SlideShare a Scribd company logo
MAKALAH
PERKEMBANGAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Disusun Oleh:
AWARI SUSANTI
PROGRAM PROPESI GURU
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
PEKANBARU
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, atas
limpahan segala rahmatNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
Perkembangan Resiliensi Peserta Didik.
Penulisan makalah ini diambil dari berbagai sumber yang masih belum
sempurna, karena keterbatasan dan kemampuan penyusun. Oleh sebab itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Akhirnya tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan
harapan mudah-mudahan makalah ini dapat membantu dan bermanfaat. Aamiin…
Pekanbaru 8 Oktober 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai guru atau pendidik kita harus mempunyai pengetahuan, kreatifitas
juga wawasan yang luas untuk memahami peserta didiknya. Selain itu kita harus
mengerti psikokologi anak, kemampuan anak, kelemahan anak dan keinginan
anak yang mempunyai bakat tertentu. Memahami peserta didik, merupakan sikap
yang harus dimiliki dan dilakukan guru, agar guru dapat mengetahui aspirasi /
tuntutan peserta didik yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam
penyusunan program yang tepat bagi peserta didik, sehingga kegiatan
pembelajaran pun akan dapat memenuhi kebutuhan, minat mereka dan tepat
berdasarkan dengan perkembangan resiliensi mereka.
Resiliensi merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi,
terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan
kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang
bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan
resiko dalam kehidupan mereka.
Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah
dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu
pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang
hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.
Menurut Reivich dan Shatte (1999: 26), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma,
dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa resilience yaitu kapasitas individu untuk mengatasi, dan
meningkatkan diri dari keterpurukan, dengan merespon secara sehat dan produktif
untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan
hidup sehari-hari.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menigkatkan perkembangan resiliensi pada peserta didik.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan resiliensi peserta didik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resiliensi
Menurut Grotberg (1995) ada tiga kemampuan yang membentuk resiliensi.
Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have‟.
Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am‟, sedangkan
untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah‟I Can‟.
A. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam
meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I
Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), anak membutuhkan dukungan
eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan
keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan
resilience. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang
meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut
1. Trusting relationships (mempercayai hubungan) : Orang tua, anggota
keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima
anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang
tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer
(primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan
dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan
dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap
kurangnya kasih sayang dari orang tua.
2. Struktur dan aturan di rumah : Orang tua yang memberikan rutinitas dan
aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan
dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan
rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak.
Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan
jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa
yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu
dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan
didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak
dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan
anak tersebut.
3. Role models : Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya
bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan
dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka
menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau
menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru
mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak
tersebut dengan aturan-aturan agama.
4. Dorongan agar menjadi otonom : Orang dewasa, terutama orang tua,
mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan
berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak
menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan
sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak,
sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat
menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak
untuk dapat otonom.
5. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan
: Anak-anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan
layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa
dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan
guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau
layanan sejenisnya.
B. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri.
Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada
beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :
1. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik : Anak tersebut sadar bahwa
orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap
orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat
mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang
berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
2. Mencintai, empati, dan altruistic : Anak mengasihi orang lain dan
menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan
apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui
tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena
orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi
penderitaan atau kesenangan.
3. Bangga pada diri sendiri : Anak mengetahui dia adalah seseorang yang
penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa
dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan
orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu
mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self
esteemmembantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah
tersebut.
4. Otonomi dan tanggung jawab : Anak dapat melakukan sesuatu dengan
caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut.
Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal
tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai
kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
5. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan : Anak percaya bahwa ada harapan
baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya.
Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar
akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai
rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta
dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk
rohani yang lebih tinggi.
C. I Can “I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang
lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis,
pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan
bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi
faktor I can yaitu :
1. Berkomunikasi : Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan
kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang
lain serta merasakan perasaan orang lain.
2. Pemecahan masalah : Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab
munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak
dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi
yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan
dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
3. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan : Anak dapat mengenali
perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan
kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain
atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk
memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak
menyenangkan.
4. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain : Individu memahami
temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan
mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap
temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui
berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu
individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak
individu mampu sukses dalam berbagai situasi
5. Mencari hubungan yang dapat dipercaya : Anak dapat menemukan
seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta
pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik
untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan
interpersonal.
2.2 Meningkatkan Resiliensi Peserta Didik.
Langkah- langkah yang harus kita telusuri dalam meningkatkan resiliensi
diri yaitu :
 Mengendalikan diri sendiri, bagaimanakah kebiasaan kita dalam bersikap.
 Hindari terjebak dalam situasi tertentu, seperti menyalahkan diri sendiri.
 Keyakinan kuat apakah yang selama ini menghambat kemampuan kita
untuk bangkit, Tanpa disadari, sering kita dipengaruhi keyakinan kuat
tentang hal tertentu, misalnya keyakinan bahwa orang lain dan dunia
bersikap dan menginginkan sesuatu dari kita.
 Tantangan keyakinan, artinya komponen kunci dari daya lenting adalah
kemampuan mengatasi masalah. Sejauh mana kemampuan kita dalam
mengatasi masalah sehari-hari.
 Menjaga perspektif dalam hidup, seperti apakah kita sering tenggelam
dalam kondisi tertekan dan menghabiskan waktu untuk terus
mencemaskan hal yang belum tentu terjadi.
 Tenang dan tetap menjaga pusat perhatian, jangan sampai kita dikuasai
stres dan situasi emosional.
 Daya lenting dalam hal tenggang waktu, apakah kita selalu dikuasai
pikiran negatif yang muncul dalam benak kita sehingga sulit bagi kita
menghadapi kenyataan hidup.
Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu cepat, seseorang
perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu
melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup
yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resiliensi akan
semakin meningkat.
2.3 Perkembangan Resiliensi Peserta Didik.
Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi
dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas.
Masten (1994; dalam Davis, 2009) melakukan penelitian longitudinal dan cross
sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan
berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa,
kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan
penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang
mengindikasikan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang
mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri
yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam
perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu
mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut. Morland (1996;
dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan faktor-
faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang berasal
dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita
kehilangan orangtua. Irawati (2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan
penelitian terhadap resiliensi remaja dari keluarga brokenhome. Hasil penelitian
mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu membekali
diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan yang
datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami masalah
kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja.
Rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak
dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri
mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan
dalam situasi yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era
globalisasi saat ini. Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk
keluarga atau organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien
merupakan prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan
masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan
suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Sejumlah fakta empiris mengenai
pengalaman adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai
gangguan perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri
remaja. Hal ini mengisyaratkan perlunya upaya sistematis yang lebih
terkoordinasi dan terprogram dengan baik dalam rangka meningkatkan resiliensi
remaja, khususnya remaja dengan pengalaman terhadap adversitas dan beresiko
tinggi terhadap gangguan perilaku dan kegagalan akademik di sekolah. Meskipun
mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan, siswa dengan
tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas
menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat
tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu
resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua
karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis siswa.
Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas,
insight. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan
keberhasilan siswa dalam kehidupan, termasuk keberhasilan dalam belajar di
sekolah (Desmita, 2009:199).
Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau
peserta didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan
berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik
tersebut. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa
sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas
untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan
menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial,
akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan
di sekolah. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa layanan bimbingan dan
konseling di sekolah juga turut bertanggung jawab dalam mendukung
pengembangan karakteristik yang mendukung peningkatan resiliensi siswa.
Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggung jawab etis
untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di
sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling
yang bermutu dan tepat sasaran. Namun, untuk dapat memberikan layanan
bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut
untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan dan keterampilan yang
memadai seputar teori dan pendekatan konseling.
Para peneliti memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis
dibanding sebagai suatu sifat. Hal ini berarti bahwa resiliensi merupakan kapasitas
individu yang diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman lingkungan.
Resiliensi merupakan sikap dan keterampilan yang dapat dipelajari dan
dikembangkan oleh setiap individu, namun untuk dapat mendukung
perkembangan resiliensi dan membantu individu memelihara kemampuan
resiliensi dalam diri mereka, diperlukan lingkungan yang fasilitatif, kondusif dan
motivasional. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terutama sangat
berperan penting dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik
resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut (Desmita,
2006:198).
Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi
perkembangan anak dan remaja. Dengan demikian jelas bahwa sekolah
merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat memungkinkan
membantu siswa mengembangkan resiliensi.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Penutup
Resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari
keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Dimana ada tekanan yang
mengganggu orang-orang dengan resiliensi tinggi akan mudah untuk kembali ke
keadaan normal. Orang yang resilien lebih mudah dalam mengatur regulasi emosi.
Mereka cepat memutus perasaan yang tak sehat, yang kemudian justru
membantunya tumbuh menjadi orang yang lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.belajarpsikologionline.com.
http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi.
http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/Bukan_korban_tetapi_orang_ya
ng_berhasil_selamat_Survivor.
Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in
Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood
Development : Practice and Reflections. Number8. The Hague : Benard van
Leer Voundation.
Grothberg, E. (1999). Tapping Your Inner Strength, Oakland, CA : New
Harbinger Publication, Inc.
Reivick, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New york: Broadway Books

More Related Content

What's hot

Pendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisisPendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisis
safutri nurhidayah
 
Intelegensi ppt
Intelegensi pptIntelegensi ppt
Intelegensi pptMelz Mutz
 
PPT (Motivasi Belajar)
PPT (Motivasi Belajar)PPT (Motivasi Belajar)
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase RemajaPerkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Ova Opayanti
 
Contoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitif
Contoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitifContoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitif
Contoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitif
Stevany Sinaga
 
Kepemimpinan
KepemimpinanKepemimpinan
Kepemimpinan
Dadang Solihin
 
Modul pengembangan bakat dan kreativitas
Modul pengembangan bakat dan kreativitasModul pengembangan bakat dan kreativitas
Modul pengembangan bakat dan kreativitas
cindrya
 
Soal pilihan ganda kepribadian
Soal pilihan ganda kepribadianSoal pilihan ganda kepribadian
Soal pilihan ganda kepribadian
tyaarahman
 
Makalah anak berbakat jadiii
Makalah anak berbakat jadiiiMakalah anak berbakat jadiii
Makalah anak berbakat jadiiiTita Sobandi
 
Masa Dewasa
Masa DewasaMasa Dewasa
Masa Dewasa
Melda Amelia
 
Modifikasi perilaku
Modifikasi perilakuModifikasi perilaku
Modifikasi perilakuAfra Balqis
 
STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)
STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)
STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)
Nur Arifaizal Basri
 
Laporan hasil wawancara kelompok 4
Laporan hasil wawancara   kelompok 4Laporan hasil wawancara   kelompok 4
Laporan hasil wawancara kelompok 4
Wahyuda5
 
Hubungan Budaya dengan Psikologi
Hubungan Budaya dengan Psikologi Hubungan Budaya dengan Psikologi
Hubungan Budaya dengan Psikologi
Wulandari Rima Kumari
 
Artikel ilmiah
Artikel ilmiahArtikel ilmiah
Artikel ilmiah
magdalena praharani
 
Teori Abraham Maslow
Teori Abraham Maslow Teori Abraham Maslow
Teori Abraham Maslow
Habib Grindcore
 

What's hot (20)

Pendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisisPendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisis
 
Intelegensi ppt
Intelegensi pptIntelegensi ppt
Intelegensi ppt
 
PPT (Motivasi Belajar)
PPT (Motivasi Belajar)PPT (Motivasi Belajar)
PPT (Motivasi Belajar)
 
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase RemajaPerkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
 
Psikologi Emosi
Psikologi EmosiPsikologi Emosi
Psikologi Emosi
 
Contoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitif
Contoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitifContoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitif
Contoh dari operant conditioning, classical conditioning, dan belajar kognitif
 
Kepemimpinan
KepemimpinanKepemimpinan
Kepemimpinan
 
Modul pengembangan bakat dan kreativitas
Modul pengembangan bakat dan kreativitasModul pengembangan bakat dan kreativitas
Modul pengembangan bakat dan kreativitas
 
Soal pilihan ganda kepribadian
Soal pilihan ganda kepribadianSoal pilihan ganda kepribadian
Soal pilihan ganda kepribadian
 
Studi kasus peserta didik
Studi kasus peserta didikStudi kasus peserta didik
Studi kasus peserta didik
 
Makalah anak berbakat jadiii
Makalah anak berbakat jadiiiMakalah anak berbakat jadiii
Makalah anak berbakat jadiii
 
Masa Dewasa
Masa DewasaMasa Dewasa
Masa Dewasa
 
Modifikasi perilaku
Modifikasi perilakuModifikasi perilaku
Modifikasi perilaku
 
STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)
STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)
STUDI KASUS (DIAGNOSIS,PROGNOSIS, TREATMENT, FOLLOW UP)
 
Laporan hasil wawancara kelompok 4
Laporan hasil wawancara   kelompok 4Laporan hasil wawancara   kelompok 4
Laporan hasil wawancara kelompok 4
 
Motivasi Kerja
Motivasi KerjaMotivasi Kerja
Motivasi Kerja
 
Hubungan Budaya dengan Psikologi
Hubungan Budaya dengan Psikologi Hubungan Budaya dengan Psikologi
Hubungan Budaya dengan Psikologi
 
Artikel ilmiah
Artikel ilmiahArtikel ilmiah
Artikel ilmiah
 
Teori Abraham Maslow
Teori Abraham Maslow Teori Abraham Maslow
Teori Abraham Maslow
 
Emosi
EmosiEmosi
Emosi
 

Similar to Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

Makalah permasalahan anak yatni
Makalah permasalahan anak yatniMakalah permasalahan anak yatni
Makalah permasalahan anak yatni
Septian Muna Barakati
 
Powerpoint bk
Powerpoint bkPowerpoint bk
Powerpoint bk
nidaanisah
 
Psikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas Intelektual
Psikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas IntelektualPsikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas Intelektual
Psikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas Intelektual
Amalia Senja
 
Makalah permasalahan anak nuzul
Makalah permasalahan anak nuzulMakalah permasalahan anak nuzul
Makalah permasalahan anak nuzul
Septian Muna Barakati
 
Tahap dan tugas perkembangan
Tahap dan tugas perkembanganTahap dan tugas perkembangan
Tahap dan tugas perkembanganameliaresti
 
201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi
201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi
201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasiumiawibyzt
 
MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5)
MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5) MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5)
MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5)
Amphie Yuurisman
 
Nilai, sikap, dan kepuasan kerja
Nilai, sikap, dan kepuasan kerjaNilai, sikap, dan kepuasan kerja
Nilai, sikap, dan kepuasan kerja
wawan gulo
 
Peran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptx
Peran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptxPeran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptx
Peran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptx
CandraDewi69
 
RUKOL 1.4 upload.pdf
RUKOL 1.4 upload.pdfRUKOL 1.4 upload.pdf
RUKOL 1.4 upload.pdf
MaxDavidCatman
 
6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)
6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)
6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)
Nur Arifaizal Basri
 

Similar to Perkembangan Resiliensi Peserta Didik (20)

Makalah permasalahan anak yatni
Makalah permasalahan anak yatniMakalah permasalahan anak yatni
Makalah permasalahan anak yatni
 
Makalah permasalahan anak yatni
Makalah permasalahan anak yatniMakalah permasalahan anak yatni
Makalah permasalahan anak yatni
 
Powerpoint bk
Powerpoint bkPowerpoint bk
Powerpoint bk
 
Psikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas Intelektual
Psikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas IntelektualPsikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas Intelektual
Psikoedukasi Resiliensi Keluarga Anak Disabilitas Intelektual
 
Makalah permasalahan anak nuzul
Makalah permasalahan anak nuzulMakalah permasalahan anak nuzul
Makalah permasalahan anak nuzul
 
Tahap dan tugas perkembangan
Tahap dan tugas perkembanganTahap dan tugas perkembangan
Tahap dan tugas perkembangan
 
ANAK DIDIK DAN ASPEK-ASPEKNYA (ILMU PENDIDIKAN)
ANAK DIDIK DAN ASPEK-ASPEKNYA (ILMU PENDIDIKAN)ANAK DIDIK DAN ASPEK-ASPEKNYA (ILMU PENDIDIKAN)
ANAK DIDIK DAN ASPEK-ASPEKNYA (ILMU PENDIDIKAN)
 
Nola ppd
Nola ppdNola ppd
Nola ppd
 
Asigmen
AsigmenAsigmen
Asigmen
 
Nelli ppd
Nelli ppdNelli ppd
Nelli ppd
 
201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi
201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi
201131063 umi nurkholifah PPT layanan Informasi
 
Nola ppd
Nola ppdNola ppd
Nola ppd
 
MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5)
MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5) MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5)
MODUL STIMULASI Sinau Terapan Ilmu Psikologi (5)
 
Nilai, sikap, dan kepuasan kerja
Nilai, sikap, dan kepuasan kerjaNilai, sikap, dan kepuasan kerja
Nilai, sikap, dan kepuasan kerja
 
Peran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptx
Peran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptxPeran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptx
Peran Orangtua Remaja dalam Menumbuhkan Life Skill.pptx
 
Revisi pa
Revisi paRevisi pa
Revisi pa
 
RUKOL 1.4 upload.pdf
RUKOL 1.4 upload.pdfRUKOL 1.4 upload.pdf
RUKOL 1.4 upload.pdf
 
Kelompok 12
Kelompok 12Kelompok 12
Kelompok 12
 
Makalah permasalahan anak suriati
Makalah permasalahan anak  suriatiMakalah permasalahan anak  suriati
Makalah permasalahan anak suriati
 
6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)
6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)
6. RPL BIMBINGAN KLASIKAL (POP)
 

More from awarisusanti

Bioremediasi
Bioremediasi Bioremediasi
Bioremediasi
awarisusanti
 
Fitoremediasi
Fitoremediasi Fitoremediasi
Fitoremediasi
awarisusanti
 
Biokimia khamir awari susanti
Biokimia khamir awari susantiBiokimia khamir awari susanti
Biokimia khamir awari susanti
awarisusanti
 
Mekanisme Transport Na dan K
Mekanisme  Transport Na dan KMekanisme  Transport Na dan K
Mekanisme Transport Na dan K
awarisusanti
 
Metabolisme lipid pada buah kelapa sawit
Metabolisme lipid pada buah kelapa sawitMetabolisme lipid pada buah kelapa sawit
Metabolisme lipid pada buah kelapa sawitawarisusanti
 
Hormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhanHormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhanawarisusanti
 
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari patiAktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari patiawarisusanti
 
Metabolit sekunder hewan laut.
Metabolit sekunder hewan laut.Metabolit sekunder hewan laut.
Metabolit sekunder hewan laut.awarisusanti
 
Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.
Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.
Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.awarisusanti
 
Biotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susanti
Biotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susantiBiotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susanti
Biotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susantiawarisusanti
 
Fermentasi Kopi_S2_Awari Susanti
Fermentasi Kopi_S2_Awari SusantiFermentasi Kopi_S2_Awari Susanti
Fermentasi Kopi_S2_Awari Susantiawarisusanti
 
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awri
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awriAktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awri
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awriawarisusanti
 
Metabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhanMetabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhanawarisusanti
 
Metabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhanMetabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhanawarisusanti
 
Bioremediasi Bio Ling.
Bioremediasi Bio Ling.Bioremediasi Bio Ling.
Bioremediasi Bio Ling.
awarisusanti
 
Biodiversity pasca
Biodiversity pascaBiodiversity pasca
Biodiversity pasca
awarisusanti
 
Makalah resiliensi
Makalah resiliensiMakalah resiliensi
Makalah resiliensiawarisusanti
 

More from awarisusanti (20)

Bioremediasi
Bioremediasi Bioremediasi
Bioremediasi
 
Fitoremediasi
Fitoremediasi Fitoremediasi
Fitoremediasi
 
Biokimia khamir awari susanti
Biokimia khamir awari susantiBiokimia khamir awari susanti
Biokimia khamir awari susanti
 
Mekanisme Transport Na dan K
Mekanisme  Transport Na dan KMekanisme  Transport Na dan K
Mekanisme Transport Na dan K
 
Metabolisme lipid pada buah kelapa sawit
Metabolisme lipid pada buah kelapa sawitMetabolisme lipid pada buah kelapa sawit
Metabolisme lipid pada buah kelapa sawit
 
Metabolisme heme
Metabolisme heme Metabolisme heme
Metabolisme heme
 
Transkripsi
TranskripsiTranskripsi
Transkripsi
 
Microsatelit
MicrosatelitMicrosatelit
Microsatelit
 
Hormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhanHormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhan
 
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari patiAktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati
 
Metabolit sekunder hewan laut.
Metabolit sekunder hewan laut.Metabolit sekunder hewan laut.
Metabolit sekunder hewan laut.
 
Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.
Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.
Bioteknologi_GMO_S2_Awari_susanti.
 
Biotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susanti
Biotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susantiBiotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susanti
Biotek_Fermtasi Kopi_ppt_ s22014 awari susanti
 
Fermentasi Kopi_S2_Awari Susanti
Fermentasi Kopi_S2_Awari SusantiFermentasi Kopi_S2_Awari Susanti
Fermentasi Kopi_S2_Awari Susanti
 
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awri
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awriAktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awri
Aktifitas amilolitik dan produksi alkohol dari pati awri
 
Metabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhanMetabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhan
 
Metabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhanMetabolisme lipid pada tumbuhan
Metabolisme lipid pada tumbuhan
 
Bioremediasi Bio Ling.
Bioremediasi Bio Ling.Bioremediasi Bio Ling.
Bioremediasi Bio Ling.
 
Biodiversity pasca
Biodiversity pascaBiodiversity pasca
Biodiversity pasca
 
Makalah resiliensi
Makalah resiliensiMakalah resiliensi
Makalah resiliensi
 

Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

  • 1. MAKALAH PERKEMBANGAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Disusun Oleh: AWARI SUSANTI PROGRAM PROPESI GURU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU PEKANBARU 2013
  • 2. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, atas limpahan segala rahmatNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Perkembangan Resiliensi Peserta Didik. Penulisan makalah ini diambil dari berbagai sumber yang masih belum sempurna, karena keterbatasan dan kemampuan penyusun. Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhirnya tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan harapan mudah-mudahan makalah ini dapat membantu dan bermanfaat. Aamiin… Pekanbaru 8 Oktober 2013 Penyusun
  • 3. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai guru atau pendidik kita harus mempunyai pengetahuan, kreatifitas juga wawasan yang luas untuk memahami peserta didiknya. Selain itu kita harus mengerti psikokologi anak, kemampuan anak, kelemahan anak dan keinginan anak yang mempunyai bakat tertentu. Memahami peserta didik, merupakan sikap yang harus dimiliki dan dilakukan guru, agar guru dapat mengetahui aspirasi / tuntutan peserta didik yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan program yang tepat bagi peserta didik, sehingga kegiatan pembelajaran pun akan dapat memenuhi kebutuhan, minat mereka dan tepat berdasarkan dengan perkembangan resiliensi mereka. Resiliensi merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka. Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Menurut Reivich dan Shatte (1999: 26), resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa resilience yaitu kapasitas individu untuk mengatasi, dan meningkatkan diri dari keterpurukan, dengan merespon secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana menigkatkan perkembangan resiliensi pada peserta didik. 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui perkembangan resiliensi peserta didik.
  • 4. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resiliensi Menurut Grotberg (1995) ada tiga kemampuan yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have‟. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am‟, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah‟I Can‟. A. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), anak membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut 1. Trusting relationships (mempercayai hubungan) : Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua. 2. Struktur dan aturan di rumah : Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut. 3. Role models : Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak tersebut dengan aturan-aturan agama. 4. Dorongan agar menjadi otonom : Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak,
  • 5. sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom. 5. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan : Anak-anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya. B. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu : 1. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik : Anak tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. 2. Mencintai, empati, dan altruistic : Anak mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan. 3. Bangga pada diri sendiri : Anak mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteemmembantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 4. Otonomi dan tanggung jawab : Anak dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. 5. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan : Anak percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi. C. I Can “I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan
  • 6. bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu : 1. Berkomunikasi : Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. 2. Pemecahan masalah : Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan. 3. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan : Anak dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. 4. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain : Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi 5. Mencari hubungan yang dapat dipercaya : Anak dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. 2.2 Meningkatkan Resiliensi Peserta Didik. Langkah- langkah yang harus kita telusuri dalam meningkatkan resiliensi diri yaitu :  Mengendalikan diri sendiri, bagaimanakah kebiasaan kita dalam bersikap.  Hindari terjebak dalam situasi tertentu, seperti menyalahkan diri sendiri.  Keyakinan kuat apakah yang selama ini menghambat kemampuan kita untuk bangkit, Tanpa disadari, sering kita dipengaruhi keyakinan kuat tentang hal tertentu, misalnya keyakinan bahwa orang lain dan dunia bersikap dan menginginkan sesuatu dari kita.  Tantangan keyakinan, artinya komponen kunci dari daya lenting adalah kemampuan mengatasi masalah. Sejauh mana kemampuan kita dalam mengatasi masalah sehari-hari.  Menjaga perspektif dalam hidup, seperti apakah kita sering tenggelam dalam kondisi tertekan dan menghabiskan waktu untuk terus mencemaskan hal yang belum tentu terjadi.  Tenang dan tetap menjaga pusat perhatian, jangan sampai kita dikuasai stres dan situasi emosional.
  • 7.  Daya lenting dalam hal tenggang waktu, apakah kita selalu dikuasai pikiran negatif yang muncul dalam benak kita sehingga sulit bagi kita menghadapi kenyataan hidup. Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resiliensi akan semakin meningkat. 2.3 Perkembangan Resiliensi Peserta Didik. Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas. Masten (1994; dalam Davis, 2009) melakukan penelitian longitudinal dan cross sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa, kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut. Morland (1996; dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan faktor- faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita kehilangan orangtua. Irawati (2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan penelitian terhadap resiliensi remaja dari keluarga brokenhome. Hasil penelitian mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu membekali diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan yang datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami masalah kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja. Rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan dalam situasi yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era globalisasi saat ini. Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk keluarga atau organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien merupakan prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Sejumlah fakta empiris mengenai pengalaman adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai gangguan perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri remaja. Hal ini mengisyaratkan perlunya upaya sistematis yang lebih terkoordinasi dan terprogram dengan baik dalam rangka meningkatkan resiliensi remaja, khususnya remaja dengan pengalaman terhadap adversitas dan beresiko
  • 8. tinggi terhadap gangguan perilaku dan kegagalan akademik di sekolah. Meskipun mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan, siswa dengan tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis siswa. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas, insight. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan siswa dalam kehidupan, termasuk keberhasilan dalam belajar di sekolah (Desmita, 2009:199). Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau peserta didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan karakteristik yang mendukung peningkatan resiliensi siswa. Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggung jawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan tepat sasaran. Namun, untuk dapat memberikan layanan bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan dan keterampilan yang memadai seputar teori dan pendekatan konseling. Para peneliti memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis dibanding sebagai suatu sifat. Hal ini berarti bahwa resiliensi merupakan kapasitas individu yang diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman lingkungan. Resiliensi merupakan sikap dan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh setiap individu, namun untuk dapat mendukung perkembangan resiliensi dan membantu individu memelihara kemampuan resiliensi dalam diri mereka, diperlukan lingkungan yang fasilitatif, kondusif dan motivasional. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terutama sangat berperan penting dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut (Desmita, 2006:198). Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak dan remaja. Dengan demikian jelas bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat memungkinkan membantu siswa mengembangkan resiliensi.
  • 9. BAB III KESIMPULAN 3.1 Penutup Resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Dimana ada tekanan yang mengganggu orang-orang dengan resiliensi tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan normal. Orang yang resilien lebih mudah dalam mengatur regulasi emosi. Mereka cepat memutus perasaan yang tak sehat, yang kemudian justru membantunya tumbuh menjadi orang yang lebih kuat.
  • 10. DAFTAR PUSTAKA http://www.belajarpsikologionline.com. http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi. http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/Bukan_korban_tetapi_orang_ya ng_berhasil_selamat_Survivor. Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development : Practice and Reflections. Number8. The Hague : Benard van Leer Voundation. Grothberg, E. (1999). Tapping Your Inner Strength, Oakland, CA : New Harbinger Publication, Inc. Reivick, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New york: Broadway Books