi mereka belum menaati standar-standar orang lain (eksternal), Tingkat ini dibagi
kepada tahap norma-norma interpersonal dan tahap moralitas sistem sosial
3) Pascakonvensional (postconventional)
Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada
standar-standar orang lain. Tingkat dibagi kepada dua tahap: tahap hak-hak
masyarakat versus hak-hak individual dan tahap prinsip-prinsip etis universal.
30. Carol Gilligan percaya bahwa teori perkembangan moral Kohlberg tidak
mencerminkan secara memadai relasi dan keperdulian terhadap manusia lain.
Perspektif keadilan (justice prespective) ialah suatu perspektif moral yang berfokus
pada hak-hak individu; individu berdiri sendiri dan bebas mengambil keputusan moral.
Teori Kohlberg ialah suatu perspektif keadilan. Sebaliknya, perspektif kepedulian
(care perspective) ialah suatu perspektif moral yang memandang manusia dari sudut
keterkaitannya dengan manusia lain dan menekankan komunikasi interpersonal, relasi
dengan manusia lain, dan kepedulian terhadap orang lain.
Kritikan Teori Kohlberg
Salah satu moral yang telah muncul sejak anak-anak adalah
alturisme.
Timbal balik dan pertukaran (reciprocity and exchange) terlibat dalam
altruisme, tidak hanya itu, ada juga interaksi dan reaksi.
William Damon menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-
anak, khususnya berbagi (sharing): Hingga usia 3 tahun, non-empatis; 4 tahun
empatis (karena dorongan); awal SD, gagasan keadilan; akhir SD, prinsip keadilan
dipahami
31. 3. Teori Belajar Sosial
Bandura mengemukakan teori belajar sosial. Belajar menurut teorinya adalah pembelajaran
lewat tokoh.
Albert Bandura
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam belajar dengan proses pembelajaran
modeling:
a) Perhatian (attention)
b) Ingatan (retention).
c) Reproduksi.
d) Motivasi.
Teori belajar sosial memandang perilaku moral diperoleh dengan cara yang sama
dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan reinforcement.
Menurut Santrock teori belajar sosial menyatakan bahwa perkembangan moral dipengaruhi secara ekstens
oleh situasi. Situasi yang ekstensif ini diperoleh lewat proses penguatan, penghukuman, dan peniruan.
Menurut Loftabadi perkembangan moral tidak hanya didasarkan pada
disebabkan oleh perkembangan kognitif (Piaget) dan Kohlberg dan
pemodelan (Bandura), tetapi juga dipengaruhi oleh sifat bawaan anak dan
lingkungan yang memiliki intensitas tinggi dalam kehidupan anak
32. C. PENGEMBANGAN MORAL
J.P. White (1975) mengatakan bahwa kurikulum sekolah harus memasukkan unsur
moral
Budiningsih (2004) dengan mengutip Suparno menyatakan ada 4 (empat) model
penyampaian pembelajaran moral, yaitu: (1) model sebagai mata pelajaran tersendiri,
(2) model terintegrasi dalam semua bidang studi, (3) model di luar pengajaran, dan (4)
model gabungan.
Penelitian Masganti (2009) tentang kompetensi moral
menujukkan bahwa pengembangan moral anak harus
dilakukan dengan beberapa tahapan sejak dini yaitu:
1) Mengenalkan/mendiskusikan nilai-nilai moral kepada
peserta melalui diskusi dilema moral.
2) Mengajak peserta didik melakukan alternatif-alternatif
yang dipilih dalam melakukan nilai-nilai moral yang
telah didiskusikan.
3) Mengajak peserta didik mengenali/mengungkapkan
perasaan yang muncul setelah melakukan alternatif
pemecahan masalah moral yang dipilih.
34. Hughes (1992) mengemukakan karateristik belajar mengajar yang baik yang akan
menciptakan suasana belajar yang kondusif:
1) Keinginan untuk berbagi kecintaan kepada peserta didik;
2) Kemampuan guru membuat materi ajar dan mampu membuat ketertarikan;
3) Menfasilitasi/melibatkan diri kepada peserta didik sesuai porsi pemahaman
mereka;
4) Kemampuan guru dalam memberikan penjelasan;
5) Memperjelas poin yang meski dimengerti oleh peserta didik;
6) Memperlihatkan kepedulian kepada peseta didik;
7) Komitmen untuk mendorong kemandirian peserta didik;
8) Kemampuan untuk meningkatkan dan beradaptasi dengan tidak tutur yang baik;
9) Menggunakan metode mengajar yang menuntut peserta didik manjadi aktif dan
memiliki tanggung jawab;
10) Memakai metode penilaian yang valid;
11) Memberikan umpan balik dengan kualitas terbaik pada pekerjaan peserta didik;
12) Keinginan untuk belajar dari sumber lain. bagaimana meningkatkan kualitas
mengajar.
35. Lingkungan belajar yang kondusif adalah lingkungan belajar di sekolah dalam
suasana berlangsungnya proses belajar mengajar.
a) Fasilitas/alat
b) Pembelajaran
Merancang kelas yang kondusif
36. Untuk menciptakan lingkungan beajar yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan perserta didik, dapat dilakukan
dengan usaha preventif:
a) Merancang kegiatan belajar
b) Menata lingkungan fisik, meliputi pengaturan kelas, tempat
duduk, sehingga memberikan kebebasan bergerak dan
kenyamanan belajar
c) Menata lingkungan non-fisik, yaitu menciptakan iklim sosio-
emosional didalam kelas. Terjadinya hubungan manusiawi,
hubungan interpersonal antara guru dengan peserta didik, dan
peserta didik dengan peserta didik yang akan memberikan
suasana bergairan, suasana senanng dan tenang untuk belajar.
Motivasi belajar akan timbul. Untuk terciptanya iklim sosio-
emosional, guru memegang peran sangat penting yang
memerlukan kesadaran profesional yang tinggi pada guru.
37. Di Indonesia pendidikan terpadu berbasis karakter yang
menggunakan pendekatan pembelajaran terpadu telah menjadikan nilai
moral sebagai basis pembentukan karakter. Nilai-nilai moral yang
digunakan disebut 9 (sembilan) pilar nilai-nilai karakter. Model
pembelajaran ini telah dikembangkan oleh Indonesia Heritage Foundation
(IHF).
Kurikulum ini telah mengintegrasikan 9 (sembilan) nilai karakter
yaitu: (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) Kemandirian dan
Tanggung Jawab, (3) Kejujuran/Amanah, Bijaksana, (4) Hormat dan
Santun, (5) Dermawan, Suka Menolong dan Gotong Royong, (6) Percaya
diri, Kreatif, dan Pekerja Keras, (7) Kepemimpinan dan Keadilan, (8) Baik
dan Rendah Hati, (9) Toleransi, Kedamaian, dan Kesatuan (Megawangi,
2007).