Tulisan ini membahas perlunya pembaharuan Qanun Baitul Mal Aceh untuk meningkatkan peran lembaga tersebut. Beberapa poin pentingnya adalah: Pertama, perlunya payung hukum yang jelas tentang tata kelola Baitul Mal dan hubungannya dengan pemerintah daerah. Kedua, sosialisasi peran Baitul Mal ke masyarakat dan aparat pemerintah. Ketiga, rekonstruksi pemahaman petugas tentang makna substantif Bait
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN UU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ...Siti Sahati
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan pemerintahan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuan utama pengaturan ini adalah meningkatkan peran desa dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa serta memperkuat desa sebagai entitas yang mandiri.
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN UU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ...Siti Sahati
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan pemerintahan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuan utama pengaturan ini adalah meningkatkan peran desa dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa serta memperkuat desa sebagai entitas yang mandiri.
Asuransi syariah adalah sistem saling tolong menolong antara para peserta melalui pembentukan dana yang dikelola secara syariah untuk menghadapi risiko tertentu. Dana peserta dikelola melalui akad-akad seperti tabarru', wakalah, dan mudharabah. Asuransi syariah memiliki prospek besar di Indonesia karena mayoritas penduduk muslim, tetapi tantangan utamanya adalah pemahaman masyarakat yang masih rendah terhadap asur
Dokumen tersebut membahas tentang hukum perbankan di Indonesia yang mencakup pengertian bank dan perbankan, asas-asas perbankan, sumber hukum perbankan, jenis-jenis bank serta kegiatan usaha bank umum dan BPR."
Dokumen tersebut membahas landasan hukum, tujuan, dan pengertian pendaftaran tanah. Landasan hukumnya meliputi UUPA, PP Nomor 24 Tahun 1997, dan peraturan terkait lainnya. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pengertiannya adalah rangkaian kegiatan pemerintah untuk mengumpulkan dan mengelola data fisik dan yuridis tanah.
PPT BANK SYARIAH KELOMPOK 2 MA.20.C.02.pptxNonaInnasya
Dokumen tersebut membahas sejarah, pengertian, jenis, tujuan, perbedaan, dan produk bank syariah di Indonesia. Secara singkat, bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam dan menghindari bunga, dengan menggunakan akad-akad seperti bagi hasil, sewa, dan jual beli.
Bab 2 Perkembangan Lembaga Keuangan Syariahforantum
Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah dari masa nabi Muhammad hingga lembaga modern saat ini. Ia menjelaskan berdirinya bank syariah pertama di Mesir pada tahun 1963 dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah internasional. Dokumen ini juga menjelaskan perkembangan perbankan syariah di Indonesia sejak UU Perbankan Syariah tahun 2008 beserta target pengembangannya.
5. hubungan antara pemerintah pusat & daerahnurul khaiva
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah meliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam. Hubungan ini menimbulkan hubungan administratif dan kewilayahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom di Indonesia.
Dokumen tersebut memberikan ringkasan singkat tentang produk perbankan syariah yang meliputi produk penghimpunan dana (tabungan, deposito), produk pembiayaan (murabahah, salam, istishna, ijarah), serta jasa perbankan syariah (hiwalah, kafalah, wakalah, rahn, sharf)."
Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif...Dimebag Darrell
Dokumen tersebut membahas tentang analisis kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif hukum pidana ekonomi. Dibahas mengenai pengertian kejahatan bisnis, tindak pidana ekonomi, dan kedudukan serta pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kejahatan bisnis berdasarkan hukum pidana ekonomi."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang penyaluran zakat konsumtif untuk fakir uzur oleh Baitul Mal Aceh, khususnya proses dan tahapan penyalurannya.
2. Zakat diwajibkan bagi umat Islam yang memiliki harta melebihi nisab untuk disalurkan kepada delapan kelompok penerima zakat yang berhak, salah satunya adalah fakir.
3. Bait
Asuransi syariah adalah sistem saling tolong menolong antara para peserta melalui pembentukan dana yang dikelola secara syariah untuk menghadapi risiko tertentu. Dana peserta dikelola melalui akad-akad seperti tabarru', wakalah, dan mudharabah. Asuransi syariah memiliki prospek besar di Indonesia karena mayoritas penduduk muslim, tetapi tantangan utamanya adalah pemahaman masyarakat yang masih rendah terhadap asur
Dokumen tersebut membahas tentang hukum perbankan di Indonesia yang mencakup pengertian bank dan perbankan, asas-asas perbankan, sumber hukum perbankan, jenis-jenis bank serta kegiatan usaha bank umum dan BPR."
Dokumen tersebut membahas landasan hukum, tujuan, dan pengertian pendaftaran tanah. Landasan hukumnya meliputi UUPA, PP Nomor 24 Tahun 1997, dan peraturan terkait lainnya. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pengertiannya adalah rangkaian kegiatan pemerintah untuk mengumpulkan dan mengelola data fisik dan yuridis tanah.
PPT BANK SYARIAH KELOMPOK 2 MA.20.C.02.pptxNonaInnasya
Dokumen tersebut membahas sejarah, pengertian, jenis, tujuan, perbedaan, dan produk bank syariah di Indonesia. Secara singkat, bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam dan menghindari bunga, dengan menggunakan akad-akad seperti bagi hasil, sewa, dan jual beli.
Bab 2 Perkembangan Lembaga Keuangan Syariahforantum
Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah dari masa nabi Muhammad hingga lembaga modern saat ini. Ia menjelaskan berdirinya bank syariah pertama di Mesir pada tahun 1963 dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah internasional. Dokumen ini juga menjelaskan perkembangan perbankan syariah di Indonesia sejak UU Perbankan Syariah tahun 2008 beserta target pengembangannya.
5. hubungan antara pemerintah pusat & daerahnurul khaiva
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah meliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam. Hubungan ini menimbulkan hubungan administratif dan kewilayahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom di Indonesia.
Dokumen tersebut memberikan ringkasan singkat tentang produk perbankan syariah yang meliputi produk penghimpunan dana (tabungan, deposito), produk pembiayaan (murabahah, salam, istishna, ijarah), serta jasa perbankan syariah (hiwalah, kafalah, wakalah, rahn, sharf)."
Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif...Dimebag Darrell
Dokumen tersebut membahas tentang analisis kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif hukum pidana ekonomi. Dibahas mengenai pengertian kejahatan bisnis, tindak pidana ekonomi, dan kedudukan serta pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kejahatan bisnis berdasarkan hukum pidana ekonomi."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang penyaluran zakat konsumtif untuk fakir uzur oleh Baitul Mal Aceh, khususnya proses dan tahapan penyalurannya.
2. Zakat diwajibkan bagi umat Islam yang memiliki harta melebihi nisab untuk disalurkan kepada delapan kelompok penerima zakat yang berhak, salah satunya adalah fakir.
3. Bait
Proposal ini mengajukan rencana pembangunan renovasi Kamar Mandi Cuci Kakus (MCK) DKM Al-Manshuriyah di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur. Proposal ini mencakup latar belakang, tujuan, rencana kegiatan, anggaran, dan harapan agar masyarakat dapat berpartisipasi mendanai pembangunan tersebut agar sarana ibadah menjadi lebih layak.
Dokumen tersebut merangkum sejarah perkembangan lembaga keuangan Islam sejak zaman Rasulullah hingga masa modern. Pada zaman Rasulullah didirikan lembaga Baitul Maal untuk mengelola pendapatan dan belanja negara, serta Wilayatul Hisbah untuk mengawasi pasar. Rasulullah juga membangun etika bisnis dengan melarang riba dan mensosialisasikan perbedaan antara riba dan jual beli.
Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...M Abdul Aziz
Yayasan Pesantren Islam Al Azhar didirikan pada tahun 1952 di Jakarta dengan tujuan membangun pendidikan Islam. Yayasan ini berkembang pesat karena dukungan tokoh Islam ternama seperti Buya Hamka.
DSN-MUI dan DPS merupakan dua lembaga penting dalam pengawasan perbankan syariah di Indonesia. DSN-MUI adalah dewan syariah nasional yang berada di bawah MUI dan bertugas mengeluarkan fatwa, sedangkan DPS berada di tingkat bank dan bertugas memastikan kegiatan bank sesuai syariah.
Makalah ini membahas perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional. Bank syariah didasarkan pada prinsip syariah Islam sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga. Akad yang digunakan bank syariah antara lain wadiah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, dan istisna sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga.
Makalah ini membahas perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional. Bank syariah didasarkan pada prinsip syariah Islam sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga. Akad yang digunakan bank syariah antara lain wadiah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, dan istisna sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga.
Prospek wakaf tunai_dalam_pengembangan_ekonomi_islam_Silvia Sari
Wakaf tunai memiliki potensi besar untuk membangun ekonomi umat Islam di Indonesia. Jika 20% dari penduduk Muslim Indonesia berwakaf 0,5% dari pendapatannya setiap bulan, dapat mengumpulkan dana wakaf sebesar Rp355 miliar per bulan atau Rp4,26 triliun per tahun. Dana wakaf ini dapat diinvestasikan di berbagai bidang dan membuka lapangan kerja. Wakaf tunai diyakini dapat meningkatkan partisip
Lembaga Pengelola
Zakat (LPZ) adalah institusi yang bergerak dibidang pengelolaan dana
zakat.
Menurut UU No. 23 Tahun 2011 tentang Lembaga Pengelola
Zakat Pasal 1 Ayat 1 dinyatakan bahwa ,”Pengelolaan zakat adalah
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam
pegumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.”
4
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, di Indonesia terdapat dua
jenis Lembaga Pengelola Zakat, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat adalah lembaga
pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dan terdiri atas
pemerintah dan masyarakat, sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ)
adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di
sbidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kemaslahatan umat yang
bertugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan
zakat
Lembaga Pengelola
Zakat (LPZ) adalah institusi yang bergerak dibidang pengelolaan dana
zakat.
Menurut UU No. 23 Tahun 2011 tentang Lembaga Pengelola
Zakat Pasal 1 Ayat 1 dinyatakan bahwa ,”Pengelolaan zakat adalah
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam
pegumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.”
4
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, di Indonesia terdapat dua
jenis Lembaga Pengelola Zakat, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat adalah lembaga
pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dan terdiri atas
pemerintah dan masyarakat, sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ)
adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di
sbidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kemaslahatan umat yang
bertugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan
zakat
Tugas Perbankan Syariah - Dosen Shinta MelzatiaLysialim
Lembaga keuangan syariah dijelaskan sebagai lembaga yang mengeluarkan produk keuangan sesuai syariah Islam dan memiliki izin operasi. Prinsip-prinsip hukum muamalat meliputi mubah, sukarela, manfaat dan menghindari mudarat, serta keadilan. Transaksi haram meliputi barang atau jasa terlarang, akad tidak sah, dan sistem memperoleh keuntungan terlarang seperti riba. Perbedaan tadlis dan ghar
Makalah ini membahas mengenai pengertian dan perkembangan bank syariah serta regulasi dan kegiatan usaha bank syariah. Secara ringkas makalah ini membahas:
1) Pengertian bank syariah yaitu bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam tanpa bunga.
Makalah kelahiran perbankan syariah kelompok 1jihannur4
Makalah ini membahas tentang sejarah berdirinya perbankan syariah di dunia dan Indonesia. Pertama kali bank syariah didirikan pada tahun 1963 di Malaysia. Bank syariah pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1992 dengan nama Bank Muamalat Indonesia.
Praktik Ekonomi Masyarakat Aceh dalam Konteks Ekonomi Islam: Kajian terhadap ...Azharsyah Ibrahim
Masyarakat Aceh sudah melakukan praktik-praktik ekonomi jauh sebelum sistem ekonomi tercluster seperti keadaan sekarang. Paper ini bertujuan untuk mengkaji dua bentuk dari sejumlah kegiatan ekonomi masyarakat Aceh yang masih dipraktikkan sampai sekarang, yaitu Mawah dan Gala dalam konteks ekonomi Islam. Dalam mencari jawaban, penulis melakukan wawancara dan observasi serta kajian literatur terhadap hal-hal yang berkaitan dengan bidang kajian. Dari hasil kajian penulis menyimpulkan bahwa praktik Mawah sudah sejalan dengan filosofi ekonomi Islam dimana dalam praktiknya tidak mengandung unsur-unsur riba, gharar, maisir dan dilakukan atas saling ridha. Sedangkan praktik Gala (gadai) terindikasi adanya riba akibat penggunaan barang galaan oleh penerima gala. Konsep dasar gadai dalam Islam adalah tolong menolong sehingga tidak dihalalkan mengambil manfaat sebagai efek dari tolong menolong tadi. Pengambilan manfaat ini dapat menjerumuskan transaksi tersebut ke dalam riba.
UTILISASI KONSEP ANGKAT BLOE DALAM WAKAF PRODUKTIF SEBAGAI SOLUSI PEMBANGUNAN...Azharsyah Ibrahim
This paper aims to offer a solution for the waqf management using one of Aceh’s local wisdom, namely concept of angkat bloe. Data for this paper were collected using in-depth interview, observation, and literature reviews. The data were analyzed
using descriptive analysis method. The results show that the concept of angkat bloe can be utilized as a solution for waqf productive. The concept was justified using Quranic verses and related hadiths, the concept of maslahah, the view of ulama. It is
concluded that the concept is able to bridge the differences in understanding in the purpose of waqf itself. This concept can also be a mediator between the rigid interpretation and the main purpose of the waqf in Islamic economic system.
The Ethical Practices of Islamic Banking: A Study from Customer Satisfaction ...Azharsyah Ibrahim
This study aims to investigate the level of customer satisfaction as a result of the Islamic Work Ethics (IWE) implementation in Islamic banks in Aceh, Indonesia. Specifically, it examines the difference in perceiving satisfaction among
customers of Islamic Commercial Banks (ICB), Islamic Business Units (IBU), and Islamic Rural Banks (IRB). The study incorporated a quantitative method which was employed through questionnaire surveys that were distributed to 600 respondents of seven Islamic banks. The data were then analyzed using descriptive and inferential analyses in SPSS. The findings revealed that in general, the customers have shown a high satisfaction on the IWE practiced in Islamic banking institutions. Particularly, the ICB scored the highest satisfaction level compared to the other banking categories.
Measuring the Islamic Work Ethics: An Alternative ApproachAzharsyah Ibrahim
The study on Islamic Work Ethics (IWE) has relatively new comparing to its counterpart, the Protestant Work Ethics (PWE). It is noted that the earlier academic study on this field began on early 1980s when some Islamic scholars published their research on work ethics from Islamic perspectives. Perhaps, the study of Naqvi and Nasr were among the first academic studies that focused on IWE. However, the most cited work probably was Ali’s study that provided a scale of IWE measurement. Over decades, many studies on IWE have utilized the scale that developed by Ali. Unfortunately, the study on this area particularly its measurement scale has not shown any progress since then. Many scholars seemed enjoy using the same scale on their IWE studies without further exploration. The problem with the existing literature is too much influence of Arab culture and under the influence of PWE. Thus, this paper aims to reconstruct the IWE measurement by dividing it into several dimensions and try to avoid the influence of PWE in designing the items. Several steps are involved in designing the measurement. First, an investigation the IWE literature and other related works to explore the concept of work ethics in Islam. Then, some important values of IWE were pulled out based on the concept. The following step is dividing the values into 8 dimensions. Under these dimensions, the items of IWE measurement are developed. The initial statements are screened and validated by 11 experts in related area as a part of qualitative validation. Later, quantitative validation that involved pilot study and some statistic models is performed. The result shows that the scales are reliable and significant particularly for the Islamic banking sector.
Penggunaan Model “Angkat Bloe” dalam Wakaf Produktif: Justifikasi dan HambatanAzharsyah Ibrahim
Waqf is one of the instruments in Islamic economics to boost up the economic justice and welfare of society. Indonesia, as the largest Muslim country in the world, has the potency to utilize this sector. Per 2012, according to Ministry of Religious Affairs, there are 3.49 billion square meters of land waqf spreading in 420.003 locations all around Indonesia. If these numbers were converted into cash, it surely will result in a fantastic number. However, most of these lands were still unproductive (idle) as most of them are only used for building mosques, schools, funerals, and other unproductive buildings. In some provinces in Indonesia, like Aceh, the used of asset waqf other than what it was literally stated by the giver is prohibited. The rules were set by traditional religious clerics with very rigid interpretations. Consequently, it creates mindset of its people that waqf should be treated in such a rigid way although they knew it could be used for a bigger purpose and get bigger maslahah for the whole ummah. To change the mindset is not easy as it has been ongoing for generations. One of the way is by inserting the local value and approach into management waqf. In Aceh, there were many models of muamalah that have been practicing and living in the society for such a long time. Among many, Angkat Bloe model is seen suitable to be inserted into management waqf. Angkat Bloe is a kind of contract that is commonly used in trading activities for the purpose of the asset that has been sold to be returned. Prior transaction, the seller and buyer set an agreement that the asset will be sold back to the seller after the buyer operate it for certain times at the same price as it was sold. Based on the above explanation, this paper will try to put an effort in providing solutions by inserting the local model into management waqf. The model will be justified using Quranic verses and related hadiths, the concept of maslahah, the view of ulama. The rationales and possible obstacles will also be highlighted
Kartu Kredit dan Keabsahan Penggunaannya dalam Transaksi Ekonomi IslamAzharsyah Ibrahim
Laporan penelitian ini membahas tentang kartu kredit dan keabsahan penggunaannya dalam transaksi ekonomi Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akad-akad yang terlibat dalam transaksi kartu kredit dan keabsahan penggunaannya berdasarkan hukum Islam. Penelitian ini juga mengkaji kedudukan syarat dan ketentuan pembuatan kartu kredit. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka dengan mengumpul
Dokumen tersebut membahas dua praktik ekonomi tradisional masyarakat Aceh, yaitu sistem mawah dan gala. Sistem mawah merupakan bagi hasil antara pemilik modal dengan pengelola aset sesuai kesepakatan. Sedangkan sistem gala adalah pinjaman dengan menggadaikan barang, dimana pemegang gadai dapat menggunakan barang gadai hingga pinjaman dilunasi.
MATERI AKUNTANSI IJARAH POWER POINT (PPT)ritaseptia16
Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik ma’jur (obyek
sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek
sewa yang di sewakannya.
BAB 3 PROFESI, PELUANG KERJA, DAN PELUANG USAHA BIDANG AKL.pptxanselmusl280
Jurusan akuntansi merupakan salah satu jurusan yang cukup populer di Indonesia. Banyak mahasiswa yang memilih jurusan ini karena prospek kerja yang menjanjikan. Namun, sebelum memilih jurusan ini, sebaiknya Anda mengetahui terlebih dahulu apa itu jurusan akuntansi.
Akuntansi adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari tentang pencatatan, pengukuran, pengklasifikasian, dan pelaporan transaksi keuangan. Jurusan akuntansi sendiri merupakan suatu program studi yang mengajarkan ilmu akuntansi, mulai dari dasar-dasar akuntansi hingga akuntansi lanjutan.
Dalam jurusan akuntansi, Anda akan mempelajari berbagai materi, seperti dasar-dasar akuntansi, teori akuntansi, analisis laporan keuangan, audit, pajak, hingga manajemen keuangan. Selain itu, Anda juga akan belajar menggunakan software akuntansi, seperti Microsoft Excel dan SAP.
Gelar akademik yang akan didapatkan oleh para lulusan S-1 jurusan akuntansi adalah Sarjana Akuntansi (S.Ak.). Memiliki gelar sarjana akuntansi merupakan salah satu syarat penting untuk menjadi seorang akuntan profesional.
Dengan memperoleh gelar sarjana akuntansi, seseorang dianggap memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai akuntansi, audit, pajak, dan manajemen keuangan.
Setelah lulus dari jurusan akuntansi, Anda memiliki peluang kerja yang sangat luas. Anda bisa bekerja di berbagai bidang, seperti akuntan publik, auditor, konsultan pajak, pegawai bank, pegawai asuransi, broker saham, hingga dosen akuntansi. Bahkan, jika Anda memiliki kemampuan untuk memulai bisnis, Anda juga bisa membuka usaha konsultan akuntansi.
Anda juga bisa memperoleh gaji yang cukup tinggi jika bekerja di bidang akuntansi. Gaji rata-rata untuk lulusan akuntansi di Indonesia bervariasi, tergantung dari posisi dan pengalaman kerja. Namun, umumnya gaji untuk lulusan akuntansi di Indonesia berkisar antara 4 hingga 10 juta rupiah per bulan.
Secara keseluruhan, jurusan akuntansi memiliki prospek kerja yang menjanjikan dan peluang karier yang luas. Namun, sebelum memilih jurusan ini, pastikan Anda memiliki minat dan bakat dalam bidang akuntansi. Selain itu, perlu juga memiliki kemampuan analisis yang baik, teliti, dan detail-oriented.
Salah satu prospek kerja yang menarik bagi lulusan akuntansi adalah menjadi broker saham.
Sebagai broker saham, tugas utama adalah membantu investor dalam membeli dan menjual saham di pasar saham. Selain itu, seorang broker saham juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menganalisis data dan memprediksi pergerakan harga saham.
Meskipun menjadi broker saham terdengar menarik dan menjanjikan, tetapi tidak semua lulusan akuntansi bisa menjadi broker saham dengan mudah. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi broker saham, antara lain harus memiliki sertifikasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan harus memiliki lisensi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, bagi lulusan akuntansi yang memiliki sertifikasi dan lisensi tersebut, prospek kerja sebagai broker saham di Indonesia
2. PENGEMBANGAN
BAITUL MAL ACEH
Tim Penyusun:
Dr. Nazaruddin A. Wahid, MA
Dr. Ridwan Nurdin, MCL
Dr. Armiadi, MA
Muhammad Shiddiq, MH
Dr. Kamaruzzaman, M. Sh
Dedy Sumardi, M.Ag
Chairul Fahmi, MA
Editor:
Azharsyah, SE.Ak., M.S.O.M.
Kerjasama
Baitul Mal Provinsi Aceh
Dengan
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry
2010 M / 1431 H
4. Pengembangan Baitul Mal Aceh
iii
egala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan
anugerahnya kepada kita sekalian. Shalawat dan salam
ke haribaan Nabi Besar Muhammad SAW. Atas
perjuangan dan dedikasinya menyampaikan kebenaran.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan amanah
Undang-Undang sehingga menjadi kewajiban bagi setiap
masyarakat muslim baik pemerintah maupun lainnya untuk
menjadikannya lebih konkret. Realitas tersebut telah
berkembang seiring dengan hadirnya berbagai peraturan
perundangan sebagai aspek penting perwujudannya. UU No.
11/2006 merupakan tonggak baru pelaksanaan syariat Islam di
Aceh karena UU tersebut merupakan UU Otonomi Khusus Jilid II
( UU No. 18/2001 Otonomi Khusus Jilid I) telah secara tegas
menyatakan bahwa Aceh diberi kesempatan melaksanakan
syariat Islam secara kaffah.
Salah satu aspek penting syariat Islam adalah mengurus
zakat karena otoritas pengelolaan zakat berada pada tangan
penguasa;baik mengumpulkan atau mendistribusikannya.
Pengaturan tersebut telah dilaksanakan berdasarkan Qanun No.
KATA PENGANTAR
5. Pengembangan Baitul Mal Aceh
iv
7/2004 tentang pengelolaan zakat yang telah merubah tatanan
perzakatan dari sistem BAZIS menjadi Baitul Mal. Otoritas ini
kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Qanun No. 10/2007
tentang Baitul Mal.
Keberadaan Qanun No. 10/2007 tentang Baitul Mal
ternyata menimbulkan masalah yang signifikan menyebabkan
perkembangan Baitul Mal menjadi melambat. Posisi ini
dikarenakan masih banyak hal yang perlu diatur, seperti;
kedudukan zakat sebagai PAD, posisi sekretariat Baitul Mal, dan
hal lainnya. Buku yang berada di tangan pembaca merupakan
sebuah pemikiran awal tentang hal-hal yang perlu ditata
kembali berkaitan dengan peran dan fungsi Baitul Mal ke
depan.
Banda Aceh, 20 Desember 2010
Pembantu Dekan Bid. Akademik,
Dr. Ridwan Nurdin,MCL
6. Pengembangan Baitul Mal Aceh
v
PENGANTAR PENERBIT................................................. iii
DAFTAR ISI .................................................................... v
BAB SATU: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................... 1
B. Tujuan Pembuatan ........................................... 3
C. Dasar pemikiran pentingnya pembaharuan
Qanun Baitul Mal Aceh ..................................... 6
1. Aspek Filosofis............................................. 6
2. Aspek Sosiologis.......................................... 8
3. Aspek Yuridis............................................... 9
4. Aspek Ekonomis .......................................... 11
BAB DUA: BAITUL MAL ACEH DAN HUBUNGANNYA DENGAN
STRUKTUR KELEMBAGAAN DAERAH
A. Tata kerja lembaga Baitul Mal dalam jajaran
lembaga daerah Provinsi Aceh.......................... 13
B. Hubungan secara internal................................. 16
C. Baitul Mal dengan sistem pengelolaan keuangan
zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) .. 21
DAFTAR ISI
7. Pengembangan Baitul Mal Aceh
vi
BAB TIGA: PERLUASAN KEWENANGAN BAITUL MAL
A. Mengurus dan Mengelola Zakat, Wakaf, Harta
Agama Menurut Hukum Islam.......................... 25
B. Pengawasan dan Evaluasi terhadap Zakat,
Wakaf dan Harta Agama................................... 30
C. Perwalian .......................................................... 33
D. Bentuk Lembaga Baitul Mal (Badan Layanan
Umum) .............................................................. 35
E. Prinsip dan Produk Inti Baitul Mal .................... 37
F. Meningkatkan Pemberdayaan Ekonomi
Umat.................................................................. 43
BAB EMPAT: PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK
A. Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan
Zakat, Wakaf dan Harta Agama ........................ 47
B. Tahap pengumpulan zakat................................ 48
C. Tahap penyaluran/ Pengelolaan/
Pendayagunaan Zakat....................................... 50
BAB LIMA: PENUTUP
CATATAN AKHIR........................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 62
8. Pengembangan Baitul Mal Aceh
1
BAGIAN
1
A. Latar Belakang
ulisan ini disusun dalam rangka pengembangan Baitul
Mal Aceh (BMA). Lembaga ini merupakan salah satu
institusi pengelolaan harta agama yang sudah muncul
pada era Khulafa’ ar-Râsyidûn. Saat itu, Baitul Mal menjadi
tulang punggung perekonomian umat Islâm dengan asas
“Supaya harta itu jangan beredar di antara golongan kaya saja.”
Model pengelolaan harta agama ini menjadi warisan sejarah
Islam yang masih diterapkan hingga hari ini. Salah satu
kelebihan dari Baitul Mal adalah harta umat yang berasal dari
zakat, infak, dan sumber-sumber yang dibolehkan oleh agama,
dikelola untuk kepentingan umat, bukan kepentingan individu,
kelompok, atau penguasa, bahkan bukan untuk pengurus Baitul
Mal. Karena itu, di beberapa negara Muslim Baitul Mal menjadi
lembaga keuangan yang masih dipertahankan, khususnya di
negara-negara Timur Tengah.
Berangkat dari kenyataan sejarah di atas, maka peran
Baitul Mal cukup signifikan. Dia berbeda dengan sistem
PENDAHULUAN
9. Pengembangan Baitul Mal Aceh
2
perbankan atau sistem keuangan lainnya yang lebih banyak
mengambil asas ”menolong tetapi harus menguntungkan.”
Hanya saja, pengelolaan sistem Baitul Mal ini sudah tidak
demikian diminati, seiring dengan perubahan zaman dan nilai
keperluan manusia dalam kebutuhan mereka sehari-hari.1
Dalam konteks Aceh, posisi Baitul Mal sendiri masih belum
menemukan jati dirinya sebagai lembaga keuangan ummat
yang paling terdepan. Orang lebih suka berhubungan dengan
Bank, asuransi, penggadaian, untuk urusan keuangan mereka,
ketimbang dengan Baitul Mal. Padahal posisi Baitul Mal, dalam
sejarah keuangan umat Islam sama persis dengan posisi Bank
Sentral. Karena sedemikian kuatnya keinginan ummat untuk
berurusan dengan bank, asuransi, penggadaian, maka beberapa
sistem keuangan mereka pun disyariatkan. Wal hasil, warisan
Islam yang paling otentik yakni Baitul Mal dikesampingkan,
hanya dalam bidang pengelolaan zakat dan infak saja.
Walaupun dalam kenyataan sejarah, ini telah mengkerdilkan
peran lembaga ini sendiri. Padahal, tujuan dibentuknya Baitul
Mal adalah ”karena Baitul Mal mempunyai peranan yang cukup
besar sebagai sarana tercapainya tujuan negara serta
pemerataan hak dan kesejahteraan kaum Muslim”2
Jadi, sedemikian besar peran Baitul Mal dalam
menciptakan kesejahteraan kaum Muslim di suatu negeri.
Dalam konteks Aceh, dapat dikatakan jika dalam situasi damai
dan di dalamnya terdapat Baitul Mal, namun dalam
kenyataannya umat Islam belum sejahtera, maka dapat
dikatakan bahwa Baitul Mal belum sama sekali berperan dalam
mensejahterakan ummat Islam. Tentu saja, ini bukan ingin
memberikan hak untuk memikul persoalan ummat pada Baitul
Mal saja, namun dalam kenyataan sejarah, lembaga inilah yang
paling terdepan dalam mensejahterakan ummat Islam. Jadi,
10. Pengembangan Baitul Mal Aceh
3
wajar jika kemudian di Aceh, posisi Baitul Mal belum dianggap
penting dan bahkan sering dipandang ’sebelah mata’ oleh
beberapa kalangan.3
Dengan begitu, tulisan ini bermaksud untuk memberikan
beberapa pandangan awal mengenai bagaimana semestinya
Baitul Mal berperan di Aceh. Hal ini tentu saja harus dimulai
dari bagaimana cetak biru peraturan yang dalam menjelaskan
secara terarah mengenai peran lembaga ini agar dapat
dimengerti nilai kepentingannya dan tidak tumpang tindih
dengan peraturan-peraturan lainnya di Aceh. Setidaknya ada
beberapa modal awal bagi pengembangan Baitul Mal di Aceh.
Pertama, Aceh telah diberikan kewenangan dalam
melaksanakan Syariat Islam secara kaffah dan telah dianggap
sebagai proyek percontohan bagi daerah lainnya di Indonesia
dalam menjalakan hukum Islam di Indonesia.4
Kedua, situasi
damai di Aceh yang kemudian ditambah dengan UUPA
No.11/2006 yang secara konstitusional menyebutkan peran
Baitul Mal. Ini dua modal awal bagi pengembangan Baitul Mal di
Aceh, termasuk bagaimana merumuskan peraturan,
menciptakan Sumber Daya Manusia, meyakinkan pihak
Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif mengenai posisi lembaga ini
di Aceh secara keseluruhan.
B. Tujuan Pembuatan
Tujuan dasar pembuatan tulisan ini adalah sebagai
panduan dalam rangka pembaharuan qanun Baitul Mal Aceh.
Qanun No.10/2007 yang berlaku sekarang dirasakan masih
perlu pembaharuan. Hal yang dirasakan sangat perlu untuk
diperbaharui melingkupi pembaharuan kewenangan, struktur
11. Pengembangan Baitul Mal Aceh
4
lembaga, dan koordinasi di antara lembaga daerah. Diharapkan
tulisan ini akan menjadi sumber pendukung di samping sumber-
sumber lainnya.
Dalam rangka pembaharuan sistem tata kelola Baitul Mal
di Aceh, maka diperlukan beberapa langkah-langkah strategis.
Ada beberapa agenda utama yaitu: Pertama, perlunya sebuah
Qanun yang komprehensif dalam pelaksanaan tata kerja Baitul
Mal di Aceh. Qanun yang dimaksud adalah untuk memberikan
payung hukum yang jelas, dan hubungan lembaga ini dengan
sistem pemerintahan di Aceh. Sampai sekarang, walaupun sudah
ada beberapa peraturan mengenai Baitul Mal di Aceh, masih
dirasakan belum mampu menjawab bagaimana kinerja lembaga
ini. Hal ini terlihat dari tata kelola sistem Baitul Mal yang belum
menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat Aceh.
Kedua, perlunya sosialisasi mengenai peran dan fungsi
Baitul Mal di Aceh. Sosialisasi yang dimaksud, bukan hanya
memberikan informasi mengenai kedudukan Baitul Mal, tetapi
juga diupayakan tidak memunculkan upaya-upaya kontra
produktif dari pihak-pihak yang merasakan tidak ada
manfaatnya. Demikian pula, seluruh aparat perlu diberikan
penyuluhan mengenai Baitul Mal. Penyuluhan yang diinginkan
adalah yang bersifat seperti yang dikehendaki oleh sejarah Baitul
Mal itu sendiri yaitu menuju masyarakat yang sejahtera..
Walaupun Baitul Mal adalah lembaga agama, namun dia bisa
diinstall spiritnya ke dalam lembaga-lembaga lainnya dalam
masyarakat Aceh. Jadi, upaya untuk menemukan sebuah Qanun
harus mampu membuat masyarakat Aceh sejahtera dengan
kehadiran lembaga ini mulai dari tingkat propinsi hingga ke
kampong-kampong.
12. Pengembangan Baitul Mal Aceh
5
Ketiga, perlunya sebuah rekonstruksi pemberdayaan
akan makna substantif Baitul Mal kepada seluruh petugas.
Dengan kata lain, rekonstruksi yang diperlukan adalah proses
penyadaran mengenai arti penting Baitul Mal bagi masyarakat
secara umum, bukan tempat untuk mencari keuntungan
duniawi semata. Sejauh ini ada anggapan bahwa lembaga
keagamaan, jika tidak menguntungkan secara pribadi atau
kelompok, maka pola pengelolaannya tidak dilakukan secara
serius. Hal ini bisa dilihat dari kaca mata sosiologis, di mana jika
ada lembaga yang ”basah” maka banyak yang berminat, namun
jika ”basah” namun tidak menguntungkan, maka peraturan atau
tata kelolanya pun sangat amburadul. Apalagi jika dilihat di
Aceh, pola pengaturan harta wakaf yang bisa menjadi wilayah
kerja Baitul Mal, masih tersendat-sendat.
Demikian pula, di sini bisa juga dikatakan belum adanya
kesepahaman antara lembaga-lembaga pemerintahan dengan
Baitul Mal mengenai wilayah kerja dan pola kerja masing-
masing serta tanggung jawabnya. Sejauh ini, Baitul Mal lebih
banyak berusaha untuk mensejahterakan ummat. Karena
lembaga ini lebih banyak bersentuhan dengan harta ummat.
Namun, ummat sendiri perlu diyakinkan akan makna dan arti
penting dari lembaga ini, sehingga mereka tidak memandang
secara sebelah mata. Dalam hal ini, sosialisasi dan Qanunisasi
Baitul Mal dalam proses redefinisinya perlu diterapkan secara
menyeluruh.
13. Pengembangan Baitul Mal Aceh
6
C. Dasar pemikiran pentingnya pembaharuan Qanun Baitul
Mal Aceh
1. Aspek Filosofis
Secara filosofis, posisi Qanun dalam masyarakat Aceh
adalah untuk membuat aturan yang mengikat semua
masyarakat Aceh. Ini berbeda dengan posisi fatwa yang tidak
memiliki kekuatan hukum, namun mempunyai kekuatan
otoritas.5
Dengan kata lain, sebuah Qanun dalam hukum Islam,
merupakan peraturan yang dibuat oleh penguasa untuk
mengatur tata pemerintahannya.6
Dalam tradisi masyarakat
Aceh, Qanun merupakan aturan yang dibuat oleh pihak istana
yang kemudian menjadi semacam acuan bagi masyarakat dalam
bertindak tanduk sesuai dengan AMA (Adat Meukuta Alam).
Adapun Baitul Mal merupakan sebuah lembaga keuangan yang
sudah pernah ada sejak zaman Khalifah Islam. Jadi, secara
definisi, memang sudah terjadi tumpang tindih pemahaman,
yang karena itu, tidak mengherankan pola pelaksanaannya,
seperti yang terjadi di Aceh juga mengalami sejumlah tarik
menari, antara ’kepentingan penguasa’ dan ’semangat awal dari
sifat hakiki dari Baitul Mal’ itu sendiri.7
Jadi, jika dipetakan secara kefilsafatan, maka posisi
Baitul Mal di Aceh sejatinya adalah seperti yang diinginkan
dalam sejarah khalifah Islam dan pemerintahan Islam lainnya.
Namun dalam konteks ke-Aceh-an, keberadaannya diakui dalam
Undang-Undang, namun pada tahap operasionalnya sama sekali
jauh dari undang-undang. Karena lembaga-lembaga lainnya
juga memiliki hak yang hampir mirip dengan peran dan fungsi
Baitul Mal seperti Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan
Aceh. Ini belum lagi perannya hampir sama dengan BAZIS.
Karena itu, sebelum Qanun ini dibuat perlu ada pengkajian
14. Pengembangan Baitul Mal Aceh
7
secara epistemologis, aksiologis, dan ontologis mengenai apa
sebenarnya hakikat Baitul Mal yang diinginkan oleh pemerintah
Aceh? Inilah pertanyaan yang cukup mendasar dari aspek
filosofis ini.
Di atas itu, perlu juga dipertanyakan apakah rakyat Aceh
benar-benar menyadari akan arti penting dari keberadaan
Baitul Mal. Dengan kata lain, perlu dilakukan sebuah studi
mengenai tingkat pemahaman masyarakat terhadap Baitul Mal.
Apa saja yang mereka pandang mengenai persoalan harta
dalam perspektif agama. Walaupun sudah ada Qanun No.10
2007 mengenai Baitul Mal, namun pemahaman masyarakat
mengenai lembaga ini sama sekali belum terukur secara pasti.
Karena itu, studi dari perspektif filosofis akan memberikan
sebuah acuan bagi masyarakat mengenai kepentingan akan
posisi Baitul Mal.
Demikian pula, perlu ditelaah secara substantif
bagaimana pembaharuan Qanun yang dimaksud dari perspektif
keilmuan. Apapun yang ditetapkan nanti harus bisa
dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dengan kata lain,
pola pembaharuan Baitul Mal ini harus dilakukan secara
telegrafik di mana kajian mengenai Baitul Mal tidak hanya
dilihat dari perspektif hukum Islam semata, tetapi juga melihat
aspek-aspek sosio-budaya, sosio-ekonomi,8
dan sosio-politik di
Aceh. Sehingga pembaharuan yang diinginkan bisa menjawab
tantang kehidupan masyarakat Aceh, khususnya dalam bidang
kehidupan beragama. Perubahan dinamika masyarakat Aceh
yang sangat cepat ini, terutama mengenai pola kehidupan di
wilayah perkotaan, khususnya kesadaran dalam memahami
peran Baitul Mal adalah sangat mustahak untuk
dipertimbangkan. Peta masyarakat ini sepatutnya dilakukan
15. Pengembangan Baitul Mal Aceh
8
sedini mungkin, supaya arah pembaharuan Baitul Mal ini
senafas dengan perubahan masyarakat Aceh secara
keseluruhan.
2. Aspek Sosiologis
Harus diakui bahwa dalam masyarakat Aceh telah terjadi
perubahan yang amat nyata dan tidak dapat dihindari.9
Perubahan yang paling penting adalah pergeseran pardigma
mengenai nilai-nilai kehidupan beragama. Fenomena mengenai
dunia ICT dalam kehidupan modern ini juga ikut memicu
bagaimana paradigma masyarakat dalam beragama.10
Sebagai
contoh, kemudahan dalam membayar zakat dan infak melalui
fasilitas online atau SMS juga dirasakan ikut memberikan
kontribusi yang cukup penting dalam masyarakat urbah. Ini
belum lagi, tradisi membayar zakat di kalangan masyarakat
kampong kepada guru ngaji atau teungku dayah juga masih bisa
dijadikan sebagai salah satu fenomena sosial yang tidak dapat
dihindari. Padahal, tugas-tugas seperti ini harus diisi oleh
sebuah lembaga yang cukup amanah seperti Baitul Mal.
Oleh sebab itu, perubahan masyarakat harus menjadi
salah satu acuan dalam membumikan peran Baitul Mal di Aceh.
Kenyataan antara perintah dalam teks dan konteks terkadang
malah menjadi bahan diskusi terdahulu, sebalum sebuah
peraturan ditetapkan. Sampai saat ini, beberapa peraturan di
Aceh, khususnya Qanun-Qanun yang dihasilkan terkadang
bukan ”menyelesaikan” masalah yang timbul di masyarakat,
melainkan menjadi ”masalah” karena upaya formalisasi hukum
Islam tidak dibarengi dengan pola tarbiyah (pendidikan) yang
berkelanjutan. Dengan begitu, kita tidak mengharapkan
peraturan menjadi ”momok” masyarakat. Sebab di tengah-
tengah masyarakat, sosok teungku11
dan beberapa kitab kuning
16. Pengembangan Baitul Mal Aceh
9
masih menjadi acuan utama dalam kehidupan masyarakat
Aceh, khususnya di kawasan pedesaan. Ini belum lagi tingkat
kesadaran masyarakat dalam beragama mulai bergeser secara
drastis. Jadi, sebagaimana di beberapa tempat lain, sebelum
dilakukan sebuah pembaharuan, harus diadakan terlebih
dahulu peta masyarakat secara detail, sehingga peraturan itu
dapat diterapkan sesuai dengan apa yang sedang terjadi di
masyarakat.
Jadi, faktor sosiologis dalam sebuah produk hukum
sangat penting. Hal ini misalnya dalam dilihat dari kajian para
sarjana ketika memahami bagaimana dampak sebuah produk
hukum dalam masyarakat Islam.12
Tentu saja ini adalah wilayah
akademis yang harus diutamakan terlebih dahulu. Apalagi,
posisi lembaga Baitul Mal adalah sebuah hasil produk sejarah
pemikiran hukum Islam yang tentu saja perlu ditelaah secara
simbolik dan substantif terhadap keberadaannya dalam
masyarakat Aceh. Usaha ini sangat urgen dilakukan, sebelum
sebuah pembaharuan dilakukan. Sebab apa yang dilakukan
dalam konteks Baitul Mal di Aceh adalah upaya dari ”i‘âdat-u al-
Islâm, yakni keinginan masyarakat Islam untuk mengembalikan
peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia”
dan ”tatbîq Qanûn-i al-Syarî’ah, yakni dengan cara
mengaplikasikan kembali atau mempraktikkan kembali materi
undang-undang dan tata cara kenegaraan yang pernah
dilakukan oleh generasi Muslim terdahulu.”13
3. Aspek Yuridis
Dari aspek yuridis, maka urgensi pengembangan Baitul
Mal sebenarnya telah memiliki payung hukum yang amat baik.
Sejak Aceh memasuki era damai sejak 15 Agustus 2005, telah
memberikan angin segar bagi pemerintahan Aceh. Di samping
17. Pengembangan Baitul Mal Aceh
10
itu, adanya ruang bagi Aceh untuk melaksanakan Syari‘at Islam
sebagaimana tercantum dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam No.11 tahun 2000 dan Qanun No.5 tahun 2000. Di
samping itu, ada beberapa produk Undang-Undang yang
memberikan hak bagi rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari‘at
Islam seperti UU No.14 tahun 1999 dan UU No.18 2001. Payung
bersambut ketika ada UU No.11 tahun 2006 yang merupakan
buah dari perdamaian di Helsinki antara Pemerintah Indonesia
dengan GAM (Gerakan Acheh Merdeka).
Semua perangkat yuridis agaknya tidak akan
menghambat pengembangan Baitul Mal. Apalagi Qanun No.10
Tahun 2007 secara jelas telah menjelaskan bagaimana
seharusnya dijalankan. Karena itu, perjalanan sejarah Baitul Mal
saat ini lebih banyak pada pola penerapan dari berbagai
peraturan yang mengikat dari aspek lain seperti persoalan
zakat, infak, dan pertanahan. Di sini pengembangan Baitul Mal
harus sinergi dengan semua pihak baik di kalangan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Tentu saja kita tidak menginginkan
pembaharuan Baitul Mal yang diinginkan malah bisa
menimbulkan salah paham dan adu kepentingan di antara
lembaga pemerintahan di Aceh. Sebab bagaimanapun,
persoalan yang dikelola oleh Baitul Mal juga menjadi perhatian
penting pemerintah pusat. Terkadang, di tingkat daerah sering
beradu kepentingan di antara para pengambil kebijakan
mengenai eksistensi Baitul Mal tersebut.
Persoalan misalnya tidak ada ’perhatian’ dari Pemda dan
tumpang tindih peraturan mengenai persoalan keuangan
daerah, sejatinya tidak menghambat proses diseminasi lembaga
Baitul Mal ke seluruh pelosok Aceh. Sebab, jika semua Baitul
Mal di Aceh berjalan seperti yang diinginkan, maka beberapa
18. Pengembangan Baitul Mal Aceh
11
persoalan kesejahteraan masyarakat Aceh bisa teratasi.
Demikian pula, persoalan pola pengelolaan yang cukup
transparan dari Baitul Mal. Sebab, jika tidak ada transparansi
dan banyak penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan di
dalam Baitul Mal, bukan hanya akan merugikan Pemerintah
Daerah, tetapi masyarakat umum secara keseluruhan.
4. Aspek Ekonomis
Dari aspek ekonomis, tentu saja diharapkan
pembaharuan Baitul Mal Aceh bisa memperbaiki keadaan
ekonomi rakyat Aceh secara berkelanjutan. Walaupun ini masih
jauh dari harapan, dalam sejarah kekhalifahan Islam, Baitul Mal
merupakan salah satu tulang punggung perekonomian umat
Islam. Sehingga pemerataan kesejahteraan bisa dilakukan oleh
sang pemimpin dengan memaksimalkan peran dan fungsi dari
Baitul Mal. Hal ini tentu saja, bisa dilakukan jika arah kebijakan
pembaharuan Baitul Mal ini bukan mencari untuk atau
menciptakan dunia pasar tersendiri bagi kelompok tertentu
yang sudah mapan secara ekonomi. Karena kehadiran Baitul
Mal adalah untuk membantu mereka yang berada di bawah
garis kemiskinan dan mengajak mereka yang sudah mampu
secara ekonomi untuk tidak menimbun harta. Karena ini
merupakan salah satu ajaran Islam yang telah dipraktekkan oleh
generasi terdahulu.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa tujuan dari Baitul
Mal adalah untuk mensejahterakan rakyat dan agar harta tidak
berputar pada sekelompok orang saja. Pada saat yang sama,
Baitul Mal sendiri bukanlah organisasi atau lembaga yang
berusaha mencari untung-untung sebanyak-banyaknya.
Semangatnya adalah mengelola harta umat dan
mengembalikan kepada ummat, tanpa mengambil untung, baik
19. Pengembangan Baitul Mal Aceh
12
untuk diri pengelola Baitul Mal, maupun bagi pemerintahan. Di
sini penting juga ditelaah secara seksama mengenap posisi
Baitul Mal sebagai alat untuk mencari PAD (Pendapatan Asli
Daerah). Pemahaman ini tentu saja akan memiliki sinyalemen
bahwa Baitul Mal harus berlomba-lomba memasukkan uang ke
kas daerah. Padahal, peran Baitul Mal bukanlah seperti ini,
namun melalui spirit keagamaan, dia berupaya agar umat Islam
mau menyisihkan harta milik Allah dan mengelola harta-harta
yang menjadi tanggung jawab Baitul Mal. Dengan begitu,
produk dari pembaharuan Baitul Mal ini harus secara jeli
melihat persoalan ini untuk tidak menimbulkan multi
interpretasi mengenai keberadaan Baitul Mal di kalangan
masyarakat umum.
Sebagai lembaga pengumpul, penjaga, penagihan, maka
Baitul Mal bisa menjadi semacam Bank Sentral di Aceh yang
sama sekali tidak mencari keuntungan. Pola pelaksanaan Baitul
Mal di Timur Tengah di bawah seorang Menteri atau Nadhir
terhadap harta-harta milik Allah cukup bisa dijadikan patokan.
Mereka secara professional bisa melakukan inventarisasi tanah
dan semua aset dari ratusan tahun dan masih dijaga hingga hari
ini. Harapan untuk Baitul Mal bisa berbuat demikian sangatlah
mutlak. Sebab sejauh ini harta-harta wakaf di Aceh masih belum
dianggap sebagai bagian dari usaha Baitul Mal, sehingga tidak
sedikit tanah-tanah wakaf telah dialihkan menjadi milik pribadi.
Karena itu, Baitul Mal bisa menjadi mitra masyarakat Aceh
dalam menjaga harta-harta milik Allah tersebut. Jadi, inilah di
antara langkah-langkah strategis dalam bidang ekonomi yang
bisa dilakukan oleh Baitul Mal Aceh ke depan.
20. Pengembangan Baitul Mal Aceh
13
BAGIAN
2
A. Tata kerja lembaga Baitul Mal dalam jajaran lembaga
daerah Provinsi Aceh
ecara kelembagaan Baitul Mal Aceh telah memiliki
landasan hukum yang jelas tetapi secara fungsional
kelembagaan masih diperlukan penguatan terutama
berkaitan dengan bagian pengawasan. Qanun No. 10/2007
pasal 9 menyebutkan bahwa dalam menjalankan
kewenangannya yang berkaitan dengan syariat, Baitul Mal
berpedoman pada fatwa MPU Aceh. Dewan Syariah yang eksis
sebelum lahirnya Qanun dimaksud telah memberikan kontribusi
yang signifikan dalam berjalannya kegiatan di Baitul Mal.
Dewan Syariah dapat di SK-kan dengan keputusan
Gubernur dengan tugas dan kewenangan yang diperluas seperti
melakukan pengawasan bukan saja yang berkaitan dengan
persoalan syar’i terhadap pengelolaan zakat, wakaf dan harta
agama melainkan juga hal lain yang terkait. Menyikapi kondisi
dimaksud, pasca Qanun 10/2007, Dewan Syariah diganti dengan
Dewan Pertimbangan yang kedudukannya dibuat berdasarkan
STRUKTUR KELEMBAGAAN DAERAH
BAITUL MAL ACEH DAN
HUBUNGANNYA DENGAN
21. Pengembangan Baitul Mal Aceh
14
Peraturan Gubernur sedangkan Kepala Baitul Mal berdasarkan
Qanun, kondisi tersebut tentu tidak relevan untuk sebuah
lembaga keuangan.
Hal ini terasa berbeda bila dibandingkan dengan UU
Perbankan yang tetap menyebutkan secara jelas dan integral
mengenai pengawas. Untuk itu, bila Lembaga Baitul Mal
diharapkan menjadi lembaga yang kredibel dalam mengelola
zakat maka perangkat kelembagaannya harus diperkuat dengan
system dan Hierarki yang komprehensif.
Baitul Mal Aceh mempunyai tingkatan tertinggi di atas
Baitul Mal Kab/Kota atau Kemukiman dan Gampong namun
tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
atau pengawasan terhadap Baitul Mal di bawah hierarkinya
tersebut. Seyogyanya laporan kegiatan Baitul Mal dimaksud
dapat ditelisik kebenarannya oleh Baitul Mal Aceh dalam rangka
menjaga transparansi dan reliabilitas pengelolaan zakat dalam
rangka mendapat kepercayaan publik secara lebih luas.
Sebagai bagian dari lembaga daerah di provinsi, Baitul
Mal bertanggung jawab secara vertikal kepada gubernur selaku
kepala daerah. Pertanggungjawaban tersebut dapat saja dalam
bentuk laporan rutin bulanan, semesteran, dan tahunan. Hal-
hal yang dilaporkan bisa saja meliputi kegiatan pengelolaan
keuangan, managerial, kesekretariatan, ataupun hal lainnya
yang dianggap penting bagi perkembangan Baitul Mal. Laporan
tersebut dibutuhkan mengingat gubernur merupakan
pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi di provinsi. Sehingga
segala aktivitas eksekutif harus dalam pengawasan gubernur.
Pendelegasian kewenangan dapat saja diberikan
Gubernur kepada Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai
22. Pengembangan Baitul Mal Aceh
15
perpanjangan tangan Gubernur. Sehingga kegiatan administrasi
kelembagaan daerah dapat berhubungan langsung dengan
Sekda.
Hubungan Baitul Mal dengan lembaga daerah dan
perangkat daerah lainnya dalam provinsi Aceh memiliki
hubungan koordinasi antar lembaga. Baitul Mal hanya
berkoordinasi dengan lembaga daerah yang berkaitan langsung
dengan kegiatan administrasi dan operasional lainnya. Dengan
kata lain secara kelembagaan, Baitul Mal tidak dapat
diintervensi oleh lembaga daerah lainnya, terkecuali dengan izin
atau persetujuan gubernur selaku kepala daerah.
Ketentuan mengenai perangkat daerah baik untuk
daerah provinsi, kabupaten maupun kota, diatur dalam Pasal
120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Perangkat daerah provinsi terdiri atas
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan
lembaga teknis daerah, sedangkan perangkat daerah
kabupaten/ kota terdiri atas sekretariat daerah, kecamatan, dan
kelurahan,14
sedangkan sekretariat daerah itu dipimpin oleh
Sekretaris Daerah.15
Dalam hal ini, Baitul Mal merupakan
lembaga teknis daerah yang menjalankan fungsi-fungsi khusus
dari daerah otonomi khusus.
Baitul Mal sebagai lembaga teknis daerah dalam
menjalani fungsi-fungsi khususnya dirasakan masih mengalami
kendala yang tidak kecil, yang dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Kendala regulasi. Regulasi untuk pelaksanaan Baitul Mal
masih menyisakan persoalan yang berarti, dilihat dan
kelengkapan, kejelasan dan kemantapannya;
23. Pengembangan Baitul Mal Aceh
16
2. Kendala koordinasi. Proses koordinasi antar lembaga
daerah belum berjalan dengan baik, sehingga berakibat
kurang maksimalnya pelaksanaan program;
3. Kendala persepsi. Proses keterbukaan yang berkembang
telah berdampak pada munculnya kecenderungan
keragaman persepsi dalam menyikapi keberadaan Baitul
Mal;
4. Kendala waktu. Euforia otonomi khusus yang begitu
menggebu-gebu menuntut kecepatan dan ketanggapan
yang tinggi untuk menyusun berbagai peraturan dan
kebijakan yang diperlukan. Sementara Pemerintah (Pusat
dan Daerah) tidak punya cukup waktu untuk
melakukannya, walau sadar bahwa yang ada memang
belum lengkap;
5. Kendala keterbatasan sumberdaya. Rendahnya kualitas/
kapasitas SDM jelas merupakan faktor yang dominan
dalam ketidakmampuan memberdayakan kapasitasnya.
B. Hubungan secara Internal
Hubungan tata kerja Baitul Mal secara internal telah
diatur secara tidak langsung melalui Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Organisasi
dan Tatakerja Lembaga Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.16
Permendagri No.18/2008 pada intinya menambah
ketentuan dalam Qanun 10/2007, yaitu di samping Badan Baitul
Mal sebagai badan yang berwenang dan bertugas mengurus
zakat, wakaf dan harta agama lainnya, dibentuk pula sebuah
24. Pengembangan Baitul Mal Aceh
17
badan sekretariat sebagai badan pendamping yang akan
memberikan pelayanan kepada Baitul Mal (berstatus sebagai
SKPA). SKPA ini terdiri dari satu orang pejabat eselon II.b
(kepala sekretariat); empat orang pejabat eselon III.b (bagian),
dan delapan pejabat eselon IV.a (subbagian).
Menurut Permendagri No.18/2008, pembentukan
sekretariat (SKPA) ini ditetapkan dengan qanun Aceh (Pasal 2
ayat 3), begitu pula nomenklatur dan uraian tugas bagian dan
sub bagiannya ditetapkan dengan Qanun Aceh juga (Pasal 6).
Tetapi hingga saat ini belum ada pembaharuan qanun tersebut
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Permendagri No.18/2008.
Sehingga yang terjadi sekarang seakan Permendagri
No.18/2008 dan Qanun No.10/2007 berjalan sendiri-sendiri.
Untuk mengatasi hal tersebut, Gubernur mengeluarkan
beberapa Peraturan Gubernur (Pergub) pendukung, seperti
Pergub No.33/2008 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Lembaga Keistimewaan Aceh, Pergub No.60/ 2008
Tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat, dan Pergub No.92/
2008 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pelaksana Baitul Mal Aceh. Pergub-pergub tersebut bisa
berfungsi sementara untuk mengisi kekosongan hukum, tapi
untuk jangka waktu yang lama, qanun tetap masih dibutuhkan.
Karena qanun bersifat hukum mengikat antara yudikatif dan
eksekutif.
Dengan lahirnya Permendagri tersebut berdampak pada
berdirinya sekretariat lembaga keistimewaan untuk mendukung
operasional Baitul Mal. Karena tidak ada regulasi yang jelas
justru sering terjadi kesalahpahaman antara sekretariat Baitul
Mal dengan Baitul Mal. Kesalahpahaman ini tidak dapat
25. Pengembangan Baitul Mal Aceh
18
dibiarkan berlarut-larut karena dikhawatirkan akan berakibat
pada anjloknya pelayanan Baitul Mal terhadap masyarakat.
Secara implisit dalam peraturan ini menyebutkan bahwa
Baitul Mal merupakan bagian dari perangkat daerah sebagai
unsur pemberian pelayanan administratif. Sedangkan dalam
Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, disebutkan
bahwa Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang
diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan
zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan
umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim
piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta
warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam.17
Jika kita membandingkan antara Permendagri No.18/
2008 dan Qanun No.10/ 2007 di atas, secara implisit dapat
terlihat adanya ketidaksinkronan antara dua regulasi tersebut.
Hal ini dapat terlihat bahwa perangkat daerah sebagai pemberi
pelayanan administratif merupakan lembaga struktural bukan
lembaga non struktural sebagaimana tersebut dalam Qanun
No.10/2007. Ketidaksinkronan ini dapat dipahami karena
permendagri tersebut lahir setelah Qanun No.10/2007 tersebut
disahkan. Tetapi hal ini harus dipahami bahwa harus ada
perubahan yang mendasar dalam regulasi Baitul Mal ke depan,
mengingat begitu krusialnya peran Baitul Mal di masa yang
akan datang.
Berdasarkan Qanun No.10/2007, secara susunan
organisasi, Baitul Mal terdiri atas Badan Pelaksana,
Kesekretariatan, dan Pengawas/pembina. Badan pelaksana
berfungsi sebagai pelaksana operasional dan pengelolaan Baitul
Mal yang menyangkut pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan harta agama zakat dan infaq. Kesekretariatan
26. Pengembangan Baitul Mal Aceh
19
berfungsi sebagai perwujudan tugas kesekretariatan antara
lembaga Baitul Mal dengan Pemerintah Aceh. Sedangkan
Pengawas/pembina berfungsi sebagai pihak yang mengawasi
dan memberi masukan terhadap kegiatan dan program kerja
yang dilakukan Baitul Mal.
Melihat dari tugas dan fungsi pokok di atas, di sini
terlihat bahwa Baitul Mal seperti lembaga parasit yang terus
menerus bergantung pada inangnya, dalam hal ini Pemerintah
Aceh. Untuk kemajuan Baitul Mal ke depan, simbiosis tersebut
harus diputus sedikit demi sedikit. Sehingga nanti diharapkan
Baitul Mal dapat menjadi lembaga keuangan yang mencari
keuntungan untuk pengembangan masyarakat, atau lebih tepat
disebut sebagai lembaga keuangan dengan profit sosial. Contoh
konkritnya adalah seperti Gramen Bank di India.
Menurut Amrullah,18
kepala Baitul Mal Aceh dari tahun
2005 – sekarang, ada beberapa kelemahan mendasar pada
Baitul Mal Aceh saat ini, di antaranya adalah:
a) Tidak adanya konsistensi dan armonizáis antara pasal yang
satu dengan pasal yang lain, seperti kedudukan Wakil
Kepala Baitul Mal baik untuk tingkat provinsi maupun
Kabupaten/Kota.
b) Baitul Mal sebagai organisasi pengelola zakat dan lembaga
keuangan non Bank tidak didukung oleh lembaga komisariat
yang dapat memberikan advokasi hukum dan pengawasan
seperti Dewan Pertimbangan untuk tingkat Provinsi dan
Dewan Pengawas untuk tingkat Kabupaten/Kota (Kedua
lembaga tersebut, sudah dipersiapkan dalam Rancangan
yang diajukan Baitul Mal, tetapi dihapus oleh DPRA)
27. Pengembangan Baitul Mal Aceh
20
c) Susunan organisasi (Sekretariat, Bidang-bidang, Sub Bidang
dan Sub Bagian) pada Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
Kabupaten/ Kota diatur seragam dan tidak sesuai dengan
kebutuhan organisasi, sehingga sukar untuk
diimplementasikan.
d) Qanun Baitul mal telah mengatur secara rinci persyaratan
dan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan terhadap
calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Aceh dan
Baitul Mal Kabupaten/Kota. Persyaratan tersebut lebih
berat dari persyaratan seorang Kepala Dinas/Lembaga
Daerah yang bersifat struktural, yang tidak melalui fit and
proper test oleh Tim Independen yang bersifat ad-hoc serta
harus mendapat persetujuan pimpinan DPRD melalui telan
komisi terkait. Dipihak lain jabatan kepala Baitul Mal
bersifat Non Struktural, sehingga tidak berhak mendapat
Tunjangan Prestasi Kerja (TPK), di samping itu honornya
juga tidak memadai dibandingkan dengan tanggung jawab
sebagai pimpinan Baitul Mal yang kedudukannya sejajar
dengan pimpinan MPU, MPD, dan MAA sebagai lembaga
Keistimewaan Aceh.
e) Susunan Organisasi Baitul Mal yang ditetapkan dalam
Qanun dapat menimbulkan multi tafsir, sehingga ketentuan
yang diatur dalam PERGUB menjadi tidak sinkron dengan
kebutuhan di lapangan.
f) Tidak adanya pembatasan masa kerja kepengurusan Baitul
Mal, sehingga menimbulkan kondisi yang tidak sehat bagi
sebuah lembaga amil yang mengurus zakat.
C. Baitul Mal dengan Sistem Pengelolaan Keuangan Zakat
sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD)
28. Pengembangan Baitul Mal Aceh
21
Berdasarkan Qanun No.10/2007 semua penerimaan
zakat yang dikelola Baitul Mal Kabupaten/Kota merupakan
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota yang
harus disetor ke Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota. Dampak
dari peraturan tersebut mengakibatkan pengelolaan zakat
harus mengikuti mekanisme keuangan negara. Di mana belanja
negara harus di atur dengan demikian rinci dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian, zakat
yang seharusnya segera disalurkan pada tahun tersebut harus
menunggu dianggarkan untuk tahun depan. Dengan kata lain
dana yang terkumpul dari Baitul Mal harus terlebih dahulu
singgah di kas daerah sebelum didistribusikan
Mekanisme pengangaran seperti tersebut di atas bisa
dibenarkan secara keuangan negara tapi belum sepenuhnya
dapat diterima dari segi pendistribusian zakat kepada para
penerima zakat. Zakat yang terkumpul harus segera dibagikan
kepada si mustahik, karena disitulah terletak keutamaan zakat.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Amrullah,19
ketika
zakat dikaitkan dengan PAD, ada sejumlah kontroversi-
kontroversi yang timbul dengan dengan regulasi tersebut
karena beberapa hal, di antaranya:
a. Pemungutan zakan bukan berdasarkan peraturan daerah
(qanun) tetapi berdasarkan ketentuan Syariah (Al-Quran
dan Al-Hadits);
b. Zakat tidak dapat dimanfaatkan untuk membiayai tugas-
tugas pemerintahan dan pembangunan, tetapi sudah
diarahkan kepada delapan asnaf mustahik;
29. Pengembangan Baitul Mal Aceh
22
c. Penyaluran zakat tidak perlu harus menunggu pengesahan
APBD, tetapi harus segera disalurkan sesudah zakat
terkumpul;
d. Jumlah zakat yang disalurkan harus sama dengan jumlah
yang diterima dan tidak terikat kepada plafond yang
ditetapkan dalam APBD.
e. Pengeluaran zakat dalam APBD dikelompokkan dalam
belanja langsung yang jumlahnya relatif besar, sehingga
harus dipenuhi berbagai persyaratan terlebih dahulu seperti
pelelangan, pemilihan rekanan serta persyaratan
administrasi lainnya yang berlaku. Sedangkan penyaluran
zakat dalam ketentuan syariah sudah ditetapkan asnafnya
serta tersebar kepada berbagai lokasi yang dipilih;
f. Apabila realisasi penerimaan zakat melebihi dari rencana
yang dicantumkan dalam APBD suatu tahun, maka
berdasarkan peraturan pengelolaan keuangan daerah,
kelebihan tersebut tidak dapat dicairkan tetapi menjadi
tambahan dana untuk tahun anggaran yang akan datang.
Dalam pengembangan Baitul Mal ke depan diharapkan
harus ada suatu penegasan tentang pengelolaan dana yang
bersumber dari Baitul Mal. Harus bisa dipisahkan mana dana
yang bisa digolongkan PAD dan mana yang tidak.
Pekerjaan utama yang dilakukan oleh Baitul Mal adalah
mengelola dan membagi-bagikan uang. Baitul Mal semacam
lembaga keuangan, atau lembaga yang diharapkan
(diupayakan) akan berkembang menjadi semacam lembaga
keuangan. Uang yang dikelola Baitul Mal dapat dibedakan
dengan empat cara, yaitu:20
30. Pengembangan Baitul Mal Aceh
23
a) zakat yang dari satu segi merupakan PAD dan dari segi lain
merupakan harta agama yang harus didistribusikan kepada
delapan senif penerima yang relatif sudah terdifinisikan. Jadi
uang zakat tidak boleh dikelola secara bebas; uang ini perlu
dikelola dengan cara tertentu dan diawasi secara relatif
lebih ketat, karena dari satu segi merupakan zakat yang
harus dikelola dengan ketentuan syari’at yang relatif sudah
baku. Sedangkan dari segi lain PAD, harus dikelola mengikuti
ketentuan tentang APBA dengan aturan khusus.
b) wakaf bukan merupakan PAD yang harus dikelola sesuai
dengan syarat dan ketentuan yang dibuat oleh wakif. Baitul
Mal bertindak sebagai nazhir atau wali amanah. Baitul Mal
tidak boleh mengubah peruntukan ataupun menukar harta
ini kecuali dengan ketentuan dan persyaratan yang relatif
ketat. Wakaf pada umumnya merupakan harta tidak
bergerak, karena itu pengelolaannya ditekankan pada
pelestarian dan pemanfaatan hasilnya;
c) harta agama lainnya bukan merupakan PAD yang dapat
dikelola secara relatif bebas dalam arti penggunaan dan
pemanfaatannya dapat dirancang secara relatif bebas asalkan
tetap berada dalam koridor kesejahteraan dan peningkatan
kualitas umat. Jenis harta ini yang relatif besar dan perlu
mendapat perhatian khusus adalah dana infaq yang dipungut
dari para rekanan PEMDA sebesar 0,5 % dari nilai kontrak
yang di atas Rp.20.000.000,- dan ini dipungut berdasarkan
Pergub 60/08, diatur dalam Pasal 14 sampai 16:
d) Dana APBA murni, yaitu dana yang berasal dari APBA dan
bukan zakat, yang disediakan untuk menunjang kegiatan
mengelola dan mendistribusikan uang zakat, infaq dan
wakaf.
31. Pengembangan Baitul Mal Aceh
24
Dalam merencanakan dan memilih sistem ataupun
model tata kelola dan tertib administrasi untuk diterapkan pada
Baitul Mal, maka empat jenis harta (uang) yang dikelola harus
diawasi dengan baik dan cermat sehingga tidak berbenturan
dengan sistem keuangan negara di satu pihak dan juga tidak
menyalahi ketentuan syariat di pihak yang lain.
32. Pengembangan Baitul Mal Aceh
25
BAGIAN
3
A. Mengurus dan Mengelola Zakat, Wakaf, Harta Agama
Menurut Hukum Islam
alam sistem keuangan publik Islam, zakat, wakaf, infak,
sedekah dan harta agama merupakan sumber
pendapatan negara yang digunakan untuk
kesejahteraan sosial. Harta yang bersumber dari zakat, wakaf
dan harta agama seperti warisan, wasiat, meusara amanah,
hibah dan sebagainya sama-sama dikelola oleh sebuah lembaga
amil21
dan digunakan untuk kepentingan sosial. namun memiliki
perbedaan tujuan dalam hal pemanfaatannya. Zakat dilakukan
melalui proses pemungutan dan disalurkan khusus kepada
delapan golongan sebagaimana dijelaskan dalam surat At-
Taubah ayat 60.22
Sedangkan harta wakaf, infak dan harta
agama tidak boleh dipungut dan ditujukan untuk kepentingan
masyarakat secara umum. Infak merupakan sumbangan dari
kaum muslimin sesuai kemampuan, biasanya dimaksudkan
untuk lembaga keumatan, dalam arti meningkatkan kapasitas
sarana, seperti bantuan untuk mesjid, madrasah, dayah, rumah
KEWENANGAN BAITUL MAL
PERLUASAN
33. Pengembangan Baitul Mal Aceh
26
sakit.23
Demikian pula sedekah, derma dalam jumlah kecil
diserahkan kepada orang miskin, pengemis dan orang lain yang
membutuhkan. Sementara wakaf, lebih menekankan
pemanfaatan hasil wakaf dengan menjaga kekekalannya. Jika
mengacu pada hadis, dapat dikategorikan ke dalam infak.
Dengan kata lain konsep infak mencakup wakaf. Namun
perbedaannya terletak pada kekekalan manfaatnya.
Secara umum, surat at-Taubah ayat 60 tidak hanya
berbicara pada aspek normatif saja dalam hal sumber
pendapatan negara, lebih dari itu ia merupakan azas
pelaksanaan pengelolaan harta agama termasuk zakat. Agar
tata cara dan mekanisme pengelolaan harta agama berjalan
dengan baik, proses ini melibatkan lembaga (amil) yang
memiliki posisi sentral pemegang amanah, dan pada tingkat
tertentu sebagai distributor harta agama kepada mereka yang
membutuhkan. Lembaga dimaksud berfungsi sebagai amil
khusus menangani persoalan harta agama.24
Dalam
perkembangan selanjutnya lembaga yang mempunyai
kewenangan mengelola zakat disebut Baitul Mal.25
Dalam
persoalan zakat, keberadaan lembaga amil –dalam hal ini–
Baitul Mal seperti ditegaskan dalam ayat di atas adalah sebagai
perantara yang menggalang zakat dari muzakki dan
mendistribusikannya kepada mustahik yang berhak. Hal ini
dimaksudkan agar dalam mengelola zakat tidak dilakukan
secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada
mereka yang berhak menerimanya. Ini dimaksudkan supaya
zakat yang dikeluarkan muzakki dapat dengan mudah dikontrol
untuk mencapai efektivitas dan sasaran dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu
tempat.
34. Pengembangan Baitul Mal Aceh
27
Oleh karenanya, Baitul Mal diberi tugas melakukan
sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan
pemungutan serta mendistribusikan kepada mereka yang
berhak menerimanya berdasarkan skala prioritas. Dalam
melakukan usaha penyaluran atau pendistribusian zakat, Baitul
Mal diberi tugas menyusun skala prioritas melalui program-
program yang disusun berdasarkan data-data akurat. Seperti
mengkhususkan program-program untuk usaha produktif,
pemberian beasiswa dan pembangunan sarana-prasarana.26
Kebijakan mengumpulkan zakat berasal dari sejumlah
ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang ditujukan kepada orang
muslim yang kaya menurut batas dan ukuran jumlah harta yang
wajib dikeluarkan. Sesuai dengan tujuannya, zakat yang
dipungut dari kaum muslimin kaya digunakan untuk
kepentingan umum yaitu pemberantasan kemiskinan,
mengatasi pengangguran dan pemberian pelayanan lainnya
kepada masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.27
Praktek yang dilakukan Nabi Saw, hasil pemungutan zakat
dikumpulkan dan disimpan di Baitul Mal yang bertempat di
Mesjid Nabawi yang sekaligus berfungsi sebagai kantor pusat
negara. Pada masa Nabi Saw. pembentukan Baitul Mal sebagai
suatu lembaga atau pos yang dikhususkan untuk menyimpan
semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak
kaum muslimin. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.
merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection)
dan pembelanjaan (expenditure) yang transparan bertujuan
menciptakan kesejahteraan (welfare oriented).
Berdasarkan fakta sejarah, Nabi Muhammad Saw.
adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep
baru dalam bidang keuangan negara di abad ke tujuh, yaitu
35. Pengembangan Baitul Mal Aceh
28
semua hasil penghimpunan kekayaan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai
dengan kebutuhan negara. Hasil pungutan berupa barang yang
bisa disimpan, seperti emas, perak dan lain-lain disimpan di
mesjid dalam jangka waktu yang pendek dan kemudian
didistribusikan kepada masyarakat tanpa sisa. Namun bila hasil
itu berupa hewan, maka sesuai dengan alamnya binatang-
binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.
Pencatatan hasil penerimaan dan pengeluaran dana
negara secara keseluruhan pada masa Nabi Muhammad Saw.
tidak dapat dilacak. Hal ini disebabkan setiap hasil pemasukan
langsung didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan
tanpa ada sebuah perincian. Tata cara pendataan penerima
zakat pada periode ini juga masih sangat sederhana, yaitu
dengan memerintahkan beberapa orang yang dipercaya untuk
melihat (melakukan pendataan) siapa-siapa saja yang memang
pantas untuk menerimanya. Perlu ditegaskan di sini bahwa
pengaturan keuangan untuk sektor-sektor publik pada periode
ini tidak memiliki bentuk tetap, sangat fleksibel dan tidak terlalu
birokratis. Nabi Muhammad Saw. sendiri melakukan
pembayaran harian dari Baitul Mal dan tidak ada dana yang
tidak dibagikan berada di penyimpanan dalam waktu lama.
Artinya pada saat itu tidak ada uang tunai yang tersisa,
berapapun banyak uang yang masuk ke kas bayt al-mal,
langsung didistribusikan pada saat itu juga.
Meskipun secara umum administrasi pemungutan dan
pendistribusian dana Baitul Mal ini sangat sederhana, tidak
dapat diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada
tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Nabi Muhammad Saw.
Membangun Baitul Mal berhasil meyakinkan masyarakat akan
36. Pengembangan Baitul Mal Aceh
29
pentingnya kontrol sosial (amar ma’ruf nahi munkar) secara
berkesinambungan di mana keberadaan baitul mal tetap
sebagai alat atau distributor, bukan kepentingan penguasa,
melainkan kepentingan masyarakat yang ada dalam
kewenangannya.
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, negara Islam
Madinah dipimpin oleh Abu Bakat ash Shiddiq. Selama dua
tahun kepemimpinannya Abu Bakar banyak menghadapi
persoalan dalam negeri seperti kelompok murtad, nabi palsu,
dan pembangkang zakat.28
Dengan masa jabatan yang begitu
singkat dan Islam digoncangkan oleh berbagai persoalan intern,
maka tidak ada perubahan yang signifikan yang bisa ia lakukan
terhadap bayt al-mal.29
Setelah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar ibn
Khatab (634-644 M) banyak perubahan yang berhasil ia lakukan.
Kontribusinya yang terbesar adalah membentuk perangkat
administrasi yang baik untuk menjalankan pemerintahan dan
dapat memperluas wilayah Islam ke luar Jazirah Arab. Seiring
dengan luasnya wilayah, maka pendapatan negarapun
mengalami peningkatan yang sangat signifikan termasuk dari
sektor jizyah dan kharaj. Pendapatan negara dari hasil jizyah
dan kharaj yang dikirim oleh pejabat-pejabat di daerah mengalir
deras ke dalam kas negara, menyebabkan khalifah dan
gubernur-gubernur tidak mampu lagi mencatatnya. Untuk
kepentingan ini, diperlukan perhatian khusus dalam hal
pengelolaannya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif
dan efisien. Langka yang dilakukan Umar adalah
bermusyawarah dengan beberapa sahabat untuk mendapatkan
solusi terbaik dalam permasalahan keuangan negara.30
37. Pengembangan Baitul Mal Aceh
30
Meskipun Baitul Mal telah ada pada masa Nabi
Muhammad Saw. dan Abu Bakar, namun pendapatan dan
pengeluaran publik tidak dilembagakan sehingga pendapatan
dari sumber-sumber pendapatan negara menjadi tidak efisien
bagi kebutuhan yang ada. Situasi ini berubah setelah
penaklukan besar selama pemerintahan Umar hingga pada
tahun 16 H Baitul Mal regular dan permanen didirikan untuk
pertama kali di Madinah sebagai Baitul Mal pusat, hal ini
kemudian diikuti dengan pendirian cabang-cabangnya di
ibukota provinsi. Untuk menangani lembaga tersebut, khalifah
Umar menunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai bendahara negara
(menteri keuangan) dan Abdurrahman ibn ‘Ubaid al-Qari
sebagai wakilnya.31
Dengan kata lain, Umar mengadakan
reorganisasi Baitul Mal yang fondasinya telah dibangun oleh
Nabi Muhammad Saw. dan khalifah sebelumnya.
B. Pengawasan dan Evaluasi terhadap Zakat, Wakaf dan Harta
Agama
Melihat pada sistem administrasi pemungutan,
pendistribusian serta lembaga Baitul Mal dalam sistem
ketatanegaraan Islam, secara garis besar dapat dikatakan
bahwa setiap kegiatan pemerintahan baik dalam menerapkan
hukum syari’at maupun kegiatan teknis administrasi
memerlukan sarana-sarana tertentu.
Agar tugas-tugas tersebut dapat berjalan secara efektif,
diperlukan adanya petugas-petugas khusus yang mengurus
urusan-urusan tersebut. Dalam bidang pemungutan zakat,
pemerintah harus melakukan penyeleksian terhadap aparat
yang ditugaskan untuk melakukan tugas tersebut. Selain
38. Pengembangan Baitul Mal Aceh
31
memiliki sifat jujur dan memiliki tanggung jawab, petugas zakat
(amil) harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan
pihak-pihak yang dipungut zakat dari mereka. Hal ini mutlak
diperlukan mengingat tugas ini berkaitan erat dengan
bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis dan
menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat
sehingga tidak menimbulkan gejolak di dalam masyarakat.
Oleh karena itu Al-Mawardi menetapkan bahwa selain
memiliki sifat amanah dan kredibilitas yang baik, petugas zakat
itu juga harus memiliki karakteristik khusus yang berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan tugas yang ia tangani yaitu:
bertanggung jawab mengenai penentuan muzakki dan
menetapkan pihak-pihak yang berhak mendapatkan subsidi dari
hasil zakat tersebut (mustahiq). 32
Dalam masalah administrasi Baitul Mal masa
kekhalifahan Umar ibn Khatab, pihak eksekutif tidak boleh ikut
campur dalam mengelola Baitul Mal. Di tingkat provinsi,
pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat (petugas
Baitul Mal) tidak tergantung kepada gubernur dan mereka
memiliki otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta
bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.33
Jadi,
Walaupun peran gubernur sangat besar dalam pemungutan
zakat, akan tetapi pendapatan tersebut diserahkan ke Baitul
Mal provinsi dan Baitul Mal ini tidak bertanggung jawab kepada
gubernur akan tetapi langsung kepada khalifah. Agaknya pada
masa Umar ini, sistem keuangan publik menganut sistem
otonomi tidak penuh.
Agar pemaksaan tugas-tugas tersebut berjalan dengan
baik dan menghindari adanya penyimpangan, maka
pengawasan dan evaluasi mutlak dilakukan karena tidak ada
39. Pengembangan Baitul Mal Aceh
32
pembahasan mengenai peran negara dalam bidang ekonomi
dengan mengabaikan peran institusi pengawasan (hisbah).
Institusi hisbah ini bertugas untuk menjalankan fungsi kontrol
dari pemerintah dalam berbagai bidang baik agama, moral
maupun dalam bidang ekonomi secara umum berkaitan dengan
kehidupan kolektif atau publik untuk mencapai keadilan dan
kebenaran menurut prinsip Islam.
Walaupun lembaga pengawasan ini mengalami
perubahan bentuk dan strukturnya, akan tetapi pekerjaan
hisbah ini telah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Tujuan
hisbah pada dasarnya adalah untuk memerintahkan yang
ma’ruf dan mencegah yang mungkar dalam wilayah yang
menjadi kewenangan pemerintah serta untuk mengatur dan
mengadili kasus-kasus yang tidak bisa dijangkau oleh institusi
biasa.34
Hal ini tercermin dari tindakan Nabi Muhammad Saw.
sendiri dalam mengontrol kinerja pegawai, kehidupan sosial
masyarakat hingga masalah ekonomi seperti pengawasan
terhadap praktek ekonomi dan pasar.
Sistem kontrol ini juga dilakukan oleh khulafaur
Rasyidin, bahkan Umar ibn Khatab terkenal sangat ketat dalam
melakukan pengawasan terhadap para pejabatnya. Ia tidak
segan memecat pejabatnya karena diduga telah melakukan
penyelewengan yang merugikan negara dan menggantinya
dengan pejabat yang lain. Dalam rangka evaluasi kinerja
tahunan pada pejabat dalam pemerintahannya, Umar
mengumpulkan para pejabatnya di Makkah setiap tahun pada
musim haji. Ia juga melakukan cek lapangan dengan
menanyakan kepada masyarakat untuk mendapatkan pendapat
yang lebih aspiratif tentang hasil kerja pejabatnya dalam
menjalankan kewajiban dan kebersihan mereka dalam
40. Pengembangan Baitul Mal Aceh
33
menggunakan penghasilan untuk kepentingan pribadi. Karena
itu sebelum menduduki sebuah jabatan, semua pejabat
tersebut dihitung terlebih dahulu jumlah kekayaannya, bila
setelah itu mereka memiliki kelebihan, maka kebersihan
pejabat tersebut patut diragukan sehingga dapat segera
dilakukan pemeriksaan atas kekayaan tersebut.35
Melihat pentingnya hisbah dalam sebuah negara, Ibnu
Taimiyah bahkan menulis secara khusus tentang lembaga
hisbah ini, walaupun ia lebih cenderung mengembangkan
lembaga hisbah ini dalam kegiatan perdagangan, industri
seperti pengawasan terhadap standarisasi produk, mengecek
penimbunan barang, praktek riba dan lain sebagainya.36
Akan
tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa fungsi kontrol
ini tetap diperlukan dalam berbagai aspek ketatanegaraan
termasuk dalam masalah pemasukan dan pengeluaran publik.
C. Perwalian
Menurut Qanun Aceh No. 10/ 2007 perwalian
didefinisikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada
seseorang atau badan sebagai wakil dari anak atau sebagai
pengampu dari orang yang tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau
orang yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak
cakap melakukan perbuatan hukum.37
Undang-undang tentang
perwalian mengatur tentang pengasuhan anak yatim serta
pengelolaan hak waris harta anak tersebut. Undang-undang
dimaksud diatur terutama dalam Undang-Undang No. 1/1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
41. Pengembangan Baitul Mal Aceh
34
Demikian pula dengan Qanun No. 10/ 2007 mengatur
wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, Wali
pengawas terhadap wali nashab, dan Wali pengampu terhadap
orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Masalah perwalian dalam Bab VIII Pasal 39 ayat 1. Pasal ini
mempertegas tugas dan kewenangan sekaligus peran Baitul Mal
dalam masalah perwalian. Baitul Mal sebagai sebuah lembaga
atau badan hukum, bukan hanya memiliki tugas dan
kewenangan dalam menangani masalah harta an sich. Akan
tetapi juga memiliki tugas dan kewenangan sebagai wali asuh
terhadap diri anak dan wali pengawas dalam
mengelola/mengawasi harta anak. Baitul mal dapat bertindak
menjadi wali asuh dan wali harta terutama kepada anak yang
masih di bawah umur, di mana wali nasab dan/ kedua orang
tuanya telah meninggal dunia atau tidak cakap (idiot)
melakukan aktivitas pengasuhan dan pengelolaan harta anak
tersebut.
Ada juga beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh MPU
yang berhubungan dengan perwalian.38
Sekalipun fatwa tidak
memiliki status hukum formal, tetapi fatwa sangat
berpengaruh, mengingat perwalian juga di atur dalam hukum
adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Pada prinsipnya, tanggung jawab wali adalah untuk
memenuhi semua hak-hak terhadap seorang anak yang berada
di bawah perwaliannya. Untuk kepentingan anak tersebut,
Qanun Aceh No. 10/ 2007, menekankan kewajiban wali dalam
mengasuh anak yang di bawah perwaliannya yaitu dengan
memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan.39
Dalam hal pengelolaan harta Qanun Aceh No. 10/ 2007 juga
menjelaskan kewajiban wali membuat daftar kekayaan anak
42. Pengembangan Baitul Mal Aceh
35
pada waktu memulai jabatannya sebagai wali serta mencatat
jumlah pengeluaran atau pemasukan harta sesuai dengan
pemanfaatan untuk kepentingan anak tersebut. Di samping itu
wali juga bertanggung jawab atas segala kerugian akibat
kelalaiannya dalam menjaga dan mengelola harta. 40
Ketentuan perwalian dalam Qanun Aceh No. 10/ 2007
terlihat masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan
persoalan zakat. Hal ini diketahui dari beberapa personal yang
masih membutuhkan peraturan teknis lebih lanjut. Seperti
batas usia anak yang membutuhkan perwalian, durasi atau
lamanya waktu menjadi wali bagi wali pengawas dan teknis
pengembalian harta anak ketika sudah mencapai usia dewasa
atau sudah tidak membutuhkan lagi wali. Persoalan lainnya juga
dapat dicermati pada penyebab kerugian harta anak akibat
kelalaian wali. Biasanya kemampuan seorang anak untuk
membuktikan bahwa walinya melakukan kelalaian, pengelolaan
yang salah atau penyalahgunaan harta benda, akan tergantung
pada keberadaan daftar harta benda yang disiapkan wali pada
waktu jabatannya dimulai. Keadaan seperti ini tentunya
memiliki aturan khusus tentang penyerahan atau laporan
tentang perubahan harta benda anak dengan melibatkan
sejumlah saksi.
D. Bentuk Lembaga Baitul Mal (Badan Layanan Umum)
Baitul Mal sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan
yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan bukan bank,
mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membangun
ekonomi umat yang berbasis syariah. Pentingnya peran Baitul
Mal, karena di samping menghimpun dana dari sumber Zakat,
43. Pengembangan Baitul Mal Aceh
36
Infak, Sedekah, Wakaf dan harta agama lainnya, juga berfungsi
untuk menyalurkan dana tersebut kepada yang berhak
menerimanya.
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Al-
Nizhamu al-Iqtishadifi al-Islam (1990) yang menjelaskan
mengenai sumber-sumber pemasukan bagi Baitul Mal dan
kaidah-kaidah pengelolaan hartanya.
Di mana ia menyatakan bahwa sumber-sumber tetap
harta Baitul Mal menurutnya adalah: fai’, ghanimah/anfal,
kharaj, jizyah, pemasukan dari harta milik umum, pemasukan
dari harta milik negara, usyuur, khumus dari rikaz, tambang,
serta harta zakat (An Nabhani,1990). Dari semua sumber
pendapatan Negara tersebut, hanya harta zakat yang diletakkan
pada kas khusus Baitul Mal, dan itu tidak diberikan selain untuk
delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al
Qur’an.
Sebagai lembaga keuangan yang berbasis syariah, yang
bertujuan untuk membangun perekonomian umat, maka
lembaga ini tidak hanya bersifat konsumtif tapi juga harus
mengembangkan menjadi satu lembaga keuangan yang
produktif. Di mana ia harus mempunyai peran yang lebih
strategis sebagai salah satu instrumen bagi penciptaan
perekonomian umat dengan mengembangkan perekonomian
berbasis syariah, dengan landasan tolong-menolong.
Prinsip tolong menolong ini didorong oleh rasa
keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat
miskin (yang notabenenya umat Islam) yang terjerat oleh sistem
perekonomian ribawi, maka sebagai alternatif bagi mereka yang
ingin mengembangkan usahanya, peran Baitul Mal sudah
44. Pengembangan Baitul Mal Aceh
37
seharusnya dikembangkan menjadi suatu lembaga keuangan
kecil yang beroperasi dan menggunakan konsep Baitul Mal yang
target, sasaran, dan skalanya pada sektor usaha mikro.
E. Prinsip dan Produk Inti Baitul Mal
Selama ini, Baitul Mal memiliki prinsip sebagai
penghimpun dan penyalur dana zakat, infaq dan shadaqah,
dalam arti bahwa Baitul Mal hanya bersifat “menunggu”
kesadaran umat untuk menyalurkan dana zakat, infaq dan
shadaqahnya saja tanpa ada sesuatu kekuatan untuk melakukan
pengambilan/pemungutan secara langsung kepada mereka
yang sudah memenuhi kewajiban tersebut. Seharusnya Baitul
Mal mempunyai kekuatan secara hukum yang bersifat
memaksa bagi mereka yang sudah mencapai nisab zakat (wajib
zakat) untuk membayar kewajiban tersebut. Karena hal ini
merupakan perintah agama yang wajib ditunaikan. Tidak hanya
bersifat meminta dan menghimbau kepada mereka yang
“dianggap” telah memiliki kemampuan material agar
mengeluarkan zakat
Adapun produk inti Baitul Mal:
1. Penghimpun Dana
Dalam penghimpun dana ini, Baitul Mal menerima dan
mencari dana berupa zakat, infaq dan shadaqah meskipun di
samping itu selain sumber dana tersebut Baitul Mal juga
menerima dana berupa sumbangan, hibah, ataupun wakaf serta
sumber-sumber dana yang bersifat sosial.
45. Pengembangan Baitul Mal Aceh
38
2. Penyalur Dana
Penyaluran dana-dana yang bersumberkan dari dana-
dana Baitul Mal harus bersifat spesifik, terutama dana yang
bersumber dari zakat, karena dana dari zakat ini sarana
penyalurannya sudah ditetapkan secara tegas dalam AI-Qur'an
yaitu kepada 8 ashnaf antara lain: faqir miskin, amilin, mu 'alaf;
fisabilillah, gharamin, hambu sahaya, dan musafir. Sedangkan
dana di luar zakat dapat digunakan untuk pengembangan usaha
orang-orang miskin, pembangunan lembaga pendidikan, masjid
maupun biaya-biaya operasional kegiatan sosial lainnya.
Sedangkan ciri-ciri Baitul Mal dapat disebutkan sebagai
berikut:
a) Visi dan misi sosial.
b) Memiliki fungsi sebagai mediator antara pembayar zakat
(muzaki) dan penerima zakat (mustahik).
c) Tidak boleh mengambil profit apapun dalam operasinya.
d) Pembiayaan operasi diambil dari 12,5%(?) dari total
zakat yang di terima, dan dari dana APBA
Selain Baitul sebagai sebuah badan pengelola zakat, juga
mempunyai fungsi dalam pengembangan harta agama tersebut,
atau disebut sebagai Baitul Tamwil, sehingga harta agama
tersebut mempunyai fungsi produktif. Fungsi ini menjadi salah
satu fungsi dari Baitul Mal ke depan.
3. Prinsip Baitul Tamwil
Ada 3 (tiga) prinsip yang dapat dilaksanakan oleh Baitul Mal
berkenaan dengan prinsil Baitul Tamwil , yaitu:
46. Pengembangan Baitul Mal Aceh
39
a. Prinsip Bagi Hasil
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang meliputi tata
cara pembagian hasil usaha antara pemodal (penyedia
dana) dengan pengelola dana. Pembagian bagi hasil ini
dilakukan antara Baitul Mal dengan pengelola dana dan
antara Baitul Mal dengan penyedia dana (penyimpan
dan penabung). Bentuk produk yang berdasarkan prinsip
ini adalah Mudharabah dan Musyarakah.
b. Prinsip Jual Beli dengan Keuntungan
Prinsip ini merupakan suatu tata cara jual beli yang
dalam pelaksanaannya Baitul Mal mengangkat nasabah
sebagai agen (yang diberi kuasa ) melakukan pembelian
barang atas nama Baitul Mal, kemudian Baitul Mal
bertindak sebagai penjual, menjual barang tersebut
kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli
ditambah keuntungan bagi Baitul Mal atau sering
disebut margin mark-up. Keuntungan yang diperoleh
Baitul mal akan di bagi juga kepada
penyedia/penyimpan dana. Bentuk produk prinsip ini
adalah Mudharabah dan Bai’bitsaman ajil.
c. Prinsip Non-Profit
Prinsip ini disebut juga dengan pembiayaan kebajikan,
prinsip ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented.
Sumber dana untuk pembiayaan ini tidak membutuhkan
biaya (non cost of money) yang disebut pembiayaan
Qardul Hasan. Adapun mengenal produk inti dari Baitul
Mal (sebagai fungsi Baitul Tanwil) sebagai berikut:
47. Pengembangan Baitul Mal Aceh
40
1) Produk Penghimpunan Dana
1. Al-Wadiah
Penabung memiliki motivasi hanya untuk
keamanan uangnya tanpa mengharapkan
keuntungan dari uang yang ditabung. Dengan
sistem ini Baitul Mal tetap memberikan bagi hasil
namun nisbah bagi penabung sangat kecil.
2. Al-Mudharabah
Penabung memiliki motivasi untuk memperoleh
keuntungan dari tabungannya, karena itu daya
tarik dari jenis tabungan ini adalah besarnya
nisbah dan keuntungan bagi hasil.
3. Amanah
Penabung memiliki keinginan tertentu yang di-
aqad-kan atau diamanahkan kepada Baitul Mal,
misal, tabungan ini dimintakan kepada Baitul Mal
untuk pinjaman khusus kepada kaum dhu‘afa
atau orang tertentu. Dengan demikian tabungan
ini sama sekali tidak diberikan bagi hasil.
2) Produk Penyaluran Dana
1. Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan modal kerja yang diberikan oleh
Baitul mal kepada anggota, di mana pengelolaan
usaha sepenuhnya diserahkan kepada anggota
sebagai nasabah debitur. Dalam ha1 ini anggota
(nasabah) menyediakan usaha dan sistem
pengelolaannya (manajemennya). Hasil
48. Pengembangan Baitul Mal Aceh
41
keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama (misal 70%:30% atau
75%:25%).
2. Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan berupa sebagian modal yang
diberikan kepada anggota dari modal
keseluruhan. Pihak Baitul mal dapat dilibatkan
dalam proses pengelolaannya. Pembagian
keuntungan yang proporsional dilakukan sesuai
dengan perjanjian kedua belah pihak.
3. Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan yang diberikan kepada anggota
untuk pembelian barang-barang yang akan
dijadikan modal kerja. Pembiayaan ini diberikan
untuk jangka pendek tidak boleh lebih 6 (enam)
sampai 9 (sembilan) bulan atau lebih dari itu.
Keuntungan bagi Baitul Mal diperoleh dari harga
yang dinaikkan. Pembiayaan bai’ bi taman ajil,
Pembiayaan ini hampir sama dengan
pembiayaan muruhahah, yang berbeda adalah
pembayarannya yang dilakukan dengan cicilan
dalam waktu yang agak panjang. Pembiayaan ini
lebih cocok untuk pembiayaan investasi. Baitul
Mal akan mendapatkan keuntungan dari harga
barang yang dinaikkan. Pembiayaan qordul hasan
merupakan pinjaman lunak yang diberikan
kepada anggota yang benar-benar kekurangan
modal/kepada mereka yang sangat
membutuhkan untuk keperluan-keperluan yang
49. Pengembangan Baitul Mal Aceh
42
sifatnya darurat. Nasabah (anggota) cukup
mengembalikan pinjamannya sesuai dengan nilai
yang diberikan oleh Baitul Mal.
Adapun mengenai ciri-ciri konsep Baitul Mal yang
menerapkan prinsip Baitul at-tamwil (pengembangan harta)
sebagai berikut:
- Visi dan misi ekonomi; dijalankan dengan prinsip
ekonomi (berorientasi bisnis, mencari laba bersama,
meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling banyak
untuk anggota dan lingkungannya)
- Memiliki fungsi sebagai mediator antara pemilik
kelebihan dana (penabung) dengan pihak yang
kekurangan dana (peminjam).
- Pembiayaan operasi dari aset sendiri atau dari
keuntungan.
- Merupakan wajib zakat.
- Bukan hanya sebagai lembaga sosial tetapi dapat
dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan zakat,
infaq, dan shadaqah bagi kesejahteraan orang banyak.
Mengenai tujuan dibentuknya Baitul Maal wat Tamwil
(BMT) adalah sebagai berikut:
a) Meningkatkan dan mengembangkan ekonomi umat,
khususnya pengusaha kecil.
b) Meningkatkan produktivitas usaha dengan memberikan
pembiayaan kepada pengusaha kecil yang
membutuhkan dana.
50. Pengembangan Baitul Mal Aceh
43
c) Membebaskan umat/pedagang/pengusaha kecil dari
cengkeraman bunga dan rentenir.
d) Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha, di
samping meningkatkan kesempatan kerja dan
meningkatkan penghasilan umat Islam.
e) Menghimpun dana dari umat Islam yang selama ini
enggan menyimpan dananya (uangnya) di bank-bank/
lembaga keuangan yang masih menggunakan bunga.
F. Meningkatkan Pemberdayaan Ekonomi Umat
Upaya untuk mengembangkan fungsi dan kewenangan
Baitul mal dalam peningkatan pemberdayaan ekonomi umat
dapat dikembangkan menjadi suatu lembaga keuangan mikro
berbasis syariah muncul dan mencoba menawarkan solusi bagi
masyarakat kelas bawah.
Mengenai konsep ini, lebih tepatnya disebut dengan
lembaga keuangan syariah, yaitu organisasi ekonomi yang
operasionalnya berdasarkan syariah Islam. Sebagai lembaga
keuangan mikro bergerak dalam kegiatan usaha menghimpun
dan menyalurkan dana dari masyarakat, namun secara yuridis
bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan pada Pasal 16 (1) bahwa kegiatan menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan
oleh Bank Umum atau BPR. Namun sebagai daerah yang
mempunyai kewenangan khusus, konsep ini dapat
dikembangkan dengan membuat suatu aturan (qanun) yang
sifatnya lebih spesifik (lex specialist), sehingga dengan adanya
51. Pengembangan Baitul Mal Aceh
44
aturan khusus ini, secara hukum konsep ini dapat
dikembangkan secara legal.
Sehingga dengan adanya legal biding tersebut, Baitul Mal
memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi berwawasan
syariah, Baitul Mal merupakan lembaga keuangan yang
berpedoman Al Qur’an dan Hadist, berbasis kerakyatan dengan
pemberdayaan usaha kecil dan menengah, serta langsung
bersinggungan dengan masyarakat di perkampungan dan desa-
desa, sehingga dapat mengentaskan kemiskinan dengan
pengembangan kewirausahaan dan pelayanannya yang
berorientasi kepada kepuasan pelanggan membuat Baitul Mal
akan berfungsi lebih optimal dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara
dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk
pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin
dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara
konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan
mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha,
mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan
penghasilannya untuk menabung.
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal
bila dilaksanakan oleh Baitul Mal karena Baitul Mal sebagai
organisasi yang tepercaya untuk pengalokasian,
pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat, mereka tidak
memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi,
memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat
tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima
zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan
mandiri.
52. Pengembangan Baitul Mal Aceh
45
Sebuah Baitul Mal akan berfungsi secara efektif ketika
menyalurkan dana zakat produktif pada suatu program yang
kemudian dikembangkan melalui Program Pemberdayaan
Ekonomi, program ini adalah program pemberdayaan
pembinaan umat atau mustahiq produktif dengan memberikan
bantuan modal usaha yang disalurkan dengan fasilitas Qordhul
Hasan untuk bantuan modal yang berupa uang dan Muḍarabah.
Dengan bantuan modal usaha yang diberikan tersebut,
mustahiq dapat mengembangkan usaha mereka dan bisa
meningkatkan pendapatan mereka
Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan
modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini
berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka
pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli
masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa,
meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh
pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah
yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan
ekonomi.
Dengan adanya peran Baitul Mal seperti ini, maka
pendayagunaan zakat akan berdampak positif bagi mustahiq,
baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq
dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak
sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut dapat hidup sejajar
dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya
didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya
bersifat charity tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif
dan bersifat edukatif.
Kelemahan utama orang miskin serta usaha kecil yang
dikerjakannya sesungguhnya tidak semata-mata pada
53. Pengembangan Baitul Mal Aceh
46
kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mental dan
kesiapan manajemen usaha. untuk itu, zakat usaha produktif
pada tahap awal harus mampu mendidik mustahiq sehingga
benar-benar siap untuk berubah. Karena tidak mungkin
kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan
mental si miskin itu sendiri. Inilah yang disebut peran
pemberdayaan. Zakat yang dapat dihimpun dalam jangka
panjang harus dapat memberdayakan mustahiq sampai pada
dataran pengembangan usaha. Program-program yang bersifat
konsumtif ini hanya berfungsi sebagai stimulan atau rangsangan
dan berjangka pendek., sedangkan program pemberdayaan ini
harus diutamakan. Makna pemberdayaan dalam arti yang luas
ialah memandirikan mitra, sehingga mitra dalam hal ini
mustahiq tidak selamanya tergantung kepada amil.
Zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk modal
bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di
antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi. Pengaruh
zakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan
secara adil kepada masyarakat Islam. Dengan kata lain,
pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat ikut
membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu
pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu
terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang
diembannya. Di antaranya adalah: (1) misi pembangunan
ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran ekonomi
dan bisnis yang lazim dan bersifat universal; (2) Misi
pelaksanaan etika bisnis dan hukum; (3) Misi membangun
kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi sumber dana
pendukung dakwah Islam.
54. Pengembangan Baitul Mal Aceh
47
BAGIAN
4
A. Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Wakaf
dan Harta Agama
alam literatur fiqh, tema seputar prinsip-prinsip
akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan zakat,
wakaf dan harta agama tidak memperoleh perhatian
khusus. Jika pun ada pembicaraan tentang akuntabilitas,
penekanan lebih banyak diberikan kepada sifat amanah yang
harus dimiliki amil. Namun demikian, al-Qur’an dan Hadis Nabi
memberikan beberapa dasar bagi akuntabilitas dan
transparansi zakat, wakaf dan harta agama.(Q.S. an-Nisa’ ayat
283). Sekalipun ayat ini berbicara tentang hutang-piutang,
sesungguhnya dapat ditafsirkan sebagai menekankan
pentingnya bukti tertulis dalam melaksanakan transaksi yang
melibatkan uang. Demikian pula hadis Nabi riwayat Turmudzi,
Ahmad dan ad-Darimi menjelaskan dosa adalah sesuatu yang
membuat hati pelakunya merasa gundah dan ketika
melakukannya takut dilihat orang. Jadi berdasarkan hadis ini ciri
perbuatan dosa adalah perbuatan yang takut dilakukan secara
KEUANGAN PUBLIK
PENGELOLAAN
55. Pengembangan Baitul Mal Aceh
48
transparan. Sementara perbuatan baik adalah perbuatan yang
tidak takut dilakukan secara transparan.
Sehubungan dengan itu, agar akuntabilitas pengelolaan
zakat, wakaf dan harta agama terpelihara, Baitul Mal harus
menerapkan aturan akuntansi yang benar dengan menyediakan
bukti tertulis untuk setiap transaksi. Muhammad Abu Zahrah
berpandangan bahwa bukti tertulis bersifat tidak meragukan.
Karenanya, Abu Zahrah mengharuskan pelaksanaan audit
terhadap Baitul Mal supaya diketahui tingkat akuntabilitasnya.
Dalam konteks Aceh, pengelolaan zakat bukan sekedar
kewajiban keagamaan atau tugas sosial kemasyarakatan,
melainkan menjadi tugas pemerintah dalam hal ini ditugaskan
sebuah lembaga yang menangani di bidang pengelolaan harta
agama yaitu Baitul Mal. Dasar hukum pengelolaan zakat yang
dirujuk oleh Baitul Mal Aceh adalah surat at-Taubah ayat 60. ayat
tersebut menentukan delapan senif dengan umlah yang berbeda-
beda.41
Zakat dikelola oleh Baitul Mal sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki masing-masing tingkat Baitul Mal. Dalam proses
pengelolaan zakat, tahap-tahap yang harus dilalui adalah tahap
pengumpulan dan penyaluran/ pendayagunaan zakat.
B. Tahap Pengumpulan Zakat
Baitul Mal Aceh menerima atau mengambil zakat di
suatu tempat, unit usaha, instansi atau lembaga tertentu, dan
dapat dibentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) untuk
membantu dalam proses pengumpulan zakat.
56. Pengembangan Baitul Mal Aceh
49
Pasal 10:
(1) Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
berwenang mengumpulkan, mengelola dan
menyalurkan :
a. Zakat Mal pada tingkat Provinsi meliputi : BUMN,
BUMD Aceh dan Perusahaan swasta besar;
b. Zakat Pendapatan dan Jasa/ Honorarium dari;
1. pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah
Pusat yang berada di Ibukota Provinsi;
2. pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah
Aceh;
3. pimpinan dan anggota DPRA;
4. karyawan BUMN/BUMD dan perusahaan
swasta besar pada tingkat Provinsi; dan
5. ketua, anggota dan karyawan lembaga dan
badan daerah tingkat provinsi.
c. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup
provinsi.
(2) Membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang ditetapkan
dengan keputusan Baitul Mal Aceh.
57. Pengembangan Baitul Mal Aceh
50
C. Tahap Penyaluran/ Pengelolaan/ Pendayagunaan Zakat
Secara khusus, qanun No. 10/2007 tidak menjelaskan
bagaimana cara melakukan penyaluran zakat yang sudah
terkumpul. Tetapi hanya menjelaskan harta zakat yang
terkumpul disampaikan dan disimpan dalam rekening tersendiri
Bendaharawan Umum Daerah (BUD) Aceh dijadikan sebagai
PAD. Penyaluran zakat sebagai hak faqir miskin dan mustahiq
lainnya memerlukan pengaturan lebih khusus sehingga tidak
menghambat tujuan pensyariatan zakat. Karena dana zakat
tidak sama dengan sumber PAD lainnya. Dana yang sudah
terkumpul di dalam rekening tersendiri tidak dapat dicairkan
untuk kepentingan lain selain kepentingan delapan senif melalui
program dan kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal.
Pasal 24
(1) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf g dilakukan
melalui tempat muzakki bekerja.
(2) Semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh
merupakan sumber PAD Aceh yang harus disetor ke Kas
Umum Daerah Aceh.
(3) PAD Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disimpan dalam rekening tersendiri Bendaharawaan
Umum Daerah (BUD) Aceh yang ditunjuk Gubernur.
(4) Pengumpul dana hasil zakat disampaikan pada rekening
tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya
dapat dicairkan untuk kepentingan program dan
kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal Aceh
sesuai dengan asnaf masing-masing.
58. Pengembangan Baitul Mal Aceh
51
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran
zakat oleh Muzakki dan pencairan dana zakat oleh Baitul
Mal Aceh dari Bendaharawan Umum Daerah (BUD)
diatur dengan peraturan Gubernur.
Setelah zakat terkumpul, langkah berikutnya dilakukan
upaya pendayagunaan zakat kepada mustahik bersifat
konsumtif dan produktif dengan syarat sudah memiliki jenis
usaha yang layak. Penyaluran zakat bersifat konsumtif
digunakan untuk pemberian beasiswa, pembangunan rumah
ibadah, dan program lainnya. Baitul Mal Aceh juga
memperhatikan kebutuhan jangka panjang untuk keperluan
pemberian modal usaha.
Pasal 29
(1) Zakat didayagunakan untuk mustahik baik yang bersifat
produktif maupun konsumtif berdasarkan ketentuan
syari’at.
(2) Mustahik zakat untuk usaha produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya suatu jenis usaha produktif yang layak;
b. bersedia menerima petugas pendamping yang
berfungsi sebagai pembimbing/penyuluh; dan
c. bersedia menyampaikan laporan usaha secara
periodik setiap 6 (enam) bulan.
(3) Tata cara pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Baitul Mal Aceh.
59. Pengembangan Baitul Mal Aceh
52
Untuk mempermudah pengawasan, penyaluran dana
zakat dicetak secara tertib dan teratur, dengan memperhatikan
aspek perencanaan dengan mewajibkan Baitul Mal di setiap
tingkatan membuat program kerja penyaluran dana zakat
secara berkala (prinsip akuntabilitas dan transparansi).
60. Pengembangan Baitul Mal Aceh
53
BAGIAN
5
ari paparan tulisan di atas, ada beberapa poin penting
untuk menjadi masukan bagi pengembangan Baitul Mal
Aceh di masa yang akan datang, poin-poin tersebut di
antaranya adalah:
1. Susunan organisasi Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
Kabupaten/ Kota perlu disesuaikan dengan kebutuhan
lembaga tersebut, karena struktur yang telah ada selama
ini, baik yang diatur Qanun No.10/2007 maupun Pergub
yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Demikian juga dengan struktur Sekretariat Baitul Mal perlu
disesuaikan, tidak bisa dianggap sama dengan struktur
lembaga istimewa lainnya, seperti MPU, MPD, dan MAA.
2. Syarat untuk pimpinan Baitul Mal ada yang perlu
disesuaikan dan dipermudah. Persyaratan untuk menjadi
pimpinan Baitul Mal selama ini (sesuai qanun, pasal 4, ayat
5, dan pasal 5 ayat 5) dirasakan sangat memberatkan,
misalnya harus melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh
PENUTUP
61. Pengembangan Baitul Mal Aceh
54
tim independen yang bersifat ad hoc yang dibentuk
Gubernur, demikian juga untuk tingkat Kabupaten/ kota.
3. Masalah pendayagunaan ZIS secara produktif:
a. Khusus pendayagunaan zakat secara produktif, perlu
ditetapkan aqad yang bisa diterima oleh semua pihak,
terutama di daerah (kabupaten/kota), aqad yang tidak
ada kontroversi tersebut misalnya dengan cara tamlik
(kepemilikan). Untuk keberlangsungan pendayagunaan
dalam bentuk tamlik ini, disalurkan melalui kelompok
kerja, misalnya Kelompok Usaha Bersama (KUBE) atau
bentuk lainnya, dengan tetap melakukan pengawasan,
monitoring secara berkala. Aqad tamlik seperti ini
bahkan bisa dikelola dalam bentuk investasi, (dikelola
oleh pihak ketiga) sahamnya atau modalnya dimiliki
oleh sejumlah mustahik dan profitnya dibagi bersama
atau dengan cara lain.
b. Sedangkan untuk sumber harta selain zakat, seperti
infaq, sedekah, dan sebagainya, pola
pendayagunaannya secara produktif dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk aqad seperti yang telah
disebutkan dalam tulisan ini.
c. Ketika bentuk-bentuk pendayagunaan secara produktif
kreatif di luar sumber zakat seperti tersebut di atas,
maka diperlukan ketegasan dalam pemungutan infaq
atau nama lainnya dari pihak ke tiga, (sebesar 5 per
mil/0,5 %) karena maíz terdapat sebagian kabupaten/
kota yang sama sekali belem merealisasikan.
d. Dalam membuat penyusunan program pemberdayaan
harus berorientasi pada pelayanan kebutuhan dan
62. Pengembangan Baitul Mal Aceh
55
penguatan pemberdayaan masyarakat, maka seluruh
proses harus melibatkan masyarakat, mulai dari
penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program.
e. Diperlukan pengaturan tentang status infaq, apakah
juga dimasukkan sebagai PAD atau bukan, karena
sampai dengan Qanun No.10/2007, status infaq tidak
jelas, walaupun penerimaannya cukup lumayan di
kabupaten/ kota atau bahkan bisa melebihi jumlah
zakat di Baitul Mal Aceh.
4. Produk penyaluran dana. Apapun produk penyaluran dana
oleh Baitul Mal haruslah selaras dan sesuai dengan
karakteristik lembaga ini sebagai sebuah lembaga nirlaba
(nihil laba), produknya adalah nilai dan moral, tahu apakah
Baitul Mal akan digiring ke lembaga profit sosial seperti
Gramen Bank atau setengah profit seperti Baitul Mal wa
Tanzil. Jika arahnya memang demikian sebaiknya harus
bersumber dari dana yang bukan zakat seperti disebutkan
di atas.
5. Kontekstualisasi mustahik zakat. Para mustahik zakat
sebagaimana ditetapkan Attaubah ayat 60, bisa
dikonstekstualisasikan, yang penting tetap sejalan dengan
substansi makna asal. Namun demikian perlu adanya garis-
garis besar panduan, agar tidak terjadi penafsiran dan
pemahaman yang terlalu luas. Selama ini terjadi kesulitan
dan kebingungan di sejumlah besar Baitul Mal
kabupaten/kota dalam menentukan siapa mustahik yang
sesuai dengan maksud Al-Qur’an, misalnya senif gharim,
fisabilillah, dan ibnu sabil.
63. Pengembangan Baitul Mal Aceh
56
6. Keberadaan dan kewenangan Baitul Mal Kemukiman. Perlu
pertimbangan atau tinjauan kembali tentang keberadaan
dan kewenangan Baitul Mal tingkat kemukiman, mengingat
wilayah kerjanya ada di gampong-gampong. Untuk
pengurusan harta agama (khusus harta wakaf) yang
terdapat di mesjid-mesjid sebagaimana yang selama ini
menjadi kewenangan Baitul Mal kemukiman, bisa menjadi
kewenangan Baitul Mal Gampong di desa tempat letak
mesjid tersebut. Bahkan mulai dari diundangkannya Qanun
No.10/2007 sampai saat ini belum ada satu pemkab/
pemkot di seluruh Aceh yang membentuk Baitul Mal
kemukiman. Nampaknya keberadaan Baitul Mal
kemukiman belum diperlukan, karena kewenangannya
belum diatur secara jelas dalam regulasi yang ada.
7. Prosedur pencairan zakat dari Kas/ PAD. Mekanisme
pencairan uang zakat yang telah dimasukkan ke dalam kas
daerah sebagai PAD, perlu pengaturan secara khusus,
sederhana dan mudah. Masalah ini sangat dirasakan
kendalanya oleh seluruh Baitul Mal kab/kota bahkan Baitul
Mal Aceh sendiri. Di sisi lain pengaturan ini penting agar
tidak bertentangan dengan ketentuan syar’iy dan
memenuhi persyaratan aturan keuangan, dengan demikian
diperlukan kearifan, kebijakan bahkan keberanian dalam
mengatur mekanisme pencairannya.
8. Sasaran penyaluran zakat Baitul Mal Aceh. Khusus untuk
Baitul Mal Aceh, perlu pengaturan dalam penetapan
sasaran penyaluran dan pemberdayaan, atau pemilihan
daerah penyaluran karena Baitul Mal Aceh tidak punya
wilayah, atau penyalurannya bisa diserahkan kepada Baitul
Mal kab/kota, Baitul Mal kab/kota akan memberikan
64. Pengembangan Baitul Mal Aceh
57
laporan dan pertanggungjawaban secara rinci kepada Baitul
Mal Aceh.
9. Sentralisasi dan desentralisasi pengelolaan zakat. Masalah
sentralisasi dan desentralisasi pengelolaan zakat oleh Baitul
Mal dan lembaga zakat swasta di seluruh Aceh, perlu
dirumuskan kembali, karena selama ini belum ada
kejelasan bagaimana sebenarnya arsitektur zakat di Aceh.
Harus disepakati dulu siap yang berperan sebagai regulator
dan pengawas, siapa saja yang berwenang menjadi
operator. Dengan demikian akan semakin jelas ‘siapa
melakukan apa’. Selama ini bagi Lembaga Amil Zakat
swasta akan dihentikan kegiatannya paling lama 5 (lima)
tahun (lihat pasal 56 (3) Qanun No.10/07). Pertanyaannya
sanggupkah Baitul Mal sebagai lembaga zakat pemerintah
melakukan fund raising kepada pihak-pihak swasta dengan
batasan waktu tersebut. Mengingat selam ini hampir 100%
zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) yang terkumpul di Baitul
mal adalah dari penghasilan pegawai negeri sipil.
Sedangkan sumber zakat dari pihak swasta sangat potensial
untuk digarap.
10. Pengaturan wakaf dalam Qanun No.10/07 perlu
pengaturan secara khusus, kewenangan pengelolaannya
tidak bisa digeneralisasi seperti dalam pengelolaan zakat
dan harta agama lainnya. Kewenangan Baitul Mal dalam
pengelolaan wakaf masih terjadi tarik menarik dan
overlaping dengan kewenangan Harta Agama Zakat dan
Waqaf (HAZAWA) di tingkat kabupaten/ kota. Berdasarkan
UU No.38/1999 Tentang Keistimewaan Aceh, diperlukan
pengaturan lebih detail, misalnya koordinasi antara dua
lembaga terkait.
65. Pengembangan Baitul Mal Aceh
58
Catatan Akhir:
1
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi
Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002). Bab X; Kamaruzzaman
Bustamam-Ahmad, "Reposisi Bank Sentral Di Indonesia Dalam Perspektif
Sistem Ekonomi Islam," Asy-Syir'ah 7 (2000).74-105.
2
Abdul Azis Dahlan et al., eds., Ensiklopedi Hukum Islam, 4 vols.,
vol. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997).187.
3
Lihat misalnya beberapa persoalan yang dikemukakan oleh
Amrullah dalam Amrullah, Menggagas Ulang Tugas Dan Fungsi Baitul Mal
(Banda Aceh: Baitul Mal Aceh, 2010).
4
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, "The Application of Islamic
Law in Indonesia: The Case Study of Aceh," Journal of Indonesian Islam 1,1
(2007).135-80; Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islamic Law in Southeast
Asia: A Study of Its Application in Aceh and Kelantan (Chiang Mai: Silkworm,
2009).
5
Lihat misalnya MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa
Dan Perubahan Sosial, ed. Ilham B. Saenong, trans. Iding Rosyidin Hasan
(Bandung: Mizan, 2003).
6
Akh. Minhaji, "Islamic Law under the Ottoman Empire," in The
Dynamics of Islamic Civilization, ed. Yudian Wahyudi, Akh. Minhaji, and
Amirul Hadi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).184-208.
7
Amrullah, Menggagas Ulang Tugas Dan Fungsi Baitul Mal.
8
Lihat misalnya Ahmad Humam Hamid, "Kemiskinan Kronis Di
Aceh," Serambi Indonesia, 16 May 2009.
9
Bahrein T. Sugihen, Perubahan Sosio-Kultural Dan Sikap Proses
Modernisasi (Banda Aceh: Beuna Citra, 2009).
10
Alex Inkeles and David H. Smith, Becoming Modern: Individual
Change in Six Developing Countries (Cambridge: Harvard University Press,
1974). Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, Dan
Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001).
11
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat
Aceh, trans. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (Lhokseumawe: Nadya
66. Pengembangan Baitul Mal Aceh
59
Foundation, 2003). M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah
Konflik (Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004).
12
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi
Dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998). M. Atho Mudzhar,
Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), M. Atho Mudzhar, "Social History Approach to Islamic Law,"
Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 61 (1998).
13
M. Amin Abdullah, "Telaah Bermenetis Terhadap Masyarakat
Muslim Indonesia," in Kontektualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, Ma, ed. Muhammad Wahyuni Nafis, et al. (Jakarta:
Paramadina, 1995).539-40.
14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, pasal. 120.
15
Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hlm.277-325.
16
Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Organisasi
dan Tatakerja Lembaga Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Permendagri No.18/2008.
17
Qanun No.10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal.
18
Amrullah, Menggagas Ulang Tugas dan Fungsi Baitul Mal Sesuai
dengan Ketentuang Perundang-undangan yang berlaku, (Banda Aceh: Baitul
Mal Aceh, 2010), hlm.39.
19
Ibid, hlm.48.
20
Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, “Baitul Mal Aceh: Dasar Hukum,
Kewenangan, Tugas, Fungsi, Organisasi, Serta Persyaratan dan Pengangkatan
Pimpinan,”
21
Pasal 12 Qanun Nomor 7/ 2004.
22
Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, juz. 3, (t.tp: t.p, t.th ), hal. 6-7.
23 1
Al Yasa Abubakar “Zakat Sebagai Penghasilan Daerah” dalam
Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam: Pendukung Qanun Pelaksanaa
Syari’at Islam, (Banda Aceh: Dinas Sayri’at Islam NAD, 2005), hal. 138.
67. Pengembangan Baitul Mal Aceh
60
24
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakat, hal. 586.
25
Al Yasa Abubakar “Zakat Sebagai Penghasilan Daerah”…, hal. 138.
Semua jenis pendapat mulai dari zakat, wakaf, infak, sedekah dan harta
agama dikelola oleh Baitul Mal. Hanya saja dalam hal penyalurannya
berbeda satu sama lain disesuaikan dengan sasaran penggunaannya.
26
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), hal. 139.
27
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakat, hal. 564.
28
Marshall G. S. Hodgson, The Vanture of Islam, terj. Mulyadhi
Kartanegara, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 284-285.
29
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Abu
Bakar melaksanakan kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan oleh
Nabi Muhammad Saw. Sistem pendistribusian lama tetap dilanjutkan, harta
Baitul Maltidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama dan
langsung didistribusiksan. Hingga ia wafat, hanya satu dirham yang tersisa
dalam perbendaharaan negara. Ia juga menetapkan prinsip kesamarataan
dalam mendistribusikan harta baitul-mal dengan memberikan jumlah yang
sama kepada semua sahabat tanpa membeda-bedakan antara sahabat yang
lebih dahulu masuk Islam dan sahabat yang belakangan.
30
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 126-127 dan Muhammad Husain Haikal,
Umar ibn Khattab, terj. Ali Audah, cet. 1, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2000), hal. 404.
31
Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn
Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 156.
32
Al-Mawardi, Al-Ahkam…, hal. 232.
33
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi …, hal. 34. dan Hitti,
History…, hal. 211.
34
Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi al-Islam aw Wazifah al-Hukumah al-
Islamiyah, (Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyah, t.th), hal. 15.
35
Haikal, Umar ibn Khattab…, hal. 665
68. Pengembangan Baitul Mal Aceh
61
36
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun
Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal.
xvi. Dan A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj. Anshari Thayib, cet.
1, (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), hal. 258.
37
Qanun No. 10/ 2007 ítem 25.
38
Pasal 1 Fatwa MPU No.3 2005
39
Pasal 42 ayat 1 huruf a Qanun Aceh No. 10/ 2007
40
Pasal 42 ayat 1 huruf b, c dan ayat 2. Qanun Aceh No. 10/ 2007
41
Amrullah, Menggagas Ulang Tugas dan Fungsi Baitul Mal sesuai
dengan Ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, (Banda Aceh: Baitul
Mal, 2010), 66.
69. Pengembangan Baitul Mal Aceh
62
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj. Anshari Thayib,
Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Abdul Azis Dahlan et al., eds., Ensiklopedi Hukum Islam, 4 vols.,
vol. 1 Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.
Ahmad Humam Hamid, "Kemiskinan Kronis Di Aceh," Serambi
Indonesia, 16 May 2009.
Akh. Minhaji, "Islamic Law under the Ottoman Empire," in The
Dynamics of Islamic Civilization, ed. Yudian Wahyudi,
Akh. Minhaji, and Amirul Hadi, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998.
Al Yasa Abubakar “Zakat Sebagai Penghasilan Daerah” dalam
Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam: Pendukung
Qanun Pelaksanaa Syari’at Islam, Banda Aceh: Dinas
Sayri’at Islam NAD, 2005.
Alex Inkeles and David H. Smith, Becoming Modern: Individual
Change in Six Developing Countries, Cambridge: Harvard
University Press, 1974.
Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, juz. 3, t.tp: t.p, t.th.
Amrullah, Menggagas Ulang Tugas dan Fungsi Baitul Mal
Sesuai dengan Ketentuang Perundang-undangan yang
berlaku, Banda Aceh: Baitul Mal Aceh, 2010.
Bahrein T. Sugihen, Perubahan Sosio-Kultural Dan Sikap Proses
Modernisasi, Banda Aceh: Beuna Citra, 2009.
70. Pengembangan Baitul Mal Aceh
63
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002.
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Pustaka
Asatruss, 2005
Fatwa MPU No.3 2005
Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi al-Islam aw Wazifah al-Hukumah al-
Islamiyah, Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyah, t.th.
Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn
Khattab, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, "The Application of Islamic
Law in Indonesia: The Case Study of Aceh," Journal of
Indonesian Islam 1,1, 2007.
------------, Islam Historis: Dinamika Studi Islam Di Indonesia,
Yogyakarta: Galang Press, 2002.
------------, Islamic Law in Southeast Asia: A Study of Its
Application in Aceh and Kelantan,Chiang Mai: Silkworm,
2009.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya,
Dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental,
Bandung: Mizan, 2001.
71. Pengembangan Baitul Mal Aceh
64
Marshall G. S. Hodgson, The Vanture of Islam, terj. Mulyadhi
Kartanegara, cet. 1, Jakarta: Paramadina, 1999.
Muhammad Husain Haikal, Umar ibn Khattab, terj. Ali Audah,
cet. 1, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2000.
M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik,
Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004.
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama
Masyarakat Aceh, trans. Kamaruzzaman Bustamam-
Ahmad, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003.
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa Dan
Perubahan Sosial, ed. Ilham B. Saenong, trans. Iding
Rosyidin Hasan, Bandung: Mizan, 2003.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan
Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
M. Atho Mudzhar, "Social History Approach to Islamic Law," Al-
Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 61, 1998.
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi
Dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
M. Amin Abdullah, "Telaah Bermenetis Terhadap Masyarakat
Muslim Indonesia," dalam Muhammad Wahyuni Nafis,
et al., Kontektualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, Ma, ed. Jakarta: Paramadina, 1995.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun
Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1995.
72. Pengembangan Baitul Mal Aceh
65
Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Organisasi dan
Tatakerja Lembaga Keistimewaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Permendagri No.18/2008.
Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.
Qanun Nomor 7/ 2004.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakat, t.tp.: Dar al-Kutub Ilmiyah,
t.th.
73. Pengembangan Baitul Mal Aceh
66
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Menimbang:
a. bahwa zakat merupakan kewajiban bagi orang Islam yang
berfungsi untuk membersihkan harta dan jiwa, juga merupakan
sumber dana potensial dalam mewujudkan kesejahteraan,
keadilan sosial guna meningkatkan taraf hidup kaum dhuafa dan
sebagai salah satu sumber daya pembangunan umat di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
b. bahwa pengelolaan zakat di samping tuntutan Syariat Islam juga
merupakan Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999,
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2001.
c. bahwa berdasarkan per timbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan c perlu membentuk Qanun tentang Pengelolaan
Zakat.
Mengingat :
1. Al-Quran;
2. Al-Hadits;
3. Undang-Undang Dasa1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 29;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 19 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
74. Pengembangan Baitul Mal Aceh
67
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209);
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
7. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 164,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885);
8. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3892);
9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah ( Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952 );
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan bentuk -
Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 70);