Dalam power point ini akan dijelaskan tentang psikologi kepribadian yang dibuat oleh kelompok kami mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Prodi Gizi S1 guna kepentingan tugas persentasi yang di berikan oleh dosen psikologi, dalam PPT ini masih belum sempurna harap maklum adanya.
Dalam power point ini akan dijelaskan tentang psikologi kepribadian yang dibuat oleh kelompok kami mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Prodi Gizi S1 guna kepentingan tugas persentasi yang di berikan oleh dosen psikologi, dalam PPT ini masih belum sempurna harap maklum adanya.
2. KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, atas
limpahan segala rahmatNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
Perkembangan Resiliensi Peserta Didik.
Penulisan makalah ini diambil dari berbagai sumber yang masih belum
sempurna, karena keterbatasan dan kemampuan penyusun. Oleh sebab itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Akhirnya tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan
harapan mudah-mudahan makalah ini dapat membantu dan bermanfaat. Aamiin…
Pekanbaru 8 Oktober 2013
Penyusun
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai guru atau pendidik kita harus mempunyai pengetahuan, kreatifitas
juga wawasan yang luas untuk memahami peserta didiknya. Selain itu kita harus
mengerti psikokologi anak, kemampuan anak, kelemahan anak dan keinginan
anak yang mempunyai bakat tertentu. Memahami peserta didik, merupakan sikap
yang harus dimiliki dan dilakukan guru, agar guru dapat mengetahui aspirasi /
tuntutan peserta didik yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam
penyusunan program yang tepat bagi peserta didik, sehingga kegiatan
pembelajaran pun akan dapat memenuhi kebutuhan, minat mereka dan tepat
berdasarkan dengan perkembangan resiliensi mereka.
Resiliensi merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi,
terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan
kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang
bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan
resiko dalam kehidupan mereka.
Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah
dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu
pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang
hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.
Menurut Reivich dan Shatte (1999: 26), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma,
dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa resilience yaitu kapasitas individu untuk mengatasi, dan
meningkatkan diri dari keterpurukan, dengan merespon secara sehat dan produktif
untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan
hidup sehari-hari.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menigkatkan perkembangan resiliensi pada peserta didik.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan resiliensi peserta didik.
4. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resiliensi
Menurut Grotberg (1995) ada tiga kemampuan yang membentuk resiliensi.
Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have‟.
Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am‟, sedangkan
untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah‟I Can‟.
A. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam
meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I
Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), anak membutuhkan dukungan
eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan
keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan
resilience. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang
meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut
1. Trusting relationships (mempercayai hubungan) : Orang tua, anggota
keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima
anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang
tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer
(primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan
dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan
dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap
kurangnya kasih sayang dari orang tua.
2. Struktur dan aturan di rumah : Orang tua yang memberikan rutinitas dan
aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan
dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan
rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak.
Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan
jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa
yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu
dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan
didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak
dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan
anak tersebut.
3. Role models : Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya
bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan
dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka
menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau
menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru
mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak
tersebut dengan aturan-aturan agama.
4. Dorongan agar menjadi otonom : Orang dewasa, terutama orang tua,
mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan
berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak
menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan
sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak,
5. sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat
menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak
untuk dapat otonom.
5. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan
: Anak-anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan
layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa
dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan
guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau
layanan sejenisnya.
B. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri.
Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada
beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :
1. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik : Anak tersebut sadar bahwa
orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap
orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat
mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang
berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
2. Mencintai, empati, dan altruistic : Anak mengasihi orang lain dan
menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan
apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui
tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena
orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi
penderitaan atau kesenangan.
3. Bangga pada diri sendiri : Anak mengetahui dia adalah seseorang yang
penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa
dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan
orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu
mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self
esteemmembantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah
tersebut.
4. Otonomi dan tanggung jawab : Anak dapat melakukan sesuatu dengan
caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut.
Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal
tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai
kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
5. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan : Anak percaya bahwa ada harapan
baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya.
Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar
akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai
rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta
dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk
rohani yang lebih tinggi.
C. I Can “I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang
lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis,
pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan
6. bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi
faktor I can yaitu :
1. Berkomunikasi : Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan
kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang
lain serta merasakan perasaan orang lain.
2. Pemecahan masalah : Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab
munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak
dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi
yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan
dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
3. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan : Anak dapat mengenali
perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan
kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain
atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk
memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak
menyenangkan.
4. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain : Individu memahami
temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan
mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap
temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui
berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu
individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak
individu mampu sukses dalam berbagai situasi
5. Mencari hubungan yang dapat dipercaya : Anak dapat menemukan
seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta
pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik
untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan
interpersonal.
2.2 Meningkatkan Resiliensi Peserta Didik.
Langkah- langkah yang harus kita telusuri dalam meningkatkan resiliensi
diri yaitu :
Mengendalikan diri sendiri, bagaimanakah kebiasaan kita dalam bersikap.
Hindari terjebak dalam situasi tertentu, seperti menyalahkan diri sendiri.
Keyakinan kuat apakah yang selama ini menghambat kemampuan kita
untuk bangkit, Tanpa disadari, sering kita dipengaruhi keyakinan kuat
tentang hal tertentu, misalnya keyakinan bahwa orang lain dan dunia
bersikap dan menginginkan sesuatu dari kita.
Tantangan keyakinan, artinya komponen kunci dari daya lenting adalah
kemampuan mengatasi masalah. Sejauh mana kemampuan kita dalam
mengatasi masalah sehari-hari.
Menjaga perspektif dalam hidup, seperti apakah kita sering tenggelam
dalam kondisi tertekan dan menghabiskan waktu untuk terus
mencemaskan hal yang belum tentu terjadi.
Tenang dan tetap menjaga pusat perhatian, jangan sampai kita dikuasai
stres dan situasi emosional.
7. Daya lenting dalam hal tenggang waktu, apakah kita selalu dikuasai
pikiran negatif yang muncul dalam benak kita sehingga sulit bagi kita
menghadapi kenyataan hidup.
Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu cepat, seseorang
perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu
melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup
yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resiliensi akan
semakin meningkat.
2.3 Perkembangan Resiliensi Peserta Didik.
Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi
dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas.
Masten (1994; dalam Davis, 2009) melakukan penelitian longitudinal dan cross
sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan
berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa,
kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan
penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang
mengindikasikan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang
mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri
yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam
perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu
mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut. Morland (1996;
dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan faktor-
faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang berasal
dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita
kehilangan orangtua. Irawati (2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan
penelitian terhadap resiliensi remaja dari keluarga brokenhome. Hasil penelitian
mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu membekali
diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan yang
datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami masalah
kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja.
Rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak
dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri
mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan
dalam situasi yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era
globalisasi saat ini. Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk
keluarga atau organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien
merupakan prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan
masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan
suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Sejumlah fakta empiris mengenai
pengalaman adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai
gangguan perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri
remaja. Hal ini mengisyaratkan perlunya upaya sistematis yang lebih
terkoordinasi dan terprogram dengan baik dalam rangka meningkatkan resiliensi
remaja, khususnya remaja dengan pengalaman terhadap adversitas dan beresiko
8. tinggi terhadap gangguan perilaku dan kegagalan akademik di sekolah. Meskipun
mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan, siswa dengan
tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas
menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat
tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu
resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua
karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis siswa.
Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas,
insight. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan
keberhasilan siswa dalam kehidupan, termasuk keberhasilan dalam belajar di
sekolah (Desmita, 2009:199).
Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau
peserta didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan
berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik
tersebut. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa
sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas
untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan
menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial,
akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan
di sekolah. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa layanan bimbingan dan
konseling di sekolah juga turut bertanggung jawab dalam mendukung
pengembangan karakteristik yang mendukung peningkatan resiliensi siswa.
Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggung jawab etis
untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di
sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling
yang bermutu dan tepat sasaran. Namun, untuk dapat memberikan layanan
bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut
untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan dan keterampilan yang
memadai seputar teori dan pendekatan konseling.
Para peneliti memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis
dibanding sebagai suatu sifat. Hal ini berarti bahwa resiliensi merupakan kapasitas
individu yang diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman lingkungan.
Resiliensi merupakan sikap dan keterampilan yang dapat dipelajari dan
dikembangkan oleh setiap individu, namun untuk dapat mendukung
perkembangan resiliensi dan membantu individu memelihara kemampuan
resiliensi dalam diri mereka, diperlukan lingkungan yang fasilitatif, kondusif dan
motivasional. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terutama sangat
berperan penting dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik
resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut (Desmita,
2006:198).
Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi
perkembangan anak dan remaja. Dengan demikian jelas bahwa sekolah
merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat memungkinkan
membantu siswa mengembangkan resiliensi.
9. BAB III
KESIMPULAN
3.1 Penutup
Resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari
keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Dimana ada tekanan yang
mengganggu orang-orang dengan resiliensi tinggi akan mudah untuk kembali ke
keadaan normal. Orang yang resilien lebih mudah dalam mengatur regulasi emosi.
Mereka cepat memutus perasaan yang tak sehat, yang kemudian justru
membantunya tumbuh menjadi orang yang lebih kuat.